• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Kota Makassar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau pulau kecil Kota Makassar"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)

DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KOTA MAKASSAR

ROSMAWATY ANWAR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2011

(4)
(5)

ROSMAWATY ANWAR. Development and Sustainability of Marine Tourism in the Coastal Areas and Small Islands of Makassar City. Supervised by FREDINAN YULIANDA, DIETRIECH G. BENGEN, and MENNOFATRIA BOER.

This research aims: (1) to identify the potenty and condition of coastal areas and small islands of Makassar City for developing marine tourism, (2) to analyze suitability and carrying capacity of the coastal and small islands tourism areas of Makassar City for marine tourism development, (3) to analyze sustainability of the marine tourism development in coastal areas and small islands of Makassar City, (4) to formulate policy strategies for marine tourism development in Makassar City. Biogeophysics data are collected by field survey while social, economic, culture and policy data was collected by using interview techniques, supported by secondary data from the previous researches. Data analysis methods are spatial analysis using SIG, suitability and carrying capacity analysis of marine ecotourism, economic valuation analysis using Travel Cost Approach sustainable analysis use the RAPFISH approach, with five attributes i.e. ecology, economic, social-culture, technology and infrastructure, and law

and institution. Furthermore, policy analysis use A’WOT (AHP and SWOT integration)

approach. The results indicate that tourism area for diving has the largest suitable area i.e. 82,376 ha which are almost available in all islands with carrying capacity of 1435 person/ day. The S1 diving tourism are found in 5 islands and covering larger area (57,431 ha) than that of S2 diving tourism (24,945 ha). The result of Rapsaeco analysis indicate that sustainability on ecological (62.27%), economic (54.03%), social-cultural (55,53%) and law-institution (51.1%) dimensions are sustainable, however, dimension of technology and infrastructure (49,54%) are unsustainable. The results of policy analysis on SWOT components indicate that strength component place the first priority, then followed by threats, opportunities and weaknesses as a second, third and fourth priorities. Based on the analysis of policy strategies on development and sustainability of marine tourism of Makassar City there are 3 policy strategies which placed a high priority i.e. (1) development of snorkling and diving tourism on small islands by rehabilitation of important habitats (0.321) as the first priority, (2) development of coastal tourism on the coastal areas (0.195) as the second priority, and (3) determining of landscape of marine tourism area and infrastructures (0.161) as the third priority. Key words: marine tourism, coastal areas and small islands, sustainability, and

(6)
(7)

Rosmawaty Anwar. Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar. Pembimbing: Fredinan Yulianda, Dietriech G. Bengen, dan Mennofatria Boer.

Pengembangan wisata bahari di Kota Makassar sangatlah prospektif mengingat Kota Makassar terletak di pesisir pantai bagian selatan Pulau Sulawesi dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sehingga kaya akan sumberdaya hayati laut maupun buatan yang antara lain: memiliki garis pantai sepanjang 35,22 km dan mempunyai 11 pulau-pulau kecil dengan luas keseluruhan 178,5 ha, memiliki panorama pantai dan pemandangan bawah laut yang sangat indah, terdapat berbagai obyek wisata pantai yang telah ada dan cukup terkenal seperti Pantai Losari, serta ditunjang oleh kedudukan Kota Makassar sebagai Water Front City. Kawasan pulau-pulau kecil Kota Makassar berada pada satu gugusan pulau yaitu gugusan Kepulauan Spermonde. Jarak antar pulau sangat dekat. Namun kondisinya saat ini belum siap ”jual” untuk daerah tujuan wisata bahari unggulan. Kondisi terumbu karang di pulau-pulau kecil Kota Makassar sudah sangat mengkhawatirkan akibat laju eksploitasi yang meningkat, akibatnya terjadi penurunan persentase penutupan terumbu karang yang akan berdampak terhadap keberadaan ikan karang dan biota laut lainnya (Depbudpar, 2007). Selain itu, sepanjang garis pantai di Pantai Losari terus mengalami reklamasi ke arah laut yang semakin tidak terkendali untuk pengembangan wisata bahari tanpa memperhitungkan azas kesesuaian dan daya dukung kawasan. Apabila hal ini terus berlanjut, maka diduga akan terjadi degradasi dan disfungsi sumberdaya alam. Agar pengembangan wisata bahari dapat dilaksanakan dengan optimal dan lestari, maka kajian yang meliputi analisis kesesuaian dan daya dukung kawasan, valuasi ekonomi, keberlanjutan dan kebijakan pengembangan sangat diperlukan sehingga tercapai pengembangan destinasi wisata unggulan yang komprehensif dan integral dengan penerapan prinsip wisata berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengidentifikasi potensi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk pengembangan wisata bahari, (2) menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar bagi pengembangan wisata bahari, (3) menganalisis keberlanjutan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, (4) merumuskan strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar.

Penelitian dilaksanakan di lima lokasi wisata bahari di wilayah pesisir dan di sepuluh pulau-pulau kecil di Kota Makassar yang berlangsung pada bulan Mei 2007 dan November 2010. Data biogeofisik dikumpulkan melalui survey lapang, sedangkan data sosial, ekonomi, budaya, dan kebijakan dikumpulkan melalui wawancara, dan dilengkapi unsur data sekunder dari penelitian yang telah ada. Metode analisis data terdiri dari analisis kesesuaian dan daya dukung wisata bahari dengan pendekatan

spasial dengan menggunakan SIG, analisis keberlanjutan dengan menggunakan

RAFFISH yang dimodifikasi berdasarkan kriteria ekologi, ekonomi, sosial-budaya,

teknologi dan infrastruktur, dan kelembagaan. Selanjutnya, dilakukan analisis kebijakan dengan pendekatan analisis A’WOT.

Hasil analisis berbagai kesesuaian wisata bahari memperlihatkan bahwa wisata

diving memiliki luasan kesesuaian yang terbesar yaitu 82,376 ha dan terdapat hampir di

(8)

yaitu 57,413 ha daripada kelas S2 yaitu 24, 945 ha. Hasil analisis kesesuaian wisata pantai di wilayah pesisir menunjukkan bahwa Pantai Tanjung Bunga sangat sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi dengan panjang garis pantai adalah 6443 m.

Hasil analisis keberlanjutan menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi ekologi (62,27%), ekonomi (54,03%), sosial-budaya (55,53%) dan dimensi hukum dan kelembangaan (51,10%) termasuk dalam status cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi infrastruktur dan teknologi (49,54%) termasuk dalam status belum berkelanjutan. Hasil analisis travel cost menunjukkan bahwa jarak, umur dan koefisien biaya perjalanan memiliki korelasi positif dengan tingkat kunjungan wisatawan, sedangkan tingkat pendapatan berkorelasi negative dengan tingkat kunjungan wisatawan.

Hasil analisis kebijakan terhadap komponen SWOT menunjukkan bahwa komponen strenght (kekuatan) menempati prioritas pertama dalam pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar, kemudian diikuti oleh komponen threats (ancaman), opportunities (peluang), dan

weaknesses (kelemahan) sebagai prioritas ke dua, ke tiga, dan ke empat. Berdasarkan

(9)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011. Hak Cipta di Lindungi Undang-Undang

1) Dilarang Mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber :

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(10)
(11)

DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

KOTA MAKASSAR

Oleh:

ROSMAWATY ANWAR

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Etty Riani, M.Si.

2. Dr. Ir. Aris Munandar, MS

Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. Sudirman Saad, SH, MH.

