• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENGELOLAAN CAGAR ALAM KAMOJANG

DAN JASA LINGKUNGAN PANAS BUMI

VELLA PUTIKSARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Strategi Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

(4)

RINGKASAN

VELLA PUTIKSARI. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi. Dibimbing oleh ENDES NURFILMARASA DAHLAN

dan LILIK BUDI PRASETYO.

Cagar Alam Kamojang merupakan salah satu kawasan hutan konservasi yang bukan hanya mengalami berbagai tekanan fisik yang mengancam kelestariannya, tetapi juga mengakomodasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber energi panas bumi pertama kali di Indonesia, yaitu sejak tahun 1918. Sejak proses eksplorasi panas bumi dijalankan di Cagar Alam Kamojang, telah terjadi perubahan terhadap kondisi ekologi maupun sosial ekonomi. Permasalahan Cagar Alam Kamojang terkait dengan pembukaan lahan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi yang disertai dengan aktifitas destruktif masyarakat menyebabkan semakin bertambahnya luas deforestasi dan terganggunya peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan.

Penelitian ini memiliki tiga tujuan utama sebagai berikut: 1) Mengukur laju perubahan penutupan hutan dan mengidentifikasi faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi; 2) Mengidentifikasi kegiatan pemanfaatan panas bumi serta dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan; dan 3) Merumuskan strategi prioritas pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan jasa lingkungan panas bumi.

Hasil analisis citra landsat menunjukkan bahwa tipe tutupan lahan berupa hutan masih mendominasi tutupan lahan di Cagar Alam Kamojang dengan luasan sebesar 4231.26 ha atau menutupi kawasan Cagar Alam Kamojang dengan persen penutupan hutan sebesar 51.17%. Berdasarkan hasil tersebut, kondisi hutan Cagar Alam Kamojang periode 2000-2011 termasuk dalam status terganggu. Gangguan terhadap kawasan hutan Cagar Alam kamojang, diantaranya pembukaan lahan hutan oleh PT PGE Kamojang (8.9%) serta perambahan kawasan dan penebangan pohon oleh masyarakat (91.1%). Di sisi lain, faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi signifikan untuk pendapatan dengan nilai Sig sebesar 0.014 dan status kepemilikan lahan dengan nilai Sig sebesar 0.008. Kedua faktor ini mempengaruhi deforestasi di Cagar Alam Kamojang pada taraf nyata 5%.

Energi panas bumi merupakan energi yang terbarukan dan berkelanjutan serta merupakan fenomena alam pada ekosistem hutan konservasi. Pemanfaatan panas bumi memberikan dampak positif terhadap aspek kehidupan sosial budaya dan aspek perekonomian. Strategi prioritas berupa pemanfaatan panas bumi yang bersinergi dengan pelestarian fungsi cagar alam dapat dilakukan selama pengusahaan panas bumi di dalam kawasan konservasi dapat menjamin gangguan ekologis masih di bawah ambang batas dengan menginternalisasikan pertimbangan-pertimbangan ekologis dalam kegiatan operasionalnya serta tetap memperhatikan kaidah-kaidah atau prinsip kehati-hatian untuk mempertahankan daya dukung alam.

(5)

SUMMARY

VELLA PUTIKSARI. Strategi of Managing Kamojang Nature Reserve and Environmental Service of Geothermal. Supervised by ENDES NURFILMARASA DAHLAN and LILIK BUDI PRASETYO

Kamojang Nature Reserve is one of the conservation forest area not only experiencing various physical pressures by human that threaten its sustainability, but also accommodate the exploration and exploitation of geothermal energy sources first time in Indonesia, namely since 1918. Since the process of exploration of geothermal run in the Kamojang Nature Reserve, has occurred the emergence of change both in ecological and socio-economic conditions. Kamojang Nature Reserve problems associated with land clearing in the exploration and exploitation of geothermal activity accompanied by the increasing of human’s activity inside the forest causing widespread deforestation and disruption of the role of forest as provider of environmental services.

This study has three main objectives that include the followoing: 1) to measure the land cover change and identify socio-economic factors causing deforestation; 2) Identify the utilization of geothermal activity and its impact on social, economic and environmental; and 3) to formulate the strategy of managing Kamojang Nature Reserve and geothermal environmental services.

Analysis report from landsat image showed the type of land cover was dominated by forest for about 4231.26 ha with forest cover presentage around 51.17%. Based on these results, the condition of Kamojang Nature Reserve are included in impaired status. A disturbance in Kamojang Nature Reserve including forest clearing by PT PGE Kamojang (8.9%) and encroachment by human (91.1%). On the other hand, socio-economic factors causing deforestation was significant for revenue with the significant value of 0.014 and the status of land tenure with the significant value of 0.008. Both of these factors affect deforestation in the Kamojang Nature Reserve at the level significance of 5% (p-value<0.05).

Geothermal energy is considering as a renewable, sustainable energy and natural phenomenon that obtained from ecosystem of conservation forest. Utilization of geothermal energy has positive impact on the social-cultural aspect and economic aspect. Strategy priority such as geothermal utilization in synergy with conservation of nature reserve could be done as long as the operation of geothermal can ensure the ecological disturbance still below the threshold regarding to internalize ecological considerations in its operation, then focused on the principles of maintain the natural carrying capacity.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

STRATEGI PENGELOLAAN CAGAR ALAM KAMOJANG

DAN JASA LINGKUNGAN PANAS BUMI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Strategi Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi

Nama : Vella Putiksari NIM : E352110071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Endes N Dahlan, MS Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan

Dr Ir Ricky Avenzora, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim…

Teriring doa dan ucapan syukur kepada Allah SWT atas izin-Nya penulisan karya ilmiah ini dapat selesai.

Kepada yang saya hormati Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS (Ketua komisi pembimbing) yang telah sabar memberikan arahan dan wejangan serta melatih kemandirian penulis sehingga mampu menyelesaikan studi ini.

Kepada yang saya hormati Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc (Anggota pembimbing) yang telah memberikan masukan berharga serta melatih kemandirian penulis sehingga mampu menyelesaikan studi ini.

Kepada yang saya hormati penguji luar komisi Dr.Ir. Nandi Kosmaryandi, MSc dan ketua sidang Dr.Ir. Rachmad, MSc atas masukan berharga kepada penulis.

Ucapan terimakasih tak terhingga saya ucapkan kepada kedua orang tua yang tidak pernah terputus doanya untuk penulis; Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni dan Enung Nurahmat, SE, MPd; atas dukungan moril yang diberikan sehingga penulis dapat mengenyam dan menyelesaikan pendidikan Master di IPB.

Terimakasih yang tak terhingga terucap kepada Bapak Asep selaku Kepala Resort BKSDA atas kesediaan memberikan informasi mengenai Cagar Alam Kamojang dan mendampingi penelitian serta kepada Bapak Widodo selaku manajer HSE, Bapak Asep selaku manajer layanan umum, Bapak Joko selaku manajer SDM, dan Bapak Permadi pada divisi CSR atas kesediaan memberikan informasi mengenai pemanfaatan panas bumi di Kamojang.

Ucapan terima kasih kepada Ulfa S.Hut, MS, Irham S.Hut, Intan S.Hut, Adis S.Hut, Nararia S.Hut, dan Juan S.Hut atas kesediaan mendampingi penelitian dan kesabaran dalam membantu perolehan data sehingga penulis mampu menyelesaikan studi ini. Ucapan terima kasih kepada Eka, S. Stat dan Maya, S. Stat atas kesediaan dan kesabaran dalam membantu dan mengajarkan pengolahan data statistika. Terimakasih juga disampaikan kepada Mahasiswa MEJ 2011 atas kebersamaan yang indah selama masa kuliah.

