• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi MUI terhadap Pemilihan Umum menurut teori Maslahah al-Syathibi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekomendasi MUI terhadap Pemilihan Umum menurut teori Maslahah al-Syathibi"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Moehammad Abdul Aziz NIM: 1110043100012

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

ii

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Moehammad Abdul Aziz NIM. 1110043100012

Di bawah Bimbingan:

Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. NIP: 197608072003121001

KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN

UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ” telah diajukan dalam

sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Perbandingan Mazhab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22 Oktober 2015. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum.

Jakarta, 15 Desember 2015 Mengesahkan

Dekan

Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. NIP. 196912161996031001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua : Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si ( ... )

NIP. 197412132003121002

Sekretaris : Hj. Siti Hanna, S. Ag, Lc, MA ( ... ) NIP. 197402162008012013

Pembimbing I : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA. ( ... ) NIP. 197608072003121001

Penguji I : Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo, M.A ( ... ) NIP. 194512301967122001

(4)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu pernyataan memperoleh gelar sarjana strata 1 di Universitas

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 03 Rabi‟ al-Awwal 1437 H

15 Desember 2015 M

Moehammad Abdul Aziz

(5)

v ABSTRAK

REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILIHAN UMUM

MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ adalah skripsi hasil karya Moehammad Abdul Aziz, NIM 1110043100012, pada konsentrasi Perbandingan Mazhab Fikih, Program Studi Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015 M/1436 H.

Skripsi ini bertujuan untuk meneliti segi maslahah dalam Fatwa MUI

tentang Pemilu menurut teori maslahah al-Syâthibî, yang mana beliau

berpendapat agar memeperhatikan kemaslahatan duniawi dengan tidak mengesampingkan kemashlahatan ukhrawi. Selanjutnya, penulis membandingkan

dengan review studi terdahulu yang membahas mengenai golput dan sistem

pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru. Sebagai pembeda, penulis

lebih menekankan kepada pembahasan maslahah yang terdapat dalam

rekomendasi MUI ini.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif dengan menekankan kualitas data. Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara mengumpulkan data,

menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa, mengevaluasi, dan

menginterpretasikannya. Pengumpulan data dengan kajian kepustakaan dari berbagai buku, artikel, berita dan literatur yang dipandang mewakili dan berkaitan dengan objek penelitian.

Hasil penelitian menunjukan adanya relevansi antara teori maslahah

al-Syâthibî dengan maslahah yang ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Yaitu

sama-sama membahas kemaslahatan dunia dan akhirat, maslahah dunianya

merupakan idealnya seorang pemimpin dan maslahah akhiratnya adalah

ketakwaan serta keimanan seorang pemimpin.

Kata kunci : Fatwa MUI tentang Pemilu, teori maslahah al-Syâthibî Pembimbing : Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, MA

(6)

vi

ميحّرلا نمحّرلا ها مسب

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, puji serta syukur penulis ucapkan dan panjatkan

kehadirat Ilahi Rabbi, Allah SWT, yang telah memberikan nikmat dan

kemudahan, sehingga dengan izin-Nya Penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi ini. Sholawat beserta salam penulis haturkan kepada baginda Rasulullah

SAW, beserta keluarga dan sahabatnya. Allâhumma salli wa sallim wa bârik

‘alaihi.

Dan penulis juga mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada

seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung penulis baik langsung

maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis

ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :

1. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si selaku Ketua Program Studi

Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum dan Ibu Siti Hanna Lc.

M. Ag selaku Sekretaris Prodi Perbandingan Mazhab.

3. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, serta memberikan arahan dalam

membimbing penyusunan skripsi ini.

4. Bapak dan ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

ilmu kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang

bermanfaat dan bapak dan ibu selalu mendapat pahala serta rakmat Allah

(7)

vii

5. Seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staf perpustakaan

Sekolah Pascasarjana, dan staf perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

6. Ungkapan terima kasih, yang mungkin tidak bisa penulis ungkapkan dengan

kata, kepada kedua orang tua penulis: Ayah Saerozi dan Ibu Suparmi. Dan

juga kepada adik tercinta Siti Aulia Musyayyadah. Kalian yang terbaik.

7. Teman-teman kelas PMF A 2010, yang tidak bisa penulis sebutkan satu

persatu.

8. Teman-teman Asatidz/dzah Pondok Pesantren Daarurrahmah, dan khususnya

Ust Yudi. Lc, Ust Veri Rosyadi, Ust Rio Purnomo, Ust Rivan M Arifin,

saudara Saifullah, Fakhri, Wahyudin A dan Ibnu M, Iin S kalian seperti

saudara.

9. Teman-teman KKN SOS 2013, atas pengalaman berharga bersosialisasi

dengan warga selama satu bulan dan terimakasih atas segala tawa dan

semangatnya.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat

bagi penulis khususnya dan untuk para pembaca yang budiman, meskipun masih

terdapat banyak kekurangan dalam isi maupun penulisan skripsi ini. Dan semoga

amal baik kita diterima oleh Allah SWT. Amiin.

Jakarta, 04 Safar 1437 H 17 November 2015 M

(8)

viii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D.Review Studi Terdahulu ... 7

E. Metode Penelitian ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA ... 12

A.Sekilas Tentang MUI ... 12

1. Sejarah MUI ... 13

2. Produk MUI ... 15

B.Pemilihan Umum ... 18

1. Pengertian Pemilu ... 19

2. Tujuan Pemilu ... 21

(9)

ix

4. Gambaran secara Umum Pemilu di Indonesia ... 27

BAB III MASLAHAH DALAM PANDANGAN AL-SYȂTHIBȊ ... 31

A. Pengertian Maslahah ... 31

1. Pengertian secara Etimologi ... 31

2. Makna Terminologi ... 32

B. Penerapan Maslahah ... 36

C. Maslahah bagi al-Syâthibî ... 38

D. Pembagian Maslahah ... 43

BAB IV ANALISIS TEORI MASLAHAH Al-SYȂTHIBȊ TERHADAP REKOMENDASI MUI TENTANG PEMILU ... 56

A. Rekomendasi MUI Tentang Pemilihan Umum ... 56

1. Teks Tentang Pemilu ... 56

2. Dasar Penetapan ... 57

B. Relevansi Fatwa MUI dengan Teori Maslahah al-Syâthibî ... 61

BAB V PENUTUP ... 72

A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 73

(10)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Metode penerapan hukum Islam, secara sederhana, dapat diartikan sebagai

cara-cara menetapkan, meneliti, dan memahami aturan-aturan yang bersumber

dari nas-nas hukum untuk diaplikasikan dalam kehidupan manusia, baik

menyangkut individu maupun masyarakat. Metode ini terkandung dalam suatu

disiplin ilmu yang dikenal dengan ilmu usȗl al-fiqh, yaitu pengetahuan yang

membahas tentang dalil-dalil hukum secara garis besar (ijmâl). Cara

pemanfaatannya, dan keadaan orang yang memanfaatkannya, yakni mujtahid.1

Salah satu konsep dalam syarak ialah usȗl al-fiqh yang mana sebagian besar

pembahasannya adalah kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan lafadz atau

arti dari kata seperti signifikasi amar adalah wajib dan signifikasi larangan adalah

haram.2 Dan usȗl al-fiqh, atau dasar-dasar hukum Islam, menguraikan tentang

indikasi-indikasi dan metode deduksi hukum-hukum fikih dari

sumber-sumbernya. Indikasi-indikasi ini terutama ditemukan dalam al-Quran dan Sunnah

yang merupakan sumber pokok dari syariah.3 Di antara materi yang termasuk

dalam fikih adalah menyelami tujuan syariah, mengetahui rahasia-rahasia serta

1

. Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam Membongkar Konsep aL-Istiqra’

aL-ma’nawi al-Syâthibî. (Jogjakarta:Ar-Ruzz Media, 2008), h. 79.

