• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)"

Copied!
190
0
0

Teks penuh

(1)

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan

(Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto

Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

SKRIPSI

Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Ilmu Sosial dalam Bidang Antropologi

Oleh:

RAZAKIKO HARKANI

090905026

DEPARTEMEN ANTROPOLOGI SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Razakiko Harkani

Nim : 090905026

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

Pembimbing Skripsi, Ketua Departemen,

Drs. Ermanyah, M.Hum.

NIP. 19660304 199203 1 002 NIP. 19621220 198903 1 005 Dr. Fikarwin Zuska

Dekan,

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan oleh : Nama : Razakiko Harkani NIM : 090905026

Departemen : Antropologi Sosial

Judul : Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

Pada ujian komprehensif yang dilaksanakan :

Hari :

Tanggal : Pukul : Tempat : Tim Penguji

1. Ketua Penguji Drs. Ermansyah, M.Hum. ( ) NIP. 19660304 199203 1 002

2. Anggota I ( )

NIP.

(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PERNYATAAN ORIGINALITAS

Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di

Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap menanggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, April 2014

(5)

ABSTRAK

Razakiko Harkani, 2014, judul skripsi: Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Skripsi ini terdiri dari: 5 bab, 162 halaman, 5 daftar tabel dan 10 daftar gambar.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang pertama dari proses migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lumrah terjadi, meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya. Perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang juga menyebabkan lahirnya suatu tatanan adat yang sangat unik. Adat tersebut terus mengalami modifikasi sebagai akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Nagari Simpang Tonang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif sebagai bagian dari kajian etnografis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan kategorisasi dan evaluasi data.

Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai variasi adat perkawinan yang dapat menjadi pilihan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, diantaranya seperti: secara adat Minangkabau memakai sistem perkawinan sumondo, secara adat Mandailing memakai sistem perkawinan manjujur, dan adat ranto yakni perpaduan keduanya atau bahkan tidak menggunakan kedua adat tersebut hanya berdasarkan agama Islam dan undang-undang yang berlaku. Proses pemilihan adat perkawinan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kedudukan anak dalam keluarga, status sosial, ekonomi, kepraktisan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, stereotype, agama Islam, dan kadar keetnisitasan suatu mempelai. Perbedaan adat perkawinan tersebut tidak menimbulkan konflik karena terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat

Kata-kata Kunci: Masyarakat Perbatasan, Manjujur, Sumondo, Adat Ranto, Perkawinan Campuran, Pluralisme Hukum.

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi dengan judul Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk mencapai Sarjana S1 jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini dapat diselesaikan dengan adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Tanpa bantuan dan bimbingan tersebut, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada segenap pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yakni:

Kepada Bapak Prof. Dr. Badaruddin Rangkuti, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya kepada Bapak Dr. Fikarwin Zuska, selaku Ketua Departemen Antropologi Sosial FISIP USU yang telah banyak berbagi pengetahuan dan motivasi kepada penulis untuk mendalami Ilmu Antropologi mulai dari awal perkulihan hingga penulisan skripsi ini. Kepada Bapak Agustrisno, MSP., selaku Sekretaris Departemen Antropologi yang selalu memberikan dukungan dan motivasiselama perkuliahan.

(7)

Skripsi. Terima kasih atas kesabaran bapak dalam membimbing saya menyelesaikan skripsi ini. Bapak adalah mentor di balik semua ini. Bapak telah meluangkan waktu dan tenaga, memberikan ilmu, arahan, motivasi, perhatian, memberikan kritikan, serta masukan-masukan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal skripsi sampai akhirnya penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya kepada bang Nurman Achmad, S.Sos. M.Soc.Sc., selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah memberikan perhatian berupa yang selalu memberikan arahan, saran, dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan segala urusan akademis selama masa perkuliahan dan mengingatkan penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini. Seluruh staf pengajar Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membekali penulis dengan begitu banyak ilmu, wawasan serta pengetahuan baru bagi penulis selama proses belajar ini berlangsung. Demikian juga kepada Kak Nurhayati dan Kak Sofiana selaku staf administrasi Departemen Antropologi yang telah banyak memberikan bantuan kepada penulis dalam mengurus kelancaran administrasi selama perkuliahan.

(8)

telah memberi pertolongan pemadam kelaparan dan setia menemani penulis ketika diopname di klinik; bundo Halimatussakdiah, yang telah memperkenalkan indahnya Kuala Lumpur dengan motto lets rock the world; mbak mimin Theresha Meilani, S.Sos. dan agent Creysant Lasty, yang telah berbagi project sehingga menambah pengalaman penulis; Abdul Rahman Matondang, yang telah setia menjadi kawan bimbingan awak; dan seterusnya kepada kerabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Begitu banyak kenangan yang telah kita lewati bersama. Kenangan yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Kalian telah membuatku kuat, sedih dan tertawa bersama, belajar bertukar pendapat, mewarnai hari-hariku dan memperkenalkan indahnya Kota Medan ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada junior kami, yakni: kerabat Rini Rezeki Utami (stambuk 2011), atas senyuman sinisnya yang membuat abang rela jadi fans rinieyours; Ruth Oktodora br Ginting (stambuk 2012), yang telah mengajari kesetiaan meski berbeda keyakinan; Siti Wulandari (stambuk 2013) , yang telah mengajari penulis rasa sabar untuk tetap setia menunggu di setiap ketidakpastian; Siti Khairani Nasution (stambuk 2013), keta langa mangan ice cream mulak dek; Mia Anggraini Zega (stambuk 2013), atas cerita luar biasanya tentang Nias yang membuat fantasi ini semakin liar dan ingin segera berkunjung ke sana. Seterusnya buat adek kerabat lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

(9)

biasa, menginspirasi dan menjadi panutan bagi kami anak-anakmu. Kepada Kakanda (iboto siangkangan) Radhikalia Ferdana, S.E., yang selalu mencoba untuk membuka mata hati penulis agar segera menyelesaikan perkuliahan ini karena keyakinan besarnya akan adanya sesuatu hal yang lebih menarik di luar sana yang telah menanti. Kepada adinda Tryoandha Mashunri, Priyanugraha Wijayanta, dan iboto siampudan kami Dehafebria Filiansi yang telah menghibur hati dan berbagi berbagai cerita kepada penulis. Seterusnya keluarga besar yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral.

Kepada masyarakat Nagari Simpang Tonang yang telah membuat penulis merasa nyaman dan menjadi bagian dari kalian. Seterusnya kepeda semua pihak yang tidak sempat penulis sebutkan satu per satu. Semoga budi baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT. Menyadari akan keterbatasan yang penulis miliki, maka skripsi atau hasil penelitian lapangan ini masih terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan koreksi dan masukan dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil penelitian ini. Semoga tulisan ini dapat berguna bagi pihak-pihak yang memerlukannya.

Medan, April 2014 Penulis

(10)

Riwayat Hidup

Razakiko Harkani lahir pada tanggal 21 April 1991 di Kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Anak kedua dari 5 (lima) bersaudara dari pasangan Drs. Durmansyah Hasan dan Rofdalia, S.Pd.Bio. Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 14 Tanjung Alam pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Ampek Angkek pada tahun 2006 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bukittinggi tahun 2009. Kemudian pada tahun 2009 melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Universitas Sumatera Utara dengan spesifikasi ilmu Antropologi Sosial. Prestasi yang diperoleh selama masa perkuliahan yaitu memperoleh beasiswa PPA (Peningkatan Prestasi Akademik) pada tahun ajaran 2011/2012 dan Indeks Prestasi 4,00 pada semeseter genap tahun ajaran 2010/2011.

(11)

USU pada tahun 2012 sampai sekarang, sebagai Koordinator Sie Acara Panitia Inisiasi Antropologi Sosial FISIP USU 2011, dan Panitia Penyambutan Mahasiswa Baru (PMB) FISIP USU 2013.

