Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun oleh:
NURIS FAKHMA HANANA 109070000002
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
vi
D) Pengaruh Self-esteem dan Kecerdasan Emosi Terhadap Perilaku Prososial Pada Santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta
E) Xiv + 113 Halaman + Lampiran
F) Perilaku prososial merupakan tindakan yang menguntungkan orang lain secara sukarela sehingga menciptakan interaksi yang baik antara individu ataupun kelompok. Namun, saat ini perilaku prososial cenderung menurun. Ini terbukti dari menipisnya kepedulian tiap individu terhadap lingkungan, karena lebih fokus pada kepentingan sendiri (Yusuf dan Listiara, 2012). Keadaan tersebut menurut Sabiq dan Djalali (2012) juga terjadi di pesantren. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku prososial, di antaranya adalah self-esteem, dan kecerdasan emosi. Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh self-esteem (successes, values, aspirations dan defences), kecerdasan emosi (mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, dan keterampilan sosial), serta jenis kelamin dan usia, terhadap perilaku prososial.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan populasi santri di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta kelas satu sampai kelas lima, sebanyak 503 orang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 200 santri. Pengambilan sampel dengan menggunakan teknik probability sampling. Instrumen dalam penelitian ini merupakan adaptasi dari skala perilaku prososial dan self-esteem, yaitu, Prosocial Tendencies Measurement dan The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory. Sedangkan skala pada kecerdasan emosi dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan emosi dari Goleman (1998). Analisis data penelitian menggunakan regresi berganda dengan menggunakan program SPSS versi 16.0. Sedangkan untuk menguji validitas konstruk menggunakan LISREL 8.70.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel self-esteem, kecerdasan emosi, jenis kelamin dan usia secara signifikan mempengaruhi perilaku prososial dengan kontribusi sebesar 35.5 %. Dari sebelas variabel yang diteliti, ada empat dimensi yang berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial, yaitu aspirations, mengenali emosi sendiri, keterampilan sosial dan jenis kelamin.
vii C) Nuris Fakhma Hanana
D) Influence of Self-esteem and emotional intelligence Prosocial Behavior Against Students Boarding School In Jakarta Daarul Rahman
E) Xiv + 113 + Attachment
F) Prosocial behaviors are actions that benefit others voluntarily thus creating a good interaction between individuals or groups. However, this time prosocial behavior tends to decrease. This is evident from the depletion of individual concern for the environment, because it is more focused on their own interests (Joseph and Listiara, 2012). The situation is under Sabiq and Djalali (2012) also occurred at the school. There are several factors that influence prosocial behavior, among which is the self-esteem, and emotional intelligence. This study was conducted to examine the effect of self-esteem (successes, values, aspirations and defenses), emotional intelligence (recognizing emotions, managing emotions, motivating oneself, recognizing emotions in others, and social skills), as well as gender and age, on behavior prosocial.
This study uses a quantitative approach to the population of students in boarding school Daarul Rahman Jakarta grade one to grade five, as many as 503 people. The sample in this study were 200 students. Sampling using probability sampling techniques. Instruments in this study is an adaptation of the scale prosocial behavior and self-esteem, ie, Prosocial Tendencies Measurement and The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory. While the scale of emotional intelligence developed by the researchers based aspects of emotional intelligence Goleman (1998). Research data analysis using multiple regression using SPSS version 16.0. Meanwhile, to test the construct validity using LISREL 8.70.
The results showed that the variables of self-esteem, emotional intelligence, sex and age significantly affect prosocial behavior with a contribution of 35.5%. Of the eleven variables studied, there are four dimensions significantly influence prosocial behavior, ie aspirations, recognizing their own emotions, social skills and sex.
v
Hal-hal terbaik dan terindah di dunia ini tak bisa dilihat
dan disentuh mereka harus dirasakan
-Hellen Keller-
Segala sesuatu yang biasa akan menjadi luar biasa jika
dilakukan dengan cinta dan perasaan
-Hanana-
Karya ini saya persembahkan untuk Kedua
Orang tua saya adik-adik, keluarga besar
Alm. Mbah haji dan eyang kakung.
viii
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “PENGARUH
SELF-ESTEEM DAN KECERDASAN EMOSI TERHADAP PERILAKU PROSOSIAL
PADA SANTRI PONDOK PESANTREN DAARUL RAHMAN JAKARTA”. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad SAW berikut keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam
bentuk sumbangan pikiran, tenaga, waktu, dan do’a yang diberikan kepada penulis. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si, M.Ag beserta seluruh jajaran dekanat lainnya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas terbaik kepada seluruh mahasiswa Psikologi UIN, untuk menjadi lulusan yang berkualitas.
2. Bapak Bambang Suryadi, Ph.D. dan Ibu Layyinah, S.Psi., MSi. yang telah membimbing, memberikan arahan dan saran kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Dra. Netty Hartati, M.Si dosen pembimbing akademik yang telah memberikan pengetahuan, dan dukungan kepada penulis.
4. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan banyak ilmu, pengetahuan, dan bantuannya kepada penulis selama studi di kampus UIN.
ix
juga keluarga besar Kahfi Motivator School, yaitu teman Angkatan 11, serta kakak dan kelas terutama Ka Fitriah AB dan Ka Lina Marlina yang terus menerus mendorong penulis untuk menuntaskan skripsi ini.
7. Kepada keluarga besar Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, KH Syukron Mamun, Ustadz H Umar Faruq, dan Ustadzah Anti yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan pengambilan data di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta. Termasuk para santri Pondok yang sangat kooperatif dalam membantu peneliti selama proses pengumpulan data penelitian.
8. Teman-teman kelas A 2009 Fakultas Psikologi UIN Jakarta, terutama pada
Ajeng Sya’bani, Hawa Nadya Puspita, Siti Kesturi, Risa Pangestu dan Wahyu
Budiani yang selalu memberikan keceriaan, dukungan, kritik dan saran selama perkuliahan.
9. Teman diskusi selama proses skripsi, Ka Adyo, Ka puti, Hani, Azka, Restianie, dan Ayu yang selalu memberikan solusi, motivasi, serta dukungan terbaik dalam penyelesaian skripsi ini.
