• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Usaha Perikanan Tenggiri di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Suatu Pendekatan Sistem Bisnis Perikanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Usaha Perikanan Tenggiri di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Suatu Pendekatan Sistem Bisnis Perikanan"

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG :

SUATU PENDEKATAN SISTEM BISNIS PERIKANAN

ARIEF FEBRIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah perairan mencapai 4 (empat) kali dari seluruh luas wilayah daratan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu sebesar 16.281 km2. Luas

perairan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diperkirakan sebesar 65.301 km2

dengan potensi perikanan tangkap sebesar 499.500 ton (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 2005).

Kabupaten Bangka merupakan salah satu sentra atau pusat kegiatan sektor perikanan tangkap di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan tingkat produksi sebesar ton. Kekayaan sumberdaya pesisir dan kelautan yang cukup melimpah, yaitu sebesar 23.906,25 ton per tahun membuat banyak penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan tetap, disamping nelayan yang mempunyai mata pencaharian sampingan seperti berkebun dan beternak (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bangka 2006).

Masyarakat nelayan di Kabupaten Bangka sebagian besar masih tergolong nelayan tradisional. Hal ini dapat dilihat dari teknologi maupun jenis alat tangkap yang digunakan, seperti pancing ulur (hand line), bagan perahu (lift net), bubu (pot), jaring insang dasar (bottom gillnet), jaring insang hanyut (drift gillnet) dan payang (seine net).

Hasil tangkapan yang didaratkan di Kabupaten Bangka pada tahun 2005 mencapai 19.641,60 ton. Hasil tangkapan dominan yang diperoleh nelayan adalah ikan tembang (Sardinella sp) sebesar 17,6%, ikan tenggiri (Scomberomorus commerson) sebesar 6,2 % dan ikan kembung (Rastrelliger sp) sebesar 9,7%.

Ikan tenggiri merupakan ikan bernilai ekonomis tinggi yang ditangkap dengan menggunakan alat tangkap gillnet dan pancing ulur. Ikan tenggiri merupakan komoditas unggulan perikanan di Kabupaten Bangka. Di masa mendatang diperkirakan permintaan komoditas ini baik dalam bentuk segar maupun olahan akan terus mengalami peningkatan. Indikator yang menunjukkan hal tersebut adalah semakin banyaknya diversifikasi produk olahan ikan seperti krupuk, kemplang dan abon berbahan baku ikan tenggiri.

(3)

faktor mutu dan pemasaran, kelayakan usaha dan infrastruktur. Untuk itu upaya pengembangan perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang terkait berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan.

1.2 Perumusan Masalah

Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka merupakan suatu kegiatan ekonomi untuk memanfaatkan secara optimal sumberdaya ikan tenggiri yang ada di perairan Kabupaten Bangka. Pemanfaatan sumberdaya ikan tenggiri diharapkan tetap memperhatikan kelestarian dari sumberdaya yang ada, sehingga tercipta kesinambungan usaha perikanan tenggiri di masa yang akan datang.

Pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang dapat menjadi faktor penghambat pengembangan usaha di masa akan datang. Permasalahan yang dimaksud mencakup belum adanya informasi akurat mengenai potensi, musim dan daerah penangkapan ikan tenggiri, teknologi penangkapan masih bersifat tradisional, kurangnya informasi tingkat harga di setiap lembaga pemasaran, produksi ikan tenggiri bersifat musiman, sehingga permintaan pasar belum terpenuhi secara optimal, mutu komoditas dan kelayakan usaha, terbatasnya infrastruktur pendukung usaha.

(4)

infrastruktur kemudian menyusun strategi pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

Berdasarkan uraian di atas, maka perlu adanya kajian mengenai pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka dengan bersandar pada prinsip bisnis perikanan dan diharapkan potensi sumberdaya ikan tenggiri dapat dimanfaatkan secara optimal guna meningkatkan kesejahteraan nelayan tenggiri dan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1) Mengkaji potensi sumberdaya ikan tenggiri di Kabupaten Bangka.

2) Mengkaji kemungkinan pengembangan usaha perikanan tenggiri berdasarkan pendekatan sistem bisnis perikanan.

3) Menyusun alternatif kebijakan pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini, yaitu :

1) Dapat dijadikan informasi bagi pengusaha dan nelayan mengenai sistem dan manajemen usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

2) Dapat dijadikan informasi dan acuan bagi pemerintah dalam memanfaatkan dan mengembangkan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

3) Dapat dijadikan informasi tentang pengembangan sistem bisnis perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

1.5 Kerangka Pemikiran

(5)

dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989).

Usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka dipandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub sistem yang berkaitan satu dengan yang lainnya meliputi potensi sumberdaya perikanan, teknologi penangkapan, pemasaran, mutu komoditas, kelayakan usaha dan infrastruktur pendukung usaha.

(6)
(7)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

1

Input

Proses

Output Sub sistem infrastruktur

- Darmaga - pabrik es - Instalasi listrik - Instalasi air - Bengkel - SPDN Sub sistem pemasaran

- Distribusi - Pemasaran Sub sistem penangkapan

- Kapal - Alat tangkap - Nelayan

Sub sistem kelayakan usaha - Manfaat

- Biaya

Analisis teknik Analisis kondisi pasar komoditas

Sub sistem mutu - Proporsi - Standar mutu

Analisis mutu

Analisis usaha dan analisis kriteria investasi

Analisis efektivitas dan

daya dukung infrastruktur

Efektivitas dan efisiensi

Harga komoditas, margin pasar, share pelaku

pasar

Standar mutu Tingkat kelayakan usaha

Kecukupan kondisi infrastruktur

Strategi pengembangan usaha perikanan tenggiri

(8)
(9)

2.1 Pengembangan Usaha Perikanan Tangkap

Menurut Bahari (1989), Barus et al. (1991), Syafrin (1993), pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang baik.

Perikanan tangkap adalah kegiatan ekonomi dalam bidang penangkapan meliputi pengumpulan hewan atau tanaman air yang hidup di laut atau perairan umum secara bebas. Definisi tersebut menunjukkan bahwa kegiatan penangkapan ikan yang dimaksud bertujuan untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial, maupun untuk memperoleh nilai tambah lainnya, seperti penyerapan tenaga kerja, pemenuhan kebutuhan terhadap protein hewan, devisa serta pendapatan negara (Monintja 1994).

Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersil atau mendapatkan laba dari kegiatan yang dilakukan.

Perikanan laut sebagai salah satu sub sektor dari usaha perikanan terbagi menjadi 2 (dua) kegiatan, yaitu (1) penangkapan di laut, adalah semua kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan di laut, muara-muara sungai dan laguna dengan kondisi yang dipengaruhi oleh pasang surut dan (2) budidaya di laut adalah semua kegiatan memelihara ikan yang dilakukan di laut atau di perairan antara lain yang terletak di muara sungai dan laguna (Dirjen Perikanan 1990).

Menurut Alhidayat (2002), usaha perikanan tangkap adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh ikan di perairan dalam keadaan tidak dibudidayakan dengan maupun tanpa alat tangkap, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk menampung, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah dan mengawetkan.

2.2 Sumberdaya Ikan Tenggiri

Ikan tenggiri merupakan jenis ikan yang tergolong ekonomis penting dan menjadi salah satu ikan yang digemari di dunia. Penyebaran spesies ini

(10)

mencakup seluruh wilayah Indo-Pasifik Barat dari Afrika Utara dan Laut Merah sampai ke Perairan Indonesia, Perairan Australia dan Perairan Fiji ke Utara sampai ke Perairan China dan Jepang. Menurut Martosubroto et al. (1991), potensi dan penyebaran ikan tenggiri (narrow-barred spanish mackerel) di Indonesia hampir di seluruh wilayah perairan (Tabel 1).