Terimakasih senantiasa terucap kepada pihak yang telah membantu selama penelitian di lapang dan selama penulis menyelesaikan karya ilmiah ini. Terimakasih atas waktu, dukungan, doa, motivasi serta dukungan moral maupun moril kepada penulis.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 5

TINJAUAN PUSTAKA 9

Pemanfaatan Panas Bumi dan Dampaknya 9

Faktor Penyebab Deforestasi 10

Regresi Logistik 11

Proses Hierarki Analisis 12

METODE PENELITIAN 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Pengumpulan dan Pengolahan Data 13

Penentuan Desa 14

Pengukuran Laju Perubahan Penutupan Hutan 15

Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Deforestasi 18

Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi 21

Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi 21

KONDISI UMUM 25

Letak dan Luas 25

Kondisi Fisik dan Biologis Kawasan 25

Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar Kawasan 27

Pemanfaatan Sumberdaya Panas Bumi 28

HASIL DAN PEMBAHASAN 30

Pengukuran Laju Perubahan Penutupan Hutan 30

Status Hutan Cagar Alam Kamojang 38

Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Deforestasi 44

Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi 49

Tahapan Kegiatan Pengembangan Panas Bumi 51

Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi 55

(12)

SIMPULAN DAN SARAN 70

Simpulan 70

Saran 70

DAFTAR PUSTAKA 72

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Kategori Tingkat Pendapatan 19

Tabel 2 Kategori Tanggungan Keluarga 19

Tabel 3 Kategori Status Kepemilikan Lahan 20

Tabel 4 Kategori Mata Pencaharian Utama 20

Tabel 5 Kategori Tingkat Pendidikan 20

Tabel 6 Kategori Pengetahuan Mengenai Kawasan 21

Tabel 7 Rincian Jumlah Responden Pakar 22

Tabel 8 Nilai Skala Perbandingan Berpasangan Antarvariabel 23

Tabel 9 Kondisi Perubahan Penutupan Lahan Cagar Alam Kamojang Periode

2000-2011

33

Tabel 10 Kategori Kawasan Cagar Alam Kamojang Tahun 2000- 2011 38

Tabel 11 Indikator, Verifier dan Skala Intensitas Gangguan Hutan 38

Tabel 12 Deforestasi Cagar Alam Kamojang Periode 2000-2011 38

Tabel 13 Aktor Penyebab Deforestasi Cagar ALam Kamojang 39

Tabel 14 Reforestasi Cagar Alam Kamojang Periode 2000-2011 41

Tabel 15 Keberhasilan Penanaman PT PGE di Kawasan Cagar Alam Kamojang 42

Tabel 16 Luas Perubahan Hutan di Desa Sampel 44

Tabel 17 Faktor Sosial Ekonomi yang Mempengaruhi Deforestasi 45

Tabel 18 Tingkat Pendapatan Rumah Tangga (Rp) 46

Tabel 19 Jumlah Kepala RT menurut Status Kpeemilikan Lahan Tiap Desa 48

Tabel 20 Peringkat Aspek Prioritas 63

Tabel 21 Peringkat Sasaran Prioritas dari Aspek Pelestarian Fungsi Ekologi 64

Tabel 22 Peringkat Strategi Prioritas 66

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Emisi CO2 yang Dihasilkan dari Panas Bumi dan Energi Lainnya

2

Gambar 2 Bagan Kerangka Pemikiran 7

Gambar 3 Diagram Alir Penelitian 8

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian 13

Gambar 5 Diagram Alir Penentuan Desa 14

Gambar 6 Citra Landsat 15

Gambar 7 Alur pengolahan Citra 16

Gambar 8 Struktur Hierarki 24

Gambar 9 Peta Penutupan Lahan di CA Kamojang Tahun 2000 31

Gambar 10 Rekam Jejak Perambahan di Cagar Alam 31

Gambar 11 Peta Penutupan Lahan di CA Kamojang Tahun 2011 32

Gambar 12 Grafik Persentase Tutupan Lahan Tahun 2000 dan 2011 33

Gambar 13 Kondisi Kawasan Cagar Alam Kamojang 36

Gambar 14 Peta Perubahan Hutan di CA Kamojang Tahun 2000-2011 37

Gambar 15 Tahapan Kegiatan Pengembangan Panas Bumi 52

Gambar 16 Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi terhadap Aspek Kehidupan Sosial Budaya

55

Gambar 17 Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi tehadap

Aspek Perekonomian

56

Gambar 18 Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi tehadap

Aspek Kependudukan

57

Gambar 19 Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi tehadap

Aspek Lingkungan dan Sumberdaya Alam

57

Gambar 20 Grafik Aspek Prioritas 62

Gambar 21 Grafik Sasaran Prioritas dari Aspek Pelestarian Fungsi Ekologi

64

Gambar 22 Grafik Strategi Prioritas 66

(15)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Akurasi Data 78

Lampiran 2 Data-data Tanah Pinjam Pakai Kawasan Hutan CA/

TWA Alam Kamojang BKSDA Jabar II, Departemen

Kehutanan 80

Lampiran 3 Realisasi Program Penanaman Pohon Tahun 2011

Periode: Januari-Desember 2011 83

Lampiran 4 Perubahan Tutupan Lahan Tahun 2000 dan 2011 pada

Tiap Desa 84

Lampiran 5 Hasil Uji Regresi Logistik

  85

Lampiran 6 Pemanfaatan Panas Bumi Bersinergi dengan

Pelestarian Fungsi Cagar Alam 87

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pembangunan yang terus meningkat diiringi dengan pertambahan penduduk dan peningkatan kebutuhan hidup menyebabkan semakin bertambahnya berbagai tekanan fisik terhadap kawasan konservasi. Masyarakat sekitar hutan banyak yang memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya seperti bahan makanan, pakaian dan bahan bangunan dari dalam kawasan hutan (Manullang 1999). Selain itu, semakin terhimpitnya keadaan ekonomi telah memicu terjadinya konversi lahan hutan untuk lahan pertanian atau penggunaan lahan lainnya; bahkan sumber pendapatan alternatif yang paling umum diperoleh masyarakat sekitar hutan adalah melalui pengambilan sumberdaya dari dalam kawasan hutan (Scrieciu 2006; Prasetyo et al. 2009; Lindstrom et al. 2012; Casse et al. 2002). Kejadian tersebut telah menyebabkan berkurangnya luas kawasan hutan dan degradasi hutan yang kemudian diperparah oleh adanya perambahan hutan, kebakaran hutan dan aktivitas destruktif (perusakan) lainnya (Dwipayanti et al. 2009).

Di sisi lain, kawasan hutan konservasi memiliki sejumlah manfaat jasa lingkungan yang telah memberikan kontribusi terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat secara terus menerus. Jasa lingkungan kawasan hutan konservasi berdasarkan tipologinya, terdiri atas jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerapan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap, serta jasa lingkungan berupa panas bumi yang dapat mendukung kepentingan energi nasional. Energi panas bumi merupakan jasa yang diberikan oleh fungsi ekosistem alam yang nilai dan manfaatnya dapat dirasakan secara langsung maupun tidak langsung bagi keberlangsungan hidup manusia serta menjadi bagian penting dalam skenario pembangunan kehutanan 20 tahun ke depan yang tertuang dalam Rencana Kehutanan Tingkat Nasional 2011-2030 (Royana 2013).

Cagar Alam Kamojang merupakan salah satu kawasan hutan konservasi yang bukan hanya mengalami berbagai tekanan fisik yang mengancam kelestariannya, tetapi juga memiliki fenomena alam berupa jasa lingkungan panas bumi yang berguna bagi kepentingan hajat hidup manusia. Jika diperhatikan potensi panas bumi di Indonesia dan kepentingan konservasi lingkungan jangka panjang, pemanfaatan panas bumi sebagai sumber energi nasional dapat mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca karena dapat menggantikan penggunaan energi fosil berupa minyak, gas bumi dan batu bara. Energi yang bersumber dari panas bumi bersifat terbarukan dan relatif lebih ramah lingkungan (lihat Gambar 1). Selain itu, pemanfaatan panas bumi memiliki arti penting yang dapat mengatasi permasalahan energi domestik sehingga diharapkan mampu menopang ketahanan energi nasional di masa depan dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi listrik di Indonesia.

(18)

2

Gambar 1 Emisi CO2 yang Dihasilkan dari Panas Bumi dan Energi Lainnya

(Sumber: Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Indonesia First Communication on Climate Change Convention)

Pada Cagar Alam Kamojang, pencarian sumber energi panas bumi dilakukan

pertama kali di Indonesia, sejak tahun 1918. Sehubungan dengan besarnya manfaat panas bumi bagi kepentingan energi nasional dan semakin meningkatnya kebutuhan energi di masa depan, maka keberadaan pengusahaan panas bumi di dalam kawasan Cagar Alam Kamojang menjadi satu hal yang penting untuk ditelaah. Energi panas bumi dapat menghasilkan energi listrik melalui kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sejak kegiatan eksplorasi dan eksploitasi panas bumi dijalankan di Cagar Alam Kamojang, telah terjadi perubahan terhadap kondisi ekologi maupun sosial ekonomi. Kegiatan tersebut menuntut adanya pembukaan hutan yang aktifitas di dalamnya beresiko menyebabkan terjadinya gangguan ekologis, di antaranya masuknya tumbuhan atau satwa yang tidak asli, serta mengalami fragmentasi habitat.