10.Keluarga besar IMM PK Psikologi (Ka Sarah, Ka Kiki, Mega, Bias, Uswah dan Lala) yang telah mengajarkan arti berorganisasi dan kebersamaan. 11.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu yang
x
menyempurnakan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat untuk penulis pribadi dan siapa saja yang membaca serta berkeinginan untuk mengeksplorasinya lebih lanjut.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 10 Desember 2014
xi
MOTTO DAN LEMBAR PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
1.2.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 8
1.2.1. Pembatasan Masalah ... 8
1.2.2. Perumusan Masalah ... 10
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 11
1.4.Sistematika Penulisan ... 11
BAB 2 KAJIAN TEORI 2.1. Perilaku Prososial ... 12
2.1.1. Definisi perilaku prososial ... 12
2.1.2. Dimensi perilaku prososial ... 13
2.1.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial ... 15
2.1.5. Pengukuran perilaku prososial ... 26
2.2. Self-esteem... 27
2.2.1. Definisi Self-esteem ... 27
2.2.2. Dimensi Self-esteem ... 29
2.2.3. Pengukuran self-esteem ... 34
2.3 Kecerdasan emosi... 35
2.3.1. Definisi kecerdasan emosi... 35
2.3.2. Dimensi kecerdasan emosi ... 36
2.3.4. Pengukuran kecerdasan emosi ... 38
2.4. Kerangka berfikir ... 39
2.5. Hipotesis penelitian ... 43
BAB 3 METODOLOGIPENELITIAN 3.1. Populasi dan Sampel ... 45
3.2. Variabel Penelitian ... 47
3.3. Definisi Operasional Variabel ... 48
3.3. Instrumen Pengumpulan Data ... 49
3.4. Uji Validitas Konstruk ... 56
xii BAB 4 HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Subjek ... 77
4.2. Hasil Analisis Deskripsi ... 78
4.3. Kategorisasi variabel penelitian ... 79
4.4. Uji Hipotesis Penelitian... 85
4.5. Proporsi Varians ... 91
BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI & SARAN 5.1. Kesimpulan ... 95
5.2. Diskusi ... 95
5.3. Saran ... 101
5.3.1. Saran teoritis ... 101
5.3.2. Saran praktis ... 102
DAFTAR PUSTAKA ... 104
xiii
Tabel 3.3 Blue Print Skala Self-Esteem ... 54
Tabel 3. 4 Blue Print Skala Kecerdasan Emosi ... 55
Tabel 3.6 Muatan Item Faktor Altruisme ... 58
Tabel 3.7 Muatan Item Faktor Compliant ... 59
Tabel 3.8 Muatan Item Faktor Emotional ... 60
Tabel 3.9 Muatan Item Faktor Public ... 61
Tabel 3.10 Muatan Item Faktor Anonymous ... 62
Tabel 3.10 Muatan Item Faktor Dire ... 62
Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Successes ... 64
Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Values ... 65
Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Aspiration ... 66
Tabel 3.11 Muatan Item Faktor Defenses ... 67
Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengenali Emosi Sendiri ... 68
Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengelola Emosi ... 69
Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMemotivasi Diri ... 70
Tabel 3.11 Muatan Item FaktorMengenali Emosi Orang lain ... 71
Tabel 3.11 Muatan Item FaktorKeterampilan Sosial ... 72
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 77
Tabel 4.2 Hasil analisis deskriptif ... 78
Tabel 4.3 Pedoman Interpretasi Skor ... 79
Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Perilaku Prososial ... 80
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Self-Esteem ... 80
xiv
Tabel 4.10 Kategorisasi Skor Kecerdasan Emosi ... 83
Tabel 4.11 Kategorisasi Skor Mengenali Emosi Sendiri ... 83
Tabel 4.12 Kategorisasi Skor Mengelola Emosi ... 84
Tabel 4.13 Kategorisasi Skor Memotivasi Diri ... 84
Tabel 4.14 Kategorisasi Skor Mengenali Emosi Orang Lain ... 85
Tabel 4.15 Kategorisasi Skor Keterampilan Sosial ... 85
Tabel 4.16 Tabel R-Square ... 86
Tabel 4.17 Hasil Uji Anova ... 87
Tabel 4.18 Hasil Uji Koefisien Regresi ... 88
xvi
Lampiran 2: Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
Lampiran 3: Alat Ukur Penelitian
Lampiran 4: Syntax
1
Dalam bab ini dijelaskan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,
tujuan, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1. Latar Belakang Masalah.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT dimuka bumi ini sebagai makhluk sosial.
Artinya, manusia tidak dapat untuk hidup sendiri karena sebagian besar dari
aktifitas dalam kehidupannya, melibatkan interaksi dengan orang lain. Oleh
karena itu, agar tercipta interaksi yang baik, beberapa dari tindakan manusia,
cenderung mengarah kepada kepentingan masyarakat (bersama), seperti
membantu, menolong berderma dan lainnya (Walgito, 2008). Dalam psikologi
perilaku tersebut dinamakan perilaku prososial.
Perilaku prososial menurut Eisenberg (1989) adalah tindakan sukarela yang
dimaksudkan untuk memberikan keuntungan pada individu atau sekelompok
individu. Perilaku prososial ini meliputi aspek seperti menyumbang (donating), bekerjasama (cooperating), memberi (giving), menolong (helping), simpati (sympathy) dan altruism (Wispe dalam Zanden, 1984). Dalam Islam, aspek perilaku prososial tercermin dalam himbauan: “Tolong-menolonglah kamu dalam
kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam perbuatan dosa” (QS. Almaidah; 2). Hal tersebut bisa bisa diartikan bahwa orang yang
melakukan perilaku prososial dicirikan dengan mereka yang selalu mengerjakan
Dalam bermasyarakat, perilaku prososial sangatlah penting untuk
menciptakan lingkungan yang aman dan kodusif sesuai dengan harapan warganya.
Adapun manfaat lainnya adalah dapat meminimalisir kejadian-kejadian negatif
seperti tawuran dan tindak kriminal yang lain. Begitu besarnya manfaat dari
perilaku prososial hingga Allah SWT memberikan pahala pada mereka yang
hanya menyerukan kebaikan namun tidak melakukannya. Hal tersebut menurut
Nawawi (2014) tertera dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Muslim yang
artinya sebagai berikut. “Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka
baginya pahala orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka
sedikitpun. (Hr. Muslim)”
Tetapi, sebuah penelitian mengemukakan bahwa budaya gotong royong dan
tolong menolong, serta solidaritas sosial pada masyarakat sekarang ini cendrung
menurun (Setiadi, dalam Hartati, 1997). Hal tersebut disebabkan banyak individu
yang sekarang ini sibuk dan terpaku pada kepentingan pribadinya masing-masing.
Sehingga kepedulian terhadap lingkungan sekarang ini menipis (Yusuf & Listiara,
2012).
Menurunya perilaku prososial, menurut Sabiq dan Djalali (2012) bukan
hanya dirasakan di masyarakat umum, akan tetapi juga merambah ke dunia
pesantren. Terlebih pada santri yang masuk kedalam pusaran modernitas dan
kehidupan hedonis. Lambat laun, etika yang dimiliki santri tersebut pudar.
Dampaknya adalah membuat perilaku prososial yang dimiliki santri menjadi
Senada dengan pernyataan diatas, hasil wawancara peneliti kepada salah
seorang ustadzah salah satu pesantren di Parung, pada tanggal 12 November 2013
juga menyatakan bahwa kepedulian santri saat ini menurun drastis dari
sebelumnya. Misalnya, jika terdapat santri yang sakit, mereka hanya memantau
kondisinya, tidak lebih dari itu perhatiannya, seperti mengambilkan makanan
untuk santri yang sakit ataupun sekedar menemaninya.
Fenomena tersebut diperkuat pula oleh hasil wawancara pada lima orang
santri Pondok Pesantren Daarul Rahman pada tanggal 24 November 2013.
Diketahui bahwa masih ada diantara santri di pondok tersebut yang kurang peduli
dengan orang lain dan lingkungan sekitar. Dari hasil observasi peneliti yang
lakukan juga terlihat bahwa masih ada beberapa santri yang terlihat acuh terhadap
teman lainnya, dan fokus pada kelompoknya sendiri.
Menurunya perilaku prososial di pesantren sebenarnya bisa diminamalisir,
karena pesantren merupakan salah satu tempat untuk meningkatkan perilaku
prososial pada remaja sebagai peserta didiknya. Hal tersebut karena santri
dibiasakan hidup bersama-sama, yang mengharuskan mereka untuk saling berbagi
dan peduli. Pembiasaan diri pada santri seperti itu akan membentuk mental
kebersamaan, gotong royong, dan jiwa sosial (Asy’ari, 1996).
Kondisi menurunnya perilaku prososial tersebut, memang bukan hanya
tanggung jawab satu pihak tertentu saja, misalnya pembina santri. Sebab ada
banyak faktor yang akan mempengaruhi tampil atau tidaknya perilaku prososial,
seperti, kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, desakan waktu dan lainnya
(2006) faktor internal seperti asertif, emosi, religiusitas, self-esteem, dan norma-norma juga berpengaruh signifikan terhadap perilaku prososial.
Dari pernyataan di atas, menurut hemat penulis, jika santri dipondok sudah
dibiasakan untuk memiliki sifat gotong royong, dan bersosialisasi, namun masih
terdapat perilaku santri yang cuek, egois, dan tidak melakukan perilaku prososial,
hal tersebut merupakan faktor dari santri itu sendiri. Alasan inilah yang
mendorong peneliti lebih menfokuskan penelitian perilaku prososial pada
faktor-faktor internal daripada faktor-faktor eksternal.
