Skripsi
DiajukankepadaFakultasUshuluddin UntukMemenuhiPersyaratanMemperoleh
GelarSarjanaTheologi Islam (S.Th.I)
DisusunOleh :
Ahmad Damanhury. AR
NIM: 109034000104
FAKULTAS USHULUDIN
PROGRAM STUDI TAFSIR HADIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
Islam melalui syariat yang dibawa oleh Baginda Rasulullah SAW melalui wahyu dari Allah SWT datang dengan membawa cahaya kebenaran, berpegang teguh kepada prinsip al-Quran dan as-Sunnah.
Perintah melaksanakan syariat merupakan salah satunya. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah untuk alam dunia ini, diberikan tugas untuk menjalin relasi antar individu dengan Tuhannya, atau individu dengan individu, atau dengan kelompok lainnya.
Sebagai makhluk tentu manusia di dalam dirinya dibebankan untuk menjalin relasi tersebut sesuai dengan kadar kemampuannya. Tidaklah Allah menciptakan suatu urusan atau beban dalam kehidupannya, melainkan sesuai dengan kadar kemampuannya. Hal itulah yang mengantarkan manusia menjadi makhluk yang mulia, disebabkan karena pembebanan tersebut.
Seperti yang diketahui banyak ayat yang mengatakan Allah tidak akan membebani seseorang sesuai dengan kemampuannya. Namun kenyataannya banyak tindakan tercela yang terjadi di dalam kehidupan ini, dengan alasan tidak sanggup atas beban yang diterimanya. Ini semua diluar batas kemampuannya
Hal itu terlihat jelas dalam al-Quran dengan penggunaan kata taklif secara berulang kali, dengan waktu, kondisi, dan situasi yang berbeda, hal ini sebagai isyarat yang nyata dalam kehidupan manusia bahwasannya taklif tersebut merupakan bagian yang tidak bisa terpisahkan.
Penelitian ingin mengetahui sejauh mana penggunaan kata taklif dalam al-Quran dengan menggunakan beragam gaya bahasa, subjek (pelaku), maupun objek (sasaran) yang berbeda, dan interpretasinya dalam tatanan masyarakat modern sekarang ini. Apakah kebenaran al-Quran sebagai kitab shalih fi qulli
zaman wa makan terbukti secara keseluruhan, dalam hal ini semua ayat-ayatnya
ii
Alhamdulillahi Rabbi al-‘Alamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, dan inayahnya kepada seluruh
alam. Berkat Rahmat dan Pertolongan-Nya, serta ketulusan hati, keikhlasan niat
dan motivasi dari berbagai pihak sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini dengan judul :“ Penggunaan Kata Taklif dalam
al-Quran “. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada junjungan kita Nabi
Muhammad saw, keluarga, sahabat, serta pengikutnya dan semoga kelak kita
mendapatkan syafa‟atnya.
Munculnya berbagai hambatan selama penulis menjalankan studi hingga
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini, seakan ringan berkat bantuan dan
dorongan berbagai pihak, untuk itu penulis ingin menyampaikan penghargaan
yang setinggi-tingginya dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
terutama kepada orang yang sangat istimewa dalam kehidupan penulis, yakni
ibunda tercinta Rofiqah bin Maksum, ayahanda Amiruddin bin Abd Mami, terima
kasih atas pengorbanan baik moril maupun materil, motivasi dan do‟a yang selalu
diberikan kepada penulis.
Begitu juga saya ucapkan terimakasih kepada :
1. Prof.Dr.Komarudin Hidayat, MA. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
iii
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kultsum, MA, selaku Ketua Jurusan Tafsir Hadis, dan
Bapak Jauhar Azizy, MA, Sekretaris Jurusan Tafsir Hadis, Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayataullah Jakarta, terimakasih atas motivasi dan
dorongan untuk menyelasaikan skripsi ini.
4. Bapak pembimbing Dr. Moqsith Ghazali MA, dan bapak Muslih, Lc. yang
bersedia meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing penulis
dalam penulisan skripsi ini di tengah-tengah kesibukannya.
5. Dr. Eva Nugraha, MA. Yang telah meluangkan waktunya di tengah-tengah
kesibukannya dalam mengajar. Semoga senantiasa diberikan kemudahan
dan kesuksesannya.
6. Seluruh dosen pengajar Fakultas Ushuludin yang dengan ketulusan hati
dan kesabarannya telah mendidik dan memberikan ilmu pengetahuannya
kepada penulis selama belajar di Ushuluddin.
7. Kepada segenap karyawan/ti UIN Syarif Hidayatullah, khususnya
akademik Fakultas Ushuludin yang telah membantu selama kuliah.
8. Seluruh staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, Fakultas Dakwah, Fakultas Syariah,
Pasca Sarjana, serta tak lupa pula kepada karyawan Perpustakaan Pusat
Studi Al-Qur‟an (PSQ), Perpustakaan Masjid al-Ihsan Rawamangun
Jakarta Timur, Perpustakaan Masjid Syahid Nurul Iman Sudirman Jakarta
Pusat, Perpustakaan Iman Jama Lebak Bulus, yang rela dan bersedia
memberikan layanan dengan baik kepada penulis selama perkuliahan
iv
Nenek Wartini (alm), serta Adik-adik ku“ Sayyidah Nafisah. AR
(terimakasih telah membantu menerjemahkan teks), Lailatul Badriyah. AR
(terimakasih motivasi dan doanya), sukses selalu untuk kalian. dan
Muhammad dim Yati. AR (alm), yang sudah membantu memberikan
dukungannya baik moral dan materill penulis dalam menjalani kuliah di
UIN, semoga Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kalian dan
kesuksesan melebihi kaka-kakanya.
10.Kepada Paman Muhammad Satori dan keluarga (terimakasih telah
mengedit ulang tulisannya), dan Paman Drs. Hasyim Maksum yang terus
membantu dan mengarahkan dalam penyelesaian skripsi penulis, serta
kepada seluruh keluarga besar.
11.Kepada seluruh Sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon, khususnya
KH. Chowas Nuruddin (Alm) dan Nyai Hj. Ghumaesoh (Alm) tercinta.
serta KH. Ahmad Rifqi Chowas dan KH. Ahmad Syauqi Chowas dan para
Asatidz keluarga Pondok Pesantren Darussalam Buntet Pesantren, yang
telah banyak memberikan ilmu sehingga penulis bisa belajar di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
12.Kepada seluruh Asatidz Pondok Sabilussalam Tangerang, Ciputat,
pimpinan Prof. Dr. HD. Hidayat, MA. tidak lupa pula kepada Yayasan
v
lupa juga kepada seluruh jajaran Lembaga Pusat Ilmu Bahasa dan
al-Quran (LBIQ) Jakarta.
13.Kepada seluruh pengurus Yayasan Masjid al-Ihsan, Khususnya Bapak H.
