• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE DIALOG DALAM AL QURAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "METODE DIALOG DALAM AL QURAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

LANDASAN DIALOG AL-QUR’AN

Adapun landasan awal dialog al-Qur’an yaitu selalu berpegang pada pertimbangan logika dan ilmu.

Ilmu dalam istilah al-Qur’an dan filsafat islam sesuai dengan apa yang didefinisikan oleh para ilmuan bahwasanya ilmu adalah “mengetahui sesuatu secara pasti dengan dalil-dalil yang kuat disertai dengan kaidah-kaidah dan dasar-dasar logika.”

Dan ini dinamakan dalam istilah al-Qur’an : Pengetahuan dan Ilmu.

Oleh karena itu, ilmu mencakup aturan-aturan ilmiah yang berkaitan dengan materi, sebagaimana orang-orang barat menamakannya dengan “science” termasuk juga apa yang mereka ungkapakan dengan "knowledge".

Sebenarnya, perpaduan makna antara apa yang dinamakan "pengetahuan" pada hari ini dan apa yang dinamakan dengan "sains" dalam istilah barat, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh ilmuan islam tentang ilmu, yaitu: “mengetahui sesuatu secara pasti dengan dalil-dalil yang kuat disertai dengan kaidah-kaidah logika”.

Definisi ini mengkolaborasikan antara apa yang mereka kemukakan dengan "ilmu" dan apa yang mereka utarakan dengan "pengetahuan".

Sesungguhnya al-Qur’an berangkat dengan pertimbangan logika dan ilmu dalam artian yang luas dan menyeluruh, serta mengajak manusia untuk menjadikannya pegangan, saat melihat apa yang pantas dianut oleh mereka dari berbagai aliran dan pemikiran.

Kita bisa membaca hal itu pada nash al-Qur'an yang jelas ini, sebagaimana firman Allah:”Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui, karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani semuanya itu akan dimintai pertanggung

jawaban”. (Q.S.: Al-Isra 17 : 36)

Nash ini memberikan peringatan untuk mengikuti setiap keyakinan, kecuali ada

(2)

Tidak diragukan lagi bahwasanya peringatan yang belaku secara umum ini mencakup semua aliran-aliran agama termasuk Islam.

Seolah-olah nash al-Qur’an mengatakan : ”Keyakinan apapun dan siapapun yang mengajak pada keyakinan itu, jadikanlah pertimbanganmu dalil ilmiah yang netral dan bersih dari aib dan hawa nafsu ketika menerima atau menolaknya".

Setelah al-Qur’an memulai dialog dan ajakannya dengan pertimbangan ini, dan menyeru semua manusia bersatu menjadikannya arbitrasi dan pokok landasan. Al-Qur'an memberikan peringatan dari kesesatan hukum yang berlandaskan hawa nafsu, fanatisme atau kepentingan pribadi dan mencela orang yang menjadikan hawa nafsu dan kepentingan pribadinya sebagai ganti dari ilmu ketika berdebat dengan yang lain.

Maka Allah berfirman :”Dan di antara manusia ada yang berbantahan tentang Allah tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang memberi peringatan. Dengan memalingkan hatinya untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah.” (Q.S. Al-Hajj 22 : 8-9).

"Katakanlah Muhammad, apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu

kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka dan kamu hanya

mengira.” (Q.S. Al-An'am 6 : 148).

”Dan di Antara manusia ada yang mempergunakan percakapan kosong untuk

menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu da menjadikannya olok-olokan. Maka

mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (Q.S. Luqman 22 : 6).

Ini adalah prinsip awal al-Qur’an dalam dialognya dengan seluruh manusia dan merupakan perinsip yang dituntut kepada seluruh manusia agar mempergunakannya dalam dialog mereka.

