• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Antara Orientasi Dominasi Sosial dengan Persepsi terhadap Ospek sebagai Ajang Kekerasan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Antara Orientasi Dominasi Sosial dengan Persepsi terhadap Ospek sebagai Ajang Kekerasan"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA

SOCIAL DOMINANCE ORIENTATION

DENGAN PERSEPSI TERHADAP

OSPEK SEBAGAI AJANG KEKERASAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

PANGERAN JHON P. O. TAMBUNAN

081301087

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAK

Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kekerasan sering terjadi di dalam Ospek. Bersamaan dengan itu persepsi mengenai Ospek sebagai ajang kekerasan timbul di tengah-tengah mahasiswa senior, di mana mereka menganggap perlakuan-perlakuan yang tergolong kekerasan (abussive) sebagai hal yang lumrah/ wajar untuk diberikan di dalam Ospek. Persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel. SDO dalam beberapa penelitian terindikasi berkorelasi positif dengan persepsi mengenai penetapan hukuman (general punitiveness), persepsi mengenai penggunaan senjata oleh petugas polisi, persepsi mengenai penerapan hukuman fisik, dan sejauh mana individu mempersepsikan suatu tindakan sebagai hukuman fisik biasa atau suatu kekerasan (abusement). Pada penelitian ini kami ingin melihat hubungan antara orientasi dominasi sosial (SDO) dengan persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan 100 partisipan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Mahasiswa-mahasiswa tersebut direkrut secara purposive-quota. Hasil analisis yang diperoleh mendukung hipotesa penelitian bahwa terdapat hubungan positif antara SDO dengan persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan.

(3)

Relationship Between Social Dominance Orientation and Perception of Ospek as an Abusement Site

Pangeran Jhon and Omar Khalifa Burhan

ABSTRACT

Facts showing that abusement is still occured in Ospek. Along with it perception of Ospek as an abusement site was constituted arround senior students. Perception of abusement can be determined by things that varry. Previous research has examined the effect and correlation between Social Dominance Orientation (SDO) and some variables in interpersonal context. SDO has indicated significantly correlated with perception of general punitiveness, perception of lethal weapon by officer, perception of corporal punishment, and perception of abusement toward a child. This research was aimed to examine the relationship between SDO and perception of Ospek as an abusement. By quantitative approach involving 100 college students from University of North Sumatera (USU), the participants were recruited with purposive-quota method. The results obtained from the analysis supports our hypothesis that social dominance orientation has a positive correlation with perception of Ospek as an abusement by using Pearson Product Moment method

(4)

dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi dengan judul “Hubungan

Antara Social Dominance Orientation dengan Persepsi terhadap Ospek sebagai

Ajang Kekerasan” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak akan sulit bagi

saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu saya mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara.

2. Bang Omar Khalifa Burhan, M.Sc, selaku Dosen Pembimbing Skripsi.

Terima kasih atas bimbingan, arahan, kritik, saran, kesabaran, dan

kesediaan waktu yang beliau berikan mulai dari seminar hingga

penyelesaian skripsi ini.

3. Pak Ferry Novliadi, M.Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi masukan

selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

4. Untuk tim penguji, pak Eka dan ibu Meutia. Terima kasih atas

kesediaannya untuk menguji dan membimbing selama proses revisi.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Psikologi Universitas

Sumatera Utara. Terima kasih atas ilmu, pengetahuan, dan bantuan yang

(5)

6. Untuk orang tua, khususnya ibu saya Christina H. Ready Sitorus, terima

kasih untuk segala kasih, didikan, pengorbanan, nasihat, semangat, serta

pengharapan yang tak henti-hentinya dialamatkan dengan tulus kepada

saya.

7. Untuk teman-teman saya yang selalu mengingatkan, mendukung, dan

membantu saya dalam proses penyelesaian skripsi ini, khususnya

teman-teman kompak dari angkatan 2007-2008, untuk junior-junior, dan juga

untuk pacarku Olga, terima kasih banyak atas bantuan, dukungan,

semangat, dan persahabatan yang telah saya terima selama ini.

8. Dan untuk orang-orang yang turut berjasa dalam proses pengerjaan skripsi

ini yang tak mungkin saya sebutkan satu per-satu, kiranya Tuhan

membalas jasa-jasa kalian semua.

Akhir kata kembali saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

Meskipun penyusunan skripsi ini telah diupayakan semaksimal mungkin, saya

menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, saya

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca demi

penyempurnaan skripsi ini. Semoga penelitian ini membawa manfaat bagi

pembaca sekalian.

Medan, Desember 2013

(6)

ABSTRAK……… ………...i

ABSTRACT………ii

KATA PENGANTAR………..………. .. .iii

DAFTAR ISI………...v

DAFTAR TABEL……….vii

DAFTAR LAMPIRAN……… .. viii

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH………1

B. KEUTAMAAN PENELITIAN……….. .4

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELTIAN 1. Tujuan Penelitian……… ... ..6

2. Manfaat Penelitian………....7

D. SISTEMATIKA PENULISAN ... 8

BAB II TELAAH TEORITIS A. PERSEPSI TERHADAP OSPEK SEBAGAI AJANG KEKERASAN 1. Definisi Persepsi……… ... ..10

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi……….. ...11

3. Faktor-Faktor Perilaku Kekerasan……….. ...12

B. OSPEK 1. Pengertian Ospek……… ... ..14

2. Hakikat, Tujuan dan Pelaksana Ospek……….. ...15

3. Penyelenggaraan Ospek……….. ...17

C. ORIENTASI DOMINASI SOSIAL 1. Orientasi Dominasi Sosial dan Teori Social Dominance…… ..18

2. Aspek-Aspek SDO……….. ...20

(7)

E. HIPOTESIS ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN……… .. 24

B. POPULASI & SAMPEL……….. ... .24

C. DEFINISI OPERASIONAL 1. Pengukuran…… ... ..26

2. Prosedur Penelitian………...28

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS 1. Validitas Alat Ukur…… ... ..29

2. Reliabilitas Alat Ukur……….. ...29

E. TEKNIK ANALISIS... 30

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS DATA 1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian……… .. ..31

2. Uji Asumsi………...31

3. Hasil Penelitian………...32

4. Deskripsi Data Penelitian………...33

B. PEMBAHASAN……….. ... .35

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.KESIMPULAN ... 40

B. SARAN……….. ... .40

(8)

Tabel 1 Kontinum Skala Persepsi ... 27

(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1Aitem-Aitem Skala Penelitian... 48

Lampiran 2Hasil Uji Reliabilitas dan Daya Diskriminasi Aitem... 49

Lampiran 3Blue Print Skala/ Alat Ukur ... 50

Lampiran 4Hasil Uji Normalitas ... 51

Lampiran 5Hasil Uji Linearitas... 52

Lampiran 6Hasil Uji Hipotesis... 52

Lampiran 7Hasil Uji One Sample T-Test (Mean empirik & Mean Hipotetik).. 53

Lampiran 8Sebaran Data Penelitian ... 54

(10)

ABSTRAK

Fakta-fakta yang ada menunjukkan bahwa kekerasan sering terjadi di dalam Ospek. Bersamaan dengan itu persepsi mengenai Ospek sebagai ajang kekerasan timbul di tengah-tengah mahasiswa senior, di mana mereka menganggap perlakuan-perlakuan yang tergolong kekerasan (abussive) sebagai hal yang lumrah/ wajar untuk diberikan di dalam Ospek. Persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan dapat dipengaruhi oleh berbagai variabel. SDO dalam beberapa penelitian terindikasi berkorelasi positif dengan persepsi mengenai penetapan hukuman (general punitiveness), persepsi mengenai penggunaan senjata oleh petugas polisi, persepsi mengenai penerapan hukuman fisik, dan sejauh mana individu mempersepsikan suatu tindakan sebagai hukuman fisik biasa atau suatu kekerasan (abusement). Pada penelitian ini kami ingin melihat hubungan antara orientasi dominasi sosial (SDO) dengan persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan 100 partisipan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU). Mahasiswa-mahasiswa tersebut direkrut secara purposive-quota. Hasil analisis yang diperoleh mendukung hipotesa penelitian bahwa terdapat hubungan positif antara SDO dengan persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan.