(13)

Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar

Nama : Rosmawaty Anwar

NRP : C261040091

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui :

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA. Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Dekan SekolaPascasarjana Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA. Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(14)
(15)

Ucapan syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul

“Pengembangan dan Keberlanjutan Wisata Bahari di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau

Kecil Kota Makassar” . Pengembangan wisata bahari ini sangat penting untuk dikaji,

karena memanfaatkan jasa-jasa lingkungan dari sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan obyek wisata yang potensial dengan keanekaragaman budaya yang harus dilestarikan karena dapat menopang kepentingan pemerintahan daerah serta mata pencaharian masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan wisata bahari tersebut.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G, Bengen, DEA., dan Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, M.Sc., sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan, motivasi sejak mulai penulisan proposal hingga penyelesaian disertasi ini. 2. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah

memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan S3 di Institut Pertanian Bogor.

3. Koordinator Kopertis Wilayah IX Sulawesi yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor

4. Ketua STITEK BALIK DIWA Makassar yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor

5. Sembah sujud kepada Kedua orang tua tercinta (Alm) yang telah membesarkan, mendidik, dan tiada hentinya mendoakan keberhasilan anaknya.

6. Terima Kasih yang tak terhingga penulis persembahkan kepada saudara-saudara saya: Alauddin Anwar, S.H, M.Hum. dan ST Rahma Anwar S.E, dan seluruh keluarga yang tidak dapat disebutkan atas bantuan dan doanya selama ini.

7. Penghargaan yang tak terhingga penulis sampaikan kepada suami tercinta Dr Ramli, S.Pd.,M.Pd., dan anak – anak tersayang Andi Nina Luthfianty, Andi Ihdinannisa Anindyka, Andi Muhhammad Nur Fauzan, Andi Fadel Muhamammad Fathan, dan Hurul Ainul Thahira Wildani, atas segala kasih sayang dan pengorbanan yang kalian berikan pada ibu, dengan penuh kesabaran serta pengertian mendampingi ibu selama menjalani pendidikan, sehingga ibu tetap semangat menyelesaikan studi.

8. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS. 9. PT. Damandiri di Jakarta yang memberikan bantuan dana penelitian 10. PEMKOT Kota Makassar yang telah memberikan bantuan dana penelitian 11. PEMDA TK I Sulawesi – Selatan yang memberikan bantuan dana penelitian. 12. PEMDA TK II Gowa Provinsi Sulawesi – Selatan yang memberikan bantuan dana

Penelitian.

13. Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Coremap Mitra Bahari Jakarta yang telah memberikan bantuan dana penelitian.

14. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Jakarta yang telah memberikan bantuan dana Penelitian.

15. Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan dana (Hibah Doktor).

(16)

moril dalam penyelesaian disertasi ini.

18. Dr. Ir. Rahman Kurniawan M.Si yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan moril dalam penyelesaian disertasi ini.

19. Saudara Ir. Muh. Awir dan Ir. Muh. Alim yang telah sangat membantu penulis dalam penyelesaiaan disertasi.

20. Saudara Ir. Wawan dan seluruh rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu penulis selama pengambilan data di lapangan.

21. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Semoga Allah SWT memberkahi dan melimpahkan Rahmat dan Taufiknya. Amin. Bogor,Juli 2011

(17)

Penulis dilahirkan di Ujung Pandang (sekarang Makassar) pada tanggal 12 September 1967, merupakan anak ke dua dari lima bersaudara dari keluarga Bapak Anwar Karim Daeng Raja dan Ibu Sitti Lapang Daeng Sanga. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1979 di SD Negeri No.2 Jeneponto, Sulawesi-Selatan, Sekolah Menengah Pertama di Madrasah Tsanawiyah Negeri No.1 Jeneponto pada tahun 1982, dan Sekolah Menengah Atas di Madrasah Aliyah Negeri No.1 Makassar pada tahun 1985. Selama menjalani pendidikan di SD, penulis mendapat kesempatan memperoleh beasiswa murid berprestasi dari yayasan Supersemar dua tahun berturut-turut. Penulis kembali mendapatkan beasiswa ”Siswa Berprestasi” dari yayasan Supersemar untuk tingkat SMP pada tahun 1981 dan untuk tingkat SMA pada tahun 1984. Penulis melanjutkan pendidikan sarjana (S1) di Universitas Hasanuddin pada tahun 1985 melalui jalur Proyek PMDK (Penelusuran Minat dan Keahlian). Penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin pada tahun 1990. Selama menjalani kuliah pendidikan sarjana (S1), penulis kembali mendapat beasiswa Supersemar dan beasiswa Tunjangan Ikatan Dinas untuk Dosen (TID) dalam lingkup Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIRJEN DIKTI).

(18)
(19)

3.3.5 Teknik Penentuan Responden ... 51 Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ... 74

4.3.1 Pesisir Kota Makassar ... 74 PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR... 87

5.1 Kondisi dan Potensi Sumberdaya Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Untuk Pengembangan Wisata Bahari.. 87

5.1.1 Ekosistem Terumbu Karang ……… 87

5.3 Kualitas Air Di Perairan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kota Makassar ………... 104

(20)

xxi

5.3.2 Perairan Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar ………. 105

5.4 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan untuk Wisata Bahari... 107

5.4.1 Kesesuaian Pemanfaatan Kawasan Pesisir untuk Wisata Bahari ………... 108

5.4.2 Kesesuaian Pulau-Pulau Kecil untuk Wisata Bahari 115 5.5 Daya Dukung Kawasan untuk Wisata Bahari ……… 129

5.6 Pengembangan Wisata Bahari Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ……….. 133

5.6.1 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Pantai Di Kawasan Pesisir ……….. 133

5.6.2 Luas dan Kapasitas Pengembangan Wisata Bahari Di pulau-Pulau Kecil ……… 139

6 KEBERLANJUTAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAUKECIL KOTA MAKASSAR… 151 6.1 Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi ……….. 151

6.2 Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi ……… 156

6.3 Status Keberlanjutan Dimensi Sosial-Budaya …………... 159

6.4 Status Keberlanjutan Dimensi Infrastuktur dan Teknologi 165 6.5 Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan.. 168

7 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KOTA MAKASSAR ………. 175

7.1 Komponen SWOT ………. 175

7.2 Komponen Strength (Kekuatan) ……… 176

7.3 Komponen Weaknesses (Kelemahan) ……… 177

7.4 Komponen Opportunities(Peluang) ……….. 179

7.5 Komponen Threats(Ancaman) ………. 181

7.6 Strategi Kebijakan Pengembangan Wisata Bahari ……… 183

8 KESIMPULAN DAN SARAN ………. 189

8.1 Kesimpulan ……… 189

8.2 Saran ……….. 190

DAFTAR PUSTAKA ... 191

LAMPIRAN ... 201

(21)
(22)

xxiii

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Matriks Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Wisata

Mangrove ..………... 58 2. Matriks Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Rekreasi………. 59 3. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Wisata Selam ... 60 4. Matriks Kesesuaian Wisata Bahari Kategori Wisata

Snorkling ... 61 5. Potensi Ekologis Pengunjung (K) dan Luas Area Kegiatan

(Lt)……… 62

6. Prediksi Waktu yang Dibutuhkan setiap Kegiatan Wisata

Bahari ………... 63 7. Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari berdasarkan

Hasil Analisis RAPSAECO………... 65

8. Luas, Panjang Garis Pantai dan Jarak masing-masing Pulau

di Kota Makassar ... 69 9. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Jumlah

Keluarga ... 77 10. Ketersediaan Sumber Air Bersih Pulau-pulau Kecil Kota

Makassar ………. 81

11. Sarana dan Prasarana Sosial Pulau-pulau Kecil

Kota Makassar ………. 82

12. Dermaga Di Pulau-pulau Kecil Kota Makassar... 83 13. Persentase Tutupan Karang di Pulau-pulau Kecil

Kota Makassar pada Kedalaman 10 meter ... 88 14. Persentase Tutupan Karang di Pulau-pulau Kecil

Kota Makassar pada Kedalaman 3 meter ... 88 15. Kualitas Air di Sekitar Perairan Pesisir

