• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Status Gizi Balita Pada Program Edukasi Dan Rehabilitasi Gizi (Pergizi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Status Gizi Balita Pada Program Edukasi Dan Rehabilitasi Gizi (Pergizi)"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA PADA

PROGRAM EDUKASI DAN REHABILITASI GIZI (PERGIZI)

YUSI ARISKA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Progam Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Yusi Ariska

(4)
(5)

ABSTRAK

YUSI ARISKA. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Dibimbing oleh LILIK KUSTIYAH dan YEKTI WIDODO.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Penelitian ini menggunakan data sekunder. Desain penelitian yang digunakan adalah kuasi eksperimental dengan jumlah contoh sebanyak 141 balita. Intervensi yang diberikan pada balita berupa PMT bersama, suplemen zink, dan penyuluhan gizi dan kesehatan bagi ibu balita. Intervensi tersebut diberikan selama 6 bulan dan dilaksanakan di Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Rata-rata z-score balita setelah mengikuti Program Edukasi dan Rehabilitasi (PERGIZI) adalah nyata lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut (p<0.05). Nafsu makan berpengaruh positif terhadap perubahan status gizi balita, sedangkan status diare berpengaruh negatif terhadap perubahan status gizi balita (p<0.05). Anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik cenderung mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare. Kata kunci : edukasi dan rehabilitasi gizi, diare, status gizi, balita

ABSTRACT

YUSI ARISKA. Impacts of Nutrition Education and Rehabilitation Program (PERGIZI) in Increasing Nutritional Status of Children Under-five Years Old. Supervised by LILIK KUSTIYAH and YEKTI WIDODO.

This study aimed to analyze factors that influence the changing of nutritional status of children under-five years that participating in Nutrition Education and Rehabilitation Program (PERGIZI). This research used secondary data with a quasi-experimental design (one group before and after intervention design) of 141 samples. Six months intervention program which applied to the children consisted of provision of complementary feeding and supplement of zink along with nutrition and health education for the mothers. This research conducted at Distric of East Kutai, Province of East Kalimantan. Result showed that average WAZ score of subjects had increased significantly (p<0.05) after participating in PERGIZI. Subject’s appetite had positive effect, but the diarrheal status had negative effect on their nutritional status (p<0.05) after intervention period. Subjects with a good appetite tend to increase WAZ score 4.036 times than the worse one, while diarrheal subjects tend to increase WAZ score 0.272 times than without diarrheal.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada Departemen Gizi Masyarakat

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

TERHADAP PERUBAHAN STATUS GIZI BALITA PADA

PROGRAM EDUKASI DAN REHABILITASI GIZI (PERGIZI)

YUSI ARISKA

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Agustus 2014 ini ialah status gizi balita, dengan judul Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita pada Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Ibu Dr Ir Lilik Kustiyah, MSi dan Bapak Yekti Widodo, SP, MKes selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Yekti Widodo, SP, MKes dan Tim atas perkenannya penggunaan sebagian data penelitian untuk penyusunan skripsi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr Ir Cesilia Meti Dwiriani, MSc selaku dosen pemandu seminar dan penguji skripsi serta teman-teman pembahas seminar. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu, ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada PT Kaltim Prima Coal yang selama ini memberikan bantuan finansial sehingga penulis dapat menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor dan seluruh teman-teman BUD PT KPC terutama Rangga Lawe Sandjaya dan Yudha Yaniari Satriya Putri. Tidak lupa pula ungkapan terima kasih kepada teman-teman gizi masyarakat 47 dan semua pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

PRAKATA iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

DAFTAR LAMPIRAN v

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan 2

Hipotesis 3

Manfaat 3

KERANGKA PEMIKIRAN 3

METODE 4

Desain, Tempat, dan Waktu 4

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh 5

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 5

Pengolahan dan Analisis Data 6

Definisi Operasional 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) 9

Karakteristik Contoh 12

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga 13

Perkembangan Status Gizi 14

Perbaikan Nafsu Makan 17

Hubungan Variabel dengan Perubahan Status Gizi Balita

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita

20 23

SIMPULAN DAN SARAN 24

Simpulan 24

Saran 24

DAFTAR PUSTAKA 24

LAMPIRAN 27

(14)

DAFTAR TABEL

1 Cara pengumpulan data 6

2 Klasifikasi status gizi anak (balita) berdasarkan indeks BB/U 7

3 Jadwal kegiatan PERGIZI selama 24 minggu 12

4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin 12 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga 13 6 Partisipasi ibu balita menurut frekuensi kehadiran mengikuti kegiatan

PERGIZI

14 7 Status gizi berdasarkan indeks BB/U balita pada awal dan akhir

kegiatan PERGIZI

15 8 Perkembangan status gizi (BB/U) balita berdasarkan status gizi awal 15 9 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata kenaikan berat badan dan

keaktifan partisipasi ibu

16 10 Perubahan status gizi contoh berdasarkan kehadiran dalam kegiatan

PERGIZI

17 11 Perubahan nafsu makan balita berdasarkan status gizi (BB/U) balita 18 12 Sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi

makan dan perubahan status gizi (%)

18 13 Penyakit infeksi yang dialami contoh sebelum dan setelah PERGIZI 19 14 Rekapitulasi hasil uji hubungan antara variabel bebas dengan

perubahan status gizi balita

20

DAFTAR GAMBAR

1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita 4

2 Alur memperoleh contoh penelitian 5

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis uji Binary Logistic Regression 26

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara nasional, prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2013 adalah 19.6%, terdiri atas 5.7% gizi buruk dan 13.9% gizi kurang. Jika dibandingkan dengan prevalensi nasional tahun 2007 (18.4%) dan tahun 2010 (17.9%) terlihat adanya peningkatan. Perubahan terutama pada prevalensi gizi buruk yaitu dari 5.4% tahun 2007, 4.9 % pada tahun 2010, dan 5.7% tahun 2013. Prevalensi gizi kurang naik sebesar 0.9% dari 2007 dan 2013 (Depkes 2013). Prevalensi gizi buruk-kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 4.1 % dalam periode 2013 sampai 2015 agar sasaran MDG tahun 2015 yaitu 15.5% dapat tercapai. Atas dasar sasaran MDG 2015, terdapat tiga provinsi yang memiliki prevalensi gizi buruk-kurang sudah mencapai sasaran yaitu Bali, DKI Jakarta, dan Bangka Belitung (Depkes 2013). Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat 30 provinsi di Indonesia yang prevalensi gizi buruk-kurang belum mencapai sasaran MDG 2015.

Salah satu provinsi yang belum mencapai target MDG 2015 adalah Kalimantan Timur. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Provinsi Kalimantan Timur masing-masing sebesar 6.2% dan 13.1%. Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang yang terjadi pada anak balita di Kabupaten Kutai Timur berdasarkan BB/U sebesar 5.7% dan 8.9%, berdasarkan TB/U sebesar 12.7% (sangat pendek) dan 18.4% (pendek), berdasarkan BB/TB sebesar 5% (sangat kurus) dan 6.3% (kurus) (Depkes RI 2009). Oleh karena itu, diperlukan upaya perbaikan gizi buruk dan gizi kurang agar dapat meningkatkan status gizi balita.

Upaya penanggulangan gizi buruk ini sangat penting. Hal ini karena dampak yang ditimbulkan dari permasalahan gizi buruk sangat luas dan kompleks. Selain menyebabkan kematian, Azwar (2004) menyatakan bahwa setiap anak gizi buruk mempunyai risiko kehilangan IQ sebesar 10-13 poin. Dampak lain yang ditimbulkan oleh adanya gizi buruk adalah terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak (Atmarita dan Fallah 2004). Menurut Aries dan Martianto (2006), dampak lain dari adanya gizi buruk adalah menurunnya produktivitas anak. Hal ini berhubungan dengan potensi ekonomi di masa mendatang. Penelitian yang dilakukan Aries dan Martianto (2006) menunjukkan bahwa rata-sata potensi ekonomi yang hilang di seluruh provinsi Indonesia akibat KEP pada balita sebesar Rp 124 - Rp 559 milyar dengan faktor kehilangan produktivitas sebesar 2-9%. Selain itu, terkait besarnya biaya program penanggulangan gizi buruk seperti PMT, Aries dan Martianto (2006) menyatakan rata-rata biaya program PMT di setiap provinsi di Indonesia tahun 2003 sebesar Rp 1.62 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa biaya penanggulangan gizi buruk jauh lebih rendah dibandingkan besar kerugian ekonomi yang akan timbul jika tidak dilakukan upaya penanganan.