(11)

Relationship Between Social Dominance Orientation and Perception of Ospek as an Abusement Site

Pangeran Jhon and Omar Khalifa Burhan

ABSTRACT

Facts showing that abusement is still occured in Ospek. Along with it perception of Ospek as an abusement site was constituted arround senior students. Perception of abusement can be determined by things that varry. Previous research has examined the effect and correlation between Social Dominance Orientation (SDO) and some variables in interpersonal context. SDO has indicated significantly correlated with perception of general punitiveness, perception of lethal weapon by officer, perception of corporal punishment, and perception of abusement toward a child. This research was aimed to examine the relationship between SDO and perception of Ospek as an abusement. By quantitative approach involving 100 college students from University of North Sumatera (USU), the participants were recruited with purposive-quota method. The results obtained from the analysis supports our hypothesis that social dominance orientation has a positive correlation with perception of Ospek as an abusement by using Pearson Product Moment method

(12)

A. Latar Belakang

Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) telah menyeret nama

sejumlah institusi pendidikan lewat kasus-kasus yang terjadi selama

pelaksanaannya. Dari waktu ke waktu kekerasan kerap mewarnai pelaksanaan

Ospek di Indonesia. Pada permulaan 2009 seorang mahasiswa jurusan Teknik

Geodesi ITB diberitakan meninggal dunia setelah melaksanakan Ospek yang

berlangsung selama 3 hari di fakultasnya. Korban mengalami kekerasan berupa

pemaksaan dari panitia Ospek untuk melakukan aktifitas yang melelahkan

melampaui apa yang dapat diterima oleh tubuh secara normal (Siswadi, 2009).

Pada penghujung 2011 seorang mahasiswa jurusan MIPA Universitas Hasanuddin

diberitakan meninggal dunia usai mengikuti kegiatan Ospek di kampus tersebut

(Abdurrahman, 2011). Sebelumnya Universitas Hasanuddin yang berlokasi di

Makassar ini juga sudah sering tercatat dengan sejumlah kasus kekerasan yang

terjadi pada saat Ospek. Ospek di universitas tersebut pada saat itu dinilai sarat

akan tindakan kekerasan, mulai dari kekerasan verbal hingga kekerasan fisik yang

dialami oleh mahasiswa peserta Ospek (Gunawan, 2004).

Kekerasan Ospek juga terjadi di institusi pendidikan kedinasan. Model

lembaga pendidikan ini justru sudah terkenal dengan kekerasan yang kerap kali

mewarnai kegiatan Ospek yang diadakan. Kasus yang sama bahkan terjadi

(13)

2

mengikuti Ospek di kampusnya yang berlokasi di Tangerang (Imam, 2012). Di

tempat berbeda, Institut Pendidikan Dalam Negri (IPDN) telah tercatat memiliki

kasus yang terbanyak dan paling fenomenal sepanjang sejarah pendidikan di

Indonesia. Secara resmi pihak IPDN sendiri telah mengumumkan bahwa hanya

ada 29 orang praja IPDN yang meninggal dalam kurun 1993-2007, dengan 3

orang praja yang dinyatakan meninggal akibat kekerasan yang diterima di kampus

IPDN. Sementara menurut keterangan beberapa saksi yang berasal dari kubu

internal IPDN sendiri, ada lebih dari 40 kasus kekerasan yang telah terjadi dengan

belasan korban meninggal dengan sebagian besar kasus terjadi pada masa Ospek

(Kompas.com). Tak ubahnya di tempat lain, di wilayah Sumatera Utara sendiri

kekerasan juga kerap mewarnai kegiatan Ospek. Pada 15 Agustus 2009 seorang

mahasiswa Akademi Teknik dan Keselamatan Penerbangan (ATKP) Medan

diberitakan meninggal dunia akibat penganiayaan berat yang diterimanya pada

saat Ospek (Ikhwan, 2009).

Belum lama ini dugaan kasus kekerasan di dalam Ospek kembali terjadi

dan memakan korban jiwa. Pada Oktober 2013 seorang mahasiswa baru (maba)

jurusan Planologi Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang meregang nyawa

ketika sedang menjalani Ospek yang diadakan oleh kampusnya. Berdasarkan

sumber-sumber yang dimintai keterangan, korban ternyata mengalami penyiksaan

fisik dan psikis selama menjadi peserta Ospek yang dilakukan oleh pihak panitia

serta pihak lain yang juga ikut berperan sebagai pelaksana dalam kegiatan Ospek

(14)

perlakuan yang dapat digolongkan ke dalam pelecehan seksual

(seputarmalang.com).

Kasus-kasus tersebut di atas hanyalah sebagian kecil dari jumlah kasus

kekerasan yang pernah terjadi dalam kegiatan Ospek. Masih banyak kasus yang

tidak sampai ke publik karena tidak sampai memakan korban jiwa atau dari pihak

korban sendiri yang tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya. Kampus yang

menjadi tempat kejadian juga cenderung menutup-nutupi untuk menjaga nama

baik. Kekerasan di dalam Ospek terjadi dalam bentuk fisik hingga nonfisik. Di

dalam Ospek, para senior biasanya memberikan bermacam-macam hukuman atau

perlakuan kepada para peserta Ospek. Perlakuan yang diberikan sering kali tidak

perlu dan tidak relevan, bahkan tergolong tidak wajar karena sudah termasuk ke

dalam tindak penganiayaan atau kekerasan. Hal ini terindikasi dari banyaknya

mahasiswa yang sudah menjadi korban dan banyaknya kisah yang berakhir

traumatis dari mahasiswa yang sudah menjalani Ospek. Jika ditelusuri akan

terdapat beragam alasan dan kausalitas dari kekerasan-kekerasan yang terjadi di

dalam Ospek. Suatu teori mengenai hubungan interpersonal memberikan gagasan

mengenai apa yang dapat melatarbelakangi atau menjadi motif bagi seseorang di

dalam berperilaku terhadap individu lain. Teori social dominanceyang dipelopori

oleh Jim Sidanius dan Felicia Pratto pada 1999 dirumuskan setelah melakukan

sejumlah penelitian dan observasi yang terstruktur mengenai kecenderungan

individu di dalam kelompoknya yang dianggap lebih superioruntuk mendominasi

kelompok lain yang dipandang inferior, serta mendukung hirarki yang berbasis

(15)

4

kesimpulan bahwa individu memiliki kecenderungan mendominasi individu lain

dalam konteks sosial, di mana kecenderungan ini memiliki level atau tingkatan

tertentu, yang selanjutnya disebut dengan orientasi dominasi sosial (Social

Dominance Orientation/ SDO). Para peneliti juga menemukan bahwa level SDO

yang lebih tinggi berhubungan dengan level yang semakin rendah dari kepedulian

terhadap orang lain dan level empati yang lebih rendah (Pratto et al., 1994;

Sidanius & Pratto, 1999).

Ospek melibatkan interaksi antara kelompok senior dan kelompok junior.

Sebagai senior, tidak tertutup kemungkinan jika ketika menjadi pelaksana Ospek

mereka ingin menunjukkan kalau kelompok mereka adalah kelompok yang

superior, membuat junior pada posisi inferior, menginginkan hirarki berbasis

kelompok tersebut dan mendominasi para junior atau peserta Ospek. Dan untuk

merampungkan niatannya itu, kekerasan dapat menjadi alat yang efektif dan

Ospek menjadi sarana yang sempurna untuk melakukannya. Sehingga bisa saja

orientasi dominasi sosial (SDO) mempunyai korelasi dengan kekerasan yang

kerap terjadi di dalam Ospek. Lewat penelitian ini peneliti tertarik untuk meneliti

hubungan antara Social Dominance Orientation (SDO) dengan persepsi terhadap

Ospek sebagai ajang kekerasan.

B. Keutamaan Penelitian

Kekerasan di dalam Ospek sudah jarang terjadi. Pemberian sanksi yang

tegas serta peraturan yang ketat baik dari pihak rektorat pendidikan tinggi maupun

(16)

identik dengan kegiatan Ospek. Akan tetapi, pada praktek yang terjadi di

lapangan, kekerasan Ospek tidaklah sepenuhnya hilang. Masih banyak

perlakuan-perlakuan yang diberikan di dalam Ospek yang wujudnya tidak secara eksplisit

berbentuk kekerasan seperti kasus-kasus terdahulu, melainkan cenderung bersifat

lebih halus namun tetap mengandung nilai eksploitasi yang mengarah kepada

kekerasan dan penganiayaan. Misalnya, masih banyak kampus yang menerapkan

gaya Ospek ala semi-militer, yang beragendakan pembinaan mental melalui

cara-cara membentak, hukuman seperti push-up, sit-up, lari keliling lapangan,

menjemur atau menyetrap junior, mempermalukan dan menyakiti mental dan

sebagainya. Bentuk-bentuk kekerasan seperti ini mungkin tidak akan sampai

menimbulkan jatuhnya korban jiwa seperti kasus-kasus sebelumnya, akan tetapi

kekerasan dalam bentuk apapun tetap berdampak negatif bagi korban yang

mengalaminya.

