iii
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 6 Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Hukum (PMH).
Jakarta, 6 Desember 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum,
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.
NIP. 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA. (……….)
NIP. 195703121985031003
2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. (……….)
NIP. 196511191998031002
3. Pembimbing : Dr. H. Yayan Sofyan, M.Ag. (……….)
NIP. 150277991
4. Penguji I : Kamarusdiana, S.Ag., MH. (……….)
NIP. 197202241998031003
5. Penguji II : Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. (……….)
iv
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Uiversitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 20 Oktober 2010
v
karunia-Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan
tugas penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW., Rasul yang paling mulia dan penutup para Nabi, serta
iringan do‟a untuk keluarga, sahabat dan seluruh pengikutnya yang selalu setia
hingga akhir zaman.
Tidak terasa perjalanan panjang menempuh studi di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta ini telah berakhir. Banyak suka maupun duka mengiringi
perjalanan panjang studi yang penulis lalui. Kadang haru dan bahagia mengenang
banyak kenangan dan pengalaman yang penulis peroleh. Namun, selesainya
penyusunan skripsi ini bukanlah akhir dari perjuangan. Ini merupakan awal dari
perjuangan lain yang akan penulis tempuh dalam hidup ini. Satu tugas telah selesai
maka ada tugas lain yang menanti.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis sadar bahwa tidak akan sanggup
menghadapi berbagai hambatan dan rintangan yang mengganggu berjalannya
penulisan ini tanpa adanya doa, dorongan motivasi dan bantuan yang bersifat materil
maupun spiritual baik secara langsung maupun tidak langsung dari berbagai pihak.
Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya
vi
2. Dr. H. Ahmad Mukri Aji, MA., selaku Ketua Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum beserta Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku
Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum yang telah
membimbing, meluangkan waktu dan mengarahkan segenap aktivitas yang
berkenaan dengan jurusan.
3. Dr. Yayan Sopyan M.Ag., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan bimbingan, petunjuk, pengarahan dan nasihat kepada
penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan beserta pihak-pihak yang terkait,
khususnya Ibu Tamah, SH., Bapak Drs. Kadi Sastro Wirjono yang telah
meluangkan waktunya dan ketersediaannya untuk diwawancara, dan untuk
mbak Ayu yang telah membantu penulis menemui orang yang tepat untuk
dimintai data tentang mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
5. Pimpinan Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas maupun
Perpustakaan umum lainnya beserta staf yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi keperpustakaan berupa beberapa buku maupun
literature lainnya sehingga memperoleh informasi yang dibutuhkan.
6. Para Dosen Fakultas Syari‟ah dan Hukum yang telah memberikan ilmu
vii
mengingatnya. Skripsi ini penulis persembahkan untuk “Papap dan Mama”.
Kepada kakak-kakak dan adik-adik tersayang, a Kiki, a Dede, a Zenit, Zico
dan Adli, kalian selalu memberikan semangat dan doa dalam mengerjakan
skripsi ini. Dan untuk seluruh keluarga besar penulis, kalau bukan berkat doa
kalian tidak akan mampu penulis menyelesaikan skripsi ini.
8. Untuk teman-teman tersayang yang selalu mengingatkan penulis, PH
Community, Lidya, Robhitoh, Acep, Ruqiyah, Khairunnisa, Khodijah,
Zakiah, Husnul, Iin, Merli, Diana, Aam, Afifah, Ronti, Siti, Vini dan Rival
teman seperjuangan dalam memperjuangkan penyusunan skripsi ini serta
seluruh teman-teman Perbandingan Hukum angkatan 2006 yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu. Untuk Akang-akang, Teteh-teteh dan adik-adik
Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Tasikmalaya (HIMALAYA) kalian
adalah rumah kedua setelah keluarga untuk penulis bisa berbagi dan bertukar
fikiran. Terimakasih atas doa dan semangat yang kalian beri.
9. Dan kepada seluruh pihak yang telah membatu penulis dalam mengerjakan
viii
dengan baik. Dan untuk orang-orang yang telah berjasa, penulis hanya bisa
mendoakan semoga selalu dilimpahkan Rahmat dan Hidayah oleh-Nya. Amin.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis dan untuk para pembaca.
Jakarta, 20 Oktober 2010
ix
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI... iii
LEMBAR PERNYATAAN... iv
KATA PENGANTAR... v
DAFTAR ISI... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 6
D. Metode Penelitian... 7
E. Review Studi Terdahulu... 11
F. Sistematika Penulisan... 14
BAB II MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS A.Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia……….. 16
B. Dasar Hukum Mediasi………. 22
C. Ruang Lingkup Mediasi……….. 31
D. Prinsip-prinsip Mediasi……….. 34
x
B. Selayang Pandang Pengadilan Agama Jakarta Selatan... 49
BAB IV ANALISIS EFEKTIVITAS MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN
A. Dasar Hukum Seorang Hakim Menjadi Mediator... 61
B. Administrasi Mediasi Berdasarkan PERMA Nomor 1
Tahun 2008 dan Praktek yang Ada di Lapangan... 63
C. Hambatan Dalam Mengupayakan Keefektivan Mediasi… 65
D. Analisis Efektivitas Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan……… 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan... 86
B. Saran... 89
1
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan manusia pastilah ada permasalahan-permasalahan dalam
menjalankan hidup ini. Manusia sebagai khalifah di muka bumi ini akan menemui
suatu tantangan-tantangan berupa konflik atau pertikaian-pertikaian yang terjadi
antar manusia itu sendiri karena berbeda kepentingan satu sama lain. Kita tidak
dapat mengelak atau menghindar dari permasalahan-permasalahan hidup. Kita
harus menghadapi segala macam permasalahan-permasalahan dan menyelesaikan
permasalahan atau konflik tersebut. Salah satu permasalahan tersebut yaitu
perbedaan-perbedaan dan pertentangan dari sesama manusia karena berbeda
kepentingan antara satu sama lain. Perbedaan dan pertentangan yang dialami
manusia tersebut merupakan hal yang alamiyah, karena Allah swt. menciptakan
manusia dalam keragaman, berbeda-beda suku dan bangsa. Keragaman dan
perbedaan-perbedaan tersebut dapat kita lihat dari perbedaan warna kulit, bahasa,
ras, agama, budaya, pola pikir dan perbedaan kepentingan. Keragaman dan
perbedaan-perbedaan tersebut merupakan suatu potensi yang dapat menimbulkan
konflik-konflik antar manusia. Oleh karena itu manusia harus dapat menangani
konflik dan menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi antar manusia,
Al-Qur‟an pun mengakui konflik dan persengketaan di kalangan manusia
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupannya.1 Hal ini dijelaskan pada
firman Allah swt. :
فْسي ا يف سْفي ْ م ا يف عْجتأ ا اق ةفي خ ضْرأْا يف عاج ي إ ة ئا ْ ّر اق ْ إ
ْعت ا ام م ْعأ ي إ اق س ْ حّ حّس ْح ءام ا
(
ةر ّ ا
/
2
:
30
)
Artinya: “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
„sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: „mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di
bumi adalah orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan
memuji Engkau. Tuhan berfirman: „sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui„.”(QS. Al-Baqarah/2 : 30).