Adapun seminar/ pelatihan yang pernah penulis ikuti selama masa perkuliahan diantaranya: Seminar Nasional “Roadshow Film Dokumenter dan Diskusi Publik Crossing Boundaries” yang diadakan oleh The Interseksi Foundation pada tahun 2010; Seminar Pemuda 2011 yang diselenggarakan oleh Generasi Muda Nias; Seminar “Ini Medan Demokrasi Bung” yang diselenggarakan oleh FES, KKSP, dan FISIP USU pada tahun 2011; Seminar dan Diskusi Publik “Kota-Kota di Sumatera: Enam Kisah Kewarganegaraan dan Demokrasi” pada tahun 2011; Training of Fasilitator (TOF) Pengembangan Masyarakat Angkatan-1 Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tahun 2012; dan Seminar Motivasi “Take Action Get Power” oleh Irwan Waseful Berutu yang diselenggarakan oleh Departemen Antropologi Sosial FISIP USU pada tanggal 10 Maret 2014.

(12)
(13)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat)” dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan shalawat beserta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan syafa’at kepada kita semua. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Jurusan Antropologi Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

(14)

perkawinan tersebut terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa ada suatu gejala yang cukup menarik yang terjadi di Pasaman, suatu daerah perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Penulis melihatnya menggunakan sudut pandang antropologi hukum. Hukum dalam perspektif antropologi bukan semata-mata berwujud peraturan perundang-undangan yang diciptakan oleh negara, tetapi juga hukum dalam wujudnya sebagai peraturan-peraturan lokal yang bersumber dari suatu kebiasaan masyarakat. Hukum tersebut merupakan produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek-aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, ideologi, religi, struktur sosial, dan lain sebagainya.

(15)

Akhir kata ” tak ada gading yang tak retak”, demikian juga dengan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis baik mengenai materi, teknik penyusunan maupun analisisnya. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang.

Medan, April 2014 Penulis

Razakiko Harkani

(16)

DAFTAR ISI

(17)

2.5.1. Identitas Kultural dan Penegasan Diri ... 65

2.5.2. Sistem Kekerabatan dan Pergeseran Konsep Dalihan Na Tolu di Simpang Tonang ... 68

2.6. Bentuk-bentuk Hubungan Sosial yang Dijalin dalam Kehidupan Sehari-hari antara Etnis Mandailing dan Minangkabau di Simpang Tonang ... 74

2.6.1. Hubungan Sosial di Arena Lokal dan Pasar ... 75

2.6.2. Hubungan Sosial di Lembaga Pendidikan dan Instansi Pemerintahan ... 77

2.6.3. Hubungan-hubungan Sosial yang Dijalin untuk Kegiatan Upacara Adat ... 78

2.7. Pandangan dan Stereotype ... 79

2.8. Upaya-upaya yang Dilakukan untuk Meredam dan Mengatasi Jika Terjadinya Konflik ... 80

BAB III. Perkawinan dalam Perspektif Mayarakat Simpang Tonang ... 81

3.1.Konsep Perkawinan bagi Masyarakat Simpang Tonang ... 81

3.2.Jodoh Ideal dan Perkawinan Pantangan ... 82

3.3.Bentuk-bentuk Adat Perkawinan yang Berlaku di Simpang Tonang ... 86

3.3.1. Sumondo: Sistem Perkawinan Adat yang Berlaku Umum di Simpang Tonang ... 3.3.1.1. Konsep Sumondo ... 87

3.3.1.2. Prosesi Perkawinan Adat Sumondo ... 90

3.3.2. Manjujur: Suatu Alternatif Adat yang Terlupakan . 106

3.3.2.1. Konsep Manjujur ... 106

3.3.2.2. Jarang Ditemui Meskipun Masih Bisa Diadati ... 107

3.3.2.3. Jenis-jenis Adat Manjujur ... 109

3.3.3. Kawin Ranto: Varian Baru yang Lebih Fleksibel . 111

3.4.Jenis-jenis Olek (Pesta Peresmian Perkawinan) di Simpang Tonang ... 112

3.5.Pandangan Masyarakat Setempat tentang Sistem Perkawinan yang Berlaku ... 115

(18)

4.3. Alasan Pemilihan Adat Perkawinan ... .. 145

4.4. Kaitan Antara Proses Pemilihan Adat Perkawinan dengan UUD dan Hukum Islam ... ... 149

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN.... ... 152

5.1. Kesimpulan .... ... 152

5.2. Saran ... ... 158

DAFTAR PUSTAKA ... 162 LAMPIRAN

(19)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Luas Wilayah dan Jumlah Penduduk Berdasarkan Jorong

Tahun 2013 ... 56

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin ... 57

Tabel 3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 58

Tabel 4. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian Hidup ... 59

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta Kecamatan Duo Koto ... 42 Gambar 2. Rumah Penduduk di Nagari Simpang Tonang ... 63 Gambar 3. Kesatuan Genelogis dan Tertorial Masyarakat Simpang

Tonang ... 69 Gambar 4. Diagram Kekerabatan atau Partuturon di Simpang

Tonang ... 72 Gambar 5. Perkawinan ideal dengan Boru Mamak ... 83 Gambar 6. Marambit sebagai bentuk ungkapan dari rasa senang hati

atas kedatangan pengantin laki-laki ... 100 Gambar 7. Penyambutan di Rumah Anak Daro ....... 101 Gambar 8. Suasana Akad Nikah sebagai Bentuk Sahnya Perkawinan

Secara Islam ... 102 Gambar 9. Bersanding di Pelaminan dengan Pakaian Adat

Minangkabau ... 104 Gambar 10. Jenjang yang Harus Dilalui Saat Pabotoon Tu Mamak -

(21)

ABSTRAK

Razakiko Harkani, 2014, judul skripsi: Pluralisme Adat Perkawinan di Tanah Perbatasan (Studi Etnografi Mengenai Penerapan Adat Minangkabau, Mandailing, dan Hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang Kec. Duo Koto Kab. Pasaman Provinsi Sumatera Barat). Skripsi ini terdiri dari: 5 bab, 162 halaman, 5 daftar tabel dan 10 daftar gambar.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan. Hal ini menyebabkan tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang pertama dari proses migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lumrah terjadi, meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya. Perkawinan antara penduduk asli dengan pendatang juga menyebabkan lahirnya suatu tatanan adat yang sangat unik. Adat tersebut terus mengalami modifikasi sebagai akibat pengaruh lingkungan serta pola fikir masyarakat yang terus berkembang.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Nagari Simpang Tonang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tipe deskriptif sebagai bagian dari kajian etnografis. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan kategorisasi dan evaluasi data.

Dari hasil penelitian lapangan dapat disimpulkan bahwa pada masyarakat Simpang Tonang terdapat berbagai variasi adat perkawinan yang dapat menjadi pilihan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, diantaranya seperti: secara adat Minangkabau memakai sistem perkawinan sumondo, secara adat Mandailing memakai sistem perkawinan manjujur, dan adat ranto yakni perpaduan keduanya atau bahkan tidak menggunakan kedua adat tersebut hanya berdasarkan agama Islam dan undang-undang yang berlaku. Proses pemilihan adat perkawinan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti: kedudukan anak dalam keluarga, status sosial, ekonomi, kepraktisan, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, stereotype, agama Islam, dan kadar keetnisitasan suatu mempelai. Perbedaan adat perkawinan tersebut tidak menimbulkan konflik karena terlebih dahulu dimusyawarahkan antara keluarga kedua belah pihak beserta tetua adat setempat

Kata-kata Kunci: Masyarakat Perbatasan, Manjujur, Sumondo, Adat Ranto, Perkawinan Campuran, Pluralisme Hukum.

(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia memiliki banyak etnis yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia dari Sabang hingga Merauke. Masing-masing etnis tersebut memiliki adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan tersebut terjadi karena kondisi alam dan kondisi sosial masyarakat yang ada. Dimana suatu masyarakat memiliki suatu kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun dari suatu generasi kepada generasi berikutnya.