Tabel 1 Penyebaran ikan tenggiri

Perairan Daerah penyebaran Daerah tangkapan utama

Sumatera Seluruh perairan

• Perairan Aceh bagian Utara, Timur Sumatera Utara, sekitar Bengkalis;

• Perairan Bangka-Belitung;

• Pantai Barat Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu dan Lampung

Jawa dan Nusa Tenggara

Seluruh perairan

• Seluruh Pantai Utara Jawa dan Madura, selatan Jawa Tengah, selatan Bali, Utara Bali, Utara Lombok dan Sumbawa serta Utara Flores

Kalimantan dan Sulawesi

Seluruh perairan

• Hampir semua Pantai Barat dan Selatan Kalimantan;

• Perairan Teluk Palu, Sulawesi Bagian Selatan;

• Sebagian Perairan Sulawesi Utara

Maluku dan Irian Jaya

Seluruh perairan

• Sebagian Pantai Barat Halmahera;

• Perairan Selatan Pulau Seram;

• Hampir semua Perairan Pantai Barat Irian sampai dengan sekitar daerah kepala burung

Sumber : Martosubroto et al. (1991).

(11)

dapat mencapai panjang 90 cm dan umumnya memiliki panjang 50-70 cm (Gambar 2).

Sumber : Balai Riset Perikanan Laut (2004).

Gambar 2 Ikan tenggiri (Scomberomorus commerson)

Tubuh ikan tenggiri bagian atas berwarna abu-abu kebiruan dan bagian bawah putih-keperakan. Pada bagian atas sampai dengan pertengahan badan terdapat beberapa strip berupa garis-garis putus berwarna hitam sepanjang badan. Sirip-siripnya berwarna kuning kemerahan kecuali strip punggungnya dimana jari-jari kerasnya berwarna putih keabuan (Kottelat et al.1993).

Menurut Kottelat et al. (1993) dan Murniyati (2004), habitat ikan tenggiri adalah di perairan pantai, lepas pantai seluruh Indonesia, Teluk Benggala dan Teluk Siam. Hasil penelitian FAO, ukuran ikan tenggiri pada saat pertama kali matang gonad mencapai 65-70 cm (FAO 1983). Beberapa hasil penelitian di Australia, India dan Afrika menunjukkan bahwa ukuran ikan tenggiri pada saat pertama kali matang gonad adalah 55-80 cm.

2.3 Sistem Bisnis Perikanan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan bahwa semua kegiatan yang berhubungan dengan pengolahan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran dilaksanakan dalam suatu bisnis perikanan. Sistem bisnis perikanan terdiri atas sub-sub sistem yang saling terkait untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Istilah bisnis perikanan merupakan acuan dari kegiatan sistem agribisnis yang banyak diaplikasikan untuk kegiatan-kegiatan di sektor pertanian.

(12)

pemasaran produk yang dihasilkan. Menurut Ditjen Perikanan (1994), secara konseptual sistem agribisnis perikanan terdiri atas beberapa sub sistem, yaitu :

1) Sub sistem penyediaan sarana dan prasarana produksi, teknologi dan pengembangan sumberdaya.

2) Sub sistem usaha perikanan (usaha penangkapan ikan).

3) Sub sistem pengolahan. 4) Sub sistem pemasaran.

5) Sub sistem prasarana (pelabuhan).

6) Sub sistem pembinaan (kelembagaan).

Menurut Ditjen Perikanan (1994), sub sistem pengadaan dan penyaluran sarana produksi mencakup kegiatan perencanaan, pengelolaan ataupun pengadaan sarana produksi teknologi dan sumberdaya perikanan. Kebijaksanaan yang mengupayakan agar sarana produksi dapat tersedia dengan tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat kualitas dan sesuai dengan daya beli pembudidaya ikan, disertai dengan pengembangan dan penerapan paket ilmu pengetahuan dan teknologi continue merupakan kebijaksanaan utama yang menjadi ciri keberadaan sub sistem ini.

Sub sistem produksi atau usaha perikanan mencakup kegiatan pembinaan dan pengembangan usaha perikanan dalam rangka peningkatan produksi primer perikanan. Ruang lingkup kegiatan sub sistem ini diantaranya perencanaan pemilihan lokasi, komoditas, teknologi dan pola usaha perikanan dalam rangka meningkatkan produksi perikanan.

Sub sistem pengolahan hasil perikanan tidak hanya aktivitas pengolahan sederhana ditingkat pembudidaya atau nelayan, tetapi mencakup keseluruhan kegiatan dimulai dari penanganan pasca panen produk perikanan sampai pada tingkat pengolahan lanjut selama bentuk, susunan dan cita rasa komoditas tersebut belum berubah.

2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan dan Teknologi

2.4.1

Pengelolaan sumberdaya perikanan

2.4.1.1 Pengkajian stok sumberdaya ikan

(13)

Pengkajian biomassa (stok) ditujukan untuk membuat prediksi kuantitatif tentang reaksi dari populasi ikan yang bersifat dinamis terhadap sejumlah alternatif pengelolaan dengan menggunakan sejumlah metode dan penghitungan statistik serta matematik. Prediksi kuantitatif misalnya terhadap batas produksi yang diperbolehkan, resiko yang dapat ditimbulkan oleh penangkapan yang berlebihan (overfishing) atas sejumlah populasi yang tengah memijah (spawning) dan perlunya memberikan kesempatan ikan untuk tumbuh mencapai ukuran tertentu yang diinginkan sebelum dieksploitasi (Widodo 2002).

Pendugaan biomassa ikan dipermudah menggunakan suatu model yang dikenal dengan model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Graham tahun 1935, tetapi lebih sering disebut sebagai model Schaefer (Sparre and Venema 1999). Tujuan penggunaan model ini adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktivitas biomassa secara jangka panjang, dan biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari

(maximum sustainable yield).

Model Schaefer lebih sederhana, karena hanya memerlukan data yang sedikit, sehingga sering digunakan dalam estimasi biomassa ikan di perairan tropis. Model Schaefer dapat diterapkan apabila tersedia data hasil tangkapan total (berdasarkaan spesies) dan catch per unit effort (CPUE) per spesies serta

CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun (Sparre and Venema 1999).

Pertambahan biomassa ikan dalam waktu tertentu di suatu wilayah perairan merupakan parameter populasi yang disebut produksi. Biomassa yang diproduksi diharapkan dapat menggantikan biomassa yang hilang akibat kematian, penangkapan maupun faktor alami. Apabila kuantitas biomassa yang diambil sama dengan yang diproduksi, maka perikanan tersebut berada dalam keadaan seimbang (equilibrium) (Azis1989).

(14)

)

(

x

f

dt

dx

=

 −

=

k

x

r

x

.

1

Keterangan :

dt

dx

= Laju perlumbuhan biomassa

f(x) = Fungsi pertumbuhan populasi biomassa

x = Ukuran kelimpahan biomassa

r = Laju pertumbuhan alami (intrinsik) k = Daya dukung alam (carrying capacity)

Persamaan di atas dalam literatur perikanan dikenal dengan pertumbuhan logistik (logistic growth model) yang pertama kali dikemukakan oleh Verhulst tahun 1989. Persamaan tersebut dapat digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3 Kurva pertumbuhan logistik (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006)

Menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), kurva pertumbuhan logistik menggambarkan kondisi perikanan yang tidak mengalami eksploitasi. Untuk mengeksploitasi suatu perairan diperlukan berbagai sarana yang merupakan faktor input yang disebut sebagai effort

dalam perikanan. Effort merupakan indeks dari berbagai input seperti tenaga kerja, kapal, trip dan alat tangkap yang dibutuhkan saat penangkapan ikan.

Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan bergantung pada tingkat upaya penangkapannya (effort). Effort dibedakan menjadi dua berdasarkan satuan pengukurnya, yaitu effort nominal dan effort efektif. Effort nominal diukur berdasarkan jumlah nominalnya meliputi, satuan .jumlah kapal, alat tangkap atau

jumlah trip yang telah distandarisasikan, sedangkan Effort ditentukan berdasarkan besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan penangkapan

f (x)

0 ½ k k x

(15)

terhadap kelimpahan stok ikan. Hubungan antara kedua upaya tersebut dapat digambarkan melalui persamaan berikut :

h = q.E

dimana q merupakan koefisien penangkapan (catchability).