Dari ayat ini sudah jelas terlihat bahwa manusia merupakan orang yang
akan membuat kerusakan dan pertumpahan darah di muka bumi. Manusia dan
konflik tidak dapat dipisahkan dan konflik tak dapat dipisahkan dari kehidupan
manusia. Ayat ini pun menjelaskan bahwa keterkaitan manusia dengan konflik
sudah diinformasikan jauh sebelum diciptakannya (orang yang akan membuat
kerusakan). Oleh karena itu kita sebagai manusia yang diberi kelebihan untuk
memimpin muka bumi ini, harus bisa menyikapi konflik tersebut dengan
mengendalikan hawa nafsu yang kita miliki.
Perlunya penyikapan konflik secara benar tersebut berangkat dari adanya
kesadaran bahwa konflik yang ditimbulkan dari sebuah interaksi sosial yang
saling merugikan dapat menimbulkan terjadinya ketidakharmonisan antar sesama.
1
Walaupun terkadang tidak dapat dihindari bakal terjadinya konflik. Untuk
mengantisipasi terjadinya konflik berkelanjutan, penyelesaian sengketa atau
konflik dapat dilakukan melalui beberapa cara, diataranya adalah mediasi.
Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa yang melibatkan
mediator untuk membantu para pihak yang bersengketa guna mencapai
penyelesaian dalam bentuk kesepakatan sukarela terhadap sebagian atau seluruh
permasalahan yang disengketakan.2 Pada sistem pengadilan yang ada di Indonesia
pun mewajibkan proses mediasi tersebut. Hal ini terdapat pada PERMA No. 1
Tahun 2008 yang merupakan penyempurnaan dari PERMA No. 2 Tahun 2003.
PERMA No. 1 Tahun 2008 ini dikeluarkan oleh Bagir Manan selaku ketua
Mahkamah Agung RI.
PERMA Nomor 1 tahun 2008 ini mewajibkan seluruh perkara perdata
yang masuk ke pengadilan harus melewati proses mediasi. Apabila pihak-pihak
yang terkait menolak melakukan mediasi maka mediasi proses persidangan tidak
dapat dilanjutkan karena batal demi hukum. Seperti yang tertera pada PERMA
Nomor 1 tahun 2008 ini bab I pasal 2 mengenai “Ruang Lingkup dan Kekuatan
Berlaku PERMA” ayat (2) dan (3). Setiap hakim, mediator dan para pihak wajib
mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi yang diatur dalam
Peraturan ini. Dan apabila tidak menempuh prosedur mediasi berdasarkan
2 Felix Oentoeng Soebagjo, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Dibidang
Perbankan” artikel diakses pada tanggal 21 maret 2010 dari
Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 130 HIR dan atau
Pasal 154 Rbg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum. Hal ini dapat
dikatakan proses mediasi ini merupakan paksaan bagi para pihak yang berpekara.
Oleh karena itu dengan dikeluarkannya PERMA No.1 Tahun 2008
mengenai mediasi ini yang mengharuskan para pihak yang berpekara mengikuti
proses mediasi, penulis tertarik untuk mengetahui seberapa efektif pelaksanaan
mediasi yang telah masuk ke dalam sistem peradilan di Indonesia dan diwajibkan
bagi pihak-pihak yang berpekara untuk dapat mengikuti prosedur mediasi
tersebut, khususnya di wilayah Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Penulis
memilih melakukan penelitian di lokasi tersebut karena Pengadilan Agama
Jakarta Selatan merupakan “Pilot Project” dalam bidang mediasi untuk seluruh
Pengadilan Agama di seluruh Indonesia. Jadi, dengan diketahuinya keefektifan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang merupakan “Pilot Project”nya
akan tergambarkan keefektifan mediasi secara scala besar nasional.
Karena latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menuliskannya
menjadi sebuah skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS MEDIASI DI
PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah
Mengingat keluasan dan kompleksitas masalah mediasi tidaklah mungkin
dituangkan dalam skripsi ini. Oleh karena itu penulis akan membatasi
permasaahan yang ada, yaitu keefektivan mediasi yang terdapat di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dan hanya pada kasus perceraian 2 (tiga) tahun belakangan
ini.
Agar lebih terfokus, penulis akan membatasi permasalahan sebagai
berikut:
1. Skripsi ini hanya mengkaji efektivitas pelaksanaan mediasi.
2. Mediasi yang dilakukan sesuai dengan PERMA No 1 Tahun 2008.
3. Tahun perkara dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2009.
4. Lokasi penelitian di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Perumusan Masalah
Masalah adalah adanya perbedaan antara teori dan kenyataan, oleh karena
adanya perbedaan itu penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Berapa perbandingan antara jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah
perkara yang berhasil di mediasi?
