• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hepatitis Viral Pada Infeksi HIV"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV

MELATI SILVANI NASUTION

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RSUP H. ADAM MALIK

(2)

DAFTAR ISI

I. Pendahuluan ... 1

II Epidemiologi ... 1

III Hepatitis B dan HIV ... 2

1. Epidemiologi ... 2

2. Patogenesis ... 3

3. Riwayat Alami Koeinfeksi HIV dan HBV ... 3

4. Skrining HBV pada Pasien HIV ... 4

5. Kapan diberikan Terapi Hepatitis B Kronik pada HIV ... 6

6. Obat Antiviral hepatitis B Kronik pada pasien HIV ... 7

7. Pilihan Terapi Hepatitis B kronik pada pasien HIV ………... 9

IV. Hepatitis C dan HIV ... 11

1. Epidemiologi ... 11

2. Perjalanan Klinis dan Patogenesis ... 12

3. Komplikasi lain dari Koeinfeksi HIV dan HCV ... 13

4. Progresifitas HCV dengan Koinfeksi ... 14

5. Skrining HCV pada Pasien HIV ... 15

6. Penatalaksanaan HCV pada Infeksi ... 16

V. Kesimpulan ... 19

(3)

HEPATITIS VIRAL PADA INFEKSI HIV

Melati Silvanni Nst

Divisi Penyakit Tropik & Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FK USU , Endang S, Saut Marpaung, Fransciscus Ginting, Tambar Kembaren,

Armon Rahimi, Yosia Ginting

PENDAHULUAN

Infeksi Virus Hepatitis B (HBV) dan Virus Hepatitis C (HVC) sering terjadi pada pasien-pasien dengan infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) oleh karena jalur transmisi virusnya. Penyakit hati yang disebabkan oleh infeksi HBV kronik dan HCV menjadi penyebab kematian utama yang berhubungan dengan penyakit hati, yang ternyata berbanding terbalik dengan jumlah CD4. Juga terdapat peningkatan terhadap kejadian kanker hati dan efek hepatotoksik yang berhubungan dengan obat antiretroviral pada pasien-pasien dengan koinfeksi HBV dan HCV. Ditemukannya pengobatan-pengobatan terbaru untuk infeksi HBV dan HCV telah meningkatkan kesempatan untuk mengatasi infeksi ini dan berpotensi dalam mencegah komplikasi penyakit hati.1,2

EPIDEMIOLOGI

Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah yang terkontaminasi atau produk darah.

(4)

Di Amerika Serikat dan Eropa barat, HBV biasanya sering terjadi pada dewasa muda atau usia tua yang beraktivitas seksual bebas. Walaupun terdapat angka bersihan spontan HBV yang tinggi pada usia dewasa yang imunokompeten, infeksi kronik terjadi pada 20% orang dewasa dengan infeksi HIV setelah terpapar HBV.5 Prevalensi secara umum infeksi HBV kronik diantara orang-orang dengan infeksi HIV positif pada Amerika Serikat dan Eropa barat kurang dari 10% dan angka tertinggi terjadi pada laki-laki homoseksual dan pada pengguna narkoba jarum suntik. Pada wilayah dimana transmisi HBV secara vertikal dan perinatal sering terjadi, seperti di Asia dan Afrika, infeksi kronik HBV terjadi lebih dari 90% pada bayi baru lahir yang terpapar HBV. Sehingga, prevalensi infeksi HBV diantara orang yang terinfeksi HIV bervariasi, dari 5-10% di Amerika Serikat sampai 20-30% di Asia dan Afrika.3

HEPATITIS B DAN HIV

1.

EPIDEMIOLOGI

Diantara hampir 35 juta orang saat ini yang hidup dengan HIV, terdapat sekitar 3 juta yang mengalami infeksi HBV yang kronik. Prevalensi koinfeksi HIV dengan HBV bervariasi secara geografis, kemungkinan besar oleh karena adanya perbedaan pada rute transmisi yang predominan. Studi-studi yang memfokuskan terhadap perjalanan penyakit hepatitis B pada HIV menunjukkan peningkatan risiko perburukan penyakit hati dan kematian pada individu dengan koinfeksi.5 Pada daerah dengan endemisitas HBV yang rendah, seperti Amerika Serikat, Australia dan Eropa, HBV dan HIV biasanya terjadi pada dewasa melalui hubungan seksual atau transmisi perkutaneus. Di daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV sekitar 5%-7% pada pasien dengan infeksi HIV namun beragam pada rute transmisinya. Prevalensi yang paling tinggi adalah pada laki-laki homoseksual dan paling rendah pada heteroseksual. Pada negara-negara dengan endemis HBV yang tinggi, rute transmisi paling sering dari perinatal atau pada masa kanak-kanak awal, sehingga infeksi HBV mendahului infeksi HIV beberapa tahun kemudian. Pada daerah ini, prevalensi koinfeksi HBV-HIV sekitar 10%-20%.1,2,5

Gambar 1. Prevalensi HBV berdasarkan geografis dan rute infeksinya1

(5)

negara memberi petunjuk bahwa genotipe HBV berpengaruh terhadap perjalanan penyakit hati dan responnya terhadap obat-obat antiviral. Namun demikian masih belum jelas, apakah hasil penelitian tersebut dapat digeneralisir untuk semua pengidap HBV di seluruh belahan dunia. Genotipe HBV memiliki distribusi yang berbeda secara geografis, dimana genotipe A dominan di Eropa Utara, Amerika Selatan dan Utara dan beberapa wilayah di Afrika. Genotipe B dan C biasanya ditemukan di Asia Timur dan baru-baru ini dikaitkan dengan risiko peningkatan kejadian kanker hati. Genotipe D sering terdapat di Mediterania, genotipe E di Afrika, genotipe F di Amerika Tengah dan Selatan, genotipe G di Prancis dan Amerika Serikat dan genotipe H di Amerika Utara. Di Indonesia terdapat 4 genotipe HBV yaitu genotipe A, B, C, dan D. Distribusi geografis genotipe HBV haruslah dilihat sebagai fenomena dinamik yang disebabkan oleh peningkatan migrasi populasi. Namun, informasi mengenai genotipe HBV pada infeksi HIV sangat jarang dan memerlukan studi yang lebih lanjut.6

2.

