SENJANGAN ANGGARAN DENGAN KOMITMEN
ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING
(STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH KOTA METRO)
(Tesis)
Oleh:
PUJO ASMANTO
NPM: 0721011040PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN TERHADAP
SENJANGAN ANGGARAN DENGAN KOMITMEN
ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING
(STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH KOTA METRO)
Oleh:
PUJO ASMANTO
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar MAGISTER MANAJEMEN
Pada
Program Pascasarjana Magister Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
PROGRAM PASCA SARJANA MAGISTER MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa :
1. Tesis dengan judul ”Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran Dengan Komitmen Organisasi Sebagai Variabel Moderating
(Studi Empiris Pada Pemerintah Kota Metro)” adalah karya Saya sendiri dan Saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan atas karya penulis lain
dengan cara yang tidak sesuai dengan tata etika ilmiah yang berlaku dalam
masyarakat akademik yang Plagiatisme.
2. Hak intelektual atas karya ilmiah ini diserahkan sepenuhnya kepada
Universitas Lampung.
Atas pernyataan ini, apabila di kemudian hari ternyata ditemukan adanya
ketidakbenaran, Saya bersedia menanggung akibat dan sanksi yang diberikan
kepada saya, Saya bersedia dan sanggup ditunutut sesuai dengan hukum yang
berlaku.
Bandarlampung, Juli 2010.
Pembuat Pernyataan,
Judul Tesis : PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN
TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN
DENGAN KOMITMEN ORGANISASI
SEBAGAI VARIABEL MODERATING (STUDI
EMPIRIS PADA PEMERINTAH KOTA
METRO)
Nama Mahasiswa : Pujo Asmanto
Nomor Pokok Mahasiswa : 0721011040
Konsentrasi : Akuntansi dan Pengawasan Keuangan Negara
Program Studi : Magister Manajemen
Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
MENYETUJUI Komisi Pembimbing
Pembimbing I
Dr. Einde Evana, SE, Akt. M.Si. NIP.195606201986031003
Pembimbing II
Ernie Hendrawaty, SE., M.Si NIP.196911282000122001
Program Studi Magister Manajemen Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi
Universitas Lampung Ketua Program Studi
MENGESAHKAN
1. Komisi Penguji :
1.1. Ketua Komisi Penguji
(Pembimbing I) : Dr. Einde Evana, SE, Akt. M.Si. ...
1.2. Anggota Komisi Penguji
(Penguji Utama ) : Dr. H. Irham Lihan, SE., M.Si. ...
1.3. Pembimbing II : Ernie Hendrawaty, S.E, M.Si. ...
2. Fakultas Ekonomi Universitas Lampung
Pj. Dekan,
Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S. NIP. 195809231982111001
3. Direktur Program Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Abdul Karim Salam, M.Sc. NIP. 131479035
i ABSTRAK
PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN DENGAN KOMITMEN ORGANISASI SEBAGAI
VARIABEL MODERATING (STUDI EMPIRIS PADA PEMERINTAH KOTA METRO)
Oleh
PUJO ASMANTO
Proses penyusunan anggaran (penganggaran) sektor publik dengan pendekatan kinerja pada tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) melibatkan banyak pegawai yang ada dalam SKPD tersebut. Permasalahan yang timbul dari keterlibatan staf dan pejabat eselon tingkat bawah dan menengah ini adalah terciptanya senjangan anggaran (budgetary slack). Variabel komitmen organisasi digunakan sebagai variabel moderating untuk menyelidiki pengaruh variabel tersebut terhadap hubungan antara partisipasi anggaran dan senjangan anggaran.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap Senjangan Anggaran jika digunakan Komitmen Organisasi sebagai variabel moderating (studi empiris pada Pemerintah Kota Metro); dan hipotesis yang diuji adalah: “Partisipasi Anggaran berpengaruh signifikan terhadap Senjangan Anggaran jika digunakan Komitmen Organisasi sebagai variabel moderating”.
Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui penyebaran kuesioner. Responden dalam penelitian ini adalah tiga orang pejabat eselon tiga (setingkat kepala bagian dan kepala bidang) dan satu orang Kasubbag. Keuangan pada masing-masing SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Metro.
ii
menunjukkan bahwa peningkatan Komitmen Organisasi akan menyebabkan penurunan Senjangan Anggaran yang dilakukan oleh pegawai yang berpartisipasi dalam menyusun anggaran. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peningkatan interaksi antara variabel Komitmen Organisasi dengan Partisipasi Anggaran akan menurunkan kecenderungan pegawai yang berpartisipasi dalam menyusun anggaran untuk menciptakan Senjangan Anggaran (studi empiris pada Pemerintah Kota Metro).
iii ABSTRACT
BUDGETARY PARTICIPATION EFFECT TOWARD BUDGETARY SLACK BY EXAMINING ORGANIZATIONAL COMMITMENT AS
MODERATING VARIABLE (EMPIRICAL STUDY ON CITY GOVERNMENT METRO)
By
PUJO ASMANTO
Budgeting process approach to public sector performance at the Unit level (SKPD) involves many employees are there in SKPD. Problems arising from the involvement of staff and lower echelon officials and middle level is the creation of budgetary slack. Organizational commitment variable is used as a moderating variable to investigate the influence of these variables on the relationship between budget participation and budgetary slack.
This study aims to determine the effect of budgetary participation on budgetary slack when used Organizational Commitment as a moderating variable (an empirical studies at Metro City Government); and hypotheses tested were: "Budget Participation significant effect on budgetary slack when Organizational Commitment used as a moderating variable".
The data used are primary data obtained by using the techniques of data collection through questionnaire distribution. Respondents in this study were three echelon three (level of section chief and head of the field) and one person Head of Subdivision of Finance. Finance in their respective environments SKPD in Metro City Government.
Independent variables used in this study is the budgetary participation, while the dependent variable budgetary slack. The Organizational Commitment in this study serves as a moderating variable. The analysis tools to test hypotheses is the method of multiple regression using the MRA (Moderated Regression Analysis).
iv
variables with budgetary participation will reduce the tendency of employees who participated in drafting the budget to create budgetary slack (an empirical study at Metro City Government).
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena atas kasih
karunia-Nya tesis dengan judul “PENGARUH PARTISIPASI ANGGARAN
TERHADAP SENJANGAN ANGGARAN DENGAN KOMITMEN
ORGANISASI SEBAGAI VARIABEL MODERATING (STUDI EMPIRIS
PADA PEMERINTAH KOTA METRO)“ dapat diselesaikan.
Penyusunan tesis ini dimaksudkan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan
studi Magister Manajemen di Universitas Lampung, konsentrasi Akuntansi dan
Pengawasan Keuangan Negara.
Proses pembelajaran yang dialami selama ini memberikan kesan dan makna
mendalam bahwa ilmu dan pengetahuan yang dimiliki penulis masih sangat
terbatas. Bimbingan, keteladanan dan bantuan dari berbagai pihak yang diperoleh
penulis mempermudah proses pembelajaran tersebut. Untuk itu dengan segala
kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Dr. Einde Evana, SE, Akt. M.Si., selaku dosen pembimbing I yang
telah membimbing dan memberikan arahan dalam penyusunan tesis ini.
2. Ibu Erni Hendrawaty, SE, M.Si., selaku dosen pembimbing II, yang telah
membimbing dan memberikan arahan kepada penulis dalam penyusunan
vii Universitas Lampung.
5. Bapak dan Ibu Kepala SKPD di lingkungan Pemerintah Kota Metro beserta
seluruh pegawai yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini.
6. Istriku Sari Indira Margaretha Sihite, ST., yang selalu menopang dan
memberi motivasi, bantuan, doa dan pengertiannya dalam proses
penyusunan tesis ini.