Kota Makassar ... 105 16. Kualitais Air di Perairan Pulau-pulau Kecil

Kota Makassar ... 106 17. Kesesuaian Wisata Bahari berbagai Kategori di

Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar... 126 18. Daya Dukung Wisata Bahari berbagai Kategori

di Kawasan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar ... 131 19. Luas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata Pantai

(23)

20. Kapasitas Kawasan Potensial untuk Wisata Pantai Kategori

Rekreasi dan Mangrove Di wilayah Pesisir…... 136 21. Luas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata Bahari

Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar... 140 22. Kapasitas Kawasan Potensial untuk Pengembangan Wisata

Bahari Di Pulau-Pulau Kecil Kota Makassar... 141 23. Perbedaan Nilai Indeks Keberlanjutan Analisis Rapseico

dengan Monte Carlo ……… 173

24. Hasil Analisis Rapseico untuk Nilai Stress dan RSQ…... 173 25. Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan

Komponen Weaknesses ……………….. 178 26. Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan

Komponen Opportunities…………... 180 27. Matriks Skala Prioritas Kebijakan Wisata Bahari berdasarkan

Komponen Threats………...... 182 28. Matriks Prioritas Alternatif Kebijakan Wisata Bahari dengan

(24)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian..……….. 9 2. Komponen Kawasan Pesisir Secara terpadu ………... 11 3. Skema Konsep Pariwisata Pesisir ….………... 21 4. Skema Konsep Ekowisata... 25 5. Prosedur dan Proses Pembuatan Kebijakan)……… 43 6. Peta Lokasi Penelitian di Wilayah Pesisir Kota Makassar …. 53 7. Peta Wilayah Penelitian di Kawasan Pulau-pulau Kecil

Kota Makassar ………. 54

8. Illustrasi Penentuan Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari…... 65 9. Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau

Barrang Lompo, Bonetambung dan Barrang Caddi... 93 10. Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau

Kodingareng Keke, Samalona dan Kodingareng Lompo…… 94 11. Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau

Lumu-lumu dan Lumu-lumu Kecil ………. 95 12. Peta Sebaran Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Pulau

Lancukang dan Langkai... 96 13. Peta Ekosistem dan Kondisi Eksisting Di Wilayah

Pesisir Kota Makassar... 101 14. Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Rekreasi

Di Wilayah Pesisir... 109 15. Peta Kesesuaian Wisata Pantai Kategori Mangrove

Di Wilayah Pesisir... 114 16. Peta Overlay berbagai Kesesuaian Wisata Bahari

di Pulau Langkai dan Lancukkang... 116 17. Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari

Pulau Kodinggareng Keke dan Pulau Samalona... 117 18. Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari Pulau

Lumu-lumu di Kawasan Pulau-pulau Kecil Kota Makassar....

117 19. Peta Hasil Overlay berbagai Kesesuaian Wisata Bahari di

Pulau Kayangan... 119 20. Peta Overley berbagai Kesesuaian Wisata Bahari Pulau

(25)

21. Peta Overlay Kesesuaian Wisata Pantai dengan Potensi

dan Jenis Kegiatan Di Kawasan Pesisir Kota Makassar... 137 22. Peta Arahan Pengembangan Wisata Pantai Kategori Rekreasi

dan Mangrove Di Wilayah Pesisir Kota Makassar... 138 23. Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi

Eksisting Di Pulau Lancukang dan Langkai …………... 143 24. Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi

Eksisting Di Pulau Bonetambung, Barrang Lompo dan

Barrang Caddi …... 144 25. Peta Overlay Ksesuaian Wisata Bahari dan Kondisi

Eksisting Di Pulau Kayangan dan Lae-lae ………. 145 26. Peta Arahan Pengembangan Pulau Barrang Lompo,

Bonetambung, dan Barrang Caddi …………... 146 27 Peta Arahan Pengembangan Pulau Kodinggareng Keke,

Kodinggareng Lompo, dan Samalona ………. 147 28. Peta Arahan Pengembangan Pulau Lancukang, dan

Barrang Caddi ………... 148 29. Peta Arahan Pengembangan Pulau Lumu-Lumu ……… 149 30. Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata Bahari Di Pesisir

dan PPK Kota Makassar pada Dimensi Ekologi ………. 152 31. Peran setiap Atribut Dimensi Ekologi dinyatakan

dalam Bentuk Perubahan RMS ………... 153 32. Nilai Indeks Keberlajutan Pengembangan Wisata Bahari

pada Dimensi Ekonomi ………... 157

33. Peran setiap Atribut Dimensi Ekonomi dinyatakan dalam

Bentuk Perubahan Nilai RMS ……… 157 34. Nilai Indek Keberlajutan Pengembangan Wisata

Bahari pada Dimensi Sosial Budaya ………... 160

35. Peran Setiap Atribut Dimensi Sosial Budaya

dinyatakan dalam Bentuk Nilai RMS ……… 161

36. Nilai Indeks Keberlajutan Pengembangan Wisata

Bahari pada Dimensi Infrastruktur ……… 165

37. Peran setiap Atribut Dimensi Infrastruktur dan Teknologi yang dinyatakan dalam Bentuk Perubahan

Nilai RMS (Root Mean Square) ……….. 166

38. Nilai Indeks Keberlanjutan pada Dimensi Hukum

dan Kelembagaan ……… 169

(26)

xxvii

yang Dinyatakan dalam Bentuk Perubahan Nilai RMS... 40. Diagram Layang-layang Nilai Indeks Keberlanjutan Wisata

Bahari di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kota

Makassar ………. 172

41. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

SWOT dengan Metode AWOT ……….. 175

42. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

Strength dengan Metode AWOT ………... 176

43. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

Weaknesses dengan Metode AWOT ………... 177 44. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

Opportunities dengan Metode AWOT ………... 180

45. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

Threats dengan Metode AWOT ……….. 181

46. Skala Prioritas Kebijakan berdasarkan Komponen

SWOT dengan Metode AWOT ………... 183

(27)
(28)

xxix

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan dalam Penelitian... 203 2. Morfologi Pantai pulau-Pulau Kecil Kota Makassar …... 204 3. Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Bonetambung,

Barrang Lompo dan Barrang Caddi ….………... 205 4. Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Kodinggareng Keke

dan Pulau Samalona... 206 5. Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Lancukang dan Pulau

Langkai ………. 207

6. Peta Kesesuaian Wisata Pantai di Pulau Kayangan …………. 208 7. Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Barrang Lompo,

Bonetambung, dan Pulau Barrang Caddi ………. 209 8. Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Lancukang dan

Langkai ………. 210

9. Peta Kesesuaian Wisata Selam di Pulau Lumu-Lumu... 211 10. Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Bonetambung,

Barrang Lompo, dan Barrang Caddi …... 212 11. Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Kodinggareng

Keke dan Samalona ……….. 213

12. Peta Kesesuaian Wisata Snorkling Di Pulau Lancukang dan

Langkai... 214 13. Peta Snorkling Di Pulau Lumu-Lumu... 215 14. Hasil Analisis Kesesuaian Wisata Diving di Pulau-pulau

(29)
(30)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sebanyak 13.466 dan garis pantai sepanjang 95.18 km, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan perairan laut yang besar seperti: terumbu karang, mangrove, dan pantai. Berdasarkan kondisi tersebut, pengembangan wisata bahari merupakan salah satu pilihan yang paling strategis dari segi ekonomi, sehingga potensi wisata bahari ini akan memiliki daya saing tinggi dibandingkan dengan potensi serupa di negara-negara lainnya.

Pembangunan wisata bahari merupakan salah satu pilihan yang paling strategis dengan konsep pengembangan wisata berkelanjutan (sustainable tourism

development) sebagaimana menjadi pedoman pengembangan pariwisata oleh

United Nation World Tourism Organization (UNWTO) yang mengandung arti

bahwa pembangunan pariwisata harus dapat turut serta menjaga kesinambungan pembangunan dan pelestarian sumberdaya alam, sekaligus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi komunitas setempat.