PATOGENESIS

Sepertinya berlawanan bahwa penyakit hati oleh karena infeksi HBV yang diperantarai imun terjadi eksaserbasi karena status imunodefisiensi yang disebabkan oleh HIV. Terdapat beberapa alasan yang mungkin atas hubungan yang berlawanan ini. Pada pasien dengan infeksi HIV, progresivitas penyakit hati yang cepat disebabkan karena efek sitopatik viral daripada respon imun, yang mana disebut dengan hepatitis kolestatik. Sehingga, masuk akal jika varian HBV, yang biasa terjadi pada infeksi HIV, dapat berperan dalam peningkatan penyakit hati pada infeksi HIV.

Ada juga hipotesis yang mengatakan bahwa modulasi HIV terhadap respon imun spesifik HBV dapat mengubah lingkungan sitokin hepar yang kemudian berefek pada penyakit hati. Namun, hipotesis ini masih belum diteliti lebih lanjut.

Yang terakhir, dikatakan bahwa HBV mempengaruhi replikasi HIV, hal ini dimungkinkan karena protein X berinteraksi dengan NK-kB atau kB-like cellular transcriptional factors. Proses tersebut berdampak pada limfosit untuk membentuk komplek dan mengikat HIV, mendorong ke arah upregulation replikasi HIV. HIV-HBV sering terdapat bersamaan pada limfosit. Pol-encoded protein HBV menekan produksi interferon yang memungkinkan replikasi HIV. Penderita HBV kronis terdapat peningkatan kadar TNFα, maka melalui jalur sitokin dapat mendorong upregulate HIV melalui induksi NF-kB sehingga replikasi HIV meningkat.9

3.

RIWAYAT ALAMI KOINFEKSI HIV DAN HBV

a.

Dampak HIV pada viral load, penularan dan sifat kronis

(6)

kekebalan pada saat tertular HBV. Orang dengan koinfeksi HBV-HIV yang belum diobati memiliki angka HbsAg/HbeAg positif dan HBV DNA yang lebih tinggi, namun nilai transaminase dan nekroinflamasi dari histologi yang lebih rendah daripada pada monoinfeksi HBV.

b.

Dampak HIV pada perkembangan penyakit hati HBV

HIV berkaitan dengan efek imunosupresannya memiliki dampak terhadap perjalanan penyakit infeksi HBV.8

1. Kadar HBV DNA dan angka reaktivasi lebih tinggi pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV daripada dengan HBV sendiri; risiko reaktivasi mungkin berhubungan dengan rendahnya jumlah CD4.

Studi-studi epidemiologi menunjukkan bahwa :

2. Kemunculan kembali HbsAg dan viremia HBV telah didokumentasikan pada pasien-pasien HIV dengan koinfeksi HBV yang memiliki marker serologis konsisten dengan infeksi HBV yang telah sembuh.

3. Pasien-pasien yang terinfeksi HIV memiliki angka bersihan HbeAg spontan yang rendah.

Predisposisi pasien-pasien terinfeksi HIV untuk mengalami infeksi kronik setelah terpapar infeksi HBV telah ditunjukkan dalam studi mengenai vaksin hepatitis B pada pasien-pasien seronegatif dan seropositif HIV yang sebelumnya belum terinfeksi HBV. Infeksi kronik HBV terjadi pada 21% pasien dengan terinfeksi HIV dibandingkan dengan 7% kontrol pasien dengan HBV saja. Perbedaan ini tidak dapat dijelaskan oleh karena makin seringnya infeksi HBV akut pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV.10

4.

SKRINING HBV PADA PASIEN HIV

Beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu alasan utama pengobatan HBV yang tidak adekuat pada pasien HIV adalah kurangnya pengetahuan terhadap status HBV kronik. Memberitahukan informasi bagaimana transmisinya, investigasi pemeriksaan serologis HBV seperti HBV Surface Antigen (HbsAg), Antibodi terhadap HbsAg (anti-HBs) dan antibodi anti-core (anti-HBc), haruslah dilakukan pada pasien-pasien dengan infeksi HIV.

(7)

Bila HbsAg terdeteksi, keberadaan replikasi HBV secara aktif harus dinilai melalui tes kuantitatif untuk HBV DNA (viral load). Tingkat HBV DNA berhubungan dengan risiko penularan, penyakit hati lanjutan dan peradangan hati yang flare. HBV DNA dapat dihitung dengan tes non amplifikasi atau tes amplifikasi. Interval pemeriksaan haruslah secara ideal tidak lebih dari 12 bulan jika tidak dalam terapi anti HBV dan 6 bulan jika dalam terapi anti HBV.

Penting juga menentukan status antigen e HBV (HbeAg) karena tingkat DNA yang bermakna secara klinis tidak tentu dan tergantung pada status HbeAg. Saat ini dianjurkan pada pasien HbeAg (+), viral load >105 copy/ml bermakna secara klinis, sementara pada pasien HbeAg (-), viral load >104 copy/ml dianggap bermakna. Tes amplifikasi seperti PCR lebih dipilih dalam penilaian replikasi, terutama pada infeksi HbeAg(-), karena tes non amplifikasi hanya mempunyai sensitivitas 105

Bila ada bukti biokimia adanya peradangan hati (didefinisi sebagai tingkat ALT diatas batas atas nilai normal), biopsi hati umumnya dianjurkan untuk menentukan grade dan stadium penyakit. Pada pasien-pasien HIV-HBV dengan sirosis hepatis, interval waktu yang lebih cepat lebih adekuat, dan pemeriksaan alfa feto protein dan USG abdomen harus dilakukan dalam interval 6 bulan.

copy/ml. Orang dengan tingkat HBV DNA yang sangat tinggi sebaiknya dinilai lebih lanjut dan dipertimbangkan untuk terapi antiviral

2,5,10

(8)

5.