7. Teman-teman mahasiswa angkatan VIII kelas Akuntansi dan Pengawasan
Keuangan Negara yang telah bersama-sama menimba ilmu, berbagi
pengalaman serta memberikan bantuan dan dorongan moril selama
perkuliahan sampai penyelesaian tesis ini, juga semua pihak yang telah
berjasa membantu penulis selama masa perkuliahan dan penulisan tesis ini
yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan berharap semoga
tesis ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Bandar Lampung, Juli 2010
Penulis
DAFTAR ISI
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 7
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 8
1.4 Kerangka Pemikiran ... 8
1.5 Hipotesis ... 10
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Penelitian Terdahulu ... 11
2.2 Anggaran ... 12
2.3 Proses Penyusunan Anggaran ... 17
2.4 Partisipasi Anggaran ... 22
2.5 Senjangan Anggaran ... 26
2.6 Komitmen Organisasi ... 27
2.7 Variabel Moderating ... 35
2.8 Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran... 38
2.9 Pengaruh Interaksi Komitmen Organisasi pada Hubungan Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran ... 40
III. METODE PENELITIAN ... 43
3.1. Objek Penelitian ... 43
3.2. Populasi dan Sampel ... 43
3.3. Pengumpulan Data ... 43
ix
3.5. Metode Analisis ... 46
3.5.1. Pengujian Instrumen Penelitian... 46
3.5.2. Uji Asumsi Klasik Model Regresi ... 47
3.5.3. Uji Identifikasi Variabel Moderasi ... 53
3.5.4. Uji Hipotesis ... 54
IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN ... 56
4.1. Deskripsi Pengumpulan Data ... 56
4.2. Demografi Responden ... 56
4.3. Analasis Validitas dan Reliabilitas ... 58
4.3.1. Uji Validitas ... 58
4.3.2. Uji Reliabilitas ... 62
4.4. Uji Asumsi Klasik ... 62
4.4.1. Uji Heteroskedastisitas ... 62
4.4.2. Uji Autokorelasi ... 63
4.4.3. Uji Multikolinearitas ... 63
4.4.4. Uji Normalitas ... 64
4.5. Uji Identifikasi Variabel Moderasi ... 65
4.6. Uji Hipotesis ... 67
4.7. Pembahasan ... 71
V. KESIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN ... 75
5.1. Kesimpulan ... 75
5.2. Saran ... 75
5.3. Keterbatasan ... 76
x
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1 Jenis jenis Variabel Moderator ... 35
2 Durbin Watson d test ... 49
3 Data Demografi Responden ... 57
4 Hasil Uji Validitas Variabel Partisipasi Anggaran (X1)... 59
5 Hasil Uji Validitas Variabel Komitmen Organisasi (X2) ... 60
6 Hasil Uji Validitas Variabel Senjangan Anggaran (Y) ... 61
7 Model Summary output SPSS untuk persamaan 1 ... 67
8 Uji Statistik F output SPSS untuk persamaan 1 ... 68
9 Coefficient output SPSS untuk persamaan 1 ... 69
10 Model Summary output SPSS untuk persamaan 3 ... 69
11 Hasil Uji F output SPSS untuk persamaan 3 ... 69
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1 Kerangka Pemikiran ... 10
2 Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ... 18
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemberlakuan Undang Undang (UU) nomor: 32 tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah dan UU nomor: 33 tahun 2004 yang berisi tentang Perimbangan Keuangan
Pemerintah Pusat dan Daerah telah mengubah akuntabilitas (pertanggungjawaban)
pemerintah daerah dari pertanggungjawaban vertikal (pertanggungjawaban
kepada pemerintah pusat) menjadi pertanggungjawaban horisontal
(pertanggungjawaban kepada masyarakat melalui DPRD). Hal ini mendukung
konsep agency theory yang memposisikan pemerintah daerah sebagai agent dan
rakyat yang diwakili oleh DPRD sebagai principal.
Anggaran pemerintah daerah (pemda) yang lebih dikenal dengan istilah Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah (APBD) merupakan unsur penting dalam pengelolaan
pemerintah daerah yang akuntabel. Mardiasmo (2002) menjelaskan bahwa wujud
dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemanfaatan sumber daya yang
dilakukan secara ekonomis, efisien, efektif, adil dan merata untuk mencapai
akuntabilitas publik. Anggaran diperlukan dalam pengelolaan sumber daya agar
dapat berjalan dengan baik dengan tujuan untuk mencapai kinerja yang
Lingkup anggaran menjadi penting bagi pemda selaku organisasi sektor publik
karena berdampak terhadap akuntabilitas pemda dan berhubungan dengan fungsi
pemda dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Anggaran penting bagi
pemda karena: (1) anggaran merupakan alat bagi pemerintah daerah untuk
mengarahkan pembangunan sosial-ekonomi, menjamin kesinambungan, dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat (anggaran sebagai alat utama kebijakan
fiskal); (2) adanya masalah keterbatasan sumber daya (scarcity of resuources).
Pada dasarnya kebutuhan dan keinginan masyarakat tidak terbatas dan terus
berkembang sedangkan sumber daya yang ada terbatas; (3) untuk meyakinkan
bahwa pemda telah bertanggungjawab terhadap rakyat. Dalam hal ini anggaran
publik merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh pemda
(Mardiasmo, 2002). Selain itu, anggaran merupakan alat untuk mencegah
informasi asimetri dan perilaku disfungsional dari agent atau pemerintah daerah
(Yuhertiana, 2003 dalam Suhartono dan Solichin, 2006).
Anggaran juga merupakan elemen penting dalam sistem pengendalian manajemen
karena anggaran tidak saja sebagai alat perencanaan keuangan, tetapi juga sebagai
alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja dan motivasi (Halim,
2001). Anggaran merupakan dokumen/kontrak politik antara pemerintah dan
DPRD untuk masa yang akan datang (Mardiasmo, 2002). DPRD akan mengawasi
kinerja pemerintah melalui anggaran. Bentuk pengawasan ini sesuai dengan
agency theory yang memposisikan pemerintah sebagai agent dan DPRD (wakil
Anggaran yang efektif membutuhkan kemampuan memprediksi masa depan, yang
meliputi berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Kepala daerah selaku
manajer pemerintah daerah perlu menyusun anggaran dengan baik karena
anggaran merupakan perencanaan keuangan yang menggambarkan seluruh
aktivitas operasional organisasi (pemda) (Siegel dan Marconi, 1989 dalam
Asriningati, 2006). Kesalahan memprediksi akan mengacaukan rencana yang
telah disusun dan berdampak terhadap penilaian kinerjanya.
Akuntabilitas melalui anggaran meliputi penyusunan anggaran sampai dengan
pelaporan anggaran. Proses penyusunan anggaran (penganggaran) sektor publik
dengan pendekatan kinerja melibatkan banyak pihak baik dari pihak eksekutif
maupun legislatif. Penganggaran pada pemda dimulai dari tahap penyusunan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang merupakan penjabaran dari
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah/RPJMD dengan menggunakan
bahan dari Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD)
(Peraturan Pemerintah nomor: 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah). Sedangkan tahap penganggaran pada tingkat unit kerja atau Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) terdiri dari tahap penyusunan Rencana Strategi
(Renstra) SKPD, Rencana Kerja (Renja) SKPD dan penyusunan Rencana Kerja
Anggaran (RKA) SKPD. Pada tahap penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA)
SKPD ini, masing-masing SKPD mengusulkan rancangan anggaran kegiatan yang
akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran berdasarkan Pedoman Penyusunan
Proses penganggaran di lingkungan SKPD melibatkan banyak pegawai (staf,
pejabat eselon 4 hingga pejabat eselon 3) yang ada dalam SKPD tersebut.
Permasalahan yang timbul dari keterlibatan staf atau bawahan dan pejabat eselon
tingkat bawah dan menengah ini adalah terciptanya senjangan anggaran
(budgetary slack). Anthony dan Govindarajan (1998) dalam Asriningati (2006)
mendefinisikan senjangan anggaran sebagai perbedaan antara anggaran yang
dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan estimasi yang sesungguhnya
dengan tujuan agar target dapat lebih mudah dicapai oleh bawahan. Namun
menurut Waller (1988) dalam Asriningati (2006), anggaran yang mengandung
senjangan akan berdampak negatif karena akan mengurangi efektivitas anggaran
dalam perencanaan dan pengawasan organisasi.
Fenomena senjangan anggaran banyak terjadi pada Pemerintah Kota Metro
terutama pada sektor pendapatan daerah. Salah satu contoh senjangan anggaran
yang terjadi pada Pemerintah Kota Metro adalah pendapatan daerah dari
penjualan benih ikan. Pendapatan dari penjualan benih ikan merupakan tanggung
jawab Unit Pelaksana Teknis Balai Benih Ikan (UPT BBI) yang merupakan unit
kerja dari Dinas Pertanian. Data penerimaan Tahun Anggaran (TA) 2009, realisasi
penerimaan dari UPT BBI adalah sebesar Rp.10.250.000,00 dari target sebesar
Rp.10.000.000,00. Dan target untuk TA 2010 adalah sebesar Rp.10.000.000,00.
