• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPEAT BREEDER PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "REPEAT BREEDER PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

REPEAT BREEDER OF BALI CATTLE IN PRINGSEWU REGENCY

By Amita Juliana

Research on repeat breeders in Bali Cattles in Pringsewu Regency was held on December 2014 until January 2015 with 5 inseminators, 131 Bali Cattles that had been inseminated belong to 100 farmers. The purpose of this reserch are to know: 1) value repeat breeder of Bali Cattles in Pringsewu Regency, 2) the factors and

magnitude factors which disturb repeat breeder of Bali Cattles in Pringsewu Regency. Data was analysis by logistic regression with SPSS (Statistics Packet for Social Science) program. The result showed that repeat breeder of Bali Cattles at Pringsewu Regency is 19,85%. Factors that affect the repeat breeder are

education inseminator that negatively associated with factor value 1,466; the number of acceptors that negatively associated with factor value 0,390; old ranching that positively associated with factor value 0,067; the amount of provision of water that negatively associated with factor value 0,106; large cage that negatively associated with factor value 0,114; and sanitation stall that negatively associated with factor value 0,805.

(2)

ABSTRAK

REPEAT BREEDER PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU

Oleh Amita Juliana

Penelitian mengenai repeat breeder pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu telah dilaksanakan pada Desember 2014 sampai dengan Januari 2015, terhadap 5 orang inseminator, 131 ekor Sapi Bali betina yang telah diinseminasi milik 100 orang peternak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) besarnya repeat breeder

pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu, 2) faktor-faktor dan besarnya faktor yang memengaruhi repeat breeder pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu. Analisis data yang digunakan adalah logistic regression dengan aplikasi SPSS (Statistics Packet for Social Science. Hasil yang diperoleh adalah kejadian repeat breeder

pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu sebesar 19,85%. Faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder yaitu pendidikan inseminator berasosiasi negatif dengan besar faktor 1,466; jumlah akseptor berasosiasi negatif dengan besar faktor 0,390; lama beternak berasosiasi positif dengan besar faktor 0,067; jumlah pemberian air berasosiasi negatif dengan besar faktor 0,106; luas kandang

berasosiasi negatif dengan besar faktor 0,144; dan sanitasi kandang berasosiasi negatif dengan besar faktor 0,805.

(3)
(4)

REPEAT BREEDER PADA SAPI BALI DI KABUPATEN PRINGSEWU (Skripsi)

Oleh

AMITA JULIANA

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(5)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang dan Masalah ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 7

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Sapi Bali ... 8

B. Kondisi Wilayah Pringsewu...…………..………….. 10

C. Repeat Breeder ... .. 12

BAB III. BAHAN DAN METODE ... 19

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

B. Bahan Penelitian... 19

C. Alat Penelitian ... 19

D. Metode Penelitian... 19

1. Teknik pengambilan sampel ... 19

2. Variabel yang digunakan... 20

3. Pelaksanaan penelitian ... 21

(6)

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

A. Gambaran Umum Inseminator, Peternak, dan Ternak di Kabupaten Pringsewu ... 23

B. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder ... 25

1. Pendidikan inseminator ... 26

2. Jumlah akseptor ... 28

3. Lama beternak ... 30

4. Jumlah pemberian air ... 31

5. Luas kandang ... 33

6. Sanitasi kandang ... 34

C. Penerapan Model ... 35

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN ... 38

A. Simpulan ... 38

B. Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Kuisioner untuk data inseminator ... 45

2. Kuisioner untuk data peternak ... 46

3. Kuisioner untuk data ternak ... 47

4. Kriteria penentuan skor kondisi tubuh sapi potong ... 48

5. Hasil pengamatan variabel pada tingkat inseminator, peternak, dan ternak yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kejadia repeat breeder pada Sapi Bali ... 49

(8)
(9)
(10)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia, ridho dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat serta pengikutnya, semoga mendapatkan syafa’at di hari akhir.

Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan

penelitian dan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih setulus hati kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian, Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Ir. Muhtarudin, M.S., selaku Ketua Jurusan Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung;

3. Bapak drh. Madi Hartono, M.P., selaku Pembimbing Utama atas kesediaan dan kesabarannya dalam memberikan motivasi, bimbingan, arahan, nasihat, kritik dan saran selama penelitian dan proses penyelesaian skripsi ini;

4. Ibu Sri Suharyati S.Pt., M.P., selaku Pembimbing Anggota atas kesediaan dan kesabarannya dalam memberikan bimbingan, nasihat, kritik dan saran selama penelitian dan proses penyelesaian skripsi ini;

(11)

6. Ibu Dr. Ir. Farida Fathul, M.Sc., selaku pembimbing akademik atas

kesediaannya dalam memberikan nasihat, arahan dan motivasi kepada penulis selama masa studi;

7. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Pringsewu, atas izin yang diberikan untuk melakukan survey selama penelitian;

8. Bapak drh. Johan selaku penanggung jawab Poskeswan Kecamatan Sukoharjo Kabupaten Pringsewu atas kesediannya dalam membimbing, mendampingi, dan menyediakan tempat tinggal selama penelitian;

9. Bang Taufik, bang Femi, pak Nardi, pak Mardi, dan pak Hanafi selaku inseminator Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu yang telah mendampingi penulis selama penelitian;

10.Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Peternakan, atas ilmu yang diberikan selama masa studi serta staff administrasi dari Jurusan Peternakan dan Fakultas Pertanian;

11.A. Azwar (Ayah) dan Rahmalia (Ibu) tercinta serta kakak-kakaku Alferto, Ardiyantina, Acita, Dani, Anita, Fezrin yang telah memberikan doa, kasih sayang, perhatian, nasihat dan kesabaran bagi penulis untuk dapat

menyelesaikan studinya;

12.Keponakan tersayang Alkahfi, Alfeyza, Orlin, Alfathan, Ayesha yang selalu memberikan semangat bagi penulis;

(12)

14.Putri dan Dea yang selalu menemani serta memberi semangat bagi penulis dalam melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsi ini;

15.Citra, Ayu, Olin, Riki, Gusma, Kakek, Ekal, Fery, Aji, Putu, Laras, Tika, Devi, Batin, Nia, Eno, Atikah, Linda, Ade, Apri, Penceng, Depo, Unay, Komala, Adul, Dina, dan seluruh angkatan ’11, ’12, ’13, ’14 serta seluruh mahasiswa Jurusan Peternakan Universitas Lampung;

16.Agnes, Sakinah, mb Ajrul, Agung, Rendy, Adi sebagai teman satu tim KKN di Kecamatan Way Bungur atas rasa kekeluargaan yang telah diberikan selama ini;

17.Puspa, Nanang, Ayu, Caca, Winda, Ane, Irvan, Hani, sebagai sahabat yang luar biasa.