Berbicara mengenai keberagaman kebudayaan Indonesia tidak hanya berkaitan dengan seni belaka, namun sangat erat kaitannya dengan bagaimana manusia menjalani kehidupannya. Dalam menjalani kehidupannya tersebut, suatu masyarakat memiliki aturan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakatnya. Suatu aturan yang dijadikan sebagai pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Aturan-aturan tersebut dapat diamati dan dikaji dalam ranah antropologi hukum, karena aturan-aturan tersebut lahir sebagai produk dari suatu kebudayaan masyarakat.

(23)

kedua belah pihak, saudara-saudranya dan kerabat mereka masing-masing. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.

Di era globalisasi ini perkawinan campuran antara etnis yang berbeda sudah tidak dapat dibendung lagi. Arus urbanisasi dan modernisasi memperluas pintu akses perantauan sehingga tidak ada lagi sekat yang mengisolasi suatu daerah tertentu. Daerah perbatasan menjadi pintu gerbang migrasi tersebut. Di daerah ini perkawinan campuran lurah terjadi meskipun tidak ada presentase yang pasti karena dalam akta perkawinan tidak dicantumkan latar belakang etnisnya.

Sebagaimana diketahui bahwa daerah perbatasan merupakan suatu wilayah persinggungan antar-budaya yang berbeda. Kebudayaan-kebudayaaan tersebut saling berinteraksi sehingga terjadi proses percampuran kebudayaan (asimilasi). Ada kebudayaan yang dominan, kebudayaan yang harus melebur dengan kebudayaan lainnya, bahkan ada kebudayaan baru sebagai suatu identitas yang lahir karna tidak ada kebudayaan yang dominan.

(24)

kesamaan pendapat antara golongan etnis yang mendiami Kabupaten Pasaman tersebut. Etnis tersebut adalah Minangkabau dan Mandailing. Kesepakatan dan kesamaan pendapapat merupakan sesuatu yang diutamakan agar tidak terjadi perselisihan antar etnis, sehingga mereka dapat hidup berdampingan penuh kerukunan dan kedamaian.

Dahulu hanya ada wilayah Kabupaten Pasaman saja, namun sekarang Pasaman sudah mengalami pemekaran yaitu Kabupaten Pasaman Barat. Pemekaran tersebut sesuai dengan Undang-Undang No. 38 Tahun 2003. Setelah mengalami pemekaran tersebut luas Kabupaten Pasaman berkurang menjadi 3.947,63 Km2 yang terdiri dari 12 kecamatan, 32 nagari1 dan 209 jorong2 dengan Lubuksikaping sebagai ibukotanya. Salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Pasaman ini yaitu Kecamatan Duo Koto yang terdiri dari Nagari Cubadak dan Nagari Simpang Tonang tempat penelitian ini dilakukan.

Dalam konsepsi tradisional mengenai alam Minangkabau yang bersumber pada tambo3, dinyatakan daerah Minangkabau terdiri dari daerah darek4

1

Nagari merupakan suatu replika dari republik mini dengan wilayah teritorial yang jelas.

Nagari merupakan suatu bentuk lembaga pemerintahan dan sekaligus merupakan lembaga kesatuan sosial. Ia mempunyai pemerintahan sendiri, punya manajemen suku adat sendiri yang mengatur tata kehidupan masyarakatnya. Dalam perkembangan otonomi daerah, istilah nagari

digunakan untuk menggantikan istilah desa yang digunakan di provinsi-provinsi lain di Indonesia.

Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat yang diakui dan merupakan bahagian yang integral dari pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2

Jorong merupakan suatu wilayah tempat tinggal yang terdiri dari beberapa rumah, telah memiliki peraturan hidup bermasyarakat, akan tetapi belum didirikan rumah gadang. Jorong

merupakan perangkat dari pemerintahan nagari. Jorong dipimpin oleh seorang kepala jorong. Dalam bahasa Indonesia disebut juga dengan kampung atau dusun.

3

Tambo adalah suatu karya sastra sejarah yang berisi uraian mengenai asal-usul orang Minangkabau beserta hukum-hukum adatnya.

(25)

rantau5

Bukan hanya etnis Minangkabau saja yang menganggap tanah perbatasan Pasaman ini sebagai daerah rantau. Bagi etnis Mandailing, wilayah ini merupakan bahagian dari wilayah harajaon (kerajaan) mereka. Hal ini terkait juga dengan konsep merantau yang mereka miliki. Menurut Pelly (1994:11-12), misi migrasi etnis Mandailing didasarkan pada konsep perluasan daerah teritorial. Mereka menempati lahan baru dan menguasainya sebagai bagian dari Kerajaan Batak (Batak Harajaon). Kedekatan geografis merupakan salah satu alasan kenapa etnis

(Navis, 1984:53; Naim, 1984:61). Dalam tambo tersebut dijelaskan batas-batas wilayah kerajaan Minangkabau, yaitu: “dari Sikilang Aia Bangih hinggo Taratak Aia Hitam, Dari Durian Ditakuak Rajo hinggo Sialang Balantak Basi”. Sikilang Aia Bangih adalah batas Utara, sekarang berada di Kabupaten Pasaman Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Mandailing Natal, Sumut. Taratak Aia Hitam adalah Bengkulu. Durian Ditakuak Rajo adalah Kabupaten Bungo, Jambi. Terakhir Sialang Balantak Basi adalah wilayah di Rantau Barangin, Kabupaten Kampar, Riau. Pasaman merupakan wilayah kekuasaan dari kerajaan Minangkabau. Wilayah Pasaman seperti: Muaro Sungai Lolo, Tapus, Rao Mapat Tunggul, Kubu Nan Duo, Sinurut, Talu, Cubadak, Simpang Tonang, Paraman Ampalu, Aua Kuniang, Parik Batu, Sasak, Sungai Aua, Aia Balam dan Sikilang Aia Bangih, merupakan perluasan dari Luhak Agam.

4

Darek atau luhak adalah daerah yang dianggap sebagai sumber dan pusat adat Minangkabau. Daerah inti Minanagkabau ini terletak di dataran tinggi. Daerah ini terdiri dari Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limo Puluah Koto, yang biasanya disebut dengan "Luhak Nan Tigo". Di daerah inilah mula-mula orang Minangkabau mendirikan koto, dusun, nagari

sampai menjadi luhak

5

(26)

Mandailing memutuskan untuk bermigrasi ke daerah Pasaman. Selain itu, adat Minangkabau di daerah rantau tidak sekuat adat Minangkabau di daerah darek (luhak).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa daerah Pasaman merupakan daerah rantau bersama bagi etnis Minangkabau dan Mandailing. Di daerah yang telah mendapat pengaruh dari dua kerajaan ini sering terjadi saling pinjam-meminjam kebudayaan, sehingga budaya dan tradisi yang terdapat di sana tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau dan juga tidak sepenuhnya seperti tradisi Mandailing di Tapanuli Selatan. Meskipun dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pasaman terlihat bahwa mereka lebih banyak mengacu pada adat-istiadat serta tradisi Minangkabau, akan tetapi juga terlihat ada pengaruh tradisi Mandailing. Salah satunya terlihat dari tata cara perkawinan yang tetap memakai tata cara Minangkabau (tradisi meminang, pakaian adat, serta tradisi mengikuti garis keturunan ibu), namun sebenarnya tradisi tersebut tidak sepenuhnya seperti tradisi Minangkabau.

Pada masyarakat Simpang Tonang tradisi adat perkawinan ini disebut dengan istilah sumondo. Adat perkawinan sumondo ini merupakan suatu realitas sosial budaya yang lahir sebagai suatu bentuk kompromi dalam menjembatani perbedaan, serta mengatur perkawinan campuran di antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing.