Berdasarkan sarana dan prasarana dan potensi yang dimiliki oleh UPT BBI,
penerimaan dari penjualan benih ikan dapat ditingkatkan menjadi 200% dari
target yang telah ditetapkan. Terlebih lagi pada TA 2009 pada UPT BBI telah
dilaksanakan pembangunan penambahan dan perbaikan kolam ikan sehingga
Penelitian yang telah dilakukan oleh Latuheru (2005) menyatakan bahwa hasil
penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa partisipasi dalam
penyusunan anggaran dapat mengurangi senjangan anggaran. Latuheru (2005)
menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi dikarenakan bawahan membantu
memberikan informasi pribadi tentang prospek masa depan sehingga anggaran
yang disusun menjadi lebih akurat (Onsi (1973); Camman (1976); Merchant
(1985) dan Dunk (1993)). Sedangkan hasil penelitian Lowe dan Shaw (1968);
Young (1985) dan Lukka (1988), berbeda dengan penelitian yang dilakukan Onsi,
Camman, Merchant, dan Dunk. Hasil penelitian mereka menyatakan bahwa
partisipasi anggaran dan senjangan anggaran mempunyai hubungan positif, yaitu
peningkatan partisipasi semakin meningkatkan senjangan anggaran.
Menurut Nouri dan Parker (1996) dalam Latuheru (2005), hasil penelitian yang
berlawanan ini mungkin karena ada faktor lain yang juga berpengaruh terhadap
hubungan antara partisipasi anggaran dan senjangan anggaran, sehingga dari
hasil-hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa dorongan atasan (manajer
atau pejabat eselon) dan pegawai yang terlibat dalam penyusunan anggaran untuk
melakukan senjangan anggaran masih tetap belum dapat disimpulkan
penyebabnya. Riyanto (2003) dalam Suhartono dan Solichin (2006) mengatakan
bahwa belum adanya kesatuan hasil penelitian mengenai anggaran dan
implikasinya kemungkinan disebabkan adanya faktor-faktor tertentu (moderating
factor) atau dikenal dengan istilah variabel kontijensi (contingency variable).
Pada penelitian ini digunakan variabel komitmen organisasi sebagai variabel
antara partisipasi anggaran dan senjangan anggaran. Latar belakang dipilihnya
variabel komitmen organisasi dalam penelitian ini adalah karena komitmen
organisasi dapat menunjukkan keyakinan dan dukungan yang kuat yang dimiliki
oleh pegawai atau bawahan terhadap nilai dan sasaran (goal) yang ingin dicapai
oleh organisasinya baik pada perusahaan swasta ataupun pada instansi pemerintah
(Mowday et al, 1979 dalam Latuheru, 2005). Komitmen organisasi yang kuat
didalam individu akan menyebabkan individu berusaha keras mencapai tujuan
organisasi sesuai dengan tujuan kepentingan yang sudah direncanakan (Angledan
Perry, 1981 dalam Latuheru, 2005). Bawahan yang memiliki tingkat komitmen
organisasi tinggi akan memiliki pandangan positif dan lebih berusaha berbuat
yang terbaik demi kepentingan organisasi (Porter et al., 1974 dalam Latuheru,
2005). Komitmen yang tinggi menjadikan individu peduli dengan nasib organisasi
dan berusaha menjadikan organisasi ke arah yang lebih baik, sehingga dengan
adanya komitmen yang tinggi kemungkinan terjadinya senjangan anggaran dapat
dihindari. Sebaliknya, individu dengan komitmen rendah akan mementingkan
dirinya atau kelompoknya. Individu tersebut tidak memiliki keinginan untuk
menjadikan organisasi ke arah yang lebih baik, sehingga memungkinkan
terjadinya senjangan anggaran yang lebih besar apabila individu tersebut terlibat
dalam penyusunan anggaran.
Berdasarkan hal-hal tersebut, penulis memberi judul tesis ini “Pengaruh
Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran dengan Komitmen
Organisasi sebagai Variabel Moderating (Studi Empiris pada Pemerintah Kota
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang diteliti selanjutnya dapat
dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: “Apakah
Partisipasi Anggaran berpengaruh terhadap Senjangan Anggaran jika digunakan
Komitmen Organisasi sebagai variabel moderating?”
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh Partisipasi Anggaran
terhadap Senjangan Anggaran jika digunakan Komitmen Organisasi sebagai
variabel moderating (studi kasus pada Pemerintah Kota Metro).
1.3.2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada
pengembangan teori, terutama yang berkaitan dengan akuntansi keperilakuan dan
manajemen. Temuan penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
praktis bagi Pemerintah Daerah Kota Metro yang menerapkan partisipasi
penyusunan anggaran dalam mencapai tujuan organisasi.
1.4. Kerangka Pemikiran
Proses penyusunan anggaran mempunyai dampak langsung terhadap perilaku
manusia (Siegel dan Marconi, 1989 dalam Asriningati, 2006), terutama bagi
bawahan (pegawai) yang berpartisipasi dalam penyusunan anggaran memberikan
perkiraan yang bias kepada atasan, padahal bawahan tersebut memiliki informasi
yang dapat digunakan untuk membantu keakuratan anggaran organisasi. Perkiraan
bias tersebut dapat dilakukan dengan cara melaporkan prospek penerimaan yang
lebih rendah, dan prospek biaya yang lebih baik, sehingga target anggaran dapat
lebih mudah dicapai. Tindakan bawahan ini dilakukan karena sistem penilaian
kinerja yang dilakukan atasan terhadap bawahan diukur berdasarkan tingkat
capaian sasaran anggaran. Sehingga dengan tercapainya sasaran anggaran,
bawahan berharap dapat dinilai memiliki kinerja yang baik oleh atasannya.
Namun, bagi organisasi, laporan anggaran yang bias akan mengurangi keefektifan
anggaran dalam perencanaan dan pengawasan organisasi (Waller, 1988 dalam
Asriningati, 2006).
Perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan anggaran yang sesuai dengan
estimasi terbaik bagi organisasi ini disebut senjangan anggaran (budgetary slack)
(Anthony dan Govindarajan, (1998) dalam Latuheru (2005)). Dengan kata lain,
senjangan anggaran merupakan pelaporan jumlah anggaran yang dengan sengaja
dilaporkan melebihi sumber daya yang dimiliki organisasi dan mengecilkan
kemampuan produktivitas yang dimilikinya (Young (1985) dalam Latuheru
(2005)).
Beberapa penelitian dibidang akuntansi mengemukakan bahwa para manajer
tingkat bawah (pejabat eselon 3, 4 dan staf ) mempunyai informasi yang lebih
akurat daripada para atasannya mengenai kondisi-kondisi organisasi (instansi)
yang lebih baik mengenai level anggaran yang diperlukan untuk mendukung
pelaksanaan aktivitas-aktivitas organisasinya daripada manajer tingkat atas. Oleh
karena itu, para manajer tingkat bawah akan berusaha untuk memberikan
informasi tersebut kedalam usulan anggarannya untuk menjamin bahwa mereka
memperoleh sumber-sumber yang mencukupi untuk melaksanakan
aktivitas-aktivitasnya.
Komitmen organisasi yang kuat akan mendorong para manajer tingkat bawah
berusaha keras mencapai tujuan organisasi (Angel dan Perry, 1981 dalam Sardjito
dan Muthaher, 2007). Kecukupan anggaran tidak hanya secara langsung
meningkatkan prestasi kerja, tetapi juga secara tidak langsung (moderasi) melalui
komitmen organisasi. Selain itu, komitmen organisasi dapat merupakan alat bantu
psikologis dalam menjalankan organisasinya untuk pencapaian kinerja yang
diharapkan. Komitmen organisasi yang tinggi akan meningkatkan kinerja yang
tinggi pula (Sardjito dan Muthaher, 2007). Komitmen yang tinggi menjadikan
individu lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan pribadi dan
berusaha menjadikan organisasi menjadi lebih baik. Sebaliknya, komitmen
organisasi yang rendah akan membuat individu cenderung berbuat untuk berbuat
untuk kepentingan pribadinya saja.