2. Apa kendala yang dihadapi oleh para mediator dalam menjalankan mediasi
3. Seberapa efektif mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Selain gambaran di atas, pembuat skripsi dengan judul “EFEKTIVITAS
MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANYA PERMA NOMOR 1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN” mempunyai tujuan, yaitu:
1. Secara teoritis, dimaksudkan agar masyarakat pada umumnya dan
mahasiswa pada khususnya dapat mengetahui sejauh mana keefektivan
mediasi yang dilakukan di Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Mengetahui Perbandingan jumlah perkara yang dimediasi dengan jumlah
perkara yang berhasi di mediasi.
3. Mengetahui kendala-kendala atau hambatan yang dihadapi para mediator
dalam menjalankan mediasi.
Disamping itu, semoga penulisan ini dapat berguna sebagai:
1. Memperkaya khazanah keilmuan intelektualitas di bidang hukum,
khususnya mengenai mediasi.
2. Dari segi praktis, diharapkan berguna untuk memberikan informasi kepada
segenap pihak yang berkompeten untuk dijadikan bahan evaluasi terhadap
dalam memutuskan perkara perdata sehingga dapat mengendalikan jumlah
kasus dalam litigasi.
D. Metode Penelitian
Untuk mengumpulkan data dalam penulisan penelitian skripsi ini, maka
penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan penulis adalah pendekatan
survei. Dilakukan pendekatan survei ini yaitu untuk lebih dapat
mengamati sejauh mana efektivitas mediasi di lapangan. Dengan
dilakukannya survei langsung ke lapangan penulis akan lebih aktual
mendapatkan informasi mengenai keefektivan mediasi.
2. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
menghasilkan deskripsi berup kata-kata atau lisan dari fenomena yang
diteliti natau dari orang-orang yang berkopenten di bidangnya.3 Penelitian
kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang ada,
hingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari
segi jenis data.
3
Selain itu penelitian ini termasuk juga dalam jenis empiris. Karena
penulis terjun langsung ke lokasi penelitian untuk menganalisa
keefektivan suatu hukum. Penelitian jenis empiris terdiri dari penelitian
terhadap identifikasi hukum dan efektivisitas hukum.4
Penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu untuk menganalisa
dan menguraikan mengenai pelaksanaan mediasi yang dilakoni olah para
hakim di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setelah dikeluarkannya
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan.
3. Data Penelitian
Jenis-jenis data dalam penulisan skripsi ini yaitu kualitatif dan
terbagi menjadi 2:
a. Data Primer
Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui
wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang terkait dan berkaitan
dengan penelitian terutama hakim-hakim mediator di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan tentang mediasi dan Dirjen Badan Peradilan
Agama selaku pejabat yang berwenang dalam penerapan PERMA No.
1 Tahun 2008 pada tahun 2010.
b. Data Sekunder
Data sekunder didapat dari peraturan perundang-undangan,5
data-data resmi dari instansi pemerintah, dari peradilan, buku-buku
literatur, karangan ilmiah, makalah umum dan bacaan lain yang
berkaitan dengan judul penelitian.
4. Teknik Pengolahan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan
bahan-bahan yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara
sebagai berikut:
a. Studi Pustaka (library research)
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan
dengan penulisan skripsi ini yaitu dari literatur-literatur, buku-buku
perpustakaan, tulisan-tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan
masalah. Pengolahan data studi pustaka ini dilakukan dengan cara
dibaca, dikaji dan dikelompokkan sesuai dengan pokok masalah yang
terdapat dalam skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (field research)
Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai
perkara-perkara perceraian yang berhasil dan gagal menggunakan mediasi
serta melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan
5
menguasai tentang mediasi yang berada di Pengadilan Agama Jakarta
Selatan yaitu Drs. Kadi Sastrowirjono selaku mediator non hakim
Pengadilan Agama Jakarta selatan dan Tamah, SH., selaku mediator
hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Serta Pejabat Badan
Peradilan Agama yaitu Drs. Wahyu Widiana, MA. Selaku Dirjen
Badan Peradilan Agama. Wawancara ini menggunakan metode bebas
dan terstruktur kemudian penulis kaji dan penulis jadikan referensi
untuk memperkuat data.
c. Pengolahan Data
Setelah memperoleh data-data tersebut di atas, penulis mengolah
data dengan metode deskriptif dan komparatif. Yaitu menyajikan dan
menggambarkan data secara alamiah tanpa melakukan suatu
manipulasi. Dalam penyajian data tersebut dikomparatifkan antara
data yang tertera pada teori yang diambil dari studi pustaka dan
kenyataan sesungguhnya yang didapatkan dari penelitian di lapangan.
5. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah analisis wacana (content
analysis), yaitu mengidentifikasi kehadiran konsep tertentu melalui
rangkaian kata yang ada pada suatu teks. Rangkaian kata dalam suatu
teksnya itu berupa fakta-fakta pengamatan di lapangan, wawancara dan
6. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, yaitu menggunakan deskriptif
analisis. Dalam penulisannya penulis berpedoman pada buku pedoman
penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan
Hukum tahun 2007, yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Review Studi Terdahulu
Sebelum dilakukannya penelitian ini, terdapat skripsi-skripsi dengan
penelitian mengenai perdamaian yang ditulis oleh mahasiswa Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta, yaitu:
NO IDENTITAS SUBSTANSI PEMBEDA
1. Nama : Suaeb
Jurusan/prodi : PMH/PH
Tahun : 2006
Judul :
“Peran Hakim Dalam Mendamaikan Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Bekasi”
Menjelaskan tentang
perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, sebab perceraian dan akibat yang ditimbulkan dari perceraian. Kemudian membahas tentang upaya perdamaian dalam perkara cerai di Pengadilan
Agama, pengertian
perdamaian, maksud
perdamaian dalam
perceraian serta tekhnik dan tatacara hakim dalam mendamaikan para pihak pada kasus perceraian.