(27)

masyarakat lainnya masih ada yang tetap mempertahankan adat manjujur yang dahulu dibawa oleh nenek moyang mereka dari Tapanuli Selatan. Adat manjujur ini seolah kehilangan eksistensinya dalam beberapa kurun waktu terakhir dikarenakan masyarakat sudah tidak paham akan adat tersebut di samping biayanya yang relative lebih mahal. Sebenarnya adat manjujur boleh saja dilakukan di daerah ini karena tidak ada yang melarangnya. Sistem manjujur biasanya berlaku mutlak bagi laki-laki setempat yang kawin dengan perempuan luar beretnis Mandailing yang memang menggunakan adat manjujur. Misalnya perkawinan dengan perempuan yang berasal dari Ujung Gading, Panti, atau Tapanuli. Namun jika yang terjadi sebaliknya, laki-laki luar dengan adat manjujur kawin dengan perempuan setempat, maka bisa saja mereka menggunakan adat ranto yakni perpaduan keudanya atau hanya sebatas syara’ dan undang-undang yang berlaku. Hal di atas tidak berlaku mutlak karena di lapangan penulis menemukan faktor-faktor lain yang mempengaruhi pemilihan adat apa yang akan digunakan dalam suatu pernikahan.

Perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang merupakan hal yang lumrah terjadi. Faktor agama menjadi syarat utama terjadinya perkawinan tersebut. Dalam setiap segi-segi kehidupan mereka selalu diwarnai dengan nilai-nilai Islam. Etnis Mandailing mengistilahkannya dengan ombar do adat dohot ugamo6

6

Ungkapan “ombar do adat dohot ugamo”, yang secara harafiah artinya adat dan agama seiring-sejalan. Munculnya ungkapan ini melalui suatu proses dalam masa yang cukup panjang, dan di dalam masa yang panjang itulah terjadi benturan antara adat-istiadat dan agama Islam. Benturan tersebut terjadi karena adat-istiadat orang Mandailing sudah memiliki tatanan kehidupan, baik itu secara individu maupun secara bermasyarakat. Sementara agama Islam yang datang

(28)

Minangkabau mengistilahkannya dengan adat basandi syarak, syarak basandi khitabullah7

Pada masyarakat Simpang Tonang berlaku beberapa hukum perkawinan. Selain hukum adat sumondo, manjujur, dan adat ranto juga terdapat hukum negara sebagaimana yang terdapat dalam UU No 1 Tahun 1974 dan hukum agama Islam, dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi

. Sebagaimana yang dikatakan oleh Benda-Backmann (2000:4), bahwa kehidupan sosial masyarakat di Minangkabau telah diwarnai oleh pluralisme hukum semenjak Islam masuk di daerah pada abad ke-16 dan kemudian digabungkannya Minangkabau dalam Negara Klonial Hindia Belanda pada awal abad ke-19. Orang Minangkabau termasuk etnis pertama yang diislamkan di Indonesia telah menyerap konsep-konsep hukum Islam, seperti hibah, wasiat dan wakaf dalam aturan hukum adatnya. Sebagian hukum Islam juga telah menggantikan atau telah ditambahkan pada adat, misalnya hukum perkawinan dan perceraian yang akhirnya digantikan oleh UU Perkawinan tahun 1974. Penerapan hukum Islam dalam proses perkawinan di Nagari Simpang Tonang terlihat dari proses akad nikah (ijab qabul), meskipun penerapannya diwarnai dengan adat masyarakat setempat.

para pemeluknya. Dengan kedatangan Islam itu maka bertemulah dua tatanan kehidupan di dalam masyarakat Mandailing yang masing-masing menuntut kepatuhan dari penganut/pendukungnya, yang membuat adanya persentuhan intens yang saling tarik-menarik antara kepentingan adat-istiadat dan agama, sehingga pada akhirnya lahirlah ungkapan ”ombar do adat dohot ugamo” di dalam masyarakat Mandailing.

7

(29)

kemajemukan hukum di daerah perbatasan ini merupakan hal yang sangat menarik untuk dikaji. Hal inilah yang mendasari peneliti untuk meneliti mengenai proses pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat.

1.2. Tinjauan Pustaka

(30)

Kebudayaan masyarakat di Pasaman sangatlah unik, ia tidak seperti kebudayaan Minangkabau dan Mandailing pada umumnya, akan tetapi merupakan perpaduan dari dua kebudayaan tersebut. Misalnya saja penggunaan adat sumondo dalam sistem perkawinan, meskipun dalam keseharian mereka berkomunikasi menggunakan bahasa Mandailing. Menurut Astuti dan Widiyanto (1998/1999:4), budaya masyarakat perbatasan diartikan sebagai budaya masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan budaya. Oleh karena itu, daerah ini merupakan pertemuan paling sedikit dua budaya atau lebih. Dengan adanya dua kebudayaan atau lebih yang tinggal di daerah tersebut berarti mereka mempunyai suatu kebudayaan umum lokal atau budaya pasar sebagai acuan guna berinteraksi atau menjalin hubungan baik dalam rangka memenuhi kebutuhan di lingkungan daerah tersebut.

Kewujudan budaya di Pasaman tersebut tidak terlepas dari sejarah interaksi yang panjang antara kedua etnis tersebut di masa silam. Menurut Arios (2003), ada dua kemungkinan yang terjadi dalam interaksi dua kebudayaan yang berbeda, yaitu saling mempertahankan etnisitasnya atau saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan. Jika yang terjadi adalah saling mempertahankan etnisitasnya, ada kemungkinan akan terjadinya konfik sosial. Sedangkan jika yang terjadi adalah saling memberi dan menerima unsur-unsur kebudayaan, maka akan melahirkan suatu variasi kebudayaan baru atau bahkan menciptakan etnis baru sebagai gabungan dari unsur-unsur budaya yang berinteraksi.

(31)

Tapanuli Selatan di bawah pipimpinan Rajo Sontang, mereka tetap mengikuti adat-istiadat Minangkabau yang berlaku di daerah setempat, hanya bahasa mereka saja yang masih bertahan. Akan tetapi, belakangan ini beberapa dari mereka kembali menegaskan diri sebagai etnis Mandailing dengan menggunakan marga di belakang namanya. Hal ini sesuai dengan kebutuhan etnis tersebut. Terkadang rasa keetnisitasan bisa mengembang atau mengempis. Bahkan terkadang perbedaan antar etnis sengaja diciptakan demi mendapatkan suatu keuntungan. Menurut Barth (1988), tidak ada masyarakat yang benar-benar berasimilasi, batas-batas etnik ini tetap ada walaupun terjadi proses penetrasi dan pengaburan batas-batas kebudayaan di antara kedua kelompok etnis yang berbeda. Ini berarti bahwa perbedaan-perbedaan budaya dapat terus ada walaupun kontak-kontak sosial antarkelompok etnik dan saling ketergantungan di antara mereka terjadi.

Walaupun terjadi perubahan identitas etnis Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang, akan tetapi hukum yang berlaku di nagari tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh adat Minangkabau. Masyarakat asli yang sudah hidup beberapa generasi di daerah ini lebih memilih untuk menggunakan adat Minangkabau daripada adat Mandailing. Mengikuti pendapat Brunner (Astuti, 1998), kondisi hubungan sosial (majemuk) setempat dapat berwujud kekuatan-kekuatan sosial yang dapat menjadi dominan atau tidak dominan dan dapat mempengaruhi wujud dari corak hubungan sosial di antara suku-suku bangsa yang berbeda identitas serta berdiam bersama di tempat tersebut.

(32)

Perbedaan latar belakang kebudayaan antara etnis Mandailing dan Minangkabau diminimalisir dengan melakukan musyawarah yang melahirkan suatu kesepakatan bersama. Salah satu bentuk sederhana dari proses pembauran tersebut adalah perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan etnis Mandiling yang melahirkan sistem perkawinan sumondo. Menurut Hadikusuma (2007:15), perkawinan campuran menurut hukum adat ialah perkawinan antara adat yaitu perkawinan antara suami dan isteri yang adat istiadatnya berlainan, baik dalam kesatuan masyarakat hukum adat dari suatu daerah, maupun di antara anggota masyarakat adat yang daerah asal/ suku bangsanya berlainan.