(3)

METODE DIALOG DALAM AL-QUR’AN

Adapun metode yang digunakan oleh al-Qur’an terhimpun dalam beberapa poin berikut:

Poin Pertama:

Dengan melihat fakta-fakta ilmiah, ada yang berkaitan dengan materi yang bisa diteliti dan dibuktikan, ada pula yang mistik yang tidak bisa diketahui dengan menggunakan dua metode ini. Al-Qur’an telah menceritakan kepada kita tentang fakta-fakta ilmiah, tanpa memberikan kepastian dalam bentuk nash yang pasti tentang keadaannya, kecuali hal-hal yang mistik, yang tidak memiliki cara untuk diteliti, dibuktikan, dan diungkapkan kebenarannya, seperti fakta-fakta yang berkaitan dengan hal-hal setelah mati, antara lain: informasi Allah tentang kehidupan kedua dan kejadiannya, sebagaimana kebanyakan berita-berita lama yang melegenda.

Dan jangan lupa apa yang kami telah katakan bahwa al-Qur’an tidak membedakan antara pengetahuan dan imu, keduanya masuk dalam defenisi ilmu, sebagaimana penjelasan terdahulu.

Oleh karena itu, apabila hal-hal mistik telah diketahui secara pasti melalui bukti-bukti ilmiah yang sesuai, maka hal tersebut dikategorikan ke dalam fakta-fakta gaib yang nyata.

(4)

Hal ini tidak diwajibkan oleh al-Qur’an kepada salah seorang pun sebagai penghargaan terhadap akal mereka dan mendorong mereka untuk menemukan fakta-fakta yang bersifat materil yang dirasakan oleh panca indera sesuai dengan metode yang logis yang tidak ada gantinya, yaitu melalui metode penelitian dan observasi.

Renungilah nash-nash al-Qur'an berikut, bagaimana ajakan para peneliti dan pemikir untuk mengungkap teori-teori astronomi, perbintangan, geografis, dan teori-teori yang digunakan untuk meneliti tubuh manusia!!

Hendaklah kita melihat bagaimana nash tersebut memprovokasi mereka untuk menggunakan metode-metode pemikiran dan materil mereka untuk mendapatkan fakta-fakta ilmiah yang tepat, tanpa ada ketetapan langsung dari al-Qur'an.

Sebagaimana Allah Swt. berfirman :

“katakanlah, “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi!” (Q.S. Yunus 10: 101).

“Dan di bumi terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang yakin. Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikannya?” (Q.S. al-Dzariyat

51 : 20-21).

“Dan kami jadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan lain-lain)”. (Q.S.

al-Anbiya 21 : 32).

“Dan berapa banyak tanda-tanda (kebesaran Allah) di langit dan di bumi yang mereka lalui, namun mereka berpaling darinya”. (Q.S. Yusuf 12 : 105).

(5)

Disatu sisi al-Qur’an menjelaskan secara detail perkara-perkara gaib yang tidak dapat dirasakan oleh panca indera dan menyatakan kebenarannya dengan keputusan yang diratifikasi. Dengan demikian, tidak ada lagi jalan untuk mengetahuinya melalui metode penelitian dan pembuktian. Hanya ada satu metode ilmiah yang menggabarkan tentang hal itu, yaitu pemberitahuan Allah Swt.

Poin Kedua:

Sesungguhnya al-Qur’an dalam dialog dan diskusinya dengan manusia, mencegah bentuk paksaan untuk mengikuti apa yang telah ditetapkannya sebagai kebenaran.

Akan tetapi, al-Qur'an selalu menghidari hal itu. Dia hanya memberikan penjelasan dan menghilangkan sebab-sebab kesamaran yang dapat mencampurkan antara hak dan yang bathil dan menyembunyikan tanda-tanda yang bisa memisahkan antara keduanya.