Berdasarkan uraian tersebut dibuat kerangka pemikiran seperti pada gambar 1
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
1.5. Hipotesis
Hipotesis yang dibangun dan akan diuji pada penelitian ini adalah: “Partisipasi
Anggaran berpengaruh negatif terhadap Senjangan Anggaran jika digunakan
Komitmen Organisasi sebagai variabel yang memoderasi hubungan antara
Partisipasi Angaran terhadap Senjangan Anggaran”. Rencana
Strategi SKPD
Rencana Kerja SKPD
Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah (RKA-SKPD)
Rancangan APBD
Partisipasi Anggaran (X1)
Senjangan Anggaran (Y)
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penelitian Terdahulu
Latuheru (2005) telah meneliti mengenai: Pengaruh Partisipasi Anggaran terhadap
Senjangan Anggaran dengan Komitmen Organisasi sebagai Variabel Moderating.
Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan industri di Maluku sebagai populasinya.
Hasil penelitiannya telah menunjukkan bahwa interaksi antara variabel komitmen
organisasi dengan partisipasi anggaran akan menurunkan kecenderungan manajer
dalam menciptakan senjangan anggaran. Latuheru selanjutkan menjelaskan bahwa
hal tersebut mungkin disebabkan manajer yang memiliki komitmen organisasi
yang tinggi memiliki dorongan dari dalam dirinya untuk berbuat sesuatu agar
dapat menunjang keberhasilan organisasi.
Veronica dan Krisnadewi meneliti mengenai Pengaruh Partisipasi Penganggaran,
Penekanan Anggaran, Komitmen Organisasi, dan Kompleksitas Tugas terhadap
Slack Anggaran pada Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Kabupaten Badung.
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah: bahwa partisipasi anggaran,
penekanan anggaran, komitmen organisasi dan kompleksitas tugas baik secara
simultan maupun parsial, berpengaruh signifikan terhadap slack anggaran pada
Anissarahma (2008) melakukan penelitian tentang Pengaruh Partisipasi Anggaran,
Informasi Asimetri, Budget Emphasis dan Komitmen Organisasi terhadap
Timbulnya Slack Anggaran (Studi Kasus pada PT Telkom Yogyakarta) dengan
kesimpulan yaitu partisipasi anggaran, informasi asimetri, budget emphasis dan
komitmen organisasi baik secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan
terhadap slack anggaran.
2.2. Anggaran
Anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai
selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial
(Mardiasmo, 2002). Anggaran dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu anggaran sektor
publik dan anggaran sektor swasta. Anggaran sektor publik berisi rencana
kegiatan yang direpresentasikan dalam bentuk rencana perolehan pendapatan dan
belanja dalam satuan moneter. Dalam bentuk paling sederhana, anggaran publik
merupakan suatu dokumen yang menggambarkan kondisi keuangan dari suatu
organisasi yang meliputi informasi mengenai pendapatan, belanja dan aktivitas.
Anggaran berisi estimasi mengenai apa yang akan dilakukan organisasi di masa
yang akan datang. Setiap anggaran memberikan informasi mengenai apa yang
hendak dilakukan dalam beberapa periode yang akan datang.
Anggaran sektor publik penting karena beberapa alasan, yaitu:
1. Anggaran merupakan alat bagi pemerintah untuk mengarahkan pembangunan
ekonomi, menjamin kesinambungan, dan meningkatkan kualitas hidup
2. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat
yang tak terbatas dan terus berkembang, sedangkan sumber daya yang ada
terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber
daya (scarcity of resources), pilihan (choice), dan trade off.
3. Anggaran diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemerintah telah
bertanggung jawab terhadap masyarakat. Dalam hal ini anggaran publik
merupakan instrumen pelaksanaan akuntabilitas publik oleh
lembaga-lembaga publik yang ada.
Anggaran sektor publik mempunyai 8 (delapan) fungsi utama, yaitu:
1. Alat Perencanaan (Planning Tool)
Anggaran merupakan alat alat perencanaan manajamen untuk mencapai tujuan
organisasi. Anggaran sektor publik dibuat untuk merencanakan tindakan apa yang
akan dilakukan oleh pemerintah, berapa biaya yang dibutuhkan, dan berapa hasil
yang diperoleh dari belanja pemerintah.
Anggaran sebagai alat perencanaan digunakan untuk:
a. Merumuskan tujuan serta sasaran kebijakan agar sesuai dengan visi dan misi
yang ditetapkan;
b. Merencanakan berbagai program dan kegiatan untuk mencapai tujuan
organisasi serta merencanakan alternatif sumber pembiayaannya;
c. Mengalokasikan dana pada berbagai program dan kegiatan yang telah
disusun, dan;
2. Alat Pengendalian (Control Tool)
Sebagai alat pengendalian, anggaran memberikan rencana detail atas pendapatan
dan pengeluaran pemerintah agar pembelanjaan yang dilakukan dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik. Tanpa anggaran, pemerintah tidak dapat
mengendalikan pemborosan-pemborosan publik.
Anggaran sebagai instrumen pengendalian digunakan untuk menghindari adanya
overspending, underspending dan salah sasaran (misappropriation) dalam
pengalokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas.
Anggaran merupakan alat untuk memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan
operasional program atau kegiatan pemerintah.
Sebagai alat pengendalian manajerial, anggaran sektor publik digunakan untuk
meyakinkan bahwa pemerintah mempunyai uang yang cukup untuk memenuhi
kewajibannya. Selain itu, anggaran digunakan untuk memberi informasi dan
meyakinkan legislatif bahwa pemerintah bekerja secara efisien, tanpa ada korupsi
dan pemborosan.
3. Alat Kebijakan Fiskal (Fiscal Tool)
Anggaran sebagai alat kebijakan fiskal pemerintah digunakan untuk menstabilkan
ekonomi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Melalui anggaran publik tersebut
dapat diketahui arah kebijakan fiskal pemerintah, sehingga dapat dilakukan
prediksi-prediksi dan estimasi ekonomi. Anggaran dapat digunakan untuk
mendorong, memfasilitasi, dan mengkoordinasikan kegiatan ekonomi masyarakat
4. Alat Politik (Political Tool)
Anggaran digunakan untuk memutuskan prioritas-prioritas dan kebutuhan
keuangan terhadap prioritas tersebut. Pada sektor publik, anggaran merupakan
dokumen politik sebagai bentuk komitmen eksekutif dan kesepakatan legislatif
atas penggunaan dana publik untuk kepentingan tertentu. Anggaran bukan sekedar
masalah teknis akan tetapi lebih merupakan alat politik (political tool). Oleh
karena itu, pembuatan anggaran publik membutuhkan political skill, coalition
building, keahlian bernegosiasi, dan pemahaman tentang prinsip manajemen
keuangan publik oleh para manajemen publik.
5. Alat Koordinasi dan Komunikasi (Coordination and Communication Tool)
Setiap unit kerja pemerintah terlibat dalam proses penyusunan anggaran.
Anggaran publik merupakan alat koordinasi antar bagian dalam pemerintahan.
Anggaran publik yang disusun dengan baik akan mampu mendeteksi terjadinya
inkonsistensi suatu unit kerja dalam pencapaian tujuan organisasi. Di samping itu,
anggaran publik juga berfungsi sebagai alat komunikasi antar unit kerja dalam
lingkungan eksekutif. Anggaran harus dikomunikasikan ke seluruh bagian
organisasi untuk dilaksanakan.
6. Alat Penilaian Kinerja (Performance Measurement Tool)
Anggaran merupakan perwujudan komitmen dari budget holder (eksekutif)
kepada pemberi wewenang (legislatif). Kinerja eksekutif akan dinilai berdasarkan
pencapaian target anggaran dan efisiensi pelaksanaan anggaran. Kinerja manajer
anggaran yang telah ditetapkan. Anggaran merupakan alat yang efektif untuk
pengendalian dan penilaian kinerja.
7. Alat Motivasi (Motivation Tool)
Anggaran dapat digunakan sebagai alat untuk memotivasi manajer dan stafnya
agar bekerja secara ekonomis, efektif, dan efisien dalam mencapai target dan
tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Agar dapat memotivasi pegawai,
anggaran hendaknya bersifat challenging but attianable atau demanding but
achieveable. Maksudnya adalah target anggaran hendaknya jangan terlalu tinggi
sehingga tidak dapat dipenuhi, namun juga jangan terlalu rendah sehingga terlalu
mudah untuk dicapai.
8. Alat untuk Menciptakan Ruang Publik (Public Sphere)
Anggaran publik tidak boleh diabaikan oleh kabinet, birokrat, dan DPR/DPRD.
Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, dan
berbagai organisasi kemasyarakatan harus terlibat dalam proses penganggaran
publik. Kelompok masyarakat yang terorganisir akan mencoba memengaruhi
anggaran pemerintah untuk kepentingan mereka. Kelompok lain dari masyarakat
yang kurang terorganisasi akan mempercayakan aspirasinya melalui proses politik
yang ada. Pengangguran, tuna wisma dan kelompok lain yang tak terorganisasi
akan dengan mudah dan tidak berdaya mengikuti tindakan pemerintah. Jika tidak
ada alat untuk menyampaikan suara mereka, maka mereka akan mengambil
tindakan dengan jalan lain seperti dengan tindakan massa, melakukan boikot,
2.3. Proses Penyusunan Anggaran
Proses penyusunan anggaran merupakan bagian dari siklus anggaran. Henley
menyatakan bahwa prinsip-prinsip dan mekanisme penganggaran relatif tidak
berbeda antara sektor swasta dan sektor publik (Mardiasmo, 2002). Siklus
anggaran meliputi empat tahap yang terdiri atas: (1) tahap persiapan anggaran
(preparation); (2) tahap ratifikasi (approval/ratification); (3) tahap implementasi
(implementation); dan (4) tahap pelaporan dan evaluasi (reporting and
evaluation). Dari keempat tahap tersebut, yang termasuk dalam proses
penyusunan anggaran adalah tahap pertama dan kedua, sedangkan tahap ketiga
dan keempat termasuk tahap pelaksanaan serta pelaporan dan evaluasi.
Peraturan Pemerintah (PP) nomor: 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan
Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor: 13 tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menjelaskan tentang proses
penyusunan anggaran pemda seperti terlihat pada gambar 2.
Gambar 2 menyatakan dua dari empat tahap yang ada dalam siklus anggaran yaitu
tahap persiapan anggaran dan tahap ratifikasi. Tahap persiapan anggaran dimulai
dari proses penyusunan RPJMD sampai dengan tahap penyusunan RKA-SKPD.
Dan tahap ratifikasi dimulai dari tahap pembahasan RAPBD antara pemda dan
pihak legislatif, sampai dengan tahap penetapan perda APBD.
Permendagri nomor: 13 tahun 2006 menjelaskan bahwa sebagai tahap awal dalam
menyusun anggaran (APBD), pemda menyusun Rencana Kerja Pemerintahan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Rencana Strategi Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD)
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD)
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD)
Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (KUA)
Nota Kesepakatan
Pedoman Penyusunan RKA SKPD (Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah)
Rencana Kerja Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA SKPD)
Pembahasan RAPBD (Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah)
Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RPD APBD) + Rancangan Peraturan Kepala Daerah Tentang
Penjabaran APBD
Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RPD APBD) + Rancangan Peraturan Kepala Daerah
Tentang Penjabaran APBD
Penetapan Peraturan Daerah tentang Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (RPD APBD) + Peraturan Kepala Daerah Tentang Penjabaran
APBD
Rencana Kerja Pemerintah (RKP)
Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS)
Menengah Daerah (RPJMD) dengan menggunakan bahan dari Rencana Kerja
(Renja) SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana
Kerja Pemerintah. Renja SKPD merupakan penjabaran dari Rencana Strategi
(Renstra) SKPD yang disusun berdasarkan evaluasi pencapaian pelaksanaan
program dan kegiatan tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan Renstra SKPD
memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
yang bersifat indikatif sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing
SKPD (PP nomor: 58 tahun 2005). Renstra dan Renja SKPD biasanya disusun
oleh tim yang terdiri dari beberapa pejabat eselon tiga dan empat dan staf yang
ditunjuk oleh masing-masing kepala SKPD. RKPD memuat rancangan kerangka
ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja
yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh
pemerintah, pemda maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.
Berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri
Dalam Negeri (Mendagri) selanjutnya Kepala Daerah dibantu oleh Tim Anggaran
Pemerintah Daerah (TAPD) menyusun rancangan Kebijakan Umum APBD
(KUA) yang memuat target pencapaian kinerja yang terukur dari
program-program yang akan dilaksanakan oleh pemda untuk setiap urusan pemda yang
disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan
penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya
(mempertimbangkan perkembangan ekonomi makro dan perubahan pokok-pokok
kebijakan fiskal yang ditetapkan oleh pemerintah). Rancangan KUA tersebut
selanjutnya disampaikan kepala daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Setelah
disepakati, rancangan KUA tersebut menjadi KUA.
KUA tersebut dijadikan dasar bagi pemda untuk menyusun rancangan Prioritas
dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) dan disampaikan kepada DPRD untuk
dibahas oleh TAPD bersama panitia anggaran DPRD. Dan rancangan PPAS yang
telah dibahas selanjutnya disepakati menjadi PPA.
KUA dan PPA yang telah disepakati, masing-masing dituangkan ke dalam nota
kesepakatan yang ditandatangani bersama antara kepala daerah dengan pimpinan
DPRD. Berdasarkan nota kesepakatan tersebut, TAPD menyiapkan rancangan
surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai
acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD. Pada tahap ini kepala SKPD
selanjutnya membentuk tim anggaran (biasanya terdiri dari pejabat eselon 3, 4 dan
staf bagian tata usaha) internal instansinya.
RKA-SKPD disusun menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka
menengah daerah, penganggaran terpadu dan penganggaran berdasarkan prestasi
kerja. RKA-SKPD memuat rencana pendapatan, rencana belanja untuk
masing-masing program dan kegiatan, serta rencana pembiayaan untuk tahun yang
direncanakan dirinci sampai dengan rincian objek pendapatan, belanja dan
pembiayaan serta perkiraan maju untuk tahun berikutnya dan juga memuat
informasi tentang urusan pemda, organisasi, standar biaya, prestasi kerja yang
RKA-SKPD yang telah disusun oleh SKPD disampaikan kepada PPKD untuk
dibahas lebih lanjut oleh TAPD untuk menelaah kesesuaian antara RKA-SKPD
dengan KUA, PPA, prakiraan maju yang telah disetujui tahun anggaran
sebelumnya dan dokumen perencanaan lainnya, serta capaian kinerja, indikator
kinerja, kelompok sasaran kegiatan, standar analisis belanja, standar satuan harga,
standar pelayanan minimal, serta sinkronisasi program dan kegiatan antar SKPD.
RKA-SKPD tersebut selanjutnya oleh PPKD dijadikan bahan penyusunan
rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan kepala daerah
tentang penjabaran APBD dan selanjutnya disampaikan kepada kepala daerah.
Sebelum disampaikan kepada DPRD, rancangan peraturan daerah tentang APBD
dan rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD disosialisasikan
kepada masyarakat.
Setelah disetujui oleh DPRD, kedua rancangan peraturan tersebut dievaluasi oleh
Gubernur. Dan kedua rancangan peraturan yang telah dievaluasi tersebut
selanjutnya ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang
APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD.
Berdasarkan tahapan penyusunan anggaran pemda tersebut, yang menjadi
perhatian dalam penelitian ini adalah tahap penyusunan RKA-SKPD dimana pada
tahap ini pegawai dan staf yang diberi tugas untuk menyusun anggaran
2.4. Partisipasi Anggaran
Keterlibatan (partisipasi) berbagai pihak dalam membuat keputusan dapat terjadi
dalam penyusunan anggaran. Partisipasi anggaran merupakan proses yang
menggambarkan keterlibatan individu-individu dalam penyusunan anggaran dan
pengaruhnya terhadap target anggaran dan perlunya penghargaan atas pencapaian
target anggaran tersebut (Brownell dalam Aprilia, 2008). Dari istilah tersebut
maka dinyatakan bahwa partisipasi anggaran dapat digunakan untuk melihat
keikutsertaan seseorang terhadap aktivitas anggaran yang dibuat.
Meilyana (2006) dalam Aprilia (2008) menyatakan bahwa terdapat 3 (tiga) aspek
penting yang terkandung dalam pengertian tersebut, yaitu:
1. Keterlibatan emosi dan mental pegawai; berpartisipasi berarti pegawai lebih
melibatkan faktor psikologi (emosi dan mental) daripada faktor fisik.
Pegawai yang berpartisipasi tinggi akan tampak dalam perilakunya yaitu
aktivitas kerja yang kreatif, semangat kerja yang tinggi guna mencapai target
anggaran.