Harga diri atau yang sering disebut self-esteem menjadi salah satu faktor internal dalam meningkatkan perilaku prososial. Dalam hal ini, Staub (2003)
melihat bahwa tingginya self-esteem akan membuat seseorang merasa superioritas, dan saat itu, mereka akan lebih mampu menekan agressivitas agar
terhindar dari prilaku antisosial. Jika self-esteem rendah, seseorang tidak akan merasa nyaman dan selalu melindungi dirinya sendiri sehingga sangat mudah
terpengaruh oleh prilaku yang tidak baik.
Senada dengan pernyataan diatas, Sweson dan Prelow (2005), dalam
penelitiannya juga menyatakan bahwa orang yang memiliki self-esteem tinggi, akan mampu mengatasi masalah-masalah perilaku seperti depresi, kenakalan
remaja dan lainnya. Penemuan tersebut didukung oleh pernyataan Adimo dan
Retnowati (dalam Asia, 2008) yang mengemukakan bahwa self-esteem berpengaruh terhadap sikap remaja dalam kehidupan sehari-hari. Remaja dengan
Sebaliknya remaja dengan harga diri tinggi cendrung bersikap positif dalam
perilakunya. Self esteem diartikan sebagai nilai yang ditempatkan pada diri sendiri. Penilian diri tersebut didasarkan atas nilai sebagai manusia berdasarkan
persetujuan atau penolakan dari diri dan perilaku (Minchinton, 1995). Sedangkan
menurut Coopersmith (1990) self-esteem adalah evaluasi yang dibuat individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Leary dan MacDonald (dalam Mruk,
2006) hasilnya mendukung hubungan antara self-esteem dengan berbagai fenomena interpersonal positif. Misalnya self-esteem tinggi berhubungan dengan perilaku prososial seperti, menjunjung nilai-nilai moral atau standar kesehatan.
Penelitian lainnya yang dilakukan Srimanjaya (2007) tentang hubungan antara
orientasi keagamaan dan harga diri dengan perilaku prososial, juga menyimpulkan
bahwa harga diri memberikan kontribusi sebesar 28,479 % terhadap perilaku
prososial.
Faktor lain yang mempengaruhi perilaku prososial adalah emosi seseorang.
Seperti yang dikutip dari Baron, Byrne, Brascombe (dalam Sarwono, 2009)
menyatakan bahwa emosi seseorang dapat mempengaruhi kecenderungannya
untuk menolong. Wang dan Ahmad (dalam Vembriamma, 2010) menyatakan
bahwa emosi seseorang erat sekali kaitannya dengan kecerdasan emosi. Karena
pada dasarnya emosi (seperti, marah, bahagia, & sedih) sudah dimiliki tiap
manusia sejak lahir. Namun kecerdasan emosilah yang mampu mengontrolnya
emosi sangat penting untuk mengontrol emosi agar merespon dengan benar
emosinya untuk orang lain, sehingga emosinya selalu positif.
Pernyataan diatas diperkuat oleh penelitian Rosenhan, Moore dan
Underwood, (dalam Feldman, 1985) yang mengungkap bahwa orang dengan
suasana hati yang baik akan lebih mungkin untuk membantu dari pada mereka
yang berada di mood negatif. Itulah sebabnya peneliti dalam penelitian ini berfokus pada kecerdasan emosi. Adapun kecerdasan emosi meliputi, kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain (Goleman, 1998).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Vembriamma (2010) terhadap
karyawan PT telkom menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi berpengaruh
terhadap perilaku prososial sebesar 21, 8 % dan sisanya 78, 2 % dipengaruhi
faktor lain diluar kecerdasan emosi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Rudyanto
(2010) juga menunjukkan hasil bahwa kecerdasan emosi memiliki korelasi yang
cukup kuat terhadap perilaku prososial.
Selain beberapa faktor yang telah dikemukakan di atas, faktor usia dan jenis
kelamin juga berpengaruh terhadap perilaku prososial. Caprara dan Steca (2005)
dalam penelitiannya terhadap kelompok usia yang berbeda antara usia 20 hingga
di atas 65 tahun, menemukan bahwa semakin dewasa seseorang akan lebih
menolong daripada yang masih anak-anak dan remaja. Hal tersebut karena pada
1985; Kahana & Midlarsky, 1983;Midlarsky & Hannah, 1989, dalam Caprara &
Steca, 2005).
Dari penelitian Carpara dan Steca (2005) juga membuktikan bahwa
perempuan lebih tinggi tingkat prososialnya daripada laki-laki. Hasil tersebut,
sejalan dengan penelitian Eisenberg (dalam Bierhoff, 2002) yang menyatakan
bahwa wanita lebih memiliki rasa menolong yang tinggi dari pada laki-laki.Itu
disebabkan karena wanita lebih memiliki rasa empati yang tinggi daripada
laki-laki. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan penelitian Afolaby (2003),
menurutnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam proses
perilaku prososial.
Dari uraian di atas, peneliti ingin mengkaji sejauh mana pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial khususnya pada santri. Penelitian ini akan dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta, karena
pesantren tersebut berada di tengah kota Jakarta, dan letaknya berdampingan
dengan mall dan gedung bertingkat, suatu lingkungan yang dapat memicu
meningkatnya sikap hedonis dan individualis para santri. Padahal menurut Taylor
Peplau dan Sears (2009) kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku
prososial.
Selain itu sebagian besar santri di sana berusia remaja. Usia remaja
merupakan usia peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa, sehingga banyak
perubahan yang berkembang pesat dalam diri mereka. Seperti perubahan fisik
Dengan pemaparan di atas, maka peneliti melakukan penelitian lebih
mendalam untuk tugas skripsi dengan judul “Pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri di Pondok
Pesantren Daarul Rahman Jakarta.”
1. 2 Pembatasan dan Perumusan masalah 1.2.1 Pembatasan Masalah
Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku prososial. Namun masalah utama
yang menjadi fokus penelitian ini adalah pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman
Jakarta, yang pengertiannya sebagai berikut:
1. Self-esteem yang dimaksud dalam penelitian ini adalah evaluasi yang dibuat individu dan biasanya berhubungan dengan penghargaan terhadap dirinya. Dalam
penelitian ini merujuk pada pendapat yang dikemukakan oleh Coopersmith (1990)
yang dimensinya meliputi successes, values, aspiration, defenses.
2. Kecerdasan emosi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, serta mampu
mengontrolnya dengan baik. Dalam penelitian ini merujuk pada pendapat yang
dikemukakan oleh Goleman (1998) yang dimensinya meliputi mengenali emosi
diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain, keterampilan
membina hubungan.
3. Perilaku prososial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tindakan
menolong yang dilakukan secara sukarela untuk menolong dan memberikan
(2002) yang dimensinya meliputi altruism, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.
4. Faktor demografi dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin.
5. Subjek dalam penelitian ini adalah santri kelas satu hingga kelas lima Pondok
Pesantren Daarul Rahman Jakarta yang masih aktif mengikuti kegiatan belajar
baik tingkat tsanawiyah maupun aliyah pada tahun pelajaran 2013 – 2014.
1.2.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada pengaruh yang signifikan self-esteem dan kecerdasan emosi terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman
Jakarta?
2. Apakah ada pengaruh Apakah ada pengaruh yang signifikan self-esteem terhadap perilaku prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman
Jakarta?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan kecerdasan emosi terhadap perilaku
prososial pada santri Pondok Pesantren Daarul Rahman Jakarta?
4. Apakah ada pengaruh yang signifikan dimensi self-esteem (successes, values, aspirations, defenses), dimensi kecerdasan emosi (mengenali emosi sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang
lain, keterampilan sosial), usia dan jenis kelamin terhadap perilaku
1. 3 Tujuan dan Manfaat penelitian
1. 3. 1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data seberapa besar
pengaruh self-esteem dan kecerdasan emosi serta variabel demografi yaitu usia dan jenis kelamin terhadap perilaku prososial pada santri.