Sesungghnya dakwah Islam yang diperintahkan oleh al-Qur’an kepada Muhammad Saw, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikutinya, sebagaimana dalam firman Allah swt: “Serulah mereka ke jalan tuhanmu dengan jalan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (Q.S. An-Nahl 16 : 125). Dalam metode

al-Qur’an semestinya tidak boleh melewati batas, yaitu hanya menunjukkan kebenaran kepada manusia, diperkuat dengan dalil-dalil ilmiah, dan memperingatkan mereka dari bentuk pertentangan dan berpaling dari kebenaran yang telah jelas menuju sikap fanatik dan sombong terhadap rasul-rasul dan nabi-nabi yang telah diutus serta kebenaran yang dibawa oleh mereka. Sebagai contoh firman Allah Swt. kepada Rasululah:

“Maka berilah peringatan karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka.” (Q.S.

Al-Gasyiyah 88 : 21-22).

“Dan jikalau tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang yang di muka

bumi. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman

(6)

“Tidak ada paksaan untuk agama (Islam) sungguh jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” (Q.S. Al-Baqarah 2 : 256)

Adapun sebab kedisiplinan al-Qur’an mempergunakan metode ini, dan perintah Allah kepada Rasul dan para da'i (yang berdakwah) untuk mengikuti metode ini juga, bahwasanya yang dituntut dari manusia kepada tuhannya yaitu mengetahui kebenaran yang dibawa oleh para rasul dan nabi, dan menjadikan pemikirannya menjadi keyakinan.

Keimanan atau keyakinan secara logis tidak akan dicapai tanpa adanya kebebasan meneliti dan berfikir, dan tidak kokoh tanpa adanya konsekuensi untuk mempergunakan akal dan membuat keputusan sendiri terhadap hal-hal yang membutuhkan analisis.

Oleh karena itu, para da'i dijalan Allah- yaitu para rasul dan nabi, serta orang-orang yang mengikuti mereka- sebaiknya tidak melampaui misi mereka sebagai orang yang mendekatkan kebenaran agama pada pemahaman manusia, dan menghilangkan syubhat (masalah-masalah yang samar kebenarannya) dan hal-hal yang dapat menghentikan mereka untuk mengetahui syubhat. Ditambah dengan penggunaan bukti-bukti ilmiah sebagai bantahannya, supaya menjadi prinsip untuk berdiskusi dengan orang-orang yang ragu dan yang bathil, dan berdialog dengan mereka.

Jika para da'i melampaui batasan ini dengan memaksa orang-orang menerima aqidah Islam, dan tunduk terhadap hukum-hukumnya, maka paksaan da'i tersebut hanya sekedar bentuk dan model saja, karena keinginan dan akal hanya dapat dikendalikan oleh Sang Pencipta.

Ketaatan secara formal melaui lisan terhadap akidah dan prinsip Islam sama sekali tidak akan bermanfaat di sisi Allah, dan Allah tidak memasukkannya dalam golongan orang-orang mukmin atau orang-orang-orang-orang muslim sama sekali.

(7)

Akan tetapi al-Qur’an telah memberikan peringatan kepada orang-orang yang melewati batas-batas dalam penyampaian, penjelasan serta dialog dari berbagai bentuk paksaan. Allah memerintahkan Rasulullah Saw. pada waktu itu untuk mengancam orang-orang yang sombong dan ingkar serta orang-orang-orang-orang yang lebih mementingkan mengikuti hawa nafsu mereka ketimbang mengikuti yang hak setelah jelasnya hak tersebut, dengan siksaan tuhan yang menunggu mereka dan mengintai mereka pada hari kiamat. Sebagaimana Firman Allah:

“Dan katakanlah (Muhammad): “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu barang

siapa menghendaki (beriman) hendakah ia beriman dan barang siapa menghendaki (kafir)

biarlah ia kafir, sesungguhnya kami telah menyediakan neraka bagi rang zalim yang

gejolaknya mengepung mereka, jika mereka meminta pertolongan (minum) mereka akan

diberi air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan wajah. Itulah minuman yang

paling buruk dan tempat istiraha yang paling jelek.” (Q.S. al-Kahfi 18 : 29).

“Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan. Engkau bukanlah orang yang berkuasa atas mereka. Kecuali (jika ada)

orang yang berpaling dan kafir. Maka Allah akan mengazabnya dengan azab yang besar.”

(Q.S. al-Ghasyiyah 88 : 21-24).

Dengan demikian, manusia bebas menjalin relasi dengan sesamanya manusia dengan mengikuti apa yang ingin diikuti dari kebenaran dan kebatilan, dan tidak ada hak bagi orang lain -siapapun itu- untuk memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, akan tetapi manusia tidak bebas tehadap hubungannya dengan Allah Azza wajalla, akan tetapi dia sebagai mukallaf, dalam artian dipaksakan oleh Allah mengikuti kebenaran yang disampaikan melalui para rasul dan para nabi, setelah menjadi jelas menurutnya, dan telah hilang darinya syubhat (keraguan-keraguan) dan masalah-masalah yang terselubung baginya.

(8)

Poin Ketiga:

Al-Qur’an memulai dialog dengan orang-orang sesat, ingkar, dan orang-orang yang memiliki kepercayaan dan pemikiran yang salah, dengan asumsi bahwa mereka adalah golongan yang benar dan berpegang teguh terhadap kebenaran, disertai bukti-bukti ilmiah dan pertimbangan logika yang memihak kepada mereka, karena metode tersebut merupakan metode yang sangat cocok dalam berdialog dan sejalan dengan apa yang diinginkan oleh kedua belah pihak yang sedang berdialog.

Oleh karena itu Allah memerintahkan Rasulullah Saw. untuk memberi pengajaran kepada orang-orang kafir dan musyrik dengan adanya pertimbangan kemungkinan untuk berdialog, dan Allah Swt. memerintahkannya untuk mengajak mereka membangun kerjasama untuk mencari kebenaran yang akan diyakini, dalam bentuk, arah dan kelompok apapun.

Sebagaimana Allah memerintahkan Rasulnya supaya mengajak mereka untuk mengetahui kebenaran itu dengan menggunakan dalil-dalil ilmiah yang menjadi penentu ketika terjadi suatu perbedaan, dan sebagai cahaya yang menerangi jalan, ketika kegelapan melanda.

Dalam artian al-Qur’an yang merupakan kalam Allah memberikan peringatan kepada Muhammad Saw. supaya tidak menuduh musuh terlebih dahulu sebagai orang batil dan sesat dari kebenaran.

Allah memerintahkan Rasulnya untuk menempatkan dirinya selevel dengan lawannya (orang-orang kafir), masing-masing merasa sangat perlu mengetahui kebenaran dan mengikutinya, dalam bentuk dan metode apapun, tanpa menghakimi terlebih dahulu sebagai aliran atau kepercayaan yang paling kuat terhadap yang lain.

(9)

Sesungguhnya ini merupakan metode manusiawi yang bernilai tinggi dalam mengajak pemikir mazhab atau kepercayaan yang lain untuk bekerja sama dalam menemukan mazhab yang benar tanpa memberi prioritas kepada salah satu dari mereka untuk terlebih dahulu mengetahui dan memilihnya, termasuk islam.

Metode ini tidak membedakan, baik pembicara maupun lawan bicaranya.

Tidak ada dalam metode ini ada da'i yang mengklaim terlebih dahulu bahwa dirinya benar dan yang lain salah, dan tidak ada juga dalam metode ini paksaan terhadap lawan bicara untuk mengikuti yang tidak diinginkannya, akan tetapi ini merupakan seruan Allah melalui al-Qur’an kepada seluruh umat manusia, untuk bekerja sama melalui pertemuan dan saling membantu mengetahui kisah awal dan akhir penciptaan alam semesta, mengetahui identitas dan posisi manusia yang hidup di dalamnya, dan mengetahui nasib yang harus dilaluinya.