Penulis berharap semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan dari Allah SWT dan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Amin.

Bandar Lampung, Maret 2015 Penulis,

(13)

MOTTO

“Hidup hanya satu kali maka persembahkanlah yang terbaik” (Amita)

“Tanamlah kebaikan jika engkau ingin memetiknya” (Amita)

“Teruslah berusaha menjadi pribadi yang positif dan sehat” (Amita)

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri ” (Q.S. Ar-Ra’d : 11)

“Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di dunia maka dengan ilmu.

Barangsiapa yang menghendaki kebaikan di akhirat maka dengan ilmu.

Barangsiapa yang menghendaki keduanya maka dengan ilmu.”

(H.R. Bukhori dan Muslim)

“Barangsiapa yang keluar dengan tujuan menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah hingga sampai pulang”

(H.R. Tarmidzi)

(14)

PERSEMBAHAN

Alhamdulilahhirobbil ‘alamin

, dengan menyebut nama Allah Yang

Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

Kupersembahkan sebuah karya dengan penuh cinta dan

perjuangan sebagai rasa sayang dan baktiku kepada kedua orang

tuaku yang selalu membimbing, menyayangi dan mendoakanku.

Semoga dapat mengobati rasa lelahnya dalam membesarkan dan

mendidikku hingga akhir.

Kepada segenap guru dan dosen, kuucapkan terima kasih tak

terhingga untuk segala ilmu berharga yang diajarkan sebagai

wawasan dan pengalaman.

(15)

RIWAYAT HIDUP

Amita Juliana dilahirkan di Tanjung Karang 8 Juli 1993, sebagai anak ke empat dari empat bersaudara pasangan H. A. Azwar, S.T. dan Hj. Rahmalia.

Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Way Halim Permai pada 2005, sekolah menengah pertama di SMP Negeri 12 Bandar Lampung pada 2008, dan sekolah menengah atas di MAN 1 (MODEL) Bandar Lampung pada 2011. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa S1 Program Studi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung 2011 melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN).

Penulis melaksanakan kuliah kerja nyata (KKN) di Desa Toto Projo Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur pada Januari—Februari 2014. Pada Juli—Agustus 2014 penulis melaksanakan praktik umum (PU) di CV. Meilina

(16)

1

BAB I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang dan Masalah

Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta semakin tingginya tingkat kesadaran masyarakat tentang pentingnya protein hewani. Di sisi lain penyediaan daging masih tergolong rendah apabila dibandingkan dengan permintaannya. Untuk mengurangi kesenjangan ini diperlukan berbagai upaya yang mampu meningkatkan produktivitas, terlebih pada peternak sapi potong rakyat (Nuryadi dan Wahjuningsih, 2011).

(17)

2

pertama kali pada 1.104,61±23,82 hari, serta calving interval selama

350,46±27,98 hari. Services per conception dengan inseminasi buatan adalah 1,65±0,87.

Lampung merupakan salah satu sentra peternakan sapi potong baik dalam hal penggemukan maupun pembibitan. Populasi sapi potong di Lampung pada tahun 2011 sebesar 742.776 ekor, dengan populasi Sapi Bali sebesar 186.712.

Pringsewu merupakan kabupaten dengan populasi sapi potong sebesar 14.402 ekor, dengan jumlah Sapi Bali sebanyak 3.632 ekor (PSPK, 2011). Lokasi tujuan penjualan ternak sapi potong di Kabupaten Pringsewu 95,19% ditujukan dalam kabupaten, 1,47% luar kabupaten, 3,28% luar provinsi, dan 0,06% ekspor (PSPK, 2011). Kabupaten Pringsewu memiliki potensi pemasaran sapi potong yang baik, didukung dengan akses transportasi dan keamanan yang memadai.

Populasi Sapi Bali betina di Kabupaten Pringsewu tahun 2013 berjumlah 2.894 ekor. Pemerintah Kabupaten Pringsewu telah melakukan upaya untuk

memperbaiki genetik Sapi Bali di wilayahnya. Upaya yang telah dilakukan yaitu menerapkan teknologi reproduksi yang disebut dengan Inseminasi Buatan (IB). Saat ini, Sapi Bali yang dilakukan IB di Kabupaten Pringsewu berjumlah 131 ekor. Pelaksanaan IB diharapkan mampu meningkatkan efisiensi reproduksi, sehingga populasi Sapi Bali dapat meningkat dengan pesat.

(18)

3

jelas, tetapi bila dikawinkan dengan pejantan atau di inseminasi buatan dengan air mani yang bermutu tinggi berulang-ulang, tidak pernah menjadi bunting

(Harjopranjoto, 1995)

Kejadian kawin berulang melanda hampir di seluruh dunia, yaitu berkisar antara 5,5--33,3% (Gustafsson dan Emanuelsson, 2002). Faktor-faktor yang

memengaruhi repeat breeder berasal dari peternak, ternak, dan inseminator. Hasil penelitian Yuliana (2000), tingkat kejadian repeat breeder dengan kriteria sapi perah yang telah diinseminasi 3 kali atau lebih di KPBS Bandung, Jawa Barat sebesar 19,4% dengan faktor-faktor yang memengaruhi frekuensi pemberian hijauan, lama laktasi, selang beranak, distokia, bangsa sapi, birahi pertama setelah beranak, dan skor kondisi tubuh. Hasil penelitian Astuti (2008), tingkat kejadian

repeat breeder sapi potong di Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung Tengah sebesar 9,22% dengan kriteria kategori repeat breeder sapi potong yang telah di IB 4 kali atau lebih. Faktor-faktor yang memengaruhi adalah umur pertama kali dikawinkan, birahi pertama setelah melahirkan, perkawinan

postpartum, luas kandang, pendidikan inseminator, dan jumlah akseptor.

