REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Moehammad Abdul Aziz NIM: 1110043100012
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
ii
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Moehammad Abdul Aziz NIM. 1110043100012
Di bawah Bimbingan:
Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. NIP: 197608072003121001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN
UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ” telah diajukan dalam
sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.
Jakarta, 15 Desember 2015 Mengesahkan
Dekan
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. NIP. 196912161996031001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si ( ... )
NIP. 197412132003121002
Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA ( ... ) NIP. 197402162008012013
Pembimbing I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. ( ... ) NIP. 197608072003121001
Penguji I : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A ( ... ) NIP. 194512301967122001
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu pernyataan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 03 Rabi‟ al-Awwal 1437 H
15 Desember 2015 M
Moehammad Abdul Aziz
v ABSTRAK
REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM
MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ adalah skripsi hasil karya Moehammad Abdul Aziz, NIM 1110043100012, pada konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M/1436 H.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti segi maslahah dalam Fatwa MUI
tentang Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, yang mana beliau
berpendapat agar memeperhatikan kemaslahatan duniawi dengan tidak mengesampingkan kemashlahatan ukhrawi. Selanjutnya, penulis membandingkan
dengan review studi terdahulu yang membahas mengenai golput dan sistem
pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru. Sebagai pembeda, penulis
lebih menekankan kepada pembahasan maslahah yang terdapat dalam
rekomendasi MUI ini.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menekankan kualitas data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data,
menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan
menginterpretasikannya. Pengumpulan data dengan kajian kepustakaan dari berbagai buku, artikel, berita dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek penelitian.
Hasil penelitian menunjukan adanya relevansi antara teori maslahah
al-Syâthibî dengan maslahah yang ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Yaitu
sama-sama membahas kemaslahatan dunia dan akhirat, maslahah dunianya
merupakan idealnya seorang pemimpin dan maslahah akhiratnya adalah
ketakwaan serta keimanan seorang pemimpin.
Kata kunci : Fatwa MUI tentang Pemilu, teori maslahah al-Syâthibî Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA
vi
ميحّرلا نمحّرلا ها مسب
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, puji serta syukur penulis ucapkan dan panjatkan
kehadirat Ilahi Rabbi, Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan
kemudahan, sehingga dengan izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi ini. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada baginda Rasulullah
SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Allâhumma salli wa sallim wa bârik
‘alaihi.
Dan penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada
seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik langsung
maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis
ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum dan Ibu Siti Hanna Lc.
M. Ag selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab.
3. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, serta memberikan arahan dalam
membimbing penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang
bermanfaat dan bapak dan ibu selalu mendapat pahala serta rakmat Allah
vii
5. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staf perpustakaan
Sekolah Pascasarjana, dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
6. Ungkapan terima kasih, yang mungkin tidak bisa penulis ungkapkan dengan
kata, kepada kedua orang tua penulis: Ayah Saerozi dan Ibu Suparmi. Dan
juga kepada adik tercinta Siti Aulia Musyayyadah. Kalian yang terbaik.
7. Teman-teman kelas PMF A 2010, yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu.
8. Teman-teman Asatidz/dzah Pondok Pesantren Daarurrahmah, dan khususnya
Ust Yudi. Lc, Ust Veri Rosyadi, Ust Rio Purnomo, Ust Rivan M Arifin,
saudara Saifullah, Fakhri, Wahyudin A dan Ibnu M, Iin S kalian seperti
saudara.
9. Teman-teman KKN SOS 2013, atas pengalaman berharga bersosialisasi
dengan warga selama satu bulan dan terimakasih atas segala tawa dan
semangatnya.
10.Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat
bagi penulis khususnya dan untuk para pembaca yang budiman, meskipun masih
terdapat banyak kekurangan dalam isi maupun penulisan skripsi ini. Dan semoga
amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amiin.
Jakarta, 04 Safar 1437 H 17 November 2015 M
viii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERNYATAAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D.Review Studi Terdahulu ... 7
E. Metode Penelitian ... 9
F. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA ... 12
A.Sekilas Tentang MUI ... 12
1. Sejarah MUI ... 13
2. Produk MUI ... 15
B.Pemilihan Umum ... 18
1. Pengertian Pemilu ... 19
2. Tujuan Pemilu ... 21
ix
4. Gambaran secara Umum Pemilu di Indonesia ... 27
BAB III MASLAHAH DALAM PANDANGAN AL-SYȂTHIBȊ ... 31
A. Pengertian Maslahah ... 31
1. Pengertian secara Etimologi ... 31
2. Makna Terminologi ... 32
B. Penerapan Maslahah ... 36
C. Maslahah bagi al-Syâthibî ... 38
D. Pembagian Maslahah ... 43
BAB IV ANALISIS TEORI MASLAHAH Al-SYȂTHIBȊ TERHADAP REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU ... 56
A. Rekomendasi MUI Tentang Pemilihan Umum ... 56
1. Teks Tentang Pemilu ... 56
2. Dasar Penetapan ... 57
B. Relevansi Fatwa MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî ... 61
BAB V PENUTUP ... 72
A. Kesimpulan ... 72
B. Saran ... 73
1 BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Metode penerapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan sebagai
cara-cara menetapkan, meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber
dari nas-nas hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia, baik
menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu
disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu usȗl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang
membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (ijmâl). Cara
pemanfaatannya, dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yakni mujtahid.1
Salah satu konsep dalam syarak ialah usȗl al-fiqh yang mana sebagian besar
pembahasannya adalah kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan lafadz atau
arti dari kata seperti signifikasi amar adalah wajib dan signifikasi larangan adalah
haram.2 Dan usȗl al-fiqh, atau dasar-dasar hukum Islam, menguraikan tentang
indikasi-indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fikih dari
sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini terutama ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah
yang merupakan sumber pokok dari syariah.3 Di antara materi yang termasuk
dalam fikih adalah menyelami tujuan syariah, mengetahui rahasia-rahasia serta
1
. Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-Istiqra’
aL-ma’nawi al-Syâthibî. (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008), h. 79.