Allah memerintahkan kepada seluruh umat manusia untuk mencari kebenaran ini melalui kerjasama yang baik. Tidak ada dalam metode ini istilah pengikut dan yang diikuti atau atasan dan bawahan, semuanya sama di hadapan Allah Swt.

(10)

CONTOH DIALOG AL-QUR'AN

Kemungkinan terbaik yang dimunculkan metode al-Qur’an yang istimewa ini, dan pentingnya metode tersebut, yaitu memperdengarkan kepada kita sebagian contoh dari Al-quran dalam berdialog yang mengadopsi bentuk kolaborasi dengan yang lain.

Mari kita merenungi firman Allah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak

kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak

(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah." Jika mereka

berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang

yang berserah diri (kepada Allah)." (Q.S. Ali 'Imran 3 : 64).

Sebagaimana kita perhatikan bahwasanya metode tersebut merupakan seruan untuk melakukan suatu konvergensi dan kerjasama dalam satu level, untuk menghilangkan penyembahan manusia terhadap sesamanya manusia, dan lebih mengenal Tuhan Yang Esa yang seharusnya disembah dengan benar, Tuhan yang layak untuk diikuti peraturanNya dan tunduk dibawah kekuasaanNya. Siapa saja boleh ikut bekerjasama dan saling membantu untuk mencapai tujuan mulia ini, dan siapa saja boleh berpaling dari tujuan tersebut.

Kalian perhatikan metode ini dalam menentukan pemilik mazhab yang benar dan mazhab yang batil. Sebagaimana dalam firman Allah Swt.: "dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang

nyata." (Q.S. Saba' 34 : 24).

(11)

kelompok lepas dari keraguan, semuanya harus bekerja sama dan saling membantu untuk kembali mempergunakan logika dan ilmu pengetahuan serta kaidah-kaidahnya.

Tidak ada maksud dari metode dialog tersebut kecuali hanya untuk menghilangkan keistimewaan da'i dalam dakwahnya. Menjauhkan diri dan tindakannya dari karakter pengajar yang tenang karena merasa benar dengan mazhab-mazhab dan pemikirannya dibandingkan dengan yang lain, sehingga terkadang pihak lain merasa rendah diri dan merasa terjerumus dalam kebodohan dan kesesatan.

Mari kita renungi firman Allah Swt. sebagai tanggapan terhadap apa yang telah dikatakan tentang Nabi Isa As.: "Katakanlah (Muhammad), Jika benar Tuhan Yang Maha Pengasih mempunyai anak, maka akulah orang yang mula-mula memuliakan (anak itu)".

(Q.S. Az-Zukhruf 43 : 81).

Meskipun Allah Swt. yang berkata tentang diri-Nya sendiri dalam al-Qur'an: "Katakanlah (Muhammad), Dia-lah Allah Yang Maha Esa, Allah tempat meminta segala

sesuatu, (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan". (Q.S. Al-Ikhlas 112 : 1-3). Dan

walaupun Nabi Muhammad Saw. mengetahui hal itu secara yakin, akan tetapi Allah memerintahka kepada Rasulullah ketika berdialog dan berdakwa dengan mereka agar menerima terlebih dahulu kebenaran keyakinan mereka terhadap Nabi Isa As.

Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya supaya menegaskan kepada mereka, jika ilmu pengetahuan telah membuktikan bahwa Tuhan Yang Maha Pengasih memiliki anak, maka Rasulullah adalah orang yang paling pertama akan mendahului mereka menyembah anak dan bapak secara bersamaan.

(12)

Selanjutnya hendaklah kita perhatikan ungkapan berikut yang mengandung pandangan tersendiri terhadap metode ini atau etika dalam berdialog, yang terdapat pada akhir dialog yang terurai dengan satu tujuan:

Firman Allah Swt.: “Katakanlah: Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kamu perbuat dan kamu tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu

perbuat.” (Q.S. Saba' 34 : 25).