Selain itu masih banyak kampus yang tidak ter-cover sepenuhnya oleh

pemerintah maupun media. Sulitnya akses ke beberapa kampus dapat menjadi

halangan bagi pihak eksternal untuk turut mengawasi pelaksanaan Ospek di

tempat tersebut. Sehingga kekerasan masih rawan terjadi pada pelaksanaan

orientasi studi dan pengenalan kampus di beberapa tempat. Sebagaimana yang

diungkapkan pada bagian latar belakang penelitian, ternyata kasus kekerasan

Ospek yang bahkan hingga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa masih juga

terjadi, bahkan di kampus besar sekelas Institut Teknologi Nasional (ITM)

Malang. Oleh karenanya peneliti berpendapat bahwa penelitian tentang Ospek

(17)

6

Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara variabel

psikologis SDO dengan persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan.

Persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan dalam penelitian ini diartikan

sebagai kecenderungan seseorang untuk mempersepsikan Ospek sebagai suatu

rangkaian kegiatan yang memang diperuntukkan bagi ajang kekerasan. Dengan

hipotesis bahwa terdapat hubungan yang positif di antara kedua variabel tersebut

dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi derajat SDO seorang individu maka

semakin tinggi pula persepsi individu terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan.

Jika hipotesis penelitian diterima berdasarkan pengolahan dari data-data yang

berhasil dikumpulkan, maka untuk selanjutnya kesimpulan yang diperoleh dari

penelitian ini dapat berfungsi sebagai langkah preventif untuk turut memperkecil

probabilitas munculnya perilaku kekerasan di dalam Ospek. Langkah preventif

yang dimaksud dapat dilakukan dengan melakukan tes pengukuran SDO terlebih

dahulu terhadap setiap individu dalam setiap komponen yang akan menjadi pelaku

atau pelaksana di dalam kegiatan Ospek dan menetapkan standar skor SDO

maksimum sebagai kriteria untuk dapat terlibat dalam kegiatan Ospek.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

a. Mengetahui sejauh mana partisipan dalam penelitian ini memandang

Ospek sebagai suatu kegiatan yang memang diperuntukkan bagi ajang

(18)

orang terhadap wajar/ tidaknya perlakuan-perlakuan yang mengandung

unsur kekerasan diberikan di dalam Ospek

b. Mengetahui level dan rata-rata orientasi dominasi sosial (SDO)

partisipan penelitian

c. Melihat hubungan antara level SDO dengan persepsi terhadap Ospek

sebagai ajang kekerasan

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

 Mengembangkan kajian ilmu di bidang psikologi, khususnya

psikologi sosial yang berhubungan dengan Ospek atau kegiatan

orientasi lainnya yang sudah menjadi bagian dari dunia pendidikan

di Indonesia

 Memperkaya literatur dan menambah daftar temuan penelitian yang

berkaitan dengan social dominance orientation di wilayah Asia,

khususnya Indonesia

b. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan ataupun saran

bagi para stake-holder (e.g., pemerintah, pihak kampus, dll.) dalam

merancang program intervensi yang bertujuan untuk mengurangi

probabilitas munculnya tindakan kekerasan di dalam Ospek. Misalnya

dengan mempertimbangkan untuk mengukur skor SDO terlebih dahulu

bagi setiap senior yang akan menjadi pelaksana Ospek, sebagai syarat

(19)

8

D. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Bab ini menceritakan beberapa kasus mengenai maraknya praktek

kekerasan di dalam Ospek di berbagai wilayah dari luar kota hingga ke

dalam kota Medan sendiri, menjelaskan mengapa kekerasan di dalam

Ospek menjadi hal yang penting untuk diteliti, menjelaskan latar belakang

mengenai mengapa peneliti tertarik untuk melihat hubungan di antara

social dominance orientation dengan persepsi terhadap Ospek sebagai

ajang kekerasan, serta memaparkan manfaat dan tujuan yang diperoleh

dari hasil penelitian, dan uraian singkat mengenai sistematika penulisan

penelitian.

BAB II: Landasan Teori

Bab ini berisi penjelasan mengenai indikator-indikator penelitian: teori

persepsi, teori kekerasan, ulasan singkat mengenai Ospek, teori social

dominance, social dominance orientation (SDO), dan bagaimana social

dominance orientation dapat memiliki keterkaitan dengan persepsi

terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan, kemudian diakhiri dengan

pemaparan hipotesa penelitian.

BAB III: Metode Penelitian

Bab ini berisi penjelasan mengenai identifikasi variabel-variabel

penelitian, operasionalisasi variabel-variabel penelitian, hipotesis

(20)

pengumpulan data, validitas dan reliabilitas, uji asumsi dan metode

analisis data.

BAB IV: Analisis Data dan Pembahasan

Bab ini berisi uraian tentang gambaran partisipan penelitian, hasil

penelitian yang meliputi hasil uji asumsi, hasil utama penelitian, dan

deskripsi data penelitian, serta pembahasan.

BAB V: Kesimpulan dan Saran

(21)

BAB II

TELAAH TEORITIS

A. Persepsi Terhadap Ospek Sebagai Ajang Kekerasan 1. Definisi Persepsi

Secara etimologis, persepsi berasal dari kata perception (Inggris) yang

berasal dari bahasa latin percipare yang artinya menerima atau mengambil

(Sobur, 2003: 445). Menurut kamus lengkap psikologi, persepsi adalah: (1)

Proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan

indera, (2) Kesadaran dari proses-proses organis, (3) (Titchener) satu kelompok

penginderaan dengan penambahan arti-arti yang berasal dari pengalaman di

masa lalu, (4) variabel yang menghalangi atau ikut campur tangan, berasal dari

kemampuan organisasi untuk melakukan pembedaan diantara

perangsang-perangsang, (5) kesadaran intuitif mengenai kebenaran langsung atau

keyakinan yang serta merta mengenai sesuatu (Chaplin, 2006:358).

Kotler (2000) menjelaskan persepsi sebagai proses bagaimana seseorang

menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan masukan-masukan informasi

untuk menciptakan gambaran keseluruhan yang berarti. Adapun Robbins

(2003) juga menjelaskan persepsi dalam kaitannya dengan lingkungan, yaitu

sebagai proses di mana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan

kesan indera mereka agar memberi makna kepada lingkungan mereka.

Menurut Moskowitz dan Ogel (dalam Walgito, 2003:54) persepsi merupakan

proses yang terintegrasi dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.

(22)

pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh

organisme atau individu sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan

merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu.

Walgito (1993) mengemukakan bahwa persepsi seseorang merupakan

proses aktif yang memegang peranan, bukan hanya stimulus yang mengenainya

tetapi juga individu sebagai satu kesatuan dengan pengalaman-pengalamannya,

motivasi serta sikapnya yang relevan dalam menanggapi stimulus. Individu

dalam hubungannya dengan dunia luar selalu melakukan pengamatan untuk

dapat mengartikan rangsangan yang diterima dan alat indera dipergunakan

sebagai penghubungan antara individu dengan dunia luar. Agar proses

pengamatan itu terjadi, maka diperlukan objek yang diamati alat indera yang

cukup baik dan perhatian merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan

dalam mengadakan pengamatan. Persepsi dalam arti umum adalah pandangan

seseorang terhadap sesuatu yang akan membuat respon bagaimana dan dengan

apa seseorang akan bertindak. Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan

bahwa persepsi merupakan proses kategorisasi yang terintegrasi dalam diri

individu, sehingga ia dapat mengenali atau memberi arti dari suatu stimulus.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Persepsi seseorang tidaklah timbul begitu saja, melainkan dipengaruhi

oleh beberapa faktor baik yang bersifat internal maupun yang bersifat

eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berkenaan dengan keberadaan

individu yang bersangkutan, sedangkan faktor eksternal adalah faktor pengaruh

(23)

12

(2002, hal. 46) faktor yang dapat mempengaruhi proses persepsi merupakan

faktor eksternal, yaitu faktor stimulus dan faktor lingkungan dimana persepsi

tersebut berlangsung. Sedangkan faktor internal adalah individu itu sendiri.