(16)

2

gizi kurang dan gizi buruk. PERGIZI merupakan wahana peningkatan status gizi anak balita di masyarakat (posyandu) melalui edukasi (pembelajaran/penyuluhan /KIE) dan rehabilitasi gizi (pemberian PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient). PERGIZI berbasis prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara terpadu, bersinergi, berkelanjutan, dan berkemitraan dengan lintas program dan lintas sektor serta melibatkan masyarakat untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga, ataupun uang (Widodo et al. 2008).

Intervensi melalui PERGIZI (Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi) telah dilakukan di empat kecamatan di Kabupaten Kutai Timur yaitu Kecamatan Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon sejak tahun 2009. Sasaran utama kegiatan PERGIZI adalah anak balita usia 6-54 bulan yang menderita gizi buruk, gizi kurang dan menuju gizi kurang. Berdasarkan hasil penelitian Widodo et al. (2013), kondisi status gizi balita setelah mengikuti PERGIZI sangat beragam yaitu ada yang mengalami peningkatan status gizi, ada yang status gizinya tetap, bahkan ada sedikit yang mengalami penurunan status gizi. Adanya perbedaan hasil setelah dilakukannya intervensi pada program PERGIZI serta masih terbatasnya penelitian terkait program PERGIZI ini membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada program edukasi dan rehabilitasi gizi (PERGIZI).

Tujuan

Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengkaji faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita pada program edukasi dan rehabilitasi gizi (PERGIZI).

Tujuan Khusus

1. Mengkaji jenis intervensi yang diberikan pada balita program edukasi dan rehabilitasi gizi.

2. Mengidentifikasi karakteristik contoh balita dan karakteristik sosial ekonomi keluarga.

3. Mengidentifikasi partisipasi (kehadiran) balita dalam mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi

4. Mengkaji status gizi, nafsu makan dan status penyakit infeksi balita sebelum dan setelah mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi. 5. Menganalisis hubungan karakteristik sosial ekonomi, nafsu makan,

penyakit infeksi, serta partisipasi (kehadiran) dengan perubahan status gizi balita program edukasi dan rehabilitasi gizi.

(17)

3 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah

1. Status gizi balita setelah mengikuti program edukasi dan rehabilitasi gizi lebih baik dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi khususnya bagi orang tua mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan status gizi balita pasien program edukasi dan rehabilitasi gizi. Selain itu, diharapkan orang tua dapat mengantisipasi agar status gizi balita bisa dipertahankan atau menjadi lebih baik. Bagi pemerintah atau pengambil kebijakan, hasil dari studi ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan program yang tepat dalam upaya meningkatkan status gizi balita.

KERANGKA PEMIKIRAN

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi status gizi balita. Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi adalah konsumsi pangan balita dan penyakit infeksi. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya melemah dan akan mudah terserang penyakit. Faktor tidak langsung yang dapat mempengaruhi status gizi adalah keadaan sosial ekonomi keluarga yang termasuk di dalamnya adalah tingkat pendidikan orang tua dan kategori ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan orang tua akan menentukan tingkat pengetahuan orang tua dalam melakukan pola asuh makan dan pola asuh kesehatan yang dilakukan terhadap anak. Ekonomi keluarga akan mempengaruhi ketersediaan makanan di rumah. Selain faktor sosial ekonomi keluarga, faktor tidak langsung lainnya misalnya adanya program edukasi dan rehabilitasi gizi juga akan mempengaruhi status gizi balita.

Adanya program rehabilitasi dan edukasi gizi yang mencakup penyuluhan, pemberian micronutrient, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, serta pemberian makanan tambahan (PMT-Bersama) secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita. Penyuluhan gizi akan mempengaruhi orang tua dalam melakukan pola asuh pada balita terutama pola asuh makan. Kemudian, hal tersebut akan mempengaruhi konsumsi pangan balita. Selain itu, konsumsi pangan balita juga dapat dipengaruhi oleh adanya

(18)

4

Keterangan :

= Variabel yang diteliti = Variabel yang tidak diteliti = Hubungan yang dianalisis = Hubungan yang tidak dianalisis

Gambar 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita

METODE

Desain, Tempat dan Waktu

Data yang diolah pada penelitian ini merupakan data sekunder yaitu sebagian data hasil penelitian kerja sama Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) Equator, PT Kaltim Prima Coal, dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur tahun 2012 (Widodo et al. 2013). Penelitian tersebut menggunakan desain kuasi eksperimen, yaitu rancangan sebelum dan sesudah intervensi menggunakan satu kelompok (one group before and after intervention design). Penelitian tersebut dilakukan selama 24 minggu yaitu sejak bulan Desember 2012 hingga Mei 2013. Penelitian tersebut dilaksanakan di empat kecamatan yaitu Kecamatan

(1, 2) (2, 3, 4)

Karakteristik Balita - Usia

- Jenis Kelamin - Berat Badan Sosial Ekonomi Keluarga

- Usia Orang Tua

- Tingkat Pendidikan Orang tua

- Besar Keluarga

- Kategori Ekonomi Keluarga

Konsumsi pangan balita didekati dengan : nafsu makan, frekuensi makan, dan porsi makan

Penyakit Infeksi - ISPA

- Diare Status Gizi

Balita (BB/U)

Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI)

1. Pemeriksaan Kesehatan dan Pengobatan 2. Penyuluhan Gizi dan Kesehatan

3. Pemberian Micronutrient

(19)

5 Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Penelitian yang akan dilakukan ini meliputi proses pengolahan, analisis, dan interpretasi data yang dilaksanakan bulan Mei hingga Agustus 2014 di Kampus Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat.

Jumlah dan Cara Penarikan Contoh

Contoh yang digunakan dalam penelitan ini adalah contoh yang digunakan LPM Equator dalam program PERGIZI 2012. Contoh penelitian yang dilakukan LPM Equator ini adalah seluruh anak balita yang memiliki status gizi buruk, gizi kurang, dan menuju kurang dengan z-score BB/U masing-masing sebesar < -3SD, -3 SD sampai dengan < -2SD, dan -2 SD sampai dengan -1.5 SD berdasarkan standar WHO 2005. Contoh yang diteliti adalah hasil screening di 4 kecamatan yaitu Kecamatan Rantau Pulung, Sengata Utara, Sengata Selatan, dan Bengalon, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan timur. Berdasarkan hasil screening, ditemukan 231 anak balita yang memenuhi kriteria sebagai sasaran PERGIZI, terdiri atas 31 anak gizi buruk, 120 anak gizi kurang, dan 80 anak menuju gizi kurang. Pada akhir pelaksanaan program PERGIZI jumlah balita yang dapat dievaluasi sebanyak 141 balita. Jumlah balita yang memenuhi kriteria sebanyak 141 balita yang terdiri atas 16 balita gizi buruk, 73 balita gizi kurang, dan 52 balita menuju gizi kurang. Secara lengkap hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Alur memperoleh contoh penelitian

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini seluruhnya merupakan data sekunder. Data diperoleh dalam bentuk electronic file berupa entry data dan hasil

Jumlah balita yang memenuhi kriteria

screening 231 balita

Jumlah balita yang bersedia mengikuti program PERGIZI 220 balita

Jumlah balita yang dapat dievaluasi pada akhir program PERGIZI 141 balita

231 balita 16 balita gizi

buruk

73 balita gizi kurang

52 balita menuju gizi kurang

3 balita menolak

(20)

6

pengolahan LPM Equator 2012 (Widodo et al. 2013). Sumber dan cara pengumpulan data yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Cara pengumpulan data Pengukuran langsung menggunakan timbangan injak digital dengan ketelitian 50 gram dan Wawancara menggunakan kuisioner berisi 11 daftar barang berharga yang meliputi kepemilikan listrik, televisi, DVD player, playstation, handphone, kulkas, motor, mobil/angkot/truk, rekening tabungan, perhiasan/emas, dan rumah tinggal

Konsumsi pangan Wawancara menggunakan kuisioner berisi pertanyaan mengenai persepsi ibu yang berhubungan dengan nafsu makan anak, porsi makan anak, dan frekuensi makan anak dalam sehari.

Penyakit infeksi

 ISPA

 Diare

Wawancara menggunakan alat bantu kuisioner

Partisipasi/kehadiran mengikuti PERGIZI

Data kehadiran /absensi dari kader

Data sekunder yang dikumpulkan meliputi karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan); karakteristik keluarga (usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, dan kategori ekonomi keluarga); nafsu makan, penyakit infeksi (ISPA dan diare selama satu bulan terakhir) serta partisipasi atau kehadiran balita mengikuti kegiatan PERGIZI.

Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan program komputer Microsoft Office Excel dan SPSS 16.0. Proses pengolahan data meliputi editing, cleaning, dan analisis. Usia ayah dan usia ibu contoh dalam penelitian ini

dikategorikan menjadi ≤40 tahun dan >40 tahun. Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari tingkat pendidikan formal yang diikuti, kemudian dikategorikan menurut jenjang pendidikan <SMA dan ≥SMA (Mulyati et al. 2008). Besar keluarga dikategorikan menjadi catur warga (≤ 4 orang) dan tidak catur warga (>4 orang) (Lutviana dan Budiono 2010).

(21)

7

DVD player, playstation, handphone, kulkas, motor, mobil/angkot/truk, rekening tabungan, perhiasan/emas, dan rumah tinggal. Berdasarkan hasil penelitian Widodo et al. (2011) yang menggunakan 9 daftar kepemilikan barang berharga disebutkan bahwa keluarga tidak mampu (miskin) adalah keluarga yang sama sekali tidak memiliki atau yang hanya memiliki 3 jenis barang berharga; kurang mampu (agak miskin) adalah keluarga yang memiliki 4 sampai 6 jenis barang berharga; dan keluarga mampu (kaya) adalah keluarga yang memiliki 7 sampai 9 jenis barang berharga. Pada penelitian ini, status ekonomi keluarga dikategorikan menjadi mampu dan tidak mampu. Status ekonomi dikatakan mampu ketika lebih dari atau sama dengan 80% (lebih dari sama dengan 9 item) barang berharga tersebut dimiliki oleh keluarga balita. Sebaliknya, dikatakan tidak mampu (kurang mampu dan tidak mampu) jika persentase kepemilikan kurang dari 80% (kurang dari 9 item).

Nafsu makan anak dikategorikan menjadi baik, cukup, dan sulit. Data nafsu makan diperoleh dari persepsi orang tua. Nafsu makan dikategorikan sulit jika anak tidak mau makan atau mau makan tetapi porsi yang dihabiskan kurang dari atau sama dengan 1/3. Nafsu makan dikategorikan cukup jika porsi yang dihabiskan antara 1/3 hingga 2/3. Nafsu makan dikategorikan baik apabila lebih dari 2/3 makanan habis. Penyakit infeksi yaitu data terkait status ISPA dan diare dikategorikan menjadi dua yaitu iya (menderita ISPA atau diare) dan tidak (tidak menderita ISPA atau diare) selama satu bulan terakhir. Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Status gizi anak balita dilihat dari nilai skor-z terhadap berat badan menurut umur (BB/U). Indeks BB/U ini digunakan karena BB/U menggambarkan status gizi balita saat ini serta lebih mudah dan dimengerti oleh masyarakat umum. Kriteria status gizi dengan cara skor-z adalah buruk, kurang, normal, dan lebih sebagaimana tercantum pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi status gizi anak (balita) berdasarkan indeks BB/U

Indeks Status Gizi Z-score

Berat badan menurut umur

Pada tahap analisis dilakukan dengan menggunakan program komputer

SPSS 16 for Windows. Analisis statistik dasar dilakukan untuk mengetahui frekuensi distribusi dan ukuran sebaran (rata-rata dan standar deviasi). Analisis hubungan karakteristik keluarga, nafsu makan, penyakit infeksi, dan partisipasi/kehadiran dengan perubahan status gizi dilakukan menggunakan uji

Chi Square. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perubahan status gizi balita dilakukan dengan uji Binary Logistic Regression. Variabel pada uji

(22)

8

Definisi Operasional

Contoh adalah anak balita laki-laki dan perempuan yang berumur 6-54 bulan yang memiliki status gizi buruk, gizi kurang, dan menuju gizi kurang yang mengikuti program PERGIZI

Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) adalah wahana peningkatan status gizi balita di tingkat masyarakat (Posyandu) melalui kegiatan edukasi (pembelajaran/penyuluhan/KIE) dan rehabilitasi gizi (PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient) yang diikuti contoh.

Karakteristik contoh adalah kriteria pada contoh yang dijadikan penilaian antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, dan tinggi badan.

Status gizi adalah hasil masukan zat gizi dan pemanfaatannya di dalam tubuh dengan melihat ukuran tubuh dengan indeks BB/U yang dinyatakan dengan nilai skor-z berdasarkan WHO-NCHS. Kriteria status gizi dengan cara skor-z adalah: buruk, jika nilai skor-z kurang dari -3; kurang, jika nilai skor-z -3 hingga kurang dari -2; normal, jika nilai skor-z -2 hingga 2 dan lebih, jika nilai skor-z lebih dari 2.

Perubahan status gizi adalah perubahan z-score berdasarkan indeks BB/U dalam jangka waktu 6 bulan.

Menuju gizi kurang adalah balita yang berstatus gizi baik dengan indeks BB/U -2SD hingga -1.5SD. Balita tersebut diikutkan dalam kegiatan PERGIZI atas pertimbangan bahwa balita mengalami sulit makan, berat badan balita sulit naik, dan orang tua ingin anak lebih sehat serta mau berkontribusi dalam program. Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang pernah diikuti orang tua.

Besar keluarga adalah banyaknya individu yang tinggal bersama dalam satu atap dan bergantung kepada sumber penghidupan yang sama.

Konsumsi pangan balita adalah keterangan tentang makan balita terkait nafsu makan, frekuensi makan, dan porsi makan.

Penyakit infeksi adalah kondisi riwayat diare dan ISPA balita dalam satu bulan terakhir.

ISPA adalah infeksi saluran pernapasan yang dengan gejala panas disertai batuk berdahak/kering atau pilek menyerang contoh selama satu bulan terakhir.

(23)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) merupakan wahana peningkatan status gizi balita di tingkat masyarakat (Posyandu) melalui kegiatan edukasi (pembelajaran/penyuluhan/KIE) dan rehabilitasi gizi (PMT, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, pemberian micronutrient). PERGIZI merupakan program yang berbasis masyarakat dan dilakukan secara terpadu, bersinergi, dan berkelanjutan. Selain itu, PERGIZI dilakukan secara bermitraan dengan lintas program dan lintas sektor serta melibatkan ibu balita dan komponen masyarakat untuk memberikan kontribusi berupa bahan makanan, tenaga atau uang. Sasaran kegiatan PERGIZI adalah semua orang tua (ibu) dan anak balita penderita gizi buruk dan gizi kurang yang berumur 6-54 bulan. Sasaran utama PERGIZI adalah semua anak balita dengan indeks antropometri berat badan menurut umur (BB/U) <-2 SD WHO 2005. Kegiatan PERGIZI dilakukan selama 24 minggu (Widodo et al. 2011). Kegiatan intervensi dilakukan selama 24 minggu dengan pertimbangan bahwa dalam waktu tersebut perubahan berat badan balita sudah dapat diamati dengan jelas.

Kegiatan utama PERGIZI meliputi: pengukuran antropometri anak balita yang meliputi penimbangan berat badan, pemeriksaan kesehatan dan pengobatan, PMT-bersama (pemberian makanan tambahan yang dimasak bersama dan makan bersama), pemberian micronutrient, penyuluhan gizi dan kesehatan (Widodo et al. 2011)

Pengukuran antropometri anak balita

Jenis pengukuran antropometri yang dilakukan pada kegiatan PERGIZI adalah penimbangan berat badan. Standar cara pengukuran berat badan yang digunakan adalah anak yang akan ditimbang harus mengenakan pakaian seminimal mungkin, sehingga berat anak yang ditimbang lebih tepat. Tingkat ketelitian alat ukur (timbangan) yang digunakan sebesar 0.1 kg (Widodo et al.

2011).

Dalam periode 6 minggu pertama (sejak minggu ke-nol sampai minggu ke-6), penimbangan anak balita dilakukan setiap minggu sekali yaitu setiap awal minggu (hari pertama minggu tersebut). Pada minggu ke-7 sampai minggu ke-12 penimbangan balita dilakukan setiap 2 minggu sekali. Sejak minggu ke-13 hinggan minggu ke-24 penimbangan dilakukan setiap 4 minggu sekali yaitu pada minggu ke-16, ke-20, dan ke-24. Data hasil penimbangan balita setiap bulannya tidak tersedia pada penelitian ini. Oleh karena itu, pada penelitian ini, data berat badan balita yang digunakan adalah data penimbangan berat badan balita pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI saja.

Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan

(24)

10

Jadwal pelaksanaan pemeriksaan kesehatan dan pengobatan anak balita sasaran PERGIZI adalah hari pertama minggu ke-0, 4, 8, 12, 16, 20 dan minggu ke-24 (Widodo et al. 2011). Pemeriksaan kesehatan dan pengobatan ini dilakukan oleh tenaga kesehatan atau dokter dari puskesmas wilayah setempat.

Pemberian makanan tambahan bersama (PMT-Bersama)

Balita penderita gizi buruk dan gizi kurang biasanya mempunyai nafsu makan yang tidak baik. Oleh karena itu, upaya rehabilitasi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang harus disertai PMT-Bersama dan upaya memperbaiki nafsu makan anak. Jenis PMT-Bersama yang diberikan kepada sasaran PERGIZI adalah makanan yang padat gizi (PMT tinggi energi dan protein), yaitu makanan pokok (nasi), lauk, dan sayur.

Jumlah frekuensi pemberian PMT berupa makanan pokok beserta lauknya dilakukan sebanyak 30 kali pemberian. Jadwal pelaksanaan pemberian makanan tambahan yang dimasak dan dimakan bersama pada kegiatan PERGIZI dilakukan selama 24 minggu adalah sebagai berikut:

1. Minggu ke-0 sampai ke-1 (2 minggu): diberikan 1 kali setiap hari (14 kali pemberian).

2. Minggu ke-2 sampai ke-3 (2 minggu): diberikan 3 kali dalam seminggu (6 kali pemberian).

3. Minggu ke-4: diberikan 2 kali dalam seminggu (2 kali pemberian).

4. Minggu ke-5 sampai ke-6 (2 minggu): diberikan 1 kali dalam seminggu (2 kali pemberian).

5. Minggu ke-7 sampai ke-12 (6 minggu): diberikan 1 kali dalam dua minggu (3 kali pemberian).

6. Minggu ke-12 sampai ke-24 (12 minggu) pemberian PMT-Bersama dilakukan setiap 4 minggu sekali

Pada awal kegiatan PMT bersama diberikan setiap hari, kemudian secara bertahap frekuensi pemberiannya dikurangi menjadi 3 kali seminggu, 2 kali seminggu, sekali seminggu, dua minggu sekali, dan 4 minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian orang tua balita agar tidak hanya bergantung pada PMT yang diberikan pada program PERGIZI. Dana dan bahan pembuatan PMT-Bersama diupayakan dapat diperoleh dari kontribusi ibu balita dan masyarakat, tetapi pengelola program harus tetap menyediakan dana pembuatan PMT-Bersama.

(25)

11 Pemberian micronutrient sirop Zink

Defisiensi seng dapat menyebabkan fungsi pencernaan terganggu, karena gangguan fungsi pankreas, gangguan pembentukan kilomikron, dan kerusakan permukaan saluran cerna. Selain itu dapat terjadi diare dan gangguan fungsi kekebalan. Kekurangan seng kronis dapat mengganggu sistem saraf dan fungsi otak. Kekurangan seng juga mengganggu fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan katajaman indera serta menghambat penyembuhan luka (Almatsier 2001). Sebagian besar anak balita yang menderita gizi buruk dan gizi kurang mempunyai nafsu makan yang kurang baik bahkan sama sekali tidak mau makan, sehingga porsi makan yang biasa dimakan hanya sedikit. Oleh karena itu, diberikan micronutrient berupa mineral zink (sirop zink) untuk meningkatkan nafsu makan balita sasaran PERGIZI.

Frekuensi pemberian sirop zink dilakukan satu kali sehari dengan dosis (bayi 6-11 bulan 2.5 ml = ½ sendok takar dan anak 12-59 bulan 5 ml = 1 sendok takar). Lama pemberian minimal 8 minggu maksimal 12 minggu (Widodo et al.

2011). Hal ini mengacu pada hasil penelitian Mundiastuti (2003) yang menunjukkan bahwa kenaikan nilai z-score BB/U pada sampel kelompok perlakuan (diberi suplemen seng) tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna pada pengamatan I (setelah pemberian suplemen seng selama 1.5 bulan). Namun pada pengamatan II (setelah pemberian suplemen seng selama 3 bulan), kenaikan nilai z-score BB/U menunjukkan perbedaan yang cukup bermakna. Hal inilah yang mendasari mengapa suplemen zink diberikan setiap hari selama 12 minggu atau 3 bulan.

Penyuluhan gizi dan kesehatan

Praktik cara merawat dan memberi makan anak yang tidak tepat merupakan salah satu penyebab utama terjadinya gizi buruk dan gizi kurang pada anak balita. Rendahnya tingkat pendidikan serta kurangnya penyuluhan gizi dan kesehatan kepada ibu balita, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan penyebab utama buruknya cara merawat dan memberi makan anak balita. Oleh karena itu, upaya peningkatan status gizi balita harus disertai upaya mengubah perilaku ibu balita tentang cara merawat dan memberi makan anak balita dengan perilaku yang lebih baik dan lebih sehat (Widodo et al. 2011).

Upaya memperbaiki praktik cara merawat dan memberi makan bayi dan anak balita dilakukan melalui penyuluhan gizi dan kesehatan dengan strategi yang tepat. Strategi dan materi penyuluhan gizi dan kesehatan yang diterapkan dalam kegiatan PERGIZI adalah penyuluhan berdasarkan masalah yang dihadapi dan cara mengatasi masalah tersebut. Topik utama materi penyuluhan untuk rehabilitasi anak balita gizi buruk dan gizi kurang meliputi (Widodo et al. 2011):

1. Penyebab gangguan gizi pada anak balita 2. Cara merawat anak balita gizi buruk

3. Cara memberi makan anak balita gizi buruk 4. Cara merawat anak gizi kurang

5. Cara memberi makan anak gizi kurang 6. Cara mengatasi anak sulit makan 7. Cara mempertahankan berat badan anak

8. Cara mengelola waktu dan sumberdaya keluarga 9. Makanan sehat untuk anak dan balita

(26)

12

Kegiatan penyuluhan gizi dan kesehatan dilakukan setiap ada kegiatan PERGIZI yaitu sebanyak 30 kali yang dilakukan pada saat menunggu disajikannya PMT ataupun pada saat pemeriksaan kesehatan. Beberapa materi atau topik yang diberikan lebih dari satu kali dalam pelaksanaannya. Selain disesuaikan dengan kondisi di lapangan, hal tersebut juga dimasudkan untuk mengingatkan kembali tentang materi yang pernah diberikan sebelumnya. Penyuluhan gizi dan kesehatan pada saat pelaksanaan PERGIZI paling sering dilakukan oleh kader. Teknik komunikasi dan materi penyuluhan yang diterapkan pada kegiatan PERGIZI diajarkan dan diberikan kepada kader dan petugas kesehatan melalui pelatihan dan pendampingan. Penyuluhan yang dilakukan oleh kader sebagian besar untuk memotivasi ibu balita agar lebih sabar dan telaten dalam memberi makan anak ketika di rumah. Selain itu, kader juga memotivasi agar lebih semangat dan rajin dalam mengikuti program PERGIZI (Widodo et al.

2011).

Selain pemberian penyuluhan, pada saat kegiatan PERGIZI juga dilakukan kegiatan mencuci tangan dengan air bersih dan sabun sebelum makan, memakai alas kaki ketika datang ke posyandu, meminta pedagang keliling tidak menjajakan dagangan di lokasi kegiatan PERGIZI, dan memotong kuku anak balita yang masih panjang, serta mempraktikkan cara membuat Formula-75 dan Formula-100 (Widodo et al. 2011).

Secara lengkap jadwal pelaksanaan kegiatan PERGIZI selama 24 minggu disajikan pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Jadwal kegiatan PERGIZI selama 24 minggu

Jenis Kegiatan Minggu ke :

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24

Karakteristik contoh yang diidentifikasi adalah umur dan jenis kelamin. Rata-rata usia balita 29.16±13.5 bulan (95% CI: 26.90-31.41) dengan usia termuda 6 bulan dan usia tertua 54 bulan. Berikut adalah sebaran contoh berdasarkan usia (bulan) dan jenis kelamin.