Perkawinan merupakan suatu peristiwa sakral dalam sejarah kehidupan manusia. Di dalam tatacara dan ritual pernikahan terkandung nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan unsur kebudayaan yang mengatur serta mengukuhkan suatu hubungan yang sangat sensial antara manusia yang berlainan jenis. Perkawinan bukan hanya menyatukan dua insan manusia, akan tetapi menyatukan dua keluarga besar yang berbeda. Perkawinan selalu melibatkan pihak lain, terutama karib-kerabat di setiap tahapaannya, mulai dari pencarian pasangan, persetujuan, pertunangan, upacara perkawinan, bahkan sampai ke akibat perkawinan.

Menurut Koentjaraningrat (1967:84-85), perkawinan merupakan salah satu tahap yang terpenting dalam siklus kehidupan manusia (stage a long the life-cycle)8

8

Stage along the life cycle yaitu berupa fase tingkat kehidupan seperti masa bayi, masa penyapihan, masa anak-anak, masa remaja, masa pubertet, masa sesudah nikah, masa tua, dan sebagainya.

(33)

memiliki status sosial yang lebih di tengah masyarakat. Perkawinan tidak hanya berfungsi sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan seksnya saja, akan tetapi juga berfungsi sebagai pemberi kejelasan akan hak dan kewajiban serta perlindungan pada hasil persetubuhan (anak-anak); memenuhi kebutuhan akan teman hidup; memenuhi kebutuhan akan harta; akan gengsi dan naik kelas dalam masyarakat; dan perkawinan juga berfungsi untuk memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu.

Berbicara mengenai perkawinan di Indonesia, sebenarnya telah diatur di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa: “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Suatu perkawinan dianggap sah di mata hukum negara Republik Indonesia apabila perkawinan tersebut telah memenuhi aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang dan telah mendapat pengesahan di mata agama atau kepercayaan masing-masing. Selain itu, perkawinan tersebut harus dicatatatkan di Lembaga Urusan Perkawinan agar memiliki legalitas hukum.

(34)

hak dan kewajiban suami isteri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat keagamaan (Hadikusuma, 2007:8).

Adat pernikahan yang terdapat di Indonesia sangat beranekaragam jenisnya. Hal ini sesuai dengan adat kebiasaan yang terdapat pada suatu kelompok masyarakat. Keberanekargamaan adat pernikahan ini sangat unik dan mempunyai ciri khasnya masing-masing. Hukum perkawinan ini sangat erat hubungannya dengan sifat susunan kekeluargaan. Menurut Hadikusuma (2007:9), setidaknya ada tiga jenis perkawinan bila dilihat dari sifat susunan kekeluargaan, yaitu: a. Perkawinan jujur pada tertib keluarga patrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria kepada pihak wanita dan setelah perkawinan isteri mengikuti tempat kedudukan dan kediaman suami. Lebih lanjut Yaswirman (2011:130), mengatakan pada tertib masyarakat patrilineal atau tertib sanak bertali satu seperti Tapanuli, perkawinan juga menjadi urusan keluarga, keturunan dan klan. Anak ikut marga ayah kandungnya. Sedangkan isteri kendati tetap memakai marga ayahnya, tetapi ia masuk ke dalam kerabat suami, diikuti pula oleh anak-anaknya.

(35)

melepaskan gadis dari golongan sanak patrilinealnya dan memasukkannya ke dalam golongan sanak dari famili suami.

Koentjaraningrat (1967:94-97) mengistilahkannya dengan bride-price, yaitu sejumlah harta yang diberikan oleh si pemuda kepada si gadis dan kaum kerabat si gadis. merupakan salah satu syarat perkawinan Maknanya adalah sebagai pengganti kerugian karna anak gadis tersebut dianggap memiliki potensi tenaga dalam keluarga tersebut. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa besar kecilnya bride-price itu berbeda-beda, bahkan terkadang harus ditetapkan melalui perundingan antara kedua pihak yang bersangkutan. Pada etnis tertentu bisa saja yang dijadikan sebagai bride-price adalah benda yang bertuah seperti genderang perungggu atau moko di Timor, uang setalen (25 sen) di Jawa. Menurut Rato (2011:22), belis berbeda dengan mas kawin sebagaimana diajarkan dalam fiqih Islam. Belis berkenaan dengan kewajiban seorang suami terhadap keluarga isteri, sedangkan mas kawin berkenaan dengan keabsahan perkawinan.

(36)

1. Kawin lari

Menurut Yaswirman (2011:130), perkawinan ini adalah perkawinan yang mana seorang laki-laki melarikan seorang gadis atau melarikan diri berdua sebagai pendahuluan perkawinan. Ini bisa dilakukan apabila calon suami tidak mampu menyediakan uang jujuran. Tapi akhirnya juga sama, karena uang itu harus dibayarkan oleh suami setelah ia mempunyai kelapangan.

2. Kawin mengabdi

Dalam perkawinan ini suami bekerja untuk keluarga calon isteri, seolah-olah tidak dibeli dengan uang tetapi dengan tenaga. Di Bali dikenal dengan santana dan di Lampung dikenal dengan ambil anak.

b. Perkawinan sumenda pada tertib keluarga matrilineal

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak wanita kepada pihak pria dan setelah perkawinan suami mengikuti tempat kedudukan dan kediaman isteri. Pada perkawinan ini tidak ada istilah belis, yang ada hanyalah pembayaran-pembayaran lain seperti: pembayaran kepada orang tua gadis berupa ongkos-ongkos peralatan perkawinan (antaran, tukon). Ada pula uang panjemput yang diberikan kepada laki-laki yang dijadikan menantu (Ngani, 2012:39)

(37)

perempuan dengan upacara adat untuk kemudian dibawa ke rumah isteri (alek malapeh marapulai) (Yaswirman, 2011:134)

c. Perkawinan bebas pada tertib keluarga parental

Pada perkawinan jenis ini, pelamaran dilakukan oleh pihak pria dan setelah perkawinan suami isteri bebas menentukan tempat kedudukan dan kediaman mereka. Mengikuti pendapat Prodjodikoro (Yaswirman, 2011:131), tertib hukum bilateral paling merata di Indonesia, yaitu semua etnis Jawa (mencar atau mentas), Madura, Sumatera Timur, Riau, Aceh, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok. Pada tertib hukum ini tidak ada perbedaan antara suami dan isteri, baik dalam rumah tangga maupun dalam keluarga masing-masing. Suami menjadi anggota keluarga isteri dan isteri juga demikian. Status kerabat anak laki-laki dengan anak perempuan juga sama. Setelah dewasa, mereka diberi kebebasan untuk ikut ayah atau ibu. Pemberian sesuatu oleh suami untuk isteri ketika melangsungkan perkawinan bukan berarti untuk pembelian isteri, melainkan sekedar pembelian kebutuhan rumah tangga atau semata-mata hibah dari suami terhadap isteri.

(38)

a. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami ataupun di sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

b. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat si suami;

c. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat isteri;

d. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal berganti-ganti, pada satu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat si suami, pada lain masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat si isteri;

e. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kaum kerabat si suami ataupun kaum kerabat si isteri;

f. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu (avunculus) dari si suami;

g. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, si suami sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan si isteri di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri juga.