Dalam skripsi ini lebih ditekankan peran hakim yang mendamaikan para pihak dalam artian dilihat dari segi
meditor atau
subjeknya,
sedangkan di skripsi penulis lebih melihat dari segi objeknya, yaitu mediasi yang dilaksanakannya, berhasil atau tidak.
2. Nama : Budi
Setiawan
Jurusan/prodi : PMH/PF
Tahun : 2006
Judul :
Membahas seputar
pengertian hakam , syarat-syarat menjadi hakam,
kemudian membahas
perdamaian di masa
Dalam skripsi
tersebut lebih
“Hakam Menurut Imam madzhab dan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Serta
Peranannya Dalam
Menyelesaiakan
Sengketa Perceraian
(Studi Kasus Pada
Pengadilan Agama
Jakarta Utara).”
sahabat dan perdamaian pada sengketa perceraian di masa sekarang. Selain itu dalam skripsi ini memuat juga mengenai pandangan Imam madzhab
dan Undang-undang
Peradilan Agama tentang hakam, serta bentuk dan
upaya hakam dalam
mendamaikan, peranan hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani hakam serta peranan hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
masa sahabat dengan perdamaian pada
masa sekarang.
Sedangkan skripsi
penulis lebih
mengedepankan efek dari mediasi tersebut yang dituangkan dalam efektivitas
mediasi. Dan
landasan hukumnya juga berbeda, pada skripsi yang ditulis oleh Budi Setiawan berdasarkan pada UU No. 7 Tahun 1989, sedangkan penulis
menggunakan
PERMA No. 1
Tahun 2008.
3. Nama :
Musliman
Jurusan/prodi : ASS/PA
Tahun : 2007
Judul :
“Upaya Hakim Dalam Mendamaikan Pihak-pihak Terhadap Perkara Perceraian (Studi Kasus di Pengadilan Agama Depok)”
Menjelaskan tentang
perceraian yang terdiri dari pengertian perceraian, macam-macam perceraian, bentuk-bentuk perceraian,
dan alasan-alasan
dilakukannya perceraian. juga membahas tentang pengertian perdamaian, dasar hukumnya dan tata
cara mengajukan
perceraian. selain itu penulis membahas upaya
hakim dalam
mendamaikan pihak-pihak terhadap perceraian di Pengadilan Agama Depok.
Dalam skripsi yang
ditulis oleh
Musliman
membahas tentang upaya hakim yang mendamaikan pihak-pihak di dalam persidangan.
Sedangkan dalam judul yang penulis angkat membahas
tentang upaya
4 Nama : Nusra Arini
Jurusan/prodi : PMH/PH
Tahun : 2009
Judul :
“Aplikasi PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi Dalam Putusan Perkara Perdata di Pengadilan Agama Jakarta Selatan”
Menjelaskan tentang
kandungan PERMA No.1
Tahun 2008,
pngertian,sejarah mediasi, dasar hukum mediasi dalam litigasi, tujuan hukum dalam litigasi, prosedur mediasi,putusan
perkara perdata,
pengaplikasian PERMA No.1 Tahun 2008 di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dan pengaruh Mediasi terhadap putusan sebelum dan sesudah PERMA.
Perbedaannya
dengan skripsi yang penulis tulis adalah dalam skripsi yang di tulis oleh Nusra Arini ini lebih menekankan
pengaplikasian mediasi, sedangkan
penulis lebih
meneliti tentang keefektifan mediasi
di Pengadilan
Agama Jakarta
Selatan, apakah berhasil guna atau tidaknya.
Dalam penulisan skripsi, penulis mengangkat judul “Efektivitas Mediasi
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan Setelah dikeluarkannya PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan”, penulis
menjelaskan tentang keefektivan mediasi yang diwajibkan oleh PERMA Nomor
1 Tahun 2008 mengenai mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Judul ini
belum ada di skripsi-skripsi sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Secara keseluruhan persoalan yang akan dibahas dalam skripsi ini akan
penulis sajikan atau paparkan dalam 5 Bab, diantaranya:
Bab I, bab ini memuat tentang PENDAHULUAN yang terdiri dari latar
penelitian, metodelogi penelitian, review studi terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab II, dalam bab ini akan dikemukakan secara umum MEDIASI
DALAM TINJAUAN TEORITIS yang meliputi pengertian mediasi, sejarah
mediasi, baik itu sejarah awal mulanya mediasi di Indonesia ataupun sejarah awal
mulanya mediasi dalam Islam. Kemudian membahas mengenai dasar hukum
mediasi dalam hukum Nasional dan dalam hukum Islam, bagaimana
prinsip-prinsipnya dan praktik mediasi pada keduanya, pada PERMA No. 1 Tahun 2008
dan A-Qur‟an, kemudian mengenai ruang lingkup mediasi dan dasar hukum
mediasi, baik dasar hukum mediasi dalam hukum nasional maupun dalam hukum
Islam serta jenis-jenis perkara yang ditangani mediasi.
Bab III, pada bab ini akan dipaparkan penjelasan secara terperinci tentang
TEORI EFEKTIVITAS DAN SELAYANG PANDANG PENGADILAN
AGAMA JAKARTA SELATAN. Terdiri dari pengertian umum efektivitas,
indikator dapat dikatakan efektif, letak geografis Pengadilan Agama Jakarta
Selatan serta sejarah Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
Bab IV, PELAKSANAAN MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
JAKARTA SELATAN SETELAH DIKELUARKANNYA PERMA NOMOR 1
TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN. Bab ini
merupakan bab inti yang ada dalam skripsi ini, karena dalam bab ini akan dibahas
beberapa problem dalam penerapan serta bagaiman efektivitas mediasi di ranah
Bab V, PENUTUP. Bab ini sebagaimana umumnya dalam setiap karya
ilmiah lazim dibuat suatu penutup yang berupa kesimpulan dari beberapa
persoalan yang dibahas dan saran dari penulis untuk masyarakat umum.