Pembangunan wisata bahari pada prinsipnya adalah merubah bentuk kegiatan dari daratan ke bahari dan merubah pola fikir dari wisata massal (mass tourism) menjadi wisata yang berkualitas (quality tourism), dari wisata dengan pendapatan yang sebesar-besarnya (high income) menjadi wisata dengan pemerataan pendapatan bagi semua stakeholder ( rational income distribution to

the people) dan dari memanfaatkan lingkungan menjadi mendayagunakan

lingkungan. Dari sisi permintaan, wisata bahari Indonesia sangat potensial untuk dikembangkan. Survey wisatawan mancanegara (wisman) tahun 2008 menunjukkan bahwa kunjungan wisman untuk tujuan wisata alam yang berhubungan dengan pantai mencapai 25,33% dari seluruh responden yang disurvey (Hermantoro, 2009) dan hasil penelitian Passenger Exit Survey (2005) in

(31)

(1) memberikan pelayanan terbaik bagi wisatawan di alam kebaharian Indonesia, (2) menciptakan iklim kondusif bagi investasi industri wisata bahari, (3) menciptakan keterpaduan pengembangan wisata bahari yang berkelanjutan, dan (4) mengembangkan produk wisata bahari dengan pola kemitraan diantara pelaku wisata bahari.

Pengalokasian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi kawasan pengembangan wisata bahari yang berbasis konservasi dan masyarakat, merupakan wujud nyata upaya pengelolaan sumberdaya alam demi keberlanjutan pemanfaatannya. Pengembangan wisata bahari di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan salah satu pendekatan terkini dalam sebahagian besar program-program pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil. Pengembangan wisata bahari dapat dianggap sebagai manifestasi keinginan masyarakat untuk mempertahankan keberadaan sumberdaya alam pesisir dan laut bagi pemenuhan kebutuhannya untuk dapat dimanfaatkan secara lestari, kebutuhan untuk menikmati keindahan alam, dan kebutuhan untuk melindungi hak sebagai pemilik sumberdaya dari pengguna luar.

(32)

Kondisi yang sama terjadi di kawasan pesisir Kota Makassar yang memiliki arti strategis untuk pengembangan wisata bahari karena berbatasan langsung dengan Selat Makassar, sehingga memiliki potensi sumberdaya alam (pantai berpasir, mangrove) dan jasa-jasa lingkungan yang berpotensi untuk pengembangan wisata bahari seperti potensi wisata pantai, wisata mangrove, wisata budaya, dan wisata sejarah yang beragam, menarik dan cukup terkenal. Jenis wisata yang dikembangkan saat ini di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar secara langsung adalah: wisata Pantai Losari, Pantai Akkarena, Pantai Tanjung Bunga, dengan kegiatan wisata seperti berperahu, berenang, sky air, memancing serta olahraga pantai, berjemur, dan piknik menikmati atmosfer laut. Wisata theme park dan out bound yang ada disini adalah di Trans Studio dan Pantai Akkarena. Wisata sejarah dan budaya yaitu Benteng Rotterdam, Benteng Sombaopu, Taman Miniatur Sulawesi-Selatan, dan Pelabuhan Rakyat Paotereq (DKP Kota Makassar 2010; Dinas Pariwisata Kota Makassar, 2010).

Pengembangan wisata bahari di Kota Makassar ditunjang pula oleh kedudukan Kota Makassar sebagai water front city yang merupakan pintu gerbang Indonesia bagian timur. Kondisi ini, menempatkan posisi Kota Makassar berada di garis depan sebagai penyambut kedatangan wisatawan dari mancanegara maupun nusantara dan merupakan tempat diselenggarakannya berbagai kegiatan seperti bisnis, seminar, lokakarya dan festival bahari (Debora, 2003).

(33)

Beragamnya sumberdaya yang terdapat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, maka sangat berpotensi untuk pengembangan wisata bahari. Namun hal tersebut belum dapat diubah menjadi kekuatan ekonomi riil, karena pengelolaannya belum dilakukan secara berkesinambungan. Selain itu, kerjasama yang kongkrit antara pihak pengelola kawasan wisata dengan instansi daerah terkait serta pihak-pihak swasta sebagai investor belum optimal. Kegiatan wisata yang dikembangkan belum sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung kawasan. Masalah utama pulau-pulau kecil adalah terbatasnya ketersediaan air minum, rendahnya kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembagaan, serta pembuangan limbah cair dan padat akibat pengembangan industri wisata yang tak terencana.

Dalam rangka menghindari terjadinya degradasi dan disfungsi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar akibat tingginya aktivitas wisata yang telah berkembang selama hampir sepuluh tahun, maka perlu dilakukan suatu kajian pengembangan wisata bahari secara terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan semua komponen stakeholder yang berkepentingan di kawasan pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir sehingga dapat memanfaatkan asset yang ada secara optimal. Pengembangan wisata bahari di kawasan ini dapat berdampak positif bagi masyarakat dan lingkungan. Oleh karena itu, saat ini sangat perlu dilakukan penelitian pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari. Penelitian pengembangan dan keberlanjutan wisata bahari ini menganalisis kesesuaian pemanfaatan dengan potensi dan daya dukung kawasan yang diintegrasikan dengan status keberlanjutan dan strategi pengembangan. Sehingga, pengembangan wisata bahari di Kota Makassar diharapkan tidak hanya dapat mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar secara partisipatif dan menjaga keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Adanya kondisi ini diharapkan tercapai keberlanjutan pengembangan wisata bahari Kota Makassar menjadi daerah tujuan wisata bahari unggulan dalam pengembangan wisata bahari.

(34)

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan wisata bahari dengan mengandalkan potensi alam yang ada di kota Makassar belum bisa memberikan kontribusi yang signifikan karena belum dikelola secara serius dan professional sehingga belum dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut. Pengelolaan wisata bahari yang dilaksanakan saat ini, relatif belum ada keterpaduan antar berbagai sektor sehingga terjadi konflik pemanfaatan oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Begitu pula, kebijakan pengembangan wisata bahari belum terfokus dan belum mempertimbangkan aspek sosial dan ekologi secara terpadu.

Perkembangan jumlah wisatawan pada kawasan-kawasan wisata di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar telah mengakibatkan berbagai dampak yang sangat merugikan antara lain: pencemaran air, banyak terjadi akumulasi sampah, kerusakan terumbu karang, memburuknya nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat, dan terjadi kemacetan lalulintas di daerah-daerah wisata pada setiap hari libur.

Keterbelakangan kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil juga disebabkan oleh minimnya ketersediaan sarana dan prasarana serta infrastruktur yang memadai. Lemahnya kemampuan lembaga organisasi ekonomi masyarakar pesisir dan pulau-pulau kecil juga berpengaruh terhadap rendahnya kesejahteraan masyarakat serta kurangnya sarana dan prasarana air bersih, perhubungan, penerangan, dan komunikasi di pulau-pulau kecil. Pengembangan kegiatan wisata maupun penyediaan penunjang kepariwisataan khususnya di pulau-pulau kecil, berdampak pada lingkungan fisik, sosial, budaya dan ekonomi pulau-pulau kecil tersebut.

(35)

Sementara itu, peraturan-peraturan yang sudah ada yang terkait dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, belum tentu bisa langsung diterapkan sama untuk setiap pulau-pulau kecil. Setiap pulau memiliki karakteristik yang khas, demikian juga dengan kegiatan wisata yang sangat beragam jenis dan skalanya. Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan–pertimbangan khusus dalam pengembangan kegiatan wisata bahari di putau-pulau kecil. Perlu ditentukan pulau-pulau kecil mana dan dengan karakteristik seperti apa yang dapat dikembangkan. Selain itu juga perlu ditentukan peruntukan kegiatan wisata bahari seperti apa yang sesuai, dengan pembangunan sarana dan prasarana yang juga harus direncanakan dengan cermat.