KAPAN DIBERIKAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN

HIV

Keputusan untuk memberikan terapi hepatitis B kronik pada pasien HIV dengan koinfeksi HBV haruslah berdasarkan pertimbangan yang hati-hati terhadap faktor prognostik perkembangan penyakit hatinya, berat penyakit hati yang sekarang, respon tubuh terhadap obat anti HBV, risiko terhadap efek samping obat dan kebutuhan akan terapi antiretroviral untuk HIVnya. Pasien HIV dengan koinfeksi HBV dengan replikasi HBV aktif dan peningkatan aminotransferase haruslah berhati-hati untuk mendapatkan terapi anti HBV, karena dapat memperberat kerusakan hati. Pada infeksi HIV, hepatitis B kronik cepat berkembang menjadi sirosis dan respon terhadap terapi anti HBV dapat berkurang karena progresivitas imunodefisiensinya. Tujuan pengobatan HBV adalah sama dengan terhadap individu dengan atau tanpa koinfeksi HIV; serokonversi HbeAg pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), normal ALT, perbaikan pada pemeriksaan histologi hatinya, supresi HBV DNA serum yang menetap, mengurangi kejadian dekompensasi hepatik pada pasien-pasien dengan sirosis yang lanjut dan mengurangi risiko terjadinya kanker hati.

Keuntungan dari menghentikan replikasi HBV telah dimengerti; dengan menunjukkan adanya hubungan langsung antara kadar HBV DNA serum dengan risiko kejadian sirosis dan kanker hati, tanpa melihat status HbeAg dan/atau peningkatan enzim hati. Guideline HBV terbaru merekomendasikan untuk memulai terapi anti HBV pada individu dengan HbeAg (+) jika HBV DNA serum >2 x 10

2,5,6

4

IU/ml. Sebaliknya, pada pasien dengan HbeAg (-), nilai HBV DNA serum yang harus diberikan terapi adalah 2 x 103 IU/ml.11

Pada pasien HIV dengan infeksi HBV kronik, pengobatan haruslah lebih dipikirkan daripada pada pasien tanpa infeksi HIV. Gambar 3 menunjukkan algoritma pengobatan anti HBV pada pasien HIV, yang dibagi berdasarkan tiga parameter yaitu HBV DNA serum, ALT dan tingkatan fibrosis hati.

2

(9)

Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B kronis pada koinfeksi HIV-HBV. Kapan waktunya diterapi2

6.

OBAT ANTIVIRAL HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV

Tujuh jenis obat telah disetujui sejauh ini sebagai terapi hepatitis B kronik dan yang lain, Emtricitabine kombinasi dengan Tenefovir masih dalam penelitian.

1. Interferon α-2b

2,5,11,12

Merupakan obat pertama yang disetujui untuk mengobati hepatitis B kronik. Interferon

alpha standard (IFNα) telah diganti oleh pegylated IFNα pada beberapa keadaan. IFNα

(atau pegylated IFNα) efektif terhadap pasien hepatitis B kronik dengan peningkatan ALT,

HBV DNA serum yang rendah dan genotipe HBV A dan B. Obat ini kontraindikasi terhadap pasien-pasien dengan sirosis dekompensata, karena dapat mengeksaserbasi kejadian dekompensata. Enzim hati yang meningkat selama terapi IFNα sering terjadi pada pasien-pasien HIV dibandingkan HIV yang negatif karena alasan yang belum jelas.

Efikasi IFNα lebih rendah pada pasien HIV dengan HBV tanpa melihat kadar CD4 yang

mungkin sebagian besar disebabkan oleh karena kelainan yang diperantarai imun. Rekomendasi durasi terapi adalah selama 12 bulan.

2. Pegylated interferon α-2a

Bentuk pegylated dari IFNα memiliki waktu paruh yang lebih lama dan potensi yang lebih tingi dari pada IFNα standar. Pada individu dengan monoinfeksi HBV, pegylated

IFNα lebih efektif daripada IFNα standar. Pada pasien-pasien dengan HbeAg (+), hampir

sepertiga pasien menunjukkan HbeAg (-) dan ALT yang normal selama 12 bulan terapi. Trial-trial membandingkan pegylated IFNα dan lamivudine menunjukkan serokonversi HbeAg, supresi HBV DNA serum dan normalisasi ALT lebih tinggi pada pegylated IFNα daripada lamivudine, namun yang menarik tidak ada keuntungan jika kedua obat tersebut dikombinasikan.

Pada koinfeksi HBV/HIV, terapi berdasarkan IFN berhubungan dengan rendahnya angka keberhasilan terapi dan peningkatan toksisitas. Sehingga, obat ini hanya boleh diresepkan pada pasien-pasien sirosis non dekompensata yang tidak memerlukan terapi

(10)

HbeAg(+), peningkatan ALT dan HBV DNA serum yang rendah. Pengobatan biasanya membutuhkan waktu 12 bulan. Gambar 4 menunjukkan obat antiviral yang cocok untuk mengobati hepatitis B kronik pada pasien-pasien HIV berdasarkan kebutuhan akan antiretroviral dan status HbeAg2

Gambar 4. Penatalaksanaan hepatitis B kronik pada koinfeksi HIV-HBV. Obat mana yang digunakan2

Jika pertanda respon terhadap IFNα atau pegylated IFNα tidak tercapai setelah 12 bulan

terapi, pengobatan diganti dengan analog nukleosida haruslah dipikirkan. Memberikan obat-obat jenis ini biasanya lebih ditoleransi, terapi biasanya diberikan dalam jangka waktu yang tidak dapat ditetapkan

Kombinasi pegylated IFNα dan analog nukleosida oral telah dibandingkan dengan

pemberian lamivudine dan adefovir pada individu dengan monoinfeksi HBV. Tidak ada keuntungan yang signifikan dalam hal potensi antiviral yang lebih besar dibandingkan

dengan monoterapi pegylated IFNα.

