• Tidak ada hasil yang ditemukan

Application of Recombinant Growth Hormone for Growth Stimulation in Giant Gourami Juvenile (Osphronemus goramy) by Immersion

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Application of Recombinant Growth Hormone for Growth Stimulation in Giant Gourami Juvenile (Osphronemus goramy) by Immersion"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

APLIKASI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN

MELALUI PERENDAMAN UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN

BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus goramy)

ARAS SYAZILI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan melalui Perendaman untuk Memacu Pertumbuhan Benih Ikan Gurami (Osphronemus goramy)” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulisan lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Aras Syazili

(3)

ABSTRACT

ARAS SYAZILI. Application of Recombinant Growth Hormone for Growth

Stimulation in Giant Gourami Juvenile (Osphronemus goramy) by Immersion. Under

direction of ALIMUDDIN and KOMAR SUMANTADINATA

This study aimed to determine the immersion frequency of recombinant common carp (CcGH) and giant gourami (OgGH) growth hormone in the growth stimulation of giant gourami juvenile. A total of 50 larvae at second day after first feeding, were immersed in 30 ppt salt water for 2 minutes, then transferred into 200 mL of 9 ppt saline water containing 30 mg/L CcGH in inclusion bodies form. Immersion was performed for 60 minutes with a frequency of 2, 3, 4 and 5 times at interval 7 days. The results showed that the highest (p<0.05) average body weight of giant gourami juvenile (2.232±0.190 g) was obtained at 4 times immersion treatment. The total dosage of 4 times immersion (120 mg/L OgGH) from the first experiment was then used in the second experiment to determine whether immersion frequency could be minimized. Fish larvae were immersed once a week, twice a week, and once a week for 2 weeks. The results showed that the highest (p<0.05) biomass (5482.58±110.70 g), and survival rate (87.38±8.84%) were obtained by once immersion time. Hence, both CcGH and

OgGH could improve growth of giant gourami juvenile. The IGF-I mRNA expression level was increased significantly at 24 hours after OgGH immersion, and this suggested that IGF-I was involved in growth stimulation. Lower plasma cortisol levels in Og GH-treated fish after 180 minutes may also plays important role in growth induction. Thus, immersion of juvenile once a week in 120 mg/L OgGH solution can be applied to enhance the growth of giant gourami with a high survival rate.

(4)

RINGKASAN

ARAS SYAZILI. Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan melalui Perendaman untuk Memacu Pertumbuhan Benih Ikan Gurami (Osphronemus goramy). Dibimbing oleh ALIMUDDIN, dan KOMAR SUMANTADINATA.

Pertumbuhan ikan gurami relatif lambat, sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai ukuran konsumsi adalah relatif lama (SNI 2006). Alternatif metode cepat yang dapat ditempuh untuk meningkatkan pertumbuhan ikan gurami secara signifikan adalah aplikasi hormon pertumbuhan rekombinan (HPr). Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi optimum penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas dan ikan gurami dalam memacu pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami. Karena kerja hormon pertumbuhan dalam memacu pertumbuhan terkait dengan Insulin-like Growth Factor (IGF-I) dalam hati. Pada penelitian ini juga dilakukan analisis ekspresi gen IGF-I. Selain itu, perbedaan frekuensi perendaman berpotensi menyebabkan perbedaan tingkat stres ikan gurami. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar kortisol plasma tubuh untuk menganalisis tingkat stres ikan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan dengan frekuensi berbeda. Hasilnya diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan produksi budidaya ikan gurami.

Produksi HPr dilakukan menggunakan bakteri Escherichia coli BL21 yang mengandung plasmid pCold-HPim untuk ikan mas, dan pCold-HPig untuk ikan gurami. Bakteri dikultur pada media 2xYT pada suhu inkubasi 15o

Percobaan dibagi menjadi 2 tahap. Percobaan satu menggunakan 50 ekor larva ikan gurami umur 2 hari setelah mulai makan, direndam dalam air bersalinitas 30 ppt selama 2 menit, dan dilanjutkan dalam 200 mL air bersalinitas 9 ppt yang mengandung 30 mg/L HPr dari ikan mas. Perendaman HPr dilakukan selama 60 menit, dan diulang seminggu sekali dengan frekuensi 2, 3, 4, dan 5 kali. Sebagai kontrol, ikan direndam dengan protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1), albumin serum sapi (kontrol-2), air bersalinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3), dan dalam air tawar (kontrol-4). Ikan dipelihara dalam akuarium volume 7 liter selama 4 minggu pertama, dalam akuarium volume 50 liter selama 2 minggu kedua, dan di hapa berukuran 2x1x1 m selama 2 minggu terakhir. Percobaan kedua dilakukan dengan menggunakan 800 ekor larva ikan gurami yang direndam dengan HPr ikan gurami. Total dosis percobaan pertama (frekuensi perendaman 4 kali) digabung menjadi 1 kali (dosis 120 mg/L), dan 2 kali perendaman (@60 mg/L).

(5)

Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa rerata bobot juvenil ikan gurami tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perlakuan perendaman 4 kali (2,232 ± 0,190 g). Rerata bobot ikan yang direndam 2 kali (1,719±0,289 g), 3 kali (1,682±0,338 g), dan 5 kali (1,808±0,169 g) adalah sama. Bobot ikan pada semua kontrol adalah sama, dan lebih rendah daripada ikan perlakuan HPr ikan mas. Kelangsungan hidup ikan yang direndam 4 kali (96,67±1,15%), dan 5 kali (95,33±4,16%) relatif sama, serta lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, dan kontrol (77,33 s.d 89,33%). Hasil percobaan dua menunjukkan bahwa rerata bobot benih ikan gurami tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perendaman HPr dari ikan gurami 1 kali (5482,58±110,70 g), selanjutnya perendaman HPr 2 kali @60 mg/L interval 3 hari (4480,95±858,82 g), perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @60 mg/L interval 7 hari (4569,28±242,87 g), kontrol-1 (3488,75±155,38 g), dan kontrol-2 (3488,75±155,38 g). Hal ini menunjukkan bahwa HPr dari ikan gurami dapat diberikan 1 kali, dengan efek pertumbuhan yang tinggi. Kelangsungan hidup ikan hasil perendaman 1 kali (87,38±8,84%) tidak berbeda (p>0,05) dengan perlakuan perendaman lainnya, tetapi lebih tinggi (p<0,05) daripada kontrol-2 (64,00±7,25%).

Perendaman 1 kali dengan HPr ikan gurami (120 mg/L) mampu menginduksi ekspresi gen IGF-I lebih tinggi (p<0,05) pada benih ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Kadar hormon kortisol pada benih ikan gurami setelah diberi kejutan salinitas 30 ppt (9,04 ng/mL) meningkat 190,23% dibandingkan dengan sebelum diberi kejutan salinitas (3,12 ng/mL). Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali meningkatkan hormon kortisol hingga mencapai 20,72 ng/mL sesaat setelah perendaman, namun lebih cepat turun, lebih rendah daripada perlakuan lainnya, dan cenderung stabil sampai akhir pengamatan. Kondisi ini diduga berperan dalam mendukung pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada benih ikan gurami.

Sebagai kesimpulan, perendaman 1 kali dengan dosis 120 mg/L optimum memacu pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan gurami. Hormon pertumbuhan rekombinan ikan mas dan ikan gurami memiliki biokativitas relatif sama pada juvenil ikan gurami. Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan berpengaruh terhadap pertumbuhan somatik dan diduga melibatkan IGF-I. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang tinggi pada ikan yang diberi perlakuan hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurami terkait penurunan kadar kortisol yang cepat, dan tetap rendah. Kata kunci: rekombinan, hormon pertumbuhan, perendaman, IGF-I, kortisol, ikan

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah: dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

APLIKASI HORMON PERTUMBUHAN REKOMBINAN

MELALUI PERENDAMAN UNTUK MEMACU PERTUMBUHAN

BENIH IKAN GURAMI (Osphronemus goramy)

ARAS SYAZILI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul : Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan melalui Perendaman untuk Memacu Pertumbuhan Benih Ikan Gurami (Osphronemus goramy) Nama : Aras Syazili

NIM : C151090091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc

Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis “Aplikasi Hormon Pertumbuhan Rekombinan melalui Perendaman pada Benih Ikan Gurami (Osphronemus goramy)” dilaksanakan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen Budidaya Perairan, FPIK, IPB. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 hingga Desember 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Alimuddin, S.Pi, M.Sc dan Prof. Dr. Ir. Komar Sumantadinata, M.Sc selaku dosen pembimbing, dan Dr. Ir Muhammad Agus Suprayudi, M.Si, selaku dosen penguji luar komisi pada ujian tesis. Irmawati, S.Pi, M.Si, Anna Octavera, S.Pi, M.Si dan rekan-rekan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik, serta rekan-rekan mahasiswa Ilmu Akuakultur IPB 2009. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua dan saudara penulis atas segala dukungan, doa, dan kasih sayangnya, serta untuk istri saya Nurmawati dan anak kami Naufal Biruni Nawawi atas perhatian dan pengertiannya selama ini.

Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Juni 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bua, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada tanggal 31 Januari 1977 dari ayah Nawawi BA (Alm.) dan Ibu Hj. Asma. Penulis merupakan anak ke lima dari enam bersaudara. Tahun 1997 lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin pada Program Studi Budidaya Perairan, dan lulus pada tahun 2002. Pada Tahun 2006 penulis diterima sebagai dosen di Universitas Khairun Ternate Maluku Utara, dan melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Akuakultur IPB tahun 2009. Penulis menerima Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Sebagai bagian dari tesis ini, telah dibuat artikel ilmiah dengan judul: “Kinerja pertumbuhan dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami direndam hormon pertumbuhan rekombinan dengan frekuensi berbeda”

dan sudah diterima untuk diterbitkan dalam Jurnal Akuakultur Indonesia

(12)

DAFTAR ISI

2.4 Metode Penggunaan Hormon Pertumbuhan Rekombinan (HPr) 6 2.5 Hormon Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I) ... 7

2.6 Hormon Kortisol ... 8

III BAHAN DAN METODE ... 10

3.1 Produksi Hormon Pertumbuhan rekombinan... 10

3.2 Percobaan Pertama . ... 11

4.1 Ekspresi dan Analisis Hormon Pertumbuhan Rekombinan ... 16

4.2 Percobaan Pertama ... 17

4.3 Percobaan Kedua ... 21

4.4 Ekspresi Gen Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I) ... 23

4.5 Kadar Hormon Kortisol ... 25

(13)

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 31

5.1 Simpulan ... 31

5.2 Saran ... 31

DAFTAR PUSTAKA ... 32

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Rancangan percobaan pertama ... 11 2 Rancangan percobaan kedua ... 12 3 Rerata bobot akhir dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Analisis SDS-PAGE protein HPr; M = marker, 1 = protein dari bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mOgGH; 2 = protein dari bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mCcGH, tanda panah menunjukkan protein HPr; angka di sebelah kiri menunjukkan ukuran marker (M). ... 16 2 Pertumbuhan bobot rerata (g) juvenil ikan gurami yang dipelihara

di akuarium volume 7 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan di akuarium volume 50 liter selama 2 minggu kedua. Perendaman ikan dalam air mengandung hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas dilakukan seminggu sekali selama 2 minggu (perendaman HPr 2 minggu), 3 minggu (perendaman HPr 3 kali), 4 minggu (perendaman HPr 4 kali), dan 5 minggu (perendaman HPr 5 kali). Ikan kontrol direndam dalam air yang mengandung protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1), albumin serum sapi 2), media salinitas 9 ppt tanpa protein

(kontrol-3), dan air tawar tanpa protein (kontrol-4) ... 19 3 Pertumbuhan bobot biomassa (g) juvenil ikan gurami yang

dipelihara di akuarium volume 250 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan kolam dengan luas hapa 3x2x1m. Angka 1, 2, 3, 4, 5 menunjukkan perlakuan. 1 = Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2 = Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari

ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3 = Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan

gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4 = Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 3 hari), 5 = Perendaman hormon pertumbuhan

rekombinan dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L) ... 21 4 Kelangsungan hidup ikan gurami pada akhir percobaan. Angka 1,

2, 3,4,5 menunjukkan perlakuan. 1 = Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2 = Perendaman HPr dari ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3 = Perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4 = Perendaman HPr

(16)

5 Ekspresi gen IGF-I (A), dan gen β-aktin (B) yang diamati 24 jam setelah perendaman hormon pertumbuhan rekombinan (HPr) dari ikan gurami. M = marker DNA. Angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, menunjukkan perlakuan. 1 = Perendaman HPr 1 kali (120 mg/L), 2 = Perendaman HPr 2 kali (@ 60 mg/L, 3 = Perendaman 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; Interval 7 hari), 4 = Perendaman dengan albumin serum sapi (kontrol-1), 5 = kontrol sebelum kejutan salinitas, 6 = kontrol setelah kejutan salinitas,7 = sampel hasil PCR tanpa DNA cetakan ... 23 6 Level ekspresi gen IGF-I pada larva ikan gurami, 24 jam setelah

perendaman hormon pertumbuhan rekombinan. Data telah dinormalkan dengan menggunakan gen β-aktin. Angka 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 menunjukkan perlakuan 1 = kontrol sebelum kejutan salinitas, 2 = kontrol setelah kejutan salinitas 3 = Perendaman dengan albumin serum sapi (kontrol-1), 4 = Perendaman HPr 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 5 = Perendaman HPr 2 kali (@ 60 mg/L), 6 = Perendaman HPr 1 kali (120 mg/L) ... 24 7 Perubahan kadar hormon kortisol benih ikan gurami setelah

direndam HPr dari ikan gurami. (■) Perendaman HPr 1 kali, (x) Perendaman HPr 2 kali, (▲) Perendaman HPr 4 kali

(kontrol-2), ( • ) Perendaman albumin serum sapi (kontrol-1). ... 26

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Data pertambahan bobot, dan kelangsungan hidup ikan gurami

selama percobaan pertama ... 40 2 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

pertumbuhan ikan gurami percobaan pertama ... 42 3 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

kelangsungan hidup (SR) ikan gurami percobaan pertama ... 44 4 Data bobot ikan gurami penelitian dua berdasarkan ukuran pada

akhir percobaan kedua ... 46 5 Kelangsungan hidup ikan gurami selama percobaan kedua ... 47 6 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

pertumbuhan ikan gurami percobaan kedua ... 48 7 Hasil analisis sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan

kelangsungan hidup ikan gurami percobaan kedua ... 50 8 Data pengukuran ketebalan pita hasil elektroforesis gen IGF-I dan

gen β-aktin ikan gurami menggunakan program UN-SCAN-IT gel 6.1 ... 52 9 Data pengukuran hormon kortisol benih ikan gurami yang diberi

perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ... 54

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ikan gurami (Osphronemus goramy) merupakan salah satu jenis ikan

budidaya yang termasuk dalam 10 jenis yang menjadi target peningkatan produksi

perikanan budidaya 353% pada tahun 2009-2014 yang dicanangkan oleh

Kementerian Kelautan dan Perikanan RI. Pertumbuhan ikan gurami relatif lambat,

sehingga waktu yang diperlukan untuk mencapai ukuran konsumsi adalah relatif

lama (SNI 2006). Performa pertumbuhan yang relatif lambat ini merupakan salah

satu masalah utama pengembangan budidaya ikan gurami, yang diduga sebagai

konsekuensi langsung dari laju pertumbuhan somatik yang rendah.

Berbagai metode dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan

budidaya; seperti seleksi, hibridisasi, triploidisasi dan transgenesis. Namun

upaya-upaya tersebut terhalang dengan waktu yang relatif lama untuk

mendapatkan perbaikan kualitas yang memadai. Penggunaan metode seleksi

membutuhkan waktu sekitar 10 tahun untuk menghasilkan 12 generasi dengan

kecepatan tumbuh 12,4% per generasi pada ikan nila (Bolivar dan Newkirk

2002). Aplikasi teknologi transgenesis menghasilkan laju pertumbuhan 30 kali

lebih cepat (Nam et al. 2001). Namun demikian, teknologi transgenesis masih

menimbulkan kontroversi terhadap keamanan pangan organisme hasil

transgenesis atau disebut dengan GMO (genetically modified organism).

Penerapan teknologi hibridisasi dan triploidisasi dapat dilakukan pada ikan yang

sudah diketahui teknik pemijahan buatannya.

Alternatif metode cepat yang dapat ditempuh untuk meningkatkan

pertumbuhan ikan gurami adalah aplikasi hormon pertumbuhan rekombinan

(HPr). Pemberian HPr ikan nila pada benih ikan nila mampu meningkatkan

pertumbuhan lebih dari 50% (Acosta et al. 2007). Alimuddin et al. (2010)

melaporkan bahwa terjadi peningkatan bobot ikan nila hingga 20,94% dengan

pemberian HPr ikan kerapu kertang. Aplikasi HPr ikan giant catfish

(Pangasianodon gigas) terhadap ikan mas koki mengalami peningkatan

(19)

2 Penggunaan HPr dapat juga meningkatkan kelangsungan hidup hingga

80-85% pada mysis (Arenal et al. 2008), dan meningkatkan sistem kekebalan

terhadap penyakit (McCormick 2001). Selanjutnya, ikan yang diberi HPr tidak

termasuk GMO (Acosta et al. 2007). Selain itu, penggunaan hormon pertumbuhan

lebih mudah diaplikasikan, karena dapat digunakan dengan metode perendaman

(Putra 2011; Tsai et al. 1997), penyuntikan (McLean et al. 1997; Silverstein et al.

2000; Leedom et al. 2002), dan pakan (Moriyama et al. 1993), serta waktu yang

dibutukan relatif lebih singkat, dan biaya yang dikeluarkan lebih murah jika

dibandingkan dengan metode lainnya.

Pemberian HPr melalui perendaman dengan frekuensi berbeda pada

spesies ikan berbeda. Moriyama dan Kawauchi (1990) telah melakukan

perendaman HPr sebanyak 9 kali untuk memacu pertumbuhan juvenil ikan

salmon. Santiesteban et al. (2010) merendam larva udang vaname 7 kali dalam

larutan HPr 100 µg/L. Putra (2011) menyatakan benih ikan gurami mengalami

peningkatan pertumbuhan setelah direndam 3 kali dalam larutan HPr 30 mg/L.

Perendaman HPr 3 kali semingu selama 6 minggu meningkatkan bobot tubuh

larva ikan mas koki (Acosta et al. 2009). Perendaman dengan frekuensi berbeda

dilakukan untuk mencari respons optimum ikan terhadap pertumbuhan dan

kelangsungan hidup, dan tingkat stres ikan yang rendah. Selanjutnya, frekuensi

perendaman yang minimum menggunakan total dosis HPr dari frekuensi

perendaman berbeda diduga merupakan alternatif terbaik.