2
. Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawâ’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset 2009, Cet. kedua), h. 64.
3
2
„illah-„illah (sebab)-nya, mengaitkan antara satu bagian dengan yang lain,
mengembalikan cabang-cabang pada aslinya, mengembalikan pula bagian-bagian
terkecil pada keseluruhannya, tidak berhenti pada zahirnya saja, dan tidak hanya
terikat pada arti tekstualnya.4
Mengenai sumber hukum Islam, diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa Umar r.a
pernah mengirim surat intruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “Apabila
engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam kitab
Allah, maka putuskan masalah itu dengannya, dan jangan seorang pun dapat
memalingkan keputusanmu darinya. Apabila masalah itu tidak dapat dalam kitab
Allah, tetapi terdapat dalam Sunnah Rasulullah SAW, maka putuskanlah masalah
itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat dalam Kitab Allah juga Sunnah
Rasulullah SAW, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh
imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak dalam
Kitab-Nya, Sunnah Rasulullah SAW maupun dalam keputusan para imam yang
mendapat petunjuk, maka anda bisa memilih di antara dua alternatif. Pertama,
berijtihad dengan pendapatmu. Kedua, meminta pertimbangan kepadaku. Aku
yakin anda meminta pertimbangan kepadaku tentu hanya akan membuat anda
lebih selamat.5”
Dari Hadis di atas dapat disimpulkan, bahwasanya sumber hukum Islam
mulai dari al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, lalu ada yang disebut dengan
ijtihad, metode inilah yang kebanyakan digunakan oleh ulama fikih dalam
4
. Yusuf Qardawî, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting,
Penerjemah Moh. Nurhakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 80. 5
3
menetapkan suatu hukum. Dalam berijtihad, seorang mujtahid terkadang
menyampaikan bunyi lafaz dalam teks-teks syariah dan memberinya pengertian
baru, meskipun asing bagi lafaz itu. Cara ini disebut dengan metode maknawi,
suatu cara yang banyak digunakan ahli qiyâs, istihsân, istislâh.6
Tujuan-tujuan syariah ialah tujuan akhirnya serta rahasia-rahasia yang
diletakkan oleh Allah di dalam setiap ketentuan hukumnya. Dengan demikian
maka syariah itu pada dasarnya untuk mewujudkan tujuan umum dalam alam
nyata yaitu membahagiakan individu dan jama‟ah, memelihara aturan serta
menyemarakan dunia dengan segenap saran yang akan menyampaikannya kepada
jenjang-jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang paling
menonjol.7 Sesungguhnya norma perilaku ideal dan jalan hidup lurus yang sesuai
dengan syariah, memiki ruang lingkup dan tujuan yang jauh lebih luas dari pada
tata hukum biasa dalam sistem kehidupan hasil pemikiran barat. Melalui proses
ini, syariah bertujuan mengatur hubungan antar manusia dengan Allah, hubungan
manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam serta lingkungannya.
Dengan asusmsi inilah, maka hukum syariah tak dapat dipisahkan dengan aspek
akhlak yang Islami (al-akhlâqu al-karîmah).8 Dalam tujuan hukum syarak, yang
merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam
setiap hukum Islam, ialah maslahah (kemaslahatan). Maslahah Islâmiyah yang
diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nas-nas
6
. Hamka Haq, Falsafat Usȗl al- Fiqh, (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h.
203. 7
. Wahbah Al-Zuhaylî, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Munawar, M. Hadri Hasan (Ciputat Jaksel: Gaya Media Pratama 1997, Cet. Pertama), h. 47.
8
4
agama adalah maslahah hakiki. Maslahah ini mengacu kepada pemeliharaan
terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini
disebabkan dunia, tempat hidup manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar
kehidupan yang lima itu. Tanpa terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai
kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.9
Kemaslahatan hidup duniawi maupun ukhrawi, baik untuk diri sendiri
maupun orang lain (dalam kasus ini keluarga) harus sama-sama diraih. Dengan
demikian, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih
kemaslahatan bagi dirinya apabila hal itu dapat menimbulkan mudarat bagi yang
lain. Demikian juga, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih
kemaslahatan ukhrawi dengan mengabaikan kemaslahatan duniawi, atau
sebaliknya.10
Dalam hal ini penulis mencoba untuk menganalisis segi maslahah yang
ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Fatwa adalah hasil ijtihad ulama yang
mempunyai kompetensi dalam hal ini. Seperti apa yang dibangun oleh Syâfi‟i,
sekali Syâfi‟i telah membangun landasan tekstual otoritatif bagi ijtihâd (qiyâs), ia
membatasi cakupan metode ini. Jelas, ketika al-Quran ataupun Sunnah telah
memberikan solusi hukum bagi sebuah persoalan tertentu, intervensi tidak
dibutuhkan. Akan tetapi, ketika muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak
memberikan suatu solusi, melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan,
melainkan kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang telah
9
. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet Basyir
dkk, (Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014, Cet. Ketujuh Belas), h. 579. 10
5
diformulasikan, seorang ahli fikih harus mencari kasus yang tekstual yang sama
untuk mencari solusi yang diberikan.11
Pemilu merupakan wadah untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan
duduk di kursi pemerintahan, pada pemilu ini ada mekanisme dalam menentukan
pilihan bagi masyarakat yang mempunyai hak pilih tersebut. Sedangkan
pengertian pemilu yang dijelaskan dalam fatwa MUI tentang pemilu adalah upaya
untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi
terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan
bangsa. Dan dasar penetapan fatwa ini adalah firman Allah SWT:
/ ءاسنلا( 4:85 )Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu supaya menyampaikan amanat
kepada ahlinya. Apabila kamu menetapkan keputusan di antara manusia hendaklah menetapkan dengan dalil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.
Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah agar menyampaikan
amanat kepada ahlinya, meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan
pengembalian kunci Ka‟bah, karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan
oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau
mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana Hadis Nabi, maka hukum ayat
ini mencakup segala jenis amanat yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu,
Ibnu Abbas berkata, “Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni,
11
. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh Mazhab
6
amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada
ahlinya.”
Amanat yang dijelaskan dalam ayat di atas merupakan dasar penetapan
fatwa MUI tentang pemilihan umum, dan amanat ini harus diberikan kepada yang
pantas menerimanya, karena demi kemaslahatan semua rakyat di Indonesia.
Selanjutnya penulis ingin mengkaji segi maslahah yang ada dalam fatwa ini
dengan menggunakan teori maslahah al-Syâtibî yang menjelaskan tentang
maqâsid syarîah beserta pengertian maslahah. Untuk itu penulis termotivasi
mengkaji permasalahan dalam skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI
TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ”
B.Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pembahasan tidak berbeli-belit dan tidak berujung, maka penulis
membatasi masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini seputar metode penetapan
fatwa MUI mengenai pemilihan umum. Adapun hukum Islam yang dimaksud di
sini dilihat dari teori maslahah al-Syâtibî.
Setelah membatasi pembahasan, maka Penulis membuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI Tentang
Pemilu ?
2. Bagaimana Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan
7
C.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI mengenai
Pemilu
2. Untuk mengetahui Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan
teori maslahah al-Syâthibî
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Program Studi PMH/Fakultas Syariah dan Hukum
Memberikan sumbangan Karya Ilmiah dan menambah literatur
perpustakaan atas tinjauan teori maslahah al-Syâtibî mengenai
Rekomendasi MUI tentang pemilu.
2. Bagi penulis
Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis serta pembentukan pola
berpikir kritis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana
syariah.
D.Review Studi Terdahulu
Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di
teliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau sama sekali belum pernah
diteliti. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah
melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu
yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh
8
perbedaan dari sudut pembahasan maupun objek kajian di dalam penelitian ini.
Adapun penelitian tersebut di antaranya:
1. Fenomena golput di Indonesia pasca orde baru (studi kasus pada pemilu
2004) oleh Acu Nurhidayat dalam skripsi ini hanya menjelaskan masalah
golput, sejarah pemilu di Indonesia dan hanya menganalisis pada pemilu
2004. Namun sebagai pembeda, penulis membahas pemilu mulai dari
pengertian, sistem pemilu dan gambaran umum pemilu di Indonesia serta
lebih cenderung membahas Rekomendasi MUI tentang Pemilu, mulai dari
awal terbentuknya, dasar penetapannya teks tersebut. Dengan melihat
relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî dengan rekomendasi Fatwa ini.
Karena menurut hasil wawancara penulis dengan ketua komisi fatwa MUI
pusat, ada relevansi antara keduanya. Dari segi maslahah duniawi dan
maslahah ukhrawi.
2. Pelaksanaan Pemilihan Umum dalam Sejarah Nasional Indonesia oleh
Friska Friyati pada tahun 2005, dalam skripsi ini dijelaskan mengenai
sistem pelaksanaan Pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru,
namun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian pemilu, maka
yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang ingin penulis angkat ialah
penulis sedikit menjelaskan mengenai makna dari pemilu itu sendiri dan
lebih condong ke penelitian Rekomendasi MUI tentang Pemilu dari segi
maslahahnya.
Maka dengan melihat perbandingan objek kajian di atas dengan penelitian
9
lebih memfokuskan penelitian terhadap kemaslahatan yang ada dalam rekomedasi
MUI tentang Pemilu ini serta melihat relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî.
E.Metode Penelitian
Metode yang dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus
dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,
sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,
dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan menggunakan
metode-metode tertentu. Adapun metode yang akan penulis gunakan antara lain
adalah:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis
yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara
mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa,
mengevaluasi, dan menginterpretasikannya.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian
kepustakaan (library reseach). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk
mencari data melalui buku-buku sebagai literatur yang berkaitan dengan
persoalan yang dibahas, seperti karya tulis skripsi, majalah, koran serta
bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini. Adapun
metode yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian
10
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang
dapat diamati.12
3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu:
a. Sumber Primer, yaitu berupa buku Fatwa MUI mengenai pemilihan
umum dan buku-buku usȗl al-fiqh, kitab al-Syâtibî, buku-buku
mengenai pemilu.
b. Sumber Sekunder, yaitu memberikan penjelasan dan menguatkan data
primer yang menyangkup karya tulis berupa, koran, majalah, jurnal,
maupun data dari internet (website).