3. Lamivudine (3TC)

Lamivudine adalah analog nukleosida yang menekan replikasi HIV dan HBV dengan menghambat pekerjaan enzim reverse trancriptase virus, meskipun dosis untuk mensupresi HBV (100 mg/hari) lebih rendah dibandingkan dosis yang dibutuhkan dalam mensupresi HIV (300 mg/hari). Efektivitas 3TC dalam pengobatan hepatitis B kronik sudah cukup diketahui, menghasilkan penurunan yang signifikan terhadap kadar HBV DNA serum dan kadar ALT, perbaikan pada histologi hati dan peningkatan hilangnya HbeAg. Namun, masalah utama dengan pemberian jangka lama 3TC adalah pilihan resistensi viral, dimana sering terjadi karena rebound pada HBV DNA serum dan enzim hati meningkat drastis. Untuk mengobati koinfeksi HBV-HIV dosis 3TC yang direkomendasikan adalah 300 mg/hari dan obat ini harus selalu diberikan dengan sedikitnya dua obat anti HIV lainnya, kalau tidak akan terjadi mutasi resistensi HIV.

(11)

banyak yang telah menerima terapi 3TC jangka lama. Mutasi resistensi HBV dapat dikenali lebih dari 90% pada pasien-pasien dengan HIV yang telah menerima terapi antiretroviral termasuk 3TC selama lebih dari 4 tahun.

4. Adefovir (ADV)

Adefovir merupakan analog nukleotida pertama yang disetujui sebagai terapi infeksi HBV. Obat ini juga dapat menghambat HIV pada dosis yang lebih besar daripada yang diberikan pada infeksi HBV, namun dapat meningkatkan risiko nefrotoksisitas. Pada dosis 10 mg/hari, ADV mensupresi replikasi HBV. ADV jiuga menghambat replikasi HBV yang resisten terhadap 3TC.

Pada individu dengan koinfeksi HIV-HBV, pemberian ADV dilakukan pada 35 pasien dalam terapi antiretroviral termasuk 3TC. Setelah 144 minggu pemberian ADV, penurunan kadar HBV DNA serum terlihat pada 45% subjek, dimana lebih sedikit dari 56% pada subjek dengan monoinfeksi HBV.

5. Entecavir (ETV)

Entecavir adalah analog guanosin yang menghambat replikasi HBV dengan tiga tahapan (priming, reverse transcriptase dan positive strand synthesis). ETV ternyata lebih poten dalam mensupresi HBV DNA serum dibandingkan 3TC dan ADV dan dapat diberikan pada orang yang belum membutuhkan terapi ARV.

6. Telbivudine (LdT)

Telbivudine adalah L-analog timidin tanpa efek melawan HIV. LdT memiliki efikasi antiviral yang lebih besar dibandingkan 3TC maupun ADV pada pasien hepatitis B kronik. 7. Emtricitabine (FTC)

Seperti 3TC, FTC merupakan analog sitosin dengan efek antiviral melawan HBV dan HIV. FTC memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan 3TC dan sama-sama cepat mengurangi HBV DNA serum pada dosis 200 mg/hari. Supresi replikasi HBV terjadi lebih dari 48 minggu terapi pada lebih dari separuh pasien. Belum ada data pemberian monoterapi FTC pada koinfeksi HBV-HIV.

8. Tenofovir (TDF)

Tenofovir adalah analog nukleotida adenosin, sudah dipakai sebagai terapi infeksi HIV. TDF juga menunjukkan efek yang poten melawan HBV pada pasien dengan atau tanpa resistensi 3TC.

7.

PILIHAN TERAPI HEPATITIS B KRONIK PADA PASIEN HIV

Jika infeksi HBV membutuhkan terapi namun infeksi HIV tidak perlu yang biasanya berdasarkan peningkatan jumlah CD4 (>350 sel/mm3), pilihan terapi untuk HBV haruslah termasuk obat yang tidak memiliki efek melawan HIV, seperti pegylated IFNα, ADV atau

LdT.2Pemberian pegylated IFNα selama 12 bulan dapat dianjurkan pada pasien-pasien dengan

(12)

pasien-pasien tersebut dapat menunjukkan supresi HBV DNA serum yang bertahan sampai penghentian terapi, keuntungan yang mungkin tidak dapat tercapai dengan terapi yang lainnya. Kelemahan pegylated IFNα adalah tolerabilitasnya yang rendah dan efikasi yang rendah pada HIV.

Pada pasien-pasien lainnya dengan koinfeksi HBV-HIV yang tidak memerlukan terapi antiretroviral, obat nukleosida jangka lama merupakan satu-satunya pilihan. Sampai saat ini, baik ADV atau LdT merupakan alternatif yang baik, meskipun memberikan risiko obat yang resisten, strategi “early add-on” harus dipikirkan pada pasien yang tidak mencapai HBV DNA serum yang tidak terdeteksi pada 24 minggu terapi.

11

2

Menambah jenis obat daripada menggantinya harus disarankan, karena terdapat bukti untuk efek protektif melawan resistensi dan kurangnya efek sinergistik dan additif obat antiviral jika diberikan dengan kombinasi.

Gambar 5. Pendekatan terapi pada HBV. Kombinasi terapi dari awal atau “early add-on therapy” 2

(13)

Gambar 6. Algoritme penatalaksanaan HBV pada koinfeksi HIV di Indonesia13

HEPATITIS C DAN HIV

1.

EPIDEMIOLOGI

Kejadian hepatitis C diantara laki-laki homoseksual telah dilaporkan pada beberapa kota di Eropa dan Amerika Utara. Observasi terhenti sejak HCV dulu tidak dipikirkan menular cepat melalui kontak seksual, seperti HBV dan HIV. Angka seks bebas yang tinggi dan penularan penyakit menular seksual, semuanya berhubungan dengan maraknya kejadian HCV. Peningkatan kadar viremia HCV terlihat pada pasien HIV (+) dapat berkontribusi terhadap kejadian infeksi yang meningkat.