Mekanisme kerja hormon pertumbuhan dapat bersifat langsung ke organ

target, dan bersifat tidak langsung dengan melibatkan insulin-like growth factor

(IGF-I) dalam hati (Bjornsson et al. 2004). Hormon pertumbuhan berfungsi pada

proses pertumbuhan, metabolisme (Castillo et al. 2004), perkembangan (Pozios et

al. 2001), reproduksi (Weber dan Sullivan 2000), dan osmoregulasi (McCormick

2001). Penyuntikan hormon pertumbuhan pada ikan salmon coho dapat

meningkatkan mRNA IGF-I hati secara signifikan (Sakamoto et al. 1995). Pada

penelitian ini, HPr diberikan dengan frekuensi berbeda, dan hal ini diduga

mempengaruhi tingkat ekspresi IGF-I.

Kandungan hormon kortisol dalam darah yang tinggi merupakan indikator

(20)

3 dan Pankhrust 2000), aklimatisasi (Lankford et al. 2003), dan status nutrisi

(Pottinger et al. 2003) merupakan pemicu meningkatnya kadar kortisol darah.

Stres dapat mengakibatkan pertumbuhan lambat, mudah terkena penyakit,

kematian (Wendelaar-Bonga 1997), dan gangguan keseimbangan cairan tubuh

ikan (Lowe dan Davison 2005). Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan

analisis kadar hormon kortisol ikan yang diberi perlakuan HPr dengan frekuensi

berbeda, untuk mengetahui pengaruh perlakuan frekuensi perendaman terhadap

benih ikan gurami.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan frekuensi optimum

penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas dan ikan gurami

dalam memacu pertumbuhan, dan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami.

Karena kerja hormon pertumbuhan dalam memacu pertumbuhan terkait dengan

insulin-like growth factor (IGF-I) dalam hati. Pada penelitian ini juga dilakukan

analisis ekspresi gen IGF-I. Selain itu, perbedaan frekuensi perendaman

berpotensi menyebabkan perbedaan tingkat stres ikan gurami. Oleh karena itu,

pada penelitian ini dilakukan pengukuran kadar kortisol plasma tubuh untuk

menganalisis tingkat stres ikan yang diberi hormon pertumbuhan rekombinan

dengan frekuensi berbeda.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan

produksi budidaya ikan gurami. Selanjutnya, peningkatan produksi budidaya

ikan gurami diharapkan dapat meningkatkan pendapatan pembudidaya.

(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan Ikan Gurami

Pertumbuhan didefinisikan sebagai perubahan ukuran, dimana variabel

yang mengalami perubahan dapat berupa panjang dan dimensi fisik lainnya,

termasuk volume, berat atau massa, baik pada keseluhan tubuh organisme atau

pada berbagai jaringan. Perubahan ini juga dapat berkaitan dengan kandungan

protein, lemak atau komponen kimia lainnya dari keseluruhan tubuh, perubahan

kandungan kalori (energi) dari seluruh tubuh atau dari komponen jaringannya

(Weatherley dan Gill 1987).

Ikan membutuhkan energi untuk pertumbuhan yang diperoleh dari pakan.

Komponen pakan yang berkontribusi terhadap penyediaan energi untuk tumbuh

adalah protein, karbohidrat dan lemak. Protein adalah nutrien yang sangat

dibutuhkan untuk perbaikan jaringan tubuh yang rusak, pemeliharaan protein

tubuh, penambahan protein untuk pertumbuhan dan sebagai sumber energi.

Kebutuhan protein ikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti ukuran ikan,

suhu air, kadar pemberian pakan, kandungan energi dari pakan yang dicerna dan

kualitas protein. Kualitas protein bergantung pada kecernaan dan nilai biolologis

yang dilihat dari jumlah dan kualitas asam aminonya (Furuichi 1988).

Energi metabolisme dan pertumbuhan pada ikan secara langsung di

kontrol oleh sistem endokrin yang kompleks atau secara tidak langsung

dipengaruhi oleh beberapa hormon. Hormon pertumbuhan (HP), Insulin-like

Growth Factor (IGF-I) dan insulin merupakan hormon yang sangat penting untuk

metabolisme dan percepatan pertumbuhan. Beberapa aksi hormon pertumbuhan

bersifat tidak langsung dan dimediasi oleh IGF-I yang diproduksi di hati serta

organ lainnya (Bjornsson et al. 2002).

2.2 Hormon Pertumbuhan

Hormon pertumbuhan merupakan polipeptida yang disekresikan oleh

bagian anterior dari kelenjar pituitari yang memacu pertumbuhan tubuh,

khususnya dengan merangsang pelepasan somatomedin, dan mempengaruhi

(22)

5 yang besar yang terdiri dari 191 asam amino dan relatif spesies-spesifik. Sekresi

hormon pertumbuhan dikendalikan di hypothalamus oleh growth hormone

releasing hormone (GHRH), ghrelin, protein pakan, kandungan gula darah yang

rendah, peningkatan sekresi androgen, dan arginin, sedangkan yang menghambat

antara lain somatostatin, konsentrasi hormon pertumbuhan dan insulin-like growth

factor-I (IGF-I) yang bersirkulasi, kandungan gula darah yang tinggi,

glukokortikoid, dan estradiol ataupun estrogen lainnya. Kandungan HP dalam

tubuh ikan berkisar antara 0,2-111,2 ng/ml plasma darah (Bjornsson et al. 1998 ).

HP memiliki berbagai fungsi yang berbeda pada proses fisiologis dalam

tubuh ikan seperti pengaturan ion dan lemak, protein, keseimbangan osmotik, dan

metabolisme karbohidrat, pertumbuhan jaringan keras dan jaringan lunak,

reproduksi dan fungsi kekebalan tubuh. Fungsi biologis HP tidak terbatas pada

peningkatan pertumbuhan, tetapi juga dapat mobilisasi energi, pengembangan

gonad, peningkatan nafsu makan, dan aspek tingkah laku. Penelitian menunjukkan

bahwa HP mempengaruhi beberapa aspek perilaku, termasuk merangsang nafsu

makan, perilaku mencari makan, agresi, dan menghindari pemangsa

(Perez-Sanchez 2000). Sebagian besar peneliti mengklaim bahwa aksi homon

pertumbuhan bersifat tidak langsung, namun berkoordinasi dengan hormon lain

seperti IGF-I untuk melakukan berbagai aksi fisiologi (Bjornsson et al. 2004)

Beberapa pengaruh hormon pertumbuhan dalam tubuh antara lain

meningkatkan retensi kalsium, meningkatkan massa otot, merangsang lipolisis,

meningkatkan sintesis protein, merangsang pertumbuhan dari seluruh organ

internal kecuali otak, berperan dalam pemenuhan homeostasis, mengurangi

pengambilan glukosa oleh hati, merangsang glukoneogenesis dalam hati,

berkontribusi dalam pemeliharaan fungsi islet pankreas, dan merangsang sistem

imun (Yada et al. 2005)

2.3 Hormon Pertumbuhan Rekombinan

Penggunaan protein hormon pertumbuhan rekombinan (HPr) ikan diduga

sebagai salah satu metode alternatif untuk meningkatkan pertumbuhan ikan

budidaya. Penggunaan protein HPr ikan dalam meningkatkan produktivitas atau

(23)

6 yang diberi HPr bukan merupakan organisme GMO (Acosta et al. 2007) dan HPr

tersebut tidak ditransmisikan ke keturunannya. Pada ikan teleostei secera khusus

telah banyak pustaka yang menyatakan dampak hormon pertumbuhan rekombinan

dapat mempercepat pertumbuhan (McLean et al. 1997). Bioaktivitas protein HPr

dalam meningkatkan pertumbuhan telah dilaporkan pada beberapa jenis ikan

seperti ikan rainbow trout (Onchorhynchus mykiss) dengan menggunakan HPr

ikan salmon (Moriyama et al. 1993), ikan mas dengan menggunakan HPr ikan

giant catfish (Pangasianodon gigas) (Promdonkoy et al. 2004), dan ikan flounder

(Paralichtys olivaceus) dengan menggunakan HPr juga dari ikan flounder (Jeh et

al. 1998).

Pemberian 0,5% HPr dalam pakan selama 12 minggu pada juvenil ikan

sea bream hitam menunjukkan perbedaan bobot sebesar 41,67% dengan ikan

kontrol setelah pemeliharaan selama 18 minggu (Tsai et al. 1997). Menurut Flik

et al. (1993), pemberian HPr pada ikan mujair dapat meningkatkan pertumbuhan

sebesar 44,9% dibandingkan dengan ikan mujair yang tidak diberi perlakuan HPr,

sedangkan pada benih ikan baronang, pemberian HPr sebesar 0,5 μg/g bobot

tubuh sebanyak 1 kali per minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan bobot

tubuh sebesar 20% dari kontrol (Funkenstein et al. 2005).

Lesmana (2010) melaporkan bahwa pemberian HPr yang berbeda pada

ikan nila melalui teknik penyuntikan atau injeksi dengan meningkatkan bobot

20,94% (HPr ikan kerapu kertang), 18,09% (HPr ikan mas), dan 16,99% (HPr

ikan gurami). Pemberian melalui penyuntikan dapat dikatakan kurang aplikatif

dan memperlihatkan respons yang lambat, hal ini diduga terjadi karena reseptor

memerlukan faktor intermediat atau waktu untuk mengenali HPr yang

diinjeksikan. Berbeda dengan penelitian Utomo (2010) bahwa penyuntikan HPr

ikan mas pada ikan mas meningkatkan pertumbuhan sebesar 106,56% bila

dibandingkan dengan ikan mas yang tidak diinjeksi.