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia dan jenis kelamin

(27)

13 Tabel 4 menjelaskan bahwa sebagian besar (lebih dari separuh) contoh yang digunakan dalam penelitian berjenis kelamin perempuan. Penelitian yang dilakukakan oleh Pradhan di Nepal yang menunjukkan bahwa balita perempuan mempunyai persentase lebih besar dalam masalah gizi baik masalah gizi yang berupa underweight, stunting, maupun wasting (Pradhan 2006). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya pola sosial kebudayaan berupa pembagian makan dalam keluarga yang lebih mengutamakan laki-laki dibandingkan perempuan. Meskipun demikian, selisih antara jumlah contoh laki-laki dan perempuan tidak terlalu besar. Jumlah contoh terbesar adalah pada kelompok usia 12-23 bulan.

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Karakteristik sosial ekonomi keluarga yang diidentifikasi adalah usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, dan status ekonomi keluarga. Berikut ini adalah sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan karakteristik sosial ekonomi keluarga

No Karakteristik Gizi buruk Gizi kurang Menuju gizi kurang

Total

n % n % n % n %

1 Usia ayah

≤ 40 tahun 15 93.8 56 77.8 4 80.8 113 80.7

> 40 tahun 1 6.2 16 22.2 1 19.2 27 19.3

2 Usia ibu

≤ 40 tahun 15 93.8 71 97.3 49 94.2 135 95.7

> 40 tahun 1 6.2 2 2.7 3 5.8 6 4.3

3 Tingkat pendidikan ayah

< SMA 11 68.8 47 65.3 26 50 84 60

≥ SMA 5 31.2 25 34.7 26 50 56 40

4 Tingkat pendidikan ibu

< SMA 13 81.2 42 57.5 36 69.2 91 64.5

≥ SMA 3 18.8 31 42.5 16 30.8 50 35.5

5 Besar keluarga

≤ 4 orang 9 56.2 38 52.8 30 57.7 77 55

> 4 orang 7 43.8 34 47.2 22 42.3 63 45

6 Ekonomi keluarga

Mampu 3 18.8 11 15.1 9 17.3 23 16.3

Tidak mampu 13 81.2 62 84.9 19 82.7 118 83.7

(28)

14

Partisipasi Ibu Balita

Tingkat partisipasi balita selama mengikuti kegiatan PERGIZI dikategorikan menjadi 3 kategori, yaitu: (1) aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan setiap jadwal penimbangan dan hadir sebanyak 21 – 30 kali; (2) kurang aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan sebanyak 16 – 21 kali dan hadir pada saat kegiatan terakhir/evaluasi; dan (3) tidak aktif, adalah anak balita yang mengikuti kegiatan sebanyak 10 – 15 kali dan hadir pada saat kegiatan terakhir/evaluasi (Widodo et al. 2013). Data partisipasi ibu balita dalam mengikuti kegiatan PERGIZI berdasarkan frekuensi kehadiran disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Partisipasi ibu balita menurut frekuensi kehadiran mengikuti kegiatan PERGIZI

Status gizi Partisipasi Total

Aktif Kurang aktif Tidak aktif

n % n % n % n %

Gizi buruk 10 62.50 2 12.50 4 250 16 100

Gizi kurang 50 68.50 21 28.80 2 2.70 73 100

Menuju gizi kurang 36 69.20 14 26.90 2 3.80 52 100

Total 96 68.10 37 26.20 8 5.70 141 100

Tabel 5 tersebut menunjukkan bahwa jumlah balita yang aktif mengikuti kegiatan PERGIZI sebesar 68.1 %. Hal tersebut dibuktikan dengan persentase masing-masing kelompok balita dengan status gizi buruk, gizi kurang dan menuju gizi kurang yang aktif mengikuti kegiatan PERGIZI masing-masing sebesar 62.5%, 68.5%, dan 69.2%. Partisipasi ibu balita dalam mengikuti pelaksanaan kegiatan PERGIZI termasuk kategori cukup baik. Hal tersebut tidak terlepas dari peran, dukungan, dan tanggung jawab yang sangat tinggi dari para kader Posyandu, kader PKK, tokoh masyarakat, Kepala Puskesmas, TPG, dan bidan desa. Adapun alasan anak balita tidak dapat secara aktif hadir sesuai jadwal adalah orang tua repot, anak sakit, orang tua sakit, ada acara keluarga, lupa, dan hujan.

Perkembangan Status Gizi

(29)

15 mendapatkan PMT bersama dan suplemen zink yang dapat meningkatkan nafsu makan anak.

Data status gizi balita contoh didapatkan dari data z-score balita yang telah dikategorikan berdasarkan rekomendasi. Rekomendasi dalam menilai status gizi anak di bawah lima tahun yang dianjurkan untuk digunakan di Indonesia adalah baku World Health Organization-National Centre for Health Statistic (WHO-NCHS). Berikut ini disajikan data status gizi anak balita dilihat dari nilai skor-z terhadap berat badan menurut umur (BB/U) pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI.

Tabel 7 Status gizi berdasarkan indeks BB/U balita pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI

Tabel 7 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan status gizi balita sebelum dan setelah mengikuti program PERGIZI. Sebagian besar balita mengalami perubahan status gizi. Hal ini dapat dilihat bahwa persentase gizi buruk menurun dari 11.3% menjadi 4.3%, status gizi kurang menurun dari 51.8% menjadi 37.6%, status gizi menuju kurang menurun dari 36.9% menjadi 34%, dan terjadi peningkatan status gizi baik yaitu dari 0% menjadi 24.1%. Namun, perubahan status gizi yang dialami balita beragam yaitu ada yang mengalami peningkatan status gizi, ada yang status gizinya tetap, dan ada juga yang mengalami penurunan status gizi. Sebanyak 48.2% balita mengalami peningkatan status gizi, 48.9% balita status gizinya tetap, dan 2.8% balita mengalami penurunan status gizi. Balita yang mengalami penurunan status gizi dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu ada balita yang memang tidak aktif mengikuti PERGIZI, balita mengalami ISPA, dan ada yang mengalami kecacingan dan mengonsumsi obat cacing.

Berikut ini adalah tabel perkembangan status gizi balita berdasarkan status gizi awal balita.

Tabel 8 Perkembangan status gizi (BB/U) balita berdasarkan status gizi awal

Status gizi

Status gizi balita pada akhir program PERGIZI

Gizi buruk Gizi kurang Menuju gizi

kurang

(30)

16

gizi sebesar 46.4% (penjumlahan status gizi menuju kurang dengan gizi baik), serta 46.2% balita dengan status gizi menuju kurang mengalami peningkatan menjadi status gizi baik. Peningkatan status gizi ini diduga karena adanya pemberian intervensi sirop zink pada program PERGIZI. Menurut Suharto et al.

(2011) suplementasi zink berpengaruh signifikan atau bermakna dalam peningkatan status gizi balita. Hal tersebut dapat terjadi karena Zink bermanfaat dalam membantu selera makan, meningkatkan kekebalan tubuh dan meningkatkan pertumbuhan anak.

Tabel 8 tersebut juga menunjukkan bahwa sebanyak 7.6% balita menuju gizi kurang mengalami penurunan status gizi. Penurunan status gizi balita dengan status menuju gizi kurang tersebut karena z-score awal balita sudah mendekati

borderline status gizi kurang dan sebanyak 50% mengalami ISPA. Selain itu, persepsi orang tua yang cenderung menganggap bahwa status menuju gizi kurang tidak lebih parah dari gizi buruk maupun gizi kurang diduga turut menentukan hal tersebut. Orang tua yang memiliki anak gizi buruk cenderung menganggap bahwa anaknya berada dalam kondisi yang parah sehingga orang tua memberikan perhatian serta pola asuh yang lebih. Selain itu, orang tua yang memiliki anak dengan status gizi kurang atau gizi buruk cenderung akan melakukan usaha yang lebih besar agar status gizi anaknya bisa membaik. Sebaliknya, orang tua yang memiliki anak dengan status menuju gizi kurang mendapatkan perhatian yang lebih rendah dibandingkan yang gizi buruk maupun gizi kurang. Perhatian orang tua tersebut dapat tercermin dari pola asuh yang dilakukan orang tua tehadap anak di rumah termasuk pola asuh makan dan pola asuh kesehatan.

Perubahan status gizi terjadi karena ada perubahan (kenaikan atau penurunan) berat badan anak. Kenaikan berat badan diperoleh dari selisih antara berat badan akhir dengan berat badan awal. Secara keseluruhan, rata-rata kenaikan berat badan balita sebesar 1.27 ± 0.626 kg. Kenaikan berat badan balita berkisar antara 0.25 hingga 3.7 kg. Berikut ini disajikan data rata-rata perubahan (kenaikan) berat badan balita berdasarkan tingkat kehadiran dalam mengikuti kegiatan PERGIZI.

Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan rata-rata kenaikan berat badan dan keaktifan partisipasi ibu

Partisipasi Rata-rata kenaikan berat badan (kg)

Aktif 1.392

Kurang aktif 1.143

Tidak aktif 1.106

(31)

17 tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan berat badan balita. Berikut ini disajikan tabel perubahan status gizi balita berdasarkan kehadiran / partisipasi dalam kegiatan PERGIZI.

Tabel 10 Perubahan status gizi contoh berdasarkan kehadiran dalam kegiatan PERGIZI

Tabel 10 menunjukkan bahwa persentase contoh yang mengalami kenaikan status gizi terbesar pada kelompok yang aktif (51%) sedangkan contoh yang tidak mengalami kenaikan status gizi terbesar pada kelompok yang tidak aktif (75%). Ada kecenderungan bahwa semakin aktif maka adanya kenaikan status gizi juga semakin besar begitu pula sebaliknya. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Muljati et al. (2007) yang menyatakan bahwa kepatuhan ibu membawa subjek (balita kurus dan kurus sekali) berobat ke klinik gizi memiliki peran penting dalam upaya pemulihan secara rawat jalan di klinik gizi. Subjek yang patuh baik pemantauan pertumbuhan ataupun status kesehatannya dapat dilakukan lebih baik daripada yang tidak patuh. Disamping itu, ibu yang patuh akan mendapat kesempatan lebih sering terpapar dengan pengetahuan gizi dan kesehatan melalui penyuluhan yang disampaikan.

Perbaikan Nafsu Makan

Kegiatan pemberian makanan tambahan (PMT) yang dilakukan pada program PERGIZI berupa makanan pokok, lauk-pauk, sayur, dan buah-buahan dan dimakan bersama-sama. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suasana makan yang menyenangkan bagi anak agar anak terbiasa dan mau makan makanan pokok. Frekuensi pemberian PMT bersama selama 24 minggu adalah 30 kali dan pelaksanaannya mengikuti jadwal yang telah disusun. Penghentian pemberian PMT bersama dilakukan secara bertahap yaitu setiap hari, 3 kali seminggu, 2 kali seminggu, sekali seminggu, 2 minggu sekali, dan 4 minggu sekali. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kemandirian orang tua balita agar tidak hanya bergantung pada PMT yang diberikan pada program PERGIZI.

(32)

18

2/3. Nafsu makan dikategorikan baik apabila lebih dari 2/3 makanan habis. Pemantauan nafsu makan balita contoh pada awal kegiatan dan akhir kegiatan PERGIZI disajikan pada Tabel 11 berikut.

Tabel 11 Perubahan nafsu makan balita berdasarkan status gizi (BB/U) balita

Nafsu makan

Gizi buruk (n=16) Gizi kurang (n=73) Menuju gizi kurang (n=52)

awal akhir Awal akhir Awal Akhir

n % n % n % n % n % n %

Sulit 9 56.25 4 25.00 30 41.10 9 12.30 26 50.00 7 13.50 Cukup 6 37.50 9 56.25 37 50.70 60 82.20 23 44.20 36 69.20 Baik 1 6.25 3 18.75 6 8.20 4 5.50 3 5.80 9 17.30

Berdasarkan Tabel 11 dapat diketahui bahwa sebelum intervensi dilakukan, jumlah balita gizi buruk yang mengalami sulit makan sebesar 56.25%. Balita dengan status gizi kurang dan menuju gizi kurang yang mengalami sulit makan sebesar 41.1% dan 50%. Setelah dilakukan intervensi, persentase balita yang mengalami sulit makan menjadi semakin sedikit yaitu 25% pada balita dengan status gizi buruk, 12.3% pada balita gizi kurang, dan 13.5% pada balita menuju gizi kurang. Peningkatan nafsu makan ini diduga karena pemberian sirop zink.

Pemberian zink pada balita gizi kurang dengan kadar albumin rendah secara klinik dapat dikatakan bahwa suplementasi zink dapat meningkatkan sensitivitas taste buds. Meningkatnya sensitivitas indra pengecap sangat bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan balita. Dalam keadaan normal konsumsi zink yang cukup akan memperbaiki struktur taste buds sehingga fungsi indra pengecap kembali normal dan adanya perubahan perbaikan terhadap taste acuity. Berfungsinya kembali indra pengecap berdampak pada pemilihan makanan dan tingkat konsumsi yang pada akhirnya akan meningkatkan berat badan balita (Ratnasari 2012). Perkembangan nafsu makan ini juga diikuti oleh perubahan porsi makan atau frekuensi makan balita. Berikut ini disajikan sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi makan, dan perubahan status gizi.

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan nafsu makan, frekuensi makan, porsi makan dan perubahan status gizi (%)

Anak berdasarkan nafsu makan

(33)

19 Suharto et al. (2011) dalam hasil penelitiannya yang menggunakan desain eksperimental kepada 100 balita contoh menunjukkan bahwa suplementasi zink berpengaruh signifikan atau bermakna dalam peningkatan status gizi balita. Orang tua balita contoh dalam penelitian tersebut menyatakan bahwa nafsu anaknya meningkat setelah minum sirup zink. Hal tersebut dapat terjadi karena Zink antara lain bermanfaat dalam meningkatkan selera atau nafsu makan. Namun, hal yang juga perlu diperhatikan adalah status kesehatan anak terutama terkait penyakit infeksi. Hasil studi yang dilakukan oleh Fatmah dan Nurasiah (2002) menunjukkan bahwa nafsu makan balita juga dipengaruhi oleh keberadaan penyakit infeksi yang diderita seperti ISPA dan diare. Selain itu dipengaruhi oleh balita terlalu banyak jajan, merasa bosan dengan menu lauk yang disediakan, dan balita terlalu banyak bermain di luar rumah sehingga melupakan jadwal makannya.

Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi diukur dari wawancara kepada ibu berdasarkan laporan diagnosis dokter dan gejala untuk penyakit ISPA dan diare selama satu bulan terakhir. Hal ini karena kedua jenis penyakit tersebut sangat rentan terjadi pada anak balita gizi buruk. Anak balita yang menderita ISPA dan diare dalam waktu yang cukup lama dan sering, maka berat badannya akan turun dan ini akan berpengaruh pada status gizinya. Tabel 13 berikut ini menyajikan data mengenai persentase balita yang mengalami ISPA dan diare pada awal dan akhir kegiatan PERGIZI.

Tabel 13 Penyakit infeksi yang dialami contoh sebelum dan setelah PERGIZI

Kondisi Gizi buruk (n=16) Gizi kurang (n=73) Menuju gizi kurang (n=52)

awal akhir awal akhir awal Akhir

n % n % n % n % n % n %

ISPA 11 68.75 5 31.25 51 69.80 32 43.80 35 67.30 25 48.00 Diare 9 56.25 1 6.25 26 35.60 11 15.00 16 30.80 13 25.00

(34)

20

yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya mempengaruhi status gizinya (Soekirman 2000).

Hubungan Nafsu Makan dan Penyakit Infeksi dengan Perubahan Status Gizi Balita

Uji statistik yang digunakan untuk menganalisis hubungan adalah uji Chi Square. Tabel 14 di bawah ini merupakan hasil rekapitulasi uji hubungan antara variabel bebas dengan perubahan status gizi balita.

Tabel 14 Rekapitulasi hasil uji hubungan antara variabel bebas dengan perubahan status gizi balita

Variabel Penelitian

(35)

21 Variabel nafsu makan dan status diare berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara variabel usia ayah, usia ibu, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, status ekonomi keluarga, status ISPA dan kehadiran mengikuti program dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah total antara ayah dan ibu, hal tersebut disebabkan oleh adanya satu orang contoh yang tidak memiliki ayah (meninggal dunia) sehingga tidak dicantumkan dalam data.

Hubungan karakteristik sosial ekonomi dengan perubahan status gizi

Usia ayah atau usia ibu tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Hasil tersebut sejalan dengan penelitian Mulyati et al.

(2008) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara umur kepala keluarga ataupun umur ibu kandung dengan status gizi balita. Begitu pula dengan hasil penelitian Devi (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara usia ibu dengan status gizi balita. Sebanyak 113 balita yang memiliki ayah berusia kurang dari atau sama dengan 40 tahun dan 135 balita yang memiliki ibu berusia kurang dari atau sama dengan 40 tahun. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar balita yang mengalami gizi buruk, gizi kurang, dan menuju gizi kurang orang tuanya berusia kurang dari sama dengan 40 tahun. Menurut Saputra dan Nurrizka (2012) risiko gizi buruk pada balita paling tinggi terjadi pada kepala rumah tangga dengan usia muda, yaitu usia 24 tahun ke bawah dengan probabilitas sekitar 1.298 kali lebih besar dibanding usia lain. Munculnya kondisi ini akibat kurangnya pengetahuan kepala rumah tangga terhadap gizi. Ini merupakan indikasi dari persoalan kawin muda sehingga kesiapan secara pengetahuan dalam menempuh hidup berumah tangga belum siap. Selanjutnya semakin besar usia kepala rumah tangga semakin kecil risiko anak untuk menderita gizi buruk.

Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan ayah atau tingkat pendidikan ibu dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Hal ini menunjukkan bahwa tinggi atau rendahnya tingkat pendidikan ayah atau ibu tidak berhubungan dengan status gizi anak balita. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan Griffith (2004) di Maharashtra, India, yang menunjukkan bahwa tidak semua lokasi dalam penelitiannya memiliki hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan status gizi. Hal ini diduga karena tingkat pendidikan hanya berhubungan dengan pengetahuan dan sikap gizi tetapi tidak berhubungan dengan praktek gizi. Namun, hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil yang ditemukan oleh Lutviana dan Budiono (2010) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan ayah dan ibu dengan status gizi balita. Begitu juga hasil penelitian Abuya menunjukkan hasil yang signifikan antara tingkat pendidikan ibu dengan status gizi balita. Abuya dalam hasil penelitiannya menemukan bahwa tingkat pendidikan ibu menjadi prediktor kuat dalam menentukan status gizi balita (Abuya et al. 2012). Perbedaan ini diduga karena adanya perbedaan jumlah contoh balita yang digunakan. Jumlah contoh pada penelitian Abuya sebanyak 5156 balita berumur 0-24 bulan sedangkan pada penelitian ini sebanyak 141 contoh.

(36)

22

besar anggota keluarga, maka semakin sedikit yang mengalami kenaikan status gizi. Sebaliknya semakin kecil anggota keluarga, semakin banyak yang mengalami peningkatan status gizi. Hal tersebut diduga karena semakin sedikit beban tanggungan keluarga, semakin baik asupan gizi anak. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Lutviana dan Budiono (2011) serta Devi (2010) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jumlah anggota keluarga dengan status gizi balita.

Status ekonomi keluarga tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Namun, ada kecenderungan balita yang status ekonomi keluarganya mampu (berdasarkan persentase kepemilikan barang berharga), persentase yang mengalami kenaikan status gizi lebih besar dibandingkan yang tidak mampu. Saputra dan Nurrizka (2011) menyatakan bahwa faktor kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan orang tua merupakan faktor utama dalam risiko balita menderita gizi buruk dan gizi kurang.

Hubungan nafsu makan dengan perubahan status gizi

Nafsu makan berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Hasil menunjukkan bahwa 75% balita yang nafsu makannya baik mengalami peningkatan status gizi sedangkan balita yang nafsu makannya tidak baik 55.2% tidak mengalami peningkatan status gizi. Hal ini diduga karena nafsu makan merupakan salah satu faktor yang menentukan konsumsi pangan balita tercukupi atau tidak.

Hubungan penyakit infeksi dengan perubahan status gizi

Status ISPA tidak berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi (p>0.05). Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan Nurcahyo dan Briawan (2010) yang menunjukkan bahwa kejadian ISPA pada anak balita mempunyai hubungan negatif dengan status gizi anak balita berdasarkan BB/U (r =-0.426; p<0.05). Perbedaan hasil tersebut diduga karena pada penelitian ini yang dilihat hanya status ISPA saja selama satu bulan terakhir sedangkan pada penelitian yang dilakukan Nurcahyo dan Briawan (2010) sudah memperhatikan lama dan frekuensi ISPA selama tiga bulan terakhir.

Status diare berhubungan signifikan dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian Agus et al. (2009) yang menunjukkan bahwa kejadian diare mempunyai hubungan signifikan dengan status gizi balita dengan indeks BB/U. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Yulia (2007), ditemukan bahwa lama sakit infeksi (ISPA dan diare) mempunyai hubungan dengan status gizi balita dengan indeks BB/U. Semakin lama anak balita sakit, maka status gizi tersebut akan semakin menurun.

Hubungan kehadiran dengan perubahan status gizi

(37)

23 Khomsan (2009) yang menunjukkan bahwa pengetahuan gizi berhubungan signifikan positif dengan sikap gizi tetapi tidak berhubungan dengan praktek gizi.

Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Perubahan Status Gizi Balita

Hasil uji Binary Logistic Regression menunjukkan nilai R2 sebesar 0.122. Nilai ini berarti sebesar 12.2% perubahan status gizi balita dijelaskan oleh usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua, besar keluarga, status ekonomi keluarga, nafsu makan, status ISPA, status diare, dan kehadiran dalam kegiatan PERGIZI. Selebihnya diduga dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti. Hasil uji menunjukkan bahwa nafsu makan balita merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi perubahan status gizi pada balita yang mengikuti kegiatan PERGIZI dengan koefisien = 1.395 nilai p= 0.023 dan OR= 4.036. Hal tersebut menunjukkan bahwa kecenderungan anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik untuk mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Nafsu makan akan menentukan banyak atau sedikitnya makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Almatsier (2001) menyatakan bahwa konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi yang optimal terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang cukup. Anak yang makan tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga nafsu makan berkurang dan mudah terkena gizi kurang.

Faktor lain yang secara signifikan (p<0.05) mempengaruhi perubahan status gizi balita dalam penelitian ini adalah diare. Diare berhubungan negatif dengan perubahan status gizi balita (r= -1.300, p= 0.008, OR= 0.272). Hal tersebut menunjukkan bahwa balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare. Semakin sering anak balita tersebut mengalami sakit, maka status gizi anak tersebut akan semakin buruk (Nurcahyo dan Briawan 2010). Faktor yang mempengaruhi status gizi anak secara langsung adalah makanan dan penyakit infeksi yang diderita oleh anak. Anak yang mendapat makanan baik tetapi sering diserang penyakit infeksi dapat berpengaruh buruk terhadap status gizinya. Begitu juga sebaliknya anak yang makanannya tidak cukup baik, daya tahan tubuhnya pasti lemah dan akhirnya berpengaruh terhadap penurunan status gizinya (Soekirman 2000).

Keterbatasan Penelitian

(38)

24

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI) bermanfaat dalam hal peningkatan berat badan dan status gizi, penurunan penyakit infeksi, serta peningkatan nafsu makan anak balita. Rata-rata z-score balita setelah mengikuti Program Edukasi dan Rehabilitasi lebih tinggi dibandingkan sebelum mengikuti program tersebut (p<0.05). Setelah mengikuti program PERGIZI didapatkan 48.2% balita mengalami peningkatan status gizi, 48.9% status gizinya tetap, dan 2.8% balita mengalami penurunan status gizi. Anak yang mengalami perbaikan atau peningkatan status gizi umumnya adalah balita yang aktif mengikuti program, mempunyai nafsu makan yang baik, frekuensi makan lebih dari atau sama dengan tiga kali, dan porsi makannya banyak.

Terdapat hubungan signifikan positif antara nafsu makan dengan perubahan status gizi (p<0.05). Diare berhubungan signifikan negatif dengan perubahan status gizi balita (p<0.05). Tidak terdapat hubungan signifikan antara usia ayah, usia ibu, tingkat pendidikan ayah, tingkat pendidikan ibu, besar keluarga, status ekonomi keluarga, status ISPA dan kehadiran mengikuti program PERGIZI dengan perubahan status gizi balita (p>0.05). Faktor yang berpengaruh signifikan terhadap perubahan status gizi balita adalah nafsu makan dan diare (p<0.05). Kecenderungan anak balita yang memiliki nafsu makan yang baik untuk mengalami kenaikan status gizi (z-score BB/U) 4.036 kali lebih besar daripada balita yang nafsu makannya kurang baik. Balita yang mengalami diare memiliki kecenderungan 0.272 kali lebih kecil mengalami kenaikan status gizi (z-score

BB/U) dibandingkan yang tidak mengalami diare.

Saran

Perlunya komitmen orang tua dalam mengikuti kegiatan PERGIZI dan pola asuh yang tepat untuk meningkatkan status gizi balita. Pola konsumsi pangan balita juga perlu diperhatikan agar asupan zat gizi balita dapat terpenuhi. Selain itu, diperlukan juga penelitian lebih lanjut mengenai faktor lain yang berhubungan dengan perubahan status gizi balita selain faktor yang disebutkan dalam penelitian ini serta menggunakan data konsumsi pangan secara kuantitatif. Bagi pengambil kebijakan, program PERGIZI ini dapat direplikasi untuk menanggulangi masalah gizi buruk dan gizi kurang di wilayah atau daerah lain yang memiliki permasalahan gizi buruk dan gizi kurang.