Bastiansah Hamid beserta keluarga besarnya dan Ibu Hj. Yusmirdas, M.Pd
beserta keluarga besarnya, yang telah memberikan beasiswa pendidikan
dari jenjang TK (taman kanak-kanak), hingga jenjang Universitas dan
Bapak Ir. Rukhyat Kustomi beserta keluarga besarnya, atas beasiswa
penulisan skripsi serta bantuan moral, materil, arahan, bimbingan dan
motivasi yang diberikannya kepada penulis. Semoga Allah membalas
kebaikan didunia dan diakhirat, keberkahan dan kemuliaan semoga
senantiasa terlimpahkan. Amiien…
14.Teman-teman Fakultas Ushuluddin seluruh angkatan dan jurusan TH, PA
dan AF, khususnya jurusan Tafsir Hadis A, B, dan C angkatan 2009,
khususnya kelas TH. C (Ahmad Heri, S.Th,i, Ahmad Gunawan, S.Th,i,
Mukmin Mulyana S.Th,i, Muhammadun, S.Th,i, Sahlan al-Badawi, Dimas
YS, Taufik Akbar, Zenal Muid, Agus Maulana Y, Azizah Iffah, S.Th,i,
Ayu Khairunnisa, Lia Ernawati, Nasroh, Umi Hani, Nurul Wati dan
Lainnya) ,yang sama-sama berjuang selama kuliah, aku tidak akan pernah
melupakan kalian.(Jalan-jalan, Ngopi, Dia mulai Lapar, Main UnO, Futsal,
PS, dan Tuyul. Hahahaha…..)
15.Kepada Deslina Herliani, S.Pd,i. yang selama ini selalu memotivasi,
menghibur, dan memberi perhatiannya yang sangat besar kepada penulis
vi
Tarbiyah, HTI Cab. Ciputat, ARKADIA, KMPLS Ciputat, KMSGD
Cirebon, dan LDK yang telah banyak memberikan wawasan, motivasi dan
pengalamannya. (sukses untuk kalian semua)
Semoga pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk penulis, dibalas
oleh Allah Swt dengan balasan yang lebih, dan menjadi amal kebaikan di akhirat
nanti.
Jakarta, 28 April 2014
vii DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Tujuan dan Kegunaan ... 7
C. Tinjauan Pustaka ... 7
D. Metode Penelitian... 8
E. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN SUBJEK DAN OBJEK A. Subjek (Pelaku) Taklif ... 11
1. Term Allah ... 11
2. Kata Ganti Nahnu ... 17
B. Objek (Sasaran) Taklif ... 23
1. Nafs ... 23
2. Muhammad ... 28
BAB III SISTEM MAKNA "TAKLIF" A. Amal Ibadah ... 35
viii
E. Jihad ... 62
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 69
B. Saran ... 70
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman transliterasi huruf arab latin dalam penulisan skripsi ini berpedoman pada buku panduan penulisan karya ilmiah, skripsi, tesis, dan desertasi yang disusun oleh tim penulis ceQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta terbitan tahun 2008.
Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
ا
Tidak dilambangkanب
B Beت
T Teث
Ts Te dan esج
J Jeح
H H dengan garis bawahخ
Kh Ka dan haد
D Daذ
Dz De dan zetر
R Erز
Z Zetس
S Esش
Sy Es dan yeص
S Es dengan garis bawahض
D De dengan garis bawahط
T Te dengan garis bawahظ
Z Zet dengan garis bawahع
Koma terbalik keatas, menghadap kekananغ
Gh Ge dan hax
ل
L Elم
M Emن
N Enو
W WeH Ha
ء
‘ ApostropY Ye
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia, terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vocal rangkap atau diftong. Untuk vocal tunggal alihaksaranya adalah sebagaiberikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Dammah
Adapun untuk vocal rangkap, ketentuan alihaksaranya sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
_______ ai a dan i
_______ au a dan u
Vokal Panjang(Madd)
Ketentuan alihaksara vocal panjang (madd), yang dalam bahasa arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, adalah sebagai berikut :
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
ـــــ
ﺄ
â a dengan topi diatasـــــ
ﻲ
î i dengan topi diatasــــــ
xi Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif dan lam, dialihaksarakan menjadi huruf /i/ ,baik diikuti oleh huruf
Syamsiyah maupun Qamariyah. Contoh :al-rijâl bukan ar-rijal, al-diwân bukan
ad-diwan.
Syaddah (Tashdid).
Syaddah atau tasydid yang dalam system bahasa tulisan arab
dilambangkan dengan sebuah tanda, dalam alihaksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.Misalnya yang secara lisan berbunyi ad-darûrah, tidak ditulis “ad-darurah”, melainkan“al
-darûrah”, demikian seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbutah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Akan tetapi, jika huruf ta marbutah tersebut diikuti oleh kata benda (isim), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh :
No Kata Arab Alih Aksara
1
ةقيرط
Tarîqah2
ةيماساا
ةعماجلا
al-jâmiah al-islâmiyah3
دﻮجﻮلا ةدحو
Wahdat al-wujudHuruf kapital
xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran yang merupakan sumber pokok ajaran agama Islam, bukanlah
sebuah kitab yang di dalamnya hanya sebatas ayat, surat, terlebih-lebih masalah
juz semata. Kandungan al-Quran baik dalam hal lafal dan maknanya diyakini
memiliki esensi tersendiri. Oleh karena itu, melalui pemahaman maknanya, kita
dapat memperoleh di dalam al-Quran signifikansi teologis, sosiologis, kultural,
juga tentu saja signifikansi saintifik1. Hal ini mempertegas bahwa al-Quran tidak
mementingkan aspek atau ilmu akhirat dan ilmu-ilmu ritual semata, seperti yang
selama ini diketahui, seperti: thaharah, percaya qada dan qadar, zakat, puasa,
shalat, surga, neraka, amalan akhirat, hal-hal ghaib dll.
Dengan mengacu pada makna agama (al-Quran) tersebut dan juga dalam
perenungan yang mendalam terhadap al-Quran dan al-hadits, terasa sekali sangat
sederhana jika Islam dilihat hanya dari sisi tauhid, fiqih, hadits, akhlak, tasawuf
dan seterusnya sebagaimana yang ada selama ini. Padahal, al-Quran dan hadits
sebagai sumber ajaran ternyata memuat keterangan, penjelasan dan petujuk yang
begitu luas, mendalam dan meyeluruh2. Al-Quran berisi kisah-kisah
simbol-simbol, nilai-nilai kehidupan, berbicara tentang jagad raya, kehidupan manusia
serta perilakunya, pelestarian alam dan seterusnya.
