• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Kelapa Sawit Pada PT. Socfin Indonesia Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Hasil Produksi Kelapa Sawit Pada PT. Socfin Indonesia Medan"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SUKROSA DAN 2-ISOPENTENILADENINA

TERHADAP

PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN UMBI MIKRO

KENTANG (

Solanum tuberosum

L.)

SKRIPSI

OLEH: ASMA UL HUSNA

090301188/PEMULIAAN TANAMAN

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(2)

PENGARUH SUKROSA DAN 2-ISOPENTENILADENINA

TERHADAP

PEMBENTUKAN DAN PERTUMBUHAN UMBI MIKRO

KENTANG (

Solanum tuberosum

L.)

SKRIPSI

OLEH: ASMA UL HUSNA

090301188/PEMULIAAN TANAMAN

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

(3)

Judul Skripsi : Pengaruh Sukrosa dan 2-Isopenteniladenina Terhadap Pembentukan dan Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.)

Nama : Asma Ul Husna

NIM : 090301188

Program Studi : Agroekoteknologi

Minat : Pemuliaan Tanaman

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

(Luthfi A. M. Siregar, SP., MSc., PhD) (Ir. Yusuf Husni)

Ketua Anggota

Mengetahui :

(4)

ABSTRAK

ASMA UL HUSNA : Pengaruh Sukrosa dan 2-Isopenteniladeina Terhadap Pembentukan

dan Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.), dibimbing oleh Luthfi A. M. Siregar dan Yusuf Husni.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi sukrosa dan 2-isopentenilaenina (2-ip) yang sesuai untuk pembentukan dan pertumbuhan umbi

mikro kentang (Solanum tuberosum L.) Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dari Juni hingga September 2013. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama

adalah konsentrasi sukrosa yang terdiri dari 4 taraf yaitu 35 g/l; 50 g/l; 65 g/l; 80 g/l. Faktor kedua adalah konsentrasi 2-ip dengan 5 taraf yaitu 0 mg/l; 2 mg/l; 4

mg/l; 6 mg/l; 8 mg/l.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap dan jumlah umbi mikro per planlet. Sementara konsentrasi 2-ip berpengaruh nyata hanya terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang. Interaksi konsentrasi sukrosa dan 2-ip belum berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Keadaan visual umbi yang terbentuk umumnya lonjong, berwarna kuning atau coklat dengan permukaan berkeriput.

(5)

ABSTRACT

ASMA UL HUSNA: The Effect of Sucrose and 2-Isopenteniladenine to Formation and Growth of Potato (Solanum tuberosum L.) Microtuber, supervised by Luthfi A. M. Siregar and Yusuf Husni.

The research aimed to get a best concentration of sucrose and 2-isopentenilaenine (2-ip) for formation and growth of potato (S. tuberosum L.)

microtuber. The research was carried out in the Tissue Culture Laboratory, agriculture’s Faculty of North Sumatera University from June to September 2013. This research used Randomized Block design with two factors. First factor was sucrose concentration consist of four level: 35 g/l; 50 g/l; 65 g/l; 80 g/l. The second factor was 2-iP concentration consist of five level are 0 mg/l; 2 mg/l; 4 mg/l; 6 mg/l; 8 mg/l.

The result showed that sucrose conentration gave signifiantly effect only to number of nodes after darkness condition and number of nodes each planlet parameter. 2-ip concentration give significantly effect only on number of nodes after lighting condition but have no significantly effect on the number of nodes after darkness condition, number of microtubers of each planlet and fresh weight of microtubers. Interaction of sucrose and 2-ip have no effect significantly to all parameters. The microtubers is oval, yellow or brown with wrinkled structure.

(6)

RIWAYAT HIDUP

Asma Ul Husna dilahirkan di Rantau, NAD pada 06 April 1991, putri dari

pasangan Ali Leo dan Nurlas, merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh yaitu SD N Ade Irma Suryani

Kuala Simpang lulus pada tahun 2003, SMP N 1 Kuala Simpang lulus tahun

2006, tahun 2009 penulis lulus dari SMA N 1 Kejuruan Muda dan di tahun yang

sama, lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru melalui jalur SNMPTN (Seleksi

Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) pada program studi Agroekoteknologi,

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Pengalaman organisasi pernah penulis peroleh melaui organisasi BKM

(Badan Kenadziran Mushala) tahun 2010-2011. Selama mengikuti perkuliahan

penulis juga pernah berkesempatan membantu dosen dalam menjalankan

praktikum Teknologi Benih pada tahun 2011-2012, Dasar Pemuliaan Tanaman

pada tahun 2013, Bioteknologi Pertanian pada tahun 2013, Perbanyakan Vegetatif

Tanaman pada tahun 2013 dan Kultur Jaringan Tanaman tahun 2013.

Penulis melaksanakan Paktek Kerja Lapangan (PKL) di PTPN IV Unit

Usaha Adolina, Kabupaten Serdang Bedagai Provinsi Sumatera Utara pada

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas rahmat

dan karunian-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Sukrosa dan 2-Isopenteniladenina Terhadap Pembentukan dan

Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.)”, yang

merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas

Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada Bapak Luthfi A. M. Siregar, SP., MSc., PhD dan Bapak

Ir. Yusuf Husni selaku ketua dan anggota dari komisi pembimbing yang telah

membimbing, memberikan arahan serta masukan kepada penulis sehingga dapat

menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga diperuntukkan kepada

ayahanda Ali Leo dan ibunda Nurlas, adik-adik penulis Alfi Syahrin, Aldi Rinaldi

dan Al Attar Annaafi serta abangda Ahmad Atho’ur rahman atas segala kasih

sayang, doa dan dukungannya. Penghargaan penulis sampaikan kepada Laboran

Asni, SP, dan juga kepada teman-teman Agroekoteknologi 2009 atas segala

bantuan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis selama menjalankan

penelitian.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan

penulisan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya

membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis mengucapkan

terima kasih. Semoga skripsi dapat bermanfaat.

Medan, Desember 2013

(8)

DAFTAR ISI

Bahan dan Alat Penelitian ... 17

Metode Penelitian ... 17

PELAKSANAAN PENELITIAN Sterilisasi Alat ... 20

Pembuatan Media ... 20

Persiapan Ruang Tanam ... 21

Penanaman Eksplan ... 22

Pemeliharaan Eksplan ... 22

Peubah Amatan Persentase Pertumbuhan Eksplan ... 22

Pertambahan Jumlah Nodus ... 23

Waktu Muncul Umbi ... 23

Jumlah Umbi Mikro Per Planlet ... 23

(9)

Keadaan Visual Umbi ... 23

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 24

Persentase Pertumbuhan Eksplan ... 24

Jumlah Nodus Jumlah Nodus Akhir Kondisi Terang ... 24

Jumlah Nodus Akhir Kondisi Gelap ... 26

Waktu Muncul Umbi ... 27

Jumlah Umbi Mikro Per Planlet ... 28

Bobot Basah Umbi ... 29

Keadaan Visual Umbi ... 29

Pembahasan ... 30

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal

1. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap persentase pertumbuhan eksplan ... 24

2. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang (buah) ... 24

3. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap (buah) ... 26

4. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap waktu muncul umbi (hari) . ... 27

5. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah umbi mikro per planlet (buah) ... 28

6. Pengaruh konsentrsi sukrosa dan 2-ip terhadap bobot basah umbi (miligram)

... 28

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal

1. Hubungan konsentrasi 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi

terang ... 25

2. Hubungan konsentrasi sukrosa terhadap jumlah nodus akhir kondisi

gelap ... 27

3. Hubungan konsentrasi sukrosa terhadap jumlah nodus akhir kondisi

gelap ... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Hal

1. Data pengamatan persentase pertumbuhan eksplan (%) ... 43

2. Data pengamatan jumlah nodus akhir kondisi terang (4 MST) (buah) ... 44

3. Daftar sidik ragam jumlah nodus akhir kondisi terang ... 45

4. Data pengamatan jumlah nodus akhir kondisi gelap (12 MST) (buah) ... 46

5. Daftar sidik ragam jumlah nodus akhir kondisi gelap ... 46

6. Data pengamatan waktu muncul umbi (hari) ... 47

7. Data transformasi waktu muncul umbi √(X+0.5) ... 48

8. Daftar sidik ragam waktu muncul umbi ... 48

9. Data pengamatan jumlah umbi mikro per planlet (buah) ... 49

10. Data transformasi jumlah umbi mikro per planlet √(X+0.5) ... 50

11. Daftar sidik ragam jumlah umbi mikro per planlet ... 50

12. Data pengamatan bobot basah umbi (miligram) ... 51

13. Data transformasi bobot basah umbi √(X+0.5) ... 52

14. Daftar sidik ragam bobot basah umbi ... 52

15. Foto hasil penelitian ... 54

16. Deskripsi tanaman kentang kultivar granola ... 56

17. Komposisi media Murashige dan Skoog (1962) ... 57

18. Bagan penelitian ... 58

(13)

ABSTRAK

ASMA UL HUSNA : Pengaruh Sukrosa dan 2-Isopenteniladeina Terhadap Pembentukan

dan Pertumbuhan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum L.), dibimbing oleh Luthfi A. M. Siregar dan Yusuf Husni.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi sukrosa dan 2-isopentenilaenina (2-ip) yang sesuai untuk pembentukan dan pertumbuhan umbi

mikro kentang (Solanum tuberosum L.) Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dari Juni hingga September 2013. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama

adalah konsentrasi sukrosa yang terdiri dari 4 taraf yaitu 35 g/l; 50 g/l; 65 g/l; 80 g/l. Faktor kedua adalah konsentrasi 2-ip dengan 5 taraf yaitu 0 mg/l; 2 mg/l; 4

mg/l; 6 mg/l; 8 mg/l.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi sukrosa berpengaruh nyata terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap dan jumlah umbi mikro per planlet. Sementara konsentrasi 2-ip berpengaruh nyata hanya terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang. Interaksi konsentrasi sukrosa dan 2-ip belum berpengaruh nyata terhadap semua peubah amatan. Keadaan visual umbi yang terbentuk umumnya lonjong, berwarna kuning atau coklat dengan permukaan berkeriput.