Adapun untuk melengkapi skripsi ini dan untuk
mempertanggungjawabkan karya ilmiah ini, diakhiri dengan data-data buku
sebagai referensi dalam mengkaji permasalahan di seputar hukum mengenai
16
BAB II
MEDIASI DALAM TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian dan Sejarah Mediasi di Indonesia 1. Pengertian Mediasi
Dalam pengertian umum, makna mengenai mediasi secara etimologi
dan terminologi yang diberikan oleh para ahli akan dipaparkan sebagai
berikut. Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin yaitu
mediare, yang berarti berada di tengah. Makna ini menunjukkan kepada
peran yang bertindak sebagai mediator. Mediator dalam menjalankan
tugasnya berada di tengah-tengah para pihak yang bersengketa atau dalam
artian menengahi kedua belah pihak. “Berada di tengah” juga mempunyai
makna harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa dan harus mampu menjaga kepentingan para pihak
yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan
(trust) dari para pihak yang bersengketa.1 Oleh karena itu, para mediator
haruslah orang yang dapat dipercaya untuk mendamaikan atau menengahi
kedua belah pihak yang bersengketa tanpa memihak salah satunya.
Dalam Collin English Dictionary and Thesaurus yang dikutip dalam
buku “Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum adat dan Hukum
1
Nasional” karangan Syahrizal Abbas disebutkan bahwa mediasi adalah
kegiatan menjebatani kedua belah pihak yang bersengketa guna
menghasilkan kesepakatan (agreement).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti sebagai
proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai penasehat. 2
2. Sejarah Mediasi di Indonesia
Pada tanggal 24 sampai dengan 27 September 2001, Rakernas Mahkamah
Agung RI yang diadakan di Yogyakarta telah menghasilkan beberapa
rekomendasi, salah satu keputusan rakernas tersebut merekomendasikan
pemberdayaan pengadilan tingkat pertama dalam menerapkan upaya perdamaian
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg.3
Sejalan dengan hasil rakernas tersebut dan untuk membatasi perkara
kasasi ke Mahkamah Agung secara substantif dan prosessual, maka Mahkamah
Agung mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam
bentuk mediasi, yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2002.
2
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988), h.569.
3Yasardin, “Mediasi di Pengadilan Agama; Upaya Pelaksanaan SE Ketua MA N
o.1 Tahun
Namun, belakangan MA menyadari SEMA itu sama sekali tidak berdaya
dan tidak efektif sebagai landasan hukum untuk mendamaikan para pihak. SEMA
itu tidak jauh berbeda dengan ketentuan Pasal 130 HIR dan 154 Rbg. Hanya
memberi peran kecil kepada hakim untuk mendamaikan pada satu segi, serta tidak
memiliki kewenangan penuh untuk memaksa para pihak melakukan penyelesaian
lebih dahulu melalui proses perdamaian. Itu sebabnya, sejak berlakunya SEMA
tersebut pada 1 Januari 2002, tidak tampak perubahan sistem dan prosesual
penyelesaian perkara. Namun, tetap berlangsung secara konvensional melalui
proses litigasi biasa.4
Umur SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk mediasi, hanya 1
tahun 9 bulan (30 Januari 2002 sampai dengan 11 September 2003). Pada tanggal
11 September 2003, MA mengeluarkan PERMA No.2 Tahun 2003 sebagai
penggantinya. Pasal 17 PERMA ini menegaskan:
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) ini, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154 Rbg) dinyatakan tidak berlaku.
PERMA No.2 Tahun 2003 terdiri dari 6 Bab dan 18 Pasal:
Sistematika PERMA No. 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1-2
4
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
BAB VI
Tahap Pra Mediasi
Tahap Mediasi
Tempat dan Biaya
Lain-lain
Penutup
Pasal 3-7
Pasal 8-14
Pasal 15
Pasal 16
Pasal 17-18
Dalam konsideran dikemukakan beberapa alasan yang melatarbelakangi
penerbitan PERMA menggantikan SEMA No.1 Tahun 2002 Tentang
Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam
bentuk mediasi, antara lain:
1. Mengatasi Penumpukan Perkara
Pada huruf a konsideran dikemukakan pemikiran bahwa perlu diciptakan
suatu instrumen efektif yang mampu mengatasi kemungkinan perkara di
pengadilan, tentunya terutama di tingkat kasasi. Menurut PERMA, instrumen
yang dianggap efektif adalah sistem mediasi. Caranya dengan jalan
pengintegrasian mediasi ke dalam sistem peradilan.
2. SEMA No.1 Tahun 2002, Belum Lengkap
Pada huruf e konsideran dikatakan, salah satu alasan mengapa
PERMA diterbitkan, karena SEMA No.1 Tahun 2002 tentang Pemberdayaan
Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai dalam bentuk
mediasi tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan
tersebut belum sepenuhnya mengintegrasikan mediasi ke dalam sistem
peradilan secara memaksa (compulsory) tetapi masih bersifat sukarela
(voluntary). Akibatnya, SEMA itu tidak mampu mendorong para pihak secara
intensif memaksakan penyelesaian perkara lebih dahulu melalui perdamaian.
3. Pasal 130 HIR dan 154 Rbg, Dianggap Tidak Memadai
Pada huruf f konsideran tersurat pendapat, cara penyelesaian
perdamaian yang digariskan Pasal 130 HIR dan Pasal 154 Rbg masih belum
cukup mengatur tata cara proses mendamaikan yang pasti, tertib dan lancar.