1 M. Quraisy Shihab,
Lentera Hati, (Bandung: Mizan, Juli 1996), cet-VI, h. 32 2 M. Quraisy Shihab,
Dalam konteks kajian ke-Islaman, sungguh suatu hal yang aneh jika isi
al-Quran yang sedemikian luas telah disimplifikasi menjadi hanya dalam beberapa
Kajian seperti tauhid, fiqih, hadis, tasawuf, akhlak dan seterusnya. Hal inilah yang
dalam praktik dan realitasnya menjadi kurang menarik. Fenomena ini tidak jarang
telah menyebabkan isi Kajian keislaman menjadi kering dan jauh dari persoalan
kehidupan sehari-hari. Padahal, Islam semestinya berhubungan erat dengan
kehidupan dan bahkan menjadi bagian terdalam dari kehidupan manusia
sehari-hari. 3
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi, serta
memiliki misi yang menjadi tujuan diciptakannya4. Yaitu menyembah (ibadah)
kepada penciptanya yaitu Allah. Penyembahan berarti ketundukan manusia
kepada ajaran Allah SWT. dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini, baik
yang menyangkut hubungan vertikal (manusia dengan Allah SWT), maupun
horizontal (manusia dengan manusia dan alam semesta.
Menyangkut hubungan ini (hubungan horizontal) setiap manusia memiliki
misi atau tugas tersebut tentu berbeda antara manusia satu dengan manusia yang
lainnya. Allah SWT. Maha Mengetahui setiap makhluk ciptaannya tanpa
melewatkan sedikit pun yang menjadi kebutuhan setiap hambanya, bahkan hingga
hal-hal sekecil pun. Begitu pula hal-hal yang berkaitan erat dengan kebutuhan,
baik bersifat jasmani maupun kebutuhan yang bersifat rohani5.
3 Zainuddin,
Kesalehan normative dan sosiall,(UIN Malang: Prees, 2007), h.6 4 Achmad,
et.al, Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:
Grasindo, Juli 2009), h. 46.
5 Hudzaifah Ismail,
Tadabbur Ayat-Ayat Motivasi, (Jakarta: PT Elek Media Komputindo
3
Manusia diciptakan dan hidup di alam dunia ini dengan jalan hidupnya
masing-masing6 Menurut penulis hal tersebut juga melahirkan tingkatan beribadah
yang berbeda pula dalam kehidupan sehari-hari seperti: ada hamba yang rajin
ibadah, ada yang biasa-biasa saja, bahkan ada hamba yang malas dalam
beribadah. Ada sejumlah individu atau kelompok yang dengan gigihnya
menegakkan agama Allah SWT. firman Allah
/ءارسإا( ٧١
:
٤٨ )
Artinya: Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (QS. Al-Isra: 84)
Seorang hamba hidup sesuai dengan kapasitas dan kadar kemampuan yang
diberikan oleh Allah untuknya7. Orang kaya diuji dengan kekayaannya, dan orang
miskin di uji dengan kemiskinannya, orang kuat diuji dengan kekuatannya, orang
lemah diuji dengan kelemahannya. Hal ini sebagaimana dalam firman Allah:
...
/۶ارق۵لا ( ٢
: ٢٤٢ )
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya (QS. Al-Baqarah: 286)
Berbeda jauh dengan pengertian dan maksud ayat di atas, dewasa ini
terdapat banyak sekali fenomena yang terjadi di masyarakat sekitar yang
berseberangan, berkaitan dengan pemaknaan bahwasannya manusia seakan-akan
tidak akan mendapatkan ujian, musibah atau cobaan sesuai dengan kadar
6 Sayyid Quthb,
Tafsir Fî Ẕilalil Qurân, Terj. As’ad Yasin, (Jakarta: Gema Insani Press,
2002), cet.1, juz VI, h. 243.
7 M. Quraisy Shihab,
Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, Mei 2007), cet-XXXI,
kemampuannya. Dengan segala perbedaan ujian dan kualitas yang dimiliki
masing-masing, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang
hamba pun juga berbeda-beda, hal ini tidak lepas dari faktor sekitar, seperti
budaya, etnis, bahasa, masyarakat, dan tingkah laku keseharian. Atas faktor inilah
kehidupan manusia semakin kompleks dalam menjalani kesehariaannya.
Salah satu ajaran terpenting adalah bahwa kita selalu di uji sepanjang
hidup kita. Allah menguji keikhlasan dan keimanan kita dalam kejadian-kejadian
yang berbeda. Dia juga memberikan karunia untuk menguji hambanya apakah
termasuk orang yang bersyukur ataukah sebaliknya. Dia menciptakan berbagai
kesulitan bagi kita untuk mengetahui apakah kita bersabar atau tidak.
Oleh karenanya al-Quran sebagai pedoman hidup umat Islam, juga
merupakan mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu berkesinambungan
erat oleh perubahan waktu, masa, jaman, budaya dan ilmu pengetahuan serta
masih banyak ragamnya lagi8. Ia diturunkan Allah kepada Rasulullah, Muhammad
SAW, untuk mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang.
Serta membimbing mereka kejalan yang lurus9.
…
… /۶ارق۵لا ( ٢ : ٢٥١ )
Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). (QS. al-Baqarah: 257).
Ayat di atas memberikan pemahaman bahwa kegelapan disitu dimaknai
seseorang yang di dalam hatinya tidak memiliki keimanan kepada Allah SWT. ,
8 Muhammad Ash-Shayyim,
Mukjizat Nabiku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2003), cet-ke-1, hal. 17
9 Manna Khalil al-Qattan,
Studi ilmu al-Quran, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
5
serta percaya kepada-Nya, sehingga hatinya senantiasa tertutup dan dibutakan dari
cahaya Ilahi. Sedangkan kata cahaya dimaksudkan ialah, apabila kepercayaan
kepada Allah SWT. dipelihara, tumbuh subur keimanannya, tidak memberi tempat
buat mempercayai yang lain. Hal itulah yang menjadikan jiwa mendapat sinar
selalu dari Allah SWT. dan menimbulkan ukhuwah islamiyah, menyuburkan
hidup berjamaah serta menimbulkan masyarakat yang bercorak islam10.
Dengan demikian al-Quran menginformasikan kejadian-kejadian masa lalu
serta memberikan putusan terhadap segala permasalahan, baik yang timbul pada
masa lampau maupun yang akan datang. lebih lanjut, ia juga memberikan
penjelasan yang memadai dan benar tentang hal-hal yang sebelumnya tiak
diketahui manusia. al-Quran datang untuk mereformasi kehiupan manusia.11
Ketika turun ke bumi al-Quran menghadapi berbagai tipe manusia.
Diantara mereka ada yang muah menerima kebenaran dan ada yang sulit, ada
yang ditakirkan hidup sengsara an sebaliknya, serta ada yang dilapangkan Allah
dadanya untuk menerima cahaya Ilahi, sebaliknya ada yang dikunci mati. semua
perbedaan yang dicontohkan tersebut lebih lanjut juga merupakan suatu
keniscayaan, sehingga sebagaimana yang dipahami turunnya al-Quran pasti
disertai misi dan target-target tertentu bagi manusia. Demikian untuk mewujudkan
target-target yang dimaksud, maka al-Quran merasa perlu untuk menjelaskan atau
memaparkan satu tema tertentu beberapa kali.