Oskamp (dalam Sadli, 1976, hal.72) mengemukakan empat karakteristik

penting dari faktor-faktor pribadi dan sosial yang dapat mempengaruhi persepsi

individu yaitu: Faktor ciri-ciri khas dari objek stimulus yang terdiri dari nilai,

arti, familiaritas, dan intensitas. Kedua, faktor-faktor pribadi, termasuk di

dalamnya ciri khas individu seperti, taraf kecerdasannya, minatnya,

emosionalitasnya. Ketiga, faktor pengaruh kelompok, respon orang lain dapat

memberi arah ke suatu tingkah laku konform, dan keempat, faktor perbedaan

latar belakang kuturil, terdiri tiga variabel yang mempengaruhi persepsi yaitu,

fuctional salience, familiaritas, dan sistem komunikasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa persepsi

dipengaruhi oleh faktor rangsangan yang datang dari objek maupun peristiwa,

dan faktor individu yang bersangkutan dengan karakteristiknya. Demikian

halnya persepsi yang terdapat di tengah-tengah mahasiswa yang lebih senior

mengenai esensi dari pelaksanaan Ospek. Merujuk kepada fakta-fakta

seringnya kasus kekerasan terjadi di dalam Ospek, ajang bagi pelecehan dan

perilaku kekerasan (abusement) telah terintegrasi menjadi sebuah persepsi di

antara sejumlah mahasiswa dalam memaknai Ospek itu sendiri.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Kekerasan

Menurut WHO (dalam Bagong S., dkk, 2000), kekerasan adalah

(24)

diri sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau masyarakat yang

mengakibatkan atau kemungkinan mengakibatkan memar/ trauma, kematian,

kerugian psikologis, kelainan perkembangan, atau perampasan hak.

Thalib (2002) menjelaskan bahwa perilaku kekerasan dapat dipengaruhi

oleh faktor internal dan eksternal yang saling berinteraksi dalam diri individu.

Faktor-faktor internal yaitu: cita-cita, harapan, kepercayaan, tempramen, dan

kemampuan kognitif. Sedangkan Faktor eksternal dapat berupa: pengalaman

perilaku kekerasan, praktik pengasuhan orang tua, faktor sosial budaya, tingkat

pendidikan orang tua, serta lingkungan fisik seperti iklim, cuaca, dan

kepadatan juga dapat mempengaruhi seseorang untuk memunculkan perilaku

kekerasan.

Setiadi (2000, h. 62-63) mengemukakan beberapa faktor dari perilaku

kekerasan:

1. Pembenaran secara moral, melalui restrukturisasi kognisi, seseorang

dapat saja mencari pembenaran sehingga perilaku agresif yang tadinya

dianggap buruk menjadi terhormat.

2. Pengalihan tanggung jawab, hal ini terjadi bila otoritas yang sah

menyatakan kesediaannya untuk bertanggung jawab atas perilaku

agresif tertentu. Perilaku tersebut tidak dilakukan secara langsung

tetapi dengan membiarkan perilaku agresif tersebut berlangsung tanpa

adanya sanksi.

3. Pengaburan tanggung jawab, seseorang cenderung bertindak agresif

(25)

14

mempersepsikan bahwa dirinya tidak bertanggung jawab secara

pribadi terhadap korban.

4. Distorsi terhadap konsekuensi, setiap orang cenderung untuk

mengingat efek positif dan melupakan efek negatif dari perbuatannya.

5. Dehumanisasi, seseorang akan lebih mudah berperilaku agresif

terhadap orang yang dianggap lebih rendah dari dirinya dibandingkan

dengan orang yang sederajat dengan dirinya.

B. Ospek

1. Pengertian Ospek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi orientasi

diartikan sebagai suatu aktivitas peninjauan untuk menentukan sikap (arah,

tempat, dsb) yang tepat dan benar. Berdasarkan definisi tersebut, orientasi studi

dan pengenalan kampus (Ospek) dapat diartikan sebagai aktivitas orientasi

terhadap objek berupa kegiatan serta lingkungan tempat berlangsungnya studi,

dengan tujuan untuk dapat menentukan sikap yang tepat dan benar di kemudian

hari. Orientasi studi juga mempunyai pengertian memberikan arah termasuk

bimbingan terhadap suatu proses studi yang ada di perguruan tinggi yang di

dalam Ospek ditujukan kepada mahasiswa baru (Utomo, 2006). Dalam

prakteknya kegiatan orientasi ini biasanya berlangsung pada minggu pertama

dari kalender akademik dari suatu perguruan tinggi atau lembaga pendidikan

lain, karena itu secara umum kegiatan tersebut dinamai orientation week.

(26)

beberapa negara. Minggu pertama masa orientasi dikenal sebagai Frosh/ frosh

week (USA), Fresher’s week (UK), Orientation week atau O-week (Australia

dan New Zealand), Nollning (Swedia) (Koppi, 1998). Meskipun biasanya

dikatakan sebagai minggu orientasi, lama waktu kegiatan dapat berlangsung

kurang dari seminggu, tergantung kebutuhan dan tradisi universitas.

Isi orientasi sangat variatif, tetapi kegiatannya menjurus pada pengenalan

studi hingga aktivitas sosial, olahraga dan alam terbuka, serta kesenian dan

rekreasi. Sebagai contoh di Australia, masa orientasi diarahkan agar mahasiswa

baru memahami tentang perkuliahan, kehidupan mahasiswa dan pengenalan

kehidupan kampus (university life). Sedangkan orientasi mahasiswa baru di

Inggris dan Amerika Serikat, mahasiswa diperkenalkan dengan fasilitas

kampus yang akan digunakan, kegiatan ekstra di luar perkuliahan, hingga

masalah untuk mempromosikan pesan-pesan yang berkepentingan dengan

kehidupan remaja (Koppi, 1998).

2. Hakikat, Tujuan, dan Pelaksana Ospek

Menurut Pramudi Utomo (2006) hakikat, tujuan, dan pelaksanaan

kegiatan ospek adalah sebagai berikut:

a. Hakikat Ospek

Ospek merupakan kegiatan institusional yang menjadi tanggung jawab

universitas untuk mensosialisasikan kehidupan di perguruan tinggi dan

proses pembelajaran yang pelaksanaannya melibatkan unsur pimpinan

universitas, fakultas, mahasiswa, dan unsur-unsur lain yang dipandang

(27)

16

Ospek merupakan sarana bagi mahasiswa baru untuk mengenal dan

melakukan adaptasi dengan budaya perguruan tinggi

b. Tujuan Ospek

Mahasiswa dapat mengenal dan memahami lingkungan kampus sebagai

suatu lingkungan akademis serta memahami mekanisme yang berlaku di

dalamnya

Menambah wawasan mahasiswa baru untuk dapat menggunakan sarana

akademik yang tersedia di perguruan tinggi secara maksimal

Mempersiapkan mahasiswa agar mampu belajar di perguruan tinggi serta

mematuhi dan melaksanakan norma-norma yang berlaku khususnya yang

berkaitan dengan Kode Etik dan Tata Tertib Mahasiswa

Menumbuhkan kesadaran mahasiswa baru akan tanggung jawab akademik

dan sosial sebagaimana tertuang dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

c. Organisasi Pelaksana

Berdasarkan Keputusan Dirjen Dikti 38/Dikti/Kep/2000 yang

menyatakan Pengenalan Program Studi dan Program Pendidikan di

Perguruan Tinggi diselenggarakan dalam rangka kegiatan akademik oleh

pimpinan perguruan tinggi yang bersangkutan. SK Dirjen Dikti tersebut

lebih lanjut menyatakan bahwa penanggung jawab penyelenggaraan Ospek

adalah pihak rektorat yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

Pembantu Rektor III bidang kemahasiswaan. Selanjutnya pelaksanaan

Ospek dilakukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di bawah

(28)

3. Penyelenggaraan Ospek

Penyelenggaraan OSPEK didasarkan pada SK Dirjen Dikti Nomor

38/DIKTI/Kep/2000 tentang pengaturan kegiatan penerimaan mahasiswa baru

di perguruan tinggi. Pada dasarnya Ospek bertujuan untuk memberikan

pengenalan awal bagi mahasiswa baru terhadap berbagai aspek kehidupan

perguruan tinggi seperti statuta universitas, peraturan akademik, sistem

kurikulum, cara belajar di perguruan tinggi, etika mahasiswa, dan organisasi

kemahasiswaan. Di samping itu kegiatan Ospek dapat menjadi tempat

memperkenalkan pimpinan universitas, fakultas, dan jurusan/ program studi.

Oleh karena itu, Ospek bagi mahasiswa baru merupakan kegiatan yang sangat

penting sebagai gerbang masuk menuju kehidupan kampus yang sekaligus

sebagai awal langkah pengenalan dan pengembangan budaya akademis.