Perolehan hasil tangkapan (h) ditentukan oleh ukuran kelimpahan biomassa (x), tingkat upaya penangkapan (E) dan koefisien penangkapan (q). Persamaan dari ketiga variabel tersebut sebagai berikut :

h = q.E.x

Kegiatan penangkapan menyebabkan terjadinya pengurangan biomassa populasi ikan yang pada akhirnya merangsang populasi untuk meningkatkan pertumbuhan, survival atau recruitment. Perubahan populasi tersebut merupakan selisih antara laju pertumbuhan biomassa dengan perolehan hasil tangkapan. Hubungan tersebut menurut Schaefer (1954) diacu dalam Fauzi (2006), dapat digambarkan sebagai berikut :

x

E

q

K

x

r

x

dt

dx

h

x

f

dt

dx

.

.

1

.

)

(

 −

=

=

Gambar 4 menunjukkan beberapa hal yang menyangkut dampak dari aktivitas penangkapan terhadap biomassa. Pertama, pada saat tingkat upaya sebesar E1 diberlakukan, maka akan diperoleh jumlah tangkapan sebesar h1

(garis vertikal). Jika upaya penangkapan dinaikkan sebesar E2, dimana E2 > El,

maka hasil tangkapan akan meningkat sebesar h2 (h2>h1). Apabila upaya terus

dinaikkan sebesar E3 (E3>E2>E1), maka akan terlihat bahwa untuk tingkat upaya

dimana E3>E2 ternyata tidak menghasilkan tangkapan yang lebih besar

(h3<h2).

(16)

Gambar 4 Pengaruh tangkapan terhadap biomassa (Fauzi 2006)

Pada saat populasi berada pada kondisi seimbang jangka panjang maka besarnya perubahan biomassa sama dengan nol (dx/dt= 0), maka

persamaannya :

)

(

)

(

x

f

h

h

x

f

dt

dx

=

=

Berdasarkan persamaan di atas, maka dapat dinyatakan sebagai berikut :

 −

=

 −

=

r

E

q

k

x

k

x

r

x

x

E

q

.

1

1

.

.

.

Jika persamaan di atas disubstitusikan ke dalam persamaan hasil penangkapan (h=q.k.E), maka akan diperoleh persamaan yang menggambarkan fungsi produksi lestari perikanan tangkap .

2 2

.

.

.

E

r

k

q

E

k

q

h





=

Persamaan tersebut merupakan persamaan kuadratik dan dapat digambarkan pada Gambar 5.

f (x)

h = q.x.E 3 h 1 h 2 h 3

h = q.x.E 2

(17)

Gambar 5 Kurva produksi lestari upaya (Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006) Gambar 5 menunjukkan bahwa apabila tidak ada aktivitas penangkapan (E=0), maka hasil tangkapan juga nol. Effort akan mencapai titik maksimum pada Emsy yang berhubungan dengan tangkapan maksimum lestari (hmsy). Sifat

dari kurva produksi lestari upaya berbentuk kuadratik, maka peningkatan effort

yang terus-menerus setelah melewati titik maksimum tidak akan menyebabkan peningkatan produksi lestari. Produk akan turun kembali bahkan mencapai nol, pada titik effort maksimum (Emax)(Schaefer 1954 diacu dalam Fauzi 2006).

Menurut Gulland (1985), asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah

(1) Kelimpahan populasi merupakan faktor yang menyebabkan perbedaan dalam laju pertumbuhan populasi alami.

(2) Seluruh parameter populasi pokok dapat dikombinasikan untuk menghasilkan fungsi sederhana yang ada hubungannya dengan laju pertumbuhan biomassa.

(3) Laju mortalitas penangkapan seketika sama dengan upaya penangkapan.

(4) CPUE sepadan dengan ukuran biomassa ikan.

(5) Lama antara pemijahan dan rekruitmen tidak berpengaruh terhadap populasi. (6) Ada hubungan antar hasil tangkapan dengan upaya penangkapan.

Dengan membagi kedua sisi dari fungsi produksi lestari dengan effort (E), maka akan diperoleh persamaan berikut :

E

b

a

CPUE

E

r

k

q

k

q

E

h

.

.

.

.

2

=





=

dimana :

h(E)

0 E Effort

max E

(18)

a = q.k dan b =





r

k

q

2

.

Keterangan :

CPUE = Catch Per Unit Effort

a = Nilai intersep b = Koefisien regresi

E = Effort

sehingga akan diperoleh persamaan berikut :

4

.

4

2

2

2

k

r

b

a

h

q

r

b

a

E

msy MSY

=

=

=

=

Menurut Fauzi (2006), model fungsi produksi lestari dari Schaefer memiliki kelemahan secara metodologi dan analisis. Hal ini dikarenakan parameter r, q dan k tersembunyi dalam nilai a dan b. Oleh karena itu model Gordon-Schaefer perlu dilakukan modifikasi dengan menggunakan teknik estimasi parameter biologi (r, q dan k), diantaranya dengan model yang dikembangkan oleh Clarke, Yoshimoto dan Pooley atau sering dikenal dengan sebutan metode CYP. Parameter biologi (r, q dan k) tersebut diperoleh dengan meregresikan persamaan berikut :

(

1

)

( )

( )

(

1

)

2

ln

2

2

.

ln

2

2

ln

+

+

+

+

+

+

+

=

t t t

t

E

E

r

q

U

r

r

k

q

r

r

U

Dengan meregresikan CPUE yang disimbolkan dengan U pada periode t+1, dan

U pada periode t serta penjumlahan effort pada periode t dan t+l akan diperoleh koefisien r,q dan k secara terpisah.

(19)

Pendekatan bio-ekonomi model statik pertama kali dikenalkan oleh Gordon pada tahun 1954 dengan dasar fungsi produksi biologis Schaefer, sehingga disebut model Gordon-Schaefer. Model ini disusun dari model fungsi produksi Schaefer, biaya penangkapan dan harga ikan. Asumsi yang mendasari pengembangan model Gordon-Schaefer (Fauzi 2006) antara lain :

(1) Harga per satuan output (Rp per kg) diasumsikan konstan atau kurva permintaan elastis sempurna.

(2) Biaya penangkapan per satuan upaya penangkapan dianggap konstan. (3) Spesies sumberdaya ikan dianggap tunggal (single species).

(4) Struktur pasar bersifat kompetitif.

(5) Faktor penangkapan langsung yang diperhitungkan dan tidak memasukkan faktor pasca panen.

Dengan menggunakan asumsi di atas, maka penerimaan total yang diterima oleh nelayan adalah :





 −

=









=

=

r

E

q

E

k

q

p

TR

E

r

k

q

E

k

q

p

TR

h

p

TR

.

1

.

.

.

.

.

.

2 . 2 Keterangan :

TR = Penerimaan total

p = Harga rata-rata ikan layur

h = Hasil tangkapan

Biaya total upaya penangkapan dinyatakan dengan persamaan :

TC = c.E

Keterangan :

TR = Total biaya penangkapan ikan persatuan upaya

c = Biaya penangkapan ikan persatuan upaya

E = Upaya penangkapan

Maka keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya ikan adalah :

(20)

Keterangan :

π

= Keuntungan dari pemanfaatan sumberdaya

Sumberdaya perikanan umumnya bersifat akses terbuka (open acces),

sehingga siapa saja dapat berpartisipasi tanpa harus memiliki sumberdaya perikanan tersebut. Dalam kondisi perikanan bebas tangkap tersebut, terdapat kebebasan bagi nelayan untuk turut serta menangkap ikan sehingga terjadi kecenderungan pada nelayan untuk menangkap ikan sebanyak mungkin sebelum didahului oleh nelayan yang lain (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).