10 Hamka,
Tafsir al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panji Mas, 1984), juz III, h. 26 11Muhammad Mahmud Hijazi,
Fenomena Keajaiban al-Quran, (Jakarta: Gema Insani,
Berangkat dari uraian di atas, menurut penulis perlu adanya kajian
mendalam bersumber langsung dari al-Quran, mengkaji dan menjelaskan maksud
serta pemahaman pengulangan tema atau ayat-ayat yang berkaitan dengan taklif.
Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Dari penjelasan yang dipaparkan pada latar belakang di atas, penulis
mengeidentifikasi beberapa masalah yang ada, yaitu :
a. Megapa Allah dalam penggunaan lafadz taklif mengunakan kata-kata yang
berbeda?
b. Apakah kata taklif yang digunakan dalam al-Quran ditujukan untuk
memberikan informasi masa lalu atau masa yang akan datang?
c. Bicara masalah hukum al-Quran, tentu hukum atau norma di dalamnya
bersifat tegas dan pasti, lantas mengapa terdapat ayat-ayat hukum yang
dilafalkan berulang kali dengan surat yang berbeda?
d. Apa maksud dan tujuan dari pengulangan yang terdapat dalam al-Quran?
2. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari beberapa masalah tersebut yang muncul dalam permukaan, perlu
kiranya penulis membatasi masalah yang akan diselesaikan dalam skripsi ini. Dari
beberapa pertannyaan yang muncul di atas, penulis membatasi permasalahan yang
terdapat pada poin A dan B, serta menitik beratkan pada QS. Al-Baqarah/2: 233
dan 286, QS. An-Nisa/4: 84, QS. Al-An’am/6: 152, QS. Al-‘Araf/7: 42, QS.
7
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah: Penggunaan Kata Taklif Dalam al-Quran?
B. Tujuan dan Kegunaan
Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dikemukakan di atas, maka tujuan penulis yang ingin dicapai ialah:
1. Mengetahui maksud dan tujuan pengulangan dalam al-Quran.
2. Mengetahui Maksud dan Tujuan Penggunaan Taklif dalam al-Quran
3. Memberikan pemahaman apakah taklif sebagai suatu perintah yang harus
dipatuhi, atau tidak, serta memberikan penjelasan yang mendalam
berkaitan dengan penggunaan serta pengulangan kata taklif tersebut.
4. Sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana pada Jurusan Tasir Hadis
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
C. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini tidak terlepas dari rujukan buku-buku yang berhubungan
dengan judul ini. Setelah melalui beberapa pemeriksaan pustaka, penulis
menemukan beberapa karya yang membahas tentang taklif, diantaranya skripsi
yang berjudul Taklif dalam perspektif al-Quran (studi komparatif penafsiran
Imam Syafi’iy dan at-Thabariy pada al-Baqarah/2 :286) karya Yarsi Qomari
Anwar pada tahun 2006. Begitu pula dengan skripsi yang berjudul Eksistensi
pada tahun 2003. Serta skripsi karya Iqbal Mochammad dengan judul
Pembebanan taklif terhadap seseorang yang mempunyai kepribadian ganda pada
tahun 2003. Berdasarkan pemeriksaan pustaka, penulis tidak menemukan karya
yang melakukan penelitian secara mendalam terhadap penggunaan kata taklif
yang terdapat dalam al-Quran, maka posisi skripsi ini adalah menggambarkan
ayat-ayat Taklif, dalam skripsi yang berjudul “Penggunaan Kata Taklif Dalam
al-Quran”.
Sehingga penulis berkeyakinan bahwa spesifikasi pembahasan dan
penelitian tentang konsep taklif dalam al-Quran belum pernah dibahas
sebelumnya. Untuk itu penulis meneliti bagaimana penggunaan kata taklif dalam
al-Quran tersebut.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendukung metode tersebut, dalam pengumpulan data yang
berkaitan dengan skripsi ini, penulis melakukan penelitian dengan cara melalui
studi perpustakaan (library research). Dalam hal pengumpulan data, penulis
merujuk dan menggunakan sumber-sumber tertulis, baik sumber primer maupun
sekunder. Ada pun sumber primer yang penulis gunakan yaitu merujuk kepada
Kitab Tafsir langsung yaitu: tafsir Misbah, tafsir Maraghi, dan tafsir
al-Qurthubi. Sebagai sumber sekunder, penulis menggunakan sumber lain yang
berkaitan dengan masalah yang akan dibahas baik dari buku, jurnal, skripsi dan
9
2. Metode Pembahasan
Dalam menulis skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif-
analisis yaitu menggambarkan secara cermat ayat-ayat yang berkaitan dengan
Taklif. Sedangkan yang dimaksud dengan metode analisis ialah berusaha untuk
menganalisa (menguji) hipotesa-hipotesa serta mengadakan interpretasi yang lebih
mendalam.
3. Teknik Penulisan
Ada pun teknik penulisan dalam skripsi ini, penulis mengacu pada Buku
Pedoman Akademik Penulisan Skripsai, Tesis dan Disertasi karya Tim UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2011.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Bab Pertama, yaitu,
pendahuluan yang menguraikan tentang problematika dan signifikasi penelitian.
Pendahuluan meliputi latar belakang masalah diangkatnya tema penelitian ini,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan yang akan diperoleh
dari penelitian ini. Selanjutnya tinjauan pustaka atau bahan-bahan yang digunakan
dalam penelitian. Metode penelitian yang meliputi metode pengumpulan data,
metode pembahasan dan teknis penulisan. Serta memaparkan sistematika dalam
penulisan penelitian ini.
Bab kedua memuat penjelasan tentang klasifikasi penyebutan berdasarkan
dan kata ganti nahnu, sedangkan objek (sasaran) taklif di dalamnya membahas
nafs, dan Muhammad.
Bab ketiga membahas seputar sistem makna "taklif'" berkaitan dengan
taklif dalam al-Quran dengan membaginya dalam beberapa pembahasan yaitu
pembahasan seputar amal shalih, hak asuh anak, kadar nafkah bagi keluarga, harta
anak yatim, dan pembahasan terakhir berkaitan dengan jihad fi sabilillah.
Bab keempat penutup, yang berisi uraian penutup atas penelitian ini yang
11
BAB II
KLASIFIKASI PENYEBUTAN BERDASARKAN
SUBJEK DAN OBJEK TAKLIF
A. Subjek (Pelaku) Taklif
1. Term Allah SWT.
Ayat-ayat menjelaskan bahwa konsep tentang Allah sebagai wujud
tertinggi dan nama Allah itu sendiri sudah ada di Zaman Jahiliyah, bukan saja
dikalangan Yahudi dan Nasrani melainkan dikalangan suku-suku Badui. Selain itu
ada yang mengatakan "apakah Lafadz Allah (ها) berasal dari perkataan orang
Arab هلإا dimana huruf hamzah dibuang, dan huruf lam yang asli bertemu dengan
huruf lam tambahan, lalu keduanya melebur menjadi satu kata dan jadilah lafadz
Allah (ها).1
Di samping itu, kata itu sering terdapat dalam syair-syair dan juga
nama-nama orang di zaman pra-Islam seperti Abdullah (hamba Allah). suku-suku kafir
tertentu mempercayai suatu Tuhan yang mereka namakan Allah, dan yang mereka
percayai sebagai pencipta langit dan bumi dan pemegang pangkat tertinggi.