Permasalahan Cagar Alam Kamojang terkait dengan pembukaan hutan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang disertai dengan aktifitas destruktif masyarakat menyebabkan semakin bertambahnya luas deforestasi dan terganggunya peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan. Kelestarian kawasan hutan konservasi beserta jasa lingkungan di dalamnya merupakan hal yang mutlak dilakukan sehingga sumberdaya hutan dapat dirasakan manfaatnya oleh generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Salah satu penyebab hilangnya jasa lingkungan hutan ialah terjadi perubahan penutupan vegetasi yang berarti hilangnya elemen penting dari sebuah hutan, diantaranya tegakan hutan dan cadangan air. Ramdan (2010) menyatakan bahwa semakin tinggi laju degradasi ekosistem hutan maka nilai jasa lingkungan pun semakin menurun. Menurunnya sebagian elemen tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas lingkungan dan keanekaragaman makhluk hidup, termasuk manusia yang hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan konservasi. Purnomo (2012) menyatakan bahwa Cagar Alam Kamojang sebagai suatu ekosistem hutan beserta ketergantungan pada cagar alam tersebut dapat didefinisikan sebagai sebuah sistem. Ada kecenderungan umum bahwa setiap permasalahan sumber daya alam tidak dapat didekati dengan pemikiran parsial atau sepotong-sepotong, tetapi harus ditinjau dari segala arah.

(19)

3

sosial, ekonomi dan lingkungan. Tahir et al. (2013) menjelaskan bahwa teknik penginderaan jauh dan GIS menawarkan sarana penting untuk mendeteksi dan menganalisis perubahan temporal terutama dalam mendeteksi perubahan pada suatu bentang alam yang luas secara cepat dan efisien. Teknik ini dapat diperkuat dengan penggunaan data sensus sosial ekonomi yang didukung dengan wawancara sehingga menjadi alat yang penting untuk memahami dan memprediksi interaksi antara sumber daya alam dengan sistem kehidupan manusia (Welch et al. 2001). Selanjutnya, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan jasa lingkungan panas bumi melalui expert judgement. Strategi ini disusun sebagai upaya tercapainya kelestarian ekosistem hutan sejalan dengan pengembangan pemboran energi panas bumi yang masih berlangsung sampai saat ini. Melalui beberapa hal tersebut maka akan dihasilkan suatu rekomendasi pengelolaan Cagar Alam Kamojang.

Perumusan Masalah

Untuk dapat dikategorikan sebagai hutan, sekelompok pohon-pohon harus mempunyai tajuk-tajuk yang cukup rapat, berlapis dan menghasilkan tumpukan bahan organik/ serasah yang sudah terurai maupun belum, serta di atas tanah mineral terdapat unsur-unsur lain yang berasosiasi, diantaranya tumbuhan yang lebih kecil dan berbagai bentuk kehidupan fauna (Kusmana et al. 2004).

Indikator kerusakan hutan dapat dilihat dari berkurangnya penutupan vegetasi hutan yang terjadi pada suatu kawasan hutan karena penutupan vegetasi hutan memegang peranan yang penting terhadap hidrologi hutan, pengendalian banjir, erosi dan tanah longsor. Contreras-Hermosilla (2000) menyatakan bahwa penurunan hutan adalah akibat dari aktifitas sejumlah agen. Agen tersebut dapat berupa individu, kelompok individu, atau institusi yang secara langsung mengkonversi lahan hutan menjadi penggunaan lain atau intervensi yang tanpa menyebabkan kerusakan hutan tapi sebagian besar mengurangi kapasitas produksinya.

Djogo et al. (2003) menyatakan bahwa cara mendefinisikan masalah merupakan salah satu landasan untuk membuat kebijakan yang baik. Permasalahan yang berkaitan dengan pembukaan lahan geothermal dan aktifitas destruktif masyarakat disekitar Cagar Alam Kamojang diformulasikan sebagai berikut:

1. Sebagai akibat dari semakin meningkatnya jumlah penduduk dan krisis ekonomi yang berlangsung cukup lama telah mendorong penduduk untuk melakukan beberapa hal, di antaranya: a) perambahan hutan, baik itu perladangan berpindah maupun konversi lahan hutan untuk lahan pertanian; b) melakukan perburuan secara tradisional berupa penangkapan ikan di Danau Ciharus; c) pencurian kayu; dan d) pengambilan kayu bakar berupa ranting-ranting pohon, cabang kering yang patah dan menebang cabang yang masih hidup.

(20)

4

Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi, dan pembuatan jalan akses (Ditjen PHKA 2012).

3. Pembahasan masalah pengusahaan panas bumi di kawasan hutan mengerucut pada kawasan hutan konservasi. Ini disebabkan lima kondisi yang saling bertautan, yaitu: a) sebagian besar potensi panas bumi berada di kawasan konservasi, baik yang belum dieksplorasi, telah dieksplorasi, dan akan dieksploitasi, serta yang telah dieksploitasi dan dimanfaatkan; b) panas bumi dilihat sebagai komoditas energi yang diperoleh melalui kegiatan penambangan; c) kegiatan penambangan dalam perspektif sektor kehutanan terkategorikan sebagai penggunaan kawasan untuk kepentingan di luar sektor kehutanan yang tidak dapat dilakukan di kawasan konservasi; d) pemanfaatan di kawasan konservasi sangat terbatas yang sangat menghindari aktivitas pembukaan kawasan; dan e) kegiatan pengusahaan sumber daya panas bumi menyebabkan pembukaan kawasan yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi kestabilan ekosistem (Royana 2013).

Permasalahan-permasalahan tersebut jika tidak ditangani dengan serius, semakin lama kawasan Cagar Alam Kamojang akan semakin kehilangan eksistensinya dalam mempertahankan ciri khas, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (UU No. 5 Tahun 1990). Oleh karena itu, banyak hal yang perlu diteliti, diantaranya:

1. Bagaimana laju perubahan penutupan hutan dan apa faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi.

2. Bagaimana proses kegiatan pemanfaatan panas bumi serta dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan.

3. Bagaimana strategi prioritas dalam pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan jasa lingkungan panas bumi.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan, tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengukur laju perubahan penutupan hutan dan mengidentifikasi faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi.

2. Mengidentifikasi kegiatan pemanfaatan panas bumi serta dampaknya terhadap kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan.

3. Merumuskan strategi prioritas dalam pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan jasa lingkungan panas bumi.

Manfaat Penelitian

(21)

5

Kerangka Pemikiran

Kawasan konservasi memiliki peran yang sangat besar bagi pembangunan sejalan dengan besarnya manfaat jasa lingkungan kawasan tersebut. Kawasan konservasi dan pembangunan berkelanjutan merupakan hal yang saling terkait. Pembangunan berkelanjutan memiliki makna bahwa pembangunan harus selalu diorientasikan untuk keberlanjutan/ kelestarian, tidak hanya untuk generasi saat ini, tetapi juga untuk generasi mendatang dan tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka (Djakapermana 2010; Purnomo 2012).

Dalam UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya disebutkan bahwa cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kerangka teoritis yang mendasari penelitian ini adalah bahwa Cagar Alam Kamojang (beserta jasa lingkungan hutan di dalamnya) dan pembangunan berkelanjutan merupakan dua komplemen yang saling memberikan pengaruh satu sama lain sehingga kemunduran pada salah satu komplemen akan mengakibatkan kerusakan bagi komplemen lainnya. Cagar Alam Kamojang sebagai kawasan hutan konservasi membutuhkan keberlanjutan dalam hal pengelolaan dan pemanfaatan sumberdayanya sehingga sumberdaya hutan masih dapat dinikmati atau dirasakan oleh generasi mendatang, begitu pula dengan pembangunan berkelanjutan. Jika pembangunan ini tidak berorientasi pada keberlanjutan, akan terjadi ketimpangan pada kawasan konservasi termasuk Cagar Alam Kamojang dan dapat membahayakan kehidupan manusia.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka tiga dimensi penting terkait dengan prinsip keberlanjutan (sustainability) meliputi dimensi ekologi/ lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya (Djakapermana 2010; Avenzora 2008; Royana 2013) ditambah dengan kebijakan dan tindakan yang tepat haruslah diperhatikan dalam pengelolaan Cagar Alam Kamojang. Adapun kriteria penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan cagar alam, yakni:

1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem;

2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;

3. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;

4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses ekologis secara alami;

5. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi;

6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

(22)

6

harus diterapkan untuk menjamin gangguan ekologis masih di bawah ambang batas dan pemanfaatan sumberdaya dengan cara-cara yang tidak melampaui potensi pemulihan alami (tidak melebihi daya dukung alam).