Selain itu juga untuk memperoleh data seberapa besar sumbangan
aspek-aspek self-esteem (success, values, aspiration, defenses) dan aspek kecerdasan emosi (mengenali emosi sendiri, mengelola emosi, memotivasi diri, kemampuan
mengenal emosi orang lain, keterampilan sosial) serta usia dan jenis kelamin
terhadap perilaku prososial.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat teoritis
Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah diharapkan menambah wacana
dalam ilmu psikologi pendidikan. Selain itu juga dapat diharapkan dapat
memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan yang secara
umum berhubungan dengan perilaku prososial khususnya pada santri.
1.3.2.2 Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai referensi yang dapat
digunakanoleh pembaca khususnya dan masyarakat luas dalam upaya
meningkatkan perilaku prososial pada remaja terutama pada santri agar dapat
menyesuaiakan diri dengan baik selama berada di pondok. Selain itu sebagai
masukan pada santri agar dapat mengoptimalkan perilaku prososial dalam
1. 4 SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan ini mengacu pada pedoman penyusunan dan
penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.Penulisan
ini dibagi menjadi beberapa bahasan yang dijabarkan berikut ini.
BAB 1 : Pendahuluan
Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang masalah, pembatasan masalah,
rumusan masalah, dan sistematika penelitian.
BAB 2 : Tinjauan Pustaka
Bab ini berisi uraian teoritik mengenai variabel-variabel yang hendak diteliti di
antaranya perilaku prososial, self-esteem dan kecerdasan emosi. Dilengkapi dengan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
BAB 3 : Metodologi Penelitian
Bab ini berisi uraian mengenai populasi dan sampel penelitian, teknik
pengambilan sampel, identifikasi variabel penelitian meliputi definisi konseptual
dan operasional variabel, teknik pengumpulan data, uji validitas konstruk dan
hasilnya, teknik analisis data, dan prosedur penelitian.
BAB 4 : Hasil Penelitian
Bab ini berisi mengenai hasil deskripsi data penelitian dan uji hipotesis.
BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran
Bab ini berisi uraian kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai
temuan-temuan dalam penelitian dan saran yang dapat digunakan untuk penelitian
12
BAB 2
KAJIAN TEORI
Bab ini berisi uraian teoritik mengenai variabel-variabel yang hendak diteliti yaitu
perilaku prososial, self-esteem dan kecerdasan emosi. Dilengkapi dengan kerangka berpikir dan hipotesis penelitian.
2.1. Perilaku Prososial
2.1.1. Definisi Perilaku Prososial
Menurut Feldman (1985) perilaku prososial adalah “Behavior that benefit other people”. Yang dimaknai sebagai “menolong atau perilaku yang menguntungkan orang lain”.
Eisenberg dan Mussen (1989) juga mendefinisikan perilaku prososial sebagai “voluntary actions that are intended to help or benefit another individual
or group of individuals.”Perilaku prososial merujuk pada suatu tindakan yang dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi
individu atau kelompok yang lain.
Sedangkan Daux & Wrightmans (1993) mendefinisikan perilaku prososial
sebagai: “Behavior that benefit other or has positive social consequence”. Artinya perilaku prososial adalah perilaku mengutungkan orang lain atau memiliki
konsekuensi sosial yang positif.
Selain itu, tokoh lain, seperti Bierhoff (2002) mendefinisikan perilaku prososial sebagai “Narrower, in that the action is intended to improve the
professional of the help recipient is a person and not an organization.”Artinya perilaku prososial secara sempit, sebagai tindakan yang dimaksudkan untuk
memperbaiki keadaan pihak penerima pertolongan, sementara itu si pelaku
(penolong) tidak didorong oleh adanya pemenuhan kewajiban secara professional
dan pihak penerima pertolongan adalah individu dan bukan kelompok.
Baron & Byrne (2005) mendefinisikan perilaku prososial sebagai suatu
tindakan menolong yang menguntungkan orang lain tanpa harus menyediakan
suatu keuntungan langsung kepada orang yang melakukan tindakan tersebut, dan
mungkin bahkan melibatkan suatu resiko bagi orang yang menolong.
Dari beberapa pemaparan definisi perilaku prososial, sebagai acuan dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan definisi yang dikemukakan oleh Eisenberg
(1989) yang mengemukakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang
dilakukan secara sukarela untuk menolong atau memberikan manfaat bagi
individu atau kelompok.
2.1.2. Dimensi-dimensi perilaku prososial
Dimensi prososial ini mengacu pada teori Eienberg (1989), yang salah satu
pengukurannya dikembangkan oleh Carlo dan Randall (2002).Menurutnya, ada
enam subskala dari perilaku prososial ini yaitu, altruism, compliant, emotional, public, anonimus dan dire. Dengan merujuk pada Carlo dan Randall (2002), masing-masing subskala perilaku prososial,akan dijabarkan singkat sebagai
1. Altruisme
Perilaku prososial altruistic didefinisikan sebagai perilaku sukarela untuk menolong orang lain, didasarkan motivasi utama yaitu adanya kebutuhan untuk
menolong dan kepentingan untuk mensejahterakan orang lain, yang selalu diikuti
dengan respon simpati dan norma internal/ prinsip yang konsisten untuk
menolong orang lain.
2. Compliant
Perilaku prososial compliant didefinisikan sebagai permintaan menolong orang lain karena adanya permintaan verbal dan non-verbal. Perilaku prososial ini
lebih sering dilakukan secara spontan.
3. Emotional
Perilaku prososial emotional adalah kecenderungan menolong orang lain atas dasar situasi emosional yang tinggi. Seperti misalnya remaja yang tangannya
terluka, kemudian dia menangis dan mengeluarkan darah akan lebih menggugah
emosi daripada mereka yang tangannya terluka tetapi tidak menunjukkan respon
apapun. Faktor lain, seperti hubungan kekerabatan juga mampu menggugah
respon emosional orang yang mengamati.
4. Public
Perilaku prososial yang dilakukan di depan orang lain yang dimotivasi
dengan keinginan untuk mendapatkan penerimaan dan penghormatan dari orang
5. Anonymous
Perilaku prososial anonymous didefinisikan sebagai tindakan menolong yang ditunjukan tanpa diketahui oleh orang yang telah diberikan pertolongan.
6. Dire
Perilaku prososial dire perilaku menolong yang ditunjukkan seseorang diantara situasi krisis atau keadaan darurat.
Dari ke-enam dimensi tersebut, semua akan ikut diteliti sebagai dimensi
varibel perilaku prososial.
2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku prososial
Menurut Sears, dkk (1994) terdapat tiga faktor yang mendasari seseorang
berperilaku prososial. Beberapa faktor tersebut, terbagi menjadi tiga yaitu,
karakteristik situasi, karakteristik penolong dan juga karakteristik orang yang
membutuhkan pertolongan. Ketiga faktor tersebut, akan dijabarkan sebagai
berikut :
1. Karakter Situasi. Situasi menjadi faktor yang akan menunjang seseorang dalam
melakukan perilaku prososial. Sears (1994) menyatakan, orang yang altruis
sekalipun, cenderung tidak menolong, dalam situasi tertentu. Maka itulah,
karakteristik situasi sangat penting dalam menunjang perilaku prososial.
Karakteristik situasi ini, meliputi kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan
tekanan akibat keterbatasan waktu. Adapun penjelasannya akan dipaparkan
seperti di bawah ini:
A ) Kehadiran orang lain di sekitar cukup berpengaruh dalam prilaku prososial
banyak orang, menjadi alasan untuk tiada usaha memberikan pertolongan.
Keadaan tersebut, dipengaruhi oleh adanya peyebaran tanggung jawab,
adanya reaksi dari penonton lain, serta rasa takut dinilai
1. Penyebaran Tanggung Jawab. Timbul karena kehadiran orang lain.
Bila hanya ada satu orang yang menyaksikan korban yang
mengalami kesulitan, maka orang itu mempunyai tanggung jawab
untuk memberikan reaksi terhadap situasi tersebut dan akan
menanggung rasa salah dan rasa sesal bila tidak bertindak. Bila
terdapat orang lain yang juga muncul untuk memberikan
pertolongan, maka tanggung jawab akan terbagi.