Sedangkan jenis data dalam penelitian ini berupa bahan pustaka,
dokumen, keadaan, atau yang bercorak individual atau lembaga.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, Penulis menganalisis buku-buku,
dokumen, naskah (studi pustaka) yang menjelaskan tentang teori maslahah
al-Syâthibî, buku-buku usȗl al-fiqh dan konsep maslahah dalam Fatwa
MUI mengenai Pemilihan Umum.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”
12
. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
11
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana pada tiap-tiap
bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan variasi
ringkas secara garis besar mengenai hal pokok yang dibahas guna mempermudah
dalam memahami dan melihat satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada
setiap bab adalah sebagai berikut:
1. Bab Pertama merupakan pendahuluan yang memuat di dalamnya latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
2. Bab Kedua merupakan kajian teoritis yang menjelaskan tentang
teori-teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan yaitu mengenai MUI
dan pengertian pemilu secara umum.
3. Bab Ketiga menguraikan tentang definisi maslahah serta
pembagianya, pandangan al-Syâthibî dan ulama lainnya mengenai
maslahah, serta contoh penerapan maslahah.
4. Bab Keempat menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan,
yaitu mengenai teks Rekomendasi MUI tentang Pemilu dan
relevansinya dengan teori maslahah al-Syâthibî.
5. Bab Kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan
12 BAB II
SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA
A. Sekilas tentang MUI
Kemajuan dalam bidang Iptek dan tuntutan pembangunan yang telah
menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan
dan kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru.
Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan
tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.
Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini
semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan
keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat berhak mendapatkan jawaban
yang tepat dari pandangan ajaran Islam. Telah menjadi kesadaran bersama bahwa
membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam
kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara Syar’i.
Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera memberikan jawaban dan
berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan
dengan persoalan yang mereka hadapi.13
Maka penulis akan membahas secara singkat seputar sejarah MUI dan
produk-produk MUI berupa fatwa dan lainnya.
13
13
1. Sejarah MUI14
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun
para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak
dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.
Mejelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan
tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah
para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.
Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26
Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas
Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti,
Al-Washliyah, Matla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan al-Ittihadiyah, 4 orang
ulama dari dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang
tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah
tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat
bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang tertuang
dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh
peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional MUI.
Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah
berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi
bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.
14
14
Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris
tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk
berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang
pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan
kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tangtangan global
yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas
etika dan moral, serta budaya global didominasi Barat, serta pendewaan
kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas
masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu, kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam
pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi
politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber
pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak
dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu
kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi
kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan
silaturahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat
Islam.
Dalam perjalanannya, selam dua puluh lima tahun Majelis Ulama
Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zua’ma dan cendekiawan
muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam
dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridoi Allah
15
kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi
terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam
memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penghubung antara
ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan
pemerintah guna mensukseskan pengbangunan nasional, meningkatkan hubungan
serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam
memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam
dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara tibal balik.
Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima
fungsi dan peran utama MUI yaitu:
A. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
B. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)
C. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-Ummah)
D. Sebagai gerakan Islah wa al-Tajdid
E. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar
Selanjutnya, penulis akan membahas sedikit mengenai produk-produk
MUI dari awal didirikannya sampai saat ini.
2. Produk MUI
Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah atau majelis yang
menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia, telah
membuat produk berupa ketetapan-ketetapan seperti fatwa, buku, majalah dan
sertifikasi halal bagi produk makanan dan lainnya. Selanjutnya penulis akan
16
a. Fatwa
Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah
keagamaan dan berlaku untuk umum. Sedangkan fatwa MUI adalah fatwa tentang
suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.15
Fatwa MUI telah dimuat dalam sebuah buku tentang Himpunan Fatwa-Fatwa
MUI sejak tahun 1975.
b. Sertifikasi Halal16
Selain fatwa, MUI juga mengeluarkan sertifikat halal bagi industri
pengolahan seperti pangan, obat, kosmetika, Rumah Potong Hewan (RPH),
restoran, maupun industri jasa seperti distributor, transporter. Maka bagi yang
ingin mendapatkan sertifikasi halal, harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal
yang tertuang dalam Buku HAS 2300 (kebijakan, prosedur, dan kriteria).
Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan dalam
menetapkan SJH, asalkan dapat memenuhi 11 kriteria SJH, di antara lain yaitu:
kebijakan halal, tim manajemen halal, pelatihan dan edukasi, bahan, produk dan
lainnya.
Secara umum prosedur sertifikasi halal melalui beberapa tahapan yaitu:
Pertama, perusahaan yang mengajukan, dapat melakukan pendaftaran secara
online melalui website LPPOM MUI, Kedua, mengisi data pendaftaran, Ketiga,
membayar biaya pendaftaran, Keempat, mengisi dokumen yang dipersyaratkan,
Kelima, pemeriksaan kecukupan dokumen dan penerbita sertifikat halal.
15
. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Metode Penetapan Fatwa, h. 3.