Di sisi lain, beragam barang dan jasa yang dihasilkan hutan, khususnya kawasan hutan konservasi memberikan manfaat ekonomi bagi pembangunan (Djakapermana 2010). Namun di sisi lain, kondisi hutan dan kinerja pengelolaan hutan yang semakin memprihatinkan, semakin lama akan semakin berpengaruh terhadap pembangunan dan kualitas jasa lingkungan itu sendiri. Tingkat kerusakan hutan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun akan mengakibatkan kemunduran fungsi sumberdaya hutan (SDH). Kemunduran tersebut tidak saja terjadi pada kemunduran fungsi SDH sebagai penghasil kayu, melainkan meliputi pula kemunduran fungsi-fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan. Sementara itu, kelangkaan ketersediaan energi tak terbarukan juga terus meningkat karena pola konsumsi energi masih menunjukkan ketergantungan pada sumber energi tak terbarukan. Sampai saat ini, permintaan energi secara nasional masih dipenuhi dari energi fosil, namun cadangannya terus menurun. Apabila kenyataan ini tidak diantisipasi dengan kebijakan dan tindakan yang tepat maka akan dihadapkan pada tiga ancaman krisis, yaitu krisis air, krisis pangan, dan krisis energi (Haeruman 2005).

(23)

7

Semakin bertambahnya luas deforestasi dan terganggunya peran hutan sebagai penyedia jasa lingkungan

Cagar Alam Kamojang

Eksploitasi panas bumi Tekanan fisik masyarakat

(24)

8

Laju perubahan penutupan hutan dan faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi

Analisis strategi prioritas melalui Expert Judgment

Rekomendasi bagi

(25)

9

TINJAUAN PUSTAKA

Pemanfaatan Panas Bumi dan Dampaknya

Nawir (2011) menyebutkan bahwa dengan pengeboran maka uap alam yang bersuhu dan tekanan tinggi dapat diambil dari dalam bumi dan dialirkan ke generator turbo yang selanjutnya menghasilkan tenaga listrik. Energi panas bumi merupakan energi ramah lingkungan karena fluida panas bumi setelah energi panas diubah menjadi energi listrik dikembalikan ke bawah permukaan (reservoir) melalui sumur injeksi. Penginjeksian air ke dalam reservoir mutlak dilakukan untuk menjaga keseimbangan masa sehingga memperlambat penurunan tekanan reservoir dan mencegah terjadinya subsidence. Penginjeksian kembali fluida panas bumi setelah fluida tersebut dimanfaatkan untuk pembangkit listrik serta adanya rembesan air permukaan (recharge) menjadikan energi panas bumi sebagai energi yang berkelanjutan (suistainable energy).

Sarmo dan Munarsoh (1985) melaporkan bahwa proyek geothermal menimbulkan pencemaran lahan pertanian di beberapa tempat, tetapi pihak lain menyebutkan terjadinya peningkatan produktivitas hasil pertanian karena pembangunan jalan dalam proyek Geothermal mempermudah pengangkutan pupuk (pupuk pabrik/ pupuk kandang). Sementara Wangke (2010) melakukan penelitian persepsi masayarakat terhadap proyek Geothermal yang hasilnya menunjukkan bahwa sebesar 62.68% responden menyatakan tidak ada pencemaran dan 25% responden menyatakan adanya gangguan pada pengairan sawah dengan matinya mata air di sekitar salah satu cluster. Oleh karena itu, PT PGE telah mengusahakan sumber air pengganti dengan mengambil air dari sungai terdekat yang dibendung dan dialirkan melalui pipa sehingga kondisi air irigasi normal kembali. Selain itu, kegiatan uji produksi sumur menimbulkan kebisingan, namun sebagian masyarakat sudah menyadari adanya kegiatan tersebut karena sudah disosialisasikan sebelumnya sehingga menjadi terbiasa dengan adanya kebisingan yang ditimbulkan. Sebagian besar responden (98.21%) menyatakan tidak ada gangguan debit air, 99.29% menyatakan setuju terhadap kegiatan pembangunan lapangan uap dan PLTP dan 0,71% bersikap netral karena ada janji yang belum direalisasikan terkait dengan pembebasan lahan.

Selanjutnya, hasil penelitian Wangke (2011) mengenai dampak sosial ekonomi masyarakat, yakni uang ganti rugi yang diterima masyarakat akibat pembebasan lahan dimanfaatkan untuk membeli lahan pertanian lainnya, mengembangkan usaha, membangun rumah, dll, sedangkan dampak kegiatan konstruksi proyek geothermal adalah meningkatnya kesempatan kerja karena adanya penyerapan tenaga kerja sehingga menambah lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian, menambah pendapatan penduduk, dan menambah peluang kesempatan berusaha untuk membuka warung kecil dan rumah kontrakan. Sebagian besar responden menyatakan tidak ada pencemaran dalam kegiatan konstruksi, sisanya menyatakan ada pencemaran debu khususnya ketika musim kemarau dari kegiatan pembuatan jalan masuk lokasi proyek dan kendaraan proyek. Dari segi kesehatan, diketahui bahwa belum pernah terjadi kecelakaan

kerja dan laporan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh kegiatan proyek. Dalam mengembangkan proyek panas bumi kedepan, perlu memperhatikan

(26)

10

konservasi tinggi (keanekaragaman hayati dan habitatnya, tata ruang, ekosistem unik, jasa lingkungan, serta kesejahteraan masyarakat setempat) sehingga dibutuhkan penilaian strategis agar meminimalkan dampak kerusakan lingkungan

dan nilai konservasi tinggi, 2) Pengembangan panas bumi perlu

mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan terintegrasi dalam perencanaan kegiatan pengembangan untuk mengantisipasi risiko yang terjadi dan mengancam keberlanjutan kegiatan dan 3) Pengakuan terhadap hak warga lokal juga harus dipertimbangkan dengan memastikan partisipasi mereka sejak perencanaan hingga pelaksanaan (Rachmawati 2012).

Faktor Penyebab Deforestasi

Purnomo (2003) menyatakan bahwa komponen sosial ekonomi dapat dikelompokkan menjadi pendapatan dan penguatan komunitas lokal, kelembagaan dan institusi, pendidikan, kesehatan, budidaya, akses dan Informasi, dan demografi. Sementara Hasyim (2007) menyatakan bahwa keberlanjutan kehidupan sosial ekonomi masyarakat sangat dipengaruhi oleh daya dukung lingkungan, sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, sumberdaya financial, dan sosial budaya. Parameter-parameter pada dimensi ekonomi di antaranya modal, dana, jalan, bangunan, jaringan air dan listrik, pendapatan, pengeluaran, dan sumberdaya ekonomi), sedangkan parameter-parameter pada dimensi sosial budaya di antaranya pendidikan, kesehatan, partisipasi, perumahan, kelembagaan, adatistiadat, budaya, persepsi, dan partisipasi.

Peneliti di banyak negara sepakat bahwa faktor yang menjadi penyebab kerusakan hutan, diantaranya pertumbuhan populasi (Entwisle et al. 2006; Tahir

et al. 2012), kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan (Hirsch 1987), konversi lahan hutan untuk pertanian (Scrieciu 2006; Lindstrom et al. 2012; Prasetyo et al.

2009; Casse et al. 2002), kemiskinan, kurangnya pilihan alternatif ekonomi, dan lemahnya penegakan hukum (Horowitz 1997), serta ketidakjelasan batas kawasan (Widada 2008). Untuk kerusakan hutan di Indonesia, salah satu penyebabnya yakni populasi/ penduduk. Hal ini disebutkan dalam Mulyana (2010) bahwa masyarakat terlanjur menggantungkan hidup mereka dari kawasan tersebut karena semua itu bermula dari kebijakan konservasi di Indonesia pada dasarnya cenderung tidak melibatkan masyarakat.

Casse et al. (2002) menyatakan bahwa dua penyebab deforestasi di sebelah Barat Daya Madagaskar yakni pertanian dan pengumpulan kayu bakar. Di semua desa, selain Ampamata, pendapatan pertanian lebih tinggi dari pendapatan hasilpengumpulan BBM dan kayu bakar. Pertanian dan panen kayusebenarnya tidak menjadi aktifitas yang eksklusif, namun setiap kali pertanian tidak mampu (gagal) menjamin pendapatan minimal bagi petani, mereka berpaling kepada pengumpulan kayu bakar untuk mengompensasi hilangnya penghasilan dari pertanian. Diilustrasikan pada tahun 1998, serangan belalang banyak merusak tanaman dan memaksa petani untuk mencurahkan waktu lebih banyak dalam mengumpulkan kayu bakar. Berdasarkan analisis statistikmenggunakan model regresi beserta hasil wawancara menunjukkan bahwa jarak dengan hutan menjadi indikator terjadinya deforestasi

(27)

11

dianalisis menggunakan multiple regression dengan metode forward stepwise regression ialah persentase penggarap atau sewa, kedalaman rata-rata air tanah, jumlah kepala keluarga, jumlah penduduk, dan jumlah keluarga sejahtera dan prasejahtera I. Selain itu, interpretasi citra terhadap dua peta tutupan lahan citra Landsat (TM7+) dalam rentang waktu 10 tahun telah dilakukan untuk mendeteksi perubahan tutupan lahan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitiannya, telah dilakukan overlay antara dua peta tutupan lahan tersebut dengan peta administrasi untuk mengetahui perubahan tutupan lahan yang terjadi di setiap wilayah administrasi terkecil yakni desa/ kelurahan.