2

. Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawâ’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Radar Jaya Offset 2009, Cet. kedua), h. 64.

3

(11)

2

illah-„illah (sebab)-nya, mengaitkan antara satu bagian dengan yang lain,

mengembalikan cabang-cabang pada aslinya, mengembalikan pula bagian-bagian

terkecil pada keseluruhannya, tidak berhenti pada zahirnya saja, dan tidak hanya

terikat pada arti tekstualnya.4

Mengenai sumber hukum Islam, diriwayatkan al-Baihaqi, bahwa Umar r.a

pernah mengirim surat intruksi kepada Syuraih yang isinya antara lain, “Apabila

engkau menghadapi suatu masalah, sementara masalah itu terdapat dalam kitab

Allah, maka putuskan masalah itu dengannya, dan jangan seorang pun dapat

memalingkan keputusanmu darinya. Apabila masalah itu tidak dapat dalam kitab

Allah, tetapi terdapat dalam Sunnah Rasulullah SAW, maka putuskanlah masalah

itu dengannya. Jika masalah itu tidak terdapat dalam Kitab Allah juga Sunnah

Rasulullah SAW, maka putuskanlah dengan apa yang telah diputuskan oleh

imam-imam (para pemimpin) yang mendapat petunjuk. Jika tidak dalam

Kitab-Nya, Sunnah Rasulullah SAW maupun dalam keputusan para imam yang

mendapat petunjuk, maka anda bisa memilih di antara dua alternatif. Pertama,

berijtihad dengan pendapatmu. Kedua, meminta pertimbangan kepadaku. Aku

yakin anda meminta pertimbangan kepadaku tentu hanya akan membuat anda

lebih selamat.5”

Dari Hadis di atas dapat disimpulkan, bahwasanya sumber hukum Islam

mulai dari al-Quran, Sunnah Rasulullah SAW, lalu ada yang disebut dengan

ijtihad, metode inilah yang kebanyakan digunakan oleh ulama fikih dalam

4

. Yusuf Qardawî, Fikih Prioritas Urutan Amal yang Terpenting dari yang Penting,

Penerjemah Moh. Nurhakim (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 80. 5

(12)

3

menetapkan suatu hukum. Dalam berijtihad, seorang mujtahid terkadang

menyampaikan bunyi lafaz dalam teks-teks syariah dan memberinya pengertian

baru, meskipun asing bagi lafaz itu. Cara ini disebut dengan metode maknawi,

suatu cara yang banyak digunakan ahli qiyâs, istihsân, istislâh.6

Tujuan-tujuan syariah ialah tujuan akhirnya serta rahasia-rahasia yang

diletakkan oleh Allah di dalam setiap ketentuan hukumnya. Dengan demikian

maka syariah itu pada dasarnya untuk mewujudkan tujuan umum dalam alam

nyata yaitu membahagiakan individu dan jama‟ah, memelihara aturan serta

menyemarakan dunia dengan segenap saran yang akan menyampaikannya kepada

jenjang-jenjang kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang paling

menonjol.7 Sesungguhnya norma perilaku ideal dan jalan hidup lurus yang sesuai

dengan syariah, memiki ruang lingkup dan tujuan yang jauh lebih luas dari pada

tata hukum biasa dalam sistem kehidupan hasil pemikiran barat. Melalui proses

ini, syariah bertujuan mengatur hubungan antar manusia dengan Allah, hubungan

manusia dengan sesama dan hubungan manusia dengan alam serta lingkungannya.

Dengan asusmsi inilah, maka hukum syariah tak dapat dipisahkan dengan aspek

akhlak yang Islami (al-akhlâqu al-karîmah).8 Dalam tujuan hukum syarak, yang

merupakan tujuan puncak yang hendak dicapai, yang harus terdapat di dalam

setiap hukum Islam, ialah maslahah (kemaslahatan). Maslahah Islâmiyah yang

diwujudkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nas-nas

6

. Hamka Haq, Falsafat Usȗl al- Fiqh, (Ujung Pandang: Yayasan Al-Ahkam, 1998), h.

203. 7

. Wahbah Al-Zuhaylî, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam Studi Banding dengan Hukum Positif, Penerjemah Said Agil Husain al-Munawar, M. Hadri Hasan (Ciputat Jaksel: Gaya Media Pratama 1997, Cet. Pertama), h. 47.

8

(13)

4

agama adalah maslahah hakiki. Maslahah ini mengacu kepada pemeliharaan

terhadap lima hal, yaitu memelihara: agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Ini

disebabkan dunia, tempat hidup manusia hidup, ditegakkan di atas pilar-pilar

kehidupan yang lima itu. Tanpa terpeliharanya lima hal ini tidak akan tercapai

kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.9

Kemaslahatan hidup duniawi maupun ukhrawi, baik untuk diri sendiri

maupun orang lain (dalam kasus ini keluarga) harus sama-sama diraih. Dengan

demikian, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih

kemaslahatan bagi dirinya apabila hal itu dapat menimbulkan mudarat bagi yang

lain. Demikian juga, tidak dibenarkan seseorang melakukan sesuatu untuk meraih

kemaslahatan ukhrawi dengan mengabaikan kemaslahatan duniawi, atau

sebaliknya.10

Dalam hal ini penulis mencoba untuk menganalisis segi maslahah yang

ada dalam fatwa MUI tentang pemilu. Fatwa adalah hasil ijtihad ulama yang

mempunyai kompetensi dalam hal ini. Seperti apa yang dibangun oleh Syâfi‟i,

sekali Syâfi‟i telah membangun landasan tekstual otoritatif bagi ijtihâd (qiyâs), ia

membatasi cakupan metode ini. Jelas, ketika al-Quran ataupun Sunnah telah

memberikan solusi hukum bagi sebuah persoalan tertentu, intervensi tidak

dibutuhkan. Akan tetapi, ketika muncul sebuah kasus baru di mana teks tidak

memberikan suatu solusi, melakukan ijtihad bukan saja menjadi kebutuhan,

melainkan kewajiban. Di dalam ketiadaan sebuah solusi tekstual yang telah

9

. Muhammad Abȗ Zahrah, Usȗl al-Fiqh, penerjemah Saefullah Ma‟sum, Slamet Basyir

dkk, (Pasar Minggu: Pustaka Firdaus, 2014, Cet. Ketujuh Belas), h. 579. 10

(14)

5

diformulasikan, seorang ahli fikih harus mencari kasus yang tekstual yang sama

untuk mencari solusi yang diberikan.11

Pemilu merupakan wadah untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan

duduk di kursi pemerintahan, pada pemilu ini ada mekanisme dalam menentukan

pilihan bagi masyarakat yang mempunyai hak pilih tersebut. Sedangkan

pengertian pemilu yang dijelaskan dalam fatwa MUI tentang pemilu adalah upaya

untuk memilih pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi

terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan kepentingan

bangsa. Dan dasar penetapan fatwa ini adalah firman Allah SWT:



















/ ءاسنلا( 4:85 )

Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruhmu supaya menyampaikan amanat

kepada ahlinya. Apabila kamu menetapkan keputusan di antara manusia hendaklah menetapkan dengan dalil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

Ayat di atas menjelaskan tentang perintah Allah agar menyampaikan

amanat kepada ahlinya, meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan

pengembalian kunci Ka‟bah, karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan

oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau

mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana Hadis Nabi, maka hukum ayat

ini mencakup segala jenis amanat yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu,

Ibnu Abbas berkata, “Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni,

11

. Wael B. Hallaq, Sejarah Teori Hukum Islam Pengantar Untuk Usul al-Fiqh Mazhab

(15)

6

amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada

ahlinya.”