Orientasi studi di Indonesia pada umumnya dikenal dengan nama Ospek,

namun pada penerapannya ada yang memberi nama selain nama itu. Alasannya

bisa bersifat situasional bergantung kepada organisasi mahasiswa yang

disahkan birokrasi yang menyelenggarakannya. Nama yang digunakan bahkan

berbeda-beda dalam satu kampus yang sama, dan berubah-ubah dari tahun ke

tahun. Di ITB misalnya, pada tahun 2012 dan 2013 menggunakan istilah

OSKM (Orientasi Studi Keluarga Mahasiswa), sedangkan sebelumnya pada

tahun 2011 mereka masih menggunakan istilah POMB (Pekan Orientasi

Mahasiswa Baru). Begitu juga dengan Universitas Sumatera Utara (USU),

Fakultas Hukum masih menggunakan istilah Ospek pada tahun 2013,

(29)

18

Begitu juga dengan kampus atau institusi lainnya menggunakan terminologi

yang berbeda-beda untuk kegiatan yang pada prinsipnya sama-sama bersifat

orientasi dan pengenalan budaya kampus. Akan tetapi, penelitian ini

menggunakan istilah Ospek karena berdasarkan apa yang paling sering

digunakan di tengah-tengah masyarakat luas serta berdasarkan kata pencarian

(keyword) yang paling populer di kalangan pengguna mesin pencarian seperti

internet, Ospek merupakan istilah yang paling sering muncul.

C. Orientasi Dominasi Sosial

1. Orientasi Dominasi Sosial dan Teori Social Dominance

Orientasi dominasi sosial (Social Dominance Orientation, disingkat

SDO) berdasarkan Sidanius dan Pratto (1999) didefinisikan sebagai “derajat

sejauh mana individu menginginkan dan mendukung hirarki yang berdasar

pada kelompok (group-based hierarchy) dan dominasi kelompok yang lebih

kuat atas kelompok yang lebih lemah.” Dengan kata lain, SDO merupakan

faktor kepribadian yang merujuk kepada sejauh mana seseorang menginginkan

agar kelompok di mana dirinya bernaung menjadi lebih superior daripada

kelompok-kelompok lainnya (Pratto et al, 1994). Teori yang menjelaskan

tentang SDO disebut sebagai Social Dominance Theory (SDT), merupakan

teori yang didesain untuk menjelaskan asal muasal dan konsekuensi dari hirarki

sosial dan berbagai bentuk penindasan yang terjadi dalam lingkungan sosial

(Pratto, Sidanius, & Levin 2006). Teori tersebut berdalil bahwa lingkungan

(30)

permufakatan dari ideologi-ideologi yang mendukung superioritas satu

kelompok atas kelompok lain (Sidanius, Pratto, Martin, & Stallworth, 1991).

Ideologi-ideologi tersebut yang mempromosikan atau menjaga ketidak-setaraan

pada tiap-tiap kelompok merupakan alat untuk mengesahkan berlangsungnya

diskriminasi. Untuk dapat bekerja secara halus, ideologi ini harus dapat

diterima secara luas oleh lingkungan sosial, terlihat seperti suatu kebenaran

yang dianggap nyata, oleh karena itu Sidanius dan Pratto menyebut hal ini

mitos pengesahan-hirarki (hierarchy-legitimizing myths). Ada dua jenis mitos

pengesahan ini, pertama mitos pengesahan hal-hal yang meningkatkan hirarki,

yang mempromosikan ketidak-setaraan yang lebih jelas antara satu kelompok

dengan kelompok lain; kedua mitos pengesahan hal-hal yang memperkecil

hirarki, yang mempromosikan kesetaraan di antara setiap kelompok (Pratto,

Sidanius, Stallworth, & Malle, 1994).

Menurut teori social dominance, terdapat 3 struktur dari hirarki berbasis

kekelompokan yang dibuat oleh lingkungan sosial, yaitu: (1) sistem usia (age

system), di mana orang yang lebih tua mempunyai dominasi terhadap yang

lebih muda ; (2) sistem jenis kelamin (gender system), di mana laki-laki

mempunyai porsi dominasi yang lebih dibanding perempuan; dan yang ke (3)

sistem kesewenangan (arbitrary set system), di mana kelompok yang

mendominasi memiliki akses yang lebih terhadap sumber daya yang bernilai

(31)

20

2. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi SDO

SDO diusulkan dipengaruhi oleh paling tidak 5 buah faktor yang sifatnya

luas (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006) :

a. Posisi kelompok

Berdasarkan teori social dominance, anggota dari kelompok yang

dominan berdasarkan kewenangannya (arbitrary-set) diprediksi memiliki

level SDO yang lebih tinggi dari anggota kelompok subordinat karena

mereka ingin mempertahankan akses hak istimewa terhadap sumber

ekonomi dan sosial yang dihasilkan oleh posisi mereka yang lebih

dominan tersebut.

b. Konteks Sosial

Berdasarkan teori social dominance, ketika kesenjangan status antara

kelompok dominan dan subordinat bervariasi, perbedaan SDO yang

terdapat di dalam kelompok juga akan bervariasi, yakni kelompok

berstatus lebih tinggi akan mempunyai keinginan yang lebih tinggi untuk

mempertahankan hirarki sistem sosial dimana kelompok ingroup akan

lebih diuntungkan, dan kelompok berstatus lebih rendah akan mempunyai

keinginan lebih tinggi utuk menentang sistem tersebut.

c. Perbedaan tempramen dan kepribadian

Selain dipengaruhi oleh identitas sosial yang secara situasional

bersifat kontingen, skor SDO juga dipengaruhi oleh tempramen dan

kepribadian yang individu miliki. Sebagai contoh, SDO telah ditemukan

(32)

faktor kepribadian dari Openness dan Agreeableness (2 dari dimensi

kepribadian Big Five), dan berasosiasi positif dengan agresifitas, perilaku

mendendam (vindictiveness), kedinginan (coldness), dan keras kepala

(tough-mindedness).

d. Gender dan Sosialisasi

Sesuai dengan peran sosial mereka yang berbeda secara fundamental

dalam hirarki sosial, rata-rata laki-laki dan perempuan juga memiliki

attitudeyang berbeda terhadap sosial dan politik (Lihat Pratto, Stallworth,

& Sidanius, 1997a). Secara umum, wanita mendukung kesetaraan sosial,

tradisi inklusif, dan kebijakan yang melindungi dan peduli kepada yang

tertindas, lebih memilih kebijakan yang bersifat progresif, rasa takut yang

lebih rendah kepada orang asing (less xenophobic), dan lebih menentang

perang jika dibandingkan dengan laki-laki. Sedangkan laki-laki lebih tegas

mendukung ketidaksetaraan (Pratto, Sidanius, & Levin, 2006). Hal ini

konsisten dengan hipotesis yang tak berubah-ubah dari teori social

dominance, laki-laki selalu mempunyai level SDO yang lebih tinggi dari

perempuan (Levin, 2004; Sidanius, et al., 2000; Sidanius & Pratto, 1999).

Sementara itu pengalaman sosialisasi dapat mempengaruhi SDO. Duckitt

(2001) mengajukan bahwa sosialisasi dari lingkungan yang kurang kasih

sayang secara tidak langsung berpengaruh kepada skor yang tinggi dari

(33)

22

D. Orientasi Dominasi Sosial dan Kekerasan

Berbagai penelitian sebelumnya telah meneliti relasi antara SDO dengan

berbagai perilaku kekerasan. Individu-individu yang memiliki SDO tinggi

lebih menilai penggunaan senjata oleh polisi dalam melaksanakan tugasnya

sebagai hal yang lumrah dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki

SDO rendah (Perkins & Bourgeois, 2006). Sesuai dengan hasil penelitian

tersebut, SDO dapat dianggap sebagai suatu faktor kepribadian yang

mempengaruhi persepsi mengenai penggunaan tindakan kekerasan kepada

orang lain (Hess, Gray & Nunez, 2012). Penelitian lain menunjukkan bahwa

orang-orang yang memiliki SDO tinggi menilai bahwa pengambilan tindakan

hukum yang keras dan kejam sebagai suatu hal yang patut dilakukan kepada

tertuduh (Capps, 2002; Sidanius, Mitchell, Haley, & Navarrette, 2006).