Oleh karena itu, sambil menunggu pembaharuan hukum acara, Mahkamah
Agung menganggap perlu menetapkan PERMA yang dapat dijadikan
landasan formil yang komprehensif sebagai pedoman tata tertib bagi para
hakim di pengadilan tingkat pertama mendamaikan para pihak yang
berperkara.5
Mahkamah Agung menyadari bahwa mediasi merupakan salah satu proses
penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah. Selain itu, mediasi dapat
memberikan akses yang lebih besar kepada para pihak menemukan penyelesaian
yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan. Menurut hakim agung Susanti
5
Adi Nugroho, mediasi yang terintegrasi ke pengadilan diharapkan efektif
mengurangi tumpukan perkara, termasuk di Mahkamah Agung (MA).6
Sejak tahun 2006 MA sudah membentuk tim yang bekerja mengevaluasi
kelemahan-kelemahan pada PERMA No.2 Tahun 2003. Beranggotakan dari
hakim, advokat, Pusat Mediasi Nasional dan organisasi yang selama ini concern
pada masalah-masalah mediasi, Indonesian Institute for Conflict Transformation
(IICT). Hasil kerja tim menyepakati peraturan baru, yakni PERMA No.1 Tahun
2008. Ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung, Prof.Dr.Bagir Manan,SH.,M.CL
pada tanggal 31 Juli 2008. Perma ini lahir karena dirasakan Perma No.2 Tahun
2003 mengandung kelemahan yang beberapa hal harus disempurnakan.
Penerbitan PERMA No.1 Tahun 2008 mengubah secara mendasar
prosedur mediasi di Pengadilan. MA belajar dari kegagalan selama lima tahun
terakhir. Bab VIII Pasal 26 PERMA ini menyatakan:
Dengan berlakunya Peraturan ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan dinyatakan tidak berlaku.
Dari jumlah klausul, PERMA 2008 jauh lebih padat karena memuat 27
Pasal, sementara PERMA 2003 hanya 18 Pasal. Perbedaan jumlah pasal ini
setidaknya menunjukkan ada perbedaan keduanya. Perma No.1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan mencoba memberikan pengaturan yang
6Ali, “Beleid Baru Untuk Sang Mediator”, artikel diakses pada tanggal 27 Februari 2010 d
lebih komprehensif, lebih lengkap dan lebih detail sehubungan dengan mediasi di
pengadilan.
PERMA 2008 memang membawa perubahan mendasar dalam beberapa
hal, misalnya rumusan perdamaian pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan
kembali. PERMA 2003 sama sekali tak mengenal tahapan demikian. PERMA
No.1 Tahun 2008 memungkinkan para pihak atas dasar kesepakatan mereka
menempuh perdamaian terhadap perkara yang sedang dalam proses banding,
kasasi atau peninjauan kembali. Syaratnya, sepanjang perkara belum diputus
majelis pada masing-masing tingkatan tadi.
Selain kemungkinan damai pada tingkat banding, kasasi dan peninjauan
kembali, PERMA No.1 Tahun 2008 memuat rumusan baru tentang konsekuensi
hukum jika proses mediasi tak ditempuh. Pasal 2 ayat (3) tegas menyebutkan:
“Tidak menempuh proses mediasi berdasarkan Peraturan ini merupakan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 130 HIR dan atau pasal 154 RBg yang mengakibatkan putusan batal demi hukum”.
Demikianlah latar belakang lahirnya PERMA No. 1 Tahun 2008 yang
merupakan peraturan baru dalam proses penyelesaian perkara melalui litigasi
(lembaga peradilan).
B. Dasar Hukum Mediasi
1. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Nasional
Yang menjadi dasar hukum diberlakukannya mediasi dalam proses
a. Pancasila.
Dasar hukum dari mediasi yang merupakan salah satu sistem ADR
di Indonesia adalah dasar Negara Indonesia yaitu Pancasila, dimana dalam
filosofinya tersiratkan bahwa penyelesaian sengketa adalah musyawarah
mufakat, hal tersebut juga tersirat dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang mediasi adalah
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pasal 3
ayat 2 menyatakan “Peradilan negara menerapkan dan menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila”. Penjelasan Pasal 3 ayat (1)
menyatakan: Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk usaha
penyelesaian perkara dilakukan di luar pengadilan negara melalui
perdamaian atau arbitrase.7
Kini telah jelas dan diakui secara hukum tentang adanya suatu
lembaga alternatif di dalam pengadilan yang dapat membantu para pihak
yang bersengketa untuk menyelesaian sengketanya. Karena selama ini
yang dikenal dan diatur dengan peraturan perundang-undangan adalah
Arbitrase saja. Yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
b. Pasal 130 HIR/154 Rbg
7
Sebenarnya sejak semula Pasal 130 HIR maupun Pasal 154 Rbg
mengenal dan menghendaki penyelesaian sengketa melalui cara damai.
Pasal 130 ayat (1) HIR berbunyi:
Jika pada hari sidang yang ditentukan itu kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri dengan pertolongan ketua mencoba akan mendamaikan mereka.8
Selanjutnya ayat (2) menyatakan:
Jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai, maka pada waktu bersidang, diperbuat suatu surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan mentaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan sebagai putusan yang biasa.9
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum acara yang berlaku baik pasal
130 Herzien Indonesis Reglement (HIR) maupun pasal 154
Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg), mendorong para pihak untuk
menempuh proses perdamaian yang dapat diintensifkan dengan cara
mengintegrasikan proses ini.10
8
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan (Bogor: Politeia,1985), h.88.
9
R. Soesilo, RIB/HIR Dengan Penjelasan, h.187.
10
c. Pasal 82 UU No.7 Tahun 1989 jo UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan
Agama
Pasal 82 berbunyi:
(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian. Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami istri harus datang secara pribadi kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar negeri, dan tidak dapat menghadap secara pribadi dapat diwakilkan oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(3) Apabila kedua pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka penggugat pada sidang perdamaian tersebut menghadap secara pribadi.
(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
Karena perceraian adalah suatu perbuatan yang dibenci Allah,
walaupun perbuatan itu adalah halal. Maka, peraturan ini menetapkan bahwa
seorang hakim dalam menangani kasus (pasal ini menyebutkan gugat cerai)
berkewajiban untuk berusaha mendamaikan kedua belah pihak.