Segenap kendala tersebut di atas, bukan berarti pesisir dan khususnya pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-kaidah ekologis, tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung (carrying capacity) suatu pulau dan dampak negatif pembangunan hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pesisir dan pulaunya. Selain itu, setiap kegiatan pembangunan yang akan dikembangkan di suatu pulau seyogyanya memenuhi skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal.

Upaya meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan akibat pengembangan wisata bahari, beberapa langkah dapat ditempuh antara lain pengalokasian berbagai kegiatan wisata bahari dengan mempertimbangkan kesesuaian kawasan untuk peruntukan kegiatan wisata bahari dan kemampuan daya dukung dari kawasan untuk menyediakan lahan dan sumberdaya bagi setiap kegiatan pembangunan. Oleh karenanya, pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil untuk berbagai peruntukan kegiatan wisata bahari harus memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan.

Berdasarkan uraian di atas, secara umum permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

(36)

2. Bagaimana agar pengembangan wisata bahari sesuai dengan potensi yang ada serta sesuai dengan daya dukung wisata bahari.

3. Bagaimana pengembangan wisata bahari di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dikelola secara berkelanjutan (sustainable

developmet) dan seseuai dengan aspirasi masyarakat lokal.

4. Bagaimana agar kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kota Makassar dapat menunjang pengembangan wisata bahari.

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menilik potensi dan kondisi kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar untuk pengembangan wisata bahari.

2. Mengevaluasi kesesuaian dan daya dukung kawasan wisata pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dalam pengembangan wisata bahari. 3. Mengevaluasi keberlanjutan pengembangan wisata bahari di kawasan

pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar.

4. Merumuskan strategi kebijakan pengembangan wisata bahari di Kota Makassar.

1. 4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi tentang kondisi sumberdaya, tingkat kesesuaian dan daya dukung kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dalam pengembangan wisata bahari.

2. Pemerintah daerah: sebagai pedoman dalam penyusunan perencanaan pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan.

3. Masyarakat (stakeholder): memberikan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah bagi masyarakat yang akan menginvestasikan modalnya dalam pengembangan wisata bahari secara berkelanjutan di pesisir dan pulau-pulau kecil.

(37)

1.5 Kebaruan

Wisata non ekowisata (industri wisata) dengan ekowisata dianalisis secara holistik yang memadukan daya dukung kawasan wisata bahari dengan daya dukung infrastruktur/kebutuhan ruang dalam pengembangan wisata bahari. Konsep kebaruannya adalah memadukan konsep ekowisata dengan konsep wisata non ekowisata (industri wisata) dalam satu sistem manajemen yang saling menguatkan antara pengelolaan ekowisata dengan pengelolaan wisata non ekowisata dalam mengembangkan sektor wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dengan menggunakan analisis daya dukung kawasan (DDK) yang berorientasi pada daya dukung ekologi dan kebutuhan ruang. Tingkat kesesuaian dan daya dukung wisata bahari diintegrasikan dengan status keberlanjutan pengembangan wisata bahari, serta memberikan arahan strategi kebijakan pengembangan, sehingga pengelolaan ekowisata di pulau-pulau kecil dapat berimbang dan saling memperkuat dengan pengelolaan non ekowisata di wilayah pesisir.

1.6 Kerangka Pemikiran

Pembuatan arahan kebijakan pengembangan kawasan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar, dibutuhkan data-data biofisik kawasan serta kondisi sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Beberapa analisis yang digunakan meliputi: analisis potensi kawasan, analisis kesesuaian pemanfaatan, analisis daya dukung kawasan, analisis keberlanjutan wisata bahari, dan analisis kebijakan. Melalui serangkaian analisis tersebut, maka didapatkan arahan kebijakan pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar menjadi kawasan wisata bahari berkelanjutan. Program atau kebijakan pengembangan didasarkan atas kesesuaian dan daya dukung kawasan. Kesesuaian kawasan dianalisis dari beberapa peta tematik seperti rencana tata ruang kawasan (RTRW) dan produk tata ruang lainnya, land use, land suitability

(38)

wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Makassar dapat dilihat dari berbagai aspek yang diperlukan guna pembangunan yang optimal dan berkelanjutan (Gambar 1).

Pengembangan Wisata Bahari

(39)
(40)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Batasan dan Karakteristik Kawasan Pesisir

Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa kawasan pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut kearah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai.

Kawasan pesisir adalah kawasan dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang-surut, angin laut, dan intrusi garam (Bengen, 2004). Selanjutnya, dikatakan bahwa batas di laut adalah daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi kegiatan-kegiatan manusia di daratan. Kawasan pesisir secara konseptual merupakan interaksi komponen ekologi, sosial, dan ekonomi (Gambar 2).

Gambar 2. Komponen kawasan pesisir secara terpadu ( Bengen, 2004).

Bentuk pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa lingkungan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri atas pemanfaatan sumberdaya dapat pulih

(renewable resources) dan tidak dapat pulih (nonrenewable resources) serta jasa

lingkungan. Sumberdaya dapat pulih berupa ekosistem hutan mangrove, ekosistem terumbu karang, ekosistem padang lamun, dan ekosistem estuaria. Sumberdaya tidak dapat pulih berupa mineral hydrothermal, energi kelautan, bahan tambang, serta gas biogenik kelautan (methan). Jasa-jasa lingkungan

(enviromental services), pada umumnya berupa wisata bahari, wisata pulau-pulau

kecil, wisata sejarah, wisata budaya, dan transportasi laut (Bengen 2006).

Ekologi i

(41)

Pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil merupakan suatu proses perencanaan, pemanfatatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Undang-Undang RI. No 27 Tahun 2007). Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu memiliki pengertian bahwa pengelolaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut dilakukan melalui penilaian secara terpadu (comprehensive assesment) guna mencapai pembangunan kawasan pesisir dan laut yang optimal dan berkelanjutan.

Perencanaan dan pengelolaan tersebut dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek sosial-ekonomi-budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir (stakeholders) serta konflik kepentingan dan pemanfaatan yang mungkin ada (Dahuri et al, 2001). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).

Pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu merupakan suatu pendekatan pengelolaan yang meliputi lima dimensi keterpaduan yaitu: (1) keterpaduan ekologis, (2) keterpaduan sektor, (3) keterpaduan stakeholder, (4) keterpaduan disiplin ilmu, dan (5) keterpaduan antar negara (Cicin-Sain 1998 in Darajati et al, 2004). Selanjutnya, Goodwin (1999) mengemukakan bahwa program pengelolaan kawasan pesisir dapat dikatakan efektif apabila memenuhi empat syarat yaitu: (1) diwujudkan dalam bentuk kebijakan formal untuk tujuan revitalisasi waterfront yang rusak, (2) mempunyai bantuan teknis atau keuangan dalam bentuk kemitraan, (3) meningkatkan manfaat sosial dan ekonomi pada masyarakat, dan (4) penambahan aksesibilitas publik terhadap air, kerusakan lingkungan, dan memelihara situs dan struktur sejarah.

(42)

timbal balik antara fungsi ekosistem dan kebutuhan masyarakat dan nilai-nilainya, (4) keputusan proses pengambilan keputusan yang efesien, dan (5) implementasi program. Selanjutnya, Christie et al (2003) mengemukakan bahwa salah satu faktor penting terhadap keberlanjutan program pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu adalah dukungan dari seluruh pemangku kepentingan, oleh karena dengan adanya konflik kepentingan ataupun konflik persepsi di antara konstituen atau stakeholder (nelayan, LSM, swasta, penyelenggara wisata bahari, pemerintah, ilmuwan) akan menimbulkan ketidakpuasan diantara mereka sehingga dapat menimbulkan konflik pemanfaatan diantara stakeholder yang dapat berakibat terancamnya keberlanjutan kegiatan pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu.