Kejadian kawin berulang merupakan permasalahan dunia peternakan yang harus segera diatasi karena sangat merugikan peternak.

(19)

4

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :

1. besarnya repeat breeder pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu;

2. faktor-faktor dan besarnya faktor yang memengaruhi repeat breeder pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sekaligus pedoman pengelolaan Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu. Dengan teridentifikasinya faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder pada Sapi Bali maka dapat diupayakan langkah utama untuk memperkecil nilai repeat breeder, sehingga efisiensi reproduksi dan pendapatan peternak dapat meningkat. Selain itu, penelitian ini dapat menyumbangkan data atau informasi bagi penelitian berikutnya.

D. Kerangka Pemikiran

Pertambahan jumlah penduduk di Indonesia tiap tahunnya menyebabkan peningkatan kebutuhan protein hewani. Semakin berkembangnya jaman perkembangan teknologi semakin modern, sehingga penyebaran informasi

mengenai pentingnya mengonsumsi protein hewani lebih mudah untuk diperoleh. Dengan demikian, akan lebih banyak masyarakat yang sadar untuk mengonsumsi protein hewani terutama pada masa pertumbuhan.

(20)

5

sapi mengandung protein 22,7 gram/100gram daging, sebagai sumber vitamin B12 dan sumber vitamin B6, sumber zat besi yang baik serta mengandung selenium dan fosfor.

Berdasarkan hasil pendataan sapi potong (PSPK) 2011 yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia mulai 1--30 Juni 2011, populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor. Rumpun sapi potong yang terbanyak dipelihara di Indonesia adalah rumpun Sapi Bali mencapai 4,8 juta ekor atau 32,31%. Populasi Sapi Bali di Lampung tahun 2011 sebesar 186.712 menyokong 3,88% dari

populasi Sapi Bali di Indonesia. Pringsewu merupakan kabupaten dengan populasi Sapi Bali sebanyak 3.632 ekor yang menyokong 0,08% dari populasi Sapi Bali di Indonesia (PSPK, 2011).

(21)

6

Permasalahan rendahnya efisiensi reproduksi sering terjadi pada sapi potong. Rendahnya efisiensi reproduksi pada sapi potong mengindikasikan terjadinya gangguan reproduksi salah satunya yaitu repeat breeder. Repeat breeder adalah sapi betina yang mempunyai siklus normal dan telah dikawinkan paling tidak tiga kali dengan pejantanatau semen pejantan fertil tetapi belum bunting tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat reproduksi (Gustari, et al., 1991

dalam Yuliana, 2000). Repeat breeder menjadi suatu permasalahan penting dalam peternakan karena dapat merugikan peternak secara ekonomi. Hal ini menyebabkan pengulangan IB yang tidak efisien, lamanya proses mendapatkan keturunan, kerusakan alat reproduksi sapi betina serta menghambat manajemen dan pengelolaan peternakan.

Faktor-faktor yang menyebabkan repeat breeder dapat berasal dari inseminator, peternak, dan ternak. Faktor inseminator yaitu berupa inseminator yang kurang terampil, inseminasi yang tidak tepat, atau semen yang digunakan kurang berkualitas. Faktor peternak dapat berupa kesalahan dalam manajemen

(22)

7

berupa gangguan reproduksi yang dapat menurunkan kesuburan sapi misalnya majir, keguguran, atau distokia.

E. Hipotesis

(23)

8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sapi Bali

Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi asli dan murni Indonesia merupakan keturunan asli banteng (bibos banteng) dan sapi asli Pulau Bali. Ditinjau dari sistematika ternak, Sapi Bali masuk ke familia Bovidae, genus

bos dan sub-genus Bovine, yang termasuk dalam jenis Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus (Hardjosubroto, 1994), sedangkan Williamson dan Payne (1987) menyatakan bahwa Sapi Bali (Bos-Bibos Banteng) yang spesies liarnya adalah banteng termasuk famili Bovidae, genus bos dan sub-genus bibos.

(24)

9

bila sapi jantan dikastrasi warna bulunya akan berubah menjadi merah bata disebabkan pengaruh hormon testosteron (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983; Hardjosubroto dan Astuti, 1993).

Secara umum ukuran badan Sapi Bali termasuk kategori sedang dengan bentuk badan memanjang, dada dalam, badan padat dengan perdagingan yang kompak, kepala agak pendek, telinga berdiri dan dahi datar. Bulu Sapi Bali umumnya pendek, halus dan licin. Sapi Bali betina memiliki tanduk tetapi ukurannya lebih kecil dari Sapi Bali jantan. Umumnya tanduk berukuran besar, runcing dan tumbuh agak ke bagian luar kepala dengan panjang untuk sapi jantan antara 25--30 cm dengan jarak anata kedua ujung tanduk 45--65 cm. Sapi Bali jantan dan betina tidak memiliki punuk dan seolah tidak bergelambir (Payne dan Rollinson, 1973; National Research Council, 1983)

Umur dewasa kelamin rata-rata 18--24 bulan untuk betina dan 20--26 bulan untuk jantan (Payne dan Rollison, 1973; Pane, 1991); umur kawin pertama betina 18--24 bulan dan jantan 23--28 bulan; beranak pertama kali 28--40 bulan dengan rataan 30 bulan (Sumbung et al., 1978; Davendra et al., 1973; Payne dan Rollinson, 1973) dengan lama bunting 285--286 hari (Darmadja dan Suteja, 1976) dan jarak beranak 14--17 bulan (Darmadja dan Sutedja, 1976) dengan persentase

(25)

10

musiman (seasonality of oestrus), 66% dari Sapi Bali menunjukkan estrus pada bulan Agustus – Januari dan 71% dari kelahiran terjadi bulan Mei – Oktober dengan sex ratio kelahiran jantan : betina sebesar 48,06% : 51,94% (Pastika dan Darmadja, 1976).