16
. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia,
17
c. Majalah
Sebagai metode dakwah MUI tidak hanya menetapkan fatwa dan
sertifikat halal, MUI menerbitkan sebuah majalah sebagai bahan bacaan yang
bermanfaat bagi umat Islam khususnya. Seperti Majalah Mimbar Ulama edisi
Januari 2014, dalam majalah ini terdapat banyak berita-berita baru seperti kabar
larang jilbab bagi Polwan, para panghulu mogok alias tidak mau menikahkan di
hari libur dan lainnya.17
d. Rekomendasi
Rekomendasi yang dimaksud adalah rekomendasi hasil Musyawarah
Nasional (Munas), seperti contoh fatwa yang tentang wajibnya umat Islam
memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Kepala Daerah yang muslim.18
e. Buku terbitan MUI
Selain majalah, MUI juga menerbitkan sebuah buku seperti Himpunan
Fatwa MUI yang di dalamnya dimuat fatwa-fatwa MUI sejak tahun 1975, lalu
Himpunan Fatwa DSN-MUI mengenai fatwa-fatwa tentang ekonomi Syariah, dan
Daftar Belanja Produk Halal yang berisi tentang daftar produk yang sudah
mendapat sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.19
17
.Ahmad Thaha, Majalah Mimbar Ulama edisi Januari 2014, artikel diakses pada 02 Oktober 2015 dari mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/majalah-mimbar-ulama-edisi-januari-2014.html.
18
18
B. Pemilihan Umum
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki
kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sedangkan kekuasaan
adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku
seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.20
Sebagai Negara yang berdemokrasi, Indonesia termasuk dari Negara-negara yang
menggunakan sistem pemilu dalam sistem kepemerintahannya. Sedikit pengertian
mengenai pemilu yaitu merupakan suatu proses memilih orang untuk mengisi
jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, anggota DPR dan DPD,
gubernur, bupati/walikota dan kepada desa.21 Pemilihan umum di Indonesia telah
diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,
1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014, serta Pemilihan umum di Indonesia menganut
asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan
Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman orde baru.
"Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara
langsung dan tidak boleh diwakilkan.
"Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang
sudah memiliki hak menggunakan suara.
"Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada
paksaan dari pihak manapun.
20
. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cet. Pertama), h. 17.
21
19
"Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh si pemilih itu sendiri.
Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang
merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa
pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan
bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan
kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk
menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang
sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun
diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat
tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara
pemilu.22 Selanjutnya, penulis akan membahas hal-hal yang menyangkut masalah
pemilu, khususnya di Indonesia.
1. Pengertian Pemilu
Dalam review studi, penulis mengambil contoh sebuah skripsi yang ditulis
oleh Acu Nurhidayat yang membahas sejarah pemilihan umum nasional
Indonesia, yang mana penulis dalam skripsinya menjelaskan mengenai sistem
pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru, serta membandingkan
tentang sistem pemilu pada masa orde lama sampai dengan masa orde baru,
namun tidak dijelaskan pengertian pemilu itu sendiri, maka sebagai pembeda dari
22
20
skripsi sebelumnya penulis mencoba untuk sedikit menjelaskan makna dari
pemilu.
Dalam UU No. 22/2007 disebutkan bahwasanya pemilihan umum adalah
sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.23 Adapun pendapat lain tentang makna pemilihan umum yaitu, salah
satu hak azasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka
pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk
melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang
berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk
menentukannya.24 Yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat
mempunyai kekuasaan tertinggi, dan yang menentukan arah tujuan suatu
pemerintahan. Suatu negara yang penduduknya sedikit dan luas wilayahnya tidak
terlalu besar, kedaulatan rakyat tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya.
Apalagi dalam negara modern di mana jumlah penduduknya sudah banyak,
wilayahnya cukup luas maka tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang
demi seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan.25
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem
demokrasi. Oleh sebab itu tujuan Pemilihan Umum untuk mengimplementasikan
23
. UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf, h. 3 24
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (T.tp.,
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 2010, Cet. Kedua Belas), h. 329
25
21
prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di Badan
Perwakilan Rakyat.26 Karena luasnya wilayah daerah dan banyaknya penduduk
yang hidup di dalamnya, maka demokrasi secara langsung tidak mungkin
dilaksanakan lagi. Yang ada hanya demokrasi yang diwakilkan atau demokrasi
tidak langsung.27 Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak
merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran
beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi
dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.28 Kenyataannya, apapun
alasannya hanya pemerintahan yang representatiflah yang dianggap memiliki
legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur pemerintahan. Sehingga
dengan melalui pemilu, klaim jajaran elit pemerintahan bekerja untuk dan atas
nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.29 Sebagaimana hasil wawancara,
syarat-syarat yang ideal bagi seorang pemimpin menurut pandangan MUI ialah
dari segi kapabilitas, kompetensi, keahlian, dan mampu dalam kapasitasnya.30
2. Tujuan Pemilihan Umum
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan
norma-norma konstitusi (UUD Pasal 1 ayat 2). Oleh karena itu, agar derap demokrasi
dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga.
26
. B. Hestu Cipto Handoyono, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asassi Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003, Cet. Pertama), h. 207.
27
. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hal. 129-130.
28
. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 461. 29
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 249. 30
22
Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam kegiatan pemilihan umum,
pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga negara. Salah satu
ciri negara demokrasi yaitu adanya pelaksanaan pemilihan umum di negara
tersebut, untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan
umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:31
1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan
tertib;
2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan
3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.