2.4 Metode Penggunaan Hormon Pertumbuhan Rekombinan (HPr)

Aplikasi HPr dapat dilakukan melalui metode injeksi, perendaman dan

melalui pakan. Pemberian HPr melalui penyuntikan telah berhasil dilakukan pada

(24)

7 (Ictalurus punctatus) (Silverstein et al. 2000), dan ikan mujair (Oreochromis

mossambicus) (Leedom et al. 2002). Metode Perendaman HPr pada ikan gurami

dapat meningkatkan pertumbuhan hingga 75,04% (Putra 2011). Pemberian HPr

melalui pakan telah dilakukan oleh Moriyama et al. (1993) pada ikan rainbow

trout.

Metode perendaman telah diteliti untuk mengetahui peningkatan

pertumbuhan juvenil ikan salmon (Moriyama dan Kawauchi 1990). Morse (1984)

menyatakan bahwa hormon pertumbuhan sapi dapat mempercepat pertumbuhan

pascalarva abalon (Haliotis rufescens) melalui perendaman. Demikian pula pada

eastern oyster (Virginica crassostrea) HPr rainbow trout dapat meningkatkan

pertambahan bobot larva pada dosis 107 dan 108

Teknik penyuntikan dirasa kurang aplikatif karena ikan harus diinjeksi

satu per satu. Oleh karena itu, dibutuhkan metode yang lebih efisien dan efektif

dalam penerapan pemberian HPr, sehingga diharapkan dapat meningkatkan

efektivitas penyerapan HPr untuk meningkatkan laju pertumbuhan ikan.

Sementara pemberian HPr melalui oral masih menjadi perdebatan karena ada

kemungkinan HPr yang diberikan akan dicerna sebagai protein sebelum mencapai

organ target.

M selama 5 jam dengan interval

7 hari dengan metode perendaman (Paynter dan Chen 1991). Acosta et al. (2009)

menyatakan bahwa pemberian HP ikan nila dengan metode perendaman pada

larva ikan mas koki dapat meningkatkan bobot tubuh hingga 3,5 kali

dibandingkan kontrol.

2.5 Hormon Insulin-like growth factor-I (IGF-I)

Insulin-like growth factor-I (IGF-I) merupakan famili polipeptida dengan

berat molekul 7 kDa dan dikenal dengan nama lain somatomedin C. Hormon

pertumbuhan merangsang produksi IGF-I di hati (Bjornsson et al. 2004) yang

berperan penting dalam mengatur beberapa proses fisiologi seperti pertumbuhan,

metabolisme, perkembangan (Pozios et al. 2001), reproduksi (Weber dan

Sullivan, 2000), dan osmoregulasi (McCormick 2001). Seperti halnya pada

(25)

8 jaringan lain menghasilkan IGF-I secara lokal (Duan 1997). Reseptor IGF-I pada

ikan banyak terdapat di ovari, hati, otak, dan otot (Parrizas et al. 1995).

Penyuntikan hormon pertumbuhan terhadap ikan salmon coho dapat

meningkatkan mRNA IGF-I hati secara signifikan (Sakamoto et al. 1995).

Pemberian hormon pertumbuhan secara eksogen baik yang homolog dan

heterolog dapat menyebabkan peningkatan mRNA IGF-I di hati ikan sidat Jepang

(Anguilla japonica) (Duan et al. 1993), ikan salmon (Oncorhynchus kisutch)

(Duguay et al. 1994), dan ikan mas (Cyprinus carpio) (Vong et al. 2003). Pedroso

et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian HPr dosis tinggi pada ikan ekor

kuning (Seriola quinqueradiata) meningkatkan mRNA IGF-I secara signifikan

setelah 24 jam.

2.6 Hormon Kortisol

Kortisol adalah glukokortikoid yang disekresikan oleh jaringan interrenal,

yang terletak pada ginjal ikan bagian atas (Iwama et al. 1999). Ketika dalam

kondisi stres, ikan menanggapi secara langsung, dan tidak langsung. Secara

langsung ikan melepaskan hormon kortisol melalui aktivasi sumbu

hipotalamus-hipofisis-interrenal (HPI) yang melepaskan corticotropin-releasing factor (CRF)

ke dalam sirkulasi darah. Polipeptida ini kemudian merangsang sekresi

adrenocorticotrophic hormone (ACTH) dari kelenjar anterior hipofisis yang

mengaktifkan pelepasan kortisol oleh jaringan interrenal (Mommsen et al. 1999).

Respons tidak langsung terjadi karena akibat pelepasan hormon stres yang

menyebabkan perubahan kimia darah, dan jaringan, serta peningkatan plasma

glukosa yang membutuhkan energi yang besar untuk menghadapi situasi kritis.

Stres adalah kondisi fisiologis internal yang disebabkan oleh kondisi

eksternal. Stres juga dapat digambarkan sebagai respon hormonal internal dari

organisme hidup yang disebabkan oleh lingkungan atau faktor eksternal lainnya

yang menyebabkan kondisi fisiologis organisme dalam keadaan yang tidak

normal. Stres dapat mengganggu keseimbangan fisiologis ikan atau homeostasis

dengan mempercepat aliran energi dalam sistem. Kandungan kortisol dalam darah

(26)

9 Stres mempengaruhi ikan dalam dua cara, yaitu menghasilkan efek yang

mengganggu keseimbangan homeostatis, dan menginduksi respons perilaku serta

fisiologis adaptif. Seiring dengan pelepasan hormon stres, dan perubahan

fisiologis dan kimia, lalu diikuti dengan modifikasi perilaku. Perubahan ini pada

dasarnya adaptif dan berfungsi untuk meningkatkan kelangsungan hidup ketika

terancam dari situasi berbahaya. Kondisi plasma kimia dalam tubuh ikan dapat

digunakan untuk mengetahui kondisi kesehatan atau stres pada ikan, karena stres

(27)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Produksi Hormon Pertumbuhan Rekombinan

Produksi hormon pertumbuhan rekombinan dilakukan sesuai dengan

metode Alimuddin et al. (2010). Satu koloni bakteri Escherichia coli dipilih dari

media 2xYT padat untuk diinokulasi ke dalam 5 mL media LB yang mengandung

1% ampisilin dan ditumbuhkan semalam pada suhu 37oC sambil dikocok lembut

menggunakan shaker. Selanjutnya, sebanyak 5 µL kultur ini disubkultur di dalam

5 mL media LB yang mengandung 100 µL ampisilin pada suhu media 37oC

sambil dikocok lembut dengan shaker. Setelah dua jam kultur E. coli diberi cold

shock pada suhu 15oC selama 30 menit. Ekspresi rekombinan HPr kemudian

diinduksi pada kondisi OD600 dengan isopropyl-b-D-thiogalac-topyranoside

(IPTG) dengan dosis 800 µL dan selanjutnya ditumbuhkan pada suhu 15oC

selama 24 jam. Sel bakteri kemudian dipanen dengan sentrifugasi pada 4000 rpm

selama 5 menit, kemudian disimpan pada suhu -80o

Lisis dinding sel bakteri dilakukan secara kimiawi dengan menggunakan

lisozim. Pelet bakteri hasil sentifugasi dicuci menggunakan 1 mL TE buffer

per 200 mg bakteri dan diinkubasi pada suhu 37

C hingga akan digunakan.

Proses selanjutnya dilakukan lisis dinding sel bakteri dan analisis protein HPr

menggunakan teknik SDS-PAGE.

o

C selama 20 menit, disentrifugasi

pada 12.000 rpm (4oC) selama 1 menit dan kemudian supernatant dalam tabung

mikro dibuang. Pelet bakteri sebanyak 200 mg dalam tabung mikro ditambahkan

500 µL larutan lisozim ( 10 mg dalam 1 mL buffer TE), diinkubasi pada suhu

37oC selama 20 menit lalu disentrifugasi pada 12.000 rpm selama 1 menit.

Supernatan dibuang, dan pelet yang terbentuk merupakan protein HPr dalam

bentuk badan inklusi (inclusion body). Pelet HPr dicuci dengan PBS sebanyak 1

kali dan disimpan pada suhu -800

Analisis protein HPr dilakukan menggunakan teknik SDS-PAGE

berdasarkan metode Blackshear (1984) dalam Bollag et al. (1996). Gel yang

dibuat dalam SDS-PAGE terdapat 2 lapisan gel dalam proses SDS-PAGE yaitu

running gel dan stacking gel (12%) mengandung 4,62 mL H C hingga digunakan.

2O; 5,60 ml

(28)

11 µL APS 10%; dan 5,6 µL TEMED, stacking gel (5%) mengandung 3,4 mL H2O;

0,83 mL acrilamide/Bis 29:1; 0,63 ml gel buffer 1,5 M (pH 6,8); 50 µl SDS 10%;

50 µL APS 10% dan 50 µL TEMED. Protein HPr sebanyak 1 mg ditambahkan

10 µL PBS dan 10 µL loading buffer, kemudian diinkubasi pada suhu 1000C

selama 10 menit. Loading buffer mengandung 1,5 M tris-HCl (pH 6,8), 2 M

Dithiothreitol, SDS 10%. Bromophenol blue, gliserol 87%, dan ddH2O,

coomassie brilliant blue R-250 dan asam asetat glasial selama 3 jam. Gel

dimasukkan ke dalam de-staining solution (etanol, ddH2

3.2 Percobaan Pertama

O, asam asetat glacial)

selama 24 jam. Ukuran protein HPr diprediksi berdasarkan konsensus bahwa 10

kDa protein sama dengan 270 bp DNA.