2. Motivasi untuk memberikan kontribusi/menyumbangkan ide-ide; pegawai
diberikan kesempatan untuk menyumbangkan dan merealisasikan ide-ide dan
kreativitasnya dalam mencatai target anggaran.
3. Tanggung jawab kelompok; partisipasi menuntut pegawai untuk mampu
menerima tanggung jawab kelompok untuk mencapai keberhasilan instansi
tersebut.
Menurut Sardjito dan Muthaher (2007), partisipasi anggaran adalah tingkat
menyusun anggaran yang ada dalam divisi atau bagiannya, baik secara periodik
maupun tahunan. Chong dalam Bawono dan Ompusunggu (2006) menyatakan
partisipasi anggaran sebagai proses dimana bawahan diberikan kesempatan untuk
terlibat dan mempunyai pengaruh dalam proses penyusunan anggaran.
Govindarajan dalam Asriningati (2006) mendefinisikan partisipasi anggaran
sebagai keterlibatan manajer-manajer pusat pertanggungjawaban (manajer tingkat
bawah) dalam hal yang berkaitan dengan penyusunan anggaran. Sementara Kenis
dalam Asriningati (2006) mendefinisikan partisipasi anggaran sebagai tingkat
partisipasi bawahan dan manajer tingkat bawah dalam mempersiapkan anggaran
dan mereka memiliki pengaruh dalam menentukan pencapaian sasaran anggaran
di pusat pertanggungjawabannya.
Dengan menyusun anggaran secara partisipatif diharapkan kinerja para manajer di
bawahnya akan meningkat. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa ketika suatu
tujuan atau standar yang dirancang secara partisipatif disetujui, maka pegawai
akan bersungguh-sungguh dalam tujuan atau standar yang ditetapkan, dan
pegawai juga memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya karena
ikut serta terlibat dalam penyusunannya (Milani (1975) dalam Darlis (2002)).
Kesungguhan dalam mencapai tujuan organisasi oleh para bawahan akan
meningkatkan efektivitas organisasi, karena memiliki konflik potensial antara
tujuan individu dengan tujuan organisasi dapat dikurangi bahkan dihilangkan.
Siegel dan Marconi (1989) dalam Aprilia (2008) menyatakan bahwa dengan
dilibatkannya manager dalam penyusunan anggaran, akan menambah informasi
membantu menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan anggaran. Keuntungan
lain dari partisipasi adalah memacu peningkatan moral dan inisiatif bagi mereka
untuk mengembangkan ide dan informasi pada seluruh tingkat manajemen,
meningkatkan group cohesiveness (kesatuan kelompok) yang kemudian
meningkatkan kerjasama antar individu dalam pencapaian tujuan, terbentuknya
group internalization yaitu penyatuan tujuan individu dan organisasi, menghindari
tekanan dan kebingungan dalam melaksanakan pekerjaan dan manajer menjadi
tanggap terhadap masalah-masalah sub unit tertentu serta memiliki pemahaman
yang lebih baik tentang ketergantungan antar departemen.
Partisipasi juga dapat mengurangi tekanan dan kegelisahan para bawahan, karena
mereka dapat mengetahui suatu tujuan yang relevan, dapat diterima dan dapat
dicapai. Keikutsertaan dalam penyusunan anggaran merupakan suatu cara efektif
untuk menciptakan keselarasan tujuan setiap pusat pertanggungjawaban dengan
tujuan organisasi secara umum. Onsi (1973) dalam Latuheru (2005) juga
berpendapat bahwa partisipasi akan mengarah pada komunikasi yang positif,
karena dengan partisipasi akan terjadi mekanisme pertukaran informasi. Selain, itu
masing-masing informasi tentang rencana kerja mereka (Hopwood (1976) dalam
Darlis (2002)).
Garisson dan Noreen (2000) dalam Aprilia (2008) menyatakan bahwa keunggulan
partisipasi adalah menghargai pendapat dan pandangan pegawai tingkat menengah
dan bawah sehingga mereka lebih cenderung terdorong untuk mencapai anggaran.
Selain itu, dalam penganggaran partisipasi terdapat sistem kendali yang unik,
sehingga mereka tidak dapat berdalih bahwa anggaran tidak masuk akal untuk
dicapai.
Anthony dan Govindarajan (1995) dalam Aprilia (2008) menyatakan bahwa
penganggaran partisipasi memiliki dua keunggulan yaitu:
1. Tujuan anggaran akan dapat lebih mudah diterima apabila anggaran tersebut
berada dibawah pengawasan manajer.
2. Penganggaran partisipasi menghasilkan pertukaran informasi yang efektif
antara pembuat anggaran dan pelaksana anggaran.
Partisipasi dalam penyusunan anggaran lebih memungkinkan bagi para bawahan
untuk melakukan negosiasi dengan atasan mereka mengenai kemungkinan target
anggaran yang dapat dicapai. Jika keterlibatan bawahan dalam penyusunan
anggaran disalahgunakan, maka akan menimbulkan senjangan anggaran. Hal ini
terjadi ketika bawahan melaporkan informasi yang bias demi kepentingan
pribadinya. Dunk (1993) dalam Aprilia (2008) menyatakan bahwa penganggaran
partisipasi dapat menyebabkan senjangan anggaran, yaitu perbedaan antara jumlah
sumber daya yang sebenarnya diperlukan untuk menyelesaikan tugas secara
efisien dengan jumlah yang diajukan oleh manajer yang bersangkutan untuk
mengerjakan tugas yang sama.
Menurut Hansen dan Mowen (1997) dalam Aprilia (2008) terdapat 3 (tiga)
masalah yang timbul yang menjadi kelemahan dalam partisipasi penganggaran,
yaitu:
1. Pembuatan standar yang terlalu tinggi atau rendah, sejak yang dianggarkan
2. Senjangan anggaran, adalah perbedaan antara jumlah sumber daya yang
sebenarnya diperlukan untuk menyelesaikan tugas secara efisien dengan
jumlah yang diajukan oleh manajer yang bersangkutan untuk mengerjakan
tugas yang sama.
3. Pseudoparticipation, yaitu bahwa organisasi menggunakan partisipasi dalam
menyusun anggaran padahal sebenarnya tidak. Dalam hal ini bawahan
terpaksa menyatakan persetujuan terhadap keputusan yang akan ditetapkan
karena organisasi membutuhkan persetujuan mereka.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa partisipasi anggaran dapat meningkatkan
kualitas anggaran yang dibuat dan berdampak positif terhadap kinerja bawahan
dalam menyumbangkan masukan dalam penyusunan anggaran.
2.5. Senjangan Anggaran
Senjangan anggaran didefinisikan sebagai tindakan bawahan yang mengecilkan
kapabilitas produktifnya ketika pegawai tersebut diberi kesempatan untuk
menentukan standar kerjanya (Young, 1985 dalam Asriningati, 2006). Sedangkan
Anthony dan Govindarajan (1998) dalam Asriningati (2006) mendefinisikan
senjangan anggaran sebagai perbedaan antara anggaran yang dilaporkan dengan
anggaran yang sesuai dengan estimasi yang sesungguhnya. Tujuannya agar target
dapat lebih mudah dicapai oleh bawahan. Schiff dan Lewin (1970) dalam Aprilia
(2008) menyatakan bahwa bawahan menciptakan senjangan anggaran karena
dipengaruhi oleh keinginan dan kepentingan pribadi sehingga akan memudahkan
berdasarkan pencapaian anggaran. Upaya ini dilakukan dengan menentukan
pendapatan yang terlalu rendah dan biaya yang terlalu tinggi.
Dalam teori ekonomi, disebutkan bahwa individu yang terlibat dalam proses
penyusunan anggaran, dimotivasi oleh 2 (dua) stimulan yaitu berbagi informasi
(information sharing) dan koordinasi tugas (task coordination). Dalam teori
psikologi, disebutkan bahwa partisipasi anggaran menyediakan pertukaran
informasi antara atasan/pemegang kuasa anggaran dan bawahan/pelaksana
anggaran (Hopwood, 1976; Locke dan Schweiger, 1979; Locke dan Lathan, 1990
dalam Aprilia, 2008).