Kemampuan seseorang ada batasnya. Karena itu adalah suatu hal yang
sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian pemerintahan. Pergantian
pemerintahan di negara-negara totaliter berbeda dengan apa yang terjadi di
negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter pergantian pemerintahan itu
ditentukan oleh sekelompok orang. Tidak demikian halnya dalam negara
demokrasi. Di negara ini pergantian pemerintahan itu ditentukan oleh rakyat
caranya adalah mengadakan pemilihan umum.
Karena itu pemilihan umum disebutkan bertujuan untuk memungkinkan
terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini tidak berarti
bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus ada pergantian
pemerintahan, sebab mungkin saja terjadi suatu partai politik dalam sistem
pemerintahan parlementer pemerintahan untuk dua, tiga, atau empat kali, atau
seorang menjadi Presiden di Amerika Serikat untuk dua kali masa jabatan. Yang
31
23
dimaksudkan dengan kata memungkinkan di sini adalah bahwa pemilihan umum
itu harus membuka kesempatan sama untuk menang bagi tiap peserta. Pemilihan
umum yang demikian itu hanya mungkin terjadi apabila dilaksanakan dengan
jujur. Di samping itu masih diperlukan syarat lain untuk memungkinkan
terjadinya peralihan pemerintahan itu, yaitu adanya Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang susunan anggotanya sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar
1945.
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pembukaan dan pasal 1 ayat
(2) Undang-Undang Dasar 1945, maka Republik Indonesia menganut azas
kedaulatan rakyat. Bahwa kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain
tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.
Karena itu adalah dalam rangka untuk memberikan kesempatan kepada warga
negara untuk melaksanakan haknya.
Sejak lahir ke dunia seseorang telah mempunyai hak. Orang itu mungkin
warga negara dari suatu negara atau berstatus orang asing di negara tempat dia
berdomisili. Sebagai warga negara maka salah satu hakya dalam bidang politik
yang terpenting adalah hak untuk memilih siapakah wakilnya itulah yang akan
menjalankan kedaulatan yang dipunyainya. Di samping itu terbuka pula baginya
kesempatan untuk duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat sebagai wakil yang
dipercayakan oleh para pemilihnya untuk menjalankan kedaulatan yang dipunyai
oleh rakyat. Dilihat dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam
suatu organisasi partai politik, maka pemilihan umum itu sangat besar artinya bagi
24
seberapa besar sesungguhnya para pendukung. Apabila terbuka bagi mereka untuk
menang, maka pemilihan umum itu adalah suatu media untuk menjalankan
programnya.
Karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan, apabila suatu pemerintahan
telah memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilihan umum, maka orang akan
mengatakan demokrasi di negara itu telah mulai sirna.
Dari uraian di muka dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan umum
tidak saja penting untuk warganegara, partai politik, tapi juga pemerintah sendiri.
Bagi pemerintah yang dihasilkan dari suatu pemilihan umum yang jujur berarti
bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.
Sebaliknya kalau pemeritahan yang dibentuk dari hasil pemilihan yang tidak atau
kurang jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.
Dilihat dari sudut pemilihan umum, maka ketiga tujuan itu baru dapat
tercapai kalau pelaksanaan pemilihan umum benar-benar jujur, sehingga setiap
warga negara yang berhak memilih memberikan pilihannya sesuai dengan hati
nuraninya. Dan, adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945
dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu
sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.32
32. Ni’matul Huda,
25
3. Sekilas tentang Sistem Pemilihan Umum
Karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan
wakil-wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka
dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.
Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut
mana pandangan ditunjukan terhadap rakyat, apakah ia dipandang sebagai
individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan
dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah rakyat hanya dipandang sebagai
anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa wakilnya
yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, atau juga tidak berhak untuk
mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka sistem pemilihan umum dapat
dibedakan dua macam:
a. Sistem pemilihan mechanis;dan
b. Sistem pemilihan organis.
ad.a. Sistem pemilihan mechanis.
Pandangan mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa
individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme dan Komunisme semuanya
berdasarkan pandangan mechanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan
individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks
hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktuil, sedangkan
Sosialisme dan khususnya Komunisme mengutamakan totalitet kolektif
26
semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengenali hak pilih aktif dan
memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang
masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam pemilihan
umum.
ad.b. Sistem pemilihan organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah
individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup
berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi,
industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga
sosial (Universitas). Masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisme yang
terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam
totalite organisme itu, seperti persekutuan hidup itulah yang diutamakannya
sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali hak
untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyrakat.
Menurut sistem pemilihan mechanis, partai-partai yang mengorganisir
pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy
Party (Liberalisme Sosialisme) atau Uni Party (Komunis). Sedangkan menurut
sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena
pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam
lingkungannya sendiri.33
33
27
4. Gambaran Umum Pemilu di Indonesia
Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah
menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955,
1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak
itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan
dibanding dengan yang lain.
Sebenarnya pemilihan umum sudah direncanakan mulai bulan Oktober
1945, tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanudin Harahap pada tahun
1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu
kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk
memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem pemilihan yang
digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang
dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang
dikenal dan dimengerti oleh pemimpin negara.
Pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana khidmat, karena
merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan
umum berlangsung sangat demokratis; tidak ada pembatasan partai-partai, dan
tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai-partai
sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Pula
administrasi berjalan lancar dan jujur.34 Patut dicatat dan dibanggakan bahwa
pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,
jujur, dan adil demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
34
28
pihak, termasuk dari negara-negara asing. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah
tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat.35 Pemilihan Umum Indonesia
1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun
1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling
demokratis.36
Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987,
1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan
Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde
Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut
hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut
kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.37 Kondisi Politik menjelang
Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru
sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) secara sistematik yang pada gilirannya
mengakibatkan kritis multi-dimensional. Kondisi semacam inilah yang kemudian
mengakibatkan kompromi-kompromi di kalangan elit politik.38 Kompromi yang
adil merupakan salah satu proses yang paling produktif untuk mengatasi konflik
atas dasar konsensus, di mana cara ini diterima oleh semua pihak melampaui
aturan, sasaran, dan hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang di masyarakat.39
35
. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 262 36
. Redaksi, Sejarah Pemilu 1995 di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.54 dari http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html.
37
. Ibid, di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015,
http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html, 38
. B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, h. 223.
39
29
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat
memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres
2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua
putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih
dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai
persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh
pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan
merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian
kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini
adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai presiden. Sedangkan pemilu pada zaman reformasi, seperti
juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.
Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara
bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam
pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai.
Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia
diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya
presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat
(MPR). Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.
Keempat, diadakan “electoral threshould”, yaitu ketentuan bahwa untuk
pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota
30
harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau
5% dari perolehan suara secara nasional.40Setiap pemilihan umum mempunyai
azas-azas yang tertentu. Demikian pula pemilihan umum tahun 1955. Dan azas
pemilihan umum itu disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1950 yang
berbunyi: “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan ini
dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak
pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang
rahasia ataupun menurut cara yang menajamin kebebasan mengeluarkan
pendapat”. Dengan demikian azasnya adalah pertama umum yaitu bahwa setiap
warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak untuk
ikut memilih dan dipilih. Tidak boleh ada perbedaan antara warga negara.
Berkesamaan maksudnya bahwa semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat
dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentunya
harus dipilih melalui pemilihan umum. Dengan sendirinya setiap warga negara
yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak
ada sebagian rakyat yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan/ditetapkan
tidak boleh memilih atau dipilih.41
40
. Ibid. h. 483 41
31
BAB III
MASLAHAH DALAM PANDANGAN Al-SYȂTHIBȊ
A.Pengertian Maslahah
Untuk memahami pandangan ulama tentang al-maslahah, lebih dahulu
perlu dikemukakan penjelasan tentang pengertian al-maslahah. Uraian mengenai
hal-hal ini dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu pengertian secara etimologi
(kebahasaan) dan pengertian secara terminologi/istilahi.
1. Pengertian secara Etimologi
Secara etimologi, pengertian Maslahah (ٌ َحَْصَم) berasal dari kata salaha
(َحََص) dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan
dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti kata salâh (ٌحاََص)
yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam
bahasa Arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan
manusia.
Dalam artianya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat
bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan
keuntungan (kesenangan), atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kerusakan.42 Sedangkan secara terminologis, para ulama usȗl al-fiqh
termasuk al-Syâthibî telah memberikan beberapa definisi yang berbeda.
42
32
2. Makna Terminologi
Tidak diragukan lagi bahwa agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan
yang dikehendaki Penciptanya Yang Maha Bijaksana. Demikianlah hukum Islam
mempunyai tujuan. Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan
tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati
semua hukum-hukum-Nya.43 Setiap apa yang Ia lakukan ada tujuannya, yakni
untuk kemaslahatan manusia. Tujuan-tujuan Allah tersebut dapat diketahui dari
dua sisi. Pertama, dilihat dari sisi manusia, yakni tujuan-tujuan itu dilihat dari segi
kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua, dilihat dari sisi Allah sebagai
pembuat hukum, yaitu apa tujuan Allah membuat hukum-hukum-Nya dilihat dari
pernyataan-Nya mengapa Ia membuat hukum itu.44
Sehingga tujuan puncak yang hendak dicapai di dalam setiap hukum Islam
ialah maslahah (kemaslahatan). Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh
Islam melalui al-Quran maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahah
yang hakiki, walaupun maslahah itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup
oleh hawa nafsunya.45 Maslahah yang dikehendaki oleh hukum Islam bukanlah
maslahah yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahah yang
hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu
(khusus). Maka selanjutnya akan sedikit dibahas mengenai pengertian dan
macam-macam maslahah menurut beberapa pandangan ulama.
43
. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM-UNISBA, 1995) h. 99.
44
. Ibid, h. 100. 45
33
a. Al-Ghozâlî
Al-Ghozâlî mengemukakan bahwa prinsipnya maslahah adalah
“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan
-tujuan syarak.” Ada lima sasaran hukum syarak yaitu: pertama, agar memelihara
agama, diri, akal, keturunan, dan harta. Maka semua hal yang meliputi dalam
menjaga kelima usul di sebut dengan maslahah.46 Hal ini ditempuh melalui
berbagai ragam ibadah yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk
membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial.47
Namun yang dimaksud dengan maslahah di sini oleh al-Ghozâlî bukan
dalam pengertian kebahasaan yang biasa dipakai dalam masyarakat atau menurut
„urf (kebiasaan), yakni berarti manfaat, melainkan dalam pengertian syarak, yakni
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.