(14)

ABSTRACT

ASMA UL HUSNA: The Effect of Sucrose and 2-Isopenteniladenine to Formation and Growth of Potato (Solanum tuberosum L.) Microtuber, supervised by Luthfi A. M. Siregar and Yusuf Husni.

The research aimed to get a best concentration of sucrose and 2-isopentenilaenine (2-ip) for formation and growth of potato (S. tuberosum L.)

microtuber. The research was carried out in the Tissue Culture Laboratory, agriculture’s Faculty of North Sumatera University from June to September 2013. This research used Randomized Block design with two factors. First factor was sucrose concentration consist of four level: 35 g/l; 50 g/l; 65 g/l; 80 g/l. The second factor was 2-iP concentration consist of five level are 0 mg/l; 2 mg/l; 4 mg/l; 6 mg/l; 8 mg/l.

The result showed that sucrose conentration gave signifiantly effect only to number of nodes after darkness condition and number of nodes each planlet parameter. 2-ip concentration give significantly effect only on number of nodes after lighting condition but have no significantly effect on the number of nodes after darkness condition, number of microtubers of each planlet and fresh weight of microtubers. Interaction of sucrose and 2-ip have no effect significantly to all parameters. The microtubers is oval, yellow or brown with wrinkled structure.

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di dunia terdapat sekitar 4.000 varietas kentang yang dapat dikonsumsi.

Sebagian besar dari jumlah tersebut ditemukan di daerah Andes, Amerika Selatan.

Kentang merupakan bahan makanan terpenting ketiga di dunia setelah padi dan

gandum dalam memenuhi kebutuhan manusia. Lebih dari milyaran orang di dunia

mengkonsumsi kentang, dan total produksi tanaman kentang secara global telah

melebihi 300 juta metrik ton. Oleh sebab itu, kentang menjadi tanaman penting

dalam hal ketahanan pangan untuk menghadapi pertumbuhan penduduk dan

tingkat kelaparan yang terus meningkat (International Potato Center, 2013).

Pentingnya kentang sebagai komoditi pangan dunia, tentu didasarkan pada

kandungan gizi yang dimiliki oleh tanaman ini. BPTP Jawa Tengah (2011)

menyebutkan zat gizi yang terkandung dalam 100 g kentang yaitu kalori sebesar

347 kal, protein 0,3 g, lemak 0,1 g, karbohidrat sebesar 85,6 g, kalsium (Ca) 20 g,

posfor (P) 30 g, besi (Fe) 0,5 mg dan vitamin B sebesar 0,04 mg. Mereka juga

menambahkan bahwa di Indonesia, kentang digemari oleh banyak orang karena

dapat digunakan sebagai bahan sayuran dan makanan ringan.

Akantetapi, kapasitas produksi kentang saat ini semakin menjadi perhatian

khusus. Menurut data BPS (2011), produksi kentang di Sumatera Utara terus

mengalami penurunan dari tahun 2009-2011. Tercatat, produksi kentang di tahun

2009 sebesar 129.587 ton dengan produktivitas sebesar 16,17 ton/ha, tahun 2010

turun menjadi 126.203 ton dengan produktivitas sebesar 15,83 ton/ha dan di tahun

2011 produksi hanya sebesar 123.078 ton dengan produktivitas sebesar 17,09

(16)

Sedangkan Warnita (2008) mengungkapkan produksi kentang tersebut ternyata

belum mampu mencukupi kebutuhan kentang saat ini. Demikian pula, kebutuhan

akan bahan French fries dan chip masih di impor dari Australia karena produksi

Indonesia baru mencukupi 20% dari kebutuhan Indonesia. Ketersediaan bibit kentang

bermutu merupakan salah satu kendala dalam peningkatan produksi kentang di negara

ini. Penyediaan kentang bermutu sangat terbatas karena perbanyakannya yang sangat

lambat dan adanya penyakit yang menyerang bibit sehingga menurunkan hasil panen.

Oleh sebab itulah, salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjawab

tantangan dan kendala diatas yakni melalui teknik in vitro. Karjadi (2006)

menyatakan penggunaan teknik in vitro untuk tujuan perbanyakan vegetatif

merupakan areal/bidang yang paling maju dalam teknik kultur jaringan.

Umbi mikro (umbi yang dikembangkan secara in vitro) adalah benih

kentang miniatur yang merupakan fase intermediet antara planlet in vitro dengan

umbi mini. Umbi mikro adalah generasi pertama benih kentang dari hasil kultur

jaringan, yang digunakan untuk memecahkan masalah aklimatisasi (transplanting)

planlet dari kondisi in vitro ke kondisi in vivo. Produksi umbi mikro merupakan

metode yang efisien untuk memperoleh bahan tanaman yang sehat dan

mengurangi proses produksi benih bermutu sekitar 3 - 4 tahun (Nistor et al, 2010)

Karbohidrat memainkan peran penting dalam kultur in vitro sebagai

sumber energi dan karbon. Untuk kegiatan kultur pada umumnya, baik itu kultur

sel, jaringan atau organ, penting untuk memasukkan sumber karbon ke dalam

medium. Sukrosa adalah bahan yang umumnya digunakan untuk tujuan

mikropropagasi karena manfaatnya sangat umum dalam kultur jaringan. Gula

(17)

Kehadiran sukrosa dalam media kultur jaringan secara khusus menghambat

pembentukan klorofil dan fotosintesis serta menyebabkan pertumbuhan autroropik

kurang baik (Thorpe et al, 2008).

Tidak hanya sukrosa atau karbohidrat saja yang berperan penting. Banyak

komponen lainnya yang juga mampu mendukung terbentuknya umbi mikro ini,

salah satunya adalah sitokinin. Karjadi dan Buchory (2008) mendefenisikan

sitokinin adalah senyawa turunan adenine dan berperan dalam pengaturan

pembelahan sel dan morfogenesis. Sitokinin digunakan untuk merangsang

terbentuknya tunas, berpengaruh dalam metabolisme sel, dan merangsang sel

dorman serta aktivitas utamanya adalah mendorong pembelahan sel. Staden et al

(2008) menambahkan beberapa komponen sitokinin yang digunakan dalam

kegiatan kultur jaringan diantaranya adalah (1) kinetin, sitokinin pertama yang

ditemukan, (2) trans zeatin (4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenylaminopurin), (3)

iP (N6-Δ2isopentenyladenin) dan dihydrozeatin

(6-(4-hydroxy-3-methyl-trans-2-butenyl)aminopurine).

Begitu banyak penelitian yang membahas mengenai peran sukrosa dan

sitokinin dalam pembentukan umbi mikro kentang. Hasil penelitian Ebadi dan

Iranbakhsh (2011) mengungkapkan bahwa penggunaan 10 mgl-1 BAP dan 80 gl-1

sukrosa memberikan hasil terbaik terhadap persentase pembentukan umbi mikro,

rataan jumlah umbi mikro yang terbentuk, bobot basah dan bobot kering umbi

serta ratio bobot kering terhadap bobot basah umbi mikro. Sedangkan Ni’mah et

al (2012) menyatakan bahwa media MS yang mengandung 80 g/l sukrosa dan 7

mg/l kinetin memberikan hasil optimum untuk penginduksian umbi mikro

(18)

Akan tetapi belum banyak penelitian yang menggunakan

2-isopenteniladenina (2-ip) sebagai sumber sitokinin yang dikombinasikan dengan

sukrosa dalam pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro kentang ini. Dari

sinilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas bagaimana

pengaruh sukrosa dan 2-ip terhadap pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro

kentang.

Tujuan Penelitian

Untuk menentukan konsentrasi sukrosa dan 2-ip serta kombinasi dari

keduanya yang sesuai untuk pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro kentang.

Hipotesa Penelitian

Ada perbedaan pengaruh dalam pembentukan dan pertumbuhan umbi

mikro kentang akibat penggunaan tingkat konsentrasi sukrosa dan 2-ip yang

berbeda serta interaksi dari kedua faktor perlakuan tersebut.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi sebagai

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara, Medan dan sebagai bahan informasi bagi pihak yang

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani tanaman

Hartus (2001) mengungkapkan bahwa kentang masih satu famili dengan

cabai, tomat, terung, paprika, dan tembakau. Kentang masuk dalam divisi

Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae,

Famili Solanaceae, genus Solanum, dan spesies Solanum tuberosum L.