Dien (2004) menggunakan SIG untuk memetakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kerentanan terjadinya degradasi hutan di Taman Nasional Bach Ma, Vietnam. Hasil dari penelitian ini adalah berupa peta bagian-bagian hutan dengan tingkatan kerentanan terhadap degradasi hutan. Faktor-faktor yang dipilih sebagai penyebab degradasi hutan adalah: 1) Pengaruh masyarakat lokal terhadap sumberdaya hutan; 2) Nilai sumberdaya hutan; dan 3) Aksesibilitas terhadap hutan. Dari hasil studi ini, diperoleh bahwa persentasekeluarga miskin merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap sumberdaya hutan. Jarak dari stasiun penjagaan hutan merupakan faktor yang paling berpengaruh dari segi aksesibilitas. Dari ketiga elemen degradasi hutan, aksesibilitas menuju hutan adalah faktor yang paling berpengaruh pada kerentanan degradasi hutan.

Regresi Logistik

Mulyanto dan Jaya (2004) melakukan penelitian mengenai model regresi yang dibangun menggunakan peubah-peubah biofisik dan sosial ekonomi masyarakat di setiap desa. Peubah terikatnya (dependent variable) adalah ada tidaknya masing-masing tipe perubahan yang dikaji. Jika ditemukan perubahan maka peluangnya adalah 1, sedangkan jika tidak ditemukan perubahan maka nilai peluangnya sama dengan 0. Peubah bebas yang digunakan adalah X1 [Jarak dari permukiman/desa /kampung (m)]; X2 [Jarak dari sungai (m)]; X3 [Jarak dari jalan raya dan jalan angkutan (m)]; dan X4 [Rencana Karya Tahunan (RKT)]. Model yang diuji pada studi ini adalah model linear dan model logistik. Dengan prosedur

stepwise” diperoleh beberapa alternatif model. Selanjutnya, melalui beberapa

pengujian statistik (linearitas, korelasi dan koefisien regresi) dilakukan pemilihan model. Berdasarkan model terpilih selanjutnya dibuat sebaran spasial peluang terjadinya perubahan lahan khususnya perubahan dari tutupan bervegetasi (hutan/Hutan Bekas Tebangan) menjadi tutupan yang terdegradasi (tanah kosong dan atau semak belukar). Berdasarkan model tersebut, maka dapat diketahui bahwa peluang/ kemungkinan terjadinya degradasi hutan dan deforestasi sangat dipengaruhi oleh umur HBT, jarak dari pusat-pusat pemukiman, jarak dari jalan dan sungai. Semakin baru (kecil) umur Hutan Bekas Tebangan (HBT) dan semakin dekat dengan pusat-pusat permukiman, peluang terjadinya degradasi hutan dan deforestasi semakin tinggi, tetapi semakin dekat dari jalan dan sungai maka peluangnya rendah.

(28)

12

tepi sungai utama; jumlah kesempatan kerja; jumlah lapangan kerja; luas lahan pertanian dan perkebunan yang dimanfaatkan; jumlah penduduktiap kecamatan; dan pendapatan penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh prediktor mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perubahan penggunaan lahan. Persamaan yang dihasilkan memiliki nilai R2 berkisar antara 8% hingga 95% atau rata-rata 36.1%. Dari hasil kalibrasi, persamaan atau model dapat digunakan untuk memprediksi perubahan penggunaan lahan dengan baik dan persen kalibrasinya adalah 82.5%. Metode penelitian dengan regresi logistik pun dilakukan oleh Santoso (2012) untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap deforestasi dengan studi kasus di daerah eks proyek lahan gambut sejuta hektar, Kalimantan Tengah. Faktor-faktor tersebut diantaranya kedalaman saluran drainase, persentase kebakaran, kepadatan penduduk, jarak ke permukiman dan persentase luas hutan yang diijinkan menjadi HTI.

Proses Hierarki Analisis

Palcic dan Lalic (2008) menyatakan bahwa AHP merupakan alat yang penting untuk pengambilan keputusan, seperti menetapkan prioritas, menghasilkan seperangkat alternatif, memilih alternatif kebijakan yang terbaik, menetapkan berbagai persyaratan, mengalokasikan sumber daya, meramalkan hasil dan menaksir resiko, merencanakan dan memecahkan konflik.

Rahmalia (2003) menggunakan Proses Hierarki Analisis/ Analytic Hierarchy Process (AHP) dalam menentukan prioritas pengembangan desa-desa pesisir Kota Bandarlampung. Hasilnya adalah para stakeholder cenderung memilih industri sebagai prioritas utama dalam pengembangan dan pengelolaan desa-desa pesisir yang dititikberatkan pada aspek ekonomi. Suyono (2010) menggunakan AHP untuk menentukan lokasi dramaga bongkar muat angkutan sungai di Pontianak. Loi et al. (2010) melakukan penelitian dengan mengombinasikan AHP dan GIS mengenai analisis kesesuaian penggunaan lahan di kawasan Di Linh, Provinsi Lam Dong, Vietnam. Dalam penelitiannya disebutkan bahwa GIS merupakan alat yang mampu menangani data spasial dalam analisis penggunaan lahan. Tetapi penggunaan GIS saja tidak mampu menyelesaikan masalah inkonsistensi dari pendapat para ahli ketika mereka menilai dan menetapkan kepentingan relatif pada setiap kriteria yang akan dipertimbangkan dalam analisis kesesuaian lahan.

(29)

13

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Cagar Alam Kamojang seluas 7067.196 Ha, khususnya area yang dijadikan sebagai lokasi pengecekan lapang yakni Blok Pasirjawa, Blok Cihejo, Blok Cipatengteng, area perbatasan Cagar Alam dengan Desa Cisarua dan area perbatasan Cagar Alam dengan Desa Sukarame. Selain itu, lima desa sampel yang menjadi lokus penelitian dalam wawancara responden yakni Desa Loa, Desa Cisarua, Desa Laksana, Desa Sukarame, dan Desa Cikawao.

Waktu penelitian dilaksanakan selama empat bulan dimulai dari bulan Juni-September 2013. Bagian pekerjaan yang penting adalah penelaahan atas berbagai data sekunder yang tersedia mengenai Cagar Alam Kamojang dan pemanfaatan panas bumi (desk study), pembuatan proposal, studi lapangan dan observasi (field study), analisis dan interpretasi, serta penulisan laporan. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Peta Lokasi Penelitian

Pengumpulan dan Pengolahan Data

(30)

14

yaitu masyarakat di desa sampel dan para pakar. Wawancara dilakukan dengan kepala resort BKSDA dan pengelola PT PGE. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan instansi-instansi terkait, seperti citra landsat diperoleh dari BIOTROP, peta rupa bumi diperoleh dari PPLH IPB, data penunjang yang terkait dengan Cagar Alam Kamojang diperoleh dari BKSDA, dan data penunjang yang terkait dengan pemanfaatan panas bumi diperoleh dari PT PGE.

Pengolahan peta tematik dilakukan melalui software ArcGIS 10.1, pengolahan data citra dilakukan melalui software ERDAS Imagine Versi 9.1, pengolahan hasil kuesioner para pakar dilakukan melalui software Expert Choice Versi 11 dan Microsoft Office Excel 2007, dan pengolahan regresi logistik dilakukan melalui software SPSS 13.

Penentuan Desa

Penentuan desa dalam penelitian ini berdasarkan pada hasil pengolahan data spasial. Desa-desa tersebut diperoleh dengan cara overlay antara peta penutupan lahan, batas administrasi desa dan lokasi sumur (lihat Gambar 5). Lima desa terpilih yakni Desa Cikawao, Desa Loa, Desa Sukarame, Desa Laksana, dan Desa Cisarua.