DAFTAR PUSTAKA

Abuya. 2012. Effect of mother’s education on child’s nutritional status in the slums of Nairobi. BMC Pediatrics. 18:20.

(39)

25 Ambal Kabupaten Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan 5(2): 65-79

Almatsier. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Aries M, Martianto D. 2006. Estimasi kerugian ekonomi akibat status gizi buruk dan biaya penanggulangannya pada balita di berbagai provinsi di Indonesia.

Jurnal Gizi dan Pangan 1(2):26-33.

Atmarita, Fallah TS. 2004. Analisis situasi gizi dan kesehatan masyarakat. Di dalam: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan

Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 129-161.

Azwar A. 2004. Aspek kesehatan dan gizi dalam ketahanan pangan. Di dalam:

Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII “Ketahanan Pangan dan Gizi di

Era Otonomi Daerah dan Globalisasi”, Jakarta, 17-19 Mei 2004. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). hlm 101-109.

[Depkes] Departemen Kesehatan RI. 2009. Laporan Hasil Riskesdas Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2007. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.

_______________________________. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Depkes RI.

Devi M. 2010. Analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi balita di Pedesaan. Teknologi dan Kejuruan 33(2): 183-192.

Fatmah, Nurasia. 2002. Kebiasaan makan ibu dan anak usia 3-5 tahun pada kelompok sosio-ekonomi tinggi dan rendah di Kelurahan Rambutan dan Penggilingan Jakarta Timur. Makara, Kesehatan. 6(1):17-22.

Griffiths. 2001. A tale of two continents: a multilevel comparison of the determinants of child nutritional status from selected African and Indian regions. Health and Place 10: 183–199.

Lutviana E, Budiono I. 2010. Prevalensi dan determinan kejadian gizi kurang pada balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5 (2): 138–144.

Muljati S, Heryudarini, Reviana, Rustan E. 2007. Probabilitas pulih pada balita kurus dan kurus sekali menurut kepatuhan mengikuti pemulihan secara rawat jalan di Klinik Gizi Bogor. Jurnal Gizi dan Makanan.30(2):41-48 Mulyati S, Sandjaja, Tjandrarini DH. 2008. Faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian underweight pada anak usia 24-59 bulan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD): analisis data Suskesda NAD 2006. Penelitian Gizi dan Makanan: 31(1):21-35.

Mundiastuti L. 2003. Pemberian suplemen seng (Zn) pada usia 1-3 tahun di Kelurahan Bendul Merisi, Kecamatan Wonocolo dan di Kelurahan Jagir, Kecamatan Wonokromo, Kotamadya Surabaya [Tesis]. Surabaya (ID): Sekolah Pascasarjana, Universitas Airlangga.

Notoadmodjo S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat: Prinsip-prinsip Dasar. Jakarta (ID): Penerbit Rineka Cipta.

Nurcahyo K, Briawan D. 2010. Konsumsi pangan, penyakit infeksi, dan status gizi anak balita pasca perawatan gizi buruk. Jurnal Gizi dan Pangan

(40)

26

Pradhan A. 2006. Factor associated with nutritional status of the under five children. Asian Journal of Medical Science. DOI: 10.3126/ajms.vlil.2927. Rachmadewi A, Khomsan A. 2009. Pengetahuan, sikap, dan praktek ASI ekslusif

serta status gizi bayi usia 4-12 bulan di pedesaan dan perkotaan. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(2):83-90.

Ratnasari W. 2012. Peran Zn terhadap fungsi pengecap dan perubahan berat badan (studi pada balita gizi kurang dengan kadar albumin rendah di Bojonegoro).

Jurnal Sain Med 4(2):108-112.

Saputra W, Nurrizka RH. 2012. Faktor demografi dan risiko gizi buruk dan gizi kurang. Makara Kesehatan 16 (2):95-101

Savitha MR, Nandeeshwara SB, Kumar MJP. 2007. Modifiable risk factors for

acute lower respiratory tract infections. Indian J Pediatr 74:477-82.

Soekirman. 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Jakarta (ID) : Departemen Pendidikan Nasional.

Suharto, Saptaningrum E, Wijayanti K, Sutarmi, Warijan, Hendromastuti A, Kistimbar S, Prasetyo A, Abidin Z, Mu’awanah. 2011. The influence of zinc supplementation on nutritional status among children under five years of age at Blora district. Jurnal Ilmu Keperawatan Indonesia 1(1).

Widodo Y, Cauliarembulan F, Salimar, Noviati F, Ariben A, Lulu IA, Mursyidin, Suryani, Jhon PKS, Agus S et al. 2013. Program penanggulangan anak balita gizi buruk dan gizi kurang melalui PERGIZI, Klinik Gizi, dan KPKIA [Laporan penelitian]. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan.

Widodo Y, Muljati S, Harahap H, Triwinarto A. 2008. Penanggulangan balita gizi kurang dan gizi buruk berbasis prakarsa dan pemberdayaan masyarakat melalui PERGIZI [Laporan penelitian]. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan.

Widodo Y, Muljati S, Salimar. 2012. Partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi anak balita kurang gizi melalui Program Edukasi dan Rehabilitasi Gizi (PERGIZI). Penelitian Gizi dan Makanan.35(2):136-149

Widodo Y, Triwinarto A, Muljati S, Harahap H, Salimar, Sudikno, Husaini YK, Rustan E. 2011. Pedoman PERGIZI: Penatalaksanaan anak balita gizi buruk dan gizi kurang di Pos PERGIZI. Bogor (ID): Puslitbang Gizi dan Makanan, Departemen Kesehatan.

(41)

27

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji Binary Logistic Regression

Logistic Regression

[DataSet1] D:\data\141.sav

Case Processing Summary

Unweighted Casesa N Percent

Selected Cases Included in Analysis 139 98.6

Missing Cases 2 1.4

Total 141 100.0

Unselected Cases 0 .0

Total 141 100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Dependent Variable Encoding

Original Value Internal Value

NAIK 0

TIDAK NAIK 1

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

Observed

Predicted

Perubahan BBU

Percentage Correct NAIK TIDAK NAIK

Step 0 Perubahan BBU NAIK 0 66 .0

TIDAK NAIK 0 73 100.0

Overall Percentage 52.5

a. Constant is included in the model. b. The cut value is .500

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Step 0 Constant .101 .170 .352 1 .553 1.106

Variables not in the Equation

Score df Sig.

Step 0 Variables Umi 2.388 1 .122

Umay .611 1 .435

DIARE 7.348 1 .007

PARTIPER2 1.115 1 .291

NAFPOST2 5.491 1 .019

TKPDDAY2 1.821 1 .177

TKPDDIB2 .380 1 .538

BesKel .242 1 .623

KatEko .903 1 .342

ispa .694 1 .405

Overall Statistics 18.79

Gambar

Gambar 1 Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita
Gambar 2 Alur memperoleh contoh penelitian
Tabel 1 Cara pengumpulan data
Tabel 2 Klasifikasi status gizi anak (balita) berdasarkan indeks BB/U
+7

Referensi

Dokumen terkait

pengembangan pada Kampung Pesindon. Pada tahun 2011, Kampung Pesindon ditetapkan menjadi salah satu destinasi wisata batik di Kota Pekalongan yang mengalami perubahan

Proporsi CS dan DS yang tinggi pada kasus dibandingkan pada kontrol menunjukkan bahwa tempat penampungan air sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk pada kasus lebih

Salah satu kondisi yang dapat mendukung diadakannya pelatihan untuk mengembangkan keterampilan berpikir kreatif adalah psikoedukasi dalam bimbingan kelompok

Menurut Arends (dalam Trianto 2007:61) menyatakan bahwa Think Pair- Share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi

Penggunaan pengaturan kriteria SED yang berbeda dalam analisis biomassa menghasilkan nilai target strength dan densitas ikan yang berbeda.. Jumlah ikan tunggal yang

Pengujian terhadap konstruksi mata jaring dinding dasar mendapatkan bahwa konstruksi mata jaring berbentuk persegi panjang dengan ukuran l dan w = 2,4 × 2,8 (cm) adalah

Dan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan Problem Based Learning dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan ketrampilan memecahkan masalah pada mata kuliah