Bobot tubuh dewasa berkisar antara 211--303 kg untuk ternak betina dan 337--494 kg untuk ternak jantan (Talib et al., 2003). Pertambahan bobot badan harian sampai umur 6 bulan sebesar 0,32--0,37 kg dan 0,28--0,33 kg masing-masing jantan dan betina (Kirby, 1979). Pertambahan bobot badan pada berbagai

manajemen pemeliharaan antara lain pemeliharaan tradisional sebesar 0,23--0,27 kg (Nitis dan Mandrem, 1978); penggembalaan alam sebesar 0,36 kg (Sumbung et al., 1978); perbaikan padang rumput sebesar 0,25--0,42 kg (Nitis, 1976);

pemeliharaan intensif sebesar 0,87 kg (Moran, 1978).

Sapi Bali memiliki sedikit lemak, kurang dari 4% (Payne dan Hodges, 1997) tetapi persentase karkasnya cukup tinggi berkisar antara 52-60% (Payne dan Rollinson, 1973) dengan perbandingan tulang dan daging sangat rendah; komposisi daging 69--71%, tulang 14--17% lemak 13--14% (Sukanten, 1991

dalam Anjar 2012). Sapi Bali mempunyai peranan penting dalam kehidupan masyarakat selain sebagai penghasil daging, petani kecil memanfaatkannya sebagai ternak kerja, penghasil pupuk, dan tabungan.

B. Kondisi Wilayah Pringsewu

(26)

11

berdasarkan Undang-undang Nomor 48 tahun 2008 tanggal 26 November 2008 dan diresmikan pada tanggal 3 April 2009 oleh Menteri Dalam Negeri.

Secara geografis Kabupaten Pringsewu terletak diantara 104045’25” –10508’42”

Bujur Timur (BT) dan 508’10” - 5034’27” Lintang Selatan (LS), dengan luas

wilayah dimiliki sekitar 625 km2 atau 62.500 ha. Secara administratif Kabupaten Pringsewu berbatasan dengan 3 (tiga) wilayah kabupaten sebagai berikut : 1. sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sendang Agung dan Kecamatan

Kalirejo, Kabupaten Lampung Tengah;

2. sebelah timur berbatasan Kecamatan Negeri Katon, Kecamatan Gedongtataan, Kecamatan Waylima dan Kecamatan Kedondong, Kabupaten Pesawaran; 3. sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Bulok dan Kecamatan Cukuh

Balak, Kabupaten Tanggamus;

4. sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Pugung dan Kecamatan Air Naningan, Kabupaten Tanggamus.

(27)

12

Struktur perekonomian Kabupaten Pringsewu kurun waktu 2008--2010

didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan (Dinas Komunikasi & Informatika Kabupaten Pringsewu, 2014). Populasi sapi potong di Kabupaten Pringsewu sebesar 14.402 ekor, dengan populasi sapi Bali sebesar 3.632 ekor (PSPK, 2011).

C. Repat Breeder

Sapi kawin berulang (repeat breeding) adalah sapi betina yang mempunyai siklus normal dan telah dikawinkan paling tidak tiga kali dengan pejantanatau semen pejantan fertil tetapi belum bunting tanpa disertai gejala klinis dari penyakit atau abnormalitas alat reproduksi (Gustari, et al., 1991 dalam Yuliana, 2000).

Kawin berulang bisa menjadi faktor utama ketidaksuburan. Kawin berulang dapat terjadi apabila sapi betina yang belum bunting setelah tiga kali atau lebih kawin. Dalam kelompok hewan fertil yang normal, kecepatan pembuahan biasanya 50--55% (Brunner, 1984). Menurut Zemjanis (1980), secara umum kawin berulang disebabkan oleh 2 faktor utama yaitu kegagalan pembuahan/fertilisasi dan kematian embrio dini. Faktor kegagalan pembuahan merupakan faktor utama penyebab kawin berulang sapi, termasuk dalam faktor ini adalah kelainan anatomi saluran reproduksi, kelainan ovulasi, sperma yang abnormal (Hardjopranjoto, 1995), sel telur yang abnormal dan kesalahan pengelolaan reproduksi (Toelihere, 1981). Kelainan anatomi saluran reproduksi dapat bersifat genetik dan

(28)

13

dari kasus kawin berulang. Penyumbatan tuba falopii menyebabkan sel telur yang diovulasikan dari ovarium gagal mencapai tempat pembuahan, yaitu pada

sepertiga bagian atas dari tuba falopii yang disebut ampula (sel mani) terhalang untuk mencapai tempat pembuahan, sehingga proses pembuahan gagal (Johnson, 1986).

Kelainan ovulasi dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga mendorong terjadinya kawin berulang meliputi 3-5%. Kelainan ovulasi tentu akan

menghasilkan sel telur yang cacat atau belum dewasa, sehingga tidak mampu dibuahi oleh sel mani dan menghasilkan embrio yang tidak sempurna. Kegagalan ovulasi pada folikel de graaf yang sudah matang, gagal menjadi pecah karena ada gangguan sekresi hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH. Kasus adanya kista folikel dan kista luteal, pada folikel yang tidak tumbuh lebih lanjut dan tidak pernah tumbuh menjadi folikel de graaf karena rendahnya sekresi LH. Selain itu, kelainan ovulasi yang terjadi adalah ovulasi tertunda (delayed ovulaiton), ovulasi yang normal pada kebanyakan hewan ternak terjadi pada periode awal masa birahi atau sampai beberapa jam setelah berakhirnya gejala birahi. Ovulasi tertunda terjadi satu atau dua hari setelah berhentinya birahi, hal ini disebabkan sel mani di dalam tuba falopii harus menunggu terlalu lama untuk membuahi sel telur yang sangat terlambat diovulasikan.