Tujuan percobaan pertama adalah untuk mengetahui frekuensi perendaman

HPr terbaik dalam memacu pertumbuhan dan kelangsungan hidup benih ikan

gurami. Rancangan percobaan yang digunakan pada percobaan pertama adalah

rancangan acak lengkap (RAL) dengan delapan perlakuan, dan tiga ulangan

(Tabel 1). Perlakuan penelitian adalah frekuensi perendaman HPr 2, 3, 4, dan 5

kali. Dosis hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas yang diberikan pada

setiap waktu perendaman adalah 30 mg/L (Putra 2011).

Tabel 1 Rancangan percobaan pertama

Perlakuan

Protein badan inklusi tanpa HPr (Kontrol -1)

5 150 1, 2, 3, 4,5

Albumim serum sapi (kontrol-2) 5 0,5 1, 2, 3, 4,5

Media salinitas 9 ppt tanpa

(29)

12 Benih ikan gurami berumur 2 hari setelah habis kuning telur, dipuasakan

selama satu hari. Ikan gurami direndam dalam air bersalinitas 30 ppt selama 2

menit dengan padat penebaran 50 ekor, lalu dimasukkan ke dalam media yang

mengandung HPr selama 60 menit. Larutan perendaman sebanyak 1 liter terdiri

dari HPr, NaCl 0,9%, dan albumin serum sapi 0,01%. Ikan diberi pakan berupa

naupli Artemia segar dilanjutkan dengan cacing sutera setelah berumur 7 hari, dan

pakan buatan. Pergantian air di akuarium volume 7 liter dilakukan setiap hari

sebanyak 50% dan pada akuarium volume 50 liter 80%. Suhu dipertahankan

sekitar 29oC selama percobaan menggunakan pemanas otomatis. Setelah berumur

4 minggu ikan dipindahkan ke wadah yang berukuran lebih besar dengan volume

air 50 liter. Setelah berumur 6 minggu ikan dipindahkan ke kolam dan dipelihara

hingga berumur 8 minggu.

3. 3 Percobaan Kedua

Percobaan kedua dilakukan untuk mengetahui respons pertumbuhan ikan

gurami melalui perendaman hormon pertumbuhan rekombinan ikan gurami

dengan dosis optimum. Rancangan percobaan yang digunakan adalah RAL

dengan lima perlakuan, dan tiga ulangan (Tabel 2).

Tabel 2 Rancangan percobaan kedua

Perlakuan (3 ulangan)

Frekuensi perendaman terbaik dari hasil percobaan pertama digunakan

dalam percobaan kedua. Setiap perlakuan mendapat total dosis hormon

(30)

13 ekor larva umur 2 hari setelah menetas, direndam selama 2 menit dalam air

volume 1 liter bersalinitas 30 ppt, dan selanjutnya direndam selama 1 jam dalam

air mengandung BSA 0,01% dan NaCl 0,9%. Ikan diberi pakan berupa naupli

Artemia segar selama 7 hari, dilanjutkan dengan cacing sutera sampai berumur 30

hari Setelah berumur 4 minggu ikan dipindahkan ke kolam dan dipelihara hingga

berumur 12 minggu dan diberi pakan buatan.

3.4 Analisis Ekspresi Gen IGF-I

3.4.1 Isolasi RNA Total

Sampel ikan gurami dikumpulkan 24 jam setelah perlakuan perendaman

hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami. Sebagai kontrol dikumpulkan

sampel ikan tanpa perlakuan perendaman HPr, dan sampel ikan setelah kejutan

salinitas. Total RNA jaringan tubuh diekstraksi menggunakan isogen (Nippon

Gen, Japan) sesuai prosedur dalam manual. Jaringan dimasukkan ke dalam tabung

berisi isogen 200 µL, dihancurkan menggunakan penggerus yang sebelumnya

telah disterilkan dengan DEPC 1%. Ke dalam tabung ditambahkan larutan isogen

sampai mencapai volume akhir 400 µL. Sebanyak 200 µL kloroform

ditambahkan ke dalam tabung, dan disentrifugasi pada kecepatan 12.000 rpm

selama 5 menit pada suhu ruang. Supernatan yang terbentuk dipindahkan ke

dalam tabung baru yang telah berisi 400 µL isopropanol. Larutan disentrifugasi

pada kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4oC. Supernatan dibuang,

kemudian RNA difiksasi dengan 1 mL etanol 70%, disentrifugasi dengan

kecepatan 12.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4o

3.4.2 Sintesis cDNA

C. RNA dikeringkan dengan

cara membuang larutan yang terdapat pada tabung. RNA dilarutkan dengan cara

menambahkan 30 µL DEPC 1%. Konsentrasi RNA total hasil isolasi diukur

menggunakan alat pengukur konsentrasi RNA/DNA (GenQuant). Absorbansi

diukur pada panjang gelombang 260, dan 280 nm.

Sintesis cDNA IGF-I ikan gurami dilakukan menggunakan kit

Ready-To-Go You-Prime First Strand Beads (Amersham Pharmacia Biotech, USA). RNA

(31)

14 kemudian didinginkan di atas es. Larutan RNA dipindahkan ke dalam tabung

berisi kit sintesis cDNA, dan ditambahkan 1 µg primer dT3’RACE-VECT

(5’-GTAATACTCACTATAGGGCACGCGTGGTCGACGGCCCGGGCTGGTT

TTTTTTTTTTTTTTTTT-’). Larutan dihomogenkan, dan diinkubasi pada suhu

37o

3.4.3 PCR dan Kuantifikasi Ekspresi Gen IGF-I

C selama 1 jam. cDNA yang terbentuk ditambahkan 30 µL SDW steril, dan

disimpan dalam refrigerator hingga akan digunakan.

Ekspresi gen IGF-I dideteksi dengan menggunakan teknik RT-PCR

menggunakan primer F (5’-TTCAAGAGTGTCATGTGCTGTA-3’) dan

R (5’-CATAGCCTGTTGGTTTACTGAA-3’) (Irmawati, komunikasi pribadi).

Kontrol internal menggunakan gen β-aktin. Gen β-aktin dilacak dengan

menggunakan metode RT-PCR dengan primer F (5’-AACCATGGATGATGAA

ATCGCCGCA-3’) dan R (5’-TGATGCCTGGGGCGA-CCGACGATGG-3’)

(Irmawati, komunikasi pribadi). PCR gen IGF-I dilakukan dengan program: 94oC

selama 1 menit; ( 94oC selama 30 detik; 57oC selama 30 detik; 72oC selama 30

detik) sebanyak 35 siklus; 72oC selama 1 menit; dan 4oC (tak hingga). PCR gen β-aktin dilakukan dengan program: 94oC selama 1 menit; (94oC selama 30 detik; 59oC selama 30 detik; 72oC selama 30 detik) sebanyak 30 siklus; 72oC selama

1 menit; dan 4o

3.5 Analisis Kadar Hormon Kortisol

C (tak hingga). Pengecekan hasil amplifikasi PCR dilakukan

dengan elektroforesis menggunakan gel agarose 1%. Pengukuran level ekspresi

gen IGF-I dilakukan dengan mengukur ketebalan pita DNA hasil elektroforesis

menggunakan program UN-SCAN-IT gel 6.1. Hasil pengukuran level ekspresi

gen IGF-I dibandingkan dengan gen beta aktin yang berfungsi sebagai kontrol

loading RNA dalam sintesis cDNA.

Sampel ikan dikumpulkan 1 menit setelah peredaman HPr, dilanjutkan

pada jam ke-0, 3, 6, 9, 12, 24, dan 36. Sebagai kontrol, ikan dikumpulkan

sebelum, dan sesaat setelah diberi kejutan salinitas. Benih ikan gurami sebanyak

2 g diambil, digerus menjadi halus, lalu ditambahkan 10 mL dietil eter, dan

diinkubasi selama 48 jam pada suhu ruang. Ke dalam tabung ditambahkan PBS

(32)

15 disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan yang terbentuk

dipindahkan ke dalam tabung baru, dan disimpan pada suhu -20oC hingga akan

digunakan. Pengukuran RIA (radioimmunoassay) dilakukan untuk mengetahui

kadar hormon kortisol menggunakan Ria Kit Kortisol [125

3.6 Analisis Data

I] (Institute of Isotopes

Ltd, Budapest) dengan prosedur sesuai manual.

Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam pada

tingkat kepercayaan 95%, dan dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat

pengaruh antar perlakuan terhadap masing-masing parameter yang diuji. Analisis

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Ekspresi dan Analisis Protein Hormon Pertumbuhan Rekombinan

Berdasarkan hasil analisis SDS-PAGE (Gambar 1), terdapat pita yang

muncul pada posisi sekitar 21 kDa yang merupakan protein hormon pertumbuhan

rekombinan. Panjang fragmen DNA gen HP dalam konstruksi adalah 563 bp. Di

bagian depan sekuen gen HP terdapat fragmen 65 bp, total sekuen DNA yang

menyandikan asam amino adalah menjadi 633 bp, sehingga ukuran protein yang

dihasilkan adalah sekitar 21 kDA. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

protein HPr telah berhasil diproduksi.

Gambar 1 Analisis SDS-PAGE protein HPr; M= marker, 1= protein dari

bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mOgGH;

2= protein dari bakteri Escherichia coli BL21 yang membawa plasmid C-mCcGH tanda panah menunjukkan protein HPr; angka di sebelah kiri menunjukkan ukuran marker (M).

30

25 kDA

M 1 2

(34)

17 4.2 Percobaan Pertama

Hasil percobaan pertama menunjukkan bahwa bobot rerata juvenil ikan

gurami yang diberi perlakuan perendaman protein hormon pertumbuhan dari

rekombinan ikan mas dengan frekuensi 4 kali (2,232±0,190 g) lebih tinggi

(P<0,05) dari kontrol dan perlakuan lainnya (Tabel 3). Rerata bobot ikan hasil

perendaman 5 kali (1,808±0,169 g), 3 kali (1,682±0,338 g), dan 2 kali

(1,718±0,289 g) tidak berbeda. Bobot ikan kontrol yang terdiri atas empat macam

adalah tidak berbeda (P>0,05). Dengan demikian, juvenil ikan gurami merespons

pertumbuhan secara optimum perlakuann HPr pada frekuensi 4 kali perendaman.