Titik keseimbangan suatu perikanan dalam kondisi open acces akan di capai pada tingkat EoA, dimana penerimaan total (TR) sama dengan biaya total

(TC) sehingga keuntungan yang diperoleh dari usaha penangkapan ikan sama dengan nol (

π

=0). Pelaku perikanan hanya menerima biaya opportunitas dan rente ekonomi sumberdaya atau profit tidak ada. Tingkat effort pada posisi ini adalah tingkat effort keseimbangan yang oleh Gordon disebut sebagai "bio-economic equilibrium of open acces fishery" atau keseimbangan bio-ekonomik dalam kondisi akses terbuka (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).

Keseimbangan bio-ekonomi merupakan kondisi dimana pada setiap effort

dibawah EoA, penerimaan total akan melebihi biaya total, sehingga pelaku

perikanan (nelayan) akan lebih banyak tertarik (entry) untuk melakukan penangkapan ikan. Sebaliknya pada kondisi effort di atas EOA, biaya total akan

melebihi penerimaan total, sehingga banyak pelaku perikanan yang akan keluar (exit) dari usaha penangkapan ikan. Dengan demikian, hanya pada tingkat effort EOA keseimbangan akan tercapai, sehingga proses entry dan exit tidak akan

(21)

Gambar 6 Kurva perikanan bebas tangkap (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006)

Menurut Fauzi (2006), cara lain untuk melihat keseimbangan bio-ekonomi

open acces adalah dari sisi penerimaan rata-rata, penerimaan marginal dan biaya marginal. Hal ini dapat diturunkan dari persamaan penerimaan total dan biaya total. Dengan menggunakan fungsi permintaan yang linear, dimana harga tidak lagi konstan, tetapi linear terhadap hasil tangkapan p(h), maka kurva penerimaan rata-rata dapat diturunkan dari kurva penerimaan total dibagi dengan hasil tangkapan (h).

)

(

).

(

).

(

h

p

h

h

h

p

AR

h

h

p

TR

=

=

=

Kurva penerimaan marginal diperoleh dengan menurunkan penerimaan total terhadap hasil tangkapan.

MR

h

p

h

h

p

h

h

h

p

h

TR

=

+

=

=

)

(

).

(

'

).

(

Kurva biaya marginal merupakan turunan pertama (kemiringan atau slope) dari biaya total yang merupakan konstanta.

(22)

Gambar 7 Kurva keseimbangan bio-ekonomi dari sisi penerimaan rata-rata (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006)

Keuntungan lestari diperoleh secara maksimum (sustainable profit) pada tingkat upaya EMEY karena memiliki jarak vertikal terbesar antara penerimaan dan

biaya (garis BC). Hal ini disebut sebagai produksi yang maksimum secara ekonomi atau maximum economic yield (MEY). Produksi yang rnaksimum secara ekonomi merupakan tingkat upaya penangkapan yang optimal secara sosial (social optimum). Jika dibandingkan dengan tingkat upaya pada saat keseimbangan open acces dengan tingkat upaya optimal secara sosial, maka akan terlihat bahwa pada kondisi open acces tingkat upaya yang dibutuhkan jauh lebih banyak dari pada yang semestinya untuk mencapai keuntungan optimal yang lestari.

Dari sudut pandang ilmu ekonomi, keseimbangan open acces

menjadikan timbulnya alokasi yang tidak tepat dan sumberdaya, karena kelebihan sumberdaya yang dibutuhkan seperti, modal dan tenaga kerja dapat dialokasikan untuk kegiatan ekonomi lainnya. lni merupakan inti dari prediksi Gordon bahwa pada kondisi open acces akan menimbulkan kondisi economic overfishing (Gordon 1954 diacu dalam Fauzi 2006).

Tingkat upaya yang dibutuhkan untuk mencapai titik optimal secara sosial jauh lebih kecil dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk mencapai titik MSY

(EMSY). Tingkat upaya EMEY terlihat lebih bersahabat (conservative minded)

dibandingkan dengan tingkat upaya EMSY (Hannesson 1993 diacu dalam Fauzi

(23)

2.4.1.2 Model pengelolaan optimal dinamik

Model optimal dinamik merupakan model pengelolaan sumberdaya ikan yang digunakan untuk memahami aspek ekonomi sumberdaya secara menyeluruh dengan memperhitungkan faktor waktu. Menurut Clark dan Munro (1975) diacu dalam Fauzi (2006), dalam pendekatan kapital, sumberdaya ikan dianggap sebagai biomassa kapital dengan fitur tambahan bahwa biomassa ikan dapat tumbuh melalui proses reproduksi alamiah. Dalam model dinamik, biomassa ikan dianggap memiliki dua manfaat, yaitu manfaat masa sekarang (current revenue) dan manfaat masa mendatang yang dianggap sebagai investasi.

Model pengelolaan optimal dinamik digunakan untuk menentukan cara memanfaatkan ikan sebaik mungkin dengan tetap memperhatikan aspek intertemporal. Aspek ini dihubungkan dengan adanya penggunaan social discount rate. Pengelolaan sumberdaya ikan yang optimal dalam konteks dinamik diartikan sebagai perhitungan tingkat upaya dan panen yang optimal yang menghasilkan discount peresent value surplus sosial yang paling maksimum. Surplus sosial ini diwakili oleh rente ekonomi dari sumberdaya (resource rent) (Fauzi 2006). Dalam model dinamik, sumberdaya ikan diasumsikan dikelola secara privat (pemerintah maupun komunal atau individual) yang bertujuan untuk memaksimumkan manfaat ekonomi dari sumberdaya ikan tersebut.

2.4.1.3 Laju degradasi

Laju degradasi digunakan untuk menentukan langkah-langkah lebih jauh tentang pengelolaan, dalam bentuk pengurangan laju ekstraksi atau penutupan berbagai kegiatan ekstraksi sumberdaya alam tersebut. lnformasi mengenai laju degradasi sumberdaya alam dapat dijadikan titik referensi (reference point) maupun early warning signal untuk mengetahui apakah ekstraksi sumberdaya alam sudah melampaui kemampuan daya dukungnya (Fauzi dan Anna 2005).

(24)

2.4.2

Teknologi

Seleksi teknologi menurut Haluan dan Nurani (1988), dapat dilakukan melalui pengkajian pada aspek “bio-technico-socio-economi-approach” oleh karena itu ada (4) empat aspek yang harus dipenuhi oleh suatu jenis teknologi penangkapan ikan yang dikembangkan, yaitu (1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumber daya, (2) secara teknis efektif digunakan, (3) secara sosial dapat diterima masyarakat nelayan dan (4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Satu aspek yang tidak dapat diabaikan adalah kebijakan dan peraturan pemerintah.

Aspek teknologi dilakukan untuk melihat hubungan faktor-faktor teknik yang mempengaruhi produksi, yaitu desain dan konstruksi, teknik pengoperasian dan alat bantu penangkapan serta CPUE dalam usaha penangkapan ikan tenggiri. Menururt Sppare dan Venema (1999) penilaian aspek teknik dilakukan terhadap :

1) Hasil tangkapan per tahun (kg); 2) Upaya penangkapan per tahun (unit); 3) Produksi per alat tangkap.

Menurut Friedman (1988), merancang alat tangkap adalah proses mempersiapkan uraian teknik dan menggambar alat tangkap agar memenuhi syarat-syarat penanganan alat, teknik, operasional, ekonomis dan sosial. Analisis teknis lain yang dilakukan yaitu perhitungan nilai produktivitas, baik produktivitas terhadap alat tangkap ikan tenggiri, produktivitas terhadap trip, maupun produktivitas terhadap nelayan. Produktivitas merupakan perbandingan antara hasil yang dicapai dengan keseluruhan sumberdaya yang dipergunakan.

2.4.2.1 Alat penangkap ikan tenggiri

Menurut Ditjen Perikanan (1990), ikan tenggiri dapat ditangkap dengan alat tangkap gillnet, pancing ulur, bubu, pancing ulur, trawl dasar. Alat tangkap utama yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri di kawasan perairan laut Bangka umumnya para nelayan menggunakan gillnet dan pancing ulur (DKP Kabupaten Bangka 2005).

1) Pancing ulur (Handline)

(25)

dan senar. Mata pancing terbuat dari baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat (Subani dan Barus 1989).