(29)

14

dindingnya mengkerut; 2) zona pelusida yang sobek atau rusak; 3) sel telur muda; 4) sel telur yang bentuknya gepeng; 5) sel telur yang bentuknya lonjong; 6) sel telur yang ukurannya sangat kecil yaitu sel telur yang ukurannya kurang dari 120 mikron; 7) sel telur raksasa yaitu sel telur yang ukurannya lebih dari 220 mikron; 8) sel telur yang didalam sitoplasmanya mengandung vakuola yang besar.

Sel mani abnormal menyebabkan kehilangan kemampuan untuk membuahi sel telur di dalam tuba falopii. Kasus kegagalan proses pembuahan karena sel mani yang abnormal bentuknya, mencapai 24-39% pada sapi induk yang menderita kawin berulang dan sebesar 12-13% pada sapi dara yang menderita kawin

berulang. Angka kegagalan pembuahan sel telur merupakan penyebab utama dari rendahnya angka kebuntingan, baik pada induk sapi yang normal maupun yang menderita kawin berulang. Kesalahan pengelolaan reproduksi yang mendorong sel mani gagal membuahi sel telur dan timbulnya kawin berulang dapat

berbentuk: 1) kurang telitinya dalam deteksi birahi sehingga terjadi kesalahan waktu untuk dilakukan inseminasi buatan (Toelihere, 1981). Deteksi birahi yang tidak tepat menjadi penyebab utama kawin berulang, karena itu program deteksi birahi harus selalu dievaluasi secara menyeluruh. Saat deteksi birahi salah, birahi yang terjadi akan kecil kemungkinan terobservasi dan lebih banyak sapi betina diinseminasi berdasarkan tanda bukan birahi, hal ini menyebabkan timing

(30)

15

perlakuan pada air mani beku yang kurang benar, pengenceran yang kurang tepat, proses pembekuan air mani yang kurang baik, penyimpanan dan pencairan

kembali mani beku yang kurang baik (Toelihere, 1981).

Kematian embrio dini pada induk yang normal terjadi karena pada dasarnya embrio sampai umur 40 hari, kondisinya labil, mudah terpengaruh oleh lingkungan yang tidak baik atau kekurangan pakan (Hardjopranjoto, 1995). Kematian embrio menunjukkan kematian dari ovum dan embrio yang fertil sampai akhir dari implantasi. Stevenson dan Anderson (1980), menyatakan perkawinan induk yang menderita kawin berulang dengan mani pejantan yang subur banyak diikuti oleh kematian embrio dini, sedangkan perkawinan dari induk yang menderita kawin berulang dengan air mani dari pejantan dengan kesuburan yang rendah banyak menghasilkan kegagalan pembuahan. Faktor yang

mendorong kematian embrio dini yaitu kelainan genetik, infeksi penyakit, lingkungan, gangguan hormonal (Hafez, 1993).

Kelainan genetik yang menyebabkan kematian embrio dini penyebab terjadinya kawin berulang pada ternak, dapat terjadi pada sel telurnya yang akan dibuahi sel mani atau embrionya sendiri. Adanya gen lethal yang melekat pada sel telur, menyebabkan embrio yang terbentuk akan segera mati. Selain itu, kematian embrio dini dapat disebabkan oleh penyakit. Penyakit kelamin menular dan penyakit kelamin yang disebabkan oleh kuman nonspesifik seperti Stafilokokus,

(31)

16

menyebabkan kematian embrio dini. Hal ini disebabkan embrio tidak dapat tumbuh pada lingkungan uterus yang menderita kawin berulang (Zamjenis, 1980).

Lingkungan yang kurang serasi di dalam rongga tuba falopii atau uterus

menghasilkan angka kematian embrio dini meningkat, menyebabkan kasus kawin berulang juga meningkat. Hal ini dapat terjadi karena adanya faktor penyakit induk, stres panas pada uterus yang disebabkan dari suhu kandang terlalu tinggi, dan kasus hormonal khususnya hormon steroid. Ketidakseimbangan hormon yang sering menyebabkan kematian embrio dini, adalah hormon estrogen dan

progresteron. Hormon estrogen yang berlebihan kadarnya dalam darah pada awal kebuntingan dapat menyebabkan terjadinya kontraksi dinding uterus yang

berlebihan, akan diikuti dengan kematian embrio. Selain itu, kekurangan hormon progresteron akibat regresi korpus luteum pada awal kebuntingan, dapat diikuti kematian embrio dini. Hormon progresteron pada masa awal kebuntingan berfungsi untuk memelihara pertumbuhan mukosa uterus dan kelenjar-kelenjarnya, sehingga mampu menghasilkan cairan yang merupakan bahan penting sebagai sumber makanan embrio.

(32)

17

kejadian RB (Astuti, 2008). Hal ini terjadi karena pada awal pubertas hormon-hormon reproduksi belum bekerja dan beraktifitas secara optimal. Hormon reproduksi optimal pada saat sapi mencapai umur 2,5 tahun, jadi jika sapi

dikawinkan kurang dari 2,5 tahun maka akan menaikkan RB. Akan tetapi, apabila sapi dara belum dikawinkan pada umur 4 tahun, cenderung terjadi siklus birahi yang tidak teratur dan cendrung menyebabkan penurunan prestasi reproduksi (Hardjopranjoto, 1995).