Amanat yang dijelaskan dalam ayat di atas merupakan dasar penetapan

fatwa MUI tentang pemilihan umum, dan amanat ini harus diberikan kepada yang

pantas menerimanya, karena demi kemaslahatan semua rakyat di Indonesia.

Selanjutnya penulis ingin mengkaji segi maslahah yang ada dalam fatwa ini

dengan menggunakan teori maslahah al-Syâtibî yang menjelaskan tentang

maqâsid syarîah beserta pengertian maslahah. Untuk itu penulis termotivasi

mengkaji permasalahan dalam skripsi yang berjudul “REKOMENDASI MUI

TENTANG PEMILIHAN UMUM MENURUT TEORI MASLAHAH AL-SYȂTHIBȊ”

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan tidak berbeli-belit dan tidak berujung, maka penulis

membatasi masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini seputar metode penetapan

fatwa MUI mengenai pemilihan umum. Adapun hukum Islam yang dimaksud di

sini dilihat dari teori maslahah al-Syâtibî.

Setelah membatasi pembahasan, maka Penulis membuat rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI Tentang

Pemilu ?

2. Bagaimana Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan

(16)

7

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konsep maslahah dalam Rekomendasi MUI mengenai

Pemilu

2. Untuk mengetahui Relevansi Rekomendasi MUI Tentang Pemilu dengan

teori maslahah al-Syâthibî

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

1. Bagi Program Studi PMH/Fakultas Syariah dan Hukum

Memberikan sumbangan Karya Ilmiah dan menambah literatur

perpustakaan atas tinjauan teori maslahah al-Syâtibî mengenai

Rekomendasi MUI tentang pemilu.

2. Bagi penulis

Untuk menambah khazanah keilmuan bagi penulis serta pembentukan pola

berpikir kritis untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana

syariah.

D.Review Studi Terdahulu

Tinjauan pustaka berfungsi untuk mengetahui apakah hal yang akan di

teliti tersebut sudah pernah diteliti sebelumnya atau sama sekali belum pernah

diteliti. Oleh karena itu, untuk menjaga keaslian penelitian ini, penulis telah

melakukan review kepustakaan terlebih dahulu. Ada beberapa penelitian terdahulu

yang mengangkat pembahasan yang hampir sama dengan yang diteliti oleh

(17)

8

perbedaan dari sudut pembahasan maupun objek kajian di dalam penelitian ini.

Adapun penelitian tersebut di antaranya:

1. Fenomena golput di Indonesia pasca orde baru (studi kasus pada pemilu

2004) oleh Acu Nurhidayat dalam skripsi ini hanya menjelaskan masalah

golput, sejarah pemilu di Indonesia dan hanya menganalisis pada pemilu

2004. Namun sebagai pembeda, penulis membahas pemilu mulai dari

pengertian, sistem pemilu dan gambaran umum pemilu di Indonesia serta

lebih cenderung membahas Rekomendasi MUI tentang Pemilu, mulai dari

awal terbentuknya, dasar penetapannya teks tersebut. Dengan melihat

relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî dengan rekomendasi Fatwa ini.

Karena menurut hasil wawancara penulis dengan ketua komisi fatwa MUI

pusat, ada relevansi antara keduanya. Dari segi maslahah duniawi dan

maslahah ukhrawi.

2. Pelaksanaan Pemilihan Umum dalam Sejarah Nasional Indonesia oleh

Friska Friyati pada tahun 2005, dalam skripsi ini dijelaskan mengenai

sistem pelaksanaan Pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru,

namun tidak dijelaskan secara jelas mengenai pengertian pemilu, maka

yang menjadi perbedaan dengan skripsi yang ingin penulis angkat ialah

penulis sedikit menjelaskan mengenai makna dari pemilu itu sendiri dan

lebih condong ke penelitian Rekomendasi MUI tentang Pemilu dari segi

maslahahnya.

Maka dengan melihat perbandingan objek kajian di atas dengan penelitian

(18)

9

lebih memfokuskan penelitian terhadap kemaslahatan yang ada dalam rekomedasi

MUI tentang Pemilu ini serta melihat relevansi antara teori maslahah al-Syâtibî.

E.Metode Penelitian

Metode yang dalam hal ini diartikan sebagai salah satu cara yang harus

dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu,

sedangkan penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan,

dan menguji suatu pengetahuan, usaha dimana dilakukan dengan menggunakan

metode-metode tertentu. Adapun metode yang akan penulis gunakan antara lain

adalah:

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan oleh peneliti adalah deskriptif-analisis

yang berusaha memberikan pemecahan masalah dengan cara

mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasikan, menganalisa,

mengevaluasi, dan menginterpretasikannya.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian

kepustakaan (library reseach). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk

mencari data melalui buku-buku sebagai literatur yang berkaitan dengan

persoalan yang dibahas, seperti karya tulis skripsi, majalah, koran serta

bahan-bahan lainnya yang dapat mendukung judul skripsi ini. Adapun

metode yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif. Penelitian

(19)

10

berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang

dapat diamati.12

3. Sumber dan Kriteria Data Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua sumber yaitu:

a. Sumber Primer, yaitu berupa buku Fatwa MUI mengenai pemilihan

umum dan buku-buku usȗl al-fiqh, kitab al-Syâtibî, buku-buku

mengenai pemilu.

b. Sumber Sekunder, yaitu memberikan penjelasan dan menguatkan data

primer yang menyangkup karya tulis berupa, koran, majalah, jurnal,

maupun data dari internet (website).

Sedangkan jenis data dalam penelitian ini berupa bahan pustaka,

dokumen, keadaan, atau yang bercorak individual atau lembaga.

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, Penulis menganalisis buku-buku,

dokumen, naskah (studi pustaka) yang menjelaskan tentang teori maslahah

al-Syâthibî, buku-buku usȗl al-fiqh dan konsep maslahah dalam Fatwa

MUI mengenai Pemilihan Umum.

5. Teknik Penulisan

Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012”

12

. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

(20)

11

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini disusun dalam lima bab, di mana pada tiap-tiap

bab terdiri dari beberapa sub bab. Sistematika penulisan merupakan variasi

ringkas secara garis besar mengenai hal pokok yang dibahas guna mempermudah

dalam memahami dan melihat satu bab dengan yang lainnya. Adapun uraian pada

setiap bab adalah sebagai berikut:

1. Bab Pertama merupakan pendahuluan yang memuat di dalamnya latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

2. Bab Kedua merupakan kajian teoritis yang menjelaskan tentang

teori-teori yang digunakan sebagai dasar pembahasan yaitu mengenai MUI

dan pengertian pemilu secara umum.