Tabel 3 Rerata bobot akhir dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami kontrol dan perlakuan percobaan pertama

Perlakuan Bobot akhir

(rerata±SD;g)

Kelangsungan hidup (rerata±SE,%)

Protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1)

Albumim serum sapi (kontrol-2)

Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3)

Media air tawar (kontrol-4)

Perendaman HPr 2 kali

Perendaman HPr 3 kali

Perendaman HPr 4 kali

Perendaman HPr 5 kali

1,396 ± 0,068

Keterangan: SD, simpangan deviasi. SE, simpangan eror. Perendaman HPr dilakukan seminggu sekali selama 2 minggu (2 kali), 3 minggu (3 kali), 4 minggu (4 kali), dan 5 minggu (5 kali). Bobot akhir ikan adalah bobot setelah dipelihara selama 4 minggu pertama di akuarium volume 7 liter, dan 2 minggu kedua di akuarium volume 50 liter. Huruf superskrip di belakang nilai SD yang berbeda pada kolom yang sama adalah berbeda secara statistik (P<0,05).

Pertambahan bobot juvenil ikan gurami perlakuan perendaman 4 kali pada

minggu ke-6 meningkat secara signifikan dibandingkan dengan minggu ke-5

(35)

18 perendaman HPr, serta kontrol cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa

wadah pemeliharaan telah mempengaruhi potensi pertumbuhan ikan. Oleh karena

itu, ikan dipindahkan ke hapa yang dipasang di kolam. Kepadatan ikan dalam

hapa adalah 100 ekor. Setelah dipelihara selama 2 minggu dalam hapa, bobot ikan

perlakuan perendaman HPr 4 kali (4,010 g) meningkat sekitar 1,80 kali lipat

dibandingkan pada minggu ke-6, sedangkan bobot ikan perlakuan lainnya (2,554

– 2,794 g) hanya meningkat sekitar 1,41 – 1,63 kali lipat. Bobot ikan perlakuan

perendaman HPr 4 kali adalah lebih tinggi sekitar 70% dibandingkan dengan

kontrol (1,962 – 2,359 g). Dengan demikian, pertumbuhan ikan perlakuan

perendaman HPr 4 kali tetap lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan

perlakuan lainnya.

Seperti ditampilkan dalam Tabel 3, tingkat kelangsungan hidup tertinggi

diperoleh pada perlakuan perendaman HPr 4 kali (96,67%), sedangkan yang

terendah pada perlakuan kontrol-4 ikan direndam dalam air tawar (77,33%).

Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman hormone pertumbuhan

rekombinan ikan mas 4 kali juga lebih tinggi daripada perlakuan kontrol-1, 2, dan

3. Hal ini menunjukkan bahwa perendaman hormon pertumbuhan rekombinan

dari ikan mas 4 kali memberikan kondisi optimum bagi kelangsungan hidup

juvenil ikan gurami. Selanjutnya, kelangsungan hidup ikan saat diperlihara di

kolam adalah 100% untuk semua perlakuan dan kontrol. Dengan demikian,

juvenil ikan gurami yang telah dipelihara selama 6 minggu di akurium relatif kuat

dipelihara pada kondisi lingkungan tidak terkendali dengan baik di kolam.

Pertumbuhan ikan gurami relatif lambat sehingga waktu yang dibutuhkan

untuk mencapai ukuran konsumsi (>300 g/ekor) relatif lama. Perbaikan

pertumbuhan ikan gurami menggunakan metode perendaman hormon

pertumbuhan rekombinan dari ikan mas merupakan alternatif metode cepat. Hasil

percobaan ini menunjukkan bahwa bobot juvenil ikan gurami yang direndam

hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas sekali seminggu selama

4 minggu 71% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan kontrol-2 albumin

serum sapi. Kelangsungan hidup ikan perlakuan perendaman hormon

pertumbuhan rekombinan dari ikan mas 4 kali (96,67%) juga lebih tinggi daripada

(36)

19 hidup juvenil ikan gurami dapat ditingkatkan dengan perlakuan perendaman HPr

4 kali. Bobot dan kelangsungan hidup merupakan faktor penentu tingkat produksi

budidaya ikan, sehingga perlakuan perendaman hormon pertumbuhan rekombinan

dari ikan mas berpotensi tinggi untuk diterapkan oleh pembudidaya untuk

meningkatkan produksi budidayanya.

Gambar 2 Pertumbuhan bobot rerata (g) juvenil ikan gurami yang dipelihara di akuarium volume 7 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan di akuarium volume 50 liter selama 2 minggu kedua. Perendaman ikan dalam air mengandung hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan mas dilakukan seminggu sekali selama 2 minggu (perendaman HPr 2 minggu), 3 minggu (perendaman HPr 3 kali), 4 minggu (perendaman HPr 4 kali), dan 5 minggu (perendaman HPr 5 kali). Ikan kontrol direndam dalam air yang mengandung protein badan inklusi tanpa HPr (kontrol-1), albumin serum sapi (kontrol-2), Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3), dan air tawar tanpa protein (kontrol-4).

Frekuensi perendaman HPr 4 kali lebih baik daripada 2, 3, dan 5 kali. Hal

ini menunjukkan bahwa perendaman 4 kali adalah yang optimum untuk memacu

pertumbuhan juvenil ikan gurami. Namun demikian, peningkatan bobot ikan hasil

perlakuan perendaman 4 kali pada percobaan ini sedikit lebih rendah

dibandingkan dengan yang diperoleh oleh Putra (2011) yang melakukan

perendaman HPr sebanyak 3 kali. Salah satu faktor yang diduga berpengaruh

adalah perbedaan HPr yang digunakan, percobaan ini menggunakan HPr ikan

mas, sedangkan Putra (2011) menggunakan HPr ikan gurami. Faktor lain yang 0,0 Protein badan inklusi tanpa rHP (kontrol-1)

Albumin serum sapi (kontrol-2)

Media salinitas 9 ppt tanpa protein (kontrol-3)

Media air tawar (kontrol-4)

Perendaman HPr 2 kali

Perendaman HPr 3 kali

Perendaman HPr 4 kali

(37)

20 dapat menjadi penyebab adalah ikan uji yang digunakan bukan ikan klon yang

memiliki karakteristik genetik sama. Pengujian kedua HPr ini secara bersamaan

pada populasi juvenil ikan gurami dari induk yang sama diduga dapat memberikan

jawaban apakah perbedaan hasil percobaan tersebut terkait dengan sumber gen

yang digunakan dalam pembuatan HPr.

Peningkatan frekuensi perendaman HPr cenderung meningkatkan

kelangsungan hidup juvenil ikan gurami. Frekuensi perendaman HPr 4 dan 5 kali

adalah sama, dan lebih tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan

kontrol termasuk kontrol air tawar. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Putra

(2010) bahwa kelangsungan hidup perlakuan HPr (100%) lebih tinggi daripada

kontrol (94%). Pemberian HPr dapat meningkatkan daya tahan ikan terhadap

stres (McCormick 2001; Acosta et al. 2009), dan infeksi penyakit (Sakai et al.

1997; Acosta et al. 2009). Kondisi media dan metode pemeliharaan ikan pada

semua perlakuan pada percobaan ini adalah sama. Oleh karena itu, peningkatan

kelangsungan hidup tersebut diduga disebabkan oleh peningkatkan daya tahan

tubuh ikan terhadap stres. Stres dapat berasal dari perlakuan salinitas, dan

gangguan fisik dalam pemeliharaan ikan seperti pengambilan ikan dari akuarium

untuk diberi perlakuan HPr dan pergantian air akuarium yang dilakukan setiap

hari.

Pemberian HPr dengan frekuensi 3 kali atau lebih adalah umum dilakukan,

seperti Leedom et al. (2002) menginjeksi ikan nila dengan HPr sekali seminggu

selama 4 minggu, dan Acosta et al. (2009) merendam juvenil ikan mas 3 kali

seminggu. Namun demikian, pemberian HPr dengan frekuensi sering adalah tidak

praktis dilakukan oleh pembudidaya. Oleh karena itu, perlakuan HPr dengan

sekali perendaman pada juvenil ikan gurami perlu diteliti. Sonnenschein (2001)

melaporkan peningkatan pertumbuhan ikan grass carp secara signifikan dengan

hanya sekali perendaman HPr menggunakan dosis tinggi 300 mg/L. Penggunaan

total HPr 4 kali pemberian hasil percobaan ini menjadi sekali pemberian (120

mg/L) diduga juga dapat meningkatkan pertumbuhan juvenil ikan gurami secara

signifikan, dan hal ini akan meningkatkan daya tarik HPr untuk diaplikasikan oleh

(38)

21 4.3 Percobaan Kedua

Hasil percobaan kedua menunjukkan bahwa rerata bobot benih ikan

gurami tertinggi (p<0,05) diperoleh pada perendaman hormon pertumbuhan

rekombinan dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L) (5482,58±110,70 g), selanjutnya

perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 2 kali @60 mg/L

interval 3 hari (4480,95±858,82 g), perendaman perendaman hormon

pertumbuhan rekombinan ikan gurami 2 kali @60 mg/L interval 7 hari

(4569,28±242,87 g), albumin serum sapi (kontrol-1) (3621,79±197,40 g) dan

perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L

(kontrol-2; interval 7 hari) (3488,75±155,38 g). Hal ini menunjukkan bahwa

hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami dapat diberikan sekali, dengan

efek pertumbuhan yang tinggi.