Maka suatu kemaslahatan menurut al-Ghozâlî harus sejalan dengan hukum
syarak, meskipun harus atau bertentangan dengan kepentingan. Hal ini disebabkan
karena keterbatasan akal manusia dalam mendeskripsikan sebuah kemaslahatan,
belum lagi pengaruh hawa nafsu yang terkadang bahkan seringkali mendominasi
dan mengalahkan pertimbangan akal manusia. Dengan demikian jika bertentangan
dengan syarak, maka tidak dapat disebut dengan al-Maslahah, melainkan sebuah
mafsadah.
b. Abd al-Wahâb Khallâf
Menurutnya, maslahah adalah tujuan utama al-Syâri‟ dalam mensyariatkan
hukum untuk kemaslahatan manusia di kehidupan ini, yang mendatangkan
46
. Abȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i’lmi al-Usȗl
(T.tp., Dar al-Fikri, t.th.,), jilid I, h. 286. 47
34
manfaat, menjaga dari kemudaratan karena maslahah manusia terdiri dari
perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, maka jika perkara-perkara ini
terjaga, akan terlaksana pula maslahah mereka. Bukti bahwasanya maslahah
manusia tidak terlepas dari tiga perkara ini adalah perasaan dan
penglihatan/pengamatan, karena maslahah setiap diri manusia/secara keseluruhan
terdiri dari perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, seperti
kebutuhan darȗriyyât mengenai tempat tinggal manusia yang melindungi dari
panasnya matahari, lalu kebutuhan hâjiyyât berupa jendela yang bisa dibuka dan
ditutup sesuai keperluan, dan tahsîniyyât yaitu dengan menghias, dan menyiapkan
perangkat-perangkat untuk istirahat.48
c. Muhammad Abȗ Zahra
Menurutnya, maslahah yang hakiki yang diinginkan oleh Islam adalah
maslahah yang tetap dalam hukum-hukum Islam, yang disebutkan di dalamnya
nas-nas dari al-Quran dan Sunnah, serta yang serupa untuk kemaslahatan yang
mengandung di dalamnya nas-nas, dan semua maslahah yang sesuai dengan sudut
pandang nas-nas adalah memelihara/menjaga kelima perkara yaitu agama, jiwa,
harta, akal dan keturunan, karena kehidupan manusia di dunia terdiri dari kelima
perkara ini, dan tidak sempurna kehidupan manusia kecuali dengan menjaga
kelima perkara tersebut, dan kemuliaan manusia terdapat di dalam
pemeliharaannya.49
48
. Abd Al-Wahâb Khallâf, Ilmu Usȗl al-Fiqh, (T.tp., Dar al-Qolam, 1978, Cet. Kedua Belas), h. 199.
49
35
Selain dari ketiga pendapat ulama di atas, ada pendapat al-Syâfi‟î tentang
maslahah dalam kaitannya dengan penetapan hukum Islam. Al-Syâfi‟î tidak
memasukan maslahah ataupun al- maslahah al-mursalah dalam urutan al-bayân
(sumber penjelasan hukum) sehingga dapat dipahami bahwa ia tidak menganggap
maslahah sebagai dasar hukum yang berdiri sendiri. Dalam berbagai pernyataan,
al-Syâfi‟î sangat menekankan keterikatan setiap hukum kepada kabar, yakni
Kitab, Sunnah, Ijmâ‟, dan Qiyas. Dengan pandangan bahwa syariah Islam telah
lengkap dan al-Quran merupakan tibyan (penjelasan) bagi segala sesuatu,
al-Syâfi‟î tidak menerima kemungkinan adalanya maslahah yang tidak terselesaikan
dengan nas, baik secara langsung maupun melalui ijtihad yaitu qiyâs.50Namun
menurut para ulama Syafi‟iyah, Imâm al-Syâfi‟î tidak menolak pertimbangan
maslahah dalam ijtihad, sepanjang maslahah itu diperoleh dari dan diakui oleh
nas dan ijmâ’, meskipun hanya pada jenisnya, tetapi ia tidak menerima maslahah
yang sama sekali tidak mendapatkan pengakuan syarak.51
Dengan kata lain dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa esensi
maslahah itu ialah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan
manusia serta terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian,
kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak
yang memang dibutuhkan oleh manusia.52 Serta tidak ada keraguan di setiap
50
. Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Pertama), h.128.
51
. Ibid, h.135. 52
36
penelitian, bahwasanya hukum-hukum syariah Islamiyah didasari dengan
penjagaan/pemeliharaan kemaslahatan para mukallaf.53
B.Penerapan Maslahah
Penerapan maslahah dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting,
karena segala aspek kehidupan manusia selalu mengandung segi kemaslahatan
yang harus diwujudkan agar dapat menjalani kehidupan yang baik sesuai
ketentuan-ketentuan syariah Islam. Di sini penulis mengambil sebuah contoh
realita mengenai penerapan maslahah, yaitu mengenai pencatatan perkawinan
yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab II dasar-dasar perkawinan
Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqon gholîzon untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.54 Dan perkawinan juga sah,
apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Lalu pada pasal 5 poin pertama
mengenai agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap
perkawinan harus dicatat.55 Pencacatan perkawinan meskipun secara harfiyah
tidak diatur dalam nas syâri’ dan tidak ada