Kentang adalah tanaman dikotil tahunan berumur pendek yang biasanya

ditanam sebagai tanaman setahun untuk diambil umbi bawah tanahnya yang dapat

dimakan. Tanaman kentang yang dihasilkan secara aseksual dari umbi, memiliki

akar serabut dengan percabangan halus, agak dangkal dan akar adventif

yang berserat yang menyebar. Sedangkan tanaman yang tumbuh dari biji

membentuk akar tunggang ramping dengan akar lateral yang banyak

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Batang muncul pada permulaan tiap musim tumbuh dari umbi yang

dihasilkan pada tahun sebelumnya, atau dikenal dengan umbi induk. Umbi

kentang merupakan modifikasi batang yang berada di bawah tanah, bukan dari

pembengkakan akar. Tiap “mata” pada umbi kentang adalah tunas batang, sama

dengan tunas yang terdapat pada buku batang. Batang bisa berwarna hijau

hingga keunguan atau campuran bintik dari warna-warna tersebut dan seolah

memiliki “sayap” (mirip benjolan yang tumbuh keluar dari batang)

(Spooner dan Salas, 2006).

Daun menyirip majemuk, dengan lembar daun bertangkai memiliki

ukuran, bentuk, dan tekstur yang beragam (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

(20)

dari batang di atas tanah. Diantara batang dan daun (daun aksilar), cabang atau

bunga (inflorescencens) diproduksi.

Bunga kentang berdiameter 3-4 cm dan memiliki lima sepal dan petal serta

dua sel ovary dengan single style dan stigma bilobed. Ukuran corolla bervariasi

sesuai cultivar. Warna corolla bervariasi dari keunguan hingga mendekati putih.

Petal bersatu dengan tubular. Stamen tumbuh hingga ke tabung corolla dan

membentuk anther. Anther berwarna kuning mencolok kecuali pada tanaman yang

mengalami mandul jantan (male sterility), yang memiliki warna kuning cerah atau

kuning kehijauan (Sleper dan Poehlman, 2006).

Biji pipih kecil, sebanyak beberapa butir hingga beberapa ratus biji,

berbentuk oval atau jantung, berwarna kuning atau coklat kekuningan, terbungkus

di dalam pulp. Umbi adalah batang pendek, tebal, dan berdaging dengan daun

yang berubah menjadi kerak atau belang, berdampingan dengan tunas samping

(aksilar), yang dikenal dengna mata. Permukaan umbi dapat halus atau kasar.

Warna daging umbi biasanya kuning muda atau putih. Bentuk umbi beragam,

memanjang, kotak, bulat atau pipih (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Perbanyakan tanaman kentang sendiri dapat dilakukan melalui beberapa

cara diantaranya dengan menggunakan tunas umbi, bagian batang, umbi utuh,

umbi dibelah, biji botani dan penggunaan metode in vitro yakni kultur jaringan

(mikropropagasi). Dalam perbanyakan in vitro umumnya menggunakan nodal

cutting, apical cutting dan microtubers (Kusmana, 2012).

Penggunaan umbi mikro sebagai salah satu propagul kentang memiliki

beberapa keuntungan antara lain: (1) propagul umbi mikro berasal dari eksplan bebas

(21)

akan menghasilkan tanaman yang seragam dan umur panen sama dengan umbi biasa,

(3) kebutuhan umbi mikro hanya 4 – 5 kg /Ha dibandingkan dengan umbi biasa yang

memerlukan 1 - 2 ton bibit/Ha, (4) mudah dalam penyimpanan, transportasi dan

pengiriman, (5) mudah memenuhi persyaratan karantina untuk lalu lintas propagul

baik dalam atau luar negeri (Wattimena, 2000).

Teknik In Vitro

Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara

vegetatif. Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara

mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, serta menumbuhkan

bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan

zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian

tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.

Prinsip utama dari teknik kultur jaringan adalah perbanyakan tanaman dengan

menggunakan bagian vegetatif tanaman menggunakan media buatan yang

dilakukan di tempat steril (Departemen Kehutanan, 2011).

Prinsip-prinsip dasar mengenai kultur jaringan diantaranya:

(1) Teori totipotensi sel yang dikemukakan oleh Schwan dan Schleiden (1838).

Menurut teori ini, setiap sel tanaman yang hidup mempunyai informasi

genetik dan perangkat fisiologis yang lengkap untuk dapat tumbuh dan

berkembang menjadi tanaman utuh, jika kondisinya sesuai.

(2) Konsep Skoog dan Miller (1957) yang mengemukakan bahwa regenerasi

tunas dan akar in vitro dikontrol secara hormonal oleh ZPT sitokinin dan

(22)

(3) Sifat kompeten, dediferensiasi, dan determinasi sel atau jaringan eksplan.

Suatu sel atau jaringan dikatakan kompeten jika sel atau jaringan tersebut

mampu memberikan tanggapan terhadap signal lingkungan dan hormonal.

Dediferensiasi sel-sel eksplan yang sebelumnya sudah terdiferensiasi berarti

berubahnya sel-sel eksplan yang tadinya sudah terspesialisasi menjadi tidak

terspesialisasi dan kembali ke kondisi meristematik. Determinasi terjadi jika

sel-sel atau jaringan tersebut terus berkembang menjadi organ atau embrio,

walaupun diletakkan di lingkungan baru yang bebas dari signal penyebab

organogenesis dan morfogenesis (Yusnita, 2003).

Kultur jaringan dimulai dari potongan tubuh tanaman. Organ yang

berukuran kecil ataupun potongan jaringan yang digunakan dalam kultur jaringan

disebut eksplan. Bagian eksplan (baik itu pada tanaman stok atau tanaman induk)

dari tiap eksplan yang diperoleh, bergantung pada (1) jenis kultur inisiasi,

(2) tujuan pengkulturan, (3) spesies tanaman yang digunakan. Eksplan dapat

menghasilkan berbagai bentuk yang berbeda. Pemilihan bahan eksplan yang tepat

merupakan hal yang penting untuk dapat mencapai kesuksesan dalam kultur

jaringan (George, 2008).

Kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan kultur in vitro yang optimal

bervariasi antar spesies ataupun antar varietas. Bahkan, jaringan yang berasal dari

bagian tanaman yang berbeda pun akan berbeda kebutuhan nutrisinya. Oleh

karena itu, tidak ada satu pun medium dasar yang berlaku universal untuk semua

jenis jaringan dan organ. Meskipun demikian, medium dasar MS yang direvisi

adalah yang paling luas penggunaannya dibandingkan dengan media dasar lainnya

(23)

Ada dua cara pembiakan kentang secara mikro yaitu melalui tunas mikro

dan umbi mikro. Efisiensi pengumbian mikro kentang seperti sukrosa, sitokinin,

growth retardant, growth inhibitors, nitrogen, CO2, pH dan komponen-komponen

lainnya. Produksi umbi mikro juga tergantung dari metode pemindahan tunas

mikro, yaitu dari media perbanyakan ke media pengumbian. Tunas mikro dapat

dibiakkan di media perbanyakan padat ataupun cair dan kemudian dipindah ke

media pengumbian. Media pengumbian ini juga dapat berbentuk padat atau cair,

sehingga akan terbentuk suatu sistem pengumbian padat, padat-cair, cair-cair

ataupun cair subtitusi cair (Wattimena et al, 1983).

Sukrosa

Gula digunakan sebagai sumber energi dalam media kultur, karena

umumnya bagian tanaman atau eksplan yang dikulturkan tidak autrotof dan

mempunyai laju fotosintesis sangat rendah. Gula yang paling sering digunakan

adalah sukrosa. Untuk itu, gula pasir yang digunakan sehari-hari dapat dipakai

karena mengandung 99,9% sukrosa. Glukosa dan fruktosa dapat digunakan, tetapi

harganya lebih mahal dan hasilnya tidak selalu lebih baik daripada sukrosa.

Konsentrasi sukrosa yang digunakan berkisar 1-5% (10-50 g/l), tetapi untuk

kebanyakan pengkulturan, 2-3% sukrosa umumya merupakan konsentrasi yang

optimum (Yusnita, 2003).

Sukrosa memiliki beberapa peran penting dalam media, yaitu sebagai

sumber karbon, sumber energi, pengatur tekanan osmotik, mengatur stabilisasi

membran, dan berperan sebagai pelindung terhadap stres. Peran sukrosa dalam

mengatur tekanan osmotik mempengaruhi kemampuan jaringan dalam

(24)

berarti banyak terdapat molekul-molekul, sehingga arah gerakan difusi ialah ke

tempat yang kekurangan molekul atau yang berkonsentrasi rendah. Keadaan

demikian menyebabkan sel-sel pada jaringan eksplan yang ditumbuhkan pada

media dengan penambahan sukrosa tinggi dapat cepat menerima unsur-unsur hara

yang diperlukan bagi perkembangannya (Ni’mah et al, 2012).

Sukrosa sebagai sumber karbohidrat perlu ditambahkan selama

pembentukan bibit mikro kentang. Konsentasi sukrosa yang optimum untuk

pengumbian in vitro berkisar antara 6–8% (Wang dan Hu, 1982).

Sementara Smith (2000) menyatakan bahwa penggunaan sukrosa di dalam

pembibitan in vitro ini adalah untuk menciptakan ketahanan dari bibit mikro

kentang itu sendiri. Konsentrasi sukrosa yang optimum untuk pertumbuhan in

vitro berkisar antara 2 –5 %.