Pancing ulur merupakan alat tangkap yang sederhana dan telah dikenal oleh masyarakat luas terutama nelayan. Alat tersebut dapat dioperasikan oleh nelayan kecil, karena hanya membutuhkan modal yang kecil dan tidak memerlukan kapal khusus (Brandt 1984). Menurut Monintja dan Martasuganda (1991), perikanan pancing dapat dioperasikan dimana saja, dimana alat tangkap lain tidak dapat beroperasi, seperti di perairan dalam dan kondisi berarus kuat. Alat tangkap pancing dapat dioperasikan oleh siapa saja, namun diperlukan keahlian dalam pengoperasian dan pengetahuan tentang sifat dari jenis ikan sasaran penangkapan, sehingga dapat diperoleh hasil tangkapan yang diharapkan.

Menurut Ayodhyoa (1981), dibandingkan dengan alat tangkap lain keunggulan dari penggunaan pancing sebagai berikut :

(1) Struktur alat pancing tidak rumit dan penggunaannya mudah;

(2) Organisasi usahanya kecil, sehingga tidak banyak membutuhkan modal dan SDM;

(3) Syarat fishing ground sedikit, sehingga lebih bebas memilih; (4) Pengaruh cuaca dan suasana alam relatif kecil;

(5) Kesegaran hasil tangkap terjamin.

Kelemahan alat tangkap pancing ulur diantaranya :

(1) Tidak dapat menangkap ikan dalam jumlah banyak dalam waktu singkat; (2) Memerlukan umpan;

(3) Diperlukan keahlian memancing perseorangan;

(4) Karena merupakan alat tangkap yang pasif maka tertangkapnya ikan sangat ditentukan oleh ketertarikan pada umpan.

Cara pengoperasian hand line yaitu dengan mengulurkan pancing secara vertikal ke bawah. Ujung tali yang satu berada di tangan nelayan dan ujung tali lainnya yang terdapat mata pancing diulur sampai ke kedalaman tertentu yang diduga merupakan tempat berkumpulnya ikan. Apabila umpan yang melekat pada mata pancing dimakan oleh ikan, maka tali pancing ditarik dengan cepat ke permukaan dan ikan yang tertangkap akan diambil dan dimasukkan ke dalam palka. Selanjutnya dilakukan pemasangan umpan dan slap dilakukan setting

(26)

2) Jaring insang (gillnet)

Gillnet merupakan jenis alat tangkap pasif yang dioperasikan dengan cara menunggu ikan terjerat atau terpuntal jaring di perairan. Oleh karena itu bagian tubuh ikan yang terjerat jaring ini umumnya pada bagian insangnya (gilled), maka jenis alat tangkap ini disebut gillnet atau jaring insang. Pengoperasian gillnet di perairan dilakukan dengan cara dipasang melintang terhadap arus dengan tujuan untuk menghadang ikan. Dengan penghadangan ini, diharapkan ikan akan menabrak jaring atau terjerat di bagian insangnya pada mata jaring (gilled) atau terpuntal jaring (entangled) (Ayodhyoa 1981).

Desain dari sebuah jaring gillnet umumnya berbentuk empat persegi panjang, mernpunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang sama pada seluruh badan jaring dan memiliki lebar, (vertikal) yang lebih pendek dari panjangnya (horizontal). Pelampung dipasang pada lembaran jaring bagian atas. Selanjutnya pemberat dipasang pada lembaran jaring bagian bawah. Perimbangan antara gaya bouyancy yang dihasilkan oleh pelampung ke arah atas dan gaya sinking force yang dihasilkan oleh pemberat ditambah berat ubuh jaring kearah bawah, menyebabkan gillnet akan terentang di perairan. Perimbangan antara pelampung dan pemberat ini, akan menentukan baik buruknya rentangan gillnet dalam air. Selain itu angin, arus dan gerak gelombang juga turut menentukan rentangan tersebut (Ayodhyoa 1981).

Berdasarkan penempatan jaring di perairan, gillnet dibedakan menjadi dua, yaitu gillnet dasar (bottom gillnet) dan gillnet permukaan (surface gillnet). Gillnet dasar adalah gillnet yang dioperasikan didasar perairan untuk penangkapan jenis-jenis ikan demersal. Gillnet permukaan adalah gillnet yang dioperasikan di sekitar permukaan air untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis. Gillnet permukaan lebih dikenal dengan sebutan jaring insang hanyut (drift gillnet) (Ayodhyoa 1981).

(27)

Menurut posisi setting, pengoperasian gillnet dapat dilakukan menjadi 2 (dua) macam (Sainsbury 1986), yaitu :

(1) Setting dan hauling dilakukan di buritan kapal (2) Setting di buritan dan hauling di samping kapal

2.4.2.2 Kapal

Menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, kapal perikanan adalah kapal, perahu atau alat apung yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan-pelatihan perikanan dan penelitian atau eksplorasi perikanan. Kapal merupakan salah satu sarana di laut untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Kapal adalah alat khusus yang sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas tertentu, ukuran, perlengkapan, dek, kapasitas daya angkut, akomodasi, mesin dan semua perlengkapan dihubungkan dalam melaksanakan operasi penangkapan (Fyson 1985).

Umumnya kapal ikan yang digunakan untuk menangkap ikan tenggiri adalah jenis kapal dengan mesin inboard. kapal ini dibuat dari kayu seperti kayu jati (Tectona grandis) dan sengon (Paraserianthes falcataria). Perahu ini dilengkapi dengan penyeimbang yang terbuat dari kayu atau bambu yang biasa disebut kincang, terletak di samping kanan dan kiri perahu. Kincang berguna untuk menjaga keseimbangan perahu. Panjang dari perahu berkisar 6-13 m dengan lebar 1-3 m dan kedalaman 0,8-3 m. Sebagai alat penggerak, perahu ini dilengkapi oleh motor tempel dengan kekuatan sekitar 15-30 GT. Agar perahu berjalan lancar, perahu dilengkapi dengan jangkar kayu, serok dan petromak.

2.4.2.3 Nelayan

Dalam Undang-Undang RI Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan diklasifikasikan berdasarkan waktu yang digunakannya untuk melakukan operasi penangkapan ikan, yaitu sebagai berikut :

(28)

(2) Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian besar waktu kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan/binatang/tanaman air. Disamping melakukan pekerjaan penangkapan nelayan kategori ini dapat mempunyai pekerjaan lain.

(3) Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian kecil waktunya digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi penangkapan ikan.

2.5 Pemasaran

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1978), Kegiatan pemasaran dari produsen (nelayan, petani ikan dan petani umumnya) akan membutuhkan biaya yang tinggi. Tingginya biaya pemasaran akan berpengaruh terhadap harga eceran (harga yang dibayar konsumen) dan harga pada tingkat produsen. Tingginya biaya disebabkan oleh berbagai faktor yang berpengaruh dalam proses pemasaran, antara lain pengangkutan, penyimpanan, resiko, kerusakan dan waktu kerja.

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), kegiatan fungsi pemasaran membutuhkan biaya yang secara keseluruhan merupakan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Keadaan ini oleh pihak lembaga pemasaran dibebankan kepada pihak produsen atau konsumen, misalnya dengan menaikkan harga per satuan pada konsumen akhir atau menekan harga ditingkat produsen. Dengan demikian perlu diusahakan efisiensi dan kegiatan pemasaran dengan cara mengurangi biaya pemasaran tersebut

Menurut Hanafiah dan Saefuddin (1986), margin merupakan perbedaan yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir. Ada 3 (tiga) metode dalam menghitung margin pemasaran, yaitu :

1) Marketing margin dapat dihitung dengan memilih sejumlah tertentu barang yang diperdagangkan dan mencatatnya sejak awal sampai akhir sistem pemasaran.

2)

Margin pemasaran dapat dihitung dengan mencatat nilai penjualan, nilai pembelian dan volume barang dagangan dari tiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam satu saluran pemasaran. Dengan ketiga unsur ini yaitu nilai penjualan (Ps), nilai pembelian (Pb) dan volume barang dagangan (V), maka
(29)

V

Pb

Ps

AGM

=

Dengan cara menetapkan suatu saluran pemasaran tertentu dan mencari

average gross margin dari urutan pedagang yang mengambil bagian dalam saluran tersebut, maka margin pemasaran dari keseluruhan saluran pemasaran dapat diketahui.