3. Bab Ketiga menguraikan tentang definisi maslahah serta

pembagianya, pandangan al-Syâthibî dan ulama lainnya mengenai

maslahah, serta contoh penerapan maslahah.

4. Bab Keempat menguraikan tentang hasil penelitian dan pembahasan,

yaitu mengenai teks Rekomendasi MUI tentang Pemilu dan

relevansinya dengan teori maslahah al-Syâthibî.

5. Bab Kelima merupakan penutup yang berisi tentang kesimpulan dan

(21)

12 BAB II

SEKILAS TENTANG MUI DAN PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA

A. Sekilas tentang MUI

Kemajuan dalam bidang Iptek dan tuntutan pembangunan yang telah

menyentuh seluruh aspek kehidupan, di samping membawa berbagai kemudahan

dan kebahagiaan, menimbulkan sejumlah perilaku dan persoalan-persoalan baru.

Cukup banyak persoalan yang beberapa waktu lalu tidak pernah dikenal, bahkan

tidak pernah terbayangkan, kini hal itu menjadi kenyataan.

Di sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam di bumi Nusantara ini

semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajaran dan

keniscayaan jika setiap timbul persoalan baru, umat berhak mendapatkan jawaban

yang tepat dari pandangan ajaran Islam. Telah menjadi kesadaran bersama bahwa

membiarkan persoalan tanpa ada jawaban dan membiarkan umat dalam

kebingungan tidak dapat dibenarkan, baik secara i’tiqadi maupun secara Syar’i.

Oleh karena itu, para alim ulama dituntut untuk segera memberikan jawaban dan

berupaya menghilangkan penantian umat akan kepastian ajaran Islam berkenaan

dengan persoalan yang mereka hadapi.13

Maka penulis akan membahas secara singkat seputar sejarah MUI dan

produk-produk MUI berupa fatwa dan lainnya.

13

(22)

13

1. Sejarah MUI14

Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun

para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak

dan langkah-langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama.

Mejelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan

tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah

para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air.

Antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26

Propinsi di Indonesia, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas

Islam tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti,

Al-Washliyah, Matla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI, dan al-Ittihadiyah, 4 orang

ulama dari dinas Rohani Islam, AD, AU, AL dan POLRI serta 13 orang

tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah

tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat

bermusyawarahnya para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang tertuang

dalam sebuah “PIAGAM BERDIRINYA MUI”, yang ditandatangani oleh seluruh

peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional MUI.

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah

berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi

bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang

peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat.

14

(23)

14

Ulama Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa mereka adalah pewaris

tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). Maka mereka terpanggil untuk

berperan aktif dalam membangun masyarakat melalui wadah MUI, seperti yang

pernah dilakukan oleh para ulama pada zaman penjajahan dan perjuangan

kemerdekaan. Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tangtangan global

yang sangat berat. Kemajuan sains dan teknologi yang dapat menggoyahkan batas

etika dan moral, serta budaya global didominasi Barat, serta pendewaan

kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas

masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.

Selain itu, kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam

pikiran keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi

politik, sering mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber

pertentangan di kalangan umat Islam sendiri. Akibatnya umat Islam dapat terjebak

dalam egoisme kelompok (ananiyah hizbiyah) yang berlebihan. Oleh karena itu

kehadiran MUI, makin dirasakan kebutuhannya sebagai sebuah organisasi

kepemimpinan umat Islam yang bersifat kolektif dalam rangka mewujudkan

silaturahmi, demi terciptanya persatuan dan kesatuan serta kebersamaan umat

Islam.

Dalam perjalanannya, selam dua puluh lima tahun Majelis Ulama

Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zua’ma dan cendekiawan

muslim berusaha untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam

dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridoi Allah

(24)

15

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi

terwujudnya ukhuwah Islamiyah dan kerukunan antar umat beragama dalam

memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta menjadi penghubung antara

ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan

pemerintah guna mensukseskan pengbangunan nasional, meningkatkan hubungan

serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslim dalam

memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam

dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara tibal balik.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima

fungsi dan peran utama MUI yaitu:

A. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)

B. Sebagai pemberi fatwa (Mufti)

C. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al-Ummah)

D. Sebagai gerakan Islah wa al-Tajdid

E. Sebagai penegak amar ma’ruf dan nahi munkar

Selanjutnya, penulis akan membahas sedikit mengenai produk-produk

MUI dari awal didirikannya sampai saat ini.

2. Produk MUI

Majelis Ulama Indonesia yang merupakan wadah atau majelis yang

menghimpun para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim Indonesia, telah

membuat produk berupa ketetapan-ketetapan seperti fatwa, buku, majalah dan

sertifikasi halal bagi produk makanan dan lainnya. Selanjutnya penulis akan

(25)

16

a. Fatwa

Fatwa adalah jawaban atau penjelasan dari ulama mengenai masalah

keagamaan dan berlaku untuk umum. Sedangkan fatwa MUI adalah fatwa tentang

suatu masalah keagamaan yang telah disetujui oleh anggota Komisi dalam rapat.15

Fatwa MUI telah dimuat dalam sebuah buku tentang Himpunan Fatwa-Fatwa

MUI sejak tahun 1975.

b. Sertifikasi Halal16

Selain fatwa, MUI juga mengeluarkan sertifikat halal bagi industri

pengolahan seperti pangan, obat, kosmetika, Rumah Potong Hewan (RPH),

restoran, maupun industri jasa seperti distributor, transporter. Maka bagi yang

ingin mendapatkan sertifikasi halal, harus memenuhi persyaratan sertifikasi halal

yang tertuang dalam Buku HAS 2300 (kebijakan, prosedur, dan kriteria).

Perusahaan bebas untuk memilih metode dan pendekatan yang diperlukan dalam

menetapkan SJH, asalkan dapat memenuhi 11 kriteria SJH, di antara lain yaitu:

kebijakan halal, tim manajemen halal, pelatihan dan edukasi, bahan, produk dan

lainnya.

Secara umum prosedur sertifikasi halal melalui beberapa tahapan yaitu:

Pertama, perusahaan yang mengajukan, dapat melakukan pendaftaran secara

online melalui website LPPOM MUI, Kedua, mengisi data pendaftaran, Ketiga,

membayar biaya pendaftaran, Keempat, mengisi dokumen yang dipersyaratkan,

Kelima, pemeriksaan kecukupan dokumen dan penerbita sertifikat halal.

15

. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia sejak 1975 pada Metode Penetapan Fatwa, h. 3.