Birahi pertama setelah melahirkan berasosiasi negatif terhadap RB, yang berarti semakin panjang timbulnya birahi pertama setelah melahirkan dapat menurunkan kejadian RB dibandingkan dengan birahi pertama setelah melahirkan yang cepat (Astuti, 2008). Hal ini disebabkan karena semakin panjang birahi pertama setelah melahirkan maka regenerasi endometrium sudah optimal, keadaan uterus sudah kembali normal (involusi uterus), dan pulihnya siklus birahi sehingga mampu menghasilkan prostaglandin F2α yang berakibat pada perkembangan ovarium

serta aktifitas hormonal dapat berjalan dengan normal. Birahi pertama setelah melahirkan yang panjang juga akan memudahkan peternak dalam melakukan deteksi birahi sehingga hasilnya lebih akurat dan dapat menurunkan RB.

(33)

18

Hardjopranjoto (1995), anestrus pasca melahirkan yang tidak normal dapat disebabkan oleh laktasi atau selama pedet dibiarkan menyusu induk pada sapi potong. Pada keadaan yang demikian anestrus dapat berjalan 4--6 bulan setelah melahirkan (Vale-Filho et al., 1986 dalam Astuti, 2008).

Faktor luas kandang berasosiasi negatif terhadap kejadian RB, artinya semakin luas kandang yang digunakan untuk memelihara sapi potong maka dapat

menurunkan kejadian RB (Astuti, 2008). Hal ini disebabkan karena ternak dapat leluasa bergerak sehingga otot menjadi rileks, sirkulasi darah menjadi lebih lancar, ternak menjadi sehat dan mempermudah peternak dalam menangani dan merawat sapi, termasuk kesehatan, deteksi birahi, pemberian pakan, serta perawatan kebersihan kandang dan sapi. Kandang yang luas juga menjadikan sirkulasi udara lancar sehingga ternak tidak mengalami stres, karena faktor stres dapat memperpendek lama birahi.

Pendidikan inseminator berasosiasi negatif terhadap kejadian RB, artinya semakin tinggi tingkat pendidikan inseminator maka akan menurunkan RB (Astuti, 2008). Inseminator yang tamat D3 lebih baik jika dibandingkan dengan inseminator yang tamat SMA, hal ini disebabkan karena tamatan D3 umumnya lebih kritis, lebih mudah menerima masukkan dan lebih terampil jika dibandingkan dengan tamatan SMA atau dibawahnya. Jumlah akseptor berasosiasi positif terhadap kejadian RB, berarti semakin banyak jumlah akseptor maka akan menaikkan RB. Hal ini

(34)

19

BAB III. BAHAN DAN METODE

A.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Desember 2014 – Januari 2015, terhadap ternak, inseminator, dan peternak yang terdapat di Kabupaten Pringsewu.

B. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan sebagai obyek dalam penelitian ini adalah Sapi Bali betina yang telah dilakukan Inseminasi Buatan (IB) oleh lima inseminator di Kabupaten Pringsewu. Selain itu, Sapi Bali yang telah diterapkan IB di Kabupaten

Pringsewu sebanyak 131 ekor milik 100 peternak.

C. Alat Penelitian

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner untuk peternak dan inseminator di Kabupaten Pringsewu.

D. Metode Penelitian

1. Teknik pengambilan sampel

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey dengan teknik

(35)

20

diperoleh dari pengamatan secara langsung mengenai manajemen pemeliharaan Sapi Bali, kemudian melakukan wawancara pada inseminator dan peternak di Kabupaten Pringsewu. Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari

recording milik inseminator.

2. Variabel yang digunakan

Variabel dependen yang digunakan adalah nilai repeat breeder (Y) pada Sapi Bali. Variabel independen yang digunakan untuk data inseminator, peternak, dan ternak adalah pendidikan inseminator (X1), lama menjadi inseminator (X2), tempat pelatihan (X3), jumlah akseptor (X4), jarak menuju akseptor (X5),

produksi straw (X6), lama thawing (X7), ketepatan IB (X8), alasan beternak (X9), pendidikan peternak (X10), lama beternak (X11), pernah mengikuti kursus (X12), jenis hijauan (X13), frekuensi pemberian hijauan (X14), jumlah hijauan (X15), jumlah konsentrat (X16), jumlah pemberian air (X17), letak kandang (X18), bentuk dinding kandang (X19), bahan atap (X20), bahan lantai kandang (X21), luas kandang (X22), sanitasi kandang (X23), umur sapi (X24), skor kondisi tubuh (X25), umur pertama kali dikawinkan (X26), birahi pertama setelah beranak (X27), perkawinan postpartum (X28), gangguan reproduksi (X29), status reproduksi (X30) dan pemeriksaan kebuntingan (X31).

(36)

21

3. Pelaksanaan penelitian

Langkah awal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah mengumpulkan data sekunder berupa recording Sapi Bali dari masing-masing inseminator, selanjutnya melakukan wawancara kepada seluruh inseminator dan peternak Sapi Bali yang ada di Kabupaten Pringsewu untuk pengisian kuisioner. Selain itu, dilakukan pengamatan mengenai manajemen pemeliharaan yang dilakukan oleh peternak antara lain penggunaan jenis hijauan yang diberikan ke ternak, jumlah pemberian hijauan, pemberian konsentrat, jumlah pemberian air, letak kandang dari rumah peternak, bentuk dinding kandang, bahan lantai kandang, dan ukuran kandang. Wawancara terhadap peternak mengenai keadaan Sapi Bali yang dipelihara antara lain umur sapi, umur pertama kali dikawinkan, birahi pertama setelah beranak, perkawinan postpartum, gangguan reproduksi, status reproduksi dan pemeriksaan kebuntingan oleh inseminator setelah diinseminasi. Selain itu, skor kondisi tubuh ditentukan dengan mengamati secara langsung keadaan tubuh ternak dan

dibandingkan dengan tabel kriteria penentuan skor kondisi tubuh pada sapi potong. Repeat breeder ditentukan dengan menghitung jumlah Sapi Bali betina yang telah diinseminasi tiga kali atau lebih namun tidak bunting, kemudian jumlah yang diperoleh dibagi dengan jumlah seluruh Sapi Bali betina yang di IB, kemudian dikalikan dengan seratus persen.

E. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis logistik regresi.

Sebelum dilakukan analisis data, dilakukan pengkodean terhadap data

(37)

22

(38)

29

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Simpulan yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. repeat breeder (RB) pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu adalah sebesar 19,85%;

2. faktor-faktor yang memengaruhi repeat breeder pada Sapi Bali di Kabupaten Pringsewu berasal dari inseminator dan peternak. Faktor yang memengaruhi dari inseminator antara lain pendidikan inseminator yang berasosiasi negatif dengan besar faktor 1,466 dan jumlah akseptor yang berasosiasi negatif dengan besar faktor 0,390 terhadap nilai RB. Faktor yang memengaruhi dari peternak dan berasosiasi positif adalah lama beternak dengan besar faktor 0,067, sedangkan yang berasosiasi negatif adalah jumlah pemberian air dengan besar faktor 0,106, luas kandang dengan besar faktor 0,144 dan sanitasi kandang dengan besar faktor 0,805.

B. Saran

Saran yang ingin disampaikan penulis dari penelitian ini adalah:

1. memberikan pelatihan terhadap inseminator khususnya yang berpendidikan SMA mengenai manajemen reproduksi Sapi Bali;

(39)

39

DAFTAR PUSTAKA

Agustina dan Purwanti. 2012. Ilmu Nutrisi Unggas. Rumah Pengetahuan. Solo

Anjar, A. 2012. Pemeliharaan Sapi Bali.http://andianjarww2. blogspot.Com /2012/03/ pemeliharaan-sapi-bali.html Diakses 26 Oktober 2014

Astuti, H.Y. 2008. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder Pada Sapi Potong di Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Balai Besar Pelatihan Peternakan (BBPP) Batu. 2014. http://bbppbatu.bppsdmp. deptan.go.id/index.php?option=com_content &view=article&id=277:

peningkatan-produktivitas-ternak-sapi-dengan-sistem-perkawinan-inseminasi-buatan-ib&catid=72: artikel-peternakan Diakses 01 November 2014

Banbury, L.J. 1965. Comments from practical experiencewith swine artificial insemination. Canadian Veterinary Journal. September. 6(9) : 237–240.

Bandini, Y. 1999. Sapi Bali. Penebar Swadaya. Jakarta

Bowo, A. 2012. Jenis daging dan kandungan nilai gizi serta manfaatnya. http://gayahidupsehat.wordpress.com Diakses 20 Oktober 2014

Brunner, M. A. 1984. Repeat Breeding. Dairy Integrated Reproductive

Management. Cornell University. www. Repeat breeding.com Diakses 01 November 2014

Cahyono, A. 2013. Penampilan Reproduksi Sapi. http://agis-protekno.blogspot. com/2013/ 10/penampilan-reproduksi-sapi.html Diakses 01 November 2014

Copelin, J.P., M.F. Smith, H.A.Garveric, R.S. Youngguist, M. Vey, and E. K. Inskeep. 1988. Rensponsivenes of bobine corpus luteum to PGF 2á:

(40)

40

Darmadja, D. 1980. Setengah Abad Peternakan Sapi Tradisional dalam Ekosistem Pertanian di Bali. Desertasi. Program Pascasarjana. Universitas Pajajaran. Bandung

Darmadja, D. dan P. Suteja. 1976. Masa kebuntingan dan interval beranak pada Sapi Bali. Prosiding Seminar Reproduksi Sapi Bali. Dinas Peternakan I Bali. Denpasar

Davendra, C. T., K. C. Lee, and Pathmasingam. 1973. The productivity of Bali cattle in Malaysia. Malaysian Agri. Journal 49(2):183–197

Dinas Komunikasi & Informatika Kabupaten Pringsewu. 2014. http://pringsewu kab.go. id/bidang-pertanian/ diakses pada 28 Oktober 2014

Gustafsson, H. and U. Emanuelsson. 2002. Characterisation of the repeat breeding syndrome in Swedish dairy cattle.Journal Acta Vet Scand43(2):115–125 Hafez, E.S.E. 1993. Reproduction Failure in Females, 6 th Edition. Lea And

Febiger. Philadelphia

Hardjosubroto, W. 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Gramedia Widia-Sarana Indonesia. Jakarta

Hardjosubroto, W. dan M. Astuti. 1993. Buku Pintar Peternakan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta

Hardjopranjoto, H.S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya

Harian Tempo. 2011. Akibat kekeringan dan kurang gizi ratusan sapi gagal bunting. News. http://www.tempo.co/read/news/2011/10/08/180360520/ Akibat-Kekeringan-dan-Kurang-Gizi-Ratusan-Sapi-Gagal-Bunting Diakses 24 Januari 2015

Hastuti, D., S. Nurtini., dan R. Widiati. 2008. Kajian sosial ekonomi pelaksanaan inseminasi buatan sapi potong di Kabupaten Kebumen.Jurnal Ilmu Pertanian.Universitas Gajah Mada. Yogyakarta 4 (2) : 1-12

Irwan. 2011. Peran Air Bagi Hewan. http://irwansipetualang.blo gspot. com/ 2011/ 10/makalah-peran-air-bagi-hewan.html Diakses 24 Januari 2015 Jogjavet. 2008.

https://jogjavet.wordpress.com/2008/03/18/sapi-tidak-bunting-meski-sudah-di-inseminasi-buatan-ib/ Diakses 24 Januari 2015 Johnson, W. H. 1986. Embryo Transfer in Repeat Breeder Cows. Morrow

(41)

41

Junaedi. 2011. Feedlot I. Makalah. http://peternakanjunaedi. blogspot.com/2011 _02 _01_archive.html Diakses 8 Februari 2015

Kirby, G.M.W. 1979. Bali cattle in Australia from World Animal Review. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Via Delle Terme. Italy