Gambar 3 Pertumbuhan bobot biomassa (g) juvenil ikan gurami yang

dipelihara di akuarium volume 250 liter selama 4 minggu pertama dan dilanjutkan kolam dengan luas hapa 3x2x1m. Angka 1, 2, 3, 4, 5 menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari

ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami

2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 3 hari), 5= Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L)

(39)

22 Kelangsungan hidup ikan (Gambar 4) hasil perendaman 1 kali

(87,38±8,84%) tidak berbeda (p>0,05) dengan perlakuan perendaman lainnya,

tetapi lebih tinggi (p<0,05) daripada kontrol-2 (64,00±7,25%). Perendaman 1 kali

dengan dosis tinggi mampu memberikan tingkat kelangsungan hidup benih ikan

gurami yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lain, dan kontrol.

Gambar 4 Kelangsungan hidup ikan gurami pada akhir percobaan. Angka 1, 2, 3, 4, 5 menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman albumim serum sapi (kontrol-1), 2= Perendaman HPr dari ikan gurami 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 3= Perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 7 hari), 4= Perendaman HPr dari ikan gurami 2 kali @ 60 mg/L (interval 3 hari), 5= Perendaman HPr dari ikan gurami 1 kali (120 mg/L)

Perendaman HPr dari ikan gurami dosis tinggi memacu pertumbuhan

bobot benih ikan gurami yang diamati pada percobaan ini. Terlihat bahwa

perendaman HPr sekali dengan dosis tinggi memberikan pertumbuhan yang

signifikan (P<0,05) dengan perlakuan lainnya. Agellon et al. (1988) telah meneliti

perendaman sekali larva ikan raibow trout dalam larutan HPr 500 µg/L dapat

memacu pertumbuhan. Sementara Schulte et al. (1995) melaporkan bahwa HPr

sapi dapat mempercepat pertumbuhan benih ikan rainbow trout setelah direndam

pada dosis 1-100 mg/L. Peterson et al. (2004) menyatakan bahwa penyuntikan

(40)

23 0,5-

0,5-

kb M 1 2 3 4 5 6 7

Kelangsungan hidup ikan hasil perendaman 1 kali (87,29±8,76) berbeda

(p<0,05) dengan perlakuan perendaman lainnya. Perendaman tunggal dengan

dosis tinggi mampu memberikan tingkat kelangsungan hidup benih ikan gurami

yang lebih tinggi dibanding dengan perlakuan lainnya. Putra (2011) mendapatkan

kelangsungan hidup 100% pada perendaman benih ikan gurami dosis 30 mg/L.

Selanjutnya Acosta et al. (2009) menyatakan bahwa pemberian HPr pada larva

dapat meningkatkan kelangsungan hidup dan daya tahan terhadap stres dan infeksi

penyakit. Pemberian HPr pada ikan rainbow trout juga efektif meningkatkan

resistensi terhadap Vibrio anguilarum (Sakai et al. 1997).

4.4 Ekspresi Gen IGF-I

Hasil elektroforesis RT-PCR ekspresi gen IGF-I, 24 jam setelah direndam

dengan HPr dari ikan gurami dapat dilihat pada Gambar 5A. Sebagai kontrol

internal digunakan gen β-aktin (Gambar 5B). Dari hasil analisis level ekspresi

(Gambar 6) pemberian HPr pada ikan gurami 1 kali perendaman dapat

menginduksi peningkatan ekspresi gen IGF-I yang signifikan setelah 24 jam

dibandingkan dengan perlakuan lain.

\

Gambar 5 Ekspresi gen IGF-I (A), dan gen β-aktin (B) yang diamati 24 jam

setelah perendaman hormon pertumbuhan rekombinan (HPr) dari ikan gurami. M = marker DNA. Angka 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7, menunjukkan perlakuan. 1= Perendaman HPr 1 kali (120 mg/L), 2 = Perendaman HPr 2 kali (@ 60 mg/L, 3= Perendaman 4 kali @ 30 mg/L (kontrol-2; interval 7 hari), 4= Perendaman dengan albumin serum sapi (kontrol-1), 5= kontrol sebelum kejutan salinitas, 6= kontrol setelah kejutan salinitas, 7= sampel hasil PCR tanpa DNA cetakan.

A

(41)

24 Penelitian ini ingin membuktikan mekanisme kerja hormon pertumbuhan

eksogen yang melibatkan hormon IGF-I. Hasilnya menunjukkan bahwa

pemberian hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman merangsang

transkripsi IGF-I dalam hati benih ikan gurami. Perendaman HPr 1 kali (total

dosis 120 mg/L) mampu meningkatkan ekspresi gen IGF-I secara signifikan di

seluruh tubuh benih ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lain.

Pembuktian ini mengidikasikan bahwa efek pertumbuhan merupakan proses dari

meningkatnya IGF-I pada tubuh ikan sebagai respons dari pemberian hormon

pertumbuhan rekombinan.

Gambar 6 Level ekspresi gen IGF-I pada larva ikan gurami, 24 jam setelah perendaman hormon pertumbuhan rekombinan. Data telah

dinormalkan dengan menggunakan gen β-aktin. Angka 1, 2, 3, 4, 5

(42)

25 Peningkatan IGF-I setelah direndam rHP yang ditemukan pada penelitian

ini serupa dengan pola IGF-I pada ikan ekor kuning (Pedroso et al. 2009), ikan

salmon (Pierce et al. 2004) dan ikan seabream (Leung et al. 2008) yang

menunjukkan adanya pengaruh hormon pertumbuhan yang besar dalam hati ketika

diberikan hormon pertumbuhan eksogen dengan dosis tinggi. Pemberian hormon

pertumbuhan secara eksogen baik yang homolog dan heterolog juga dapat

menyebabkan peningkatan mRNA IGF-I di hati ikan salmon (Oncorhynchus

kisutch) (Duguay et al. 1994), ikan sidat Jepang (Anguilla japonica) (Duan et al.

1993) dan ikan mas (Cyprinus carpio) (Vong et al. 2003). IGF-I berperan penting

dalam mengatur beberapa proses fisiologi ikan seperti pertumbuhan, metabolisme,

perkembangan, reproduksi dan osmoregulasi. Pemberian hormon pertumbuhan

pada ikan juga dapat meningkatkan toleransi terhadap salinitas (Bolton et al.

1987) sehingga dapat mengurangi tingkat stres ikan gurami yang diberi kejutan

salinitas dan perendaman HPr.

Efek hormon pertumbuhan pada jaringan target dimediasi oleh reseptor

hormon pertumbuhan. Hal ini telah dilaporkan oleh Gahr et al. (2008) bahwa

pemberian hormon pertumbuhan rekombinan akan meningkatkan ekspresi

reseptor hormon pertumbuhan pada hati. Ekspresi IGF-I dipengaruhi oleh hormon

pertumbuhan, dan pada percobaan kedua digunakan hormon pertumbuhan

rekombinan ikan gurami. Penggunaan hormon pertumbuhan rekombinan yang

homolog diduga memegang peranan penting dalam mengenali dan merespons

sinyal reseptor serta memiliki tingkat afinitas tinggi. Hormon pertumbuhan

berikatan dengan reseptor di hati, dan merangsang pelepasan hormon IGF-I

(Moriyama et al. 2000).

4.5 Kadar Hormon Kortisol

Hasil pengukuran hormon kortisol pada benih ikan gurami yang diberi

kejutan salinitas dan direndam dengan hormon pertumbuhan rekombinan dapat

dilihat pada Gambar 7. Sebelum diberi kejutan salinitas, kadar kortisol yang

terukur adalah 3,12 ng/mL kemudian mengalami peningkatan sebanyak 190,23%

ke level 9,04 ng/mL setelah kejutan salinitas selama 2 menit. Level kortisol terus

(43)

26 mencapai 20,72 ng/mL sesaat setelah perendaman. Perendaman HPr 2 kali juga

mencapai puncak sesaat setelah perendaman HPr pada 13,70 ng/mL, tetapi lebih

rendah dibandingkan dengan perendaman HPr 1 kali. Hasil yang berbeda terjadi

pada perendaman HPr 4 kali, dan albumin serum sapi yang mengalami

mengalami penurunan masing-masing ke tingkat 7,90 ng/mL, dan 6,85 ng/mL 0

jam setelah perlakuan.

Gambar 7 Perubahan kadar hormon kortisol benih ikan gurami setelah

direndam HPr dari ikan gurami. (■) Perendaman HPr 1 kali,

(x) Perendaman HPr 2 kali, (▲) Perendaman HPr 4 kali (kontrol-2), (•) Perendaman albumin serum sapi (kontrol-1)

Pada jam ke-3 setelah perendaman HPr, tingkat hormon kortisol yang

terukur pada perlakuan perendaman HPr 1 kali mengalami penurunan ke tingkat

0,89 ng/mL dan cendenrung normal sampai pada jam ke-36. Pola yang sama juga

ditunjukkan pada perendaman HPr 2 kali yaitu pada jam ke-3 setelah perendaman

juga mengalami penurunan ke level 1,97 ng/mL. Pada perendaman HPr 4 kali dan

albumin serum sapi, hormon kortisol kembali meningkat masing-masing hingga

7,90 ng/mL dan 6,85 ng/mL, 0 jam setelah perendaman dan mengalami fluktuasi

sampai akhir pengamatan. Puncak hormon kortisol pada perendaman HPr 4 kali

terjadi pada jam ke-3 (11,35 ng/mL) dan pada perendaman albumin serum sapi

(44)

27 Hormon kortisol merupakan salah satu indikator untuk mengukur tingkat

stres pada ikan (Haukenes et al. 2008). Meningkatnya kadar hormon kortisol

setelah setelah diberi kejutan salinitas merupakan reaksi adaptif ikan dalam

menanggapi perubahan kondisi lingkungan yang ekstrim. Beberapa penelitian

telah menujukkan bahwa perubahan salinitas dapat meningkatkan konsentrasi

hormon kortisol dalam dalam darah ikan seperti yang dilaporkan oleh Young et al.