3)

Harga-harga pada tingkat pemasaran yang berbeda dapat dibandingkan. Metode ini tergantung pada tersedianya serangkaian harga menurut waktu yang representative dan comparable pada setiap tingkat pemasaran.

2.6 Kelayakan Usaha

Menurut Kadariah et al. (1999), untuk mengetahui kelayakan suatu usaha perlu dilakukan pengujian melalui analisis finansial. Analisis finansial dapat dilakukan melalui analisis usaha dan analisis kriteria investasi.

2.6.1 Analisis usaha

Menurut Hernanto (1989), analisis usaha dimaksudkan untuk mengetahui kekuatan pengelolaan secara menyeluruh dalam mengelola kekayaan perusahaan. Analisis usaha yang dilakukan antara lain, analisis pendapatan usaha, analisis imbangan penerimaan dan biaya (Revenue Cost Ratio), Payback Period (PP), dan analisis Return of Investment (ROI).

2.6.2 Analisis kriteria investasi

Pada analisis ini adalah modal saham yang ditanam dalam proyek. Analisis ini penting artinya dalam memperhitungkan pengaruh bagi yang turut dalam mensukseskan pelaksanaan proyek. Indikator yang digunakan dalam analisis ini, yaitu Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), net Benefit Cost Ratio (net B/C). Ukuran ini mempersoalkan apa yang akan diperoleh di kemudian hari, beberapa nilai sekarang (present value), dengan kata lain semua aliran biaya (cost) dan manfaat (benefit) selama umur ekonomis kita ukur dengan nilai sekarang (Gray et al. 1993).

2.6.2.1

Net Present Value

(

NPV

)

Menurut Gray et al. (1993), NPV atau keuntungan bersih suatu usaha adalah pendapat kotor dikurangi jumlah biaya. NPV suatu proyek adalah selisih

(30)

NPV digunakan untuk mengetahui apakah suatu usulan proyek investasi layak dilaksanakan atau tidak dengan cara mengurangkan antara PV dan aliran kas bersih operasional atas proyek investasi selama umur ekonomis termasuk terminal cash flow dengan initial cash flow (initial investment). Jika NPV positif, usulan proyek investasi dinyatakan layak, sedangkan jika NPV negatif dinyatakan tidak layak. Penentukan PV atas aliran kas operasional dan terminal cash flow

didasarkan pada cost of capital sebagai cut off rate atau discount factor-nya. Keunggulan metode NPV adalah metode ini telah mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Sementara itu jika dibandingkan dengan metode IRR dan PP tidak menunjukkan nilai absolutnya (Suratman 2001).

2.6.2.2

Internal Rate of Return

(

IRR

)

Menurut Suratman (2001), IRR digunakan untuk menentukan apakah suatu usulan proyek investasi layak atau tidak, dengan cara membandingkan antara IRR dengan tingkat keuntungan yang diharapkan. Perhitungan IRR

dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara

PV dari aliran kas dengan PV dari investasi (initial investment).

Keunggulan IRR adalah dalam perhitungannya dilakukan dengan cara mencari discount rate yang dapat menyamakan antara PV dari aliran kas dengan

PV dari investasi, namun pada prinsipnya menggunakan teknik interpolasi dan mempertimbangkan nilai waktu uang dan menggunakan dasar aliran kas secara keseluruhan dalam umur ekonomis untuk perhitungannya. Dasar perhitungan

IRR sama dengan dasar perhitungan NPV, namun karena hasil akhir IRR dalam bentuk tingkat keuntungan dalam % maka hal ini merupakan kelemahan dari metode IRR (Suratman 2001).

2.6.2.3

Net Benefit Cost Ratio

(

Net B/C

)

Menurut Umar (2003), net B/C merupakan perbandingan antara net benefit yang telah di discount positif (+) dengan net benefit yang telah di discount

negatif (-). Menurut Choliq et al. (1993), kriteria investasi hampir sama dengan kriteria investasi net B/C. Perbedaannya adalah bahwa dalam perhitungan net B/C biaya tiap tahun dikurangi dari benefit tiap tahun untuk mengetahui benefit netto yang positif dan negatif. Kemudian jumlah PV yang positif dibandingkan dengan jumlah PV yang negatif. Sebaliknya, dalam perhitungan gross B/C

(31)
(32)

3 METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

[image:32.595.99.514.318.595.2]

Penelitian dilaksanakan selama 4 (empat) bulan, yaitu mulai dari 1 Agustus 2007 sampai dengan 1 Desember 2007, bertempat di Kabupaten Bangka Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Gambar 8). Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Bangka dengan pertimbangan bahwa pusat produksi ikan tenggiri terbesar di Pulau Bangka berada di Kabupaten Bangka yang merupakan daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan dan merupakan salah satu daerah penyebaran ikan tenggiri di wilayah Sumatera (Balai Riset Perikanan Laut 2004).

Gambar 8 Peta lokasi penelitian.

3.2 Metode Penelitian

(33)

mengenai faktor-faktor yang mendukung penelitian yaitu potensi penangkapan dan pengembangan usaha perikanan tenggiri di Kabupaten Bangka.

3.3 Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel (responden) dilakukan terhadap semua pelaku sistem bisnis perikanan meliputi nelayan, pedagang pengumpul, pedagang pengecer, konsumen, perusahaan yang tersebar di Kabupaten Bangka. Pengambilan sampel didasarkan pada syarat kecukupan informasi (pengertian yang seksama dan tepat) dan syarat efisiensi (waktu, akses dan biaya). Berdasarkan hal tersebut, maka pengambilan sampel untuk kelompok poduksi dilakukan dengan metode purposive sampling. Menurut Fauzi (2001), perhitungan jumlah responden untuk kelompok produksi dapat diperoleh melalui prosedur statistik dengan rumus :

n =

[

(

)

]

(

)

25

,

0

1

25

,

0

2 2

2

x

Z

N

x

d

x

NZ

+

Dimana :

n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi Z = Standar deviasi D = Tingkat kesalahan

Dengan menggunakan tingkat kesalahan 15% atau tingkat kepercayaan 85% maka nilai Z = 1,4395, sehingga jumlah sampel nelayan minimum untuk

(1) gill net, dengan populasi 1.062 orang yaitu sebanyak 22,56 atau 23 orang (2) pancing, dengan populasi 1.315 orang yaitu sebanyak 30,1 atau 30 orang

Jumlah sampel pada kelompok pemasaran seperti pedagang pengumpul, pedagang pengecer dan perusahaan perikanan dilakukan dengan menggunakan metode snowball yaitu menelusuri proses pemasaran ikan tenggiri dari nelayan sampai ke konsumen berdasarkan alur pemasaran yaitu 14 orang pedagang pengumpul, 18 orang pedagang pengecer dan 2 perusahaan perikanan, 10 orang konsumen.

3.4 Metode Pengumpulan Data

(34)

yang terpilih. Pelaku sistem yang dijadikan objek penelitian dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yang meliputi kelompok pra produksi, produksi dan kegiatan pemasaran (Tabel 2).

[image:34.595.81.513.300.747.2]

Data sekunder yang diambil meliputi data statistik perikanan tahun 2002-2006. Data-data tersebut diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, BPS Kabupaten Bangka, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Bangka, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Sungailiat yang terletak di Kabupaten Bangka dan Pemerintah Kabupaten Bangka (Tabel 3).

Tabel 2 Data primer yang diambil dalam penelitian

No. Pelaku sistem Jumlah

sampel Data yang dikumpulkan

Teknik pengumpulan

data

I. Pra produksi

1. Pabrik es 1 - Kapasitas produksi - Daerah pemasaran

Wawancara

2. PPP Sungailiat

1 - Gambaran PPP Sungailiat Wawancara

II. Produksi

1. Nelayan 53 - Spesifikasi teknis unit penangkapan :

a. Ukuran dan bahan alat tangkap b. Dimensi kapal dan permesinan c. Metode operasi

d. Lama trip e. Jumlah ABK

- Musim dan daerah penangkapan - Jumlah dan jenis ikan

- Proses penanganan Ikan - Biaya operasional - Biaya tetap

Pengukuran

Wawancara

III. Pemasaran

1. Pedagang Pengumpul

14 - Mekanisme pengumpulan ikan - Jumlah ikan yang dikumpulkan - Pendistribusian ikan

- Komponen biaya

Wawancara

2. Pedagang pengecer

18 - Jumlah ikan yang terjual - Spesifikasi ikan yang dijual - Komponen biaya

Wawancara

3. Perusahaan pengolah /pemasaran hasil perikanan

2 - Mekanisme pengumpulan bahan baku

- Spesifikasi produk yang diolah / dipasarkan

- Daerah distribusi - Komponen biaya

Wawancara

(35)
[image:35.595.105.510.97.429.2]

Tabel 3 Data sekunder yang diambil dalam penelitian

No. Uraian data

Tahun

terbit Sumber

1. Bangka dalam Angka tahun 2002-2006 2006 BPS Kabupaten Bangka

2. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bangka menurut lapangan usaha tahun 2002-2006

2006 BPS Kabupaten Bangka

3. Rencana Strategik Kabupaten Bangka 2006-2010

2006 Pemerintah Kabupaten Bangka

4. Data Perikanan Kabupaten Bangka 2002-2006

2005 DKP Kab. Bangka

5. Laporan Tahunan DKP Kabupaten Bangka 2002-2006

2006 DKP Kab. Bangka

6. Direktori program (kegiatan) DKP Kabupaten Bangka 2002-2006

2005 DKP Kab. Bangka

7. Data pengiriman hasil perikanan dari PPP Sungailiat 2005

2006 DKP Kab. Bangka

8. Inventarisasi pabrik es dan cold storage di Kabupaten Bangka

2005 DKP Kab. Bangka

9. Laporan Tahunan PPP Sungailiat 2006 PPP Sungailiat 10. Statistik Perikanan PPP Sungailiat 2006 PPP Sungailiat

3.5 Metode Analisis Data

(36)

sensitivitas. Kondisi dan ketersediaan infrastruktur yang menunjang usaha perikanan tenggiri dilakukan secara deskriptif.

3.5.1 Sub sistem potensi sumberdaya ikan

3.5.1.1 Standarisasi alat tangkap

Standarisasi dimaksudkan untuk menyeragamkan kemampuan tangkap

gillnet dengan pancing ulur. Kedua alat tersebut merupakan alat tangkap yang digunakan nelayan di Kabupaten Bangka untuk menangkap ikan tenggiri. Standarisasi perlu dilakukan karena kemampuan pancing dan jaring insang dapat berbeda-beda tergantung pada dimensi alat, metode pengoperasian, alat bantu dan faktor-faktor lainnya. Dalam proses standarisasi ditentukan alat tangkap standar berdasarkan kriteria nilai CPUE rata-rata tertinggi. Penggunaan kriteria tersebut didasarkan pada hipotesis bahwa alat tangkap yang memiliki nilai CPUE rata-rata terbesar pasti memiliki kemampuan tangkap yang lebih baik dibandingkan dengan alat tangkap lainnya. Perbandingan kemampuan tangkap antar alat tangkap selanjutnya dinyatakan dalam bentuk indeks yang disebut Fishing Power Index (FPI). Output

akhir dari proses standarisasi adalah diperolehnya nilai CPUE standar dan nilai

effort standar. Nilai-nilai tersebut akan menjadi input bagi perhitungan parameter biologi selanjutnya. Rumus yang digunakan untuk standarisasi adalah sebagai berikut:

CPUEs

CPUEi

FPIs

Estd

Cstd

CPUEs

=

;

=

CPUEs

CPUEi

FPIi

Ei

Ci

CPUEi

=

;

=

=

=

n

i

Estd

1

(FPIi x effort ke-i)

Keterangan:

Ctstd :Hasil tangkapan(catch) alat tangkap standar, Estd : Upaya penangkapan (effort) alat tangkap standar,

Ci : Hasil tangkapan tahun ke-i jenis alat tangkap lain,

Ei :Upaya tangkap tahun ke-i jenis aiat tangkap lain,

CPUEs:Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap standar; CPUEi :Hasil tangkapan per upaya penangkapan alat tangkap i, F P Is : Fishing power index alat tangkap standar,

(37)

4

4

4

4

2

2

2

2 2 2 2 2 2

rk

kq

rk

q

h

h

h

E

E

h

msy

=

=

=

=









=

=

β

α

β

α

β

α

β

α

β

β

α

α

β

α

3.5.1.2 Analisis bio-teknik

Terjadi atau tidak gejala penangkapan lebih (biological overfishing) dapat dianalisis dengan menggunakan analisis bio-teknik. Penentuan gejala tersebut dilakukan dengan menentukan jumlah hasil tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dan kondisi optimum tingkat upaya penangkapan ikan tenggiri. Model produksi

Schaefer yang menghubungkan antara upaya tangkap (E) dengan hasil tangkapan per upaya (CPUE), diperoleh dari hubungan antara upaya tangkap (E) dengan hasil tangkapan (h) yang kedua sisanya dibagi dengan upaya tangkap (E), yaitu:

E

CPUE

E

r

k

q

qk

E

h

E

r

k

q

qkE

h

β

α −

=





=

=

2 2 2

dimana :

α

=

qk

dan

r

q

2

=

β

Upaya tangkapan yang dilakukan pada saat perolehan maksimam lestari , didapatkan pada saat

2

E

E

h

=

α −

β

0

=

E

h

δ

δ

maka

E

h

,

0

=

δ

δ

β

α

β

α

2

0

2

=

=

msy

E

E

=

q

r

Ekq

qrk

2

2

=

(38)

Pendugaan parameter biologi dilakukan dengan metode surplus produksi melalui pendekatan CYP dengan persamaannnya :

)

(

2

)

2

(

)

2

(

)

(

2

2

)

(

+1

+

+1

+

+

+

+

=

t t

t

E

E

r

q

InU

r

r

qk

In

r

r

U

In

Hasil tangkapan per unit upaya (CPUE) dilambangkan dengan huruf “U” kemudian diregresikan pada periode (t+1) dan periode (t), disertai dengan penjumlahan input pada periode (t+1) dan periode (t), maka akan diperoleh koefisien r, q dan secara terpisah. Sebelumnya persamaan dapat disederhanakan menjadi :

)

(

)

(

)

(

U

t+1

=

+

In

U

t

E

t

+

E

t+1

In

α

β

γ

Nilai-nilai parameter r, q dan k diestimasi dengan menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square), sehinga nilai parameter r, q dan k dapat diperoleh dari persamaan:

q

e

k

r

q

r

r r ) 2 ( ) 2 (

)

2

(

)

2

(

)

2

(

2

+

=

+

=

+

=

α

γ

β

β

3.5.1.3 Analisis bio-ekonomi

Berdasarkan konsultasi pribadi dengan Fauzi dan Sobari (2008), pendekatan analisis bio-ekonomi bisa dilakukan dengan pendekatan bulanan. Hal ini dikarenakan jika melalui data tahunan tidak menunjukkan hasil yang terbaik maka dianjurkan bisa menggunakan data bulanan. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukanan sebelumnya, selain parameter biologi maka parameter ekonomi juga mempengaruhi model statik bio-ekonomi dalam perikanan tangkap yaitu biaya penangkapan (c) dan harga (p).

Biaya penangkapan yang digunakan merupakan rata-rata dari biaya operasional penangkapan yang meliputi biaya bahan bakar oli, es dan pangan. Rata-rata biaya penangkapan dihitung berdasarkan rumus:

n

C

C

=

i

Keterangan:

(39)

Ci = Biaya penangkapan responden ke-i n = Jumlah responden

Standarisasi biaya dihitung dengan menggunakan rumus:

+

=

∑ ∑

= = n i t n

i i j

it i i t

x

CPIsdt

CPIt

h

h

h

E

TC

n

Csdt

1 / 1 1

100

.