Sebagaimana suku-suku yang lain bahwa orang Quraisy pun sebelum mengenal
Islam dan terlebih setelah mengenalnya mempercayai Allah Tuhannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsepsi al-Quran tentang Allah tidak
sepenuhnya baru, tetapi, ia mentransformasikan konsepsi jahiliyah sebelumnya.
1Abu Ja'far Muhammad bin Jarir ath-Thabari, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), jil-1.,
Walau begitu konsep ketuhanannya berbeda, konsep jahiliyah tentang Allah
mempunyai sekutu dan suatu objek pemujaan yang jauh, sedang dalam al-Quran
(Islam) Allah tunggal tiada sekutu bagi-Nya, serta mendominasi setiap fase
kehidupan manusia dari lahir hingga mati.
Dalam al-Quran ketika menyebutkan nama Allah diharuskan adanya
keterlibatan hati dan lisan di dalam rangka mengingat keagungan dan kebesaran
Allah, serta nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya. Akan
halnya menyebut nama Allah dengan lisan berarti mengucap "Asmâ al Husnâ,
sekaligus memuji dan merasakan syukur kepada Allah. juga berarti memohon
pertolongan kepada Allah agar memberi kekuatan untuk melaksanakan perbuatan
sesuai dengan ketentuan syariat. Sebab seluruh perbuatan yang tidak dimulai
dengan menyebut nama Allah, berarti tidak diakui syariat. Kata Allah sendiri
merupakan isim 'alam, khusus diberikan kepada yang wajib disembah secara
benar. Nama ini tidak boleh digunakan untuk selain Allah.2
Kata Allah merupakan nama Tuhan yang paling populer, setidaknya
disebutkan lebih dari 2679 kali dalam al-Quran. Apabila anda berkata "Allah", apa
yang diungkapkan itu telah mencakup semua nama-nama-Nya yang lain,
sedangkan bila mengucapkan nama-Nya yang lain misalnya ar-Raẖîm atau
sifat-sifat lain-Nya, maka Ia hanya menggambarkan sifat-sifat Rahmat atau sifat-sifat
kepemilikan-Nya. Di sisi lain tidak satu pun dapat dinamai Allah, baik secara
hakikat atau majaz, sedangkan sifat-sifat yang lain secara umum dapat dikatakan
2 Ahmad Mustafa al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi,
13
bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa
itu sendiri yang menamai dirinya Allah. firman Allah:
/هط( ٠٢ : ٤١ )Artinya: Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku. (QS. Thaha: 14)
Selain itu Allah juga bertanya dalam al-Quran, Firman Allah:
/ميرم( ٤۹ : ٥٦ )Artinya: Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama
dengan Dia (yang patut disembah). (QS. Maryam: 65)
Ayat ini dipahami oleh para pakar al-Quran bermakna " apakah engkau
mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti nama ini? Atau apakah engkau
mengetahui sesuatu yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
sebagaimana pemilik nama itu (Allah)? atau bermakna apakah engkau
mengetahui ada nama yang lebih agung dari pada nama ini? Juga dapat berarti
apakah kamu mengetahui ada sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut
disembah)?
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini,
kesemuanya benar karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujud-Nya
itu yang berhak menyandang nama tersebut, sedangkan lain-Nya tidak ada bahkan
tetapi Ia adalah nama yang menunjuk pada Zat yang wajib wujud-Nya, yang
menguasai seluruh hidup dan kehidupan dan yang kepada-Nya seharusnya seluruh
makhluk mengabdi dan memohon.
Namun, ada pula yang berpendapat bahwa kata Allah asalnya adalah (هلإ)
Ilâh yang dibubuhi huruf alif dan lâm dan dengan demikian Allah merupakan
nama khusus disebut ulang sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaẖa ini
dalam bentuk tatsniyah 2 kali dan aliẖah dalam bentuk jama' disebut ulang
sebanyak 34 kali, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedang Ilâh adalah
nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural) (ةهلأ) Alihah.
Dalam bahasa Ingris baik yang bersifat umum atau khusus, keduanya
diterjemahkan dengan god, demikian juga dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan kata "Tuhan" dalam bahasa Arab adalah Ilah (هلإ) disebut ulang
sebanyak 111 kali dalam bentuk mufrad, ilaha ini dalam bentuk tatsniyah 2 kali
dan alihah dalam bentuk jama' disebut ulang sebanyak 34 kali
alif dan lâm yang dibubuhkan dalam pada kata Ilâh berfungsi menunjukan
bahwa kata yang dibubuhi itu (dalam hal ini kata Ilâh) merupakan sesuatu yang
telah dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan Pencipta, berbeda dengan
tuhan-tuhan (alihah, bentuk jamak dari Ilâh) yang lain. Selanjutnya hamzah yang berada
antara dua lâm yang dibaca (i) pada kata (هلاا) al-Ilâh tidak dibaca lagi sehingga
berbunyi (ها) Allah, dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata
baru yang tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata Allah menjadi
nama khusus bagi pencipta dan pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.3
3 M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
15
Kata "Allah" sendiri mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki kata lain,
ia adalah kata yang sempurna hruf-huruf dan maknanya serta memiliki
kekhususan berkaitan dengan rahasianya sehingga kata itulah yang dinamai Ism
Allah al-'azam (nama Allah yang paling mulia), yang bila diucapkan dalam doa,
Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafadz terlihat keistimewaannya ketika
dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata Allah (ها) dengan menghapus huruf
awalnya, akan berbunyi (ه) Lillâh dalam arti milik/bagi Allah. kemudian hapus
huruf awalnya dari kata Lillâh itu akan dibaca (هل) Lahu dalam arti bagi-Nya.
Selanjutnya hapus lagi huruf awal dari kata lahu, akan terdengar dari ucapan Hû
yang berarti Dia (menunjuk Allah), dan bila ini pun dipersingkat maka akan
terdengar kata Âh yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tetapi pada hakikatnya adalah seruan permohonan kepada Allah. karena itulah
kata Allah terucap oleh manusia sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka.4
Firman Allah:
....
)
/رمزلا ۹۹ : ۹٨ )
Artinya: dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah". (QS.