Ketentuan bahwa jumlah rencana penerimaan yang dimuat dalam anggaran daerah
merupakan batas terendah yang harus dicapai, dan jumlah rencana pengeluaran
yang dimuat dalam anggaran daerah merupakan batas tertinggi, cenderung
memunculkan senjangan anggaran. Ketentuan ini memungkinkan bahwa target
penerimaan yang dinyatakan dalam anggaran daerah bukan merupakan target
yang sesuai dengan potensi riilnya tetapi target yang jauh lebih rendah dari
potensinya. Kondisi tersebut akan mengurangi keefektifan anggaran dalam
perencanaan dan pengawasan organisasi (Waller, 1988 dalam Asriningati, 2006).
2.6. Komitmen Organisasi
Porter (1974) dalam Yuliaistanah (2005) mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai kekuatan yang bersifat relatif dari individu dalam mengidentifikasikan
keterlibatan dirinya kedalam bagian organisasi. Hal ini dapat ditandai dengan tiga
1. Penerimaan terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
2. Kesiapan dan kesediaan untuk berusaha dengan sungguh-sungguh atas nama
organisasi.
3. Keinginan untuk mempertahankan keanggotaan di dalam organisasi (menjadi
bagian dari organisasi).
Zainuddin (2002) dalam Yuliaistanah (2005) mendefinisikan komitmen organisasi
sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai organisasi), keterlibatan
(kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi kepentingan organisasi) dan
loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi yang bersangkutan)
yang dinyatakan oleh seorang pegawai atau anggota terhadap organisasinya.
Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi dimana
pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran organisasinya.
Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar keanggotaan formal,
karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan untuk mengusahakan
tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi demi pencapaian tujuan.
Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi tercakup unsur loyalitas
terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan dan identifikasi terhadap
nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Secara singkat inti dari beberapa definisi tentang komitmen organisasi dari
beberapa ahli tersebut mempunyai penekanan yang hampir sama yaitu proses pada
individu (anggota) dalam mengidentifikasikan dirinya dengan nilai-nilai,
aturan-aturan, dan tujuan organisasi. Disamping itu, komitmen organisasi mengandung
terhadap organisasi, dengan kata lain komitmen organisasi menyiratkan hubungan
anggota dengan perusahaan atau organisasi secara aktif. Karena anggota yang
menunjukkan komitmen tinggi memiliki keinginan untuk memberikan tenaga dan
tanggung jawab yang lebih dalam menyokong kesejahteraan dan keberhasilan
organisasi tempat bekerja (Kul, 1992 dalam Yuliaistanah, 2005)
Menurut pendapat Zainuddin (2002) dalam Yuliaistanah (2005) Jenis komitmen-
komitmen organisasi dapat dibedakan menjadi 2 bagian:
1. Jenis komitmen menurut Allen dan Meyer, Allen dan Meyer membedakan
komitmen organisasi atas tiga komponen, yaitu: Komponen afektif,
continuace dan normatif.
Komponen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi dan keterlibatan
anggota di dalam suatu organisasi. merupakan perasaan-perasaan anggota
tentang kewajiban yang harus di berikan kepada organisasi.
Komponen continuanceberarti komponen berdasarkan persepsi pegawai
tentang kerugian yang akan dihadapinya jika ia meninggalkan organisasi.
Meyer dan Allen berpendapat bahwa setiap komponen memiliki dasar yang
berbeda. Anggota dengan komponen afektif tinggi, masih bergabung dengan
organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Sementara itu anggota dengan komponen continuance tinggi, tetap
bergabung dengan organisasi tersebut karena mereka membutuhkan
organisasi dan mempunyai keinginan untuk menggunakan usaha yang sesuai
Komponen ketiga adalah komponen normatif. Anggota yang memiliki
komponen normatif yang tinggi, akan tetap menjadi anggota organisasi
karena mereka harus melakukannya yang berkembang sebagai hasil dari
pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang
dimiliki anggota. Komponen normatif menimbulkan perasaan kewajiban
pada anggota untuk memberi balasan atas apa yang telah diterimanya dari
organisasi. Setiap anggota memiliki dasar dan tingkah laku yang berbeda
berdasarkan komitmen organisasi yang dimilikinya. Anggota yang memiliki
komitmen organisasi dengan dasar afektif memiliki tingkah laku. Sebaliknya,
mereka yang terpaksa menjadi anggota akan menghindari kerugian finansial
dan kerugian lain, sehingga mungkin hanya melakukan usaha yang tidak
maksimal.
2. Jenis komitmen organisasi dari Mowday, Porter dan Steers lebih dikenal
sebagai pendekatan sikap terhadap organisasi. Komitmen organisasi ini
memiliki dua komponen yaitu sikap dan kehendak untuk bertingkah laku.
a. Sikap mencakup:
1) Identifikasi dengan organisasi yaitu penerimaan tujuan organisasi,
dimana penerimaan ini merupakan dasar komitmen organisasi.
Identifikasi anggota tampak melalui sikap menyetujui
kebijaksanaan organisasi, dimana penerimaan ini merupakan dasar
komitmen organisasi, kesamaan nilai pribadi dan nilai-nilai
2) Keterlibatansesuai peran dan tanggung jawab pekerjaan di
organisasi tersebut. anggota yang memiliki komitmen tinggi akan
menerima hampir semua tugas dan tanggung jawab pekerjaan yang
diberikan padanya.
3) Kehangatan, afeksi dan loyalitas terhadap organisasi merupakan evaluasi terhadap komitmen, serta adanya ikatan emosional dan
keterikatan antara organisasi dengan anggota. Anggota dengan
komitmen tinggi merasakan adanya loyalitas dan rasa memiliki
terhadap organisasi.
b. Kehendak untuk bertingkah laku adalah:
1) Kesediaan untuk menampilkan usaha. Hal ini tampak melalui
kesediaan bekerja melebihi apa yang diharapkan agar organisasi
dapat maju. Anggota dengan komitmen tinggi, ikut memperhatikan
nasib organisasi.
2) Keinginan tetap berada dalam organisasi. Pada anggota yang
memiliki komitmen tinggi, hanya sedikit alasan untuk keluar dari
organisasi dan berkeinginan untuk bergabung dengan organisasi
yang telah dipilihnya dalam waktu lama.
Seseorang yang memiliki komitmen tinggi akan memiliki identifikasi terhadap
organisasi, terlibat sungguh-sungguh dalam anggota dan ada loyalitas serta afeksi
positif terhadap organisasi. Selain itu tingkah laku berusaha ke arah tujuan
organisasi dan keinginan untuk tetap bergabung dengan organisasi dalam jangka
Steers dalam Chairy (2002) mengembangkan model anteseden (faktor penyebab)
komitmen organisasi yang meliputi: (1) karakteristik personal, (2) kareakteristik
yang berkaitan dengan pekerjaan atau jabatan, dan (3) pengalaman kerja. Chairy
(2002) menjelaskan dalam tulisannya beberapa penelitian menunjukkan bahwa:
1. Karakteristik personal yang terdiri dari usia, masa kerja, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, suku bangsa dan kepribadian berkorelasi dengan komitmen
organisasi. (Mathieu dan Zajac, 1990; Mowday dkk, 1982).
Angle dan Perry (1981) serta Steers (1977) berpendapat bahwa semakin
tinggi pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula harapannya sehingga
tidak mungkin dipenuhi oleh organisasi; akibatnya semakin rendah komitmen
karyawan pada organisasi. Mathieu dan Zajac (1990) juga menemukan
bahwa tingkat pendidikan berkorelasi negatif kecil dengan komitmen
organisasi.
Karakteristik personal lain, yaitu jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap
komitmen organisasi. Angle dan Perry (1981) serta Hrebeniak dan Alutto
(1972) menemukan bahwa wanita memiliki komitmen organisasi yang lebih
tinggi daripada pria. Namun Mathieu dan Zajac (1990) menemukan bahwa
karyawan pria memiliki komitmen organisasi yagn lebih tinggi daripada
karyawan wanita.
Lama kerja sebagai salah satu anteseden karakteristik personal juga memiliki
Zajac (1990) menemukan adanya korelasi yang positif rendah antara masa
kerja dengan komitmen organisasi.
2. Karakteristik yang berkaitan dengan jabatan atau peran memiliki sumbangan
yang bermakna pada komitmen organisasi. Karakteristik ini meliputi
tantangan pekerjaan, konflik peran dan ambiguitas peran.
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa tantangan pekerjaan memiliki
hubungan positif dengan komitmen organisasi, sedangkan konflik peran dan
ambiguitas peran memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasi.
Mathieu dan Zajac (1990) menemukan bahwa tantangan tugas dan variasi
keterampilan memiliki korelasi positif sedang dengan komitmen organisasi;
tetapi otonomi hanya berkorelasi rendah dengan komitmen organisasi.