Sesungguhnya firman Allah tersebut diatas merupakan jawaban untuk mereka orang-orang yang telah menuduh Rasulullah dan para sahabatnya mengada-ngada tentang Allah atau menuduh mereka sebagai tukan ramal dan pembohong.

Hal itu datang setelah berdialog secara logika bersama mereka, lalu al-Qur'an menanyakan mereka: "Apakah sesuatu ini yang kalian jadikan tuhan lalu kalian sembah mampu mendatangkan rezeki kepada kalian, melindungi kalian dari bencana, atau melepaskan kalian dari penderitaan?

Apakah kalian telah mencari atau meneliti, lalu kalian temukan diantara ciptaan (makhluk) ada yang bisa menggantikan kedudukan Allah Swt. sebagai pencipta, dan menjadikan tuhan yang serupa dengan-Nya yang berasal dari makhluk

Ketika dialog ini menjadi perdebatan panjang tanpa hasil, dan orang-orang musyrik berketetapan hati bahwa sesungguhnya mereka benar dalam keyakinan mereka dan sesungguhnya Muhammad beserta para sahabatnya adalah orang-orang yang batil dan jahat. Al-Qur’an menutup rangkaian diskusi dan dialog dengan ayat yang telah kita dengarkan tadi.

Sesungguhnya Allah Swt. dalam ayat tersebut memerintahkan kepada Nabi Muhammad supaya mengalah pada akhir dialognya dengan mereka sebagaiman mereka yakini, mereka adalah yang benar dan Muhammad serta para sahabatnya adalah orang-orang yang jahat dan batil.

(13)

dengan mereka, bahkan mereka tidak akan mendapatkan siksaan dari perbuatan Muhammad dan sahabatnya, akan tetapi mereka akan menanggung kejahatan mereka sendiri jika mereka memang demikian. Adapun kebenaran yang diyakini oleh orang-orang musyrik sesungguhnya akan kembali kepada mereka dan semua kebaikan untuk mereka sendiri bukan untuk orang lain.

Kemudian al-Qur’an mengakhiri rangkaian dialog dengan membawa semua manusia di hari kiamat pada tempat yang lebih besar dan luas. Dimana pada saat itu Allah Swt. mengumpulkan semua manusia di padang mahsyar; dan dibukalah penglihatan mereka dari tabir-tabir kesimpangsiuran, ketidaktahuan, dan menghilangkan dari diri mereka sifat fanatik dan pembangkang. Maka yang samar-samar menjadi nyata, perselisihan jadi hilang, dan nampaklah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak diragukan lagi oleh semua manusia.

Renungkanlah di akhir dialog ini firman Allah Swt: “Katakanlah: Tuhan kami yang menyatukan diantara kami kemudian Dia membukakan diantara kami kebenaran dan Dia

Maha Pembuka dan Maha Mengetahui segala sesuatu”. (Q.S. Saba' 34 : 26).

(14)

KESMPULAN

Demikianlah prinsip dan metode dialog dalam al-Qur’an, dengan tujuan sebagai berikut:

Tidakkah kalian melihat bagaimana yang dibutuhkan jiwa manusia, diinginkan oleh akal dan dibanggakan pada setiap masa?

Demi Allah, bahwasanya diantara hasil dari dialog tersebut, umat Islam yang hidup berdampingan dengan ahli kitab, mereka bersatu dibawah naungan masyarakat islam, mereka adalah masyarakat social dan politik.

Di Negara Syam misalkan ketika tentara Salib masuk, panglima tentaranya mengirim surat ke pemimpin umat Nasrani, dia menanyakan perihal keputusan yang mereka ambil; apakah mereka akan merapat ke saudara mereka yang beragama islam atau mendukung seagama mereka yang baru saja datang?

Maka mereka menjawab: kami berada di sisi saudara kami umat islam, dan sejarah membuktikan bagaimana orang-orang muslim dan orang-orang nasrani bersatu memerangi tentara salib dalam satu parit.