Selanjutnya, Hess, Gray, Nunez (2012) melakukan penelitian mengenai

SDO dengan hubungannya terhadap persepsi mengenai hukuman fisik. Mereka

melakukan pengujian terhadap SDO sebagai faktor kepribadian yang

mempengaruhi persepsi mengenai penerapan hukuman fisik pada anak, sejauh

apa suatu hukuman dianggap sebagai hukuman fisik (yang wajar) dan dianggap

sudah melampaui batas kewajaran atau telah digolongkan sebagai

penyalahgunaan (abusement). Studi tersebut menghasilkan temuan bahwa

individu dengan level SDO tinggi memiliki kecenderungan untuk

mempersepsikan hukuman yang tergolong penganiayaan (abusement) sebagai

hukuman fisik biasa. Sebaliknya individu dengan SDO rendah mempunyai

(34)

kekerasan sebagai bukan merupakan hukuman fisik yang biasa, melainkan

sebuah penganiayaan atau penyiksaan yang tidak dapat ditolerir.

Sebagaimana penelitian yang telah ada mengenai hubungan antara SDO

dengan persepsi mengenai hal yang berhubungan dengan kekerasan, hasil dari

penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa SDO memiliki korelasi

yang positif terhadap persepsi seseorang mengenai perilaku ataupun tindakan

yang mengandung unsur kekerasan. Teori social dominance berargumen bahwa

hirarki berbasis kelompok dipengaruhi oleh umur (age system), jenis kelamin

(gender system), dan kewenangan (arbitrary-set system). Jika mengacu kepada

keberadaan Ospek, dimana para pelaksana kegiatan adalah kelompok

mahasiswa yang lebih senior dan dilakukan kepada mahasiswa yang

stambuknya lebih muda (junior), peneliti beranggapan bahwa kondisi ini dapat

memiliki koneksi dengan social dominance orientation jika dihubungkan

dengan teori social dominance.

E. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini adalah “Ada hubungan antara level Orientasi Dominasi Sosial

(35)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

kuantitatif korelasional. Penelitian korelasional adalah suatu penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel

atau lebih tanpa ada upaya untuk memanipulasi variabel-variabel tersebut

(Fraenkel dan Wallen, 2008: 328).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang,

obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2009). Variabel

dalam penelitian ini adalah:

1) Variabel Bebas : Social Dominance Orientation(SDO)

2) Variabel Tergantung : Persepsi Terhadap Ospek Sebagai Ajang

Kekerasan

B. POPULASI, SAMPEL, DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

Populasi adalah suatu kelompok atau kumpulan subjek atau objek

penggeneralisasian hasil penelitian (Widiyanto, 2010). Populasi dalam

penelitian ini adalah mahasiswa institusi perguruan tinggi negeri. Pemilihan

kelompok populasi didasarkan pada pertimbangan bahwa Ospek merupakan

(36)

tinggi negeri, dan bukan pendidikan menengah ke bawah seperti sekolah.

Mengingat keterbatasan peneliti untuk menjangkau seluruh populasi, maka

sering kali peneliti mengumpulkan data dari sebagian jumlah dari populasi,

yang dikenal dengan istilah sampel (Field, 2009; Kerlinger, 1986).

Sampel adalah sebagian dari populasi yang dipilih sebagai representasi

populasi (Sugiyono, 2011). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik

pengambilan sampel combinet, yaitu dengan cara menggabungkan lebih dari

satu teknik sampling (Sugiyono, 2003). Dalam penelitian ini peneliti

mengombinasi teknik sampling purpossive dan quota, yang mana berdasarkan

Sugiyono (2003:74-48) keduanya merupakan metode sampling non random

sample. Teknik purpossive dilakukan dengan memilih fakultas-fakultas yang

berdasarkan informasi yang telah terlebih dahulu diperoleh peneliti merupakan

fakultas dengan gaya Ospek yang lebih keras (absussive) dan berpotensi bagi

munculnya perilaku kekerasan dibanding fakultas lainnya. Teknik quota

dilakukan dengan membagi target jumlah total sampel ke beberapa bagian

sesuai dengan jumlah fakultas yang akan dijadikan sampel. Sampel di dalam

penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi Universitas Sumatera Utara

(37)

26

C. DEFINISI OPERASIONAL

Definisi operasional adalah definisi yang melekatkan arti pada suatu

variabel dengan cara menetapkan kegiatan atau tindakan yang perlu dilakukan

untuk mengukur variabel tersebut (Kerlinger, 1986). Berikut ini dijelaskan

mengenai definisi operasional pada penelitian ini:

1. Pengukuran

Di dalam penelitian ini variabel-variabel penelitian kami ukur melalui

penyebaran angket (kuesioner) yang berisi pengukuran persepsi terhadap

ospek sebagai ajang kekerasan dan tingkat social dominance orientationdari

partisipan (sampel) penelitian. Pengukuran yang kami lakukan termasuk ke

dalam jenis self report, yaitu dengan mengandalkan laporan dari partisipan

(sample) mengenai simptom, perilaku, kepercayaan, sikap atau variabel lainnya

(Hadi, 2004). Berikut adalah informasi tentang pengukuran variabel-variabel

penelitian.

a. Persepsi terhadap Ospek sebagai Ajang Kekerasan

Persepsi terhadap ospek sebagai ajang kekerasan di dalam penelitian

ini kami definisikan sebagai sejauh mana seseorang mempersepsikan Ospek

sebagai suatu rangkaian kegiatan yang memang diperuntukkan bagi ajang

kekerasan. Persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan diukur

menggunakan skala persepsi yang dibuat oleh peneliti.

Pengukuran persepsi terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan terdiri

atas sembilan buah item yang masing-masing merupakan suatu bentuk

(38)

1 3 5 Netral

waktu pelaksanaan Ospek. Setiap aitem dibuat dengan pilihan respon 5 titik

(1= “Tidak wajar” – 5= “Wajar”). Skala kami ciptakan dengan mereratakan

aitem. Semakin tinggi skor rata-rata individu pada pengukuran persepsi

terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan menunjukkan semakin tinggi

seseorang mempersepsikan Ospek sebagai rangkaian kegiatan yang memang

diperuntukkan bagi ajang kekerasan. Skala disusun dengan menggunakan

teknik Semantic Differential yang dikembangkan oleh Osgood, Suci, dan

Tannebaum (1975) (Azwar, 2010). Skala ini selain mengukur arah nilai

sikap terhadap suatu objek sosial, dapat pula diketahui intensitas sikap

responden terhadap sebuah objek sosial yang hendak diukur. Dengan skala

ini nantinya partisipan memberikan respon yang langsung menggambarkan

bobot penilaian mereka terhadap stimulus atau aitem yang bergerak dalam

satu kontinum.

Kontinum skala bergerak dari titik 1 hingga titik 5, di mana semakin

ke arah 1 maka nilai sikap semakin negatif dan semakin ke arah 5 maka

nilai sikap semakin positif, sedangkan di titik 3 nilai sikap dapat dianggap

bersifat netral (Azwar, 2010). Berikut gambaran kontinum skala semantic

differentialyang digunakan :

Tabel 1.Kontinum Skala Persepsi

Untuk lebih jelasnya, aitem-aitem pengukuran persepsi terhadap ospek

sebagai ajang kekerasan dapat dilihat pada Lampiran.1 Unfavourable

(-)

(39)

28

b. Social Dominance Orientation

Social dominance orientation (SDO) adalah derajat sejauh mana

individu mendukung dan menginginkan hirarki berbasis kelompok (

group-based hierarchy) dan menjadi kelompok yang dominan (superior) atas

kelompok-kelompok lainnya. SDO merupakan alat ukur yang

dikembangkan sebagai kelanjutan dari teori social dominance yang

digagaskan oleh Felicia Pratto dan Jim Sidanius (1999). Pada penelitian ini

SDO diukur menggunakan skala SDO-6 (Pratto et al., 1994) yang terdiri

dari 15 buah pertanyaan dalam bentuk skala empat titik (1 = “Sangat

negatif” – 4 = “Sangat positif). Skala kami ciptakan dengan cara

mereratakan aitem. Semakin tinggi skor rata-rata individupada skala SDO

menunjukkan semakin tinggi dukungannya terhadap hirarki berbasis

kelompok dan dominasi kelompoknya atas kelompok lain yang dianggap

lebih rendah. Untuk lebih jelasnya, skala SDO dapat dilihat pada

Lampiran.1.

2. Prosedur Penelitian

Kami merekrut para partisipan secara convenient di berbagai lokasi

sekitar kampus USU. Para partisipan kami minta untuk mengisi angket

(kuesioner) yang telah kami persiapkan. Mereka mengisi angket sampai

selesai, kemudian mengumpulkannya kembali kepada kami. Para partisipan

berpartisipasi secara sukarela, namun sebagai ungkapan terima kasih, kami

(40)

D. VALIDITAS DAN RELIABILITAS ALAT UKUR 1. Validitas Alat Ukur

Validitas alat ukur merupakan sejauh mana ketepatan dan kecermatan

suatu alat ukur dalam menjalankan fungsi ukur. Artinya alat ukur memang

mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Hadi, 2000). Suatu instrumen

dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut

menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan

maksud dilakukannya pengukuran tersebut (Azwar, 2009). Untuk skala SDO

kami tidak melakukan uji validitas, karena alat ukur ini telah berkali-kali

digunakan di dalam berbagai seting penelitian (e.g., Perkins & Bourgeois,

2006; Hess, Gray & Nunez, 2012; Capps, 2002; Sidanius, Mitchell, Haley, &

Navarrette, 2006), dengan demikian alat ukur ini sudah diakui validitasnya

secara internasional. Namun, mengingat skala SDO yang kami gunakan

merupakan versi translasi, kami tetap menggunakan professional judgement

untuk memastikan bahwa translasi yang kami lakukan sudah tepat. Profesional

judgement juga kami terapkan untuk pengukuran persepsi terhadap ospek

sebagai ajang kekerasan. Profesional judgement ini merupakan salah satu dari

pendekatan untuk menelaah validitas isi (content validity), yaitu sejauh mana

aitem-aitem dalam alat ukur mencerminkan ciri atribut yang akan diukur

(Azwar, 2009).

2. Reliabilitas Alat Ukur

Konsep reliabilitas mengacu pada apakah suatu instrumen dapat

(41)

30

menggunakanmenelaah reliabilitas dengan mengukur internal consistencyalat

ukur dengan menghitung koefisien Cronbach’s alpha. Koefisien reliabilitas (α)

merentang dari 0 sampai dengan 1.00. Semakin mendekati 1.00 berarti semakin

tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin mendekati 0 berarti

semakin rendah reliabilitasnya (Azwar, 2009). Pengujian reliabilitas pada alat

ukur social dominance orientation menunjukkan alat ukur yang reliabel (15

aitem;α = .79). Pengujian reliabilitas alat ukur persepsi terhadap ospek sebagai

ajang kekerasan juga menunjukkan alat ukur yang reliabel (9 aitem; α = .82)

E. TEKNIK ANALISIS

Sebelum melakukan analisis data, kami terlebih dahulu menguji

asumsi-asumsi untuk melakukan analisis statistik parametrik (Field, 2009). Analisis

data yang akan kami lakukan adalah dengan teknik korelasi pearson. Teknik

ini mensyaratkan pengujian normalitas data pengukuran setiap variabel yang

akan dikorelasikan. Dalam penelitian ini normalitas kami identifikasidengan

melihat nilai skewness dan kurtosis. Suatu distribusi disebut sebagai normal

jika nilai skewness dan kurtosis bernilai di antara -1 sampai +1 (Field, 2009).

Analisis korelasi antara SDO dengan persepsi terhadap ospek sebagai ajang

(42)

BAB IV

ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti akan menguraikan gambaran umum partisipan

penelitian, hasil penelitian, dan pembahasan. Pembahasan diawali dengan analisis

data yang terdiri dari deskripsi partisipan penelitian, hasil uji asumsi linearitas,

hasil utama penelitian, dan dilanjutkan dengan pembahasan.

A. ANALISIS DATA

1. Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini merupakan mahasiswa dan mahasiswi

yang kuliah di perguruan tinggi negeri Universitas Sumatera Utara (USU).

Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 100 orang, yang terdiri dari 20

mahasiswa Fakultas Teknik Sipil, 20 mahasiswa Fakultas Ekonomi, 20

mahasiswa Fakultas MIPA, 20 mahasiswa Fakultas Pertanian, dan 20

mahasiswa Fakultas Hukum.

2. Uji Asumsi

Pengujian normalitas dari data penelitian dilakukan dengan melihat

skewness dan kurtosis distribusi nilai pada setiap variable penelitian. Hasil

analisis menunjukkan bahwa data terdistribusi normal, yaitu dengan nilai

skewness 0.553 dan kurtosis 0.621 (Mean=30.21; SD=6.027) pada variabel

SDO dan nilai skewness 0.201 dan kurtosis -0.459 (Mean=23.05; SD=8.018)

pada variabel Persepsi Terhadap Ospek Sebagai Ajang Kekerasan. Untuk lebih

(43)

32

3. Hasil Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara

Social Dominance Orientation(SDO) dengan persepsi terhadap Ospek sebagai

ajang kekerasan. Pengujian terhadap hipotesis penelitian yang menyatakan

bahwa terdapat hubungan yang positif antara skor SDO dengan persepsi

terhadap Ospek sebagai ajang kekerasan dilakukan lewat metode Pearson

Product Moment dengan menggunakan program komputer SPSS for windows

version 20.00.

Berdasarkan hasil olahan didapat nilai koefisien korelasi (r) yang positif

sebesar 0,52 pada signifikansi p = 0,001. Nilai yang positif bermakna

hubungan yang positif antara social dominance orientation dengan persepsi

terhadap ospek sebagai ajang kekerasan. Ini berarti kenaikan skor SDO akan

diikuti dengan kenaikan skor persepsi terhadap ospek sebagai ajang kekerasan.

Secara implikatif dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi SDO seseorang,

maka semakin tinggi kecenderungan orang tersebut untuk mempersepsikan

Ospek sebagai suatu rangkaian kegiatan yang memang diperuntukkan bagi

ajang kekerasan.

Dalam ilmu psikologi, konvensi Cohen (1988) digunakan untuk

menginterpretasikan effect size suatu hasil pengolahan data. Suatu koefisien

korelasi dengan nilai 0,10 menunjukkan asosiasi yang lemah, koefisien korelasi

bernilai 0,30 menunjukkan asosiasi sedang, dan koefisien korelasi ≥0,50 berarti

(44)

(r) penelitian ini memiliki effect size yang besar. Hal ini berarti terdapat

asosiasi yang kuat antara kedua variabel

4. Deskripsi Data Penelitian

Tujuan lain penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai

social dominance orientation (SDO) dan persepsi terhadap Ospek sebagai

ajang kekerasan dari partisipan penelitian. Untuk melihat gambaran mengenai

skor SDO peneliti menggunakan alat penelitian berupa skala SDO-6 yang

diberikan kepada partisipan. Setelah dilakukan uji reliabilitas terhadap ke 15

item skala SDO-6, peneliti menggunakan seluruh item yang termuat di dalam

skala karena uji daya beda item yang secara umum tergolong baik. Di dalam

penyajian setiap item diberikan 4 rentang pilihan jawaban dengan penskalaan

Likert, sehingga dihasilkan skor hipotetik minimum sebesar 15 dan skor

maksimum 60. Sementara berdasarkan hasil penelitian diperoleh partisipan

dengan skor minimum 18 dan skor maksimum 47.

Sedangkan pada pengukuran persepsi terhadap Ospek sebagai ajang

kekerasan terdapat 9 item yang digunakan dari 11 item awal yang diseleksi

berdasarkan uji daya beda item. Setiap item diformulasi ke dalam 5 rentang

pilihan jawaban dengan metode penskalaan semantik differensial, sehingga

dihasilkan skor hipotetik minimum sebesar 9 dan skor maksimum 45.

Sementara berdasarkan hasil penelitian diperoleh partisipan dengan skor

minimum 9 dan skor maksimum 45

Hasil perbandingan rata-rata empirik dan rata-rata hipotetik disajikan

(45)

34

Perbandingan mean empirik dan hipotetik SDO

Variabel Empirik Hipotetik

Perbandingan mean empirik dan hipotetik Persepsi

Variabel Empirik Hipotetik Tabel 2. Mean empirik dan mean hipotetik

Berdasarkan tabel di atas diperoleh bahwa rata-rata empirik dari setiap

variable penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata

hipotetiknya. Menggunakan analisis one sampel t-tes diperoleh hasil bahwa

partisipan penelitian memiliki SDO yang lebih rendah dibandingkan rata-rata

pada umumnya (?? ? ? ?? ?? < ??? ? ?? ??? ? = −1 2 .0 9 5 ? = .0 0 1). Hasil ini

menunjukkan bahwa rata-rata partisipan memiliki derajat kecenderungan

mendominasi yang cukup rendah. Begitu juga untuk variabel persepsi

diperoleh hasil bahwa partisipan penelitian memiliki persepsi terhadap Ospek

sebagai ajang kekerasan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata pada

umumnya (?? ? ? ?? ?? < ?