Respon terapi dipengaruhi oleh genotipe HCV. Enam genotipe dengan sejumlah subtipe telah diketahui, dan memiliki distribusi regional yang berbeda-beda : genotipe 1 dan 3 banyak ditemukan di Eropa, dimana genotipe 4 dan 5 ditemukan di Afrika dan genotipe 6 di Asia Tenggara. Sedangkan di Indonesia, > 60% yang diidentifikasi merupaka genotipe 1.

1,4

14

Genotipe 1 mempunyai kecepatan replikasi yang lebih besar daripada genotipe lainnya sehingga prognosisnya lebih buruk. Genotipe 1 dan 4 memerlukan terapi yang lebih lama. Genotipe 2 dan 3 diketahui memiliki respon yang lebih baik dengan terapi interferon.13,15,17

Berlawanan dengan individu dengan HIV (-), infeksi akut HCV dapat menunjukkan bersihan viral yang spontan pada 30% kasus selama 12 minggu awal setelah paparan awal, pasien-pasien HIV (+) mengalami kronisitas lebih dari 80% kasus.

13

(14)

2.

PERJALANAN KLINIS DAN PATOGENESIS

Perjalanan klinis koinfeksi hepatitis C ditentukan oleh imunosupresi yang berkaitan dengan HIV. Progresivitas imunosupresi meningkatkan kejadian hepatitis C. Periode laten sampai kejadian gagal hati atau kanker hati diperkirakan terjadi 10-20 tahun, dimana terjadi pada 30-40 tahun pada monoinfeksi HCV.

Kemajuan terapi terhadap infeksi HIV telah meningkatkan kemungkinan pasien mengalami kejadian gagal hati. Hubungan dengan penurunan angka kematian dengan infeksi HIV telah menyebabkan peningkatan relatif terhadap angka mortalitas yang berhubungan dengan hepatitis. Pada beberapa sentra, gagal hati merupakan penyebab kematian tersering pada pasien dengan infeksi hati. Dampak buruk hepatitis C pada infeksi HIV dapat diatasi dengan pengobatan infeksi HIV dengan HAART. Tambahan, perkembangan gagal hati dapat diperlama dengan memperbaiki fungsi imun dengan terapi HAART.

16,17

Disisi lain, infeksi hepatitis C dapat memperburuk kemungkinan hepatotoksisitas terhadap beberapa regimen HAART. Hampir 10% pasien harus menghentikan HAART karena hepatotoksisitas yang berat. Risiko ini berhubungan terutama dengan obat-obat golongan nukleotida.

16

Pada beberapa pasien koinfeksi, peningkatan sementara transaminase terlihat setelah pemberian HAART, hal ini kemungkinan disebabkan karena peningkatan aktivitas inflamasi hepatitis C akibat peningkatan status imunnya.

16

Penyakit hati yang berkaitan dengan HCV termasuk fibrosis, sirosis dan gagal hati meningkat pada individu dengan infeksi HIV. Progresivitas menjadi sirosis tiga kali lebih tinggi pada pasien-pasien koinfeksi daripada monoinfeksi dan hampir 33% menjadi sirosis kurang dari 20 tahun. Metaanalisis dari 17 studi menemukan 21% kejadian sirosis dari 3567 individu dengan koinfeksi setelah 20 tahun dan 49% setelah 30 tahun.

17

Steatosis hepar, komplikasi yang sering pada monoinfeksi HCV dan koinfeksi HIV-HCV (40%-75%), berhubungan dengan progresivitas fibrosis. Steatosis hepar berhubungan dengan peningkatan indeks massa tubuh, diabetes, peningkatan kadar ALT, HCV genotipe 3, nekroinflamasi dan fibrosis.

(15)

Replikasi HIV terdapat pada hepatosit dan Hepatic Stellate Cells (HSC). Infeksi HIV yang mengaktifkan HSC menyebabkan pengeluaran kolagen dan sekresi sitokin-sitokin proinflamasi. Sebagai tambahan dari infeksi, protein HIV merangsang hepatosit untuk berapoptosis dan mengeluarkan kemokin dan sitokin inflamasi yang menyebabkan fibrosis.18

Resistensi insulin juga terjadi pada HCV kronik, dan memberat pada steatosis hati dan progresivitas penyakit hati. Mekanisme resistensi insulin pada penyakit hati diantara pasien-pasien dengan infeksi HCV tidak diketahui, namun hiperinsulinemia dan hiperglikemia menstimulasi HSC, menyebabkan peningkatan growth factor jaringan ikat dan akumulasi dari matriks ekstraseluler.

16

Gambar 7. Patogenesis koinfeksi HIV-HCV 15

3.

KOMPLIKASI LAIN DARI KOINFEKSI HIV-HCV

a. Gangguan Imun dan Hematologis

16

(16)

b. Penyakit Ginjal

Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit ginjal yang berhubungan dengan HIV, termasuk proteinuria dan gagal ginjal akut, dibandingkan pada monoinfeksi HIV. Koinfeksi HCV juga berhubungan dengan angka kejadian gagal ginjal kronik yang lebih tinggi dimana prevalensi HCV meningkat dengan perburukan laju filtrasi glomerulus.

c. Penyakit Kardiovaskular

Koinfeksi HCV berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit serebrovaskular dan akan meningkatkan risiko infark miokard akut diantara pasien-pasien infeksi HIV. Pasien-pasien infeksi HIV memiliki peningkatan risiko penyakit kardiovaskular karena HAART dan inflamasi kronik yang berhubungan dengan HIV dapat menyebabkan disfungsi endotel.

d. Status Neurologis

HIV dan HCV sama-sama bereplikasi di otak dan cairan serebrospinal dan berhubungan dengan sindroma neurokognitif dan neuropati perifer. Pada pasien-pasien koinfeksi menunjukkan gangguan motor-kognitif yang signifikan dibandingkan dengan pasien-pasien monoinfeksi HIV dan peningkatan kejadian gangguan kognitif global, terutama dalam belajar dan memori

4.

PROGRESIVITAS PENYAKIT HCV DENGAN KOINFEKSI HIV

Pada pasien-pasien dengan infeksi kronik HCV, infeksi bersamaan dengan HIV berhubungan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi dengan kejadian gagal hati.16,18

Studi-studi yang membandingkan biopsi hati pada pasien-pasien koinfeksi HIV-HCV dengan infeksi HCV saja menunjukkan hasil yang membingungkan apakah pasien dengan koinfeksi mengalami nekroinflamasi dan fibrosis yang lebih buruk daripada yang bukan dengan koinfeksi. Hal ini mungkin disebabkan karena dijumpainya berbagai derajat imunosupresi pada populasi pasien. Salah satu studi mengatakan bahwa status HIV tidak berhubungan dengan peningkatan nekroinflamasi atau fibrosis dibandingkan dengan HCV saja, sedangkan studi lainnya terdapat peningkatan pada gambaran histologinya.

Pasien-pasien dengan infeksi HIV memiliki angka bersihan viral spontan yang lebih rendah selama infeksi akut, dimana mungkin disebabkan oleh gangguan respon limpoproliperatif terhadap antigen HCV. Pasien-pasien dengan hepatitis C dengan penyakit HIV cepat berkembang menjadi sirosis daripada pasien hepatitis C saja. Faktor risiko berhubungan dengan tingginya progresitivitas fibrosis termasuk konsumsi alkohol, umur, jumlah CD4 <200 sel/mL.

Data dari Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan bahwa HCC terjadi pada pasien usia muda dan hal ini berhubungan dengan angka survival yang rendah pada pasien-pasien dengan koinfeksi HIV-HCV dibandingkan dengan infeksi HCV saja. Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian ARV berhubungan dengan penurunan mortalitas akibat penyakit hati dan memperlambat progresivitas fibrosis. ARV dapat memperlambat progresivitas penyakit oleh

(17)

karena immune reconstitution. Sindroma ini terjadi sebagai respon terhadap patogen apa pun dan terlihat 4-8 minggu pertama setelah pemberian HAART, biasanya diikuti dengan penurunan kadar HCV RNA yang cepat dan peningkatan CD4 16-18

5.

SKRINING HEPATITIS VIRAL C PADA HIV

Tes diagnostik yang digunakan pada pasien-pasien koinfeksi sama dengan pasien-pasien monoinfeksi HCV. Deteksi antibodi HCV (anti-HCV) menunjukkan paparan terhadap HCV, namun tidak membedakan hepatitis C yang kronik atau sudah sembuh. Hepatitis C kronik didiagnosa dengan deteksi adanya viremia HCV (HCV RNA). Harus diingat bahwa antibodi HCV dapat menghilang selama perjalanan infeksi HCV oleh karena imunosupresi yang mendasarinya, meskipun akhir-akhir ini kejadian tersebut sudah jarang terjadi. Adanya dijumpai kadar HCV RNA menunjukkan kasus infeksi HCV yang akut, dimana antibodi HCV hanya dapat dideteksi satu sampai lima bulan setelah infeksi.11,15

Gambar 8. Algoritme pemeriksaan HCV pada koinfeksi HIV 15

Pasien-pasien dengan koinfeksi HIV/HCV memiliki kadar viremia HCV yang lebih tinggi daripada pasien dengan monoinfeksi HCV (sekitar 1 log). Namun, kadar viremia tidak memiliki nilai prognostik dalam perjalanan hepatitis C. Sehingga pemeriksaan HCV RNA secara reguler sebagai prosedur rutin tidak diperlukan. Kita dapat memprediksi respon terhadap pengobatan dari melihat kadar viremia HCV, jika konsentrasi HCV RNA dibawah 800.000 IU/ml, kemungkinan pengobatan berhasil lebih tinggi daripada kadarnya diatas 800.000 IU/ml.

Pemeriksaan genotipe sangatlah penting karena dapat dipakai untuk memprediksi respon terhadap terapi antivirus dan menentukan durasi terapi. Genotipe 2 dan 3 adalah genotipe yang telah diketahui memiliki respon lebih baik dibandingkan genotipe 1. Tingkat respon terhadap

(18)

terapi kombinasi pegylated IFN dan ribavirin adalah sekitar 80% untuk genotipe 2 dan 3 serta 48% untuk genotipe 1, 4, 5 dan 6. Karena genotipe tidak akan berubah selama masa infeksi maka pemeriksaan ini tidak perlu diulang kembali.

Penilaian tingkatan fibrosis hati sangat penting untuk menilai kerusakan dari hati. Jika biopsi hati tidak tersedia, konsensus terbaru merekomendasikan memberikan terapi hepatitis pada genotipe 2+3, atau genotipe 1 dan kadar viremia HCV yang rendah. Jika biopsi hati menunjukkan fibrosis yang signifikan, terapi segera biasanya tidak diperlukan tanpa melihat jenis genotipenya.

14

Jika tidak dalam pengobatan, Alfa Feto Protein (AFP) dan USG hati harus dilakukan setiap 6-12 bulan untuk mendeteksi HCC dini. Oleh karena perjalanan penyakit hepatitis C memburuk dengan koinfeksi HIV dan 10-30% pasien akan mengalami HCC tanpa melalui sirosis, pemeriksaan secara teratur sangat penting dilakukan.

15

17

6.

PENATALAKSANAAN HCV PADA INFEKSI HIV

Penatalaksanaan HCV kronik pada pasien koinfeksi merupakan suatu prioritas karena progresivitasnya yang lebih cepat menuju gagal hati, toleransi yang jelek terhadap ARV dan risiko besar mengalami hepatotoksisitas. Bersihan berkaitan dengan regresi fibrosis hati dan penurunan risiko hepatotoksik ARV. Namun, anti HCV kurang efektif pada pasien-pasien koinfeksi.

Konsensus penatalaksanaan HCV pada pasien-pasien koinfeksi telah diterbitkan, namun terdapat kelemahan pada konsensus tersebut mengenai faktor kunci yang mungkin menginformasikan inisiasi dan lamanya terapi, termasuk stadium penyakit HIV dan HCV dan viral load, genotipe HCV, tingkatan fibrosis hati dan kesiapan pasien dalam mentoleransi dan menjalani pengobatan.

16

19

Pada koinfeksi HIV-HCV, pasien dapat diberikan terapi antiviral untuk HCV bila CD4 > 350 sel/ml. Akan tetapi, bila CD4 < 350 sel/ml, maka pasien diberikan terapi ARV saja terlebih dahulu sampai CD4 > 350 sel/ml. Setelah itu, baru diberikan antiviral bersama dengan ARV. Pegylated IFN dan ribavirin dapat digunakan untuk kasus koinfeksi seperti ini selama 48 minggu dengan dosis sama dengan yang direkomendasikan untuk infeksi HCV saja.

Hal-hal ini sangat penting karena mempengaruhi keamanan, tolerabilitas dan keberhasilan terapi. Penelitian terus dilakukan untuk mengidentifikasi prediktor yang lebih baik terhadap respon terapi yang dapat menuntun proses evaluasi preterapi, mengurangi biaya tambahan dan efek samping dari terapi yang tidak efektif.

Pegylated IFN dengan dosis 180 µg secara subkutan per minggu ditambah dengan ribavirin dengan dosis 1000 mg untuk BB ≤75 kg dan 1200 mg untuk BB > 75 kg merupakan terapi HCV standar pada pasien-pasien monoinfeksi maupun koinfeksi. Walaupun konsensus merekomendasikan 48 minggu pemberian terapi HCV pada pasien-pasien koinfeksi,

15

19

(19)

SVR. Diantara pasien yang gagal dengan terapi awal, terapi kembali dengan pegylated IFN ditambah ribavirin selama 12 bulan mencapai SVR pada sepertiganya.20

Gambar 9. Durasi optimal yang dianjurkan untuk terapi HCV pada pasien koinfeksi HIV-HCV 11

Prediktor terbaik keberhasilan terapi adalah respon kinetik virologis, termasuk Rapid Viral Response (RVR), yaitu viral load HCV dibawah kadar terdeteksi 4 minggu setelah pemberian terapi awal, Early Viral Response (EVR), yaitu tidak terdeteksinya viral load atau turun 2 log dari nilai awal 12 minggu setelah pemberian terapi awal, dan Sustain Viral Response (SVR), yaitu tidak terdeteksinya HCV selama 24 minggu terapi komplit. Jika HCV RNA yang tidak terdeteksi pada minggu ke empat merupakan prediktor terbaik SVR pada pasien-pasien koinfeksi, kadar awal HCV RNA serum merupakan prediktor independen SVR pada pasien HCV genotipe 1.13,15,16

Hasil dari beberapa penelitian mengenai dampak jumlah CD4 terhadap respon kinetik virologis berbeda-beda. Pada satu studi besar mengenai pegylated IFN ditambah dengan Ribavirin pada pasien-pasien koinfeksi yang mengikutsertakan beberapa pasien dengan jumlah CD4 <200 sel/ul, SVR ternyata lebih meningkat pada jumlah CD4 yang lebih tinggi pada genotipe 1. Studi lainnya juga menunjukkan pada pasien-pasien koinfeksi, efikasi pegylated IFN ditambah Ribavirin tidak berbeda pada pasien dengan atau tanpa imunodefisiensi berat, hal ini menunjukkan bahwa imunosupresi berat bukan merupakan faktor utama dalam memprediksi SVR.

(20)

Tabel 2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan SVR pada terapi HCV pada pasien HIV 2

Efek samping terhadap terapi interferon, terutama penurunan jumlah CD4 dan efek psikiatri dilaporkan lebih sering terjadi pada pasien-pasien koinfeksi daripada yang tanpa koinfeksi. Suatu penelitian meta analisis pertama yang membandingkan efek samping berdasarkan jenis kelamin pada pasien-pasien dengan koinfeksi menunjukkan bahwa wanita lebih sering mengalami efek samping sehingga memerlukan penghentian terapi atau modifikasi dosis, namun efek samping yang terjadi sama. Wanita dengan terapi NNRTI lebih sering menghentikan terapi dan wanita dengan terapi Zidovudin lebih sering mengalami efek samping, hal ini menunjukkan bahwa pada wanita, regimen antiviral merupakan prediktor yang penting dalam penghentian dan modifikasi terapi.

Tabel 3 menunjukkan jenis terapi dan efek samping dari HAART pada infeksi HCV, sendiri atau kombinasi dengan pegylated IFN ditambah Ribavirin. Pemberian HAART dini dapat melindungi pasien dari progresivitas fibrosis hati. HAART dapat secara signifikan menurunkan aktivitas nekroinflamasi pada pasien-pasien koinfeksi dengan status imun yang lemah, kemungkinan dengan menghambat replikasi HIV di hati atau menurunkan kadar sitokon-sitokin proinflamasi.

2,15

(21)

Tabel 3. Efek samping dan efek terapeutik ARV pada HCV dengan atau tanpa koinfeksi HIV-HCV 16

Pasien-pasien koinfeksi dapat mengalami kenaikan enzim hati setelah pemberian HAART. Peningkatan jumlah CD4 segera setelah pemberian HAART lebih tinggi pada pasien-pasien koinfeksi yang mengalami peningkatan enzim hati dibandingkan pasien-pasien-pasien-pasien koinfeksi atau monoinfeksi yang tidak mengalami peningkatan enzim hati, hal ini menunjukkan bahwa peningkatan enzim hati segera setelah pemberian HAART merupakan sebuah bentuk dari IRIS karena respon terhadap antigen spesifik HCV. 15

KESIMPULAN

Infeksi hepatitis B kronik (HBV) dijumpai pada 10% individu dengan infeksi HIV di seluruh dunia dengan persentase berbeda-beda berdasarkan wilayah geografisnya. Infeksi hepatitis C kronik (HCV) dijumpai pada 25% individu dengan infeksi HIV, dengan angka yang lebih tinggi pada pengguna narkoba jarum suntik dan individu yang terinfeksi melalui darah yang terkontaminasi atau produk darah. Pasien-pasien dengan koinfeksi HIV-Hepatitis menunjukkan perjalanan penyakit hati yang meningkat, dengan progresivitas ke arah fibrosis yang tinggi. Jumlah obat-obat anti HBV telah meningkat pada tahun-tahun terakhir ini dan beberapa obat juga memiliki efek melawan HIV.

(22)
(23)

DAFTAR PUSTAKA

1. Koziel MJ, Peters MG. Viral Hepatitis in HIV Infection. New England Journal of Medicine 2007 ; 356 :1445-1454

2. Soriano V, Vispo E, et al. Viral Hepatitis and HIV co-infection. Antiviral Research 2010 ; 85 : 303-315

3. Alter MJ. Epidemiology of viral hepatitis and HIV co-infection. Journal of Hepatology 2006 ; 44 : suppl : S6-S9

4. Gotz HM, Van Doornum G, et al. A cluster of acute hepatitis C virus infection among men who have sex with men. AIDS 2005 ; 19 : 969-74

5. Soriano V, Puoti M, et al. Care of HIV patients with chronic hepatitis B : Updated recommendation from the HIV-HBV International Panel. AIDS 2008 ; 22 : 1399-1440 6. Budihusodo U. Patogenesis dan Diagnosis Hepatitis B Kronik. Dalam : Pendekatan

Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010

7. Rehermann B, Nascimbeni M. Immunology of hepatitis B virus and hepatitis C virus infection. Nature Review of Immunology 2005 ; 5 : 215

8. McGovern BH. The epidemiology, natural history and prevention of hepatitis B : implications of HIV coinfection. Antiviral therapy 2007 ; 12 : suppl : H3

9. Nasronudin. Penatalaksanaan Koinfeksi Penderita HIV. Dalam : HIV dan AIDS Pendekatan biologi molekuler, klinis, dan sosial, editor Barakbah J, Soewandojo E, Suharto, Hadi U, Astuti WD, Airlangga

10.Hadler SC, Judson FN, et al. Outcome of hepatitis B virus infection in homosexual men and its relation to prior human immunodeficiency virus infection. Journal Of Infection Disease 1991 ; 163 : 454University Press 2007

11.Wasmuth JC, Rockstroh J. HIV and HBV/HCV Coinfections. In HIV Medicine 2007, editors Hoffmann C, Rockstroh JK, Kamps BS, 15th edition, Flying Publisher 2007

12.Lok A, McMahon B. Chronic hepatitis B. AASLD Practice Guidelines. Hepatology 2007 ; 41 : 275-279

13.Waspodo AS. Penatalaksanaan terkini hepatitis B. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010

14.Thomas D, Astemborski J, et al. The natural history of hepatitis C virus infection : host, viral and environmental factors. JAMA 2000 ; 284 : 450-456

15.Hasan I, Laho IM. Penatalaksanaan terkini hepatitis C. Dalam : Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C dalam Praktik Klinis Sehari-hari, editor Sulaiman AS, Sulaiman BS, Sulaiman HA, Ed 1, Sagung Seto 2010

(24)

17.Singal, AK, Anad BS. Management of hepatitis c virus infection in HIV/HCV co-infected patients : clinical review. World J Gastroenterol 2009 ; 15 : 3713-3724

18.Rotman Y, Liang TJ. Coinfection with hepatitis c virus and human immunodeficiency virus : virological, immunological and clinical outcomes. Journal of Virology 2009 ; 83 : 7366-74

19.Soriano V, Puoti M, et al. Care of patients coinfected with HIV and hepatitis C virus : 2007 updated recommendation from the HCV-HIV International panel. AIDS 2007 ; 21 : 1073-89

Gambar

Gambar 1. Prevalensi HBV berdasarkan geografis dan rute infeksinya1
Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan serologi untuk infeksi HBV 10
Gambar 2. Algoritme penyelidikan untuk menilai HBV pada orang koinfeksi HIV 6
Gambar 3. Penatalaksanaan Hepatitis B kronis pada koinfeksi HIV-HBV. Kapan waktunya diterapi2
+7

Referensi

Dokumen terkait

(2) Untuk mengatasi sikap pesimis dalam mencapai prestasi belajar melalui layanan konseling kelompok dengan teknik reinforcement pada siswa kelas VIII D SMP N 4 Demak

selaku dosen pembimbing I dan dosen penguji skripsi yang telah memberikan banyak memberikan dukungan, waktu, tenaga, kritik, dan saran dalam memberikan arahan terhadap

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian laporan keuangan secara umum adalah informasi yang dibuat oleh pihak perusahaan tertentu dimana

Seorang anak berusia 7 tahun dibawa oleh ibunya dengan keluhan nyeri telinga sebelah kanan sejak 3 hari yang lalu?. Sebelumnya pasien mengeluh batuk dan pilek selama 1 minggu

Namun tidak sedikit juga Home industry yang masih menggunakan alat perajang Singkong manual, untuk itu penulis akan mencoba membuat alat untuk memotong tipis

Hasil tanaman yang dikenakan zakat di negeri Selangor dan Perlis adalah hanya ke atas tanaman padi iaitu apabila hasil tersebut telah mencapai kadar cukup nisab 5

Walaupun begitu, penilaian konsumen terhadap rasa polong pada genotipe hasil persilangan yang memiliki polong berwarna merah masih lebih rendah dibandingkan

Jabatan yang berbeda berpengaruh dalam pengambilan keputusan seseorang. Kriteria jabatan dalam penelitian ini adalah para manajer dan kepala bagian setingkat