16

. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia,

(26)

17

c. Majalah

Sebagai metode dakwah MUI tidak hanya menetapkan fatwa dan

sertifikat halal, MUI menerbitkan sebuah majalah sebagai bahan bacaan yang

bermanfaat bagi umat Islam khususnya. Seperti Majalah Mimbar Ulama edisi

Januari 2014, dalam majalah ini terdapat banyak berita-berita baru seperti kabar

larang jilbab bagi Polwan, para panghulu mogok alias tidak mau menikahkan di

hari libur dan lainnya.17

d. Rekomendasi

Rekomendasi yang dimaksud adalah rekomendasi hasil Musyawarah

Nasional (Munas), seperti contoh fatwa yang tentang wajibnya umat Islam

memilih Presiden dan Wakil Presiden dan Kepala Daerah yang muslim.18

e. Buku terbitan MUI

Selain majalah, MUI juga menerbitkan sebuah buku seperti Himpunan

Fatwa MUI yang di dalamnya dimuat fatwa-fatwa MUI sejak tahun 1975, lalu

Himpunan Fatwa DSN-MUI mengenai fatwa-fatwa tentang ekonomi Syariah, dan

Daftar Belanja Produk Halal yang berisi tentang daftar produk yang sudah

mendapat sertifikasi halal dari LPPOM-MUI.19

17

.Ahmad Thaha, Majalah Mimbar Ulama edisi Januari 2014, artikel diakses pada 02 Oktober 2015 dari mui.or.id/homepage/berita/berita-singkat/majalah-mimbar-ulama-edisi-januari-2014.html.

18

(27)

18

B. Pemilihan Umum

Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki

kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Sedangkan kekuasaan

adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk memengaruhi perilaku

seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.20

Sebagai Negara yang berdemokrasi, Indonesia termasuk dari Negara-negara yang

menggunakan sistem pemilu dalam sistem kepemerintahannya. Sedikit pengertian

mengenai pemilu yaitu merupakan suatu proses memilih orang untuk mengisi

jabatan-jabatan politik tertentu, seperti presiden, anggota DPR dan DPD,

gubernur, bupati/walikota dan kepada desa.21 Pemilihan umum di Indonesia telah

diadakan sebanyak 11 kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992,

1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014, serta Pemilihan umum di Indonesia menganut

asas "LUBER" yang merupakan singkatan dari "Langsung, Umum, Bebas dan

Rahasia". Asas "Luber" sudah ada sejak zaman orde baru.

 "Langsung" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara

langsung dan tidak boleh diwakilkan.

 "Umum" berarti pemilihan umum dapat diikuti seluruh warga negara yang

sudah memiliki hak menggunakan suara.

 "Bebas" berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada

paksaan dari pihak manapun.

20

. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, Cet. Pertama), h. 17.

21

(28)

19

 "Rahasia" berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya

diketahui oleh si pemilih itu sendiri.

Kemudian di era reformasi berkembang pula asas "Jurdil" yang

merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas "jujur" mengandung arti bahwa

pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan

bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan

kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk

menentukan wakil rakyat yang akan terpilih. Asas "adil" adalah perlakuan yang

sama terhadap peserta pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun

diskriminasi terhadap peserta atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat

tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara

pemilu.22 Selanjutnya, penulis akan membahas hal-hal yang menyangkut masalah

pemilu, khususnya di Indonesia.

1. Pengertian Pemilu

Dalam review studi, penulis mengambil contoh sebuah skripsi yang ditulis

oleh Acu Nurhidayat yang membahas sejarah pemilihan umum nasional

Indonesia, yang mana penulis dalam skripsinya menjelaskan mengenai sistem

pemilu dari tahun 1955 sampai dengan masa orde baru, serta membandingkan

tentang sistem pemilu pada masa orde lama sampai dengan masa orde baru,

namun tidak dijelaskan pengertian pemilu itu sendiri, maka sebagai pembeda dari

22

(29)

20

skripsi sebelumnya penulis mencoba untuk sedikit menjelaskan makna dari

pemilu.

Dalam UU No. 22/2007 disebutkan bahwasanya pemilihan umum adalah

sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.23 Adapun pendapat lain tentang makna pemilihan umum yaitu, salah

satu hak azasi warga negara yang sangat prinsipil. Karenanya dalam rangka

pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk

melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang

berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk

menentukannya.24 Yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat, yaitu rakyat

mempunyai kekuasaan tertinggi, dan yang menentukan arah tujuan suatu

pemerintahan. Suatu negara yang penduduknya sedikit dan luas wilayahnya tidak

terlalu besar, kedaulatan rakyat tidak dapat berjalan dengan semurni-murninya.

Apalagi dalam negara modern di mana jumlah penduduknya sudah banyak,

wilayahnya cukup luas maka tidak mungkin meminta pendapat rakyat seorang

demi seorang dalam menentukan jalannya pemerintahan.25

Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem

demokrasi. Oleh sebab itu tujuan Pemilihan Umum untuk mengimplementasikan

23

. UU No.22/2007 tentang Pemilu, pdf, h. 3 24

. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (T.tp.,

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, 2010, Cet. Kedua Belas), h. 329

25

(30)

21

prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-wakil rakyat di Badan

Perwakilan Rakyat.26 Karena luasnya wilayah daerah dan banyaknya penduduk

yang hidup di dalamnya, maka demokrasi secara langsung tidak mungkin

dilaksanakan lagi. Yang ada hanya demokrasi yang diwakilkan atau demokrasi

tidak langsung.27 Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum tidak

merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran

beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi

dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.28 Kenyataannya, apapun

alasannya hanya pemerintahan yang representatiflah yang dianggap memiliki

legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur pemerintahan. Sehingga

dengan melalui pemilu, klaim jajaran elit pemerintahan bekerja untuk dan atas

nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.29 Sebagaimana hasil wawancara,

syarat-syarat yang ideal bagi seorang pemimpin menurut pandangan MUI ialah

dari segi kapabilitas, kompetensi, keahlian, dan mampu dalam kapasitasnya.30

2. Tujuan Pemilihan Umum

Demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang dibingkai dengan

norma-norma konstitusi (UUD Pasal 1 ayat 2). Oleh karena itu, agar derap demokrasi

dapat berputar sesuai sumbu konstitusi, maka demokrasi itu harus dijaga.

26

. B. Hestu Cipto Handoyono, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asassi Manusia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2003, Cet. Pertama), h. 207.

27

. Moh. Kusnardi, Harmaly Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, hal. 129-130.

28

. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, h. 461. 29

. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 249. 30

(31)

22

Pelaksanaan demokrasi konstitusi terlihat dalam kegiatan pemilihan umum,

pembentukan aturan dan pelaksanaan kewenangan lembaga negara. Salah satu

ciri negara demokrasi yaitu adanya pelaksanaan pemilihan umum di negara

tersebut, untuk Republik Indonesia paling tidak ada tiga macam tujuan pemilihan

umum itu. Ketiga macam tujuan pemilihan umum itu adalah:31

1. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

tertib;

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat; dan

3. Dalam rangka melaksanakan hak-hak azasi warga negara.

Kemampuan seseorang ada batasnya. Karena itu adalah suatu hal yang

sangat wajar kalau selalu terjadi pergantian pemerintahan. Pergantian

pemerintahan di negara-negara totaliter berbeda dengan apa yang terjadi di

negara-negara demokrasi. Di negara-negara totaliter pergantian pemerintahan itu

ditentukan oleh sekelompok orang. Tidak demikian halnya dalam negara

demokrasi. Di negara ini pergantian pemerintahan itu ditentukan oleh rakyat

caranya adalah mengadakan pemilihan umum.