Lakitan (1996) mengungkapkan faktor internal yang mempengaruhi

pertumbuhan umbi mikro adalah laju dan kuantitas fotosintat yang dipasok dari

tajuk tanaman. Pada tanaman kentang, ukuran umbi rata-rata berbanding langsung

dengan pertumbuhan tajuk dan berbanding terbalik dengan jumlah umbi yang

terbentuk dimana pertumbuhan umbi akan terhenti jika tajuk tanaman mati karena

pasokan fotosintat untuk menopang pertumbuhan umbi terhenti. Laju

pertambahan berat umbi lebih ditekan oleh fotosintat yang dihasilkan selama

periode perkembangan umbi yang bersangkutan.

Laju pemanjangan batang berbeda antara spesies dan dipengaruhi oleh

lingkungan di mana tanaman tersebut tumbuh. Faktor lingkungan yang besar

pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya

(25)

Zulkarnain (2009) menyatakan bahwa semua medium kultur in vitro

dilengkapi sumber karbon dan energi. Sukrosa ataupun D-glukosa biasanya

diberikan pada konsentrasi 20.000-30.000 mg L-1, namun konsentrasi yang lebih

tinggi kadang diberikan untuk tujuan-tujuan tertentu. Hampir semua kultur

memperlihatkan respons pertumbuhan yang optimum dengan pemberian

disakarida dalam sukrosa. Sukrosa bersifat labil terhadap pemanasan, sterilisasi

senyawa ini menggunakan otoklaf akan menghasilkan sukrosa, glukosa, dan

D-fruktosa. Ia juga menambahkan bahwa konsentrasi yang tepat dari sukrosa dan

garam-garam mineral merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan supaya

mendapatkan laju mikropropagasi yang optimum.

Hasil penelitian dari Ratna (2010) menunjukkan bahwa perlakuan dengan

pemberian 40 g/l sukrosa pada media dapat mempercepat munculnya umbi mikro

13-18 hst, sedangkan perlakuan dengan 70 g/l sukrosa pada media memberikan

produksi umbi mikro terbanyak dengan rataan bobot basah sebesar 0,075 g.

Sitokinin (2-ip)

Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (benziladenin) karena

efektivitasnya tinggi dan harganya relatif murah. Sitokinin jenis lain yang dapat

digunakan adalah kinetin (furfuril-aminopurin) dan 2-ip. Namun, kedua jenis

sitokinin ini harganya lebih mahal dan efektivitasnya lebih rendah daripada BA.

Penggunaan sitokinin BA, kinetin, dan 2-ip sering berkisar pada konsentrasi

0,5-10 mg/l (Yusnita, 2003).

Sitokinin yang berasal dari akar merangsang pertumbuhan daun. Hal ini

dibuktikan dengan penelitian di mana semua akar atau sebagian akar pada

(26)

lebih lambat, tetapi pemberian sitokinin pada daun dapat mengembalikan

kemampuan daun untuk tumbuh (Lakitan, 1996).

Sitokinin mampu menggantikan sebagian faktor yang dibutuhkan akar

untuk menunda penuaan, dan kandungan sitokinin dapat menggantikan efek

cahaya dengan menunda penuaan helai daun yang meningkat berlipat ganda

ketika akar liar terbentuk. Cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun oat

yang dipetik yaitu daun tersebut mulai menua, yang mula-mula dicirikan dengan

terurainya protein menjadi asam amino kemudian hilangnya klorofil. Penuaan ini

terjadi jauh lebih cepat di tempat gelap daripada di tempat terang dan sitokinin

yang ditambahkan pada larutan tempat daun tadi diapungkan dapat menggantikan

efek cahaya dengan menunda penuaan (Salisbury dan Ross, 1995).

Sama halnya dengan penambahan sitokinin yang berlebihan akan

menghambat pertumbuhan vegetatif tanaman (jumlah tunas dan jumlah nodus).

Lakitan (2011) menambahkan, pertumbuhan batang tanaman tidak membutuhkan

sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi atau membutuhkan sitokinin eksogen

dalam konsentrasi yang rendah, karena kandungan sitokinin endogen sudah

mencukupi. Akibatnya penambahan sitokinin eksogen tidak lagi berpengaruh,

bahkan dapat menghambat pertumbuhan karena konsentrasi sitokinin menjadi

eksesif (supra optimal). Jumlah tunas akan mempengaruhi jumlah nodus dan umbi

mikro yang akan terbentuk.

Sitokinin akan merangsang pembelahan sel sehingga menghasilkan

ruangan yang dapat digunakan sebagai tempat akumulasi zat tepung. Semakin

banyak jumlah umbi mikro yang dihasilkan, maka berat basah umbi mikro juga

(27)

hubungan korelasi yang positif. Pada media umbi mikro, sitokinin mendorong

terbentuknya umbi mikro pada tunas dan nodus dari eksplan tanaman kentang

secara in vitro (Ni’mah et al, 2012).

Pada penelitian pucuk tanaman anggur yang dikulturkan pada medium

yang diformulasikan oleh Murashige pada tahun 1974 dan dilengkapi dengan 100

mgL-1 tiamin-HCl; 3-4 mgL-1 BAP; dan 30 gL-1 sukrosa diperoleh regenerasi

pucuk adventif yang terjadi dua kali lipat lebih banyak pada medium dengan

konsentrasi garam 3

4 dibandingkan medium dengan konsentrasi 1

2 atau konsentrasi

penuh. Perbedaan tersebut hilang bila medium ditambahkan 80 mgL-1 adenin

sulfat (suatu sitokinin). Hal itu menunjukkan bahwa konsentrasi medium menjadi

faktor penting bila sitokinin tidak diberikan pada tingkat konsentrasi yang

optimum. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa untuk mendapatkan hasil

yang maksimum dari perlakuan zat pengatur tumbuh maka komponen medium

lainnya harus berada pada kadar yang optimum (Zulkarnain, 2009).

Pembentukan Umbi Mikro

Stolon adalah bagian yang keluar dari Collum (batang akar atau akar

utama). Pada stadia awal tumbuhnya, stolon sepintas seperti akar biasa. Warnanya

lebih putih dan biasanya lebih panjang daripada akar cabang. Ukurannya juga

lebih besar. Stolon amat lunak dan berisi lebih banyak cairan dibandingkan akar.

Setelah mencapai panjang maksimal, stolon akan menggembung pada ujungnya.

Stolon ini akan terus membesar sejalan dengan bertambahnya umur sampai suatu

saat dapat dipanen sebagai umbi kentang (Hartus, 2001).

Pertumbuhan awal stolon dapat terjadi bahkan sebelum pucuk berdaun

(28)

berlangsung dalam rentang suhu dan panjang hari yang lebar, tapi perkembangan

stolon menjadi umbi biasanya memerlukan kondisi yang lebih khusus.

Tampaknya, untuk pertumbuhan awal stolon diperlukan kadar giberelin yang

tinggi dan kadar sitokinin yang tidak terlalu tinggi (Salisbury dan Ross, 1995).

Media MS yang diperkaya dengan konsentrasi sukrosa hingga 6% dapat

menyebabkan pengumbian pada beberapa kultivar kentang. Dalam menginduksi

pengumbian secara in vitro pada sebagian besar kultivar kentang, sukrosa mampu

menginduksi hanya pada kondisi di bawah short-day (hari pendek). Penyinaran

hari pendek diketahui meningkatkan level sitokinin endogen pada kultur kentang

dan kebutuhan kondisi hari pendek untuk pengumbian secara in vitro dapat

menghasilkan hubungan yang negatif, setidaknya sebagian diantaranya, akibat

pengaplikasian sitokinin. Menariknya, hampir sebagian besar kultivar kentang

yang diuji, kemampuan menginduksi umbi mikro akibat pemberian sukrosa dan

sitokinin diekspresikan secara maksimal dalam kultur yang dipelihara pada

kondisi gelap (Taji et al, 2001).

Faktor penting yang mempengaruhi pembentukan umbi adalah suhu,

fotoperiodisme, nitrogen, sitokinin, retardan dan inhibitor. Dalam pembentukan

umbi mikro secara in vitro dibutuhkan keadaan tanpa cahaya dan suhu yang

rendah (15-20oC) (Artati, 1989).

Pembentukan umbi kentang biasanya terjadi dalam kultur berumur 3-4

minggu di bawah kondisi induktif. Pembentukan umbi sering terjadi senescence,

dan ini dapat diatasi dengan penambahan sukrosa dan sitokinin

(29)

Ada tiga fase pembentukan umbi, yaitu (1) inisiasi, yaitu terjadinya

diferensiasi tunas pada stolon menjadi primordia umbi, (2) pembesaran umbi,

ditandai dengan pembelahan sel yang cepat dibarengi dengan penumpukan pati,

dan (3) pematangan umbi, yang terjadi ketika umbi memasuki fase dorman.

Pembesaran umbi dapat mengalahkan pertumbuhan vegetatif dan inisiasi

umbi baru. Bersamaan dengan pematangan umbi, terjadi senescence daun

(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Pada organ penyimpanan, pati ditimbun pada amiloplas. Sintesis pati pada

amiloplas menggunakan bahan baku sukrosa atau bentuk karbohidrat sederhana

lainnya yang dikirim dari daun. Pembentukan pati umumnya berlangsung melalui

proses yang sama secara berulang-ulang dengan menggunakan glukosa dari

glukosa yang mirip dengan UDPG yang disebut ADPG. Pembentukan ADPG

berlangsung dalam kloroplas atau plastida lainnya menggunakan ATP dan

glukosa-1-P. Reaksi tersebut dipacu oleh enzim pati sintetase (Lakitan, 2011).