)

(

1

.

Keterangan :

Csdt.t = Biaya per unit standarisasi effort pada periode ke t TCi = Total biaya untuk alat tangkap ke-i

Ei = Total effort untuk alat tangkap ke-i

hit = Produksi alat tangkap ke-i pada periode ke t

(hi+hj) = Total produksi seluruh alat tangkap

n = Jumlah alat tangkap

CPIt = Indeks harga konsumen pada periode ke t CPIsdt = Indeks harga konsumen standar (2007)

sedangkan harga ikan juga ditentukan oleh harga ikan rata-rata dengan rumus :

n

P

P

=

i

=

x

100

CPIsdt

CPI

P

P

t t

Keterangan :

P = Harga ikan rata-rata

Pi = Harga nominal ikan responden ke-i

n = Jumlah responden Pt = Harga riil ikan waktu t

Jika kedua parameter biologi dan ekonomi tersebut telah diketahui, maka

Total Revenue (TR) dan Total Cost (TC) diperoleh dengan persamaan:

cE

TC

r

qE

pqKE

TR

ph

TR

=

 −

=

=

1

Keuntungan lestari yang merupakan selisih dari TR dan TC diperoleh melalui persamaan:

cE

r

qE

pqkE

TC

TR

 −

=

=

1

π

π

(40)

tersebut dapat diketahui melalui model pendekatan statik melalui pendekatan CYP (Tabel 4).

Tabel 4 Formula perhitungan solusi bio-ekonomi statik dengan pendekatan CYP.

Variabel Rejim pengelolaan

MEY MSY Open acces

Biomassa (x)





+

pqK

c

k

1

2

2

k

pq

c

Catch (h)









+

pqk

c

pqk

c

rk

1

1

4

4

.

K

r









pqk

c

pq

rc

1

Effort (E)





pqk

c

q

r

1

2

q

r

2





pqk

c

q

r

1

Rente sumber

daya (

π

)

r

cE

qE

pqkE

 −

1





q

r

c

K

r

p

2

.

4

.

.

F

(

x

)

qx

c

p





Sumber : Fauzi (2005)

Pendekatan statik dalam permodelan sumberdaya ikan memiliki kelemahan yang mendasar, dimana pada pendekatan ini faktor waktu tidak dimasukkan dalam analisis. Sumberdaya terbaharukan seperti ikan memerlukan waktu untuk bereaksi terhadap perubahan eksternal yang terjadi. Oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan dinamik. Model dinamik menyangkut aspek pengelolaan yang bersifat intertemporal yang dijembatani dengan penggunaan

discount rate. Secara matematika pengelolaan sumberdaya dalam model dinamik ditulis dalam bentuk :









+

 −

=

qx

c

p

qx

ch

k

x

r

2

2

1

δ

Berdasarkan persamaan di atas, maka biomassa, produksi, effort dan rente ekonomi optimal model dinamik dapat dihitung sebagai berikut :

* * * * 2 *

2

1

)

(

1

1

qx

h

E

k

x

c

pqx

c

x

h

pqkr

C

r

pqk

c

r

pqk

c

r

k

x

=

 −

=

+





+

+





+

=

δ

δ

δ

δ

(41)

berkembang biasa digunakan socialdiscount rate 10 sampai dengan 20%, maka dalam penelitian ini digunakan social discount rate 10%, 12%,15%, 18% dan 20%.

Sumberdaya perikanan sangat rentan mengalami degradasi akibat adanya aktivitas pemanfaatan terhadap sumberdaya perikanan tersebut (upaya penangkapan ikan). Laju degradasi dapat dihitung dengan rumus :

φ

deg =

ho h

e

α

+

1

1

Keterangan :

φ

deg = Laju degradasi

h

α = Produksi lestari o

h

= Produksi aktual

Dengan mengetahui nilai-nilai variabel di atas pada berbagai rejim pengelolaan, maka dapat diketahui kondisi bio-ekonomi perikanan tangkap di suatu perairan. Pengetahuan yang didapat selanjutnya dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan pengembangan perikanan tangkap di perairan tersebut.

3.5.2 Sub sistem teknologi penangkapan

3.5.2.1 Daerah dan musim penangkapan

(42)

jumlah kapal yang melakukan penangkapan pada bulan yang bersangkutan. Secara matematis perhitungan CPUE sebagai berikut :

Keterangan:

CPUE : Jumlah total tangkapan per upaya penangkapan bulan ke-i (kg per hari)

Ci : Total hasil tangkapan bulan ke-i (kg)

Fi : Total upaya penangkapan bulan ke-i (trip)

Selanjutnya pola musim penangkapan dianalisis dengan menggunakan pendekatan metode rata-rata bergerak (moving average). Langkah perhitungannya menurut Dajan (1983) adalah sebagai berikut :

(1) Menyusun deret CPUE bulan Januari tahun 2000 sampai dengan Desember 2004

Keterangan :

I = 1,2,3...60

ni = Urutan ke-i

(2) Menyusun deret jumlah bergerak CPUE selama 12 bulan untuk setiap bulan

Keterangan :

p = 6,7,8 ... np = Urutan ke-p

j = Urutan ke-j pada deret ni

(3) Menyusun deret rata-rata bergerak CPUE per 12 bulan untuk setiap bulan

Keterangan :

q = 6,7,8 ….

nq = Urutan ke-q

np = Σ CPUE bergerak 12 bulan untuk bulan ke-j

(4) Menyusun deret jumlah bergerak 2 bulan untuk setiap bulan

fi

Ci

CPUE

=

CPUEi ni=

+

− =

=

6

6

p

p j

CPUEj

np

np

nq

12

1

=

=

r

r

nq

nr

(43)

% 100

variasimusimbulananx

rata rata j ke bulan musim Variasi − − = Keterangan :

r = 7,8,9….

nr = Urutan ke-r

nq = Rata-rata bergerak per 12 bulan untuk setiap bulan (5) Menyusun rata-rata bergerak 12 bulan dipusatkan

Keterangan :

s = 7,8,9…

ns = Urutan ke-s

nr = Deret jumlah bergerak 2 bulan

(6) Menghitung prosentase rata-rata bergerak u

Gambar

Gambar 8  Peta lokasi penelitian.
Tabel 2 Data primer yang diambil dalam penelitian
Tabel 3  Data sekunder yang diambil dalam penelitian Tahun
Tabel 6  Perkembangan alat tangkap di perairan Kabupaten Bangka tahun 2001-2005
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kaitannya dengan pengembangan usaha penangkapan ikan di Kabupaten Pandeglang khususnya di PPP Labuan, maka pemanfaatan sumberdaya ikan diarahkan untuk

Kedua , Kabupaten Bangka Tengah terletak di kuadran II termasuk kategori daerah dengan pertumbuhan ekonomi di bawah rata-rata, tapi pengurangan kemiskinan di atas

Penelitian ini akan memberikan model pengembangan pariwisata bagi ketiga kabupaten tersebut dengan memanfaatkan sumberdaya alam selain pantai sebagai variasi wisata

Penelitian ini akan memberikan model pengembangan pariwisata bagi ketiga kabupaten tersebut dengan memanfaatkan sumberdaya alam selain pantai sebagai variasi wisata

Scorecard pada organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka yaitu. Dinas Perikanan dan

Tujuan kegiatan ini yakni tersedianya data sumberdaya zirkon, pasirkuarsa, dan kaolin yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Bangka Tengah,

ANALISIS KELAYAKAN USAHA KERUPUK IKAN TENGGIRI RUKMANA DALAM MENINGKATKAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA TANJUNG MANGKOK KABUPATEN KOTABARU Selvi Riyana1, Iman Setya Budi2, Abdul

Model pengembangan P pada ekonomi wilayah dan kelembagaan usaha perikanan merupakan interaksi antara Pengembangan komunitas k, Kerjasama dalam industri sejenis maupun industri