Usaha perdamaian (mediasi) tidak hanya dilakukan pada peradilan
tingkat pertama saja tapi juga pada tingkat banding maupun tingkat kasasi.
Oleh karena itu, hakim berusaha semaksimal mungkin untuk mendamaikan
pihak yang berperkara.
d. Penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975
Pasal 31 ayat (2) PP No.9 Tahun 1975 berbunyi:
(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.
“Usaha untuk mendamaikan suami-istri yang sedang dalam pemeriksaan perkara gugatan untuk mengadakan perceraian tidak terbatas pada sidang pertama sebagaimana lazimnya dalam perkara perdata, melainkan pada setiap saat sepanjang perkara itu belum diputus oleh hakim. Dalam mendamaikan kedua belah pihak dapat meminta bantuan kepada orang atau badan lain yang dianggap perlu.11
Pasal tersebut menyiratkan bahwa mediasi wajib dilakukan oleh para
pihak yang berperkara (dalam pasal ini suami istri) dengan bantuan seorang
mediator (hakim). Proses mediasi dapat dilakukan pada setiap persidangan, ini
berarti bahwa usaha untuk mendamaikan tidak hanya dilakukan pada sidang
pertama saja yang dihadiri oleh kedua belah pihak, tetapi dapat juga dilakukan
pada sidang kedua, sidang ketiga dan sidang berikutnya selama perkara belum
diputus.
e. PERMA No.1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Sebagaimana dalam Pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 yang
menyatakan bahwa semua perkara perdata yang diajukan ke Pengadilan
Tingkat Pertama wajib lebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
perdamaian dengan bantuan mediator.
Maka, pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, sebelum
pembacaan gugatan dari penggugat. Hakim wajib memerintahkan para pihak
untuk lebih dahulu menempuh mediasi yang dibarengi dengan penundaan
pemeriksaan perkara.
11
2. Dasar Hukum Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam secara terminologis perdamaian disebut dengan
istilah Islah yang menurut bahasa adalah memutuskan suatu persengketaan. Dan
menurut syara‟ adalah suatu akad dengan maksud untuk mengakhiri suatu
persengketaan antara dua pihak yang saling bersengketa.12
a. Al-Qur’an
Dasar hukum dalam Al-Qur‟an, termaktub dalam surat An-Nisa‟ ayat 128:
ا ب ا ص أ ا ع ا ج ا ف اضا ع أ ا ش ا عب تفاخ أ ا
ا ب اك لا ف ا قّت ا س ت شلا سف ألا ت ض أ خ صلا ا ص
ا خ
عت
(
ءاس لا
/
4
:
128
)
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. An-Nisa‟: 4 ayat 128)
Makna “wal shulhu khair” yakni “dan perdamaian itu lebih baik”. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu „Abbas ra, ia berkata: “yaitu memberikan
pilihan”. Maksudnya apabila suami memberikan pilihan kepada istri antara
bertahan atau bercerai, itu lebih baik daripada si suami terus menerus
mengutamakan istri yang lain daripada dirinya.
12
Dzahir ayat ini bahwa perdamaian di antara keduanya dengan cara istri
merelakan sebagian haknya bagi suami dan suami menerima hal tersebut, lebih
baik daripada terjadi perceraian secara total.
Sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, beliau tetap
mempertahankan Saudah binti Zam‟ah dengan memberikan malam gilirannya kepada „Aisyah RA. Beliau tidak menceraikannya dan tetap menjadikannya
sebagai istri.
Beliau melakukan hal itu agar diteladani oleh umatnya, bahwasanya hal
tersebut disyari‟atkan dan dibolehkan. Hal itu lebih utama pada hak Nabi
Muhammad SAW. Kesepakatan itu lebih dicintai oleh Allah daripada perceraian.
Firman Allah “wal shulhu khair” „dan perdamaian itu lebih baik‟, bahkan
perceraian sangat dibenci Allah SWT.13Ayat ini berkaitan dengan perdamaian
masalah perkawinan.
Selain ayat tersebut, ada ayat lain yang secara langsung menganjurkan
agar diadakan perdamaian yakni Surat Al-Hujarat ayat 9:
ّلا ا تاقف خألا ع ا ا تغب ف ا ب ا صأف ا ّّقا
لا اّفئاط
ّ لا ا طسقأ ل علاب ا ب ا صأف تءاف ف لا أ ل ء فت ّ غ ت
طسق لا
(
تا
لا
/
49
:
9
)
Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya, tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.
13
kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”. (QS. Al-Hujurat/49: 9)
Allah berfirman seraya memerintahkan untuk mendamaikan dua kubu
kaum mukmin yang saling bertikai. Mereka tetap disebut sebagai orang-orang
beriman meski saling menyerang satu sama lain.14
Bila Al-Qur‟an membolehkan perdamaian dalam masalah-masalah seperti
di atas, maka perdamaian dalam masalah keperdataan yang menyangkut dengan
harta bendapun sudah barang tentu dibolehkan pula. Bahkan bila ditelaah dengan
seksama kajian sulh dalam kitab-kitab fiqh klasik, objek kajiannya tertuju pada
bidang perjanjian atau perikatan yang menyangkut harta benda.
b. Al Sunnah
Dalam penyelasaian sengketa, langkah pertama yang Rasulullah tempuh
adalah jalan damai. Seperti sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud:
با ع
,
لاق
:
ّا
س لا ب ئاج صلا س ع ها ص ها ل س لاق
ّ ا
ا ا ا ّ ا ا ص
(
ا با ا
)
15
Artinya: Dari abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Perdamaian antara orang-orang muslim itu dibolehkan, kecuali perdamaian yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang
halal”(HR. Abu Daud).
14
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 8, cet.2 (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2008), h.470.
