• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terjemahan al-qur'an departemen agama edisi revisi 1989 pada ayat-ayat eksklusivitas dan inklusivitas islam : analisis wacana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Terjemahan al-qur'an departemen agama edisi revisi 1989 pada ayat-ayat eksklusivitas dan inklusivitas islam : analisis wacana"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA

EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT

EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM :

ANALISIS WACANA

Oleh :

Alhafiz Kurniawan

NIM: 104024000828

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Juni 2009

(3)

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI

REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra

Oleh Alhafiz Kurniawan NIM. 104024000828

Di bawah bimbingan,

DR. Sukron Kamil MA NIP. 1502828400

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TERJEMAHAN ALQURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM: ANALISIS WACANA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 22 Juni 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.s) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 22 Juni 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, M.A. Ahmad Syaekhuddin, M.Ag. NIP: 150 262 446 NIP: 150 303 001

Anggota,

(5)

TERJEMAHAN AL-QURAN DEPARTEMEN AGAMA EDISI

REVISI 1989 PADA AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN

INKLUSIVITAS ISLAM : ANALISIS WACANA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Sastra

Oleh Alhafiz Kurniawan NIM. 104024000828

Di bawah bimbingan,

DR. Sukron Kamil MA NIP. 1502828400

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(6)

ABSTRAK

Eksklusifitas Islam merupakan fenomena pemahaman keagamaan yang mengajarkan bahwa hanya Islam (sekte dari Islam versi resmi) saja yang diridhai Allah. Hal ini dengan sendirinya mengeksklusi agama, aliran kepercayaan lain, atau sekte lain dalam agamanya. Keberadaan mereka ditandai oleh perasaan adanya privilese (superioritas) di ranah publik sementara Inklusifitas Islam menawarkan satu keyakinan bahwa agama, aliran kepercayaan, atau sekte lain dalam agamanya menjadi bagian dari dirinya. Pada ranah publik, mereka tidak memandang Yang Lain sebagai pihak subordinat atau inferior.

Kedua pandangan dunia ini ternyata menginfiltrasi ke dalam aspek kehidupan, bahasa tak terkecuali. Hal ini bisa dilihat dari organ terkecil bahasa, seperti pemilihan diksi, hingga menjadi satuan makna utuh dalam kalimat tersebut. Kecuali interaksi sosial, bahasa merupakan fenomena yang tak bisa diabaikan begitu saja dalam manifestasi suatu ideologi tertentu. Sekalipun subtil sifatnya, bahasa merupakan ruang / medium yang tidak netral sekaligus menjadi sasaran suatu ideologi. Tidak sampai di situ, bahasa juga menjadi ‘aparat ideologis’ dalam melanggengkan otoritas atau sebagai pasukan ideologis yang membendung satu ideologi yang dianggap sebagai lawan. Sampai di sini, terjadilah apa yang disebut antagonisme sosial dimana satu wacana saling bertabrakan, melakukan perjumpaan, bersinggungan, bertumbukkan satu sama lain.

Untuk itulah analisis wacana menelusuri atau melacak ideologi sebelum terwacanakan dan juga melacak efek dari wacana. Manifestasi ideologi dalam suatu wacana menghasilkan panopticon. Panopticon merupakan sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas.

Penelusuran (genealogi) ideologi yang terwacanakan ini menjadi penting yaitu dengan mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi. Artinya ada rintisan-rintisan sejarah yang panjang dan terus menerus terbangun (dikonstruksi dan terus direkonstruksi dan direproduksi) dalam sebuah ideologi. Menimba inspirasi dari Foucault di mana pengetahuan sangat erat kaitannya dengan kekuasaan (otoritas keagamaan). Baginya, pengetahuan menjadi intrumen sebuah otoritas (keagamaan dalam konteks ini) atau dalam kosakata Louis Althusser disebut sebagai aparat ideologis). Sebaliknya, sebuah kekuasaan cenderung memproduksi pengetahuan. Pengetahuan versi resmi inilah yang terus dimapankan. Sehingga kebenaran dengan sendirinya ter(di)bentuk dan direproduksi secara kontinu. Kebenaran versi resmi inilah yang disebut kebenaran superior yang dengan sendirinya mengeksklusi kemungkinan-kemungkinan kebenaran di luar versi lain melalui mekanisme kategorisasi dan upaya normalisasi secara otomatis dalam alam bawah sadar / benak masyarakat.

(7)
(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada Penulis, sehingga skripsi yang merupakan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini dapat Penulis selesaikan.

Salawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarganya, dan para sahabatnya. Semoga kita semua mendapatkan syafa‘atnya di Hari Akhir. Amin!

Dalam kata pengantar ini, Penulis akan mengucapkan terima kasih kepada Dr. H. Abd. Chair, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah dan Ahmad Saehuddin, M.Ag., Sekretaris Jurusan Tarjamah.

Terima kasih banyak juga Penulis ucapkan kepada pembimbing Dr. Sukron Kamil MA., yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukannya serta kesabarannya dalam bimbingan; terima kasih kedua kalinya juga kepada beliau selaku pembimbing akademik yang telah mengarahkan, mengajarkan, dan mendidik Penulis selama menjadi santri di Fakultas Adab dan Humaniora.

(9)

Mahyuddin Syah M.Ag. DR. Ismakun Ilyas MA., Darsita M.Hum, Ahmad Syatibi M.Ag, Dra. Faozah sebagai dosen Penulis. Semoga amal mereka diterima Allah Swt. Amin!

Ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua, Djamalluddin dan Triyani yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan moral dan finansial Penulis, sehingga penyusunan skripsi ini terasa lebih ringan. Bapak juga yang pertama kali menanamkan sebuah minat baca, bukan sekedar membaca tetapi juga membaca kehidupan manusia secara filosofis. Begitu juga, kepada kakek dan nenek Penulis, KH. Hasbullah yang telah memperkenalkan Penulis dengan khazanah Arab klasik dan khazanah Arab-Melayu kuno, dan Hj. Munaroh. Kepada Mbah Sukarto juga penulis mengucapkan terima kasih. Kedua kakek penulis inilah yang mengajarkan penulis bagaimana budaya lokal meresistensi dari intervensi budaya luar, tidak terkecuali Arab. Kepada paman-paman khususnya bpk. Mufreni yang berapi-api menganjurkan Penulis untuk masuk ke jenjang perguruan tinggi, adik-adik, Alfaiz Irsyad dan Zainal Irfan, sepupu-sepupu juga yang telah menghibur Penulis di kala kejenuhan menyergap. Penulis juga berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada Umi Ruchaniyah beserta keluarga yang menjadi oase ketika mesin di kepala Penulis kepanasan melakukan mekanismenya.

(10)

mitra Penulis membincangkan seni dan budaya. Penulis juga berterima kasih kepada teman-teman di Jurusan Tafsir Hadis, Iskandar dan juga Syafa‘at yang telah meminjamkan bahan skripsi kepada Penulis, khususnya kepada Mahsun sebagai teman diskusi yang cukup bersemangat.

Kepada keluarga besar forum kajian sosial dan keagamaan Piramida Circle Jakarta, Noorrahman (Maman), Abdullah Alawi (Abah), Almawardi (Saprol), Ujang Makmun, Rauf, Mukhlisin (Lisin), Ulum, Nafi, Faiq (ICAS), Ali (Romo), dan Dedik, Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada mereka semua sebagai mitra diskusi yang cukup dinamis. Pada forum inilah Penulis bersentuhan dengan berbagai macam displin, seperti; Islamic Studies, Postcolonial Studies, NU

Studies, sosial dan kebudayaan (cultural studies) terutama yang tidak kami dapatkan di bangku kuliah. Di sinilah penulis membentuk diri sekaligus dibentuk dalam atmosfer yang menjadi ciri khasnya tersendiri.

Penulis juga berterima kasih kepada semua pihak yang kenal Penulis dalam perjumpaan di dunia ini, termasuk teman-teman KKN dari Fakultas Ekonomi, namun tidak disebutkan satu persatu karena memang Penulis menyadari bahwa setiap representasi pasti ada misrepresentasi. Semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi peminat penerjemahan khususnya penerjemahan Alquran. Semoga masukan dan saran-saran dari semua pihak dapat melengkapi skripsi ini. Amin!

(11)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR ISTILAH ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metodologi Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II PIJAKAN TEORI ... 16

A. Kritik Definisi Penerjemahan... 16

B. Metode-Metode Penerjemahan... 26

C. Sekilas Wacana dan Ideologi ... 29

BAB III EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM... 38

A.Turbulensi Perebutan Makna, Eksklusivitas dan Inklusivitas ... 38

B. ‘Menulis Keimanan’ di Tengah Social Disorder... 44

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN AYAT-AYAT EKSKLUSIVITAS DAN INKLUSIVITAS ISLAM ... 54

A. Tektualisasi (Terjemahan) Ayat-Ayat Eksklusivitas dan Inklusivitas Islam ... 54

B. Kontestasi Pemahaman ’Wahyu Progresif’ dan ’Wahyu Regresif’ 69 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran ... 86

(12)

DAFTAR ISTILAH

Anakronik : Ketidakcocokan dengan zaman tertentu.