Gambar 5 Diagram Alir Penentuan Desa

Peta Penutupan Lahan

Overlay

Summarize Zones

Desa-desa di Kabupaten Bandung dan Garut yang bersinggungan dengan Cagar Alam

Menjumlahkan total luas hutan (alam/ sekunder) pada masing-masing desa

Urutan peringkat desa berdasarkan tren perubahan penutupan lahan dan desa yang berdekatan dengan sumur

Peringkat 5 desa dengan tren perubahan pemutupan lahan terbesar, baik deforestasi maupun tidak mengalami deforestasi Peta Lokasi Sumur

(31)

15

Pengukuran Laju Perubahan Penutupan Hutan

Secara umum, data yang diperlukan dalam pengolahan data spasial, diantaranya citra landsat 7 ETM+ path/ row 121/ 65 dengan resolusi spasial 30 meter yang diolah menggunakan software ERDAS Imagine versi 9.1 (Gambar 6).

(a)

(b)

Gambar 6 Citra Landsat: (a) Citra Landsat 7 ETM Rekaman 9 Oktober 2000

(32)

16

Selain itu, dibutuhkan peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:50.000, peta batas kawasan, SRTM resolusi piksel 90 meter untuk memperoleh data elevasi dan kemiringan lereng, serta data dan peta tematik lainnya yang mendukung kondisi eksisting. Citra landsat yang menjadi acuan adalah citra landsat pada dua periode waktu yaitu tahun 2000 dan 2011 dengan merujuk pada Dhorde et al.

(2012) yang menyatakan bahwa deteksi perubahan LULC melibatkan setidaknya kebutuhan data pada dua periode waktu. Citra tersebut telah dikoreksi terlebih dahulu ke proyeksi UTM. Sistem koordinat dari UTM adalah meter sehingga memungkinkan analisa yang membutuhkan informasi dimensi-dimensi linier seperti jarak dan luas. Penentuan data landsat yang dijadikan sebagai acuan yakni kondisi tutupan awan yang paling sedikit. Alur Pengolahan Citra dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Alur pengolahan Citra

Adapun beberapa penjelasan mengenai pengolahan citra, sebagai berikut: a) Koreksi data citra

Langkah pertama yang dilakukan untuk menganalisis citra landsat TM adalah melakukan koreksi dari citra dengan menggunakan acuan peta RBI skala 1:50.000. Perbaikan citra perlu dilakukan terhadap citra satelit untuk menghilangkan kesalahan-kesalahan geometrik dan radiometrik yang terdapat pada data citra satelit.

Koreksi geometrik diperlukan untuk menghindari distorsi geometrik, dengan membangun hubungan antara gambar sistem koordinat dan sistem geografis

(33)

17

melalui kalibrasi data sensor, pengukuran posisi dan ketinggian data, ground control points dan kondisi atmosfer (Lubis dan Nakagoshi 2011). Data Ground Control Points (GCPs), yaitu data yang menyatakan posisi keberadaan sesuatu di permukaan bumi dalam bentuk titik koordinat. Data tersebut diperoleh dengan melakukan survei langsung ke lapangan dan data GCP ini digunakan sebagai salah satu bahan dalam interpretasi citra satelit landsat dengan klasifikasi terbimbing (supervised classification). Selanjutnya, dilakukan koreksi secara radiometrik untuk melihat sejauh mana citra tersebut layak untuk digunakan dalam analisis. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki bias pada nilai digital piksel yang disebabkan oleh gangguan atmosfer atau kesalahan sensor.

b. Pemotongan citra

Sebelum memulai pemotongan citra, hal pertama yang dilakukan adalah menentukan lokasi penelitian berdasarkan peta batas kawasan Cagar Alam Kamojang yang diperoleh dari BKSDA. Setelah diperoleh batasan areal lokasi penelitian, proses pemotongan citra dapat dilakukan. Pemotongan citra dilakukan dengan memotong wilayah objek penelitian dengan peta rupa bumi hasil digitasi yang dijadikan sebagai acuan pemotongan citra. Batas wilayah yang akan dipotong tersebut dibuat dengan area of interest (aoi) melalui software ERDAS Imagine 9.1, yaitu desa-desa yang bersinggungan dengan cagar alam.

c. Klasifikasi data citra

Menurut Lilesand dan Kiefer (1990) tahapan klasifikasi dilakukan dengan dua pendekatan dasar klasifikasi, yaitu klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) dan klasifikasi terbimbing (supervised classification).

1. Klasifikasi Tidak Terbimbing

Klasifikasi tidak terbimbing dilakukan dengan pendeteksian langsung berdasarkan gradasi warna yang terdapat pada kombinasi band yang digunakan. Tujuan utama dari klasifikasi ini adalah mengetahui jumlah kelas maksimum sehingga dalam proses pengklasifikasian selanjutnya, hasil tersebut dapat dijadikan sebagai acuan dalam penentuan jumlah kelas. Klasifikasi tidak terbimbing dilakukan sebelum kegiatan cek lapangan dilaksanakan.

2. Klasifikasi Terbimbing

Klasifikasi terbimbing dilakukan setelah kegiatan cek lapangan dengan bantuan beberapa data pendukung dari lapangan, seperti data hasil wawancara dengan pengelola cagar alam. Klasifikasi terbimbing merupakan proses klasifikasi dengan pemilihan kategori informasi yang diinginkan untuk penentuan tiap kategori penutupan lahan. Pada klasifikasi ini dilakukan penentuan training area

(34)

18

Selanjutnya, untuk mendapatkan hasil klasifikasi yang baik, dilakukan pengujian akurasi (accuracy assessment). Uji akurasi dari klasifikasi penutupan lahan ini dilakukan berdasarkan data pengecekan lapangan serta pengambilan beberapa titik yang dipilih dari setiap tipe penutupan lahan. Hasil klasifikasi diharapkan memiliki nilai akurasi lebih dari 80%. Lunetta et al. (1991) menyatakan bahwa cara yang paling umum untuk mewakili akurasi tematik atau klasifikasi data penginderaan jauh adalah dalam bentuk matriks kesalahan. Matriks kesalahan adalah cara yang sangat efektif untuk mewakili akurasi karena akurasi dari setiap kategori yang ada dalam klasifikasi dapat dengan jelas digambarkan, baik dengan commission errors (data/ penampakan ada tetapi di lapangan tidak ada) dan omission errors (data/ penampakan tidak terekam).

Producer’s accuracy menunjukkan kemungkinan piksel referensi (acuan) dapat diklasifikasikan dengan benar atau seberapa baik daerah tertentu dapat diklasifikasikan. Di sisi lain, User’s accuracy merupakan indikasi probabilitas (kemungkinan) bahwa pixel yang diklasifikasikan di peta atau gambar benar-benar mewakili kategori di lapang.

Faktor Sosial Ekonomi Penyebab Deforestasi

Faktor sosial ekonomi sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari, terutama bagi masyarakat sekitar hutan (Giliba et al. 2011). Kondisi sosial ekonomi memberikan pengaruh terhadap kualitas dan kelestarian hutan mengingat sumberdaya hutan merupakan aset berharga yang paling dekat hubungannya dalam pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan. Responden diambil dari lima desa sampel, yakni Desa Cikawao, Desa Loa, Desa Sukarame, Desa Laksana dan Desa Cisarua. Desa-desa tersebut memiliki hutan primer dan sekunder yang terletak di dalam kawasan Cagar Alam Kamojang. Jumlah responden disesuaikan dengan jumlah sampel minimal yang dipersyaratkan untuk uji statistik, yaitu 30 orang dari masing-masing desa sehingga total responden 150 orang. Pemilihan responden dilakukan secara acak. Masing-masing responden berperan dalam pengisian kuesioner untuk menjajaki faktor-faktor sosial ekonomi penyebab deforestasi yang hasilnya digunakan sebagai data dasar analisis regresi logistik.

(35)

19

Ln = Bo + β1X1 + β2X2 +...+ βPXP

Dengan p adalah peluang munculnya kejadian kategori sukses dari peubah respon untuk orang ke-i. β0 adalah intersep model garis regresi, β1 adalah slope model

garis regresi dan X adalah peubah bebas.

Peubah bebas pada regresi logistik dapat berupa peubah kategorik maupun peubah interval. Penelitian ini menggunakan peubah kategorik, baik itu dalam skala ordinal maupun nominal. Untuk peubah bebas yang bersifat kategorik diperlukan sebuah peubah boneka (dummy variable). Pada penelitian ini, pengunaan variabel dummy memungkinkan penjelasan lebih rinci mengenai peluang deforestasi dari setiap kategori, baik yang signifikan pada taraf nyata 5% maupun yang tidak signifikan. Penjelasan peubah bebas sebagai berikut:

1. X1 (Pendapatan) yaitu keseluruhan pendapatan pokok dan sampingan dalam setahun yang diperoleh responden dengan cara menjumlahkan penghasilan dari mata pencaharian pokok, mata pencaharian sampingan, mata pencaharian istri, kiriman keluarga, hasil menggarap tanah milik dan bukan milik, serta menyewakan tanah. Kategori Tingkat Pendapatan dapat dilihat pada Tabel 1. Purwita et al. (2009) menyatakan bahwa semakin rendah pendapatan menyebabkan kegiatan perambahan semakin tinggi.