Pada sel-sel yang berklorofil, sukrosa tersusun pada waktu fotosintesis atau

segera setelah fotosintesis. Akan tetapi di dalam daun itu juga terjadi penyusunan

sukosa dalam gelap, asal saja ke alam daun itu diberikan glukosa dan fruktosa

(Dwidjoseputro, 1980). Lakitan (2011) menambahkan, pada siang hari, pati akan

terakumulasi dalam daun jika laju fotosintesis melampaui laju respirasi dan

translokasi fotosintat keluar dari daun. Pada malam hari, pati yang terakumulasi

ini akan diurai kembali melalui proses respirasi dan diangkut keluar dari daun.

Salisbury dan Ross (1955) juga menambahkan bahwa saat itulah daun harus

mendeteksi fotoperiodisme maupun suhu, dan harus mengirim senyawa

(30)

Hari pendek mengakibatkan menurunnya kadar giberellinn dalam

tumbuhan, dan hal ini mungkin menyebabkan stolon berhenti memanjang.

Penghambatan pemanjangan stolon dapat dilakukan tanpa menghambat

pembesarannya (yang membentuk umbi). Terdapat juga bukti yang kuat tentang

adanya seyawa penginduksi umbi yang terbentuk di daun beberapa kultivar

sebagai respon hari pendek. Pembentukan umbi paling baik pada suhu malam

sekitar 12oC (Salisbury dan Ross, 1995).

Eksplan yang mempunyai jumlah umbi yang banyak terjadi proses

distribusi asimilat yang menyebar ke setiap umbi, tetapi pada eksplan yang

mempunyai umbi sedikit distribusi asimilat lebih terfokus pada pertumbuhan

umbinya sehingga umbi yang terbentuk berukuran besar (Warnita, 2008).

Serangkaian hasil penelitian mengenai pembentukan umbi mikro kentang

akibat interaksi diantara sukrosa dan sitokinin (baik BAP dan kinetin) telah

banyak dilakukan. Imani et al (2010) menyebutkan bahwa media yang

mengandung 60 g/l sukrosa dan 15 g/l BAP memberikan hasil maksimum pada

jumlah umbi mikro yang terbentuk, akan tetapi interaksi 60 g/l sukrosa dengan 12

g/l BAP memberikan hasil maksimum pada ukuran umbi mikro yang dihasilkan.

Aslam dan Iqbal (2010), media dengan 5 mg BA dan 8% sukrosa memberikan

hasil terbaik terkait induksi dan rataan dari jumlah umbi mikro per eksplan buku

tunggal, media dengan 6 mg BA dan 7% sukrosa tertinggi dalam rataan bobot

basah umbi per eksplan untuk kultivar Diamant dan media dengan 2 mg kinetin

dan 6% sukrosa terbaik untuk induksi, rataan jumlah dan bobot basah umbi mikro

(31)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman,

Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan sejak Juni–September

2013.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan merupakan planlet kentang kultivar

Granola berusia 3 minggu yang diperoleh dari UPT-BBI (Balai Benih Induk)

Dinas Pertanian Gedung Johor, Medan. Bahan tanaman tersebut dipelihara dalam

media MS + ekstrak air kelapa 10 ml/l dan disubkultur setiap 2 bulan. Bahan

eksplan yang digunakan diambil dari stek buku (nodus) ganda (terdiri dari dua

tunas dan dua ketiak daun). Planlet tersebut dipotong sepanjang + 3 cm dan

digunakan sebagai eksplan pada penanaman selanjutnya. Dalam penelitian ini

juga digunakan bahan penyusun media MS, 2-ip, alkohol 96%, akuades, agar serta

bahan pendukung lainnya.

Dalam penelitian ini juga menggunakan beberapa alat, diantaranya botol

kultur dengan volume 250 ml dan diameter 5 cm, autoklaf, Laminar Air Flow

(LAF), scalpel, bunsen, timbangan analitik, hot plate, gelas ukur, pipet tetes,

batang pengaduk, pH meter atau kertas lakmus, erlenmeyer, petridish, oven serta

alat-alat pendukung lainnya.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok, dengan dua

(32)

Faktor I : Tingkat konsentrasi sukrosa dalam media dengan 4 taraf

S1 : 35 g/l (3,5%)

S2 : 50 g/l (5%)

S3 : 65 g/l (6,5%)

S4 : 80 g/l (8%)

Faktor II : Tingkat konsentrasi 2-ip dalam media dengan 5 taraf

P0 : 0 mg/l (tanpa 2-ip)

P1 : 2 mg/l

P2 : 4 mg/l

P3 : 6 mg/l

P4 : 8 mg/l

Sehingga diperoleh kombinasi perlakuan sebagai berikut:

S1P0 S2P0 S3P0 S4P0

S1P1 S2P1 S3P1 S4P1

S1P2 S2P2 S3P2 S4P2

S1P3 S2P3 S3P3 S4P3

S1P4 S2P4 S3P4 S4P4

Jumlah perlakuan : 20

Jumlah ulangan : 4

Jumlah sampel : 80

Jumlah eksplan per botol : 1

(33)

Adapun model linier dari sidik ragam penelitian adalah sebagai berikut:

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + Bk + ε ijk

i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3, 4, 5 k = 1, 2, 3, 4

Keterangan:

Yijk :data pengamatan pada unit percobaan akibat pengaruh sukrosa ke-i dan

2-ip ke-j dan blok ke-k

µ : nilai tengah

αi : pengaruh sukrosa ke-i

βj : pengaruh 2-ip ke-j

(αβ)ij : nilai tambah pengaruh interaksi sukrosa ke-i dan 2-ip ke-j

Bk : pengaruh blok ke-k εijk : galat percobaan

Apabila hasil analisis sidik ragam menunjukkan signifikansi, maka

dilanjutkan ke tahap uji beda rataan dengan menggunakan uji jarak berganda

(34)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Sterilisasi Alat

Sterilisasi bermanfaat untuk membersihkan seluruh alat-alat yang akan

digunakan selama penelitian agar tidak menjadi salah satu sumber kontaminan

bagi eksplan. Alat-alat seperti botol kultur, gelas ukur, petridis, erlenmeyer,

pinset, scapel, dan alat-alat gelas lainnya direndam dalam detergen terlebih

dahulu, kemudian dicuci dengan air, hingga bersih dan dikeringkan. Selanjutnya

alat-alat seperti scapel, pipet ukur, pinset dan petridish dibungkus dengan kertas

sampul sedangkan erlenmeyer dan gelas ukur ditutup dengan aluminium foil pada

bagian permukaannya. Setelah itu, semua botol kultur dan alat-alat disterilkan

dalam autoklaf pada suhu 121°C dengan tekanan 17,5 psi selama 60 menit.

Kemudian alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam oven, kecuali botol kultur.

Pembuatan Media

Media yang digunakan dalam penelitian ini adalah media Murashige dan

Skoog (MS) padat. Tahap pertama dalam pembuatan media adalah membuat

larutan stok bahan kimia hara makro dengan pembesaran 20x, hara mikro dengan

pembesaran 200x, larutan iron dengan pembesaran 100x, larutan vitamin dengan

pembesaran 200x. Tahap berikutnya, sukrosa dimasukkan ke dalam beaker glass

yang telah berisi akuades 500 ml sesuai taraf perlakuan, lalu diaduk dengan

menggunakan magnetic stirrer sebagai pengaduk. Kemudian ditambahkan

myo-inositol sebanyak 0,1 gr dan diaduk hingga larut. Dimasukkan unsur hara

makro 50 ml, larutan stok hara mikro 5 ml, iron 10 ml dan vitamin 5 ml.

Kemudian larutan ditepatkan menjadi 750 ml. Larutan dibagi dalam lima

(35)

ditambahkan 2-ip tiap perlakuan. Kemudian masing-masing larutan tersebut

ditepatkan menjadi 200 ml. Keasaman diukur dengan pH meter, pH yang

dikehendaki adalah 5,8. Untuk mengatur pH yaitu menaikkan atau menurunkan

pH dapat digunakan larutan NaOH dan HCl 1 N.

Agar sebanyak 1.4 gr ditambahkan ke dalam erlenmeyer setiap

perlakuan, kemudian dipanaskan diatas hot plate dengan pengaduk magnetic

stirer sampai larutan menjadi bening (semua agar telah larut). Kemudian kelima

erlenmeyer dibagi empat sehingga diperoleh 20 botol kultur diantara tiap

perlakuan sukrosa dan media siap dipindahkan ke dalam botol kultur berdiameter

5 cm sebanyak + 50 ml/botol. Dilakukan dengan tahap yang sama untuk

masing-masing perlakuan sukrosa sehingga diperoleh seratus botol kultur. Kemudian

botol kultur tersebut ditutup dengan aluminium foil dan diberi label sesuai dengan

perlakuan. Media dalam botol tersebut disterilisasikan di dalam autoklaf dengan

tekanan 17,5 Psi, suhu 121°C selama 30 menit. Selanjutnya media tersebut dapat

disimpan dalam ruang kultur sebelum digunakan.

Persiapan Ruang Tanam

Sebelum digunakan, LAF dibersihkan terlebih dahulu dengan cara

menyemprotkan alkohol 96% lalu di lap dengan kain bersih. Selanjutnya

dilakukan sterilisasi dengan sinar Ultra Violet selama satu jam sebelum kegiatan

penanaman dilakukan. Scalpel dan alat tanam lainnya harus direndam dahulu

dalam alkohol 96%. Sedangkan alat-alat lainnya harus disemprot terlebih dahulu

dengan alkohol 96% sebelum dimasukkan ke dalam LAF. Hal ini bertujuan untuk

(36)

Penanaman Eksplan

Eksplan yang digunakan adalah tunas dari planlet kentang yang telah

dikulturkan dalam media MS + ekstrak air kelapa 10 ml/l (media subkultur).

Planlet dikeluarkan dari botol kultur dengan menggunakan pinset. Kemudian

nodus-nodus pada planlet tersebut dipotong sepanjang + 3 cm dengan

menggunakan gunting yang steril. Eksplan yang akan dikulturkan ke dalam media

tanam diletakkan di petridis. Kemudian eksplan ditanamkan ke dalam botol media

sesuai dengan perlakuan, setiap botol kultur terdiri dari 1 eksplan. Botol kultur

diletakkan di rak kultur dalam kondisi terang selama 4 minggu dan dilanjutkan

dengan kondisi gelap (tanpa cahaya) selama 8 minggu (Ni’mah et al, 2012).

Pemeliharaan Eksplan

Botol-botol kultur yang telah ditanami eksplan diletakkan dalam ruang

kultur. Ruangan ini diusahakan bebas dari bakteri, cendawan ataupun semut untuk

menghindari kontaminasi pada kultur. Botol-botol kultur disemprot setiap hari

dengan alkohol 96%. Dalam penelitian ini suhu ruangan kultur yang digunakan

+ 18-20°C.

Peubah Amatan

Persentase Pertumbuhan Eksplan (%)

Kultur dapat dikatakan tumbuh apabila berwarna hijau dan secara visual

mengalami penambahan ukuran dan perubahan morfogenesis. Parameter ini

dihitung pada akhir penelitian dengan menggunakan rumus:

(37)

Jumlah Nodus (buah)

Jumlah nodus erat kaitannya dengan jumlah umbi yang dapat dihasilkan

oleh satu planlet. Parameter ini diamati sebanyak 2 kali yakni pada akhir kondisi

terang dan akhir kondisi gelap dengan menghitung banyaknya nodus yang

terdapat dalam satu planlet/sampel pada masing-masing perlakuan.

Waktu Muncul Umbi (hari)

Waktu kemunculan umbi dihitung saat planlet telah menghasilkan umbi

mikro pertama pada masing-masing sampel. Penentuan waktu kemunculan umbi

dilakukan dengan menghitung lamanya waktu yang diperlukan planlet untuk

membentuk umbi mikro pertama sejak tanggal penanaman dimulai.

Jumlah Umbi Mikro Per Planlet (buah)

Umbi mikro yang dihasilkan oleh satu planlet dihitung secara individual

pada tiap sampel dalam botol kultur. Perhitungan ini dilakukan pada akhir

penelitian.

Bobot Basah Umbi (miligram)

Selanjutnya, umbi-umbi mikro tersebut ditimbang menggunakan

timbangan analitik untuk mengetahui bobot basah dari umbi yang dihasilkan oleh

masing-masing perlakuan.

Keadaan Visual Umbi

Pengamatan pada parameter ini dilakukan dengan melihat kenampakan

secara visual dari umbi mikro yang dihasilkan. Kriteria yang diamati dalam

parameter ini diantaranya bentuk umbi, warna umbi, tekstur umbi dan kerusakan

(38)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diketahui bahwa pemberian

sukrosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah nodus akhir kondisi

gelap. Sedangkan pemberian 2-ip memberikan pengaruh yang nyata hanya pada

parameter jumlah nodus akhir kondisi terang. Untuk interaksi antara sukrosa dan

2-ip belum memberikan pengaruh yang nyata pada seluruh parameter yang diuji.

Persentase Pertumbuhan Eksplan (%)

Data hasil pengamatan terhadap persentase pertumbuhan eksplan dapat

dilihat pada Lampiran 1. Rataan persentase pertumbuhan eksplan akibat

pemberian sukrosa dan 2-ip dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap persentase pertumbuhan eksplan (%)

Berdasarkan Tabel 1 diatas, dapat diketahui bahwa persentase eksplan

yang hidup untuk semua perlakuan konsentrasi sukrosa dan 2-ip sebesar 100%.

Jumlah Nodus

1. Jumlah Nodus Akhir Kondisi Terang

Hasil pengamatan serta sidik ragam terhadap parameter jumlah nodus pada

akhir kondisi terang disajikan pada Lampiran 2-3. Dari tabel sidik ragam tersebut

(39)

parameter ini, akan tetapi pemberian perlakuan sukrosa dan interaksi dari kedua

perlakuan ini belum memberikan pengaruh yang nyata.

Rataan jumlah nodus akhir kondisi terang akibat pemberian sukrosa dan

2-ip dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang (4 MST)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %.

Berdasarkan Uji Duncan pada Tabel 2, jumlah nodus tertinggi terdapat

pada perlakuan 8 mg/l 2-ip (12.63) dan berbeda nyata terhadap perlakuan lainnya

yakni kontrol (10.19), 2 mg/l (9.38), 4 mg/l (9.94) dan 6 mg/l (8.94). Sedangkan

data terendah terdapat pada perlakuan 6 mg/l 2-ip (8.94). Hubungan konsentrasi

2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang tersebut dapat dilihat pada

Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan konsentrasi 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi terang

(40)

Dari Gambar 1 tersebut diperoleh persamaan regresi kwadratik

ý = 0.0132x2 - 0.840x + 10.38 dengan koefisien determinasi (R2) = 0.719. Hal ini

mengindikasikan bahwa penambahan 2-ip ke dalam media memberikan pengaruh

yang mula-mula meningkat kemudian menurun terhadap jumlah nodus akhir

kondisi terang dan keragaman jumlah nodus akhir kondisi terang dipengaruhi oleh

2-ip sebesar 71.90%. Dari persamaan kuadratik tersebut diatas, maka diperoleh

dosis 2-ip optimum sebesar 3.18 mg/l.

2. Jumlah Nodus Akhir Kondisi Gelap

Data hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter jumlah nodus

akhir kondisi gelap disajikan pada Lampiran 4-5. Dari tabel sidik ragam diketahui

bahwa sukrosa berpengaruh nyata, sedangkan 2-ip dan interaksi diantara

keduanya belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Adapun rataan jumlah nodus

akhir kondisi gelap akibat pemberian perlakuan sukrosa dan 2-ip dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap (12 MST)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %.

Berdasarkan Uji Duncan pada Tabel 3, jumlah nodus tertinggi terdapat

pada perlakuan 80 mg/l sukrosa (17.80) dan berbeda nyata terhadap perlakuan

(41)

sukrosa terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap tersebut dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan konsentrasi sukrosa terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap

Dari Gambar 2 diatas diperoleh persamaan linier ý = 0.117x + 8.603

dengan koefisien determinasi (R2) = 0.987. Hal ini mengindikasikan bahwa

penambahan sukrosa ke dalam media memberikan pengaruh yang terus meningkat

terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap seiring peningkatan konsentrasi

sukrosa yang diberikan dan keragaman yang ditunjukkan oleh peubah amatan

jumlah nodus akhir kondisi gelap yang dipengaruhi oleh sukrosa adalah sebesar

98.70%.

Waktu Muncul Umbi (Hari)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter waktu muncul

umbi disajikan pada Lampiran 6-8. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa

sukrosa, 2-ip dan interaksi diantara keduanya belum menunjukkan pengaruh yang

nyata. Adapun rataan waktu muncul umbi akibat pemberian sukrosa dan 2-ip

dapat dilihat pada Tabel 4.

(42)

Tabel 4. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap waktu muncul umbi

Jumlah Umbi Mikro Per Planlet (Buah)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter jumlah umbi

mikro per planlet disajikan pada Lampiran 9-11. Dari tabel sidik ragam diketahui

bahwa sukrosa berpengaruh nyata. Sedangkan 2-ip dan interaksi diantara

keduanya belum menunjukkan pengaruh yang nyata. Adapun rataan jumlah umbi

mikro per planlet akibat pemberian sukrosa dan 2-ip dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah umbi mikro per planlet (buah)

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5 %.

Berdasarkan Uji Duncan pada Tabel 5, jumlah umbi tertinggi terdapat

pada perlakuan 35 mg/l sukrosa (2.15) dan berbeda nyata terhadap perlakuan

lainya yakni 50 g/l (0.60), 65 g/l (0.00), 80 g/l (0.15). Hubungan konsentrasi

(43)

Gambar 3. Hubungan konsentrasi sukrosa terhadap jumlah umbi mikro per planlet

Dari Gambar 3 diatas diperoleh persamaan linier ý = -0.044x + 3.255

dengan koefisien determinasi (R2) = 0.750. Hal ini mengindikasikan bahwa

penambahan sukrosa ke dalam media memberikan pengaruh yang terus menurun

terhadap jumlah umbi mikro seiring peningkatan konsentrasi sukrosa yang

diberikan dan keragaman yang ditunjukkan oleh peubah amatan jumlah umbi

mikro yang dipengaruhi oleh sukrosa adalah sebesar 75%.

Bobot Basah Umbi (Miligram)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter bobot basah

umbi disajikan pada Lampiran 12-14. Dari tabel sidik ragam diketahui bahwa

sukrosa, 2-ip dan interaksi diantara keduanya belum menunjukkan pengaruh yang

nyata. Adapun rataan bobot basah umbi akibat pemberian perlakuan sukrosa dan

2-ip dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Pengaruh sukrosa dan 2-ip terhadap bobot basah umbi (miligram)

(44)

Keadaan Visual Umbi

Data hasil pengamatan terhadap keadaan visual umbi dapat dilihat pada

Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh sukrosa dan 2-ip terhadap keadaan visual umbi

Perlakuan Keadaan Visual Umbi

S1P0 Lonjong, kuning kecoklatan, permukaan keriput

S1P1 Lonjong, coklat kekuningan, permukaan keriput

S1P2 Lonjong, kuning kecoklatan, permukaan keriput

S1P3 Lonjong, kuning, keriput

S1P4 Lonjong, kuning kecoklatan, keriput

S2P0 Lonjong, kuning, keriput

S2P1 Lonjong, kuning kecoklatan, keriput

S2P3 Lonjong, kuning, cenderung keriput

S4P4 Bulat dengan sebagian umbi lainnya lonjong, kuning, keriput

Keterangan: untuk perlakuan lainnya tidak menghasilkan umbi mikro

(a) (b)

Gambar 4. Planlet kentang tanpa umbi mikro (a); dengan umbi mikro (b)

Pembahasan

Pengaruh sukrosa terhadap pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro

Dari hasil analisis data dan daftar sidik ragam diketahui bahwa pada

peubah amatan jumlah nodus akhir kondisi terang menunjukkan sukrosa belum

(45)

nodus tertinggi yang dapat dicapai akibat pemberian sukrosa terdapat pada

perlakuan S2 (50 g/l) yaitu sebanyak 11.35 nodus dan data terendah terdapat pada

perlakuan S1(35 g/l) yaitu sebanyak 9.10 nodus. Sedangkan pada perlakuan S3

(65 g/l) dan S4 (80 g/l) menunjukkan pertumbuhan nodus yang tidak jauh berbeda

yaitu masing-masing 10.15 dan 10.25 nodus. Sukrosa memang bertindak sebagai

sumber karbon, sumber energi, mampu mempengaruhi kemampuan jaringan

dalam penyerapan air dari media ke dalam tanaman (Ni’mah et al, 2012) akan

tetapi dalam kondisi terang, pertumbuhan eksplan masih bertujuan untuk

membentuk planlet, bukan untuk membentuk umbi. Oleh sebab itu, penggunaan

sukrosa dengan konsentrasi yang terlalu tinggi diduga dapat menyebabkan stress

tanaman dan berakibat terhadap penurunan jumlah nodus yang dihasilkan.

Pada peubah amatan jumlah nodus akhir kondisi gelap, rataan tertinggi

dari jumlah nodus yang dapat dihasilkan oleh planlet terdapat pada konsentrasi

perlakuan S4 (80 g/l) yaitu sebanyak 17.80 nodus dan terus menurun seiring

penurunan konsentrasi sukrosa yakni S3 (65 g/l) sebanyak 16.60 nodus,

S2 (50 g/l) sebanyak 14.30 nodus dan S1 (35 g/l) sebanyak 12.70 nodus. Hal ini

menunjukkan perbedaan yang nyata bila dibandingkan dengan jumlah nodus yang

terbentuk selama masa kondisi terang (yang mengalami penurunan jumlah nodus

pada konsentrasi sukrosa > 50 g/l). Peningkatan jumlah nodus seiring peningkatan

konsentrasi sukrosa ini sesuai dengan pernyataan Ni’mah et al (2012) bahwa

sukrosa bertindak sebagai sumber karbon, sumber energi dan pengatur tekanan

osmotik yang dapat mempengaruhi kemampuan jaringan dalam penyerapan air

dari media ke dalam tanaman. Media dengan konsentrasi pekat berarti banyak

(46)

kekurangan molekul atau yang berkonsentrasi rendah. Keadaan demikian

menyebabkan sel-sel pada jaringan eksplan yang ditumbuhkan pada media dengan

penambahan sukrosa tinggi dapat cepat menerima unsur-unsur hara yang

diperlukan bagi perkembangannya (Ni’mah et al, 2012) sehingga semakin tinggi

konsentrasi sukosa menjadikan pertumbuhan dan penyerapan hara menjadi

semakin meningkat pula karena dalam fase gelap, planlet kentang sudah mulai

menggunakan sukrosa untuk membentuk umbi dengan menyimpan sukrosa dalam

daun (Lakitan, 2011) untuk dipindahkan pada ruang kosong di ujung stolon untuk

meningkatkan ukuran umbi. Disamping itu, menurut Lakitan (1995) pada awal

perkembangan daun muda pada tanaman dikotil itu sangat tergantung terhadap

banyaknya karbohidrat yang dikirim oleh daun tua ke daun muda yang dapat

menyebabkan daun muda terus terbentuk sedangkan daun tua mengalami

senescens.

Untuk peubah amatan waktu mucul umbi, jumlah umbi mikro dan bobot

basah umbi memiliki pola yang berbeda. Dimana pada konsentrasi sukrosa 35 g/l,

50 g/l dan 65 g/l pertumbuhan dan kemunculan umbi terus menurun seiring

penambahan konsentrasi sukrosa dan kembali meningkat pada konsentrasi 80 g/l.

Untuk peubah amatan jumlah umbi mikro, sukrosa memberikan pengaruh yang

nyata dan hasil terbaik ditunjukkan oleh pemberian sukrosa 35 g/l (S1) sedangkan

pada pemberian sukrosa yang lebih tinggi, jumlah umbi mikro menurun. Umbi

kentang merupakan peristiwa penggemukan batang atau stolon yang berada di

permukaan tanah. Dimana dalam memunculkan umbi kentang jelas dipengaruhi

oleh faktor-faktor tertentu, seperti sumber karbon sebagai pengisi/penyusun

(47)

bagian-bagian tanaman lainnya, termasuk tajuk tanaman. Pada planlet kentang

baik yang mampu atau tidak dalam memunculkan umbi mikro, ada sejumlah

organ yang menguning, bahkan mati baik itu bagian daun, batang dan tajuk

tanaman yang pada umumnya diakibatkan oleh penuaan (senescens). Sedangkan

menurut Lakitan (1996), faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan umbi

adalah laju dan kuantitas sumber karbon yang dipasok dari tajuk tanaman. Oleh

sebab itu, kemunculan umbi, jumlah umbi dan bobot basah umbi sangat

bergantung dengan keadaan tajuk planlet. Dimana, ukuran umbi rata-rata

berbanding lurus dengan pertumbuhan tajuk dan berbanding terbalik dengan

jumlah serta bobot basah umbi yang dihasilkan oleh masing-masing planlet

tersebut. Jika tajuk planlet mati sebelum memunculkan umbi, maka umbi

mungkin juga tidak akan terbentuk.

Untuk peubah amatan jumlah umbi mikro, pemberian sukrosa memberikan

pengaruh yang nyata.

Pada pengamatan keadaan visual umbi untuk tiap perlakuan yang berhasil

menghasilkan umbi mikro, pada umumnya bentuk umbi dominan lonjong

meskipun ada perlakuan yang menghasilkan sebagian umbi yang berbentuk bulat.

Tekstur umbi dominan keriput, warna umbi kuning kecoklatan atau sebaliknya

dan tidak ditemukan adanya kerusakan pada umbi. Sukrosa berperan dalam

menyusun agregat umbi melalui perubahan bentuk dari sukrosa ke amilum.

Dwidjoseputro (1980) menjelaskan pada umumnya, suatu butir tepung itu terdiri

atas beberapa lapis yang mengelilingi suatu pusat atau hilum. Dimana amilum itu

terdiri atas dua bagian, yaitu amilosa dan amilopektin yang berkaitan erat dengan

(48)

Dari hasil penelitian ini tidak semua perlakuan mampu menghasilkan umbi

mikro hingga akhir penelitian. Tidak munculnya umbi mikro tersebut diduga

karena pertumbuhan stolon pada perlakuan-perlakuan ini mungkin terhenti akibat

kondisi lingkungan yang kurang optimum akibat media dengan sukrosa yang

tinggi menyebabkan kepekatan media sehingga pertumbuhan stolon yang terdapat

di bawah media tersebut terganggu.

Pengaruh 2-ip terhadap pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro

Dari hasil analisis data, diketahui bahwa pemberian 2-ip pada berbagai

konsentrasi menunjukkan pengaruh yang nyata hanya pada peubah amatan jumlah

nodus di akhir kondisi terang. Sedangkan pada peubah amatan lainnya belum

menunjukkan pengaruh yang nyata.

Pada peubah amatan jumlah nodus akhir kondisi terang, perlakuan terbaik

terdapat pada pemberian konsentrasi 2-ip sebesar P4 (8 mg/l) yaitu 12.63 nodus

dan berbeda nyata (berdasarkan Uji Duncan) dengan perlakuan lainnya yaitu P0

(kontrol) sebesar 10.19 nodus, P1 (2 mg/l) sebesar 9.38, P2 (4 mg/l) sebesar 9.94

nodus dan data terendah terdapat pada perlakuan P3 (6 mg/l) sebesar 8.94 nodus

dengan konsentrasi optimum sebesar 3.18 mg/l. Hal ini diduga karena dalam

pembentukan daun, eksplan membutuhkan sitokinin sebagai bahan dasar pemacu

pembelahan sel (Salisbury dan Ross, 1995) yang terjadi pada 3 lapisan sel terluar

pada permukaan batang, yang merupakan tanda awal perkembangan daun (nodus

kentang). Lakitan (1996) menambahkan bahwa sitokinin yang di translokasikan

dari akar dapat merangsang pertumbuhan daun, dimana dalam hal pertumbuhan

kentang, keberadaan satu daun setara dengan keberadaan satu nodus. Sehingga

(49)

daun. Pada tiap nodus planlet kentang terdapat mata tunas aksiler yang dapat di

dorong untuk membentuk tunas, stolon atau umbi mikro tergantung dari

komposisi media dan kondisi lingkungan tumbuhnya.