2. Perilaku penonton yang lain dapat mempengaruhi bagaimana
menginterpretasikan situasi dan bagaimana reaksi. Jika orang lain
mengabaikan suatu situasi atau memberikan reaksi seolah-olah tidak
terjadi apa-apa, sehingga seseorang beranggapan tidak ada keadaan
darurat.
3. Rasa takut dinilai. Bila mengetahui bahwa orang lain memperhatikan
perilaku, mungkin berusaha melakukan apa yang menurut
diharapkan oleh orang lain dan memberikan kesan yang baik
(Baumeister, dalam Sears 1994). Rasa takut dinilai dalam efek
penonton memungkinkan terjadi, hal ini disebabkan adanya
bantuan, rasa takut dinilai menjadi pusat perhatian penonton yang
lain dan menimbulkan rasa malu.
B) Kondisi lingkungan. Sears (1994) menyatakan bahwa, orang yang
lebih senang apabila menolong seseorang jika cuaca cerah, dan pada
siang hari, daripada menolong pada saat gelap dan cuaca dingin.
Kondisi lingkungan ini, dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu,
cuaca, ukuran kota, dan kebisingan
a ) Cuaca. Orang cenderung membantu bila hari cerah dan bila suhu
udara cukup menyenangkan. (relatif hangat di musim dingin dan
relatif sejuk di musim panas).
b) Ukuran kota. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran
kota menimbulkan perbedaan dalam usaha menolong orang
asing yang mengalami kesulitan. Persentase orang yang
menolong lebih besar di kota kecil daripada di kota besar.
c) Kebisingan. Faktor lingkungan lainnya yang mempengaruhi
perilaku prososial adalah kebisingan. Para peneliti menyatakan
bahwa suara bising yang keras menyebabkan orang
mengabaikan orang lain di sekitarnya dan memotivasi mereka
meninggalkan situasi tersebut secepatnya. Sehingga
menciptakan penonton yang tidak suka menolong.
C) Tekanan keterbatasan waktu. Bagi beberapa orang, keterbatasan waktu
akan mempengaruhi perilaku prososial.Terbukti dari hasil penelitian yang
bahwa seseorang yang tergesa-gesa memiliki kecendrungan untuk
menolong yang lebih kecil daripada mereka yang memiliki banyak waktu
luang. Oleh karena itu, keterbatasan waktu, juga menjadi hal yang yang
tidak bisa terlepas dari karakteristik situasi.
2. Karakterisitik penolong. Faktor situasional dapat mempengaruhi orang untuk
melakukan tindakan prososial. Tetapi ada faktor penting lainnya yang
mendorong seseorang untuk menolong, yaitu faktor dari dalam diri orang
tersebut. Faktor tersebut menurut Sears (1994), dapat dikelompokkan
menjadi, faktor kepribadian, faktor suasana hati, faktor rasa bersalah, faktor
distress diri dan faktor rasa empatik.
1) Faktor kepribadian. Dalam beberapa jenis situasi dan tidak dalam
situasi yang lain. Kepribadian tertentu mendorong orang untuk
memberikan pertolongan
2) Suasana hati. Ada sejumlah bukti bahwa orang lebih terdorong
untuk memberikan bantuan bila mereka dalam suasana hati yang
baik. Misalnya, orang akan lebih cenderung menolong bila berhasil
melaksanakan tugas eksperimental (Isen, dalam Sears, 1994),
perasaan positif yang dapat meningkatkan ketersediaan untuk
melakkukan tindakan prososial.
3). Rasa bersalah. Keadaan psikologis yang mempunyai relevansi
khusus dengan perilaku prososial adalah rasa bersalah, perasaan
gelisah yang timbul bila kita melakukan sesuatu yang kita anggap
menyebabkan kita menolong orang yang kita rugikan, atau berusaha menghilangkannya dengan melakukan “tindakan yang
baik”. Beberapa peneliti memperlihatkan bahwa rasa bersalah yang
timbul meningkatkan kebersediaan untuk menolong (Cunningham,
dalam Sears, 1994).
4). Distres diri dan rasa empatik. Distres diri adalah reaksi pribadi kita
terhadap penderitaan orang lain, perasaan terkejut, cemas, prihatin,
tidak berdaya, atau perasaan apapun yang kita alami. Sebaliknya
yang dimaksud rasa atau sikap empatik (emphatic concern) adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya
untuk berbagai pengalaman atau secara tidak langsung merasakan
penderitaan orang lain. Perbedaan utamanya adalah bahwa
penderitaan diri terfokus pada diri sendiri, sedangkan empatik
terfokus pada korban.
3. Karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan. Dalam menolong
seseorang, penolong biasanya akan tetap memilih siapa saja yang patut untuk
ditolong. Karena dengan keterbatasan fisik dan materi orang yang menolong,
maka tidak semua orang yang menurutnya membutuhkan bantuan dapat
dibantu. Oleh karenanya, karakteristik orang yang membutuhkan pertolongan
menjadi salah satu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan
a) Menolong orang yang disukai.
Daya tarik fisik dalam beberapa situasi akan memungkinan seseorang
untuk membantu. Selain daya tarik fisik, faktor kesamaan juga
mendorong seseorang untuk dapat membantu orang lain, seperti
berasal dari daerah yang sama daripada orang asing.
b) Menolong orang yang pantas ditolong.
Seseorang pasti akan memprioritaskan untuk menolong orang-orang
yang sangat membutuhkan pertolongan dan keadaannya mendesak.
Misalnya seorang mahasiswa akan lebih mudah meminjamkan uang
kepada temannya yang kehabisan uang karena sakit daripada kepada
mereka yang kehabisan uang karena kemalasannya (Mayer &
Mulherin dalam sears, 1994).
Faktor-faktor perilaku prososial juga dijelaskan oleh Baron dan Byrne (2005)
dengan membagi faktor-faktor perilaku prososial menjadi 3 bagian, yaitu, faktor
situasional, motivasi dan moralitas, keadaan emosional serta empati.
1. Faktor situasional. Menurut Baron dan Byrne (2005) faktor situasional ini,
dibagi menjadi 3 yaitu, daya tarik, atribusi dan model-model prososial.
a. Daya tarik (menolong mereka yang anda sukai)
Faktor yang mendorong sesorang menolong paling penting adalah
sejauh mana individu mengevaluasi korban secara positif (daya tarik).
Sesorang cenderung akan menolong jika seseorang yang membutuhkan
b Atribusi
Atribusi yang dibuat oleh individu mengenai apakah korban
bertanggung jawab atau tidak terhadap hal yang menimpanya. Dalam hal
ini, penolong akan melihat, sejauh mana korban atau orang yang hendak
ditolong, berusaha untuk keluar dari masalahnya. Jika orang tersebut
sudah berusaha untuk menolong dirinya sendiri, namun belum mampu
juga, maka orang tersebut akan lebih banyak mendapatkan pertolongan
daripada orang yang tidak sama sekali berusaha untuk menyelesaikan
masalahnya.
c. Model-model prososial
Pengalaman individu terhadap model-model prososial di masa
sekarang maupun dimasa lampau. Sebagai contoh, dari model semacam
itu terdapat pada suatu penelitian lapangan di mana seorang wanita muda
(asisten peneliti) yang bannya kempes memarkirkan mobilnya disamping
jalan. Para pengendara lebih banyak yang berhenti dan menolong wanita
ini jika mereka sebelumnya telah melewati suatu situasi (sandiwara)
dimana wanita lain yang mempunyai masalah dengan mobilnya terlihat
menerima pertolongan.