Dahl (1997) mengemukakan bahwa kunci keberhasilan dalam pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu adalah partisipasi masyarakat dan nelayan, oleh karena masyarakat dan nelayan adalah sebagai pemegang kepentingan utama dalam pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Masyarakat dan nelayan selaku pemegang kepentingan utama memiliki variabel sosial yaitu: ketersediaan pengaturan pengelolaan sumberdaya secara formal, tingkat kepatuhan masyarakat, dan pelaksanaan pemantauan. Keseluruhan variabel sosial ekonomi masyarakat dan nelayan dapat menjadi insentif atau disinsentif masyarakat untuk bekerjasama dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya

Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Masyarakat ini merupakan masyarakat nelayan yang terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan dan organisme laut lainnya, pedagang ikan, pengolah ikan, suplier faktor sarana produksi perikanan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya non-hayati laut dan pesisir untuk menyokong kehidupannya (Nikijuluw, 2003).

(43)

ekonominya untuk menghidupi keluarga sendiri, dengan skala yang begitu kecil sehingga hasilnya cukup untuk memenuhi kebutuhan jangka waktu sangat pendek.

Secara sosiologis, karakteristik sosial masyarakat pesisir berbeda dengan karakteristik sosial masyarakat agraris. Karakteristik masyarakat agraris, yaitu pengelolaan lahan untuk produksi suatu komunitas dengan output yang relatif dapat diprediksi, sehingga mobilitas produksi relatif rendah dan elemen resiko pun tidak terlalu besar. Karakteristik masyarakat nelayan, yaitu kondisi sumberdaya bersifat terbuka (open acses), menyebabkan nelayan harus berpindah-pindah untuk memperoleh hasil yang maksimal, sehingga elemen resikonya menjadi sangat tinggi. Kondisi sumberdaya yang berisiko menyebabkan nelayan memiliki karakter keras, tegas dan terbuka (Satria, 2002).

Smith (1979) in Yusuf (2007) mengemukakan bahwa kekuatan asset

perikanan (fixity and rigidity of fishing assets) adalah alasan (reasoning) utama mengapa nelayan tetap tinggal atau bergelut dengan kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kemiskinan merupakan indikator ketertinggalan masyarakat pesisir. Berdasarkan jenisnya, kemiskinan terdiri atas tiga jenis utama yaitu: 1) kemiskinan struktural, 2) kemiskinan super-struktural, dan 3) kemiskinan kultural. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor variabel eksternal (struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif/disinsentif, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi, dan ketersediaan sumberdaya alam di luar individu. Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro (fiskal, moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, pemerintah dalam proyek dan program pembangunan), yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel (tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu, serta ketaatan pada panutan) yang melekat, inheren, dan menjadi gaya hidup tertentu (Nikijuluw, 2003).

(44)

jumlah total individu-individu tetapi merupakan suatu sistem yang dibentuk oleh bersatunya mereka dalam suatu realitas spesifik yang memiliki karakteristiknya sendiri. Selanjutnya, Durkheimian memandang bahwa yang mempersatukan masyarakat adalah budaya, sehingga dalam masyarakat yang stabil tidak ada konflik kepentingan (sosial, material idiologis) dari satu kelompok atas kelompok yang lain.

Dinamika dan partisipasi masyarakat hanya bisa dilakukan bila nilai-nilai budaya berbagai etnik dipahami secara utuh. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat telah berkembang kondisi disintegrasi sosial budaya yang justru menimbulkan sikap anomi. Penyebabnya adalah para pengambil keputusan acap kali mengabaikan nilai-nilai budaya masyarakat setempat dalam melakasanakan pembangunan nasional dan daerah. Nilai-nilai kearifan tradisi yang berkembang di masyarakat sesungguhnya dapat dijadikan sebagai energi untuk menggerakkan dinamika pembangunan (Meiyani, 2004).

2.2. Batasan dan Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Pulau Kecil adalah pulau yang berukuran kecil yang secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland) dan memiliki batas daratan yang pasti, dan mempunyai penduduk 0,5 juta jiwa atau kurang (Dahuri 2001). Undang-undang RI tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil mengemukakan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya.

(45)

Batasan yang sama juga digunakan oleh Hess (1990), namun dengan jumlah penduduk kurang dari atau sama dengan 500.000 orang. Namun demikian, ternyata banyak pulau yang berukuran antara 1000 – 2000 m memiliki karakteristik dan permasalahan yang sama dengan pulau yang ukurannya kurang dari 1000 km2, sehingga diputuskan oleh UNESCO tahun 1991 bahwa batasan pulau kecil adalah pulau dengan luas area kurang dari atau sama dengan 2000 km2 (Bengen, 2006).

Pulau-pulau kecil memiliki empat karakteristik, yaitu : (1) secara ekologis terpisah dari pulau induknya (mainland island), memiliki batas fisik yang jelas dan terisolasi dari habitat pulau induk, sehingga besifat insular, (2) memiliki proporsi spesies endemik lebih besar daripada yang terdapat di pulau induk, (3) daerah tangkapan air (catchment area) relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk kelaut, akibatnya pulau kecil selalu peka terhadap kekeringan dan kekurangan air, dan (4) dari segi sosial ekonomi budaya, masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas (DKP, 2001).

Pengelolaan pulau-pulau kecil dimaksudkan untuk memberdayakan serta meningkatkan kemampuan kawasan dalam mengelola potensi kelautan dan perikanan secara terintegrasi dan menyeluruh, melalui kemampuan daerah, partisipasi publik, dunia usaha, serta dukungan penmerintah. Pulau-pulau kecil pada prinsipnya memiliki tiga fungsi bagi proses pembangunan, yaitu fungsi ekologi, sosial budaya, dan ekonomi. Ketiga fungsi ini akan diperoleh apabila keberadaan sumberdaya kelautan tetap terjaga, meskipun dari waktu ke waktu dimanfaatkan sebagai modal pembangunan (DKP, 2001). Konsep integrasi harus dipikirkan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil untuk menyesuaikan kondisi geografi dan sosial ke seluruh pulau dan perairannya sebagai suatu kawasan, sehingga pengelolaan dapat sesuai dengan perencanaan pengelolaan. Pengelolaan mungkin dapat memperlemah suatu efektifitas program, yang mana kegagalan dalam implementasi program dapat dihubungkan dengan pembatas kelembagaan di dalam pemerintahan (Butler, 2002).

(46)

bagi pembangunan pulau-pulau kecil itu sendiri. Beberapa karakter khusus tersebut adalah:

a. Ukuran yang kecil dan terisolasi, sehingga penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka.

b. Kesukaran atau ketidak mampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi, dan transportasi turut menghambat pembangunan hampir semua pulau-pulau kecil di dunia (Brookfield 1990; Hei 1990 in Dahuri 1998). c. Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air

tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu system pulau kecil dan menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunan. d. Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang terdapat

disetiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat disekitar pulau (seperti ekosistem terumbu karang dan perairan pesisir) saling terkait satu sama lain secara erat.

e. Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan (McElroyet al. 1990 in Dahuri 1998).

Simatupang (1998), beberapa karakteristik dapat dicermarti pada pulau-pulau kecil sehingga merupakan kendala dalam pembangunannya yaitu:

1. Ukuran kecil dan lokasinya terpencil/terisolasi.

2. Pulau-pulau kecil banyak yang belum berpenduduk, kalaupun ada relatif terbelakang, pendidikannya rendah serta sulit mendapatkan tenaga kerja yang memadai keterampilannya.

3. Sulit atau ketidakmampuan untuk mencapai skala ekonomi yang optimal dan menguntungkan dalam hal administrasi, usaha produksi dan transportasi yang turut menghambat pembangunan.

4. Keterbatasan material yang tidak dimiliki pulau-pulau kecil. 5. Budaya lokal kadang kala bertentangan dengan pembangunan.