Karena itu pemilihan umum disebutkan bertujuan untuk memungkinkan

terjadinya peralihan pemerintahan. Kata memungkinkan di sini tidak berarti

bahwa setiap kali dilaksanakan pemilihan umum harus ada pergantian

pemerintahan, sebab mungkin saja terjadi suatu partai politik dalam sistem

pemerintahan parlementer pemerintahan untuk dua, tiga, atau empat kali, atau

seorang menjadi Presiden di Amerika Serikat untuk dua kali masa jabatan. Yang

31

(32)

23

dimaksudkan dengan kata memungkinkan di sini adalah bahwa pemilihan umum

itu harus membuka kesempatan sama untuk menang bagi tiap peserta. Pemilihan

umum yang demikian itu hanya mungkin terjadi apabila dilaksanakan dengan

jujur. Di samping itu masih diperlukan syarat lain untuk memungkinkan

terjadinya peralihan pemerintahan itu, yaitu adanya Majelis Permusyawaratan

Rakyat yang susunan anggotanya sesuai dengan kehendak Undang-Undang Dasar

1945.

Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam Pembukaan dan pasal 1 ayat

(2) Undang-Undang Dasar 1945, maka Republik Indonesia menganut azas

kedaulatan rakyat. Bahwa kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain

tercermin dengan dilaksanakannya pemilihan umum dalam waktu-waktu tertentu.

Karena itu adalah dalam rangka untuk memberikan kesempatan kepada warga

negara untuk melaksanakan haknya.

Sejak lahir ke dunia seseorang telah mempunyai hak. Orang itu mungkin

warga negara dari suatu negara atau berstatus orang asing di negara tempat dia

berdomisili. Sebagai warga negara maka salah satu hakya dalam bidang politik

yang terpenting adalah hak untuk memilih siapakah wakilnya itulah yang akan

menjalankan kedaulatan yang dipunyainya. Di samping itu terbuka pula baginya

kesempatan untuk duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat sebagai wakil yang

dipercayakan oleh para pemilihnya untuk menjalankan kedaulatan yang dipunyai

oleh rakyat. Dilihat dari sudut kelompok warga negara yang tergabung dalam

suatu organisasi partai politik, maka pemilihan umum itu sangat besar artinya bagi

(33)

24

seberapa besar sesungguhnya para pendukung. Apabila terbuka bagi mereka untuk

menang, maka pemilihan umum itu adalah suatu media untuk menjalankan

programnya.

Karena itu tidak berlebihan kalau dikatakan, apabila suatu pemerintahan

telah memutuskan untuk tidak melaksanakan pemilihan umum, maka orang akan

mengatakan demokrasi di negara itu telah mulai sirna.

Dari uraian di muka dapat diambil kesimpulan bahwa pemilihan umum

tidak saja penting untuk warganegara, partai politik, tapi juga pemerintah sendiri.

Bagi pemerintah yang dihasilkan dari suatu pemilihan umum yang jujur berarti

bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.

Sebaliknya kalau pemeritahan yang dibentuk dari hasil pemilihan yang tidak atau

kurang jujur maka dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.

Dilihat dari sudut pemilihan umum, maka ketiga tujuan itu baru dapat

tercapai kalau pelaksanaan pemilihan umum benar-benar jujur, sehingga setiap

warga negara yang berhak memilih memberikan pilihannya sesuai dengan hati

nuraninya. Dan, adanya ketentuan mengenai pemilihan umum dalam UUD 1945

dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilu

sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.32

32. Ni’matul Huda,

(34)

25

3. Sekilas tentang Sistem Pemilihan Umum

Karena pemilihan umum adalah salah satu cara untuk menentukan

wakil-wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, maka

dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum.

Sistem pemilihan umum berbeda satu sama lain, tergantung dari sudut

mana pandangan ditunjukan terhadap rakyat, apakah ia dipandang sebagai

individu yang bebas untuk menentukan pilihannya, dan sekaligus mencalonkan

dirinya sebagai calon wakil rakyat, ataukah rakyat hanya dipandang sebagai

anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan siapa wakilnya

yang akan duduk dalam Badan Perwakilan Rakyat, atau juga tidak berhak untuk

mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sistem pemilihan umum dapat

dibedakan dua macam:

a. Sistem pemilihan mechanis;dan

b. Sistem pemilihan organis.

ad.a. Sistem pemilihan mechanis.

Pandangan mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa

individu-individu yang sama. Aliran Liberalisme, Sosialisme dan Komunisme semuanya

berdasarkan pandangan mechanis ini. Bedanya bahwa Liberalisme mengutamakan

individu sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks

hubungan-hubungan antar individu yang bersifat kontraktuil, sedangkan

Sosialisme dan khususnya Komunisme mengutamakan totalitet kolektif

(35)

26

semua aliran di atas mengutamakan individu sebagai pengenali hak pilih aktif dan

memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu massa individu-individu yang

masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam pemilihan

umum.

ad.b. Sistem pemilihan organis

Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah

individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup

berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi,

industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan) dan lembaga-lembaga

sosial (Universitas). Masyarakat dipandangnya sebagai suatu organisme yang

terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam

totalite organisme itu, seperti persekutuan hidup itulah yang diutamakannya

sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali hak

untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyrakat.

Menurut sistem pemilihan mechanis, partai-partai yang mengorganisir

pemilih-pemilih dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party atau Multy

Party (Liberalisme Sosialisme) atau Uni Party (Komunis). Sedangkan menurut

sistem pemilihan organis, partai-partai politik tidak perlu dikembangkan, karena

pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam

lingkungannya sendiri.33

33

(36)

27

4. Gambaran Umum Pemilu di Indonesia

Sejak kemerdekaan hingga tahun 2004 bangsa Indonesia telah

menyelenggarakan sembilan kali pemilihan umum, yaitu pemilihan umum 1955,

1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari pengalaman sebanyak

itu, pemilihan umum 1955 dan 2004 mempunyai kekhususan atau keistimewaan

dibanding dengan yang lain.

Sebenarnya pemilihan umum sudah direncanakan mulai bulan Oktober

1945, tetapi baru dapat dilaksanakan oleh kabinet Burhanudin Harahap pada tahun

1955. Pada pemilihan umum itu pemungutan suara dilakukan dua kali, yaitu satu

kali untuk memilih anggota DPR pada bulan September, dan satu kali untuk

memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem pemilihan yang

digunakan ialah sistem proporsional. Pada waktu itu sistem itu, sebagaimana yang

dicontohkan oleh Belanda, merupakan satu-satunya sistem pemilihan umum yang

dikenal dan dimengerti oleh pemimpin negara.

Pemilihan umum diselenggarakan dalam suasana khidmat, karena

merupakan pemilihan umum pertama dalam suasana kemerdekaan. Pemilihan

umum berlangsung sangat demokratis; tidak ada pembatasan partai-partai, dan

tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai-partai

sekalipun kampanye berjalan seru, terutama antara Masyumi dan PNI. Pula

administrasi berjalan lancar dan jujur.34 Patut dicatat dan dibanggakan bahwa

pemilu yang pertama kali tersebut berhasil diselenggarakan dengan aman, lancar,

jujur, dan adil demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai

34

(37)

28

pihak, termasuk dari negara-negara asing. Yang menarik dari Pemilu 1955 adalah

tingginya kesadaran berkompetisi secara sehat.35 Pemilihan Umum Indonesia

1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia dan diadakan pada tahun

1955. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling

demokratis.36

Pemilu-Pemilu berikutnya dilangsungkan pada tahun 1977, 1982, 1987,

1992, dan 1997. Pemilu-Pemilu ini diselenggarakan dibawah pemerintahan

Presiden Soeharto. Pemilu-Pemilu ini seringkali disebut dengan Pemilu Orde

Baru. Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, Pemilu-Pemilu tersebut

hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-Pemilu tersebut

kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya.37 Kondisi Politik menjelang

Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya legitimasi rezim Orde Baru

sebagai akibat bobroknya moralitas para penyelenggara negara melalui penguatan

KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) secara sistematik yang pada gilirannya

mengakibatkan kritis multi-dimensional. Kondisi semacam inilah yang kemudian

mengakibatkan kompromi-kompromi di kalangan elit politik.38 Kompromi yang

adil merupakan salah satu proses yang paling produktif untuk mengatasi konflik

atas dasar konsensus, di mana cara ini diterima oleh semua pihak melampaui

aturan, sasaran, dan hak-hak dasar yang dimiliki setiap orang di masyarakat.39

35

. Titik Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara, h. 262 36

. Redaksi, Sejarah Pemilu 1995 di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015, jam 13.54 dari http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-indonesia-1955.html.

37

. Ibid, di akses hari jumat tgl 5 Juli 2015,

http://www.pemiluindonesia.com/sejarah/pemilihan-umum-orde-baru-1977-1997.html, 38

. B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia, h. 223.

39

(38)

29

Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta dapat

memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang Pilpres

2004 adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Pilpres ini dilangsungkan dalam dua

putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih

dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih presiden yang diwarnai

persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya dimenangi oleh

pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla. Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan

merupakan sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian

kekuasaan tanpa huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini

adalah tidak hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Susilo Bambang

Yudhoyono sebagai presiden. Sedangkan pemilu pada zaman reformasi, seperti

juga di bidang-bidang lain, reformasi membawa beberapa perubahan fundamental.

Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara

bebas, termasuk mendirikan partai baru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam

pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai.

Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia

diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya

presiden dan wakil presiden dipilih melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat

(MPR). Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan

Perwakilan Daerah yang akan mewakili kepentingan daerah secara khusus.

Keempat, diadakan “electoral threshould”, yaitu ketentuan bahwa untuk

pemilihan legislatif setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota

(39)

30

harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau

5% dari perolehan suara secara nasional.40Setiap pemilihan umum mempunyai

azas-azas yang tertentu. Demikian pula pemilihan umum tahun 1955. Dan azas

pemilihan umum itu disebutkan dalam pasal 35 Undang-Undang Dasar 1950 yang

berbunyi: “Kemauan rakyat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan ini

dinyatakan dalam pemilihan berkala yang jujur dan yang dilakukan menurut hak

pilih yang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara yang

rahasia ataupun menurut cara yang menajamin kebebasan mengeluarkan

pendapat”. Dengan demikian azasnya adalah pertama umum yaitu bahwa setiap

warga negara yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan berhak untuk

ikut memilih dan dipilih. Tidak boleh ada perbedaan antara warga negara.

Berkesamaan maksudnya bahwa semua wakil rakyat di Dewan Perwakilan Rakyat

dan Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentunya

harus dipilih melalui pemilihan umum. Dengan sendirinya setiap warga negara

yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan berhak memilih dan dipilih. Tidak

ada sebagian rakyat yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan/ditetapkan

tidak boleh memilih atau dipilih.41

40

. Ibid. h. 483 41

(40)

31

BAB III

MASLAHAH DALAM PANDANGAN Al-SYȂTHIBȊ

A.Pengertian Maslahah

Untuk memahami pandangan ulama tentang al-maslahah, lebih dahulu

perlu dikemukakan penjelasan tentang pengertian al-maslahah. Uraian mengenai

hal-hal ini dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu pengertian secara etimologi

(kebahasaan) dan pengertian secara terminologi/istilahi.

1. Pengertian secara Etimologi

Secara etimologi, pengertian Maslahah (ٌ َحَْصَم) berasal dari kata salaha

(َحََص) dengan penambahan alif di awalnya yang secara arti kata berarti baik lawan

dari kata buruk atau rusak. Maslahah adalah masdar dengan arti kata salâh (ٌحاََص)

yaitu manfaat atau terlepas dari padanya kerusakan. Pengertian maslahah dalam

bahasa Arab adalah perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan

manusia.

Dalam artianya yang umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat

bagi manusia, baik dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan

keuntungan (kesenangan), atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti

menolak kerusakan.42 Sedangkan secara terminologis, para ulama usȗl al-fiqh

termasuk al-Syâthibî telah memberikan beberapa definisi yang berbeda.

42

(41)

32

2. Makna Terminologi

Tidak diragukan lagi bahwa agama Islam diarahkan kepada tujuan-tujuan

yang dikehendaki Penciptanya Yang Maha Bijaksana. Demikianlah hukum Islam

mempunyai tujuan. Tujuan hukum Islam itu menjadi arah setiap perilaku dan

tindakan manusia dalam rangka mencapai kebahagiaan hidupnya dengan mentaati

semua hukum-hukum-Nya.43 Setiap apa yang Ia lakukan ada tujuannya, yakni

untuk kemaslahatan manusia. Tujuan-tujuan Allah tersebut dapat diketahui dari

dua sisi. Pertama, dilihat dari sisi manusia, yakni tujuan-tujuan itu dilihat dari segi

kepentingan manusia atau mukallaf. Kedua, dilihat dari sisi Allah sebagai

pembuat hukum, yaitu apa tujuan Allah membuat hukum-hukum-Nya dilihat dari

pernyataan-Nya mengapa Ia membuat hukum itu.44

Sehingga tujuan puncak yang hendak dicapai di dalam setiap hukum Islam

ialah maslahah (kemaslahatan). Tidak sekali-kali suatu perkara disyariatkan oleh

Islam melalui al-Quran maupun Sunnah melainkan di situ terkandung maslahah

yang hakiki, walaupun maslahah itu tersamar pada sebagian orang yang tertutup

oleh hawa nafsunya.45 Maslahah yang dikehendaki oleh hukum Islam bukanlah

maslahah yang seiring dengan keinginan hawa nafsu. Akan tetapi, maslahah yang

hakiki yang menyangkut kepentingan umum, bukan kepentingan pihak tertentu

(khusus). Maka selanjutnya akan sedikit dibahas mengenai pengertian dan

macam-macam maslahah menurut beberapa pandangan ulama.

43

. Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM-UNISBA, 1995) h. 99.

44

. Ibid, h. 100. 45

(42)

33

a. Al-Ghozâlî

Al-Ghozâlî mengemukakan bahwa prinsipnya maslahah adalah

“mengambil manfaat dan menolak kemudaratan dalam rangka memelihara tujuan

-tujuan syarak.” Ada lima sasaran hukum syarak yaitu: pertama, agar memelihara

agama, diri, akal, keturunan, dan harta. Maka semua hal yang meliputi dalam

menjaga kelima usul di sebut dengan maslahah.46 Hal ini ditempuh melalui

berbagai ragam ibadah yang disyariatkan, yang kesemuanya dimaksudkan untuk

membersihkan jiwa serta memperkokoh kesetiakawanan sosial.47

Namun yang dimaksud dengan maslahah di sini oleh al-Ghozâlî bukan

dalam pengertian kebahasaan yang biasa dipakai dalam masyarakat atau menurut

urf (kebiasaan), yakni berarti manfaat, melainkan dalam pengertian syarak, yakni

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta benda.