Az-Zumar: 39)
Dari segi makna dapat dikemukakan bahwa kata Allah mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dialah yang menyandang sifat-sifat tersebut. Karena itu
jika berkata Ya Allah, semua nama-nama serta sifat-sifat-Nya telah dicakup oleh
kata tersebut. Di sisi lain jika berkata ar-Rahîm (Yang Maha Pengasih),
4 M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
sesungguhnya yang anda maksud adalah Allah, demikian juga jika berkata
al-Muntaqim (Yang Membalas Kesalahan), namun kandungan makna ar-Rahîm
tidak mencakup pembalasan atau sifat-sifat yang lain-Nya. Seperti contohnya
ketika mengucapkan Asyhadu an Lâ Ilâha Illa Allah, dan tidak dibenarkan
mengganti kata Allah tersebut dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Asyhadu
an Lâ Ilâha Illa ar-Rahîm.5
Jika menyebut nama Allah, pasti akan menjadikan hati kita tenang
demikian pula dengan penyebutan Asmâ al-Husna. Firman Allah
/دعرلا( ٤۹ :
٠٨ )
Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati
Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS. Ar-Raad: 28)
Ketentraman dan ketenangan itu lahir bila anda percaya bahwa Allah
adalah penguasa Tunggal dan pengatur alam raya. Ketenangan itu akan dirasakan
bila menghayati sifat-sifat, kudrat dan kekuasaan-Nya dalam mengatur dan
memelihara segala sesuatu. Demikian itu Allah SWT. karena itu tidak heran jika
ditemukan sekian banyak ayat al-Quran yang memerintahkan orang-orang
beriman agar memperbanyak zikir menyebut nama Allah, dan karena itu setiap
perbuatan yang penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama Allah.
5 M. Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran)
17
2. Kata Ganti Kami (ݍحݎ)
Di dalam Al-Quran, penggunaan kata ganti juga diterapkan untuk lafadz
Allah SWT, ada kata ganti pertama singular (anâ), dan ada kata ganti pertama
plural (nahnu), terkadang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa), di
mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu bahwa Allah
SWT bukan laki-laki dan juga bukan perempuan atau banci. Kalau ternyata
Al-Quran menggunakan kata ganti Allah dengan lafadz huwa, dan bukan hiya (untuk
perempuan), sama sekali tidak berarti bahwa Allah itu laki-laki. Juga tak
terkecuali kata nahnu, yang meski secara penggunaan asal katanya untuk kata
ganti orang pertama, jamak (lebih dari satu), baik laki-laki maupun perempuan,
namun sama sekali tidak berarti Allah itu berjumlah banyak.
Sama dengan tata bahasa lainnya. Dalam ilmu bahasa arab, penggunaan
banyak istilah dan kata itu tidak selalu bermakna zahir dan apa adanya. Karena
Al-Quran adalah kitab yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi.
Selain kata ganti tersebut ada juga kata „antum’ yang sering digunakan untuk
menyapa lawan bicara meski hanya satu orang. Padahal makna `antum` adalah
kalian (jamak). Secara rasa bahasa, bila kita menyapa lawan bicara kita dengan
panggilan „antum’, maka ada kesan sopan dan ramah serta penghormatan
ketimbang menggunakan sapaan "anta". Khusus kata „nahnu` tidak selalu
bermakna banyak, tetapi menunjukkan keagungan Allah SWT. Ini dipelajari
dalam ilmu balaghah.
Contoh: Dalam bahasa kita ada juga penggunaan kata “Kami” tapi
berkata,”Kami sebagai kepala sekolah berpesan…. Padahal Kepala Sekolah
hanya dia sendiri dan tidak banyak, tapi dia bilang “kami”. Lalu apakah kalimat
itu bermakna bahwa Kepala Sekolah sebenarnya ada banyak, atau hanya satu ?
Kata “kami” dalam hal ini digunakan sebagai sebuah rasa bahasa dengan tujuan
nilai kesopanan. Tapi rasa bahasa ini mungkin tidak bisa diserap oleh orang asing
yang tidak mengerti rasa bahasa atau mungkin juga karena di barat tidak lazim
digunakan kata-kata seperti itu.6
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang ada pada tiap-tiap diri
hamba-Nya. Oleh karenanya bentuk penggunaan kata ganti kami bukan tanpa
alasan atau sebab begitu saja tanpa adanya maksud tertentu yang tersirat. Ada pun
maksud dari penggunaan kata ganti kami yang terdapat dalam al-Quran bertujuan
untuk:
1. Sebagai kata kami (nahnu) bermakna bahwa dalam mengerjakan tindakan
tersebut Allah melibatkan unsur-unsur makhluk (selain diri-Nya sendiri)
dalam kasus nuzulnya al-Quran makhluk-makhluk yang terlibat dalam
pewahyuan dan pelestarian keasliannya ialah sejumlah malaikat terutama
jibril, kedua; Nabi Muhammad sendiri, ketiga; para pencatat/penulis,
keempat; para huffadz (penghafal), dan lain-lain. Kalau diperhatikan
kebanyakan ayat-ayat yang bercerita tentang turunnya al-Quran, Allah
selalu menggunakan kata kami (nahnu).7
2. Selain itu ayat yang menggunakan kata "kami" biasanya menceritakan
sebuah peristiwa besar yang berada di luar kemampuan jangkauan nalar
6 Sumber: http://adiabdullah.wordpress.com/2008/12/02/kata-aku-dan-kami-dalam- 7 Ibnu Taimiyyah, Al Furqon Baina ‘l Haq wa ‘l Bathil (Dar Ihyai‟t Turotsi „l Arabi: tth),
19
manusia, seperti penciptaan Adam penciptaan bumi, dan langit. Di sini,
selain peristiwa itu sendiri yang bernilai besar, Allah sendiri ingin
mengukuhkan/memberi kesan "Kemahaan-Nya" kepada manusia agar
manusia dapat menerima/mengimani segala sesuatu yang berada di luar
jangkauan nalar/rasio manusia. Seperti contoh berikut:
)ا ا /فارع ۷ : ١١ )
Artinya Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada Para Malaikat: "Bersujudlah kamu kepada Adam", Maka merekapun bersujud kecuali
iblis. Dia tidak Termasuk mereka yang bersujud.(QS. Al-'Araf: 7)
3. Kata ganti Tuhan (Allah) dalam al-Quran berbentuk tunggal dan jamak, itu
menunjukkan pihak-pihak yang berperan atau terlibat aktif dalam prosesi
berlangsungnya 'kata kerja'. Tugas-tugas seperti mencipta jin dan manusia,
kata ganti tunggal 'Aku' yang dipilih, itu artinya bahwa hanya Dia, dan
tidak ada campur tangan pihak lain, yang terlibat dalam tugas penciptaan
itu. Adapun tugas sepeti menurunkan rejeki, menjaga (otentisitas)
al-Quran dan sebagainya, digunakan kata ganti jamak 'Kami', itu berarti
bahwa benar Dialah yang pada tingkat hakiki menurunkan rejeki, namun
pada tingkat lahiriah manusia individu yang bersangkutan ikut pula
menentukan apakah ia akan memperolehnya (dengan segala kualitas dan
kuantitasnya) atau tidak.8
8 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
Lafadz (ا إ)) dan ( ح) atau selainnya termasuk bentuk jamak, tapi dapat
diucapkan untuk menunjukkan seseorang yang mewakili kelompoknya, atau dapat
pula mewakili seseorang yang agung. Sebagaimana dilakukan oleh sebagian raja
apabila mereka mengeluarkan keputusan atau ketetapan, maka dia berkata, “Kami
tetapkan” atau semacamnya, padahal dia yang menetapkan itu hanyalah satu
orang. Akan tetapi diungkapkan demikian untuk menunjukkan keagungan.