(47)

Kelembagaan juga masih menjadi kendala pembangunan pulau-pulau kecil, diantaranya konplik penggunaan ruang yang belum teratasi. Di sini terlihat masih kentalnya pola pendekatan pembangunan sektoral yang hanya memperhatikan masing-masing sektor, dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain.

2.3 Pengembangan Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Wisata adalah pergerakan temporer wisatawan ke ODTW di luar tempat mereka tinggal dan bekerja. Selama tinggal di ODTW tersebut, mereka melakukan kegiatan rekreasi di tempat yang terdapat fasilitas akomodasi untuk memenuhi kebutuhan mereka (Mathieson dan Wall 1982 in Debora 2003). Orams (1999) in Baksir (2010) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan suatu kegiatan rekreasi dari satu tempat lain dimana laut sebagai media tempat mereka. Hidayah (2000) menyatakan bahwa wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang ada hubungannya dengan laut seperti santai di pantai menikmati alam sekitar, berenang, berperahu, berselancar, menyelam dan dan berwisata kealam laut menikmati terumbu karang dan biota laut, obyek purbakala, kapal karam, pesawat tenggelam, serta berburu ikan-ikan laut. Pembangunan wisata bahari diarahkan untuk memanfaatkan jasa-jasa lingkungan ekosistem pesisir dan laut dalam rangka meningkatkan ekonomi masyarakat dan menambah devisa negara. Oleh karena itu, keindahan dan kenyamanan, kekayaan dan keanekaragaman ekosistem pesisir serta keunikannya, harus dirawat dan dilestarikan.

(48)

kepentingan semua pihak, (4) prinsip edukatif yaitu untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi terhadap alam, budaya dan nilai-nilai peninggalan sejarah serta memberikan nilai tambah dan pengetahuan bagi pengunjung, masyarakat dan pihak terkait (DKP, 2009).

Berdasarkan batasan wisata bahari, ada lima syarat kecukupan yang perlu dipertimbangkan dalam menganalisis kecukupan wisata yaitu: (1) pemanfaatan lingkungan untuk perlindungan (konservasi), (2) partisipasi aktif masyarakat lokal, (3) produk wisata harus mengandung pendidikan dan pembelajaran; (4) dampak lingkungan yang rendah, dan (5) memberikan kontribusi positif terhadap ekonomi lokal (Sekartjakrarini dan Legoh 2004).

Hall (2001) membagi wisata bahari atas dua jenis yaitu wisata pesisir dan wisata bahari. Wisata pesisir berhubungan dengan kegiatan pleasure dan aktifitas rekreasi yang dilakukan di kawasan pesisir dan perairan lepas pantai, meliputi rekreasi menonton ikan paus dari pinggiran pantai, berperahu, memancing,

snorkling dan menyelam, sedangkan wisata bahari berhubungan dengan wisata

pantai tetapi lebih mengarah pada perairan laut dalam seperti memancing di laut dalam dan berlayar dengan kapal pesiar.

2.3.1 Wisata Pesisir

Wisata pesisir adalah wisata yang memanfaatkan daerah pertemuan antara darat dan laut, ke arah darat kawasan pesisir meliputi: bagian daratan, baik kering maupun terendam air, maupun yang masih dipengaruhi oleh pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin (Supriharyono, 2000). Menurut Undang-undang No.32/2004 kewenangan pengelolaan sumber daya laut adalah 4 mil diukur dari garis pantai ke arah laut untuk kabupaten kota, sedangkan untuk provinsi adalah 12 mil.

(49)

karang, mangrove, hingga cagar budaya (Hall, 2001). Lebih lanjut dikatakan bahwa dalam perkembangan wisata pesisir, diperlukan aksesibilitas ke lokasi wisata guna mengoptimalkan potensi sumberdaya wisata dan peluang pasar wisata.

Wisata pesisir merupakan kegiatan wisata yang semua kegiatan wisatanya mengandalkan daya tarik alami lingkungan pesisir dan laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Apabila kawasan hinter landnya dimanfaatkan untuk pemukiman, maka sistem pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata berkelanjutan yang memperhatikan daya dukung fisik dan sosial (Wong, 1991).

Wisata pesisir merupakan salah satu bentuk usaha yang potensial untuk dikembangkan karena kegiatan/aktivitas wisatanya dilakukan di kawasan pesisir, yang memiliki sumberdaya alam hayati yang cukup tinggi serta karakteristik alamnya yang unik dengan berbagai keindahan alam yang terdiri dari berbagai jenis satwa liar, tumbuhan, bentang alam dan panorama alam, baik dari segi kuantitatif panjang pantainya, kualitas keragaman pisik dan visualnya. Selain itu, peninggalan sejarah dan budaya masyarakat juga merupakan daya tarik wisata, baik untuk wisatawan domestik maupun mancanegara (Bjork, 2000). Pelaksanaan wisata pesisir akan berhasil apabila memenuhi berbagai komponen yakni terkait dengan kelestarian lingkungan alami, kesejahteraan penduduk yang mendiami kawasan pesisir, kepuasan pengunjung yang menikmati dan keterpaduan komunitas dengan area pengembangannya (Nurisyah 2006; Hamdiah 2004).

Wisata pesisir menyediakan kegiatan rekreasi yang telah diminati oleh sekolompok sosial tertentu dalam masyarakat Indonesia maupun dunia, dan sudah dikenal sejak dulu. Wisata pesisir diasosiasikan dengan tiga ”S” (sun, sea, dan

sand) artinya jenis wisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir bersih. Kegiatan rekreasi di kawasan pesisir antara lain scuba diving, berenang, pemancingan berselancar, berjemur, berdayung, snorkling, berlayar, boating dan ski air, berjalan-jalan atau berlari di sepanjang pantai, menikmati keindahan alam dan kedamaian suasana pesisir serta bermeditasi (Fandeli, 2000).

(50)

pengunjung untuk mencintai alam yang disebut back to nature. Dalam penyelenggaraannya, wisata pesisir seperti tersebut di atas tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah. Wisata pesisir dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya (Smith, 1979 in Rahmadani 2005).

Hamdiah (2004) mengemukakan bahwa konsep wisata pesisir yaitu manusia memperoleh output langsung berupa hiburan dan pengetahuan sedangkan

output langsung bagi alam yakni adanya insentif yang dikembalikan untuk

mengelola kegiatan konservasi alam. Output tidak langsung yaitu berupa tumbuhnya kesadaran dalam diri setiap orang (wisatawan) untuk memperhatikan sikap hidup sehari-hari agar kegiatan yang dilakukan tidak berdampak buruk pada alam. Kesadaran ini tumbuh sebagai akibat dari kesan yang mendalam yang diperoleh wisatawan selama berinteraksi secara langsung dengan lingkungan pantai (Gambar 3).

Input

Output tak langsung

Input Manusia

Output langsung Konservasi alam

Output langsung hiburan, pengetahuan

Wisata Bahari

Gambar 3. Skema konsep wisata pesisir (*istilah pesisir digunakan untuk menggantikan istilah “pantai“ sebagai nama tempat) (Hamdiah, 2004).

(51)

2.3.2 Ekowisata

Istilah ecotourism diterjemahkan menjadi ekowisata, yaitu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan atau kegiatan wisata yang dilakukan yang berkaitan dengan alam dan lingkungan sehingga membuat wisatawan tergugah untuk mencintai alam dan disebut back to nature (Ziffer 1989; Young 1992; Valentine 1993; Scace 1993 in Baksir 2010). Hal tersebut mengandung arti bahwa ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian area yang masih alami, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat.

Dowling (1995) mengemukakan bahwa ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan yang masih alami dan memberikan manfaat secara ekonomi serta tetap mempertahankan keutuhan dan kelestarian budaya masyarakat setempat. Ada beberapa padanan istilah ecotourism antara lain: nature-based tourism, green travel, low impact tourism,village based tourism, sustainable tourism, cultural

tourism, heritage tourism dan natural tourism.