Maka suatu kemaslahatan menurut al-Ghozâlî harus sejalan dengan hukum

syarak, meskipun harus atau bertentangan dengan kepentingan. Hal ini disebabkan

karena keterbatasan akal manusia dalam mendeskripsikan sebuah kemaslahatan,

belum lagi pengaruh hawa nafsu yang terkadang bahkan seringkali mendominasi

dan mengalahkan pertimbangan akal manusia. Dengan demikian jika bertentangan

dengan syarak, maka tidak dapat disebut dengan al-Maslahah, melainkan sebuah

mafsadah.

b. Abd al-Wahâb Khallâf

Menurutnya, maslahah adalah tujuan utama al-Syâri‟ dalam mensyariatkan

hukum untuk kemaslahatan manusia di kehidupan ini, yang mendatangkan

46

. Abȗ Hamid Muhammad Bin Muhammad al-Ghazâlî, Al-Mustasfa min i’lmi al-Usȗl

(T.tp., Dar al-Fikri, t.th.,), jilid I, h. 286. 47

(43)

34

manfaat, menjaga dari kemudaratan karena maslahah manusia terdiri dari

perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, maka jika perkara-perkara ini

terjaga, akan terlaksana pula maslahah mereka. Bukti bahwasanya maslahah

manusia tidak terlepas dari tiga perkara ini adalah perasaan dan

penglihatan/pengamatan, karena maslahah setiap diri manusia/secara keseluruhan

terdiri dari perkara-perkara darȗriyyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât, seperti

kebutuhan darȗriyyât mengenai tempat tinggal manusia yang melindungi dari

panasnya matahari, lalu kebutuhan hâjiyyât berupa jendela yang bisa dibuka dan

ditutup sesuai keperluan, dan tahsîniyyât yaitu dengan menghias, dan menyiapkan

perangkat-perangkat untuk istirahat.48

c. Muhammad Abȗ Zahra

Menurutnya, maslahah yang hakiki yang diinginkan oleh Islam adalah

maslahah yang tetap dalam hukum-hukum Islam, yang disebutkan di dalamnya

nas-nas dari al-Quran dan Sunnah, serta yang serupa untuk kemaslahatan yang

mengandung di dalamnya nas-nas, dan semua maslahah yang sesuai dengan sudut

pandang nas-nas adalah memelihara/menjaga kelima perkara yaitu agama, jiwa,

harta, akal dan keturunan, karena kehidupan manusia di dunia terdiri dari kelima

perkara ini, dan tidak sempurna kehidupan manusia kecuali dengan menjaga

kelima perkara tersebut, dan kemuliaan manusia terdapat di dalam

pemeliharaannya.49

48

. Abd Al-Wahâb Khallâf, Ilmu Usȗl al-Fiqh, (T.tp., Dar al-Qolam, 1978, Cet. Kedua Belas), h. 199.

49

(44)

35

Selain dari ketiga pendapat ulama di atas, ada pendapat al-Syâfi‟î tentang

maslahah dalam kaitannya dengan penetapan hukum Islam. Al-Syâfi‟î tidak

memasukan maslahah ataupun al- maslahah al-mursalah dalam urutan al-bayân

(sumber penjelasan hukum) sehingga dapat dipahami bahwa ia tidak menganggap

maslahah sebagai dasar hukum yang berdiri sendiri. Dalam berbagai pernyataan,

al-Syâfi‟î sangat menekankan keterikatan setiap hukum kepada kabar, yakni

Kitab, Sunnah, Ijmâ‟, dan Qiyas. Dengan pandangan bahwa syariah Islam telah

lengkap dan al-Quran merupakan tibyan (penjelasan) bagi segala sesuatu,

al-Syâfi‟î tidak menerima kemungkinan adalanya maslahah yang tidak terselesaikan

dengan nas, baik secara langsung maupun melalui ijtihad yaitu qiyâs.50Namun

menurut para ulama Syafi‟iyah, Imâm al-Syâfi‟î tidak menolak pertimbangan

maslahah dalam ijtihad, sepanjang maslahah itu diperoleh dari dan diakui oleh

nas dan ijmâ’, meskipun hanya pada jenisnya, tetapi ia tidak menerima maslahah

yang sama sekali tidak mendapatkan pengakuan syarak.51

Dengan kata lain dari ketiga pendapat di atas dapat dipahami bahwa esensi

maslahah itu ialah terciptanya kebaikan dan kesenangan dalam kehidupan

manusia serta terhindar dari hal-hal yang bisa merusaknya. Namun demikian,

kemaslahatan itu berkaitan dengan tatanan nilai kebaikan yang patut dan layak

yang memang dibutuhkan oleh manusia.52 Serta tidak ada keraguan di setiap

50

. Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’I, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001, Cet. Pertama), h.128.

51

. Ibid, h.135. 52

(45)

36

penelitian, bahwasanya hukum-hukum syariah Islamiyah didasari dengan

penjagaan/pemeliharaan kemaslahatan para mukallaf.53

B.Penerapan Maslahah

Penerapan maslahah dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting,

karena segala aspek kehidupan manusia selalu mengandung segi kemaslahatan

yang harus diwujudkan agar dapat menjalani kehidupan yang baik sesuai

ketentuan-ketentuan syariah Islam. Di sini penulis mengambil sebuah contoh

realita mengenai penerapan maslahah, yaitu mengenai pencatatan perkawinan

yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab II dasar-dasar perkawinan

Pasal 2 yang berbunyi “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mîtsâqon gholîzon untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.54 Dan perkawinan juga sah,

apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1)

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Lalu pada pasal 5 poin pertama

mengenai agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap

perkawinan harus dicatat.55 Pencacatan perkawinan meskipun secara harfiyah

tidak diatur dalam nas syâri’ dan tidak ada

Gambar

gambaran yang tepat tentang untung dan rugi. Adapun contoh yang berkenaan

Referensi

Dokumen terkait

2015, ‘Efek Asam 2-(3-(Klorometil)Benzoil)Benzoat Terhadap Profil Darah, Hepar dan Lambung Pada Tikus Wistar Jantan Sebagai Pelengkap Uji Toksisitas Subkronis’,

Dari hasil penelitian, dapat dilihat bahwa meskipun besar pengaruh variable pendapatan nasional terhadap variable pembangunan ekonomi relative kecil akan tetapi hal ini

Tingkat profitabilitas Return On Asset mempengaruhi harga saham suatu perusahaan3. Apabila tingkat

Penelitian menggunakan referensi literatur yang berkaitan dengan objek yang dibahas dan dilakukan dengan mengamati karakter animasi komunikasi sosial, sehingga dapat

Parameter yang diamati adalah umur mulai panen jamur, panjang tangkai jamur, diameter tudung jamur, tebal tudung jamur, jumlah tudung/rumpun, bobot segar jamur/panen, bobot

Hal ini menunjukkan bahwa variabel independen (ukuran perusahaan, struktur modal, profitabilitas, dan kompleksitas operasi perusahaan) mampu menerangkan variabel dependen ( audit

Bahasa apa yang Anda gunakan jika bercakap-cakap santai dengan teman- teman sesuku Anda jika ada suku lain (hadirnya pihak ketiga) di rumaha. Bahasa apa yang Anda gunakan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) insiden penyakit virus tular umbi pada masing-masing varietas bawang merah asal Jawa Barat dan Jawa Tengah berturut-turut yaitu varietas