Tabel 1 Kategori Tingkat Pendapatan

Skor Kategori Pendapatan

1 <2.500.000

2 2.500.000-5.000.000

3 5.000.000-7.500.000

4 >7.500.000

2. X2 (Jumlah Tanggungan keluarga) yaitu jumlah anggota keluarga yang masih harus dipenuhi kebutuhannya. Kategori Tanggungan Keluarga dapat dilihat pada Tabel 2. Giliba et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan ukuran rumah tangga (jumlah anggota keluarga) akan menciptakan kemungkinan terjadinya keterlibatan setiap anggota keluarga dalam menggantungkan hidupnya terhadap hutan lindung.

Tabel 2 Kategori Tanggungan Keluarga

Skor Kategori Jumlah Tanggungan Keluarga

1 >5 orang

2 3-5 orang

3 0-2 orang

Sumber: Paranoan et al. (2012)

(36)

20

perluasan lahan Perum Perhutani ke lahan Cagar Alam Kamojang. Pemindahan pal batas kerap dilakukan pada saat melakukan PHBM. Selain itu, desa-desa sampel dimungkinkan memiliki andil dalam kejadian deforestasi sebab desa-desa sampel tersebut berbatasan dengan kawasan cagar alam. Kategori Status Kepemilikan Lahan dapat dilihat pada Tabel 3. Yatap (2008) menyatakan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka dibutuhkan lahan garapan yang lebih luas untuk mencukupi kebutuhan hidup.

Tabel 3 Kategori Status Kepemilikan Lahan

Skor Kategori Status Kepemilikan Lahan

1 Tidak memiliki lahan

2 Lahan milik sendiri

3 Lahan pemerintah

4 Lahan milik sendiri dan pemerintah

4. X4 (Mata Pencaharian Utama) yaitu pekerjaan pokok responden untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kategori Mata Pencaharian Utama dapat dilihat pada Tabel 4. Giliba et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan unit kegiatan mata pencaharian akan meningkatkan kemungkinan deforestasi ke hutan lindung.

Tabel 4 Kategori Mata Pencaharian Utama

Skor Kategori Mata Pencaharian Utama

1 Petani dan buruh

2 Perangkat desa

3 Pegawai Swasta

4 Wiraswasta

5 PNS

5. X5 (Pendidikan) yaitu pendidikan terakhir responden. Kategori Pendidikan dapat dilihat pada Tabel 5. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka terdapat kemungkinan untuk lebih mudah memperoleh lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian (Yatap 2008).

Tabel 5 Kategori Tingkat Pendidikan

Skor Kategori Pendidikan

1 Tidak sekolah

2 SD/ Sederajat

3 SMP/ Sederajat

4 SMA/ Sederajat

5 Perguruan Tinggi/Akademi

(37)

21

sedangkan jika responden mengetahui 3-5 indikator maka responden dianggap mengetahui kawasan. Kategori Pengetahuan Kawasan dapat dilihat pada Tabel 6. Giliba et al. (2011) menyatakan bahwa peningkatan kesadaran tentang batas hutan akan menurunkan aktivitas manusia dalam hutan lindung.

Tabel 6 Kategori Pengetahuan Mengenai Kawasan

Skor Kategori Pengetahuan Kawasan

1 Mengetahui kawasan

0 Tidak mengetahui kawasan

Dampak Kegiatan Pemanfaatan Panas Bumi

Suratmo (2002) menyatakan bahwa dampak lingkungan diartikan sebagai benturan antara komponen kegiatan proyek dan komponen lingkungan hidup atau perubahan mendasar yang terjadi pada komponen lingkungan akibat kegiatan proyek. Beberapa aspek yang dipertimbangkan dalam menentukan dampak pembukaan lahan geothermal, yakni aspek kependudukan, kehidupan sosial budaya, perekonomian, serta lingkungan dan sumberdaya alam. Aspek-aspek tersebut mewakili kondisi sosial ekonomi dan persepsi masyarakat mengenai pemanfaatan panas bumi yang masih berlangsung di Cagar Alam Kamojang sampai saat ini.

Responden yang dibutuhkan dalam identifikasi dampak ini adalah responden yang jarak tempat tinggalnya berdekatan dengan lokasi sumur dan desanya berbatasan langsung dengan Cagar Alam Kamojang. Oleh karena itu, desa sampel yang sesuai dengan syarat lokasi adalah Desa Laksana. Jumlah responden disesuaikan dengan jumlah sampel minimal yang dipersyaratkan untuk uji statistik, yaitu 30 orang.

Proses wawancara dan penyebaran kuesioner dilaksanakan di Kampung Garung. Kampung ini telah menerima program bantuan berupa bantuan sarana pendidikan, sarana keagamaan, sarana fasilitas umum, sarana kesehatan dan berbagai pembinaan dari PT PGE. Selain itu, pada Kampung Garung pernah terjadi pencurian kayu cukup besar yang terjadi pada tahun 1997-2000 dan pembukaan areal hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Dalam rangka mencapai tujuan dampak kegiatan pemanfaatan panas bumi, persepsi masyarakat sangat berperan dan memungkinkan responden mengingat kembali pengalaman mereka ketika proyek geothermal pertama kali dilakukan di Cagar Alam Kamojang. Hasil yang diperoleh dari data kuesioner diolah dengan analisis statistika deskriptif.

Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi

(38)

22

Melalui Proses Hierarki Analisis atau yang dikenal dengan metode Analysis Hierarchy Process (AHP), maka akan dirumuskan strategi prioritas yang dapat diperhatikan oleh pihak pengelola cagar alam dan pengembang panas bumi dalam upaya terciptanya kelestarian ekosistem hutan sejalan dengan pengembangan pemboran energi panas bumi yang masih berlangsung sampai saat ini. Metode AHP adalah sebuah hierarki fungsional dengan input utamanya adalah persepsi manusia dan yang diutamakan adalah kualitas data dari responden. AHP telah banyak digunakan oleh para pengambil keputusan untuk membantu memecahkan masalah yang kompleks dengan menggunakan struktur hierarki multi-level, yakni tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif (Triantaphyllou dan Mann 1995).

Penentuan Responden

Penilaian AHP memerlukan para pakar sebagai responden dalam pengambilan keputusan. Para pakar disini merupakan orang-orang kompeten yang benar-benar mengetahui informasi yang dibutuhkan, atau orang yang terlibat dan memahami permasalahan yang dihadapi. Jumlah responden dalam metode AHP tidak memiliki perumusan tertentu, namun hanya ada batas minimum yaitu dua orang responden. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik pengambilan contoh secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria mewakili setiap bidang keahlian yang diprioritaskan kepada pakar yang memiliki tingkat kepakaran yang telah diakui dan memahami permasalahan di Cagar Alam Kamojang. Rincian Jumlah Responden Pakar dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rincian Jumlah Responden Pakar

No. Kriteria Pakar Asal Institusi/ Lembaga Jumlah Responden

1. Akademisi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) 2

2. Pemerintah BKSDA

PT PGE

1 1

3. LSM LSM 1

4. Masyarakat Tokoh Masyarakat 5

10 pakar

(39)

23

Kuesioner ini disusun untuk mengetahui nilai bobot relatif setiap elemen pada struktur hierarki dan menggambarkan pengaruh relatif setiap elemen terhadap masing-masing kriteria yang setingkat diatasnya/ dibawahnya dengan melakukan perbandingan berpasangan (Triantaphyllou dan Mann 1995). Untuk mengisi matriks perbandingan berpasangan, digunakan skala banding 1 sampai 9 yang merupakan skala terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai Skala Perbandingan Berpasangan Antarvariabel dapat dilihat pada Tabel 8 dan Struktur Hierarki dapat dilihat pada Gambar 8.