2. Faktor Motivasi dan Moralitas
Batson dan Thompson (dalam Baron & Byrne, 2005) mengindikasikan
bahwa ada tiga motif utama relevan ketika seseorang dihadapkan pada sebuah
tersebutlah yang membuat seseorang melakukan sesuatu terhadap orang lain,
termasuk perilaku prososial.
a. Kepentingan pribadi (self-interest)
Orang-orang yang memiliki motif utama tidak dipusingkan oleh pertanyaan
benar atau salah atau adil, mereka hanya melakukan yang terbaik bagi diri
mereka sendiri.
b. Integritas moral (moral integrity)
Bagi mereka yang termotivasi oleh integritas moral, pertimbangan akan
kebajikan dan keadilan seringkali membutuhkan sejumlah pengorbanan
terkait kepentingan pribadiuntuk melakukan “hal yang benar”.
c. Hiprokisi Moral (moral hyprocisy)
Individu pada kategori ini didorong oleh kepentingan tapi juga
mempertimbangkan penampilan luar mereka. Kombinasi ini berarti bahwa
penting bagi mereka untuk terlihat peduli dalam melakukan hal yang benar,
sementara mereka sebenarnya tetap mengutamakan kepentingan-kepentingan
mereka pribadi.
3. Faktor Keadaan Emosional
Kondisi hati yang baik akan meningkatkan peluang terjadinya tingkah laku
menolong orang lain, sedangkan kondisi suasana hati yang tidak baik akan
menghambat tindakan tersebut. Terdapat banyak bukti yang mendukung asumsi
4. Empati
Minat seseorang untuk menolong seseorang berbeda-beda, motif altruistic tersebut yang berdasarkan pada empati pada masing-masing individu (Clary &
Orenstein, Grusec dalam Baron, 2005).
Sedangkan Sarwono (2009) menyebutkan bahwa faktor yang
mempengaruhi perilaku prososial bisa dipicu oleh faktor dari luar dan dari dalam
diri seseorang.
1. Faktor luar/ Pengaruh situasi
a. Bystanders
Menurut penelitian Darley dan Latane (1996) kehadiran orang sekitar
berpengaruh pada perilaku menolong atau tidak menolong adalah adanya
orang lain yang kebetulan bersama kita di tempat kejadian (Bystanders). Semakin banyak oramg lain semalin kecil kemungkinan untuk menolong
dan sebaliknya orang yang sendirian cenderung untuk menolong.
b. Daya tarik
Sejauh mana seseorang memandang korban (orang yang membutuhkan
pertolongan) dengan positif, akan mempengaruhi kesediaan penolong
untuk memberikan bantuan. Faktor daya tarik yang akan dapat
meningkatkan meningkatkan terjadinya respon untuk menolong.,
diantaranya adalah memiliki penampilan menarik, memiliki kesamaan
c. Atribusi terhadap korban
Seseorang akan termotivasi untuk memberikan bantuan pada orang
apabila ketidak beruntungan korban adalah di luar kendali korban,
maksudnya orang tersebut kesulitan bukan karena kesalahannya tetapi itu
karena musibah yang menimpanya. Misal seseorang akan lebih menolong
orang yang kehabisan uang karena terkena bencana dibandingkan dengan
orang yang kalah berjudi.
d. Ada model
Pada teori pembelajaran sosial dijelaskan bahwa, adanya model yang
melakukan tingkah laku menolong akan dapat mendorong seseorang
untuk memberikan pertolongan pada orang lain.
e. Desakan waktu
Biasanya orang yang sibuk dan tergesa-gesa cenderung untuk tidak
menolong daripada orang yang memiliki waktu lebih banyak.
2. Faktor dari dalam diri
a. Suasana hati (mood)
Emosi seseorang dapat mempengaruhi kecendrungannya untuk untuk
menolong. Sarwono (2002) juga menjelaskan bahwa perasaan dalam diri
seseorang dapat mempengaruhi perilaku menolong. Kurang ada
konsistensi dalam hal pengaruh perasaan negatif (sedih, kecewa) terhadap
perilaku prososial. Perasaan negatif pada anak akan menghambatnya
melakukan perilaku menolong tetapi pada orang dewasa akan
merasakan menfaat dari perilaku menolong untuk mengurangi perasaan
negatif sedangkan pada anak-anak belum ada kemampuan seperti itu.
Akan tetapi jika perasaan negatif itu terlalu mendalam (misalnya, karena
kematian anggota keluarga), dampaknya pada orang dewasa adalah juga
menghambat perilaku prososial. Pada saat itu mereka lebih fokus pada
dirinya sendiri dan tidak mau memikirkan orang lain. Lain halnya,
dengan perasaan positif, pada saat itu, mereka lebih konsisten untuk
menolong orang lain.
b. Faktor sifat
Penelitian Karremans (dalam Sarwono, 2009) membuktikan bahwa orang
yang memiliki sifat pemaaf akan memiliki kecendrungan untuk mudah
menolong. Orang yang memiliki pemantauan diri (self monitoring) yang tinggi juga cenderung lebih penolong, karena dengan penolong ia akan
memiliki penghargaan sosial yang tinggi (White & Gerstein, dalam
Sarwono, 2009). Bierhoff, Klein dan Kramp (dalam Sarwono, 2002)
mengemukakan faktor-faktor dalam diri yang menyusun kepribadian
altruistik, yaitu adanya empati, kepercayaan pada dunia yang adil, rasa
tanggung jawab sosial, memiliki internal locus of control, dan egosentrisme yang rendah.
c. Jenis kelamin
Peranan gender seseorang untuk menolong sangat bergantung pada
situasi dan kondisi. Laki-laki cenderung lebih mau terlibat dalam aktifitas
seseorang dalam kebakaran. Hal ini tampaknya terkait dengan peran
tradisonal laki-laki yang dipandang lebih kuat dari perempuan karena
mempunyai keterampilan untuk melindungi. Sementara perempuan, lebih
tampil menolong pada situasi yang bersifat member dukungan emosi,
mengasuh dan merawat.
Selain tiga tokoh di atas, Eisenberg, Tracy dan Fabes (2006) juga
mengungkapkan bahwa terdapat aspek-aspek kepribadian yang mempengaruhi
perilaku prososial, seperti misalnya, tempramen, emosi, asertif, self esteem, self-efficacy, agama, nilai-nilai dan tujuan. Menurutnya beberapa aspek kepribadian tersebut berhubungan dengan faktor genetik seseorang. Faktor lain yang
berpengaruh terhadap perilaku prososial juga ditemukan oleh Caprara dan Steca
(2005), menurutnya jenis kelamin dan usia juga berpengaruh terhadap perilaku
prososial. Beberapa faktor tersebut, ada yang berasal dari internal dan maupun
eksternal. Dalam penelitian ini, faktor yang ingin diteliti berfokus pada faktor
internal yaitu pada, self- esteem, kecerdasan emosi, jenis kelamin serta usia. 2.1.4. Pengukuran perilaku prososial
Ada beberapa alat ukur yang bisa digunakan untuk perilaku prososial diantaranya
yaitu :
1. Prosocial Personality Battery (PSB) yang dikembangkan oleh Panner (1995). Alat ukur ini dirancang secara baik untuk mengukur seberapa baik individu
dalam berprilaku prososial, dengan dimensinya yang diukur adalah, tanggung
jawab, empati, penalaran moral, dan membantu dengan menggunakan
dimensi memiliki nilai alpha ≥ 0.50 yang membuktikan reabilitas per dimensi
hasilnya bagus.
2. Prosocial tendencies measure (PTM) yang dikembangkan oleh Carlo, Gustave dan Randall (2002). PTM ini dirancang untuk anak usia anak-anak akhir
dengan 23 item pernyataan berbentuk likert dengan tes reabilitas alpha sebesar
0.62. Variabel yang diukur pada PTM ini adalah altruis, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.
Pada penelitian ini, alat ukur yang digunakan mengadaptasi dari alat ukur
prosocial tendencies measure yang dikembangkan oleh Carlo, Gustave dan Randall (2002)karena memiliki rebilitas yang tinggi dan sesuai dengan kebutuhan
penelitian yang mencangkup altruis, compliant, emotional, public, anonymous dan dire.