Moran, J.B. 1978. Perbandingan performance jenis sapi daging di Indonesia. Prosiding Seminar Ruminansia. Ciawi 24-25 Juli 1978. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Bogor

National Research Council. 1983. Little-Konwn Asian Animals with a Promising Economic Future. Washington, D.C. National Academic Press

Nitis, I.M. 1976. Tabiat makan Sapi Bali yang digembalakan vs yang dipatokan di tegalan. Lemb. LPP. Bogor

Nitis, I.M. dan Mandrem. 1978. Korelasi antara tambahan berat badan dengan makanan yang dimakan dan dengan tabiat makan sapi Bali yang

dikandangkan. Pros. Seminar Ruminansia. Direktorat Jenderal Peternakan dan Institut Pertanian Bogor. Bogor

Nurlina, L. 2007. Upaya Transformasi Peternak Sapi Perah Melalui

Keseimbangan Dimensi Sosio Kultural dan Teknis-Ekonomis. Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran. http : //www. pustaka.unpad.ac.id/.../ upaya transformasi peternak sapi perah. Diakses 21 Januari 2015

Nuryadi dan S. Wahyuningsih. 2011. Penampilan produksi Sapi Peranakan Ongole dan Peranakan Limousin di Kabupaten Malang. Jurnal Ternak Tropika 12(1): 76–81

Pane, I . 1979 . Performance reproduksi sapi Bali di P3Bali. Proc. Seminar

Kcalulian di bidang Peternakan. FKHP Universitas Udayana. Denpasar Bali Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Prosiding Seminar Nasional

Sapi Bali. 2–3 September 1991. Fakultas Peternakan Universitas Hassanudin. Ujung Pandang

Pastika, M. dan D. Darmadja. 1976 . Performance reproduksi sapi Bali. Proc Seminar Reproduksi Sapi Bali, Dispet. Bali

Payne, W.J.A. and D.H.L. Rollinson. 1973. Bali cattle from World Animal Review. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Via Delle Terme. Italy

(42)

42

PSPK. 2011. Rilis Akhir PSPK 2011. Kementrian Pertanian-Bandan Pusat Statistik. http:// ditjennak.pertanian.go.id Diakses 02 November 2014

Raffly. 2008. Kebutuhan Air Pada Ternak Non Ruminansia. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Robert, S.J. 1986. Infertility in The Cows. In Veterinary Obstetric and Genital Disease(Theriogenology). 3rd edition Published by the author, Woodstock, VT 05091 Ithaca. NewYork

Saka, I.K. 1990. Pemberian pakan dan pemeliharaan ternak kerja. Makalah dalam Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Sapi Potong. BIP Bali, Denpasar 10-13 Desember 1990

Santosa, U. 2004. Tata Laksana Pemeliharaan Ternak Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta

Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Penerbit Andi. Yogyakarta

Siregar, S.B. 2003. Penggemukan Sapi. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta Stevenson, T. and U. Anderson. 1980. The influence of heat symptoms and the

time of insemination of cattle on the early and late returns. Nord. Veteriner. 25 (2) : 9-16

Sudono, A. 2003. Beternak Sapi Perah. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta Sugeng, Y.B. 2002. Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta

Sumbung, F.P ., D. Patijnur, E.J. Tandi, dan J.R. Batosama. 1978. Peningkatan Produktivitas Sapi Bali melalui Perbaikan Makanannya. Laporan Penelitian Universitas Hasanuddin. Makassar

Talib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S. Budiarti-Turner, and D. Lindsay. 2003. Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. Proceeding of an ACIAR Workshop on “Strategies to Improve Bali Cattle in Eastern Indonesia”. Denpasar, Bali

Toelihere, M.R. 1981. Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama. Institut Pertanian Bogor. Bogor

Toelihere, M.R. 1981. Inseminasi Buatan pada Ternak Perah. Angkasa. Bandung Toelihere, M. R. 2002. Increasing the success rate and adoption of artificial

insemination for genetic improvement of Bali cattle.Workshop on

(43)

43

Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1987. An Introduction to Animal Husbandry in the Tropic, Second Edition, ELBS and Longman Group Limetid. London Windig, J.J., M.P.Calus, and R.F. Veerkamp. 2005. Influence of herd environment

on health and fertility and their relationship with milk production. Journal of Dairy Science 88(1) : 335–47

Yuliana. 2000. Faktor-faktor yang Memengaruhi Repeat Breeder Sapi Perah di Koperasi Peternakan Bandung Selatan Pengalengan Bandung Jawa Barat. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung

Referensi

Dokumen terkait

Pada S II dini, papul generalisata dan S II Pada S II dini, papul generalisata dan S II lanjut menjadi setempat dan tersusun secara lanjut menjadi setempat dan

Pada penelitian ini akan dilihat kemampuan mengingat mahasiswa akan materi mata kuliah Analisis Perancangan Kerja 1, yang telah disampaikan pada semester 3

Dengan adanya komitmen dari setiap pihak maka pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penanggulangan HIV-AIDS di Kabupaten Semarang dapat berjalan secara

a) Surat kematian dari dokter pemeriksa. b) Surat keterangan tidak berkeberatan untuk dimakamkan di Arab Saudi dari keluarga/Daker selaku perwakilan KJRI. c) Surat keterangan

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian intervensi Mulligan Bent Leg Raise lebih baik dalam menurunkan nyeri fungsional punggung bawah non-spesifik dari

Sistem pendingin primer mengambil panas dari teras reaktor, untuk kemudian dipinciahkan ke pendingin sekunder melalui alat penukar panas, dan panas tersebut dibuang ke

Bagi Jurusita Pajak yang dalam tahun 2010 berhasil melakukan pencairan atas pemblokiran dan/atau pelaksanaan penyitaan harta kekayaan Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tersimpan

Sebagai upaya untuk menjamin mutu dan validitas data yang dapat dipertanggung jawabkan pada publikasi yang akan datang, saya menghimbau kepada segenap instansi, lembaga pemerintah