Sebaliknya, konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja
memiliki korelasi yang negatif sedang dengan komitmen organisasi.
3. Pengalaman kerja memberikan kontribusi yang paling besar terhadap
komitmen organisasi. Penelitian lebih lanjut oleh Mathieu dan Zajac (1990)
menemukan korelasi yang cukup besar antara kepemimpinan partisipatori
dan komunikasi pimpinan, yang merupakan bentuk pengalaman kerja dengan
komitmen organisasi.
Menumbuhkan komitmen-komitmen organisasi memiliki tiga aspek utama, yaitu:
identifikasi, keterlibatan dan loyalitas pegawai terhadap organisasi organisasinya
1. Identifikasi
Identifikasi yang diwujud dalam bentuk kepercayaan anggota terhadap organisasi,
dapat dilakukan dengan memodifikasi tujuan organisasi, sehingga mencakup
beberapa tujuan pribadi para anggota ataupun dengan kata lain organisasi
memasukkan pula kebutuhan dan keinginan anggota dalam tujuan organisasinya.
Hal ini akan menciptakan suasana saling mendukung diantara para anggota
dengan organisasi. Lebih lanjut, suasana tersebut akan membawa anggota dengan
rela menyumbangkan sesuatu bagi tercapainya tujuan organisasi, karena anggota
menerima tujuan organisasi yang dipercayai telah disusun demi memenuhi
kebutuhan pribadi mereka pula.
2. Keterlibatan
Keterlibatan atau partisipasi anggota dalam aktivitas-aktivitas kerja penting untuk
diperhatikan karena adanya keterlibatan akan menyebabkan pegawai tersebut mau
dan senang bekerja sama baik dengan pimpinan ataupun dengan sesama teman
kerja. Salah satu cara yang dapat dipakai untuk memancing keterlibatan anggota
adalah dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi
dalam berbagai kesempatan pembuatan keputusan sehingga dapat menumbuhkan
keyakinan pada anggota bahwa apa yang telah diputuskan adalah merupakan
keputusan bersama.
3. Loyalitas
Loyalitas anggota terhadap organisasi memiliki makna kesediaan seseorang untuk
kepentingan pribadinya tanpa mengharapkan apapun. Kesediaan anggota untuk
mempertahankan diri bekerja dalam organisasi adalah hal yang penting untuk
menunjang komitmen anggota terhadap organisasi dimana mereka bekerja. Hal ini
dapat diupayakan jika anggota merasakan adanya keamanan dan kepuasan di
dalam organisasi tempat ia bergabung untuk bekerja.
2.7. Variabel Moderating
Umar (2008) mendefinisikan variabel moderating adalah variabel independen
yang dapat memperkuat atau memperlemah hubungan antara variabel independen
lainnya terhadap variabel dependen, seperti pada gambar berikut:
Gambar 3. Variabel Moderating
Sharma et al (1981) dalam Ghozali (2009) mengelompokkan variabel moderator
menjadi tiga kelompok seperti terlihat pada gambar dibawah ini:
Tabel 1. Jenis-jenis Variabel Moderator
Berhubungan dengan kriterion (variabel dependen) dan atau
prediktor (variabel independen)
Tidak berhubungan dengan kriterion (variabel dependen)
dan prediktor (variabel independen)
Berinteraksi dengan predictor 3
Tabel 1 menjelaskan bahwa, pertama, pengelompokan didasarkan pada
hubungannya dengan variabel kriterion (variabel dependen), yaitu apakah variabel
moderator berhubungan atau tidak berhubungan dengan variabel kriterion
(variabel dependen). Kedua, apakah variabel moderator berinteraksi dengan
variabel prediktor (variabel independen).
Jika variabel moderator (Z) berhubungan dengan kriterion (Y) dan atau prediktor
(X), tetapi variabel moderator (Z) tidak berinteraksi dengan prediktor (X) seperti
tampak pada kuadran 1, maka variabel Z bukan merupakan variabel moderator,
melainkan variabel intervening, exogen, anteseden atau prediktor (independen).
Secara konseptual variabel pada kuadran 2, 3 dan 4 diidentifikasi sebagai variabel
moderator.
Jenis variabel moderator pada kuadran 2 memengaruhi kekuatan hubungan, tetapi
tidak berinteraksi dengan variabel prediktor (X) dan tidak berhubungan secara
signifikan baik dengan prediktor (X) maupun dengan variabel kriterion (Y).
Dalam kuadran seperti ini, nilai residual atau error merupakan fungsi variabel
moderator. Sehingga dengan membagi total sampel menjadi dua kelompok yang
homogen dengan memperhatikan error variance akan meningkatkan nilai prediktif
model. Jenis moderator seperti ini disebut dengan variabel Homologizer. Misalkan
variabel kriterion (Y) dan variabel prediktor (X) seperti dibawah ini:
……….. Persamaan 1
Dimana Yi adalah variabel kriterion, Xi adalah variabel prediktor dan e adalah
error term. Semakin besar nilai error term semakin kecil tingkat kekuatan
hubungan antara Y dan X dan berlaku sebaliknya.
Jenis kedua dari variabel moderator adalah variabel moderator akan memodifikasi
bentuk hubungan antara variabel kriterion (Y) dan prediktor (X) seperti tampak
pada gambar kuadran 3 dan 4. Pada kuadran 3, variabel moderator (Z)
berhubungan dengan variabel kriterion (Y) dan atau variabel prediktor (Y) serta
berinteraksi dengan variabel prediktor (X) secara matematis dapat dituliskan
persamaan regresinya seperti dibawah ini:
Yi = α + β1.Xi + β2.Zi + β3.Xi*Zi + e……….. persamaan 2
Berdasarkan persamaan 2 jelas bahwa variabel moderator (Z) berfungsi sebagai
variabel prediktor (independen) dan sekaligus juga berinteraksi dengan variabel
prediktor lainnya (X). Jenis variabel moderator pada kuadran 3 disebut Quasi
Moderator (moderator semu).
Pada kuadran 4, variabel moderator (Z) tidak berhubungan dengan variabel
kriterion (Y) dan prediktor (X), tetapi berinteraksi dengan variabel prediktor (X)
atau secara matematis dapat dituliskan persamaan regresinya seperti dibawah ini:
Yi = α + β1.Xi + β2.Xi*Zi + e……….. persamaan 3
Berdasarkan persamaan 3 jelas bahwa variabel moderator (Z) tidak berfungsi
sebagai variabel prediktor (independen) tetapi langsung berinteraksi dengan
variabel prediktor lainnya (X). Jenis moderator pada kuadran 4 ini disebut pure
Perbedaan antara variabel moderating dan variabel intervening (mediator) adalah:
variabel moderating adalah variabel independen yang akan memperkuat atau
memperlemah hubungan antara variabel independen lainnya terhadap variabel
dependen (Ghozali, 2009). Sedangkan suatu variabel disebut intervening
(mediator) jika variabel tersebut berperan sebagai variabel mediasi dan ikut
memengaruhi hubungan antara variabel prediktor (independen) dan variabel
kriterion (dependen). Pengaruh yang ditimbulkan oleh variabel intervening
bersifat pengaruh langsung (direct effect) variabel independen ke variabel
dependen setelah mengendalikan variabel intervening (Baron dan Kenny (1986)
dalam Ghozali (2009)). Untuk menguji pengaruh variabel intervening dapat
digunakan metode analisis jalur (path analysis).
2.8. Pengaruh Partisipasi Anggaran Terhadap Senjangan Anggaran
Meskipun partisipasi dalam penyusunan anggaran memiliki berbagai keunggulan,
namun ada juga peneliti yang menemukan permasalahan yang ditimbulkan dari
partisipasi anggaran. Dengan kata lain disamping adanya temuan manfaat juga
terdapat permasalahan dalam partisipasi anggaran. Govindarajan (1986) dalam
Aprilia (2008) menyimpulkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para
peneliti tersebut masih bertentangan satu sama lain. Pertentangan hasil penelitian
tersebut diuraikan sebagai berikut; Baiman (dalam Darlis, 2002), dalam
penelitiannya menemukan bahwa dengan ikut berpartisipasi dalam penyusunan
anggaran akan mendorong bawahan untuk membantu atasan dengan memberikan
informasi yang dimilikinya sehingga anggaran yang disusun dapat lebih akurat.