(39)

anggota keluarga terikat pada ketentuan-ketentuan kawin yang diharuskan dan dihalalkan golongannya secara khusus melalui sebuah norma hukum adat (Rato, 2011:14). Mengikuti pendapat Wignjodipoe (Yaswirman, 2011:132-133), ada tiga sistem perkawinan yang terdapat di Indonesia, yaitu:

a. Sistem endogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di lingkungan sosial, kerabat, kelas sosial atau lingkungan pemukiman. Sistem ini hanya ditemukan di Tanah Toraja. Sistem ini bersifat relatif karena perlu ditambahkan dengan endogami apa, misalnya endogami ras, endogami agama, endogami pelapisan masyarakat, atau endogami desa (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37).

b. Sistem eksogami, yang mengharuskan seseorang mencari jodoh di luar lingkungan sosial, kerabat, golongan sosial atau lingkungan sosial, seperti di daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Boru, Seram, dan lain-lain. Sistem ini juga bersifat relatif dan juga perlu dijelaskan eksogami apa, misalnya eksogami desa, eksogami klan, eksogami marga, dan sebagainya. (Rato, 2011:14; Ngani, 2012:36-37)

(40)

Dari jenis-jenis sistem perkawinan yang telah diuraikan di atas, maka sistem perkawinan yang berlaku di masyarakat Kanagarian Simpang Tonang adalah sistem perkawinan sumenda dengan sifat eksogami dan adat menetap matrilokal. Akan tetapi di sini adat sumondo tidak sepenuhnya sama dengan adat perkawinan Minangkabau. Pada adat sumondo pelamaran dilakukan oleh pihak laki-laki. Di samping itu, sifat perkawinan eksogami marga bukanlah menjadi sesuatu yang dianggap penting lagi. Perkawinan semarga, Lubis dengan Lubis atau Nasution dengan Nasution, kerap terjadi di sini. Perkawinan eksogami daerah pun kerap terjadi di daerah ini. Mengenai adat menetap setelah perkawinan pun tidak hanya matrilokal, adakalanya bersifat neolokal dimana mereka tinggal jauh dari kediaman kerabat isteri maupun suami di perantauan karena alasan mencari nafkah, dan lain sebagainya.

Mengikuti pendapat Van den Berg (Yaswirman, 2011:63-72), hukum adat adalah hukum agama, dimana suatu masyarakat menerima hukum tersebut secara utuh (reception in complexu). Dengan kata lain, kalau suatu masyarakat itu memeluk suatu agama tertentu, maka hukum adat masyarakat yang bersangkutan adalah hukum agama yang dipeluknya itu. Mereka menerima hukum tersebut secara utuh. Berdasarkan teori tersebut, maka hukum adat yang berlaku dalam perkawinan pada masyarakat Minangkabau dan Mandailing di Kanagarian Simpang Tonang adalah hukum Islam, sehingga perkawinan pun harus berdasarkan hukum Islam.

(41)

si wanita dengan jelas berupa ijab (serah) dan qabul (diterima) oleh si calon suami yang dilaksanakan di hadapan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Hal ini sesuai dengan hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad: “Tidak sah nikah kecuali dengan dua wali atau yang adil” (Hadikusuma, 2007:10-11). Perintah kawin di dalam Islam terdapat di dalam kitab suci Al-Qur’an, Allah berfirman: ”Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”(Q.S. Ar-Ruum:21). Lebih lanjut, ketika hendak melakukan suatu perkawinan, maka pihak laki-laki wajib memberikan maskawin kepada wanita yang dinikahinya. Akan tetapi tidak ada ketentuan berapa besarnya maskawin tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT: “Berikanlah mahar (mas kawin) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (Q.S.An Nisaa:4).

Tatacara dan adab pernikahan tidak hanya terdapat di dalam Al-Qur’an saja, akan tetapi juga diatur oleh sunnah atau hadist Nabi Muhammad SAW. Adapun rukun pernikahan tersebut yaitu:

a. Ada calon mempelai pengantin pria dan wanita b. Ada maskawin/ mahar

(42)

e. Ada ijab (penyerahan wali pengantin wanita) dan ada qabul (penerimaan dari pengantin pria)

Dalam prakteknya hukum Islam di Kanagarian Simpang Tonang tidaklah sepenuhnya diterapkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Van den Berg di atas. Pertentangan antara hukum Islam dan adat terutama dalam hal kekerabatan. Masyarakat Simpang Tonang menganut sistem matrilineal, dimana setelah perkawinan suami tinggal bersama di rumah keluarga isteri. Sementara menurut hukum Islam garis keturunan diambil dari ayah (patrilineal) dan isteri tinggal di rumah yang telah disediakan oleh isteri.

Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bahwa hukum perkawinan bukan hanya diatur oleh hukum negara semata. Di samping hukum negara, perkawinan juga diatur oleh hukum-hukum lainnya seperti hukum adat dan agama. Situasi seperti ini dalam antropologi dikenal dengan istilah “pluralisme hukum”. Pluralisme hukum merupakan suatu situasi dimana ada dua atau lebih hukum, saling berinteraksi atau saling mempengaruhi, dan berlaku di suatu kelompok masyarakat.

(43)

Hal ini sejalan dengan pendapat Sally Eagle Merry yang mengatakan bahwa pluralisme hukum “... is generally defined as a situation in which two or more legal systems coexist in the same social field” (... secara umum didefinisikan sebagai suatu situasi dimana dua atau lebih sistem hukum hidup berdampingan dalam bidang sosial yang sama) (Irianto dalam Masinambow, 2000:66). Lebih lanjut Sally F. Moore menyebutkan bahwa dalam suatu lapangan tidak ada hukum yang dominan. Suatu aturan umum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada di sekitarnya (Semi Otonomus Social Field) (Irianto dalam Ihromi, 1993).

Pandangan pluralisme hukum dapat menjelaskan bagaimanakah hukum yang beranekaragam secara bersama-sama mengatur suatu perkara. Melalui pandangan pluralisme hukum, dapat diamati bagaimanakah semua sistem hukum tersebut beroperasi bersama-sama dalam kehidupan sehari-hari, artinya dalam konteks apa ia memilih aturan dan sistem peradilan yang lain.

(44)

interpretasi yang berbeda terhadap suatu aturan hukum. Hal ini terjadi karena adanya dasar pengetahuan, harapan-harapan, dan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Hal itu dapat dilihat ketika seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan pranata hukum, ia akan memilih suatu pranata hukum tertentu atau kombinasi lebih dari satu aturan hukum demi pemenuhan kepentingannya. Benda-Backman (2000:64-66) mengistilahkannya dengan forum shopping, dimana orang-orang yang terlibat dalam suatu sengketa/masalah hukum lainnya dapat memilih berbagai lembaga hukum untuk menyelesaikan kasusnya atas dasar orientasi kepentingan.

Sistem hukum yang berbeda-beda ini terjadi karena beragamnya latar belakang kebudayaan suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam antropologi, hukum merupakan bagian dari kebudayaan. Secara umum hukum dapat dijadikan sebagai pedoman dalam bertindak (apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan) di dalam suatu kelompok masyarakat. Nilai-nilai budaya tersebut diajarkan kepada setiap warga masyarakat supaya dapat menjadi pedoman berlaku pada waktu melakukan berbagai peranan dalam situasi sosial. Salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan itu adalah hukum (Ihromi, 2000:4).

(45)

sejumlah rangkaian upacara adat yang dipertahankan dan dilestarikan oleh masyarakatnya.

Prinsip dan aturan perkawinan yang dijalankan pada masyarakat Simpang Tonang, selain menerapkan hukum adat (sumondo, manjujur, dan adat ranto), hukum Islam (akad nikah) serta hukum nasional (pencatatan sipil), dimana dalam prakteknya saling berhubungan satu sama lain. Situasi kemajemukan ini mencerminkan bahwa studi mengenai masyarakat perbatasan, terkait dengan pemberlakuan aturan hukum yang ada menarik untuk dikaji, di samping juga adanya faktor kompleksitas dalam budaya masyarakatnya itu sendiri. Meskipun hukum negara yang dianggap legal mulai menggeser keberadaanya, namun dalam kehidupan sehari-hari hukum adat dan agama masih digunakan. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup hukum adat dan agama tidak hanya terbatas pada penyelesaian sengketa saja, perkawinan juga merupakan salah satu aktifitas yang bisa diamati dalam melihat keberagaman hukum.

Kajian mengenai perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dengan Mandailing di tanah perbatasan Pasaman sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya sudah pernah dikaji oleh orang lain, baik dari background antropologi maupun hukum. Beberapa di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Asri tahun 2011 di Jorong Pasar Rao dan penelitian Edishan tahun 1994 di Kecamatan Talamau.