Carter dan Lowman (1994), mendefinisikan ekowisata sebagai suatu bentuk perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah alami yang lingkungannya dilindungi dan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk lokal. Selanjutnya Carter dan Lowman (1994) mengemukakan ada 4 gambaran perjalanan yang berlabel ekowisata, yaitu:

1. Wisata berbasis alam (nature based tourism)

2. Kawasan konservasi sebagai pendukung obyek lingkungan

(conservation supporting system).

3. Wisata yang sangat peduli lingkungan (environmentally aware tourism)

4. Wisata yang berkelanjutan( sustainability run tourism).

(52)

a. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusaha obyek dan daya tarik wisata alam serta usaha-usaha yang terkait dibidang tersebut.

b. Wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam.

c. Pengusaha pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan azas konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem.

Ekowisata merupakan suatu model pengembangan wisata yang menghargai kaidah-kaidah alam dengan melaksanakan program pembangunan dan pelestarian secara terpadu antara upaya konservasi sumberdaya alam dengan pengembangan ekonomi masyarakat secara berkelanjutan (Fandeli, 2000). Sedangkan, Bjork ( 2000), menjelaskan ekowisata merupakan suatu bentuk wisata yang mengandalkan nilai sumberdaya alam dan budaya yang pemanfaatannya bersifat tidak konsumtif yang dapat menciptakan lapangan kerja dan pendapatan untuk peningkatan ekonomi masyarakat lokal dan untuk upaya konservasi sehingga, dapat dikatakan bahwa ekowisata merupakan suatu pengalaman perjalanan alam yang dapat berkontribusi terhadap konservasi lingkungan guna menjaga dan meningkatkan integritas sumberdaya alam dan elemen sosial dan budaya. Oleh karena itu, ekowisata dalam penyelenggaraannya tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi dengan peralatan yang serba mewah atau bangunan artivisial yang berlebihan. Ekowisata dalam penyelenggaraannya dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way live), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna, serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam ekowisata, wisatawan yang datang tidak semata-mata untuk menikmati alam sekitar tetapi juga mempelajarinya sebagai peningkatan pengetahuan atau pengalaman (Undang-Undang No.9 Tahun 1990).

(53)

dan budaya masyarakat lokal dengan tidak melakukan ekploitasi (Dowling, 1997). Lebih lanjut dikatakan bahwa kegiatan ekowisata merupakan kegiatan wisata yang memanfaatkan jasa alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya, kebutuhan psikologis wisatawan, serta untuk memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan. Dymond (1997) memberikan batasan ruang ekowisata yang meliputi: (1) ekowisata menginginkan pengalaman yang masih asli, (2) layak dijalani secara pribadi dan secara sosial, (3) tidak dalam bentuk perjalanan yang ketat dan ekstrim, (4) memberikan tantangan fisik dan mental, (5) terdapat interaksi antara budaya dan penduduk lokal, (6) dapat toleran terhadap ketidaknyamanan, dan (7) dapat bersikap aktif.

Pengembangan ekowisata adalah merupakan suatu kegiatan pemanfaatan kawasan alami yang berazaskan pelestarian alam dan keberpihakan pada masyarakat setempat agar mereka tetap mempertahankan budaya lokal mereka, dan pengembangan wisata tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan dengan cara mengatur conservation tax untuk dapat membiayai secara langsung kebutuhan kawasan dan kebutuhan masyarakat lokal (Masberg dan Morales, 1999). Sedangkan, Tisdel (1996) mengemukakan bahwa apabila ekowisata digunakan sebagai jaringan pemasaran, terbukti bukan hanya dapat meningkatkn hasil penjualan paket wisata dan dapat pula meningkatkan minat konsumen, tetapi juga dapat meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam. Oleh karena itu, konsep pariwisata merupakan alat pengelolaan sumberdaya alam dengan tujuan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat lokal.

Ekowisata menghasilkan output langsung maupun tidak langsung baik kepada manusia maupun kepada alam. Output langsung bagi manusia berupa unsur hiburan dan penambahan pengetahuan yang langsung dirasakan oleh manusia, sedangkan output bagi alam adalah perolehan dana yang sebagian akan difungsikan untuk mengelola kegiatan konservasi alam secara swadaya. Output

(54)

guide/pendamping. Manusia (wisatawan) dan alam (termasuk di dalamnya kehidupan penduduk setempat) menjadi input dari kegiatan ekowisata (Hamdiah 2004).

Gambar 4. Skema konsep ekowisata (Hamdiah, 2004)

2.4. Pengembangan Wisata Bahari dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan Di Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Cooper (1993) mengemukakan pariwisata adalah serangkaian kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh perorangan atau keluarga atau kelompok dari tempat tinggal asalnya ke berbagai tempat lain dengan tujuan melakukan kunjungan wisata dan bukan untuk bekerja atau mencari penghasilan ditempat tujuan. Kunjungan dimaksud bersifat sementara (1 hari, 1 minggu, 1 bulan) dan pada waktunya akan kembali ke tempat tinggal semula. Terdapat dua elemen penting wisata yaitu: perjalanannya itu sendiri dan tinggal sementara di tempat tujuan dengan berbagai aktivitas wisatanya.

Pariwisata adalah sebuah industri yang penting karena hampir 10% jumlah pekerja dunia ini bekerja di sektor pariwisata. Tidak kurang dari 11% GDP seluruh dunia juga berasal dari sektor pariwisata. Diperkirakan jumlah orang yang bepergian/berwisata akan menjadi dua kali lipat pada tahun 2020 atau sekira 1,6 miliar orang. Itu artinya, bahwa dalam 10 tahun ke depan sektor pariwisata menjadi sangat vital dan akan menjadi tulang punggung pendapatan berbagai negara (Mulyanto, 2003).

Pariwisata berkelanjutan adalah penyelenggaraan pariwisata bertanggung jawab yang memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia saat ini, tanpa

Output tak langsung

Output langsung (konservasi)

swdaya) Input

Output langsung (hiburan, pengetahuan) Alam

Gambar

Gambar 3.  Skema konsep wisata pesisir (*istilah pesisir digunakan untuk
Gambar  6.  Peta lokasi penelitian di wilayah pesisir Kota Makassar
Gambar  7.   Peta lokasi penelitian di  pulau-pulau Kecil Kota Makassar
Tabel  1.  Matriks kesesuaian  wisata pantai kategori rekreasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS KEBUAKAN PENGEMBANGAN WISATA BAHARI DALAM PENGELOLAAN PULAU-PULAU KlECIL.. SECARA

Strategi pengembangan potensi wisata bahari pada Pulau Mantang Besar dan Mantang Kecil Kepulauan Anambas yaitu; dimensi ekologi dengan menerapkan konsep ekowisata

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan tentang Evaluasi Pelaksanaan Strategi Dinas Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Dalam Pengembangan Wisata Bahari Pada Daerah

Dalam peningkatan kunjungan wisata di objek wisata bahari Pulau Banyak perlu dilakukan suatu pengembangan pariwisata dengan konsep pembangunan yang berkelanjutan, dimana

yang sesuai dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui potensi kegiatan wisata bahari yang masih bisa dikembangkan dengan mengkaji kesesuaian kawasan dan

Maka dari itu penelitian ini di fokuskan pada Strategi Pengembangan Prasarana Dan sarana Objek Wisata Bahari Pulau Sembilan di Kabupaten Sinjai yang juga di maksudkan agar

Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan pariwisata bahari mangrove berkelanjutan sedang (Mangrove Gunung Anyar) berfokus pada jenis atraksi wisata, event

Konsep Blue Economy Dalam Pengembangan Wilayah Pesisir dan Wisata Bahari di Indonesia Erik Aprilian Donesia1 Pujo Widodo2 Herlina Juni Risma Saragih3 Panji Suwarno4 Widodo5 Keamanan