Dengan kata lain ketika Allah menggunakan kata “Kami”, pada saat itu
Allah sedang menunjukkan kebesaran, keagungan, dan kemahaan-Nya. Sehingga
kata-kata “Kami” banyak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan
penciptaan seperti penciptaan alam semesta, atau ketika Allah mengatakan
mengenai ayat-ayat (tanda-tanda)-Nya yg berada di alam. Atau ketika Allah
mengatakan “Kami maafkan”, saat itu Allah sedang mengagungkan Diri-Nya
sebagai Maha Pemaaf.
Sedangkan ketika Allah menggunakan kata “Aku”, Allah sedang
menegaskan ketunggalan-Nya, hanya Dia, keunikan-Nya. Jadi ketika Allah
mengatakan “ayaati (ayat-ayat-Ku) di beberapa tempat dalam Al-Qur‟an,
bukannya “ayaatiina (ayat-ayat Kami)” sebagaimana yang digunakan di banyak
tempat yg lainnya dalam Al-Qur‟an, Allah ingin menegaskan bahwa semua tanda
-tanda, semua ayat-ayat itu adalah milik-Nya semata.
Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwasannya Al-Quran adalah kitab
yang penuh dengan muatan nilai sastra tingkat tinggi, tak heran jika dalam hal ini
al-Quran pun sering terdapat perubahan dan pengulangan di sebagian ayatnya dari
21
Penggunaan kata kerja masa lampau (fi'il mâdhi) dan kata kerja masa kini (fi'il
mudha'ri) pun mengandung pemahaman yang jauh berbeda. Kata kerja masa
lampau, misalnya menunjuk kepada peristiwa yang terjadi pada masa lampau,
sedangkan kata kerja masa kini menunjuk kepada peristiwa yang terjadi secara
berulang-ulang.9
Seperti contoh berikut:
….
...
/رط ۴ف( ٦ ۹ : ۹ )Artinya: Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki
kepada kamu dari langit dan bumi (QS. Fathir: 35)
Berdasarkan kaidah yang demikian pula, maka para ulama memahami lafal
yarzuqu dalam kalimat di atas, bahwa Allah memberikan rizki kepada
makhluk-Nya secara berulang-ulang dan berkesinambungan. Artinya pekerjaan memberi
rizki itu telah menjadi perilaku-Nya secara terus menerus. Itulah sebabnya Allah
di Dzariyat di sebut Razzâq. Dalam ayat 58Dengan begitu dapat dimengerti bahwa Razzâq atau Râziq adalah sifat
yang tetap dan tidak berubah-ubah, sementara yarzuqu menggambarkan suatu
sikap yang terlaksana secara berulang-ulang dan berkesinambungan, tapi bukan
sikap yang menetap pada dirinya. Contoh lain yang sejalan dengan ini, misalnya
kosa kata infâq. Dalam al-Quran dalam rangka mendorong umat agar berinfak
Allah selalu menggunakan fi'il mudhari dalam berbagai konjugasinya ,قف ت ,قف ي
وقف ت , وقف ي dan lain-lain, tidak menggunakan isim (kata benda). Itu berarti kata
9 Al-Suyûthi,
berinfak harus dilakukan secara berulang kali dan berkesinambungan secara terus
menerus, misalnya Allah berfirman:
ةبح لث ك ها ليبس يف مهلاومأ وقف ي يذلا لثم
...لب ا س عبس تتب أ
. Allah tidak berkata يقف لا لثم karena yang dikehendaki ialahagar mereka berinfak secara berulang-ulang dan terus menerus dan sifat mau
berinfak itu tidak perlu menyatu dalam diri mereka secara menetap. Berbeda
dengan iman, takwa, syukur dan lain-lain. Bentuk kosa kata tersebut dalam fi'il
mudhari dimaksudkan untuk memberikan pemahaman bahwa sifat-sifat tersebut
harus diperbarui secara terus menerus dan berkesinambungan.10
Kata kerja fi'il mudhari menunjukan pada sesuatu yang dilaksanakan
secara berulang-ulang tapi belum merupakan sifat yang menyatu dalam diri
pelakunya, serta pemakaian kata kerja masa lampau (fi'il mudhari) pula tidak
memberikan pemahaman yang spesifik karena ia menjelaskan kejadian suatu
peristiwa pada masa lampau. Pemakaian kata kerja pada masa lampau juga
memberitakan peristiwa yang akan terjadi di masa depan mengandung makna
bahwa peristiwa itu pasti akan terjadi, cepat atau lambat dan tidak dapat ditolak
oleh siapapun.11 Apabila suatu ayat menggunakan fiil mudhari tetapi yang
ditunjukkannya sudah lampau, dinisbatkan kepada Allah, maka hal itu
menunjukan terus menerus.12 Selai itu menunjukan pengertian yang sebenarnya
dan itu berarti kata tesebut memiliki makna yang menjadi fokus utama ayat
10 Nashruddin Baidan,
Wawasan Ilmu Tafsir (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), cet-1.,
hal. 322-323
11 Nashruddin Baidan,
Wawasan Ilmu Tafsir , hal. 325 12Rachmat Syafe'I,
23
Quran ini. kandungannya memiliki keberlangsungan sepanjang zaman, masa
sekarang dan masa mendatang13.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa pemakaian satu lafal dalam al-Quran
bukan secara kebetulan, melaikan sengaja dibuat dengan sedemikian rupa agar
membawa pesan yang dimaksud dengan tepat dan mengenai sasarannya dengan
jitu dalam membingbing umat ke jalan yang benar demi memperoleh kebahagian
dunia dan akhirat.
B. Objek (Pelaku) Taklif
1. nafs
Kata nafs (سفݎ) dalam bentuk mufrad disebutkan 77 kali tanpa idhâfah dan
65 kali dalam bentuk idhâfah. Kata tersebut terdapat dalam surat al-Baqarah ayat:
48, 233, 281, 286, 30, 185; surat al-Imrân ayat: 25, 28, 93; surat an-Nisa ayat: 1,
79, 83 dan lain-lain. Kata nafs dalam bentuk jamak mengikuti pola (wazan af'al)
dalam al-Quran disebutkan 184 kali, diantaranya ialah, al-Baqarah ayat: 155,
an-Nisa ayat: 128, an-Nahl ayat: 16, az-Zumar ayat: 42.