Di Spanyol ketika peradaban islam berjaya di tengah kegelapan masyarakat Eropa yang berbeda-beda, kebahagiaan orang-orang Eropa baik Nasrani maupun Yahudi tidak kurang dari kebahagiaan ummat Islam yang membawa kejayaan.

Di Granada sendiri terdapat kurang lebih 50 rumah sakit yang menerima orang-orang Muslim, Nasrani, dan Yahudi tanpa ada keistimewaan dan perbedaan diantara mereka.

Dan disana terdapat tidak sedikit 10 universitas dan institute dengan displin ilmu yang bermacam-macam menerima orang-orang muslim dan lainnya secara merata.

(15)

dihiasi dengan lampu-lampu hias yang bergantung dijalanan, gangnya dan jalanannya dihiasi dengan batu-batu yang halus.

Semua manusia termasuk orang-orang muslim, Nasrani dan Yahudi di bawah naungan peradaban Islam dan mereka merasakan hasilnya tanpa perbedaan status sosial.

Itulah kehidupan Islam diseluruh muka bumi yang dicapai dan dikuasainya. Islam tidak akan tersebar kecuali melalui metode da'wah yang berdasarkan dialog, tidak tinggal dalam pikiran kecuali dengan keyakinan, tidak terpatri dalam jiwa kecuali dengan kekuatan cinta.

Apakah bagi orang-orang yang sudah profesional berlaku dzalim dan selalu melekatkan kedustaan terhadap Islam akan bebas dan lepas dari kedustaan yang mereka buat yang dari awal cacat dan jelas keburukannya?

Apakah bagi orang-orang yang sesat yang tidak tahu etika dan metode al-Qur'an akan kembali dari kesesatan mereka di dalam jurang radikalisme dan kebodohan menuju pendidikan al-Qur'an yang mempunyai fungsi dalam perkembangan peradaban islam yang bernilai tinggi. Itukah yang menaungi ummat manusia dalam naungan keadilan, ketenangan, keselamatan, dan keamanan?

Kita menunggu jawaban pertanyaan ini dari Allah Swt, bukan dari hamba-Nya, kami menunggu dari Allah petunjuk dan perhatian bagi orang-orang muslim dan yang tersesat, dan kami menunggu kebinasaan dan kehancuran bagi orang-orang dzalim lagi sombong.

تاحلاصصلا مصتت هتمعنب يذلا هلل دمحلاو

Referensi

Dokumen terkait

Tegasnya, Syaykh Abd Aziz bin Abd Salam telah memberi suatu sumbangan yang besar terhadap metodologi pentafsiran kepada pengajian tafsir di Malaysia.. Sumbangan

PPKA Bodogol atau yang dikenal dengan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol adalah sebuah lembaga konservasi alam di daerah Lido Sukabumi dan masih merupakan bagian dari

Perseroan Terbatas (PT), dulu disebut juga Naamloze Vennootschaap (NV), adalah suatu persekutuan untuk menjalankan usaha yang memiliki modal terdiri dari Saham,

Tabel 3 menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perubahan skor tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku ibu serta tingkat kecukupan energi,

Ruang lingkup penelitian ini hanya akan menganalisis “Pengukuran Efektivitas Iklan Televisi Es Krim Wall‟s Magnum Terhadap Mahasiswa Program Diploma IPB Menggunakan

Di Indonesia ada penelitian mengenai perilaku seks pranikah, antara lain penelitian yang dilakukan Pawestri dan Dewi Setyowati (2012) juga melakukan

Sedangkan pada saat perekonomian dianggap terlalu cepat yang ditandai dengan pertumbuhan yang tinggi dan tingkat inflasi yang juga tinggi, maka kebijakan fiskal dan

Hubungan antara penerimaan teman sebaya dan kesepian dengan kecanduan gim daring (Online Game) pada remaja di Jakarta.. Pratama,