Absolutisme : Sesuatu yang mutlak, tak terbatas, dan tidak dapat diragukan lagi.

Agama paripurna : Agama yang menyajikan segala macam kebutuhan manusia, mulai dari aspek akidah, syari‘at, etika, politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan dan lain-lain.

Ahistoris : Berlawanan dengan sejarah.

Aku : Manusia sebagai individu dibentuk yang dibentuk secara sosial lewat bahasa, pengetahuan, dan ideologi yang telah ada.

Alienasi : Terasing dan terisoalasi.

Ambigu : Bermakna lebih dari satu sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan. Ambivalensi : Bercabang dua yang masing-masing bergerak menuju ke

arah yang berlawanan di waktu yang bersamaan.

Anomali : Ketidaknormalan, penyimpangan dari normal dan kelainan.

Anomi : Gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai manifestasi.

Antagonisme sosial : Pertentangan antara dua atau lebih paham masyarakat yang berlawanan.

(13)

Aposisi : Ungkapan yang berfungsi menambah atau menjelaskan ungkapan sebelumnya dalam kalimat yang bersangkutan. Apriori : berpraanggapan sebelum mengetahui (melihat,

menyelidiki dsb.) keadaan yang sebenarnya.

Artikulasi : kesatuan sementara beberapa elemen diskursif yang tidak harus selalu terikat bersama. Sebuah artikulasi adalah bentuk koneksi yang bisa menyatukan dua elemen yang berbeda dalam kondisi tertentu. Artikulasi mengandung arti ekspresi/representasi dan penyatuan. Misalnya persoalan gender bisa terkait dengan persoalan ras secara konteks spesifik dan kontingen.

Ber-Tuhan Menurut Standar Resmi : Memegang teguh keyakinan yang distandarkan oleh mainstream (termasuk negara).

Biner : Terjadi dari atau ditandai oleh dua benda atau dua bagian; serba dua.

(14)

Cultural Studies : Bidang penyelidikan interdisipliner atau pascadisipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna.

Deifikasi : Pendewaan.

Dekonstruksi : Membongkar dengan tujuan mencari dan mengungkap asumsi-asumsi, strategi-strategi retorika, dan titik-titik buta teks. Peluruhan hierarki oposisi biner seperti realitas / penampakan, alam / budaya, akal / kegilaan, untuk menunjukan: (a) bahwa salah satu bagian dari sebuah biner dinilai rendah sebagai inferior; (b) bahwa biner-iner tersebut berfungsi untuk menjamin kebenaran; (c) bahwa masing-masing bagian dari sebuah biner saling terimplikasi dalam yang satunya.

Determinasi : Hal yang bersifat menentukan.

Diakronis : Suatu pendekatan berkaitan dengan perubahan historis di sepanjang waktu.

Disfemisme : Pengasaran bahasa.

Disruptif : Pencabutan hingga ke akar-akarnya. Distorsi : Perubahan bentuk yang menjadi bias.

Dominasi : Penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah dalam segala macam aspeknya.

(15)

Eklektis : Sebuah kecenderungan dalam sastra, seni, desain, dan arsitektur, berupa penggabungan sebuah gaya atau kode dengan gaya atau kode-kode lain yang berlainan sama sekali karakternya.

Eksklusi : Mengeluarkan pihak lain.

Elaborasi : Penggarapan secara tekun dan cermat. Eliminasi : Penyingkiran, pengasingan, dan pengeluaran. Eufemisme : Penghalusan bahasa.

Fast Food : Sesuatu yang mengacu pada segala bentuknya yang siap saji (siap pakai).

Feminisme : Gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.

Feodalisme Teks : Sistem pembacaan yang memberikan kekuasaan yang besar pada teks.

Fundamentalisme : Penganut gerakan keagamaan yang bersifat kolot dan reaksioner yang selalu merasa perlu kembali ke ajaran asli seperti tersurat dalam kitab suci.

Genealogi : Berkaitan keturunan dan garis asal usul. Penggunaan Foucauldian konsep ini dalam kajian budaya berarti mempelajari dan kesinambungan serta ketaksinambungan historis sebuah wacana pada saat ia dimainkan dalam kondisi-kondisi historis yang spesifik dan tak tereduksi. Gerakan Tarbiyah : Gerakan keagamaan yang menimba spirit dari gerakan

(16)

Globalisasi : Meningkatnya hubungan-hubungan global multiarah di bidang ekonomi, sosial, kultural, dan politik di seluruh dunia serta kesadaran kita tentang hal ini. Produksi global hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Terkait dengan institusi-institusi modernitas dan pemampatan ruang-waktu (time-space compression) atau dunia yang menciut.

Glokalisasi : Sebuah istilah yang digunakan untuk mengekspresikan produksi global dari hal-hal lokal dan pelokalan hal-hal global. Tentang bagaimana yang global sudah ada dalam yang lokal. Produksi hal-hal lokal, yaitu apa yang bisa dianggap sebagai lokal dalam wacana global.

Hedonisme : Aliran filsafat yang beranggapan bahwa yang baik dalam hidup adalah kesenangan dan kenikmatan material.

Hegemoni : Suatu penetapan makna yang bersifat sementara yang menyokong kelompok penguasa. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna pengatur dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi dimana sebuah “blok histories” faksi-faksi kelas penguasa menggunakan otoritas sosial dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan, ini yang lebih penting, persetujuan sadar (konsens).

(17)

Identifikasi Kultural : Potret makna-makna yang mengungkapkan sesuatu, terkait dengan nominasi diri atau dengan penilaian / persepsi orang lain. Identitas kultural terkait dengan titik-titik simpul makna kultural, terutama kelas, gender, ras, etnisitas, bangsa, dan usia.

Identitas : Stabilisasi makna yang temporer, lebih merupakan suatu proses menjadi ketimbang entitas yang tetap. Terajutnya menjadi satu “sisi luar” diskursif dengan proses-proses “internal” subjektifitas. Titik-titik kelekatan temporer pada posisi subjek yang dikonstruksi bagi kita oleh praktik-praktik diskursif.

Ideologi : Upaya untuk menetapkan makna dan pandangan dunia yang mendukung penguasa. Peta-peta makna yang, mesti tampak seperti kebenaran universal, sebenarnya merupakan pemahaman-pemahaman yang secara historis bersifat spesifik, yang menyelubungi dan melanggengkan kekuasaan kelompok-kelompok sosial (dalam hal kelas, gender, ras, dan lain-lain).

Immanent : Sesuatu yang menjiwai alam dan gerak sejarah. Inferior : Bermutu rendah.

Inherent : Berkaitan erat dan tak dapat diceraiberaikan.

Inivisible : Tak terlihat.

(18)

Interpelasi : Suatu pemanggilan oleh satu pihak kepada pihak lain. Intertekstual : Akumulasi dan penciptaan makna lintas teks, dimana

semua makna saling tergantung pada makna yang lain. Pengutipan sadar suatu teks pada teks lain sebagai ekspresi dari kesadaran diri kultural yang makin besar.

Islamic Studies : Ilmu yang mempelajari kajian-kajian keislaman.

Islamisasi : Pengislaman ke segala aspek kehidupan, seperti politik, sosial, ekonomi, kebudayaan, dan seterusnya.

Kajian Tematik : Suatu pendekatan yang mengkaji satu tema utama yang dikelilingi tema-tema yang terkait dengan tema utama. Kategorisasi : Penggolongan berdasarkan kategori tertentu.

Kebenaran-kebenaran : Narasi-narasi kecil yang menyusun makna-makna tersendiri di luar kebenaran universal dan absolut (grand

narrative).

[image:18.612.99.484.107.545.2]
(19)

kesepakatan sosial, kesepakatan yang tidak bisa lepas dari nilai.

Kelas : Klaisifikasi orang menjadi kelompok-kelompok berdasarkan kondisi-kondisi sosial ekonomi yang sama. Kelas adalah sekumpulan ketimpangan-ketimpangan relasional dalam dimensi ekonomi, sosial, potilik, dan ideologi. Marxisme mendefinisikan kelas sebagai hubungan sarana-sarana produksi. Para pemikir Pasca Marxis melihat kelas sebagai posisi subjek kolektif yang terbentuk secara diskursif.

Kodifikasi / Tadwîn : Istilah yang bagi al-Jabiri, mengacu pada masa pembukuan besar-besaran tradisi Arab secara masif yang terhitung puncaknya di zaman Khalifah Harun Ar-Rasyid. Komunalisme : Ajaran yang mementingkan kelompok atau kebersamaan

di dalam kelompok.

Konservatif : Kolot; bersikap mempertahankan keadan, kebiasaan, dan tradisi yang berlaku.

Konsumerisme : Manipulasi tingkah laku para konsumen melalui berbagai aspek komunikasi pemasaran.

Kontestasi Pemahaman : Persaingan pemahaman dalam merekrut makna dan legitimasi.