(46)

dirasakan oleh anak atau keturunan buah dari hasil perkawinan tersebut. Anak sering tidak mendapatkan status sosial dan hak waris sebagai keturunan orang tuanya. Pada masyarakat Jorong Pasar Rao Pasaman terjadi suatu fenomena saling mempertahankan ketentuan atau norma-norma adat masing-masing, terutama sekali yang menyangkut dengan penentuan status anak dan menyangkut harta warisan. Menurut adat Minangkabau anak seorang laki-laki Minangkabau yang kawin dengan seorang perempuan Batak, maka ia tidak memiliki hak atas kaumnya karena si anak tidak mempunyai suku (kaum) yang jelas. Akan tetapi, biasanya si anak akan diberikan pinjaman seumur hidup berupa oleh pihak keluarga ayahnya dan warisan yang didapat hanya dari harta pencaharian orang tua.

Menurut hasil penelitian Edishan tahun 1994, pelaksanaan hukum adat Mandailing di Kecamatan Talamau telah disesuaikan dengan adat Minangkabau, misalnya pengambilan suku untuk anak bisa berasal dari pihak ibu ataupun pihak bapak, warisan diberikan kepada anak dan kemenakan, serta pemegang kedudukan kerajaan (penguasa rumah) dalam keluarga Mandailing, boleh ditempati oleh anak maupun kemenakan.

(47)

apa yang cenderung digunakan oleh suatu keluarga, baik mengenai masalah kedudukan suami-isteri, hubungan orang tua dengan anak dan harta benda dalam perkawinan. Pada proses pemilihan adat ini juga terdapat aktor-aktor yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut. Di samping itu dalam perkawinan campuran pluralisme hukum seringkali bertumpah tindih dalam hal pengambilan keputusannya.

(48)

dalam konsep berfikir (mind) masyarakatnya. Apabila keadaan memungkinkan, maka mereka akan menerapkan hukum tersebut di lingkungan yang baru. Jika tidak memungkinkan, maka akan lahir varian hukum baru sebagai akibat dari persentuhan dengan hukum lainnya.

Pluralisme hukum tidak hanya dikaitkan dengan ko-eksistensi antara berbagai sistem hukum yang berlaku dalam suatu arena tertentu. Batasnya semakin kabur karena banyak adopsi, adaptasi, saling pengaruh di antara sistem hukum yang saling bertemu. Hal ini menyebabkan hukum berubah dinamis mengikuti perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Salah satu penyebabnya adalah adanya migrasi dan perkawinan campuran (Irianto, 2009)

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat? Rumusan masalah tersebut diuraikan melalui lima pertanyaan penelitian, yakni: 1. Adat perkawinan apa saja yang berlaku di Simpang Tonang?

2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan adat perkawinan tersebut?

3. Siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses pemilihan adat tersebut? 4. Proses-proses apa saja yang harus dilalui seseorang apabila hendak kawin baik

(49)

5. Bagaimana penerapan hukum lainnya seperti Undang-Undang Perkawinan dan agama Islam di daerah tersebut?

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara mendalam (thick description) mengenai budaya masyarakat perbatasan, khususnya mengenai gejala pluralisme hukum dalam proses pemilihan adat perkawinan di Kanagarian Simpang Tonang, Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman, Provinsi Sumatera Barat.

Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan dalam kaitannya dengan ilmu sosial seperti antropologi hukum yang memperkaya literatur mengenai gejala pluralisme hukum pada masyarakat perbatasan. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal pengembangan pariwisata, serta sebagai bahan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan perundang-undangan yang sesuai dengan kondisi latar belakang budaya masyarakat perbatasan.

1.5. Metode Penelitian

(50)

memberi gambaran mendalam mengenai gejala pluralisme hukum di tanah perbatasan yaitu mengenai pemilihan adat sumondo, manjujur, dan adat ranto dalam sistem perkawinan campuran antara etnis Minangkabau dan Mandailing di

Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto, Kabupaten Pasaman,

Provinsi Sumatera Barat.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian antropologi hukum ini bersifat holistik9

a. Wawancara Mendalam

, yaitu dengan mempelajari semua budaya yang terkait dan melatarbelakangi peristiwa hukum yang terjadi (Hadikusuma, 2004:22). Penelitian ini tidak hanya mempelajari mengenai hukum yang berlaku di suatu masyarakat saja, akan tetapi juga mempelajari mengenai budaya perilaku manusianya yang berbuat terhadap suatu masalah hukum, dikarenakan adanya faktor-faktor budaya yang mempengaruhinya.

Dalam penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu: data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara. Untuk melengkapinya maka digunakan data sekunder yang diperoleh dari berbagai buku ilmiah, jurnal, media massa serta internet. Untuk mendapatkan data-data primer maka digunakan metode pengumpulan sebagai berikut:

Wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (depth interview). Wawancara mendalam adalah proses memperoleh

9

Pendekatan holistik dalam

(51)

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama (Bungin, 2007:108).

(52)

Dalam proses wawancara, maka rapport10

10

Rapport adalah keterampilan dalam membina hubungan baik antara peneliti dengan informan.

(53)

Dalam proses wawancara tersebut peneliti membutuhkan tape recorder. Penggunaan alat perekam ini terkait dengan terbatasnya kemampuan daya ingat penulis dalam mengingat setiap kata yang diucapkan oleh informan dan kecepatan tangan yang belum terlatih dalam mecatat kata-kata yang diucapkan informan secara rinci. Hasil wawancara tersebut kemudian dibuatkan transkripnya.

b. Observasi Partisipasi

Obeservasi atau pengamatan adalah suatu metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian yang melibatkan pancaindra (Bungin, 2007:115). Observasi yang digunakan adalah observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan, serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan (Bungin, 2007:116).

Peneliti tinggal dan hidup bersama masyarakat Kanagarian Simpang Tonang Kecamatan Duo Koto Kabupaten Pasaman Provinsi Sumatera Barat selama sebulan untuk mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mayarakat setempat (native point of vieuw). Selama tinggal dan hidup bersama dengan mereka, peneliti melakukan pengamatan mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam proses perkawinan campuran tersebut, pihak-pihak siapa saja yang terlibat, alat-alat kelengkapan apa saja yang dibutuhkan, bagaimana hubungan kekerabatan yang terjadi akibat perkawinan tersebut, serta bagaimana interaksi atau hubungan sosial yang dijalin dalam berbagai bidang kehidupan.

(54)

samping itu, juga akan dihasilkan karya-karya visual etnogarafi dalam bentuk rekaman video dan foto. Data-data ini nantinya dapat membantu penulis untuk memperjelas data-data yang didapatkan melalui wawancara, serta sebagai bukti otentik keberadaan penulis di lapangan. Penggunaan alat-alat tersebut terlebih dahulu telah mendapat persetujuan dari informan.

Untuk melengkapi data primer tersebut, maka dibutuhkan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu dari berbagai buku ilmiah, jurnal, artikel, internet, dan hasil penelitian yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Data-data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis. Proses analisis data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan on going analysis (analisis berkelanjutan). Dengan kata lain, analisis tersebut telah dilakukan sebelum terjun ke lapangan (analisis hasil studi terdahulu untuk menentukan fokus penelitian sementara dan akan berkembang setelah peneliti terjun ke lapangan), saat melakukan pengumpulan data di lapangan (analisis terhadap jawaban dari informan), dan kemudian dilanjutkan setelah pengumpulan data selesai. Analisis data dalam tersebut dilakukan secara kualitatif. Data-data yang telah terkumpul dianalis menggunakan kebudayaan masyarakat itu sendiri dan kemudian baru dianalisis menggunakan teori-teori yang objektif.

1.6. Pengalaman Lapangan: Suatu Refleksi

(55)

kedewasaan. Karena itu penulis merasa perlu berbagi sedikit pengalaman selama hidup bersama masyarakat lokal Nagari Simpang Tonang demi mengungkapkan kebudayaan dari sudut pandang mereka. Pengalaman berburu data penelitian sembari mempelajari makna kehidupan bersama informan-informan yang luar biasa. Semoga dengan uraian pengalaman yang penulis sampaikan ini bisa menjadi pembelajaran bagi semua orang.