Akan tetapi, pada peubah amatan jumlah nodus akhir kondisi gelap,

pemberian 2-ip tidak memberikan pengaruh yang nyata. Data tertinggi tetap

terdapat pada perlakuan P4 (8 mg/l) yaitu sebesar 17.13 nodus akan tetapi data

terendah terdapat pada perlakuan P2 (4 mg/l) yaitu sbebesar 13.81 nodus.

Pertumbuhan jumlah nodus selama masa gelap ternyata mengalami penurunan.

Karena dalam masa ini, planlet lebih menekan pertumbuhan nodus dan memacu

diri untuk membentuk umbi melalui tunas dan nodus-nodus pada planlet dengan

cara menumbuhkan stolon. Menurut Ni’mah et al (2012), pada media umbi mikro,

sitokinin mendorong terbentuknya umbi mikro pada tunas dan nodus dari eksplan

tanaman kentang secara in vitro. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahawa

pertumbuhan planlet (sebelum terbentuknya umbi) bukanlah untuk pertumbuhan

nodus melainkan untuk menumbuhkan stolon.

Untuk peubah amatan waktu muncul umbi akibat pemberian sitokinin 2-ip,

waktu kemunculan umbi tercepat terdapat pada perlakuan P4 (8 mg/l) yaitu

selama 3.94 hari. Masalah mengenai waktu kemunculan umbi secara jelas

tergantung pada tingkat kemampuan stolon pada tiap planlet untuk segera

berkembang menjadi umbi pada kondisi lingkungan yang khusus (seperti suhu

dan intensitas cahaya). Salisbury dan Ross (1995) telah menjelaskan bahwa

pertumbuhan awal stolon memerlukan kadar giberelin yang tinggi dan kadar

(50)

konsentrasi sebesar 4 mg/l ternyata lebih baik dibandingkan perlakuan lainnya

dalam hal memunculkan umbi mikro.

Perbandingan diantara jumlah umbi mikro per planlet dan bobot basah

umbi dapat diketahui bahwa jumlah umbi terbanyak terdapat pada perlakuan P2

(4 mg/l) yaitu 1.31 buah namun bobot basah umbi yang mampu dihasilkan adalah

sebesar 0.65 mg. Sedangkan bobot basah umbi terbaik terdapat pada perlakuan P3

(6 mg/l) yaitu 2.35 mg namun jumlah umbi mikro yang dapat dihasilkan hanyalah

0.74 buah. Hal ini diduga berkaitan erat dengan besarnya proporsi distribusi

asimilat yang diterima oleh masing-masing umbi yang dihasilkan tiap planlet. Hal

ini diperkuat dengan pernyataan Warnita (2008) yang menyebutkan bahwa

eksplan yang mempunyai jumlah umbi yang banyak terjadi proses distribusi

asimilat yang menyebar ke setiap umbi, tetapi pada eksplan yang mempunyai

umbi sedikit distribusi asimilat lebih terfokus pada pertumbuhan umbinya

sehingga umbi yang terbentuk berukuran besar.

Pada sejumlah perlakuan, tidak ditemukannya pertumbuhan umbi mikro

akan tetapi pada organ daun masih terlihat segar dan berwarna hijau. Pada

dasarnya, dalam memacu pertumbuhan umbi, tanaman kentang akan mengalami

penuaan (senescens daun) yang ditandai dengan menguningnya bagian daun dan

menyebabkan tanaman mati. Taji et al (2001) mengungkapkan dalam

pembentukan umbi sering terjadi senescence, dan ini dapat diatasi dengan

penambahan sukrosa dan sitokinin pada medium. Adapun mekanisme penundaan

senescens daun telah dijelaskan oleh Salisbury dan Ross (1995) yang

mengungkapkan bahwa cara sitokinin memperlambat penuaan pada daun diawali

(51)

klorofil dimana penuaan ini terjadi jauh lebih cepat di tempat gelap daripada di

tempat terang dan sitokinin yang ditambahkan pada larutan tempat daun tumbuh,

dapat menggantikan efek cahaya dan menunda penuaan.

Pengaruh interaksi konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap pembentukan dan pertumbuhan umbi mikro

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, interaksi antara

sukrosa dan 2-ip belum memberikan pengaruh yang nyata terhadap semua peubah

amatan. Namun untuk peubah jumlah nodus akhir kondisi terang, perlakuan S2P4

(50 g/l sukrosa dan 8 mg/l 2-ip) menghasilkan jumlah nodus paling banyak yaitu

sebanyak 15.75 nodus dan nodus terendah terdapat pada perlakuan S1P1 (35 g/l

sukrosa dan 0 mg/l 2-ip) yaitu sebesar 7.00 nodus. Seperti telah dikemukakan

pada pembahasan sebelumnya bahwa dalam memacu pertumbuhan nodus dimulai

sejak eksplan hingga membentuk planlet, maka konsentrasi sukrosa tidak melebihi

5% sedangkan 2-ip bekerja maksimal untuk melakukan pembelahan sel yang

memang dibutuhkan untuk perkembangan daun (nodus). Zulkarnain (2009)

menambahkan bahwa konsentrasi medium menjadi faktor penting bila sitokinin

tidak diberikan pada tingkat konsentrasi yang optimum. Dengan demikian, dapat

dikemukakan bahwa untuk mendapatkan hasil yang maksimum dari perlakuan zat

pengatur tumbuh maka komponen medium lainnya harus berada pada kadar yang

optimum.

Sedangkan pada jumlah nodus akhir kondisi gelap, nodus tertinggi

dihasilkan oleh perlakuan S3P0 (65 g/l sukrosa dan 0 mg/l 2-ip) yaitu sebanyak

21.75 nodus dan terendah pada perlakuan S2P0 (50 g/l sukrosa dan 0 mg/l 2-ip)

dan S2P3 (50 g/l sukrosa dan 6 mg/l 2-ip) yaitu sebanyak 11.75 nodus. Dalam

(52)

karena kondisi ini ditujukan untuk menghasilkan umbi mikro. Oleh sebab itu,

kemungkinan keberadaan sitokinin eksogen diduga dapat menghambat

pertumbuhan nodus dalam kondisi gelap dan keadaan planlet yang teretiolasi.

Untuk peubah amatan waktu muncul umbi, hasil terbaik terdapat pada

perlakuan S1P2 (35 g/l sukrosa dan 4 mg/l 2-ip) yaitu selama 15.75 hari

sedangkan untuk peubah amatan jumlah umbi mikro per planlet, hasil terbaik

terdapat pada perlakuan S1P2 (35 g/l sukrosa dan 4 mg/l 2-ip) yaitu sebesar 5.25

umbi. Sedangkan bobot basah umbi terbaik diperoleh dari hasil kombinasi S1P3

(53)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian sukrosa 35-80 g/l, 2-ip 0-8 mg/l dan interaksi keduanya tidak

memberikan pengaruh terhadap pembentukan umbi mikro, akan tetapi pemberian

sukrosa memberikan pengaruh terhadap peubah jumlah nodus pada akhir kondisi

gelap dan jumlah umbi mikro per planlet sedangkan pemberian 2-ip memberikan

pengaruh terhadap peubah amatan jumlah nodus pada akhir kondisi terang.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang terkait dengan faktor-faktor yang

mampu menstimulasi pembentukan umbi mikro kentang, seperti temperatur dan

Gambar

Tabel 1. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap persentase pertumbuhan eksplan (%)
Gambar 1.
Tabel 3. Pengaruh konsentrasi sukrosa dan 2-ip terhadap jumlah nodus akhir kondisi gelap (12 MST)
Gambar 2. 20,00Jumlah nodus (buah)
+7

Referensi

Dokumen terkait

prosedur ulangan akhir semester, meskipun tidak dapat menjelaskan konsepnya.. 3) Guru dapat menjelaskan konsep dan aplikasi ulangan akhir semester, tapi tidak melaksanakannya.

[r]

4 Palu, Panitia Pengadaan Barang dan Jasa berdasarkan Surat Keputusan Kepala LPMP Propinsi Sulawesi Tengah Nomor 7450/F42/KP/2012 tanggal 19 Desember 2012 setelah

[r]

Sehubungan dengan Tahapan Evaluasi pekerjaan Jasa Konsultansi Perencanaan Gedung Studen Center IAIN Ambon, maka bersama ini kami mengundang saudara(i) untuk menghadiri

o l. D&Q@n kata Islin, pihak terikart lmtuk mematuhi kontrak yang telah mereh buat.. Ti& Meh misahya jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelwsan lebih

Prinsip syariah menurut Pasal 1 ayat 13 Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang perbankan adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak

Berdasarkan perhitungan dari model yang digunakan nilai ECR untuk logam timbal (Pb) di masing-masing lokasi pengambilan sampel telah sampai pada 10 -6 Hal tersebut