(46)

B. PEMBAHASAN

Di dalam penelitian ini kami menguji hubungan antara orientasi dominasi

sosial dengan persepsi mahasiswa tentang ospek sebagai ajang kekerasan yang

lumrah dan wajar. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi yang positif

antara derajat orientasi dominasi sosial yang dimiliki individu dengan persepsi

ospek sebagai ajang kekerasan yang wajar dan lumrah. Ini berarti bahwa

semakin tinggi derajat orientasi dominasi sosial, maka semakin individu

memiliki kecenderungan untuk memaklumi dan menyetujui perlakuan

kekerasan di dalam ospek. Selanjutnya, pembahasan akan kami fokuskan

tentang mengapa asosiasi ini dapat terjadi, kelemahan penelitian, masukan

untuk penelitian lanjutan, dan bagaimana pengetahuan tentang hasil penelitian

ini dapat diaplikasikan di dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan teori social dominance individu dengan skor SDO yang

tinggi akan mendukung hirarki berbasis kelompok (Pratto & Sidanius, 1999).

Lebih spesifik lagi, dukungan itu diwujudkan ke dalam bentuk keyakinan yang

sengaja ditanamkan dari generasi ke generasi bahwa hirarki berbasis kelompok

sudah menjadi cara hidup (the way of life) di dalam suatu lingkungan sosial,

yang disebut hierarchy-enhancing belief (Sidanius, Pratto, & Rabinowitz,

1994). Mengacu kepada teori tersebut, istilah senioritas dapat dilihat sebagai

apa yang dimaksud oleh teori social dominance sebagai hierarchy-enhancing

belief. Senioritas di kampus merupakan istilah yang biasanya dipergunakan

untuk menggambarkan hubungan antara senior-junior. Senioritas umumnya

(47)

36

membedakan di antara junior dengan senior dan dengan yang lebih senior atau

stambuknya lebih tua lagi. Pada implikasinya senioritas ini terlihat dari

bagaimana kerasnya para senior di dalam memperlakukan junior mereka, yang

paling menonjol terlihat lewat cara mereka memberikan Ospek kepada

juniornya di kampus. Itulah sebabnya pada umumnya kampus dengan

senioritas yang kuat/ tinggi biasanya akan terkenal dengan Ospek yang lebih

menyiksa atau lebih berat. Lewat metode Ospek yang keras, para senior

berusaha menanamkan nilai-nilai senioritas yang tinggi dan berkesempatan

untuk mempertahankannya dari tahun ke tahun. Bersamaan dengan itu,

persepsi senior pun akan terbentuk mengenai Ospek sebagai suatu ajang

kekerasan. Dengan skor yang tinggi pada pengukuran persepsi terhadap Ospek

sebagai ajang kekerasan, seorang individu akan berkecenderungan untuk

menganggap perlakuan-perlakuan ala Ospek sebagai suatu hal yang wajar.

Berdasarkan 3 struktur trimorfik dari teori social dominance (sistem usia,

gender, dan kesewenangan), senior di kampus setidak-tidaknya dimotori oleh

dua dari ketiga sistem yang ada. Yang pertama sistem usia (age system):

sejalan dengan konsep senioritas yang dibahas sebelumnya, sistem yang

berlaku pada proses pelaksanaan di kampus akan memberikan kekuatan

sepenuhnya kepada senior atas juniornya. Yang kedua sistem kesewenangan

(arbitrary set system): peraturan tak tertulis yang terkenal berlaku di dalam

Ospek adalah (1) senior selalu benar, (2) senior tidak pernah salah, dan (3) jika

senior salah kembali kepada poin 1 dan 2. Peraturan ini memang sifatnya tidak

(48)

rektorat ataupun pemerintah. Akan tetapi di dalam dunia Ospek, apa yang

terjadi memang berjalan sesuai dengan peraturan ini. Oleh karena itu setiap

junior wajib mengikuti arahan dan perintah dari seniornya. Bahkan untuk

hal-hal yang tidak lagi wajar hingga membahayakan diri mereka sekalipun mereka

akan tetap melakukannya karena yang memerintahkannya adalah senior

mereka yang tidak pernah salah.

Orientasi dominasi sosial (SDO) dalam hubungannya dengan kekerasan

telah dilihat oleh beberapa penelitian terdahulu. Dalam satu penelitian yang

dilakukan oleh Perkins & Bourgeois, individu-individu yang memiliki SDO

tinggi ternyata berkecenderungan lebih untuk menilai penggunaan senjata oleh

polisi dalam melaksanakan tugasnya sebagai hal yang lumrah dibandingkan

dengan orang-orang yang memiliki SDO rendah (Perkins & Bourgeois, 2006).

Berdasarkan hasil dari penelitian tersebut, SDO dapat dianggap sebagai suatu

faktor kepribadian yang mempengaruhi persepsi mengenai penggunaan

tindakan kekerasan kepada orang lain. Penelitian lain menunjukkan bahwa

orang-orang yang memiliki SDO tinggi menilai bahwa pengambilan tindakan

hukum yang keras dan kejam sebagai suatu hal yang patut dilakukan kepada

tertuduh (Capps, 2002; Sidanius, Mitchell, Haley, & Navarrette, 2006).

Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Hess, Gray, dan Nunez menguji

hubungan antara orientasi dominasi sosial dengan persepsi individu mengenai

penerapan hukuman fisik. Studi tersebut menghasilkan temuan bahwa individu

dengan level SDO tinggi memiliki kecenderungan untuk mempersepsikan

(49)

38

(abusement) sebagai hukuman fisik yang dianggap biasa (Hess, Gray, &

Nunez, 2012).

Hasil yang didapat dari penelitian ini saling memperkuat dengan

penelitian-penelitian sebelumnya seperti yang tersebut di atas. Untuk kesekian

kalinya dalam setting penelitian orientasi dominasi sosial (SDO) terlihat

mempunyai hubungan dengan kekerasan. Oleh karenanya, sebagai kelanjutan

dari penelitian ini kami berharap agar SDO dapat dipandang sebagai suatu

faktor kepribadian ataupun konstruk psikologis yang memiliki suatu

keterkaitan dengan kekerasan yang terdapat di tengah-tengah lingkungan

sosial. Selanjutnya sebagai implikasi dari penelitian ini, para stake holder

seperti pemerintah, pihak kampus dan dekanan dapat menerapkannya ke dalam

proses perekrutan keanggotaan panitia Ospek maupun komponen-komponen

lain yang beresiko untuk menyalahgunakan posisinya sebagai jalan melakukan

tindak kekerasan kepada maba peserta Ospek. Salah satu cara sebagai implikasi

dari penelitian ini adalah dengan mengukur derajat orientasi dominasi sosial

(SDO) terhadap calon panitia sebagai acuan untuk menyeleksi senior yang

akan mengospek itu untuk diterima dalam kepanitiaan. Individu yang memiliki

level SDO tinggi sebaiknya tidak diijinkan untuk melakukan Ospek atau

ditolak menjadi panitia. Hal ini dapat menjadi suatu langkah pencegahan yang

dapat dilakukan untuk mengurangi probabilitas munculnya lagi perilaku

kekerasan terhadap mahasiswa baru (maba) di dalam Ospek.

Penelitian ini menggunakan metode korelasional noneksperimen, di

Gambar

Tabel 1. Kontinum Skala Persepsi
Tabel 2. Mean empirik dan mean hipotetik

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah ada hubungan negatif yang signifikan antara persepsi terhadap interaksi sosial dalam facebook dengan

Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kekerasan orangtua, dan ada hubungan negatif yang sangat

Hipotesis yang diajukan adalah: Ada hubungan positif antara persepsi terhadap dukungan sosial dengan motivasi berprestasi pada karyawan. Subjek dalam penelitian ini adalah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat hubungan positif antara persepsi terhadap harapan orangtua dengan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang mantap antara persepsi brand image dengan keputusan pembelian ulang oleh subscribers Majalah Kawanku Kata Kunci

Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dipahami bahwa korelasinya bersifat positif sehingga menunjukkan adanya hubungan yang searah, artinya semakin tinggi persepsi terhadap

Skripsi Hubungan Antara Persepsi Istri Tentang Kekerasan Dalam.. Baiq

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian yaitu terdapat hubungan negatif antara persepsi terhadap kekerasan emosional yang dilakukan orangtua dengan konsep diri