2.2. Self-esteem
2.2.1. Definisi Self-esteem
Definisi self-esteem menurut Coopersmith (1990) adalah suatu evaluasi yang dibentuk berdasarkan kebiasaan individu memandang dirinya terutama mengenai
sikap menerima atau menolak dan indikasi besarnya kepercayaan individu
terhadap kemampuannya, keberartiannya, kesuksesannya, dan keberhargaan.
Secara singkat self-esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam sikap-sikap individu terhadap
Selanjutnya menurut Branden (1992) self-esteem adalah pengalaman bahwa kita cocok dengan dengan kehidupan ini dan dengan prasyarat dari kehidupan
lebih spesifik lagi, self-esteem adalah:
1. Keyakinan dalam kemampuan untuk bertindak dan menghadapi tantangan
hidup ini.
2. Keyakinan dalam hak kita untuk bahagia, perasaan berharga, layak,
memungkinkan untuk menegaskan kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan
kita serta menikmati buah dari hasil kerja keras kita.
Kemudian menurut Minchinton (1993), self-esteem adalah sebagai penilaian terhadap diri sendiri dan merupakan tolak ukur harga diri kita sebagai seorang
manusia, berdasarkan kemampuan penerimaan diri dan perilaku sendiri atau tidak.
Dapat juga dideskripsikan sebagai penghormatan terhadap diri sendiri atau
perasaan mengenai diri kita sebenarnya. Self-esteem bukan hanya sekedar aspek atau kualitas diri tetapi dengan pengertian yang lebih luas yang merupakan
kombinasi yang berhubungan dengan karakter perilaku.
Selain itu, Baumeister (2005) juga mengartikan self-esteem sebagai berikut
“self-esteem it is how people evaluate themselves. It’s synonyms include self -worth, self regard, self covidence and pride”.
Baron, Branscombe dan Byrne (2008) juga mendefinisikan self-esteem sebagai derajat dimana individu merasa dirinya positif atau negatif.
Berdasarkan pemaparan tentang definisi self-esteem diatas, peneliti menyimpulkan, bahwa self esteem adalah penilaian tentang diri sendiri (personal judgment) tentang kesuksesannya, keberartian dirinya yang kemudian diekspresikan dalam sikap individu terhadap dirinya. Pernyataan ini mengacu
pada definisi self-esteem yang dikemukakan oleh Coopersmith (1990) bahwa self-esteem adalah evaluasi yang dibentuk berdasarkan kebiasaan individu memandang dirinya terutama mengenai sikap menerima atau menolak dan
indikasi besarnya kepercayaan individu terhadap kemampuannya, keberartiannya,
kesuksesannya, dan keberhargaan. Secara singkat self-esteem adalah “personal judgment” mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam
sikap-sikap individu terhadap dirinya.
2.2.2. Dimensi Self-esteem
Coopersmith (1990) menyebutkan bahwa self-esteem terdiri dari empat dimensi yaitu Sucsesses, values, aspirations, defenses, yang masing-masing akan dijabarkan sebagai berikut.
1. Keberhasilan (Successes)
Successes atau keberhasilan adalah tingkat pencapaian yang tinggi, dengan tingkatan, dan tugas yang bervariasi untuk setiap individu.Pemaknaan yang
berbeda-beda terhadap keberhasilan ini disebabkan oleh faktor individu dalam
memandang kesuksesan dirinya dan juga dipengaruhi oleh kondisi-kondisi
Dalam situasi sosial tertentu, mungkin lebih memaknakan keberhasilan dalam
bentuk kekayaaan, kekuasaan, penghormatan, independen dan kemandirian.
Pada konteks sosial yang lain, lebih dikembangkan makna
ketidakberhasilan dalam bentuk kemiskinan, ketidakberdayaan, penolakan,
keterikatan pada suatu bentuk ikatan social dan ketergantungan. Hal ini tidak
berarti bahwa individu dapat dengan mudahnya mengikuti nilai-nilai yang
dikembangkan dimasyarakat mengenai keberhasilan, tetapi hendaknya
dipahami bahwa masyarakat memiliki nilai-nilai tertentu mengenai apa yang
dianggap berhasil atau gagal dan dapat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianut
oleh individu.
Terdapat empat tipe pengalaman berbeda yang mendefinisikan tentang
keberhasilan. Setiap hal tersebut memberikan kreteria untuk mendefinisikan
keberhasilan itu adalah area power, area significance, area competence dan area virtue. Adapun penjabaran mengenai empat keberhasilan tersebut akan di jelaskan sebagai berikut:
a) Keberhasilan dalam area power
Keberhasilan ini diukur oleh kemampuan individu untuk mempengaruhi
aksinya dengan mengontrol tingkah lakunya sendiri dan mempengaruhi orang
lain. Dalam situasi tertentu, power tersebut muncul melalui pengakuan dan penghargaan yang diterima oleh individu dari orang lain dan melalui kualitas
penilaian terhadap pendapat-pendapat dan hak-haknya. Efek dari pengakuan
melakukan konformitas tanpa mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan dan
pendapat-pendapatnya sendiri.
b) Keberhasilan dalam area significance
Keberhasilan ini diukur oleh adanya penerimaan, perhatian, dan kasih sayang
yang ditunjukkan oleh orang lain. Ekspresi dari penghargaan dan minat
terhadap individu tersebut termasuk dalam pengertian penerimaan
(acceptance) dan popularitas, yang merupakan kebalikan dari penolakan dan isolasi. Penerimaan ditandai dengan kehangatan, responsifitas, minat, dan
menyukai individu apa adanya. Dampak utama dari masing-masing perlakuan
dan kasih sayang tersebut adalah menumbuhkan perasaan berarti (tense of importance) dalam dirinya. Makin banyak orang menunjukkan kasih sayang, maka makin besar kemungkinan memiliki penilaian diri yang baik.
c) Keberhasilan dalam area competence
Keberhasilan ini ditandai oleh tingkat pencapaian yang tinggi, dengan
tingkatan, dan tugas yang bervariasi untuk tiap kelompok usia. White (dalam
Coopersmith, 1990) menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman seorang
anak mulai dari masa bayi yang diberikan secara biologis dan rasa mampu
(sense of efficacy) yang memberikannya kesenangan, membawanya untuk selalu berhadapan dengan lingkungan dan menjadi dasar bagi pengembangan
motivasi instrinsik untuk mencapai kompetensi yang lebih tinggi lagi.
White (dalam Coopersmith, 1990) menekankan pentingnya aktivitas
sangat memberikan penguatan terhadap nilai-nilai personalnya dan tidak
tergantung pada kekuatan-kekuatan di luar dirinya.
d) Keberhasilan dalam area virtue
Menurut Coopersmith (1990) keberhasilan ini ditandai oleh tingkah laku
patuh pada kode etik, moral dan prinsip-prinsip agama. Orang yang mematuhi
kode etik, agama dan kemudian menginternalisasikannya, menampilkan sikap
diri yang positif dengan keberhasilan dalam pemenuhan terhadap
tujuan-tujuan pengabdian terhadap nilai-nilai luhur. Perasaan berharga muncul
diwarnai dengan sentimen-sentimen keadilan, kejujuran dan pemenuhan
terhadap hal-hal yang bersifat spiritual.
2. Nilai-nilai (values)
Setiap individu berbeda dalam memberikan pemaknaan terhadap
keberhasilan yang ingin dicapai dalam beberapa area pengalaman dan
perbedaan-perbedaan ini merupakan fungsi dari nilai-nilai yang
diinternalisasikan dari orang tua dan figur-figur signifikan lainnya dalam
hidup. Faktor-faktor seperti penerimaan (acceptance) dan respek dari orang tua merupakan sesuatu yang dapat memperkuat penerimaan nilai-nilai dari
orang tua tersebut. Hal ini juga mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi yang
mempengaruhi pembentukan self-esteem akan berpengaruh pula dalam pembentukan nilai-nilai yang realistis dan stabil.
3. Aspirasi-aspirasi (Aspirations)
standar personalnya. Jika standar tersebut tercapai, khususnya dalam area
tingkah laku yang bernilai, maka individu akan menyimpulkan bahwa dirinya
adalah orang yang berharga. Ada perbedaan esensial antara tujuan yang terikat
secara sosial (public goals) dan tujuan yang bersifat self significant yang ditetapkan individu. Individu-individu yang berbeda tingkat self-esteemnya tidak akan berbeda dalam public goalnya, tetapi berbeda dalam personal ideals yang ditetapkan untuk dirinya sendiri. Individu dengan self-esteem tinggi menentukan tujuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan
self-esteem yang lebih rendah. 4. Pertahanan (defenses)
Defenses adalah kemampuan untuk mengeliminir situmulus yang
mencemaskan, mempu menjaga ketenangangan, dan mampu mengevaluasi diri
dan tingkah lakunya efektif. Menurut Coopersmith (1990), beberapa
pengalaman dapat merupakan sumber evaluasi diri yang positif, namun ada
pula yang menghasilkan penilaian diri yang negatif. Kenyataan ini tidak akan
mudah diamati dan diukur pada tipe individu. Kenyataan ini merupakan bahan
mentah yang digunakan dalam membuat penilaian, interpretasi terhadapnya
tidaklah senantiasa seragam. Interpretasi akan bervariasi sesuai dengan
karakteristik individu dalam mengatasi distress dan situasi ambigu serta dengan tujuan dan harapan-harapannya.
Dari dimensi-dimensi yang telah dibahas diatas, maka keempatnya akan
dijadikan dasar alat ukur dalam penelitian ini dan semua variabel tersebut akan
2.2.3. Pengukuran Self-esteem
Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur self-esteem, yaitu: 1. Rosenberg Self-esteem Scale (RSES) dikembangkan oleh Rosenberg. RSES
adalah instrument unidimensional mengenai self-esteem yang mengukur self-esteemse cara global dengan skala berjumlah 10 item dan memiliki interabilitas alpha sebesar 0.95 (Heatherton dan Wyland, 2002).
2. Self-esteem inventory dikembangkan oleh Minchinton (1993) yang terdiri atas 25 item dengan aspek-aspek yang diukur adalah perasaan mengenai diri
sendiri, perasaan terhadap hidup, serta hubungan dengan orang lain dengan
reabilitas alpha sebesar 0.877.
3. The Coopersmith Self-esteem Inventory sebuah instrumen yang dikembangkan oleh Coopersmith (1990) terdiri atas 50 item yang mengukur
sikap terhadap diri sendiri dan memiliki skor alpha cronbachs dari hasil pengujian reabilitas sebesar 0.870. Dalam perkembangannya Coopersmith
juga membuat alat ukur self-esteem untuk pelajar, dengan menciptakan The School Short-form Coopersmith Self-esteem Inventory pada tahun 1981 yang kemudian kembangkan oleh Hills, Francis dan Jennings (2011).
Dimensi yang diukur adalah successes, values, aspiration, defenses yang terdiri atas 25 item pernyataan.
sesuai dengan kebutuhan penelitian yang mencangkup successes, values, aspiration, defenses.
2.3. Kecerdasan emosi
2. 3 1. Definisi kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi menurut Salovey dan Mayor (1990) adalah sebagai berikut
“Emotional intelligence as the subset of social intelligence that involves the
ability to monitor one’s own and others feelings and emotions, to discriminate
among them and to use this information to guide one’s thinking and action”. Yang memaknai kecerdasan emosi sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang
melibatkan kemampuan untuk memantau diri sendiri dan perasaan dan emosi
orang lain, untuk membedakan di antara mereka dan digunakan sebagai informasi
untuk menuntun pikiran dan tindakan menjadi satu.
Sedangkan menurut Goleman (1998) kecerdasan emosi adalah kemampuan
mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi
diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan
dalam hubungannya dengan orang lain.
Baron (2006) juga mendefinisikan kecerdasan emosional, sebagai bagian
lintas kompetensi antara emosi dengan kemampuan sosial, keterampilan dan
fasilitator yang menentukan seberapa efektif seseorang memahami dan
mengekspresikan diri, memahami orang lain dan berhubungan dengan mereka,
serta menghadapi tuntutan dalam hidup sehari-hari.
Dari beberapa definisi tentang kecerdasan emosi dapat disimpulkan, bahwa
juga orang lain serta mampu mengelolanya dengan baik. Hal teresebut, sesuai
dengan teori Goleman (1998) yang mengatakan bahwa kecerdasan emosi adalah
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan
memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri
sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain.
2. 3. 2. Dimensi-dimensi kecerdasan emosi
Menurut Goleman (1998) kecerdasan emosi terdiri dari 5 dimensi, yaitu,
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang
lain, keterampilan sosial.
a. Mengenali emosi diri (self awareness)
Mengetahui apa yang kita rasakan pada suatu saat dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur
yang realitis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
Kemampuan ini berupa kesadaran diri (self Awarenees) dalam mengenal perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Pada tahap ini diperlukan adanya
pemantauan perasaan dari waktu ke waktu agar timbul wawasan psikologis
dan pemahaman tentang diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan
yang sesungguhnya membuat diri berada dalam kekuasaan perasaan.
Sehingga tidak peka akan perasaan yang sesungguhnya yang berakibat buruk
bagi pengambilan keputusan masalah. Kemampuan kesadaran diri ini adalah
kemampuan dalam menangani emosi diri sendiri dan pengaruhnya, serta
b. Mengelola emosi (self management )
Mengelola emosi adalah kemampuan menangani emosinya sendiri,
mengekspresikan serta mengendalikan emosi, memiliki kepekaan terhadap
kata hati, untuk digunakan dalam hubungan dan tindakan sehari-hari.
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani
perasaan agar dapat terungkap dengan tepat, sehingga tercapai keseimbangan
dalam diri individu. Selain itu juga terdapat kemampuan control diri yang
bertujuan menjaga keseimbangan emosi dan bukan menekannya, karena
setiap perasaan memiliki nilai dan makna. Kemampuan dalam menampilkan
emosi yang wajar, selaras antara perasaan dan lingkungan.
c. Memotivasi diri (motivating oneself)
Motivasi adalah kemampuan menggunakan hasrat untuk setiap saat
membangkitkan semangat dan tenaga untuk mencapai keadaan yang lebih
baik serta mampu mengambil inisiatif dan bertindak secara efektif, mampu
bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi.
d. Mengenali emosi orang lain (emphaty)
Empati merupakan kemampuan merasakan apa yang dirasakan oleh orang
lain, mampu memahami perspektif orang lain, dan menimbulkan hubungan
saling percaya serta mampu menyelaraskan diri dengan berbagai tipe
individu. Kunci untuk memahami perasaan atau emosi orang lain adalah
kemampuan untuk membaca pesan nonverbal (misalnya gerak-gerik, ekspresi
persepektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan
menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan Sosial (social skills)
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan
keterampilan sosial (social skills) yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain. tanpa memiliki keterampilan seseorang akan
mengalami kesulitan dalam pergaulan dengan orang lain. Menangani emosi
dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat
membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar menggunakan
keterampilan-keterampilan ini untuk mempengaruhi dan memimpin,
bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan dan untuk bekerja dalam
team.
Dari kelima dimensi tersebut, semua dimensi akan ikut diteliti sebagai
dimensi kecerdasan emosi dan menjadi independent variableyang kedua pada penelitian ini.
2.3.3. Pengukuran kecerdasan emosi
Ada beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kecerdasan
emosi ini, diantaranya adalah
1. Bar-on’s EQ-I dikembangkan oleh Bar-On (1997) untuk usia diatas 17 tahun dengan berbentuk self report untuk mengukur emotional intelligence dan social intelligence. EQ-I ini terdiri dari 133 item pernyataan dan menyediakan 5 point skala respon. Skala ini telah