Penelitian ini dilakukan pada pertengahan Juni 2013 di suatu nagari yang unik di Sumatera Barat bernama Simpang Tonang. Unik karena masyarakat setempat mayoritas adalah etnis Mandailing, namun dalam kesehariannya kebudayaan Minangkabau lebih mendominasi kehidupan mereka. Rancangan proposal penelitian pun sudah diseminarkan. Berbekal surat penelitian lapangan dari kampus, penulis melangkah dengan pasti melakukan perjalanan melintasi Sumatera.

Penulis menumpang bus patas Antar Lintas Sumatera (ALS) jurusan Medan-Padang. Perjalanan selama kurang lebih 22 jam itu mengantarkan penulis pada sebuah kota kecil di Sumatera Barat bernama Bukittinggi. Di sini lah penulis dilahirkan. Kota kecil nan sejuk dan penuh kenangan. Beristirahat beberapa hari sambil melepas rindu dan mempersiapkan segala sesuatu keperluan berburu data di lapangan nantiknya.

(56)

oleh ayah ke Terminal Aur Kuning setelah membuat janji dengan Uda Boy, supirnya. Sejam sudah kami di bus menunggu penumpang lain yang memang sudah berniat untuk pulang kampung pada hari itu. Bus kami pun akhirnya melaju meninggalkan Kota Bukittinggi menuju Pasaman. Rute yang ditempuh adalah Bukittinggi-Panti-Talu. Jalanan berbelok menuruni bukit dengan jurang di sisi kirinya. Bagi pemain lama di jalan lintas Sumatera tentu mereka sudah lihai dan hafal dengan kondisi jalanan seperti ini. Medan itu terus berliku hingga memasuki Lubuk Sikaping, ibukota Kabupaten Pasaman dua jam kemudian.

Di Simpang Panti bus kami berhenti sejenak. Dua orang remaja putri berseragam pramuka menaiki bus kami. Suasana pun sontak berubah dengan bahasa Mandailing yang kental. Suara binatang malam pun ikut menyambut pergantian petang itu. Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti merupakan surga tempat berdiamnya flora dan fauna endemik Pasaman. Hutan inilah yang menghubungkan kami dengan Kecamatan Duo Koto, tempat penelitian ini akan dilakukan.

(57)

Senin, 10 Juni 2013 jam 10.00 WIB kami bertolak dari Talu menuju Duo Koto. Saya dan adik perempuan saya dibonceng oleh kemenakan ayah naik sepeda motor. Kami langsung mengunjungi Kantor Camat Duo Koto di Andilan untuk memberikan surat izin penelitian dari kampus. Namun petugas di sini menolak kehadiran kami dengan halus. Rupanya mereka punya tata cara tersendiri dalam mengurus hal mengenai surat-menyurat izin penelitian. Atas rekomendasi mereka kami harus mengurus terlebih dahulu surat ke Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik (KESBANGPOL) yang ada di Lubuk Sikaping. Kali ini adik perempuanku harus tinggal karena tidak mungkin kami tarik tiga menuju kota. Dia kami tinggalkan di rumah kakak rantangan penulis selama kuliah di Kota Medan. Rumahnya tidaklah jauh dari kantor camat tersebut.

(58)

hasil penelitian dikemudian hari. Penulis menyanggupinya sembari bertanya kenapa kami harus mengurus surat izin penelitian ke sini terlebih dahulu, padahal teman-teman saya bisa langsung ke Kantor Camat. Rupanya inilah peraturan di sini, semuanya dilakukan agar terkoordinir; tau siapa saja yang meniliti dan apa hasil yang telah diteliti.

Diguyur hujan kami pun pulang. Sudah hampir mangrib ketika kami sampai di tempat kakak untuk menyemput adik perempuanku. Kami menolak halus tawaran jamuan makan malam dari mereka karena alasan perjalanan masih jauh. Kakak dan abang itu bilang kalau adik saya orangnya sangat pemalu dan dia dari tadi menunggu dengan cemas kepulangan kami. Setelah beramah-tamah akhirnya kami pamit pulang ke Talu.

Hari berikutnya adalah hari pertama penulis bertandang di Kanagarian Simpang Tonang, tempat penelitian ini dilakukan. Surat tembusan dari KESBANGPOL semalam kami berikan kepada Camat Duo Koto, Wali Nagari, dan kepala KAN (Kerapatan Adat Nagari). Setelah itu penulis diantarkan oleh Da Ringga, kemenakan ayah ke rumah mertuanya di Ampung Parik. Disini lah kelak penulis akan tinggal selama melakukan penelitian.

(59)

bapak-bapak pun datang dari ruangan sebelah bersama seorang nenek dan anak balita. Ibu itu meninggalkan kami untuk membuatkan minuman dengan membawa oleh-oleh titipan amei dari Talu. Seperti kebiasaan di sini, percakapan tersebut dimulai dengan mencari hubungan tali persaudaraan terlebih dahulu. Hal ini membuat kami menjadi semakin dekat. Saya kurang begitu paham mengkonversi istilah panggilan kekerabatan Minangkabau ke istilah panggilan kekerabatan Mandailing Simpang Tonang. Da Ringga adalah kemenakan kandung ayah, dalam tutur Mandailing kami mar-lae. Mertuanya tersebut dipanggil pak etek dan etek oleh Da Ringga, begitu jugalah seharusnya penulis memanggil mereka. Dari sini lah jembatan perkauman itu dibangun. Ini membuat kami menjadi semakin dekat.

Dari raut muka Pak etek sepertinya beliau masih trauma dengan kehilangan putri mereka beberapa minggu yang lalu. Dia lebih banyak merenung dengan tatapan kosong. Kedatangan penulis bersama menantunya mungkin hanya mengungkap luka lama. Apalagi disini penulis bertanya mengenai perkawinan mendiang puteri mereka dengan Da Ringga beberapa waktu yang lalu. Masih segar diingatan mereka rentetan prosesi perkawinan tersebut. Tapi tidak ada anggota keluarga yang mengetahui bagaimana adat perkawinan manjujur di rumah ini.

(60)

akhirnya kami direkomendasikan untuk menemui orang yang pernah menjalani adat manjujur bernama Karman Lubis di Aia Angek Talu. Kami pun bertolak ke Talu meninggalkan kegelapan kampung karna pemadaman listrik. Ya di Pasaman mati lampu ibaratnya sudah seperti makan obat sehari-hari.

Sesampainya di Talu, listrik masih padam. Penggalian data dari Pak Karman Lubis (60) dengan isterinya Buk Nursaida boru Hasibuan harus dilakukan dalam suasana temaran malam ditemani lampu dinding yang terbuat dari botol minuman berenergi dan sumbu. Dari penuturan mereka penulis menangkap adanya persamaan dan perbedaan antara manjujur yang lazim digunakan oleh orang Mandailing dengan manjujur yang berlaku di Simpang Tonang.

(61)

saya disambut oleh seorang ibu yang duduk di atas kursi roda, beliau sudah tidak bisa lagi berbicara seperti orang normal. Beliau kemudian menyalinkan sejarah tersebut kedalam beberapa lembar kertas dengan tulisan tangannya sendiri. Beberapa hari kemudian penulis datang untuk menjemputnya sesuai dengan perjanjian. Penulis beberapa kali melakukan wawancara secara berulang-ulang. Hal ini penulis lakukan agar benar-benar paham. Pak Melan orangnya ramah. Beliau mengajari penulis dengan rasa sabar dan beberapa petuah dalam menjalani kehidupan ini.

Tidak puas rasanya kalau mendapatkan informasi berulang-ulang seperti yang disampaikan oleh para informan di desa ini. Mungkin penulis kurang lihai dalam mengolah pertanyaan. Di kampung ini hampir tidak ada lagi yang menggunakan adat perkawinan manjujur. Berbekal informasi dari beberapa informan dan media jejaring facebook, penulis akhirnya berpetualang di Nagari Simpang Tonang agar bisa langsung mewawancarai mereka. Langka memang menemukan orang yang masih menggunakan adat manjujur di sini, tapi mereka ada dan masih mempertahankannya. Mereka turut memberi warna kepluralismean hukum di daerah perbatasan tersebut.

(62)

Gambar

Tabel 1
Tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Kanagarian
Tabel 3
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait