• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Karakteristik Teh (Camellia sinensis)

Tanaman teh tergolong tanaman perdu, sistem perakaran teh adalah akar

tunggang. Bunganya kuning-putih berdiameter 2,5–4 cm dengan 7 hingga 8 petal,

berkelamin dua dan terdapat di ketiak daun. Kelopak bentuk mangkok, hijau,

benang sari membentuk lingkaran, pangkal menyatu, melekat pada daun mahkota,

pada bagian dalam lepas. Tangkai sari kurang lebih 1 cm, berwarna putih

kekuningan. Kepala sari berwarna kuning, Tangkai putik bercabang tiga,

panjangnya kurang lebih 1 cm dan berwarna hijau kekuningan. Daun teh

merupakan daun tunggal dan memiliki panjang 4–15 cm dan lebar 2–5 cm. Helai

daun berbentuk lanset dengan ujung meruncing dan bertulang menyirip. Pangkal

daun runcing dan tepinya lancip bergerigi. Daun muda yang berwarna hijau muda

lebih disukai untuk produksi teh. Daun teh mempunyai rambut-rambut pendek

putih di bagian bawah daun. Daun tua berwarna lebih gelap (Magambo & Cannell,

1981).

Menurut Graham (1984), tanaman teh Camellia sinensis diklasifikasikan

sebagai berikut :

Kerajaan : Plantae

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)

Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka) Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah) Sub Kelas : Dialypetalae

Bangsa : Guttiferales (Clusiales)

Suku : Camelliaceae (Theaceae)

Marga : Camellia

(2)

B. Kandungan Senyawa Kimia Teh

Zat bioaktif yang ada dalam teh, terutama merupakan golongan flavonoid.

Berdasarkan strukturnya flavonoid digolongkan menjadi 6 kelas, yaitu flavone,

flavaonone, isoflavone, flavonol, flavanol, dan antosianin. Adapun flavonoid yang

ditemukan di dalam teh berupa flavanol dan flavonol. Selain flavonoid di dalam

teh juga terdapat asam amino bebas yang disebut sebagai L-theanin (Hartoyo,

2003).

Senyawa kimia dalam teh yang merupakan salah satu kelas flavanol adalah

katekin. Jumlah atau kandungan katekin bervariasi untuk masing-masing jenis teh.

Katekin teh memiliki sifat tidak berwarna, larut dalam air serta membawa sifat

pahit dan sepat pada seduhan teh.

Flavonol terdapat dalam bentuk glikosida (berikatan dengan molekul gula)

dan sedikit dalam bentuk aglikonnya. Jumlah flavonol teh bervariasi tergantung

suhu dan cara ekstraksi yang digunakan. Menurut Hartoyo (2003), jumlah

flavonol teh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah Flavonol Teh Hitam dan Teh Hijau

Jenis Flavonol Jumlah (g/kg) Teh Hijau Teh Hitam Mrycetin 0,83 – 1,59 0,24 – 0,52

Quercetin 1,79 – 4,05 1,04 – 3,03

Kaempferol 1,56 – 3,31 1,72 – 2,31 Sumber : Hartoyo, 2003

Quercetin mempunyai rumus kimia 3,3′,4′,5,7-Pentahydroxyflavone dan

dapat melebur pada suhu 316,50C. Quercetin tidak larut dalam air dan eter, tetapi

larut dalam alkohol dan aseton. Quercetin merupakan antioksidan yang paling

(3)

antibakteri, anti kanker dan anti-inflamasi (Lide, 1997). Sebagai senyawa

antibakteri, quercetin mampu berikatan dengan dengan DNA girase bakteri yang

berperan dalam replikasi DNA. Quercetin mengganggu kerja enzim girase

sehingga proses replikasi DNA terhenti. (Plaper et al., 2003).

Kaempferol merupakan kristal padat berwarna kuning dengan titik lebur

276-278 ° C. Senyawa ini tidak larut dalam air tetapi larut dalam etanol dan dietil

eter. Kaempferol memiliki berbagai aktivitas farmakologi, termasuk antioksidan,

anti-inflamasi, antibakteri, antikanker, antidiabetes, dan anti-osteoporosis

(Calderon et al., 2011). Kaempferol terbukti mempunyai aktivitas antibakteri

namun belum diketahui pasti bagaimana mekanismenya. Struktur kaempferol

hampir mirip dengan quercetin sehingga dapat diasumsikan bahwa mekanisme

hambatnya terhadap pertumbuhan bakteri sama dengan quercetin yaitu

menghambat sintesis DNA (Lim et al., 2007).

Gambar 1. Struktur quercetin dan kaempferol (Richard et al., 2008)

Selain senyawa flavonoid, terdapat satu senyawa bioaktif dalam teh yang

memiliki manfaat bagi tubuh, yaitu L-theanin. L-theanain adalah sebuah asam

amino yang unik pada tanaman teh dan merupakan komponen utama yang

(4)

ditemukan pada tanaman teh serta jamur Xeromonas badius. Jumlah L-theanin

dalam daun teh adalah berkisar antara 1-2% berat kering (Hartoyo, 2003).

Menurut Hidayat (2009), ekstrak kasar daun teh mengandung beberapa

senyawa seperti alkaloid, flavonoid, tanin, dan saponin yang mempunyai sifat

bakteriolitik terhadap Micrococcus luteus dan Pseudomonas fluorescens. Menurut

Tuminah (2004), selain flavonoid teh hitam mengandung berbagai macam zat

aktif yang tertera pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi Teh Hitam

No Komponen %

Sumber : Tuminah, 2004

C. Jerawat dan Bakteri Penyebab Jerawat

Jerawat adalah kondisi abnormal kulit akibat terjadi gangguan berlebihan

(5)

saluran folikel rambut dan pori-pori kulit. Jerawat dapat timbul di permukaan kulit

muka, bagian dada dan atas lengan (Dewi, 2009).

Menurut Dewi (2009) ada 3 tipe jerawat yang sering dijumpai. Tipe yang

pertama adalah komedo. Komedo adalah pori-pori yang tersumbat, bisa terbuka

atau tertutup. Komedo yang terbuka disebut sebagai blackhead, terlihat seperti

pori-pori yang membesar dan menghitam. Berwarna hitam sebenarnya bukan

kotoran tetapi merupakan penyumbat pori yang berubah warna karena teroksidasi

dengan udara. Komedo yang tertutup atau whiteheads, biasanya memiliki kulit

yang tumbuh di atas pori-pori yang tersumbat maka terlihat seperti tonjolan putih

kecil-kecil di bawah kulit. Jerawat jenis ini disebabkan sel-sel kulit mati dan

kelenjar minyak yang berlebihan pada kulit (Dewi, 2009).

Tipe yang kedua adalah Jerawat biasa atau klasik. Jenis jerawat klasik ini

mudah dikenal yaitu terdapat tonjolan kecil berwarna pink atau kemerahan. Hal

ini terjadi karena pori-pori yang tersumbat terinfeksi dengan bakteri yang terdapat

di permukaan kulit, kuas make-up, dan jari tangan. Stress, hormon, dan udara

yang lembab dapat memperbesar kemungkinan infeksi jerawat karena

menyebabkan kulit memproduksi minyak yang merupakan tempat

berkembang-biaknya bakteri. Pengobatan pada tipe ini dapat diatasi dengan menghambat

pertumbuhan bakteri penyebab jerawat dengan suatu zat antibakteri misalnya

benzoil peroksida, tetrasiklin, dll (Dewi, 2009).

Kadar benzoil peroksida 2,5-10% sangat aktif dalam melawan bakteri

penyebab jerawat, namun kerugian utama antibakteri ini adalah dapat

(6)

yang diberikan dengan dosis 500mg, rutin dua hari sekali selama 2 bulan terbukti

efektif mengobati jerawat. Demikian pula dengan Erythromycin dengan dosis

250-500mg 2 kali sehari secara rutin juga efektif mengobati jerawat (Anonim,

1996).

Tipe yang ketiga adalah Cystic Acne (Jerawat Batu atau Jerawat Jagung).

Biasanya jerawat ini besar dengan tonjolan-tonjolan yang meradang hebat dan

berkumpul di seluruh wajah. Penderita jerawat ini dikarenakan faktor genetik

yang memiliki banyak kelenjar minyak sehingga pertumbuhan sel-sel kulit tidak

normal dan tidak dapat mengalami regenerasi secepat kulit normal (Dewi, 2009).

Menurut Loveckova dan Havlikova (2002), jerawat dapat disebabkan oleh

aktivitas bakteri seperti Propinium acne, Staphylococcus epidermidis, dan

Staphylococcus auerus. Staphylococcus epidermidis tumbuh cepat pada kondisi

kulit yang anerob yaitu pada saat pori-pori kulit tersumbat akibat adanya produksi

kelenjar minyak yang berlebih. Bakteri ini juga dapat mensintesis enzim lipase

yang dapat mengubah triasigliserol pada kelenjar minyak menjadi asam lemak

bebas yang memacu terjadinya infeksi pada kulit. Infeksi ini membuat jerawat

makin bertambah parah dan berwana kemerahan (Oakley, 2009).

D. Bakteri Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus epidermidis merupakan bakteri Gram positif, mempunyai

morfologi koloni berbentuk sirkuler, morfologi sel bakteri berbentuk bulat,

bersifat motil, dan katalase positif. Pada uji biokimia bakteri ini akan dapat

(7)

nitrat dan menghidrolisis pati (Breed et al. 2001). Klasifikasi Staphylococcus

epidermidis menurut Nilsson et al. (1998) adalah :

Gambar 2. Bakteri Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2011)

E. Metode Eksktrasi

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan campurannya dengan

menggunakan pelarut. Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara

ekstraksi tanaman obat dengan ukuran partikel tetentu dan menggunakan medium

pengekstraksi (menstrum) yang tertentu pula (Agoes, 2007)

Menurut Voigt (1995) pada dasarnya terdapat dua prosedur untuk

membuat sediaan obat tumbuhan, salah satunya dengan cara ekstraksi. Cara

ekstraksi yaitu bahan segar yang telah dikeringkan dan dihaluskan, diproses Kerajaan: Bacteria

Devisi : Firmicutes

Kelas : Bacilli

Bangsa : Bacilliales

Suku : Staphylococcaceae

Marga : Staphylococcus

(8)

dengan suatu cairan pengekstraksi. Jenis ekstraksi yang digunakan tergantung dari

kelarutan bahan yang terkandung dalam tanaman serta stabilitasnya. Menurut

(Harborne, 1987), ekstraksi yang tepat tergantung pada tekstur dan kandungan air

bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi.

Proses ekstraksi merupakan proses penarikan zat pokok yang diinginkan dari

bahan mentah obat dengan menggunakan pelarut yang dipilih dengan zat yang

diinginkan larut (Voigt, 1995). Kandungan kimia dari suatu tanaman yang

berkhasiat obat umumnya mempunyai sifat kepolaran yang berbeda-beda,

sehingga perlu untuk memisahkan secara selektif menjadi kelompok-kelompok

tertentu. Serbuk simplisia diekstraksi berturut-turut dengan pelarut yang berbeda

polarisnya (Harborne, 1987).

Metode dasar dari ekstraksi obat adalah maserasi (Proses M) dan perkolasi

(Proses P). Biasanya metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti

sifat dari bahan mentah obat dan daya penyesuaian dengan tiap macam metode

ekstraksi serta kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau

mendekati sempurna dari obat (Voigt, 1995). Sifat bahan mentah obat merupakan

faktor utama yang harus dipertimbangkan dalam memilih metode ekstraksi.

Beberapa obat tidak dapat diperkolasi yang mengisyaratkan bahwa zatnya harus

digiling sehingga menjadi serbuk yang rata dan dimasukkan ke dalam perkolator

(Voigt, 1995).

Maserasi berasal dari bahasa latin macerace yang artinya merendam. Proses

ini merupakan cara paling tepat karena obat yang sudah halus memungkinkan

(9)

sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut (Voigt, 1995). Maserasi

dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan

penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang

mengandung zat aktif dan zat aktif akan larut (Anonim, 1986).

Pembuatan ekstrak dengan metode maserasi mengikuti syarat farmakope,

yaitu bahan tumbuhan dihaluskan dengan cara dipotong-potong atau

diserbukkasarkan, kemudian disatukan dengan bahan pengekstraksi (Voigt, 1995).

Semakin kecil ukuran partikel dari bahan, maka akan semakin mudah cairan

pengekstrak menarik senyawa kimia yang terkandung dalam bahan tersebut

(Sudarmadji et al., 1989).

Tanaman obat yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah yang

bermulut lebar, bersama menstrum yang telah ditetapkan, kemudian bejana ditutup

rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang selama 2-14 hari, namun maserasi sudah

memadai selama 5 hari (Voigt, 1995). Lamanya harus cukup supaya dapat

memasuki rongga dari struktur bubuk tanaman obat dan melarutkan semua zat

yang mudah larut (Ansel, 1989). Metode ini tidak menggunakan pemanasan,

sehingga zat aktif yang terkandung dalam simplisia tidak rusak. Selama maserasi

bahan disimpan dan terlindungi dari cahaya langsung untuk mencegah reaksi

perubahan warna (Voigt, 1995).

Waktu maserasi pada umumnya 5 hari, setelah waktu tersebut

keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan luar

(10)

ekstraksi lebih cepat dalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan

turunnya perpindahan bahan aktif (Voight, 1995).

F. Jenis dan Sifat Pengekstrak

Pelarut organik berdasarkan konstanta elektrikum dapat dibedakan menjadi

dua yaitu pelarut polar dan pelarut non-polar. Konstanta dielektrikum dinyatakan

sebagai gaya tolak menolak antara dua pertikel yang bermuatan listrik dalam suatu

molekul. Semakin tinggi konstanta dielektrikumnya maka pelarut bersifat semakin

polar (Sudarmadji et al, 1989). Konstanta dielektrikum dari beberapa pelarut yang

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Konstanta dielektrikum pelarut organik

Pelarut Besarnya

Ekstraksi dapat menggunakan pelarut tunggal dan pelarut campuran. Pelarut

campuran yang biasa digunakan yaitu campuran air dan etanol, campuran air dan

metanol, campuran air dan eter (Agoes, 2007). Menurut Guenther (1987), syarat

pelarut yang digunakan pertama harus bersifat bersifat selektif artinya pelarut harus

dapat melarutkan semua senyawa dengan cepat. Syarat kedua harus mempunyai titik

didih yang cukup rendah. Hal ini supaya pelarut mudah dapat diuapkan tanpa

(11)

akan mengakibatkan kehillangan akibat penguapan. Syarat ketiga bersifat inert

artinya pelarut tidak bereaksi dengan komponen minyak. Syarat keempat carilah

pelarut yang murah dan mudah didapatkan.

Pemilihan menstrum yang akan digunakan dalam ekstraksi dari bahan

mentah obat tertentu berdasarkan pada daya larut zat aktif dan zat tidak aktif serta

zat yang tidak diinginkan juga tergantung pada tipe preparat farmasi yang

diperlukan sebagai contoh yang mengandung air, hidroalkoholik atau alkoholik

(Ansel, 1989).

Pelarut yang diplih pada penelitian ini adalah etanol, metanol, dan aquades.

Aquades merupakan air murni hasil destilasi. Aquades memiliki kemampuan yang

baik untuk mengekstraksi sejumlah bahan simplisia (Voigt, 1995). Etanol

merupakan pelarut yang serbaguna, dapat menyatu dengan air dengan sebagian

besar bahan organik yang bersifat cair termasuk zat cair, termasuk zat cair

non-polar seperti hidrokarbon alifatik. Etanol juga digunakan sebagai pelarut dalam

melarutkan bahan obat-obatan. Etanol (etil alkohol) mempunyai rumus kimia

C2H5OH,mudah terbakar, memiliki titik cair -114,30C dan titik didih 78,40C

(Anonim, 2000).

Metanol sering disebut metil alkohol, mempunyai rumus kimia CH3OH dan

merupakan pelarut yang tak berwarna. Menurut sejarahnya, metanol disebut

alkohol kayu (Fessenden dan Fessenden, 1997). Pada Tabel 4 konstanta dielektrik

metanol menunjukkan nilai yang paling tinggi sehingga dapat dipilih sebagai

pelarut untuk mengekstrak ampas seduhan teh. Hasil penelitian Akroum et al.

(12)

bahwa pelarut metanol merupakan pengekstrak yang baik untuk mengekstak

senyawa antimikrobia pada tumbuhan teh.

G. Pertumbuhan Bakteri dan Metode Pengukurannya

Pertumbuhan pada bakteri dapat diartikan sebagai penambahan jumlah sel

bakteri. Pada dasarnya terdapat empat fase pertumbuhan bakteri ketika

ditumbuhkan pada batch culture, yaitu sebagai berikut:

1) Fase Lag (fase adaptasi)

Menurut Purwoko (2007), pada fase ini sel beradaptasi dengan mensintesis

enzim baru yang sesuai dengan medium serta pemulihan terhadap

metabolit yang bersifat toksik. Pada fase ini tidak dijumpai penambahan

jumlah sel, namun terdapat penambahan volume sel. Lama fase ini dapat

ditentukan oleh umur inokulan dan medium yang digunakan.

Pembentukan enzim-enzim baru diinduksi oleh substrat baru (Schlegel dan

Schmid, 1994).

2) Fase Log

Setelah sel memperoleh kondisi ideal maka sel melakukan pembelahan.

Sel melakukan konsumsi nutrient dan proses fisiologis lainnya sehingga

dihasilkan beberapa senyawa yang diekskresikan oleh sel bakteri, yaitu

etanol, asam laktat dan asam organik lainnya, asam lemak, asam amino

dan lainnya. Di fase ini perbanyakan sel meningkat sampai jumlah tertentu

(Purwoko, 2007). Kecepatan pembelahan bersifat spesifik pada

(13)

kering meningkat dengan kecepatan sama, kesediaan substrat berkurang,

kerapatan sel bertambah dan produk-produk metabolisme tertimbun

(Schlegel dan Schmid, 1994).

3) Fase Stationer

Pada fase ini sel berjuang terhadap kondisi ketersediaan nutrient yang

makin menipis, akumulasi metabolit toksik (misalnya: alkohol, asam,

basa), penurunan kadar oksigen serta penurunan kadar aw atau

ketersediaan air, sehingga menghasilkan antibiotik dan antioksidan.

(Purwoko, 2007).

4) Fase Kematian

Penyebab utama kematian bakteri adalah autolisis sel dan penurunan

energi seluler. Ada bakteri yang mampu bertahan hingga puluhan tahun

dengan mengubah sel menjadi spora. Namun ada pula bakteri yang tidak

mampu bertahan selama itu (Purwoko, 2007). Kurva pertumbuhan bakteri

dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan bakteri pada batch culture

(14)

Metode pengukuran pertumbuhan sel bakteri yang sering digunakan

adalah metode turbidimeter. Secara rutin jumlah sel bakteri dapat dihitung dengan

mengukur tingkat kekeruhan kultur. Semakin keruh suatu kultur, semakin banyak

jumlah selnya. Prinsip dasar metode turbidimeter adalah jika cahaya mengenai sel,

maka sebagian cahaya diserap dan sebagian cahaya diteruskan. Jumlah cahaya

yang diserap berbanding lurus dengan jumlah bakteri (Jutono et al., 1980).

H. Aktivitas Anti Bakteri dan Efeknya

Antibakteri adalah senyawa yang digunakan untuk mengendalikan

pertumbuhan bakteri yang bersifat merugikan. Pengendalian pertumbuhan

mikroorganisme bertujuan untuk mencegah penyebaran penyakit dan infeksi,

membasmi mikrobia pada inang yang terinfeksi, dan mencegah pembusukan serta

perusakan bahan oleh mikrobia (Sulistyo, 1971). Antimikrobia meliputi golongan

antibakteri, antimikotik, dan antiviral (Ganiswara, 1995).

Pengujian daya antimikrobia terhadap spesies bakteri dapat dilakukan

dengan beberapa cara, yaitu menggunakan metode dilusi dan metode difusi

(Jutono et al, 1980). Metode umum lain yang sering digunakan untuk mempelajari

aktivitas antimikrobia adalah Metode Difusi Agar. Cawan petri yang berisi

medium agar, diinokulasi dengan bakteri uji. Ekstrak atau senyawa yang memiliki

sifat antimikrobia ditambahkan pada paper disc, yang diletakkan di permukaan

agar. Selama inkubasi, ekstrak akan berdifusi dari paper disc ke agar (Madigan,

(15)

Menurut Madigan (2000), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa

antimikrobia mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan mikrobia yaitu :

1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi

tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis

protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan

antimikrobia pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah

penambahan zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total

maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi

lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia

pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan

zat antimikrobia pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total tetap

sedangkan jumlah sel hidup menurun.

3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah

sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antimikrobia. Hal ini

ditunjukkan dengan penambahan antimikrobia pada kultur mikrobia yang

berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antimikrobia pada fase

logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun.

Menurut Jawetz et al. (1982), mekanisme penghambatan antibakteri dapat

dikelompokkan menjadi 4 yaitu :

1. Penghambatan sintesis dinding sel bakteri

Langkah pertama kerjanya berupa pengikatan pada reseptor sel. Kemudian

(16)

Mekanisme diakhiri dengan pembuangan atau penghentian aktivitas

penghambat enzim autolisis pada dinding sel. Contoh antibakteri dengan

mekanisme kerja diatas adalah penicilin, sefalosporin, vankomisin, basitrasin,

sikloserin, dan ampisilin.

2. Merusak membran sel bakteri

Sitoplasma semua sel hidup dibatasi oleh membran sel yang bekerja sebagai

penghalang dengan permeabilitas selektif, melakukan fugsi pengangkutan

aktif sehingga dapat mengendalikan susunan sel. Bila integritas fungsi selaput

sitoplasma terganggu misalnya oleh zat bersifat surfaktan permeabilitas

dinding sel akan berubah atau bahkan menjadi rusak, sehingga komponen

penting, seperti protein, asam nukleat, nukleotida, dan lain-lain keluar dari sel

dan sel berangsur-angsur mati. Amfoterisin, kolistin, poimiksin, imidazol, dan

polien menunjukkan mekanisme karja tersebut.

3. Penghambatan sintesis protein bakteri

Umumya senyawa penghambat akan berikatan dengan enzim atau salah satu

komponen yang berperan dalam tahapan sintesis, sehingga akhirnya reaksi

akan terhenti karena tidak ada substrat yang direaksikan dan protein tidak

dapat terbentuk. Kloramfenikol, eritromisin, linkomisin, tetrasiklin, dan

aminoglikosida bersifat menghambat sintesis protein sel bakteri.

4. Penghambatan sintesis asam nukleat

Antibakteri dapat mengganggu proses replikasi dan transkripsi sehingga

pertumbuhan dan pembelahan sel bakteri terhambat. Pada umumnya

(17)

interaksi dengan benang heliks ganda DNA sehingga replikasi dan transkripsi

terganggu. (2) kombinasi dengan polimerase yang terlibat dalam biosintesis

DNA atau RNA.

Daya anti bakteri diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan

suatu zat antimikrobia (Jawetz et al., 1982). Adanya fenomena ketahanan

tumbuhan secara alami terdapat mikrobia menyebabkan pengembangan sejumlah

senyawa yang berasal dari tanaman yang mempunyai kandungan antibakteri dan

antifungi (Griffin, 1981).

I. Antibiotik Streptomisin

Streptomisin dihasilkan oleh streptomyces griseus, suatu bakteri tanah

yang diisolasi oleh Waksman dan rekan-rekannya, yang melaporkan mengenai

aktivitas antibiotik pada tahun 1994. Streptomisin menjadi antibiotik utama untuk

kemoterapi tuberkolosis, namun resistensinya berkembang sangat cepat terhadap

antibiotik ini (Pelczar dan Chan, 1988).

Streptomisin merupakan salah satu antibiotika aminoglikosida yang

mampu menghambat sintesis protein, berpengaruh bakterisidal pada sejumlah

besar organisme Gram positif dan negative. Gugusan guanidine sangat basa yang

terdapat dalam streptomisin menyebabkan berbagai efek terhadap bakteri yang

tidak khas seperti keluarnya kalium dari sel bakteri, dan penggumpalan bakteri.

Efek bakterisidal yang khas tergantung pada kemampuannya untuk terikat pada

(18)

pembacaan yang salah pada mRNA dan mencegah gerakan ribosom setelah terikat

pada asam amino pertama pembentuk protein (Volk dan Wheeler, 1993).

J. Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) atau dalam bahasa indonesia

sering disebut Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) adalah konsentrasi terendah

dari antibakteri yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu

(Greenwood, 1995). Efektivitas senyawa antimikroba dapat dilihat pada pengujian

antimikroba dengan menentukan konsentrasi terkecil agar pertumbuhan organisme

uji dapat terhambat. Menurut Bauman et al. (2007), pengujian antimikroba dengan

menentukan konsentrasi terkecil dapat dilakukan dengan teknik tube dilution.

Menentukan KHM dengan tube dilution dilakukan dengan membuat variasi

konsentrasi kemudian mengujinya dalam suatu media cair dengan mengamati

tingkat kejernihan yang ditimbulkan.

Menurut penelitian Maharini (2008), penentuan variasi konsentrasi yang

digunakan dalam penentuan KHM dapat dimulai dari konsentrasi 10mg/ml

sampai 25mg/ml. Bila nilai KHM pada konsentrasi tersebut belum diperoleh,

maka variasinya bisa ditingkatkan lagi. Dalam menghambat pertumbuhan bakteri

genus Staphylococcus, ekstrak Gigartiana sp. yang juga memiliki senyawa

(19)

K. Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Metanol merupakan pelarut terbaik untuk mengekstrak senyawa antibakteri

dalam ampas teh hitam

2. Luas zona hambat yang ditimbulkan antibakteri ampas teh hitam lebih kecil

dari streptomisin.

3. Sifat antibakteri ampas seduhan teh hitam bersifat bakteriolitik.

4. Konsentrasi hambat minimum bakteri penyebab jerawat Staphylococcus

Gambar

Tabel 1. Jumlah Flavonol Teh Hitam dan Teh Hijau
Gambar 1. Struktur  quercetin dan kaempferol (Richard et al., 2008)
Tabel 2. Komposisi Teh Hitam
Gambar 2. Bakteri Staphylococcus epidermidis (Anonim, 2011)
+3

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Croup adalah istilah umum yang meliputi kelompok heterogen keadaan- keadaan yang relatif akut (kebanyakan infeksi) yang ditandai dengan batuk keras dan kasar yang khas atau

• Dari ke-34 produk yang berada pada daftar tersebut, beberapa produk perikanan unggulan Indonesia, seperti Udang dan Tuna, tidak termasuk ke dalam daftar produk penerima

Dari kedua model ini, diusulkan sebuah model pengaruh budaya terhadap efektifitas sistem informasi yang terdiri dari 6 konstruk efektifitas dan 5 konstruk budaya

Skripsi berjudul Evaluasi Pengaturan Tata Letak Peralatan Proses Pengolahan Kopi Bubuk (Studi Kasus Industri Hilir di PTPN XII Jember) telah diuji dan disahkan oleh

Peserta didik (siswa) Kelas VIII E SMP Negeri 1 Bangkinang tahun pelajaran 2015/2016 yang berjumlah 24 orang, pada kondisi di lapangan menunjukkan bahwa hasil

Untuk mengatasi masaah tersebut ( pada saat kas perusahaan mengalami defisit ), maka perusahaan tersebut sementara dapat memasuki pasar uang sebagai peminjaman dengan mencari

Hasil uji daya sebar dan daya lekat ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang juga menunjukkan bahwa formulasi minyak atsiri bunga cengkeh dalam emulgel