(20)

Labeling : Proses penandaan dan pemaknaan pada benda-benda material.

Legal Formalistik : Pemberlakuan syari‘at ke dalam undang-undang positif.

Linguistics Oriented : Bahasa itu sendiri yang menjadi tujuan berbahasa.

Mainstream : Arus utama pandangan dunia.

Marxisme : Suatu pemikiran yang berasal dari karya-karya Karl Marx yang menekankan pada peran determinative kondisi-kondisi eksistensi material dan kekhususan sejarah manusia. Marxisme, yang terfokus pada perkembangan dan dinamika kapitalisme, mengaku sebagai sebuah filsafat kesetaraan yang emansipatoris.

Mazhab Frankfurt : Institusi social yang berdiri 1923 berhaluan Neo-Marxisme. Lembaga ini independen dari kepentingan partai-partai komunis internasional. Lembaga inilah yang menelurkan Teori Kritis dalam rangka menelanjangi kebobrokan kapitalisme dan konsumerisme.

Menulis Keimanan : Membakukan sebuah akidah guna menetapkan identitas. Misrepresentasi : Sesuatu yang tak terwakilkan.

Mitis : Suatu yang mengandung daya tarik tersendiri karena dianggap suci.

(21)

Modernisme : (a) pengalaman cultural modernitas yang dicirikan oleh adanya perubahan, ambiguitas, keraguan, risiko, ketidakpastian, dan keterpecahan; (b) gaya artistik yang ditandai oleh suatu kesadaran diri estetis, montase, dan penolakan atas realisme; (c) posisi filosofis yang berusaha mengejar beberapa bentuk pengetahuan yang juga direvisi secara kronis dan terus-menerus.

Muhâsabah al-Nafs : Upaya kaum sufi dalam rangka mendisiplinkan diri dari konsumsi, tingkah laku, hasrat, dan pikiran yang dapat menurunkan maqâmat-nya.

Nalar : Aktivitas yang memungkinkan seseorang berpikir logis; jangkauan pikir; kekuatan pikir.

Narsisisme : Keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan.

Normalisasi : Proses pengaktifan kuasa bahasa dalam rangka menormalkan nilai-nilai yang dimaui pemegang otoritas. NU Studies : Kajian yang mempelajari organisasi Nahdatul Ulama baik

dari segi pendidikan, peran politik, sosial dan kebudayaannya.

Occidentalisme : Ilmu yang menjadikan Barat sebagai objeknya.

Official Closed Corpus : Korpus resmi tertutup versi penguasa (Khalifah Usman).

(22)

Otentisitas : Suatu kategori merupakan kategori yang asli, natural, benar, dan murni. Misalnya, bahwa budaya suatu tempat otentik karena tidak terkontaminasi oleh turisme atau bahwa budaya orang muda adalah murni dan tidak terkorupsi oleh kapitalisme.

Other : Identifikasi material yang ada di luar Aku; (objek). Pakem : Regulasi resmi yang kuat serta menggurita.

Pandangan Hitam-putih : Proses pembacaan secara biner.

Panopticon : Sebuah mekanisme yang di dalamnya terdapat relasi orang yang mengawasi / yang diawasi, yang menimbulkan kesadaran dikontrol secara terus menerus untuk memperlihatkan berfungsinya sebuah otoritas.

Paranoid : Penyakit jiwa yang membuat penderita berfantasi yang aneh-aneh, seperti merasa diri besar atau terkenal dan sebagainya.

Pembacaan Tunggal : Proses pemahaman bahwa teks memiliki satu makna. Pemikiran Keagamaan : Produk kreatifitas dari pembacaan atas teks-teks

keagamaan

Pendisiplinan : Proses taktis dalam menundukkan Yang Lain lewat normalisasi sehingga Yang Lain menunduk secara sadar. Pengadministrasian (pendidikan) Agama : Pelembagaan agama ke dalam

(23)

Pengetahuan Absolut : Mengacu pada Hegel, pengetahuan yang telah melewati proses dialektika sejarah yang panjang sehingga pengetahuan mencapai pada titik kesempurnaannya yang tidak terbantahkan lagi.

Pengetahuan Mapan : Pengetahuan yang ‘benar’ versi pemegang otoritas.

Peradaban Teks : Bagi Abu Zaid, masyarakat Arab selalu mencari dasar epistemologisnya dari dan untuk teks.

Posisionalitas : Menunjuk pada pengertian bahwa pengetahuan dan “suara” selalu mengambil tempat dalam ruang, waktu, dan kekuasaan sosial. Posisionalitas adalah tentang di mana, kapan, mengapa, dan siapa yang berbicara, melakukan penilaian, dan pemahaman.

Positivisme : Suatu filsafat pengetahuan yang menganggap bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan positif adalah deskripsi fenomena yang berhubungan dengan panca indera (sensori)

Post Colonial Studies : Disiplin yang menjadikan tanah bekas koloni berikut jalinan rumit dan kepanjangan kuasa dan resistensi anak jajahan sebagai objek kajian.

(24)

Posstrukturalisme : Gerakan filsafat yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme, yang membongkar setiap klaim akan oposisi pasangan, hierarki, dan validitas kebenaran universal, sebaliknya menjunjung tinggi permainan bebas tanda serta ketidakstabilan makna dan kategorisasi intelektual.

Postradisonalisme : Ideologi yang menawarkan alternatif atas kebuntuan-kebuntuan tradisionalisme tanpa adanya keterputusan epistemologis dengan tradisionalisme.

Pribumisasi : Upaya melokalisir yang global.

Produksi Pengetahuan : Upaya pemaknaan benda-benda material dan praktik sosial.

Protagonis : Tokoh utama dalam cerita rekaan; penganjur suatu paham. Psikoanalisis : Pemikiran dan praktik pentyembuhan yang dikembangkan dari karya-karya Freud yang menyatakan subjek manusia terbagi menjadi, Ego, Super Ego, dan ketidaksadaran. Psikoanalisis dalam kajian budaya digunakan untuk mengeksplorasi konstruksi dan pembentukan subjektifitas yang terkelaminkan (sexed subjectivity).

Puritan : Kelompok yang menuntut pemurnian agama dan mengidealisasikan sejarah masa lalu.

Reduksionis-Kanonis : Penyederhanaan hingga titik terkecil.

Reifikasi : Hubungan manusia seperti hubungan antar benda-benda. Representasi : Praktik-praktik pemaknaan tampaknya bisa mewakili atau

(25)

“nyata”. Hal ini lebih baik diistilahkan sebagai “efek representasional”, karena tanda tidaklah mewakili atau merefleksikan objek secara langsung seperti kaca. Representasi membentuk kebudayaan, makna, dan pengetahuan.

Revivalis : Kelompok yang menginginkan masa kini kembali ke masa kejayaan di masa lalu.

Ruang Publik : Sebuah ruang perdebatan dan adu argumen demokratis yang memediasi masyarakat sipil dan Negara. Ruang dimana publik mengorganisasi diri dan ruang dimana “opini publik” terbentuk.

Sensasional : Bersifat keinderaan; menarik dan seksi.

Sinkroni : Pendekatan dalam mengkaji satu fenomena pada suatu penggalan waktu yang ditentukan, ketimbang perkembangan historisnya.

Skripturalis : Berdasarkan pada teks.

Stereotipe : Representasi gamblang namun sederhana yang mereduksi orang menjadi seperangkat ciri sifat yang dilebih-lebihkan dan biasanya negatif. Sebentuk representasi yang mengesensikan orang lain lewat operasi kekuasaan.

(26)

dipahami sebagai satu perangkat unsure-unsur yang berkaitan.

Subaltern : Kelompok subordinat yang tidak terkooptasi oleh budaya populer.

Subjektifitas : Kondisi dan proses menjadi seseorang atau diri. Bagi kajian budaya, subjektifitas sering dipahami, mengikuti Foucault, sebagai “efek” dari wacana karena subjektifitas tersusun oleh posisi-posisi subjek yang ditawarkan pada kita oleh wacana. Karakteristik agensi dan identitas yang dimungkinkan bagi seorang subjek pembicara (the speaking

subject) oleh posisi-posisi subjek diskursif. Subordinat : Kelompok inferior.

Subtil : Halus.

Subversif : Perlawanan.

Superior : Kelompok yang berada di atas angin. Teks Sekunder : Wahyu atau kalam Ilahi yang tertekstualisasi. Teks-teks Keagamaan : Alquran dan Hadits.

Tekstualisasi : Proses penuangan makna dalam wadah teks.

Teori Kritis : Teori kritik masyarakat modern yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt.

Teosentris : Tuhan sebagai pusat kehidupan.

(27)

Wacana : Bahasa dan praktik, cara-cara berbicara yang teregulasi, yang mendefinisikan, mengonstruksi, dan menghasilkan objek-objek pengetahuan.

(28)

BAB l PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Sederhana saja sebenarnya. Penulis dalam hal ini masih melanjutkan perdebatan klasik antara teori dan praksis, yaitu antara Plato dan Aristoteles. Perdebatan itu berisi apakah teori untuk teori atau teori berkaitan dengan kepentingan manusia dan bersifat emansipatoris. Perdebatan seru ini berlanjut di era modern hingga Teori Kritis, Mazhab Frankfurt dan Neo-Positivisme di tahun 60-an dan hingga saat ini.1 Sehubungan dengan itu penulis mencermati derasnya arus gelombang ‘skripsi teori murni’ (entitasnya sebagai kewajiban akhir akademik semata) yang marak belakangan ini, khususnya terkait dengan Jurusan Tarjamah. Hal ini bisa kita temukan pada skripsi-skripsi di perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora tentunya. Skripsi yang mengaitkan bahasa dengan praksis, kehidupan nyata memang agak sedikit sekali. Pada umumnya skripsi yang telah ada hanya membahas atau menganalisis karya terjemahan dengan menitikberatkan pada struktur gramatikal (linguistics oriented) belaka, berbeda dengan Syahrur misalnya, yang menggunakan studi linguistik dalam membangun argumennya melalui pendekatan ilmiah-historis. Hal ini seolah mengatakan bahwa bahasa – termasuk terjemahan– ada di luar jangkauan kehidupan manusia sehari-hari. Penulis dalam skripsi ini mencoba menginternalisir dan mengilhami teman-teman lain (wa bi al-khusus yang belum menulis skripsi) bahwa bahasa (terjemahan) itu sedemikian dekatnya dengan kehidupan manusia bahkan bersifat immanent dan

inherent. Bahkan, bukan hanya dekat, tetapi produksi pemaknaan oleh bahasa juga

1

Untuk lebih jelas dan uraian yang lebih komprehensif bisa lihat buku F. Budi Hardiman,

(29)

mempengaruhi (sekaligus mengintervensi) pola pikir dan praktik-praktik sosial masyarakat sebagai konsumennya. Apa yang Penulis lakukan sebenarnya tidak terlalu jauh (apalagi keluar dari pakem akademik), tetapi Penulis hanya ingin merangkul (membangkitkan) aspek-aspek nalar humaniora yang selama ini mengendap dan diendapkan dalam benak mahasiswa (juga pihak terkait, dosen misalnya) di tengah kegalauan dan kegamangan menjadi ‘sarjana fast food’ (-meminjam istilah disiplin Budaya Populer) guna merespon laju cepat globalisasi (meskipun juga mengalami krisis).

Penulis meyakini bahwa skripsi yang terlalu menitikberatkan pada susunan gramatikal cenderung menegasikan, mengeringkan, dan memarjinalkan aspek-aspek makna yang terkandung dalam teks. Mengapa demikian? Jawabnya bahwa bahasa bukan sebuah medium netral tempat dibentuknya makna dan pengetahuan tentang suatu dunia objektif independen di luar bahasa. Dalam istilah Michel Foucault, “Kritik mempertanyakan bahasa seolah-olah bahasa adalah sebuah fungsi yang murni, totalitas mekanisme, dan permainan tanda-tanda yang luar biasa otonom.”2 Bahasa justru terlibat dalam pembentukan makna dan pengetahuan tersebut. Bahasa memberi makna pada objek-objek material dan praktik-praktik sosial yang dibuat menjadi tampak oleh bahasa dan menjadi bisa kita pahami lewat istilah-istilah yang digariskan oleh bahasa.3

2

Michel Foucault. Order of Thing, Arkeologi Ilmu-ilmu Kemanusiaan. Penerjemah B. Priambodo dan Pradana Boy (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007) h. 91

3

Chris Barker, Cultural Studies, Teori dan Praktik. Penerjemah Tim KUNCI Cultural Studies Center (Yogyakarta: Bentang, 2005) h. 10. Buku tersebut hampir memasukkan seluruh tema-tema yang majemuk, berisi berbagai perspektif yang saling bersaing –melalui produksi teori– yang berusaha mengintervensi politik kebudayaan. Kajian budaya dan bahasa sengaja mempelajari kebudayaan sebagai praktik-praktik pemakanaan dalam konteks kekuasaan sosial. Kajian tersebut banyak mengambil dari banyak teori, termasuk marxisme, strukturalisme, post strukturalisme, dan feminisme. Dengan metode yang eklektis, kajian budaya dan bahasa menegaskan posisionalitas

(30)

Selain itu, skripsi-skripsi tersebut –disadari atau tidak– mengadiluhungkan dan menunjukkan kemegahan pengetahuan linguistik ilmiah ala modernisme, yakni dengan bermain (menghakimi) di seputar ‘bahasa formal (ilmiah) dan non-formal’. Padahal pengetahuan ilmiah –menurut Lyotard (orang yang memproklamirkan Posmodernisme sebagai ‘takbir’ atas matinya arogansi Modernisme)– selalu melegitimasi dirinya sendiri dan dengan cara semacam itu, ia menjadi sarana utama untuk melegitimasi ‘Occident’(tidak modern) dan ‘hak-haknya untuk memutuskan apa yang benar’.4 Pengetahuan ilmiah inilah yang mengategorikan ‘khâriq al-‘âdah (linguistics)’ sebagai mentalitas yang berbeda, mentalitas ‘liar, primitif, anomali, non-ilmiah, dan seterusnya’. Mekanisme pengetahuan ilmiah –kekerasan epistemologis dalam istilah Richard Rorty– semacam itu yang disebut sebagai ‘Othering’ yakni ‘Lain yang memiliki ke’Lain’an’.

Dengan tesis tersebut, Penulis mencoba menelusuri serta melacak bagaimana arogansi otoritas teks-teks keagaamaan –dalam bahasa Abu Zaid yang mengacu pada Alquran dan hadits– yang maknanya sudah direduksi dan dikeringkan oleh sejumlah pihak dan metodologi yang mengklaim telah menemukan makna tersebut. Mereka mengedit teks-teks keagamaan ini dalam rangka mencari pembenaran (legitimasi) bagi proyek-proyek mereka.

Terkait konteks keindonesiaan, kita akan melihat banyak kasus bagaimana

othering yang diakibatkan oleh salah satunya ulah arogansi pemikiran keagamaan

konsumsi. Kajian budaya dan bahasa adalah bidang penyelidikan interdisipliner yang mempelajari produksi dan penanaman peta-peta makna. Ringkasnya kajian budaya dan bahasa menjadi mikroskop yang membantu kita melihat derasnya arus lalu lintas pemaknaan bersilang-siur yang hampir tak terlihat.

4

(31)

yang cenderung reduksionis-kanonis atas teks-teks keagamaan. Sangat ironis memang, pada saat jumlah mereka (aktivis pengusung eksklusivisme) minoritas di satu ruang publik terkecil hingga yang terbesar (negara misalnya), mereka melakukan perlawanan mulai dari perlawanan pasif hingga ekspansif militeristik seperti gerilya, pembajakan, pengeboman, penyanderaan dan seterusnya (terutama pihak-pihak yang dianggap sebagai inferior dan others atau lokasi-lokasi yang men(di)jadi(kan) kantong strategis untuk ditundukkan. Namun, mereka –di saat menjadi mayoritas– merasa superior sehingga membentuk pola interaksi publik secara legal formalistik dengan menghegemoni segala macam kebijakan-kebijakan yang bersifat publik seperti hukum, poltik, sosial, budaya, bahkan yang bersifat privat sekalipun. Hal ini sekarang dapat kita lihat seperti berlakunya Perda-Perda syariah yang jelas-jelas diskriminatif, marjinalitatif, juga penyempitan ruang privat yang sangat meresahkan. Mengapa demikian, karena hal ini jelas berbenturan dengan nilai-nilai kebersamaan yang menjadi nafas kebangsaan dan sangat mengganggu laju rekonsiliasi antaragama, keyakinan, kelas, ras, adat, dan suku di Indonesia.

(32)

menguniversalisasikannya. Bisa kita perhatikan misalnya Islamisasi memasuki ruang ekonomi yang dimanifestasikan dengan adanya lembaga perekonomian Islam (bank Syariah), dalam bidang hukum seperti formalisasi Syariat Islam dalam UU seperti PERDA Syariah yang sudah berjalan di beberapa wilayah di Indonesia, dalam pendidikan misalnya diharuskan mengenakan pakaian muslim pada hari Jum’at, dalam bidang seni musik dimanifestasikan dengan maraknya produk-produk album religi, dalam hal politik misalnya ditandai dengan bermunculannya partai-partai yang mengenakan platform Islam. Selain itu semua, muncul ormas-ormas yang berbasis Islam, seperti gerakan Tarbiyah (yang kemudian membidani lahirnya, sekaligus mesin rekruitmen massa Partai Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir Indonesia, Majelis Mujahidin Indonesia, Front Pembela Islam, Laskar Jihad, dan seterusnya, yang merepresentasikan Islam dengan wajah lama di era baru. Mengapa saya katakan wajah lama karena mereka mengklaim bahwa hanya mereka inilah yang orisinil merepresentasikan Islam masa Rasulullah Saw. dan para sahabat (era salaf). Gerakan mereka berada di luar kerangka mainstream pandangan politik maupun wacana keagamaan gerakan Islam dominan seperti NU, Muhamadiyah, Persis, dan seterusnya (Pernyataan tersebut bukan berarti mengatakan bahwa NU, Muhamadiyah, Persis dan seterusnya tidak berhaluan eksklusif).

(33)

inklusivisme yang menjadi wacana tandingan eksklusivitas yang selanjutnya akan diterangkan di bawah) dengan kajian wacana sebagai pisau analisis. Mengapa tema ini yang diangkat? Tentunya, respon terhadap fenomena sosial di dunia (Indonesia khususnya) menuntut (memaksa) Penulis untuk melacak salah satu akar jalinan rumit yang berangkat dari pemahaman teks-teks keagamaan (penerjemahan salah satunya).

(34)

Kedua term inilah (eksklusif dan inklusif) yang mempengaruhi sikap dan pola pikir terhadap ruang-ruang praktis kehidupan. Orang eksklusif (the ego) – seperti pernyataan Ali Harb– memandang orang lainnya (the other) melalui identitas keagamaannya, melalui bahasa nasionalnya, melalui peradaban kulturalnya, atau melalui yang lainnya. Dia (the ego) menghakiminya (the other) atas dasar ini. Sekiranya orang itu cocok dengan keyakinan, mazhab, ras, kultur, atau pola peradabannya maka ia (the other) akan diterima dan diidentikkan dengan dirinya (the ego), namun jika tidak maka ia (the other) akan dicampakkan sembari dipersamakan antara bid’ah dan pemikiran, karya dan pengkhianatan, keterlambatan dan keterbelakangan, keasingan dan keprimitifan, atau nama lain apa pun yang menunjukkan perbedaan penuh atau perbedaan primitif. Oleh karena itu, orang yang eksklusif terhadap diri dan keyakinannya akan menafikan orang lain (the other) dan tidak mengakui haknya untuk berbeda dengannya. Menurutnya, perbedaan bertentangan dengan identitas dan sekaligus menjadi lawan yang mengancamnya, sehingga harus ditundukkan atau disingkirkan, dibungkam dan kalau perlu ‘dikempiskan’.

Dengan demikian, “yang lain” (the other) tidak lagi memiliki hak sebagai manusia, karena ia dipandang dan dilihat melalui kategori-kategori sempit, penanaman-penanaman instan dan keyakinan-keyakinan absolut. Pemilik nalar eksklusif menyembunyikan semua perbedaan atau kelainan di dalam identitas puritannya, padahal perbedaan eksternal merupakan sisi lain dari identitas puritan yang buta, bahkan merupakan penjustifikasi wujudnya dan alasan keterlekatannya.5

5

(35)

ideologi-Bukan hanya sikap dan pola pikir, dalam penggunaan bahasa pun orang yang eksklusif cenderung terpengaruh oleh kerangka pikiran yang eksklusif. Aposisi-aposisi berikut keabsenannya pun menjadi indikasi yang semestinya tidak boleh diluputkan dari perhatian. Hal ini dapat termanifestasikan dalam empat poin: Pertama, penghalusan makna (eufemisme). Penghalusan makna (eufemisme) wajar-wajar saja bila digunakan untuk merepresentasikan sebuah hal yang masih dianggap tabu di sebuah komunitas. Yang menjadi masalah adalah ketika penghalusan makna (eufemisme) ini digunakan untuk menandai dan menamai sebuah realitas. Masalah terjadi ketika realitas itu adalah realitas yang buruk, yang memalukan, seperti kemiskinan, pembunuhan, korupsi, dan kelaparan (penyerangan, perusakan, pengejaran, teror, dan seterusnya [dari Penulis]). Dengan pemakaian kata-kata itu, realitas yang secara kasar buruk tadi bisa berubah menjadi halus, dan akibatnya khalayak melihat kenyataan yang sebenarnya. Eufemisme banyak dipakai untuk menyebut kelompok dominan (superior, mayoritas, kelompok yang ‘benderanya sedang tertiup angin’) kepada masyarakat bawah (subordinat, subaltern, minoritas, marjinal), sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama rakyat bawah. Kedua, pemakaian bahasa pengasaran (disfemisme). Kalau eufemisme dapat mengakibatkan realitas menjadi halus, disfemisme sebaliknya dapat mengakibatkan realitas menjadi kasar (buruk). Kalau eufemisme banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan

(36)

kelompok dominan (mayoritas, superior), disfemisme umumnya banyak dipakai untuk menyebut tindakan yang dilakukan oleh masyarakat bawah (minoritas, subordinat, inferior, subaltern) seperti, (pemberontakan, perlawanan, penyimpangan, pengkhianatan, bid‘ah, heretic, murtad, kafir, subversif, perusakan, melawan pakem-pakem). Ketiga, labelisasi. Labeling merupakan perangkat bahasa yang digunakan oleh mereka yang berada di kelas atas untuk menundukkan lawan-lawan. Pemakaian labeling ini bukan hanya membuat posisi kelompok atau kegiatan menjadi buruk, tetapi juga mempunyai kesempatan (melegitimasi) bagi mereka yang memproduksinya untuk melakukan tindakan tertentu. Seperti, (karena ‘mereka’ itu “aliran sesat” maka wajar dan seharusnya jika ‘mereka’ dimusuhi). Keempat, stereotipe. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (tetapi umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi negatif dan bersifat subjektif. Banyak sekali praktik stereotipe ini. (‘mereka’ yang khâriq al-ijmâ’ [di luar konsensus ulama] misalnya distereotipekan sebagai orang atau kelompok yang sesat, ingkar sunah, murtad, bahkan kafir).6

Adapun orang yang inklusif memandang identitas-identitas lainnya (the

other) secara lain. Ia menerima dan memandangnya sebagai pelengkap dan teladan, terkadang ia mengidentikkan diri dengannya atau bahkan bersatu dengannya. Hal itu dilakukan tanpa memandang perbedaan-perbedaan bahasa, ras, agama, budaya, atau afiliasi-afiliasi apa pun. Menurut pandangan inklusif ini,

6

(37)

“yang lain” (the other) tidaklah terhalangi oleh identitas tertentu, eksistensinya tidak terhabiskan oleh sifat tertentu, dan hakikatnya tidak menggunakan satu nama atau satu simbol. Dia memiliki identitas yang luas dan tersusun, dengan sisi-sisi yang berbeda-beda dan dimensi-dimensi yang plural. Ia adalah esensi wujud tunggal, namun memiliki relativitas-relativitas dan atribut-atribut yang tak terhitung.7 Hal ini tentunya tidak lepas dari penerjemahan Alquran Depag di bawah ini yang memiliki semangat eksklusivisme,

! "

#

$ﻝ

Artinya, “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali

tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran,[3]; 85).

&ﻝ '

( ) * +),,ﻝ &-.

/ 0 1

)2ﺏ

&4. 5 6ﻝ ﺕ 8 9

5 :;ﻝ <

( &-= ( > ?ﺏ @6

/A ﺏ Bﺏ / 2ﻝ

Artinya: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada

berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabnya. (Q.S. Ali Imran,[3]; 19).

Lalu timbul pertanyaan yang cukup menyesakkan hati, manakah yang benar antara eksklusivisme atau inklusivisme? Penulis tidak ingin memilih salah satunya. Karena dengan memilih salah satunya kita akan terjebak dalam jerat

7

(38)

eksklusivisme. Kedua-duanya benar. Eksklusivisme akan menjaga keutuhan dan keberlangsungan identitas, tapi menjadi sebuah kekeliruan apabila identitas itu dipahami secara dangkal sehingga dengan arogan mencoba menegasikan entitas-entitas identitas-entitas “yang lain” (the other). Selain itu, eksklusivisme akan mengancam integritas sebuah bangsa. Inklusivisme diperlukan guna menjaga keharmonisan dan kerukunan entitas-entitas yang plural, namun kalau terlalu mendeifikasi pluralitas cenderung akan memecahkan dan meleburkan bukan saja identitasnya, bahkan juga identitas-identitas yang lain (the other).

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penulis membatasi pembahasan masalah ini hanya kepada masalah penerjemahan wacana serta aspek-aspek dan pengaruhnya. Penulis merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan. Bentuk pertanyaannya sebagai berikut :

Apakah ayat-ayat yang cenderung eksklusif dalam Terjemahan Alquran Depag Edisi Revisi 1989 diterjemahkan dalam kerangka eksklusif atau tidak?

Wacana apa yang terwujud dalam terjemahan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Mengetahui cara pembentukan sebuah gagasan pada ayat-ayat eksklusif dan inklusif dengan memperhatikan unsur-unsur wacana

(39)

Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain: Pertama, penelitian ini tentunya dapat dijadikan sebagai rujukan; kedua, penelitian dapat menjadi standar dalam analisis wacana yang direpresentasikan lewat penerjemahan Arab-Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Setiap penulisan apapun semestinya tidak lepas dari tinjauan pustaka guna tidak terjadinya repetisi pengetahuan dan sebagai penanda bahwa tulisan baru itu bukan merupakan hasil plagiasi dari tulisan-tulisan lama. Sebelum memulai penulisan skripsi ini, Penulis telah melakukan tinjauan pustaka. Untuk sementara ini, Penulis merujuk pada skripsi-skripsi yang terkait dengan penerjemahan dan bahasa. Penulis membatasi diri pada skripsi-skripsi yang terdapat di perpustakaan Fakultas tempat Penulis menimba ilmu. Selama ini Penulis hanya mendapati satu skripsi menggunakan metodologi yang hampir sama dengan metode Penulis, yaitu skripsi yang ditulis oleh Makyun Subuki. Skripsinya berbicara tentang korelasi penerjemahan Al-Quran Depag dengan penerapan Perda Syariah yang marak belakangan pasca Orde Baru. Penuntutan Perda Syariah bahkan transformasi Pancasila sistem negara yang katanya sekuler menjadi khilafah oleh sejumlah ormas Islam urban seperti Hizbut Tahrir, dan Islam garis keras yang lain.

(40)

dieksplor oleh Penulis sama sekali baru, sehingga ada dinamisasi pengetahuan, dan tentunya bisa dilanjutkan oleh mereka yang datang selanjutnya.

E. Metodologi Penelitian

Penulis menggunakan metode deskriptif, yaitu dengan cara mengumpulkan data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti. Setelah itu, penulis mendeskripsikan masalah tersebut dengan data yang ada dalam kerangka teori wacana sehingga maksud dan tujuan penelitian tercapai. Kerangka teori wacana yang membingkai penelitian penulis ini didasarkan pada literatur-literatur yang terpercaya.

Sedangkan dalam pencarian data, Penulis melakukan penelitian terhadap literatur-literatur yang berkaitan dengan objek penelitian seperti terjemahan Al-Quran Departemen Agama.

Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan

Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality and

Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Agar penelitian dapat terarah dan sistematis, langkah yang Penulis lakukan sebagai berikut :

(41)

bab pendahuluan ini memaparkan latar belakang masalah yaitu pengalaman-pengalaman mengerikan yang dilalui bangsa Indonesia dengan segala macam pluralitasnya mulai dari yang ekstrim kanan hingga ekstrim kirinya. Penulis sengaja menempatkan uraian ini pada Bab I dengan alasan bahwa uraian ini dijadikan sebagai introduction bagi pembaca. Latar belakang masalah ini tentunya dibahas secara singkat dan kemudian akan diuraikan lebih luas lagi pada bab III dan IV.

Bab II merupakan pembahasan sekitar teori wacana dan ragam model penerjemahan. Penulis pada bab ini mencoba menguraikan teori dan ragam model penerjemahan yang telah dipelajari di dalam kelas. Penulis juga menggambarkan teori wacana melalui pendekatan budaya dan filsafat bahasa yang telah dipelajari di kelas maupun diskusi-diskusi lepas di luar kampus. Selain memaparkan teori terjemahan dan teori wacana, Penulis juga melacak akar kata terjemah itu sendiri yang dipahami pengguna bahasa dalam hal ini adalah bahasa Arab. penelusuran kata terjemah melalui proses yang cukup panjang, melelahkan, sekaligus memuaskan dan menghasilkan temuan-temuan yang menurut Penulis anggap merupakan suatu kebaruan.

(42)

makna teks pada teks itu sendiri sementara pihak lain menemukan makna teks berada di balik teks.

Bab IV berbicara tentang studi kasus penerjemahan wacana ke dalam bahasa Indonesia. Dalam hal ini, Penulis mengambil Terjemahan Al-Quran

Departemen Agama sebagai objek kajian. Di sini Penulis mencoba menganalisis terjemahan tersebut dengan teori wacana sebagai pisau analisisnya dibantu dengan disiplin hermeneutik sebagai pendamping pemahaman sebuah teks. Kerja memamahi ternyata tidak sesederhana yang dikira. Pembacaan sekilas tanpa memahami konteks (apalagi tidak mendiplomasikan konteks sejarah dengan konteks masa kini sekaligus tidak membuat ancang-ancang bagi pemahaman masa depan) berujung pada distorsi, melunturkan makna, keterjajahan (pada saat yang bersamaan) dan penyembahan terhadap teks. Hal ini bisa juga dibilang bahwa suatu pembacaan sekilas sama saja dengan hegemoni teks atas makna, sejarah, realitas, dan subjek itu sendiri. Penerjemahan teks keagamaan ini (karena memiliki nilai mitis) ternyata mempunyai implikasi sosiologis yang signifikan. Karenanya, penerjemahan harus bersifat konstruktif bagi perkembangan masyarakat.

(43)

BAB II PIJAKAN TEORI A. Kritik Definisi Penerjemahan

Sudah menjadi kelaziman sebuah penulisan (apalagi penulisan akademis yang sarat dengan belenggu dan pelbagai macam “pedoman”) Penulis terlebih dahulu mengemukakan definisi dari sebuah term yang akan diulas lebih jauh dalam penulisan tersebut. Definisi seperti yang sama-sama kita ketahui adalah mendeskripsikan sebuah realitas tetapi lagi-lagi yang namanya definisi tetaplah “definisi”. Hal ini disinyalir oleh Imam Ghazali dengan mengatakan,

> C ;Dﻝ " E F

* ﺏ 1 G9 Dﻥ. );ﻝ -8

I

ﺏ 1 );ﻝ - 6 4

G *

E F

J

K2ﺏ * ﺏ

I

8

Artinya, ‘Sebuah definisi hanya mampu menjawab satu pertanyaan dalam dialog. Sebuah definisi tidak dapat menjawab berbagai pertanyaan, bahkan beberapa pertanyaan.’ Definisi bisa dikatakan mereduksi (juga mendeterminasi) sebuah realitas yang dideskripsikannya. Fatalnya sebuah definisi mendistorsi realitas dengan mengambil karakteristik secara parsial (karena produksi definisi tentu saja melibatkan subejktifitas subjek).

Inisiatif ini –menjelaskan term yang akan dibahas sebelum melakukan diskusi lebih lanjut– sejalan dengan yang dilakukan oleh Al-Asymâwi, “Sesungguhnya, sebuah ‘kata’ –kata apa pun– tidak selamanya mudah dimaknai, dipahami, dijalankan, dan atau mudah dijangkau oleh akal. Sebuah ‘kata’ bukanlah dunia yang dapat berbicara dengan sendirinya, yang menunjukkan

8

(44)

makna dan maksudnya. Ia adalah susunan objek yang maknanya diambil dari definisi sosial.”9 Sementara sosial dalam mendefinisikan sesuatu tentu saja berketergantungan dengan sebuah paradigma dan capaian-capaian peradaban yang dimilikinya.

Selanjutnya Al-Asymawi menegaskan, “Definisi suatu istilah (kata) dan penentuan maknanya merupakan perkara yang harus dilakukan terlebih dahulu sebelum kita melakukan suatu pembahasan, karena makna terkadang menjadi tidak jelas, rancu dengan yang lain dan atau tidak jelas dalam pemahaman orang lain. Atau bisa juga ia jelas dan tidak rancu tetapi berubah menjadi makna lain. Kadang suatu kata itu dikira telah jelas, tidak rancu, dan ambigu, tetapi suatu kata itu selalu –sebagaimana yang tampak dalam kajian-kajian bahasa– tetap membutuhkan pada batasan yang disepakati sebelum dikaji dan didiskusikan secara produktif. Jika tidak, maka konsep-konsep akan tenggelam dalam kerancuan, dan kehilangan arti jatuh ke dalam kekacauan.”10

Pada kesempatan ini, Penulis akan memaparkan sebuah terobosan baru sebagai sebuah pembacaan kritis yang berakar dalam khazanah klasik dengan sentuhan-sentuhan metode pembacaan kontemporer (al-qirâ’ah al-mu’âshirah) terhadap penerjemahan. Pemaparan-pemaparan dalam skripsi ini –khususnya bab ini– dilakukan sebagai animo Penulis untuk mengupayakan saluran alternatif atas sumbatan-sumbatan, kemacetan, atau kebuntuan-kebuntuan yang selama ini “baik-baik saja” didefinisikan baik oleh kamus, buku-buku, maupun skripsi-skripsi yang berbicara tentang penerjemahan. Coba kita simak penerjemahan yang dikatakan oleh A.Widyamartaya dalam Seni Menerjemahkan 1989

9

Muhammad Said al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah. Penerjemah Luthfi Thomafi (Yogyakarta: LKiS, 2004) h. 3

10

(45)

“Menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya”.11

Juga kita perhatikan misalnya apa yang dipaparkan J.C.Catford dalam A

Linguistic Theory of Translation, “Translation is an operation performed on

languages: a process of substituting a text in one language for a text in another.”12 Lebih jauh Salihen Moentaha, MA, Ph.D mengatakan, “Terjemahan adalah proses penggantian teks dalam BP (bahasa pemberi) dengan teks dalam BS (bahasa sasaran) tanpa mengubah tingkat isi teks BP (bahasa pemberi).”13 Rochayah Machali dalam bukunya yang populer mengatakan, “Melalui kegiatan penerjemahan, seorang penerjemah menyampaikan kembali isi sebuah teks dalam bahasa lain. Penyampaian ini bukan sekedar kegiatan penggantian, karena penerjemah dalam hal ini melakukan kegiatan komunikasi baru melalui hasil kegiatan komunikasi yang sudah ada (yakni dalam bentuk teks), tetapi dengan memperhatikan aspek-aspek sosial ketika teks baru itu akan dibaca atau dikomunikasikan. Dalam kegiatan komunikasi baru tersebut, penerjemah melakukan upaya membangun ‘jembatan makna’ antara produsen teks sumber (TSu) dan pembaca teks sasaran (TSa).”14

Dapat pula kita saksikan sebuah definisi penerjemahan yang menurut hemat Penulis sangat reduksionis seperti yang dipaparkan oleh Drs. Fahrurrozi, “Translation atau penerjemahan, pada hakikatnya, adalah mengalihbahasakan

11

A.Widyamartaya Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989) h. 11. 12

J.C.Catford A Linguistic Theory of Translation (London: Oxford Of University Press, 1974) h.1.

13

Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Bekasi Timur: Kesaint Blanc, 2006) h. 11. Catatan: keterangan dalam kurung pada kutipan merupakan tambahan dari Penulis.

14

(46)

makna atau pesan dari bahasa sumber (source language) ke bahasa sasaran (target

language).15

Ibnu Burdah mengemukakan, “Banyak sekali definisi tentang terjemah yang dikemukakan oleh para ahli. Dalam pandangan saya, apapun definisi yang digunakan, sebaiknya dipertimbangkan prinsip akomodatif-operasional. Akomodatif dalam arti, mempertimbangkan definisi-definisi tentang terjemah yang pernah dikemukakan oleh para pengkaji pendahulu. Ini dimaksudkan sebagai sikap apresiatif (ta’zîm, menghargai) terhadap hal-hal yang dihasilkan oleh pengkaji-pengkaji sebelumnya. Sedangkan prinsip operasional memiliki maksud, bahwa definisi yang digunakan –sekalipun akomodatif terhadap hasil-hasil sebelumnya– harus tetap berpijak pada pertimbangan: apakah definisi tersebut dapat dioperasionalkan pada tahapan yang lebih praktis atau tidak. Berlandaskan pada dua prinsip tersebut, dalam tulisan ini Penulis mengambil definisi tentang terjemah sebagai, ‘Usaha memindahkan pesan dari teks berbahasa Arab (teks sumber) dengan padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran).’”16 Tapi yang pasti adalah “suatu terjemahan tidak dapat mengganti teks asli.”17

Sejalan dengan definisi-definisi tersebut, Muhammad ibn Yakub al-Fairuzabadi dalam karya yang cukup populer di kalangan peminat sastra klasik,

Al-Qâmûs Al-Muhît memaparkan,

L

M C >

N

- D1 ﻝ

J

- A C - @*O - @ 2G

P

- : ﻝ :@Dﻝ

J

D1 ﺕ )Q

J

R

*

J

0 ﻝ Sﻝ T8 " * E) 2@ﻝ

I

15

Fahrurrozi. Teknik Praktis Terjemah (Yogyakarta: Teknomedia, 2003) h. 1. 16

Ibnu Burdah. Menjadi Penerjemah, Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004) h. 9-10.

17

(47)

Ta ra jim mim, turjumân seperti lafal ‘unfuwân, za’farân, dan raihuqân.

Turjumân bermakna menjelaskan dengan bahasa lain, contoh kalimat wa qad

tarjamahu atau tarjama ‘anhu yang bermakna seseorang itu menjelaskan dengan bahasa lain. Verba tarjama menunjukkan verba dasar (tidak berderivasi dari ra ja

ma).18

Louis Ma’louf – termasuk dalam barisan pertama – dengan karya yang juga populis di kalangan santri modern maupun mahasiswa, yaitu kamus

Al-Munjid fi al-lughah wa Al-A’lâm, menyatakan,

6ﻝ /1 ﺕ

P

SD1 ﺕ M - D1 ﺕ

- D1 ﺕ A

U - : ﺏ V :

/1 ﺕ

I

E

W

S G ﻝ ﺏ D1 ﺕ

W

"G ﻝ - : ﻝ "ﻝ

ﻥ X

I

R

*

P

Yﺽ 8

VI

/1 ﺕ M SD1 ﻝ

P

:@ ﻝ

‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dengan bahasa lain.’ Dia menjadi juru bicara. Bentuk plural tarjumân dan

turjumân ialah tarâjimah dan tarâjimu. ‘Dia menerjemah ke bahasa Turki,’ berarti ‘Dia mengganti bahasanya menjadi bahasa Turki.’ ‘Tarjama ‘anhu’ bermakna ‘dia menjelaskan hal itu.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah yang bermakna menjelaskan.

6ﻝ /1 ﺕ

P

[ ﻝ

‘Dia menerjemah ucapannya,’ bermakna ‘Dia mencampuradukkan (mengaburkan/menidakjelaskan) ucapannya.’

18

(48)

1 ﻝ /1 ﺕ

P

G\

I

/1 ﺕ M SD1 ﻝ

P

#

G\

]$^

:ﻥ Q 8

I

5 6ﻝ SD1 ﺕ

P

;ﺕ

I

‘Dia menerjemahkan orang lain,’ bermakna ‘Dia mengartikulasikan biografi orang lain.’ Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah. ‘Dia mengartikulasikan biografi, etika, dan asal-usul genetika orang lain.’ Tarjamah

Al-kitâb bermakna pendahuluan sebuah buku.19

DR.Ibrahim Anis Dkk. pun melakukan hal yang sama,

_

/1 ﺕ

`

6ﻝ

P

;ﺽ

I

R

V

G

J

*

P

"ﻝ. SBﻝ

X

I

R

- @ﻝ

P

D1 ﺕ G\

I

‘Orang itu menerjemahkan ucapan’ bermakna ‘Orang itu menjelaskan dan menerangkannya.’ ‘Dia menerjemahkan ucapan orang lain,’ bermakna ‘Dia menjelaskan dengan bahasa lain.’

_

- D1 ﻝ

P `

SD1 ﺕ /1 ﺕ M /1 Dﻝ

I

Turjumân juga bermakna penerjemah. Tarâjimu dan tarâjimah merupakan bentuk plural turjumân.

_

SD1 ﻝ

P `

-

SD1 ﺕ

P

/1 ﺕ M ﺕ ﺡ ﺕ

I

(Tarjamah) ‘Tarjamah Fulân’ bermakna perjalanan hidup dan biografi seseorang. Tarâjimu merupakan bentuk plural tarjamah.20

Senada dengan komentar-komentar di atas, Hans Wehr mengemukakan uraian yang sama,

19

Louis Ma’louf, al-Munjid Fi al-Lughah Wa al-A’lâm (Beirut : Dar Al-Masyriq, 1986) h.60.

20

(49)

/1 ﺕ

to translate

*

from one language

"ﻝ.

to another) ; to interpret; to

treat /1 ﺕ by way explanation, expound; to write a biography.

SD1 ﺕ

Pl

.

/1 ﺕ

Translation; interpretation; biography (also

# ;ﻝ SD1 ﺕ

) introduction, preface foreword (of a book)

S ﺕ \ SD1 ﺕ

autobiography.

- D1 ﺕ

Pl.

SD1 ﺕ

,

/ 1 ﺕ

Translator, interpreter.

/1

Translator, interpreter, biographer.

/1

Translated.21

Dari sekian definisi yang telah dikemukakan di atas, Penulis mencoba mengomparasikannya dengan menelusuri ke akar kata penerjemahan berikut derivasinya pada kamus-kamus yang lain. Kemungkinan besar apa yang akan Penulis paparkan selanjutnya ini akan sangat kontras (bahkan akan mewujudkan biner-biner yang selama ini invisible atau sengaja ‘tak mau dilihat’) dengan definisi-definisi yang telah ada. Untuk memulainya, mari kita perhatikan apa yang ditulis Muhammad ibn Abu Bakar ibn Abdulkadir Ar-Razi dalam Mukhtâr Al-

sîhâh,

ﻝ /1C

Rajmun bermakna membunuh

#C b;ﻝ ﺏ " ﻝ T8

Asal makna rajam ialah melempari sesuatu dengan batu

cﻝ ﺏ 1 ﻝ / 6 - /1 ﻝ

J

C "ﻝ 2ﺕ (8 E Q

1

D

Bﻝ

d

I

21

(50)

Rajam bermakna seseorang yang berbicara dengan menduga-duga, perkiraan, dan keraguan. Allah Swt. berfirman, “Sebagai terkaan terhadap yang ghaib,” (al-Kahfi ayat 22).

U - : ﺏ V : \

G /1 ﺕ

Bila menjelaskan dengan bahasa lain, seseorang dapat dikatakan telah menerjemahkan ucapannya.22

Tidak pula kami tinggalkan Lisân al-‘Arâb kamus klasik yang sering dijadikan referensi dalam penulisan-penulisan baik ilmiah maupun non-ilmiah,

ﻝ /1 ﻝ

e);ﻝ - bAﻝ cﻝ / fﻝ d:ﻝ

gﻝ 2 ﻝ

Rajam bermakna membunuh (bukan hanya secara fisik tetapi juga membunuh karakter dan identitas–dari Penulis), melaknat, mengusir (mengucilkan–dari Penulis), menghina, mencaci-maki, terkaan, perpindahan, intuisi (dugaan– dari Penulis).

"ﻝ 2ﺕ E Q

ﻝh

ﻝ/

iﻝ

C

1

D

&

j

ﻝ X8

i

&&

j

Allah Swt. menceritakan ayah Nabi Ibrahim AS. dalam surah Maryam ayat 46, ayahnya mengancam, “Jika kamu tidak berhenti (berdakwah mengajak aku), aku akan merajam kamu”, maksudnya rajam adalah mencaci maki dan mengucilkan.

e);ﻝ

cﻝ ﺏ E ﻝ /1 ﻝ

Rajam juga bermakna ucapan yang diartikulasikan dengan menduga-duga dan berdasarkan intuisi.

Abu Bakar Ra. berwasiat kepada anak-anaknya,

22

(51)

h

G V) * ﻝ ﺕ4 X8 X Q ) * ﺡ ﺕ4 V 2 X Q D1 ﺕ4

“Janganlah kalian merajam di kuburku”, artinya “Janganlah kalian meratap di kuburku”, Maksudnya adalah “Janganlah kalian melontarkan ucapan-ucapan buruk di kuburku.”

/1

G

P

*

Ucapan yang diterjemahkan adalah ungkapan yang diartikulasikan tidak berdasarkan keyakinan.

*O - @*O k /1 ﺕ 2D1 SD1 ﺕ

Tarâjimu merupakan bentuk plural dari tarjamah, hal ini serupa dengan

za’farân dengan za’âfiru.23

Dari beberapa uraian di atas, Penulis menemukan sederetan kata dan variasi makna yang berasal dari kata rajama dan tarjamah dimana penemuan makna-makna tersebut tidak ‘sebaik’ apa yang pernah ditekstualisasikan oleh sejumlah penulis. Sisi gelap (dark side) yang bisa Penulis katakan bahwa penerjemahan merupakan suatu bentuk artikulasi konsep yang dapat membunuh atau mematikan karakter domain lokal (other) sehingga identitas dari kearifan lokal (local wisdom) ditelan oleh konsep yang digulirkan penerjemahan. Dari sini terjadi komunikasi yang tidak sehat dan seimbang antara ide yang diterjemahkan dan ide lokal. Selain itu dalam kata ‘penerjemahan’ sendiri bermasalah (terjadi konflik dalam dirinya). Jadi memang secara substansial penerjemahan itu membawa awan-awan gelap yang selama ini ‘tak (mau) dilihat’. Berbeda sekali misalnya dengan pengantar buku A.Widyamartaya yang mengatakan bahwa

23

(52)

penerjemahan akan membantu mencerdaskan bangsa. Pembacaan tunggal terhadap penerjemahan semacam ini, membutakan mata akan bayang-bayang hitam penerjemahan seperti yang sudah disinggung Penulis. Apalagi definisi yang disebutkan Ibnu Burdah dan paparannya –yang agak sedikit apolgetik– setelah itu, definisi tersebut menurut Penulis secara jelas sangat menutup rapat celah yang dapat dimasuki untuk melakukan kritik penerjemahan. Selain itu, uraian Ibnu Burdah yang diiringi dengan catatan hariannya dalam Menjadi Penerjemah pada hal. 23-24 tentang kekeliruan penerjemahan secara linguistik dan semantik, seakan melegitimasi kekeliruan-kekeliruan penerjemahan.

Dari uraian di atas, secara sederhana penerjemahan merupakan sebuah mekanisme dan praktik yang beroperasi secara ambivalen. Penerjemahan harus digarisbawahi dan dicoret pada saat yang bersamaan (dalam kosakata Derrida, ‘penerjemahan merupakan sebuah kata yang diawetkan dan dihapus sekaligus). Mengapa Penulis katakan ambivalen? Di satu sisi, penerjemahan memperkenalkan sebuah konsep atau gagasan dari luar tetapi di sisi lain wacana-wacana yang dibawanya mencoba menggeser atau bahkan mengeksklusi serta mengeliminasi wacana-wacana lokal.24

24

Belum lagi misalnya sikap kritis seorang penerjemah amat dibutuhkan dalam rangka mewaspadai dan mencurigai ideologi atau kultur dalam teks yang sedang dihadapinya. Dalam hal ini, bahasa Arab tentunya yang sarat dengan diskriminatif terhadap perempuan, misalnya. Mengapa demikian? Seperti sudah pernah disinggung bahwa bahasa merupakan refleksi dari struktur berpikir masyarakat tersebut. Hal ini bisa diambil contoh pada Syarh al-Kafrâwi – buku nahwu yang pernah menjadi materi pelajaran bahasa oleh Muhammad Abduh dan hingga saat ini masih dipelajari – h. 64-65, “Mereka (ahli Nahwu) memberi dammah untuk mutakallimlﺏ ﺽ .

Dammah lebih kuat daripada yang sesudahnya (fathah dan kasrah). Dammah diperuntukkan

mutakallim (subjek) guna penyesuaian (karena posisi mutakallim sebagai superrior yang sesuai dengan dammah yang dianggap kuat). Mereka memberi fathah untuk mukhâtab mudzakkar (audiens maskulin). Fathah lebih lemah daripada dammah. Karenanya, fathah diberikan kepada

(53)

B. Metode-metode Penerjemahan.

Pada sub bab kedua ini Penulis akan memaparkan metode-metode yang kita kenal dan pratikkan selama ini. Memang banyak sekali metode-metode penerjemahan yang ada namun Penulis di sini akan sepenuhnya mengutip pembagian metode penerjemahan oleh Newmark yang dilansir Rochayah Machali dalam bukunya,

Pedoman Bagi Penerjemah. Newmark membagi metode penerjemahan menjadi dua.

Untuk lebih jelasnya Penulis mengutip apa yang dituliskan Rochayah Machali sebagai berikut, “Nerwmark (1988) mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (Bsu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran. Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan dalam bentuk dan makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan penulis asli terhadap pembaca versi Bsu.25

Berikut ini merupakan metode penerjemahan yang berorientasi sekaligus menekankan bahasa sumber, namun Penulis sengaja tidak mencantumkan contoh-contohnya. Untuk mengetahui lebih lanjut, Penulis merujuk langsung pada buku Rochayah Machali,

1. Penerjemahan kata-demi-kata

Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata Tsa langsung diletakkan di bawah versi Tsu. Kata-kata dalam Tsu diterjemahkan di luar

dengan paradigma berpikir teks sumber. Sementara teks sumber sendiri (Al-Quran dalam hal ini) juga teks

Gambar

gambaran realitas

Referensi

Dokumen terkait

Pengamatan singkat menghasilkan pernyataan sebagai berikut, jika dalam solusi penyelesaian teka-teki sudoku, kita memiliki konfigurasi dengan tipe seperti pada gambar 6,

Apabila dalam waktu yang telah ditentukan Pejabat tidak juga menetapkan keputusan yang sifatnya tidak mengabulkan atau tidak menolak permintaan izin untuk

KOMUNIKASI ANTAR KELOMPOK MASYARAKAT BERBEDA AGAMA DALAM MENGEMBANGKAN RELASI DAN TOLERANSI SOSIAL (Studi kasus pada masyarakat desa Ngadas suku tengger kecamatan

Usaha Konfeksi dan Sablon sebagai pemasok Factory Outlet, distro dan clothing untuk daerah Jakarta, terutama daerah Dago (Jl.Ir.H.Juanda) di Kota Bandung. Salah

Beroperasi dengan tujuan melakukan pengawasan disekitar Rawa Pening, dalam pengolahan analisa teknis, olah gerak akan dilakukan pada saat kapal diam (V= 0 knot)

Di hadapan anda terdapat 4 sampel kuah sup yang telah diberi bumbu masak dengan penggunaan konsentrasi Spirulina yang berbeda.. Lihat dan amati warna sampel secara berurutan dari

Inst.sistem AC yg meliputi perangkat AC Indoor unit &amp; Outdoor unit (termasuk dudukannya), pipa refrigrant lengkap dengan isolasidan pipa drain, kabel daya &amp; stop kontak.

Pengelolaan kebudayaan dan kepariwisataan pada satu kawasan merupakan upaya dalam mensinergiskan berbagai kepentingan sebagaimana makna dari suatu kawasan merupakan