Tabel 8 Nilai Skala Perbandingan Berpasangan Antarvariabel

Tingkat kepentingan

Definisi kriteria A dan B

1 Kedua kriteria sama penting (equal importance)

3 Kriteria (A) sedikit lebih penting (moderate importance) dibanding dengan kriteria (B)

5 (A) lebih penting (strong importance) dibanding dengan kriteria (B)

7 Kriteria (A) sangat lebih penting (very strong importance) dibanding dengan kriteria (B)

9 Kriteria (A) mutlak lebih penting (extreme importance) dibanding dengan kriteria (B)

2,4,6,8 Jika dalam pengisian terdapat keraguan antara 2 skala maka diambil nilai tengah, misalkan anda ragu-ragu antara skala 3 dan 5 maka pilih skala 4, dan seterusnya

Sumber: Marimin (2004)

Validitas kuesioner dilihat melalui konsistensi setiap matriks. Pengukuran konsistensi bertujuan untuk mengetahui konsistensi jawaban yang berpengaruh terhadap kesahihan hasil. Jika nilai inconsistency rasio lebih dari 10%, mutu informasi harus diperbaiki, antara lain dengan memperbaiki pertanyaan ketika melakukan pengisian ulang kuesioner atau lebih baik dalam mengarahkan responden yang mengisi kuisioner. Beberapa ahli berpendapat, apabila nilai

(40)

24

Pengelolaan Cagar Alam Kamojang dan Jasa Lingkungan Panas Bumi

(41)

25

KONDISI UMUM

Letak dan Luas

Secara administrasi pemerintahan, kawasan Cagar Alam Kamojang terletak di dua kabupaten yaitu Kabupaten Garut dan Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Menurut administrasi pengelolaan, kawasan ini termasuk ke dalam wilayah kerja Seksi KSDA Garut, Balai Besar KSDA Jawa Barat. Di kawasan ini, terdapat dua tipe kawasan konservasi yaitu Cagar Alam Kamojang dan Taman Wisata Alam Kawah Kamojang. Batas-batas kawasan Cagar Alam Kamojang sebagai berikut:

Sebelah Utara : Kecamatan Paseh dan Ibun, Kabupaten Bandung

Sebelah Barat : Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung

Sebelah Timur : Kecamatan Leles dan Tarogong, Kabupaten Garut Sebelah Selatan : Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 110/Kpts-II/90 tanggal 14 Maret 1990 ditetapkan luas Cagar Alam Kamojang adalah 7.805 Ha. Pada tahun 1994, luas kawasan bertambah 12,196 Ha sebagai lahan kompensasi dengan dasar Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 433/Kpts-II/94 sehingga luas total kawasan cagar alam menjadi 7817,196 Ha dan luas taman wisata alam 481 Ha. Pada tahun 2004 terjadi perubahan fungsi cagar alam di Blok Guntur sehingga terjadi pengurangan luas Cagar Alam Kamojang seluas 500 Ha untuk hutan lindung dan ± 25 Ha untuk Taman Wisata Alam (TWA) Cipaniis sehingga luas total kawasan menjadi 7067,196 Ha. Penetapan kawasan cagar alam didasarkan pada gejala alam yang unik berupa peristiwa vulkanologi dengan munculnya kawah kecil di daerah kaldera Kamojang. Pada penelitian ini, batas yang digunakan adalah peta batas yang diperoleh dari BKSDA.

Kondisi Fisik dan Biologis Kawasan Topografi dan tanah

Berdasarkan atas faktor lingkungan yang memiliki pengaruh dominan terhadap pembentukan dan perkembangan komunitas dalam ekosistem hutan, maka Cagar Alam Kamojang merupakan ekosistem hutan hujan tropis yang termasuk ke dalam formasi klimatis. Formasi klimatis adalah formasi hutan yang dalam pembentukannya sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur iklim, misalnya temperatur, kelembaban udara, intensitas cahaya dan angin (Arief 1994).

Kawasan Cagar Alam Kamojang berada pada ketinggian antara 1.650–2.610 mdpl. Menurut ketinggian tempat dari permukaan laut, Cagar Alam Kamojang termasuk ke dalam zona hutan hujan tengah karena terletak pada daerah dengan ketinggian tempat 1000-3000 m dari permukaan laut. Sudut kemiringan lereng bervariasi antara 20%-40%. Hasil peta tanah eksploitasi Balai Penyelidikan tahun 1960 menyatakan jenis batuan pembentuk tanah Cagar Alam Kamojang adalah aluvial dari endapan sungai.

(42)

26

hitam pekat, abu-abu atau coklat tua hingga kekuningan dan banyak ditemui di lereng-lereng gunung berapi. Kelebihan tanah andosol adalah gembur dan ada yang menyerupai lempeng, bahkan debu. Tekstur tanah seperti ini mudah untuk diolah, berpori dan memiliki tingkat aerasi yang baik sehingga memudahkan udara masuk ke dalam tanah. Tanah Andosol memiliki kandungan Nitrogen, Pospor, dan Kalium yang rendah sehingga cocok digunakan untuk perkebunan teh dan kopi serta untuk pertanian palawija dan sayur-mayur. Namun, beberapa kelemahan dari jenis Andosol adalah peka terhadap erosi dan mudah longsor. Hal ini disebabkan sturkturnya yang gembur dan rapuh sehingga mudah terbawa arus air saat hujan ataupun tertiup angin. Oleh karena itu, sebagian besar petani menyiasati kelemahan tanah ini dengan menerapkan sistem tanah berteras. Di antara sela-sela teras bertingkat itu biasanya ditanami rumput atau tanaman keras. Berbagai cara tersebut dapat mengurangi tingkat erosi dan petani dapat tetap memanfaatkan tanah Andosol secara maksimal.

Iklim dan hidrologi

Wilayah Kamojang merupakan daerah pegunungan yang dicirikan oleh kondisi iklim khas pegunungan. Wilayah Kamojang memiliki suhu udara maksimum sebesar 26,8°C pada bulan September sedangkan kondisi terendah terjadi pada bulan Desember. Suhu udara minimum terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 5,4°C. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson, iklimnya termasuk iklim tipe B dengan rata-rata curah hujan per tahun 2.500-3.000 m, dan maksimal curah hujan harian adalah 107 mm, yang biasanya terjadi pada bulan Oktober sampai dengan April. Sedangkan rata-rata jumlah hari hujan adalah 192 hari dengan rata-rata jumlah jam hujan berkisar 850 jam. Rata-rata 80% curah hujan terjadi pada bulan Oktober-April, selain bulan tersebut adalah musim kemarau yang biasanya berlangsung selama 5 bulan, dan selama musim kemarau kadang-kadang turun hujan.

Kelembaban relatif (RH) wilayah Kamojang termasuk tinggi yaitu sebesar 82- 94%, sehingga lama penyinaran hanya 33-64% dalam sehari. Sepertiga hingga dua per tiga hari sering terjadi kabut atau hujan teutama pada bulan November dan Januari. Rata-rata tekanan udara luar adalah 850 mb pada temperatur titik didih 95,10C. Rata-rata kecepatan angin pada 1,5 meter di atas permukaan tanah adalah 1,1 m/s, sedangkan pada 8 meter di atas permukaan tanah adalah 2 m/s. Kecepatan maksimal pada 1,5 meter di atas permukaan tanah mencapai 3,1 m/s dan pada 8 meter di atas permukaan tanah adalah 8,5 m/s.

Cagar Alam Kamojang secara hidrologis terletak di area hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) besar di Jawa Barat yaitu Sungai Citarum di bagian barat-utara dan Sungai Cimanuk di bagian selatan. Masing-masing hulu DAS tersebut membentuk sub DAS, diantaranya Sungai Cikaro, Ciharus dan Ciwelirang.

Flora dan fauna

Gambar

Gambar 5 Diagram Alir Penentuan Desa
Gambar 6 Citra Landsat: (a) Citra Landsat 7 ETM Rekaman 9 Oktober 2000              (b)  Citra Landsat 7 ETM+ Rekaman 21 Agustus 2011
Gambar 7 Alur pengolahan Citra
Gambar 8 Struktur Hierarki
+7

Referensi

Dokumen terkait

Suoran häiriön lisäksi geomorfologinen häiriö vaikuttaa kasvillisuuteen myös stressinä muiden ympäristömuuttujien kautta tai parantamalla resurssien saatavuutta,

penyalahgunaan, perlakuan kasar, kontaminasi, pemeliharaan atau kalibrasi yang tidak benar atau tidak memadai atau sebab-sebab eksternal lain; (b) pengoperasian di luar

aplikasi  daminozide,   paklobutrazol,    dan    chlormequat   tidak  berpengaruh  nyata  

Sampel dari penelitian ini adalah bagian dari jumlah populasi data kuesioner kepuasan pelayanan E-KTP di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Di lain pihak, membersihkan wajah secara berlebihan dengan produk-produk seperti alkohol-based cleanser dan scrub dapat mengiritasi kulit lebih jauh dan memperparah

Kemurnian radiokimia merupakan hal yang mutlak dan harus ditentukan agar dapat menjamin bahwa sediaan tersebut berada dalam bentuk senyawa kimia seperti yang diinginkan,

Penduduk Desa Sukasari memiliki latar belakang yang bisa di bilang cukup memprihatinkan,karena jika melihat dari segi lokasi yang mereka tinggali saat ini masih banyak

bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 25 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Batang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Pembentukan