Untuk mengetahui makna kata secara morfologis (leksikal) yang paling
mudah dilakukan adalah dengan melihat kamus Mu'jam al-Wajiz memberi
padanan kata nafs dengan ruh dan zat (subtansi) sesuatu.14
Kata nafs adalah bentuk mashdar. Kata ini diderivasi dari kata
nafusa-yanfusu-nafs (indah; berharga) nafisa-yanfisu-nafs (kikir; melahirkan) ketika kata
ini menempati bentuk mashdar, memiliki berbagai makna, seperti mengandung
13 H.D. Hidayat,
al-Balaghah al-Jami'ah wa asy-syawahid min kalami al-Badi,
(Semarang: PT: Karya Toha Putra & Bina Masyarakat Qurani, tth), hal. 95,
14 Anonymous
pengertian mata, jahat, jasad, darah, tubuh, semangat, hasrat, kehendak, pendapat,
kemuliaan, hawa, hisapan, mufakat, orang, ruh, tegukan, model, ruh, akal, zat, dan
esensi.15
Dari pendapat Ali Atabik, kata nafs tampaknya memiliki banyak makna.
Dengan kata lain jenis kata tersebut dapat dikatakan sebagai jenis kata musytarak
lafdhi atau sebuah kata yang memiliki banyak makna. Ar-Râghib al-Ashfahâni,
menjelaskan kata nafs dengan memberikan padanannya yaitu dengan kata rûh.
)
حورسلا :سفݏلا
( Abdul Khamid Zahwan memberikan penjelasan makna kata nafs
dengan ruh, tubuh, nyawa, diri seseorang, darah, niat, orang dan kehendak16.
Ibrahim Anis dalam Mu'jam al-Wasith memaknai kata nafs dengan kata ruh,
seperti dalam kalimat kharajat nafsuhu (ruhnya keluar) artinya ia telah mati.17
Manurut Abu Husen Ahmad bin Faris bin Zakariya kata nafs berasal dari kata
huruf nun-fa, dan sin. Kata ini mengandung pengertian bagaimana keluarnya
sesuatu yang lembut seperti, angin dan sebagainya ruh dan darah.18
Kata nafs dalam al-Quran disebutkan dalam bentu-bentuk kata jadian
seperti nafs, anfus, nufûs, tanâfasa, yatanâfasu, dan mutanâfisan. Kata nafs dalam
bentuk kata kerja hanya disebutkan dua kali. Satu dalam bentuk fi'il mâdhi, dan
yang satu dalam bentuk fi'il mudhâri. Kedua kata nafs tersebut sudah mengalami
perubahan pola (wazan) atau telah mengalami proses afiksasi yaitu tanaffasa
15Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor,
al-Mu'jam al-Ashri, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak, 1999), hal. 1932-1933., Lihat Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi Idris
al-Marbawi, Juz-1, karya (Indonesia: Karya Insani), hal. 334 16Ar-Raghib al-Ashfahani,
Mu'jam Mufradat al-Fadl al-Quran (Beirut: Libanon, Dâr
al-Fikr, tth), hal. 522
17 Abdul Khamid Zahwan,
Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa
Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal.549
18 Ibrahim Anis,
al-Mu'jam al-Wasith (Maktabah wa Syirkah Makhfa al-Babi al-Halabi
25
(سفݏت) dan yatanâfasu (سفاݏتي). Dalam bentuk tanaffasa artinya bernafas, menarik
nafas dan bersenang diri.19 Ibn Mandhûr memaknai kata tanaffasa dengan
padanan kata minum (syariba), terbit (thala'), atau menyinari (nawwara).20
Sedangkan dalam bentuk yatanâfasu (سفاݏتي) maknanya adalah (يف بغر)
menyukai.21
Adapun kata nafs yang mengalami perubahan bentuk hanya satu kata yaitu
al-Mutanâfisûn(وسفاݏتلا) kata jadian ini terdapat dalam surat al-Muthaffifin ayat
26. Secara leksikal kata tersebut merupakn bentuk ism fa'il dan fi'il mâdhi سفاݏت
سفاݏتي jadi kata al-Mutanâfisûn bermakna "orang yang menyukai".22 Walaupun
kata itu berasal dari kata nafasa dan nafisa tetapi kata jadian tersebut terlalu jauh
dari makna kata dasarnya.
Ada pula kata jamak dimana suatu benda yang berjumlah dua atau lebih.
Dalam pendekatan semantik jika sebuah kata berbentuk jamak, tetapi belum
bergabung dengan kata lain maka tetap disebut kata tunggal. Semua kata nafs
dalam al-Quran yang berbentuk jamak adalah bermakna kully/tarkiby (karena
sudah bergabung dengan kata lain). Kata nafs dalam al-Quran yang menunjukan
jumlahnya lebih dari dua disebutkan sebanyak 160 kali. Al-Quran menyebutkan
dua kali dalam bentuk nufûs yang mengikuti pola bentuk jamak (لوعف) dalam
bahasa Arab seperti dalam surat at-Takwir ayat 7 dan al-Isra ayat 25; dan 158
dalam bentuk anfus mengikuti pola bentuk jamak (لعفأ). Seperti di bawah ini:
19 Abdul Khamid Zahwan,
Kamus al-Kamil: Arab-Indonesia-Arab (Maktabah wa
Mahbaah Usaha Keluarga: ttp, tth), hal. 549
20 Ibn Mandzur,
Lisân al-Arab (Dâr al-Ma'arif: ttp, tth), jil-VI.,hal. 237 21 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki,
al-Mukhtâr min Shihhah al-Lughah, hal. 533 22 Muhammad Abd al-Lathif al-Sabaki,
/ريوكتلا( ٨٤ : ۷ )
...
/ءارساا( ٤۷ : ٠٦ )
... /۹ارق۸لا( ٠ : ٥ ٨ ٠ )
...
(
/۹ارق۸لا ٠ : ٠۹۹ )Pada surat al-Baqarah ayat 233 dan 286 di atas kata nafs mengandung
pengertian "individu" manusia dalam arti fisik manusia dari sisi luarnya dan psikis
manusia dari sisi dalamnya. Karena secara konteks linguistik kata nafs salah satu
kata yang menjadi unsur kalimat dari dua struktur kalimat yaitu "la tukallafu
nafsun ila wus 'aha" dan struktur kalimat "la yukallifullahu nafsan ilâ wus 'aha"
kata nafs pada kedua struktur di atas berfungsi sebagai pergerakan manusia.
…
/ء۴سنلا( ١ : ١ ٨ )Kemudian kata nafs dalam surat an-Nisa ayat 84 di atas bermakna
kewajiban karena berhubungan dengan kalimat "fa qâtil fi sabilillâh lâ tukalafu
'illa nafsaka". Kata nafs bermakna kewajiban dalam ayat ini, karena berkaitan
dengan asbâb an-nuzûl dan sejarah ayat ini diturunkan. Berdasarkan konteks
sejarahnya, ayat ini muncul karena merupakan perintah Allah kepada Nabi
27
dengan keengganan dengan sebagian orang-orang Madinah untuk pergi berperang
bersama Nabi ke tempat itu.