(1989) pada ikan salmon coho (Oncorhynchus kisutch) dan (Morgan et al.1997)

pada ikan mujair (Oreochromis mossambicus).

Perendaman hormon pertumbuhan rekombinan dari ikan gurami 1 kali

meningkatkan kadar hormon kortisol ikan gurami yang diamati sesaat setelah

perendaman hingga mencapai 20,72 ng/mL. Hal yang sama juga terlihat pada

perendaman HPr 2 kali, namun hanya meningkat hingga 13,70 ng/mL. Tingginya

kadar hormon kortisol sesaat setelah direndam diduga karena terjadinya

peningkatan ACTH (Adrenocorticortropic Hormone) sebagai respon terhadap

terganggunya fungsi biokimia tubuh (Porchas et al. 2009), sehingga merangsang

produksi hormon kortisol. Hal yang sama terjadi pada Rainbow trout

(Oncorhynchus mykiss) (Benguira et al. 2002) yang mengalami peningkatan kadar

hormon kortisol setelah diekspos dalam larutan kimia.

Ada kecenderungan bahwa perendaman HPr 1 kali dan 2 kali

mengakibatkan ikan lebih cepat kembali pulih setelah mengalami stres. Pada

percobaan ini ditemukan bahwa level kortisol menurun ke tingkat yang paling

rendah 3 jam setelah mengalami stres. Sementara pada beberapa ikan, butuh

waktu selama 6 jam untuk kembali ke tingkat normal setelah stres (Iwama et al.

1995). Tingkat kortisol ikan red drum mengalami peningkatan saat penangkapan

dan menurun ke tingkat bawah dalam waktu 48 jam (Robertson et al. 1987). Ikan

mas mengalami peningkatan hormon kortisol ketika ditangkap dengan jaring dan

kembali normal setelah 4 jam (Pottinger 1998). Namun Biga (2004) menyatakan

bahwa pemberian hormon pertumbuhan meningkatkan sirkulasi kortisol dalam

darah ikan rainbow trout (Oncorhynchus mykiss).

Pada percobaan ini ditemukan bahwa tingkat hormon kortisol terendah

(45)

28 hormon kortisol diduga berhubungan dengan kinerja hormone pertumbuhan yang

memberikan kontrol negatif terhadap jaringan interrenal yang merupakan tempat

sekresi utama hormon kortisol (Nishioka et al. 1985). Kondisi hormon kortisol

yang cenderung stabil setelah mengalami stres mempengaruhi kinerja

pertumbuhan yang optimal bagi ikan gurami dibandingkan dengan perlakuan lain.

Pada perendaman HPr 1 kali, kisaran kortisol dari jam ke-3 sampai jam ke-36

berkisar antara 0,89 ng/mL hingga 2,84 ng/mL, lebih rendah sebelum diberi

kejutan salinitas (3,12 ng/mL). Data bobot biomassa dan tingkat kelangsungan

hidup benih ikan yang terbaik pada perendaman HPr 1 kali juga ditunjang oleh

keadaan hormon kortisol yang cepat pulih dan tetap rendah dan lebih stabil selama

percobaan. Penelitian Flick et al. (1993) membuktikan bahwa pemberian hormon

pertumbuhan rekombinan mampu memberikan pertumbuhan biomassa terbaik

setelah 44 hari dan hormon kortisol yang lebih rendah 94,8% dibandingkan

dengan kontrol.

Data bobot biomassa (Gambar 3) dan kelangsungan hidup (Gambar 4)

terbaik didapatkan dari perendaman HPr 1 kali berhubungan dengan keadaan

plasma kortisol darah tubuh ikan selama percobaan. Rendahnya kadar kortisol

pada percobaan pertama diduga merupakan kondisi yang efisien untuk memacu

pertumbuhan, dan aman dari serangan bakteri atau virus yang dapat

mengakibatkan kematian. Yada et al. (2005) menyatakan bahwa pemberian HPr

dapat mengatifkan sistem kekebalan pada tubuh ikan. Hal yang sama diduga juga

terjadi pada penelitian ini.

Kadar hormon kortisol yang berfluktuasi terlihat pada perlakuan kontrol-1

dan kontrol-2 dari awal sampai akhir percobaan. Peningkatan hormon kortisol

diduga kerena adanya gangguan pada saat penangkapan dan pemindahan ikan ke

wadah yang baru sehingga merangsang hipotalamus untuk melepaskan

corticotropin-releasing factor (CRF) ke dalam sirkulasi darah. Polipeptida ini

kemudian mengaktifkan pelepasan adrenocorticotrophic hormon (ACTH) dari

kelenjar anterior hipofisis untuk merangsang pelepasan hormon kortisol yang

diproduksi di jaringan interrenal (Mommsen et al. 1999). Rendahnya tingkat

pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada perlakuan kontrol-1 dan kontrol-2

(46)

29 berulang-ulang. Hal ini merupakan proses yang maladaptif sehingga dapat

mengakibatkan pertumbuhan ikan menjadi lambat, peningkatan konsumsi

oksigen, pengunaan energi yang lebih banyak, dan dapat meningkatn kerentanan

terhadap penyakit (Jentoft et al. 2005).

4.6 Hubungan antara Pemberian Hormon Pertumbuhan Rekombinan, Pertumbuhan, Ekspresi Gen IGF-1 dan Kadar Hormon Kortisol

Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan melalui perendaman dapat

meningkatkan pertumbuhan ikan gurami, melibatkan hormon IGF-I baik secara

langsung maupun tidak langsung, dan berhubungan dengan kadar hormon kortisol

dalam tubuh ikan gurami (Gambar 8). Perendaman HPr 1 kali menghasilkan

bobot biomassa yang tinggi, ekspresi gen IGF-I yang meningkat dan kadar

hormon kortisol. Pada perendaman HPr 2 kali terlihat pertambahan bobot

biomassa mulai menurun, ekspresi IGF-I menurun dan meningkatnya kadar

hormon kortisol. Sementara perendaman HPr 4 kali menghasilkan bobot biomassa

yang rendah, ekspresi gen IGF-1 yang menurun dan kadar hormon kortisol yang

semakin tinggi. Pola yang sama terjadi pada perendaman albumin serum sapi yang

direndam selama 4 kali. Perendaman HPr yang berulang-ulang dapat menurunkan

pertambahan bobot biomassa, ekspresi gen IGF-I berkurang dan meningkatkan

kadar kortisol sehingga perendaman HPr 1 kali efektif dilakukan untuk memacu

pertumbuhan ikan gurami.

Peningkatan pertumbuhan ikan gurami yang diberi hormon pertumbuhan

rekombinan 1 kali disebabkan karena HPr yang diberikan efektif merangsang

ekspresi gen IGF-I (Silverstein et al. 2000; Biga et al. 2005). Bukti ini

menguatkan bahwa peningkatan pertumbuhan disebabkan karena hormon

pertumbuhan mampu memediasi produksi IGF-I di hati dan memperjelas bahwa

hormon pertumbuhan merupakan pengatur utama produksi IGF-I pada ikan

(Moriyama et al. 2000).

Perendaman berulang-ulang mempengaruhi pertumbuhan ikan diduga

karena ikan mengalami stres yang berlangsung lama. Pada penelitian ini

ditemukan bahwa semakin sering ikan direndam dalam larutan HPr akan

Gambar

Gambar 1  Analisis SDS-PAGE protein HPr; M= marker, 1= protein dari
Tabel 3   Rerata bobot akhir dan kelangsungan hidup juvenil ikan gurami kontrol
Gambar 2 Pertumbuhan bobot rerata (g) juvenil ikan gurami yang dipelihara di
Gambar 3  Pertumbuhan bobot biomassa (g) juvenil ikan gurami yang
+5

Referensi

Dokumen terkait

Sampel yang digunakan adalah Kelinci New Zaeland White sebanyak 30 ekor, dibagi menjadi 5 kelompok secara acak, K1 : kelompok kontrol negatif yang diberi

Diatas sudah dijelaskan bahwa antara satu- desa dengan desa lainnya di Dataran Tinggi Dieng selalu terdapat jalan terabasan, selain fenomena tersebut dari 13 jumlah

Hasil penelitian Rahayu dan Lingga (2009) menunjukkan bahwa modernisasi strategi organisasi tidak berpengaruh terhadap kepatuhan wajib pajak, sedangkan penelitian

Dilihat dari fungsinya, sistem PJJ memiliki peranan yang sangat penting dalam mencapai tujuan pembelajaran. Maka dari itu informasi mengenai kelebihan dan kekurang pjj

Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1) Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kualitas

Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian Tuberkulosis pada anak di Kota Denpasar. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan ibu terhadap kejadian

Dalam penelitian ini menjelaskan/ mendeskripsikan Prosedur Pengurangan dan Penghapusan Sanksi Administrasi di PT X Denpasar dengan sumber data dari dokumen PT X yang dimiliki

melakukan wawancara pada hari itu juga yang dimulai dari. pukul 18.30 hingga pukul 19.15 WIB yang dilakukan