15
Abu Daud, Kitab Sunan Abu Daud (Beirut: Karoban Hazm, 1974), h.553. Dapat juga
ّلا ا لاق , ا ا ّ ا ا , ّا
اط شّا , ط ش ع
س لا ا
:
ص س ث ا
Tirmidzi menambahkan:
Artinya:“Dan orang-orang Islam itu menurut perjanjian mereka, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram” (Tirmidzi berkata, hadis ini Hasan Shahih).16
Perdamaian yang dikandung oleh sabda ini bersifat umum, baik
mengenai hubungan suami istri, transaksi maupun politik. Selama tidak
melanggar hak-hak Allah dan Rasul-Nya, perdamaian hukumnya boleh.17
c. Doktrin Umar ibn Khattab
Umar dalam suatu peristiwa pernah berkata:
ع ها ض ع لاق
:
ا طص ّ ص لا ا
,
ءاضفلا ّصف ف
ئاغضلا ب ث
18“Tolaklah permusuhan hingga mereka berdamai, karena pemutusan
perkara melalui pengadilan akan mengembangkan kedengkian
diantara mereka”.
16Muhammad ibn „Ali ibn Muhammad al
-Syaukani, Nailu al-authar Juz 5 (Kairo: Al-Babi al-Holbi, t.th), h.378.
17 “Sulh”, dalam Abdul Azis Dahlan, dkk, ed.,
Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000), h.1653.
18
C. Ruang Lingkup Mediasi
Konflik atau sengketa yang terjadi pada manusia cukup luas ruang
lingkupnya. Konflik dan persengketaan dapat saja terjadi dalam wilayah publik
maupun wilayah privat. Konflik dalam wilayah publik yaitu konflik yang terkait
erat dengan kepentingan umum, di mana negara berkepentingan untuk
mempertahankan kepentingan umum tersebut. Kejahatan dan pelanggaran yang
dilakukan seseorang, harus diselesaikan secara hukum melalui penegakan aturan
pidana di pengadilan. Dalam kasus pidana, pelaku kejahatan atau pelanggaran
tidak dapat melakukan tawar-menawar dengan negara. Dalam hukum islam,
kepentingan umum yang dipertahankan negara melalui sejumlah aturan pidana
dikenal dengan mempertahankan hak Allah (haqqullah).
Beda halnya dengan wilayah hukum privat, di mana titik berat
kepentingannya terletak pada kepentingan perseorangan (pribadi). Dimensi privat
cukup luas cakupannya. Yaitu meliputi hukum keluarga, hukum kewarisan,
hukum kekayaan, hukum perjanjian (kontrak), bisnis dan lain-lain. Dalam
dimensi hukum privat atau perdata, para pihak yang bersengketa dapat melakukan
penyelesaian sengketanya melalui jalur hukum di pengadilan ataupun di luar jalur
pengadilan. Karena dalam hukum islam dimensi perdata mengandung hak
manusia (haqqul „ibad) yang dapat dipertahankan melalui kesepakatan damai
antar para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, mediasi sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengketa
perdata berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisnis,
lingkungan hidup dan berbagai jenis sengketa perdata lainnya dapat diselesaikan
melalui jalur mediasi. Penyelesaian melalui mediasi ini dapat di tempuh di
pengadilan maupun di luar pengadilan. Mediasi yang dijalankan di pengadilan
merupakan rentetan dari prosedur hukum di pengadilan. Sedangkan bila mediasi
dilakukan di luar pengadilan, maka proses mediasi tersebut adalah bagian
tersendiri yang terlepas dari prosedur hukum acara pengadilan.19
Berdasarkan pasal 4 PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa
semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama wajib
terlebih dahulu diselesaikan melalui proses mediasi, kecuali untuk beberapa
perkara. Pengecualian tersebut adalah perkara yang diselesaikan melalui
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan keberatan atas putusan Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Pemeriksaan perkara niaga, hubungan industrial, perlindungan konsumen
dan persaingan usaha telah diatur dalam prosedur tersendiri, sehingga meskipun
perkara itu termasuk dalam kategori sengketa perdata, tetapi dikecualikan dari
19
kewajiban untuk menempuh proses mediasi sebagaimana diatur dalam PERMA
ini.20
Keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga
tidak dapat dimediasi karena substansi persoalan adalah murni hukum yaitu
berkaitan dengan validitas atau keabsahan dari putusan KPPU, sehingga masalah
pokok adalah sah atau tidak sahnya putusan KPPU. Peran pengadilan tingkat
pertama dalam konteks ini adalah untuk menentukan keabsahan putusan KPPU.
Persolan hukum seperti itu tidak memberi peluang bagi para pihak untuk
mengadakan tawar-menawar dalam sebuah proses perundingan.
Di Pengadilan Agama Jakarta Selatan setiap perkara yang diterima wajib
terlebih dahulu diselesaikan melalui mediasi tetapi dalam perkara kontentius.21
Dengan ketentuan bahwa kedua belah pihak hadir pada sidang pertama. Karena
pada sidang pertama inilah para pihak diperintahkan untuk menempuh proses
mediasi oleh majelis hakim yang menangani perkara tersebut.
Sedangkan perkara voluntair22 karena hanya satu pihak yang mengajukan
permohonan, tentu saja tidak dapat menempuh mediasi. Seperti perkara penetapan
ahli waris, dispensasi nikah, pengangkatan anak.
20
Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama JICA dan IICT, Buku Komentar Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No.01 Tahun 2008 Tentang Pelaksanaan Mediasi Di Pengadilan (Jakarta: MA-RI, JICA dan IICT, 2008), h.23.
21
Perkara Kontentius adalah perkara gugatan/permohonan yang didalamnya mengandung sengketa antara pihak-pihak.
22
Jadi, kalau dalam PERMA No.1 Tahun 2008 menyebutkan bahwa semua
perkara perdata wajib menempuh proses mediasi. Sedangkan di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dibatasi pada perkara kontentius.
D. Prinsip-prinsip Mediasi
1. Prinsip-prinsip Mediasi Menurut Para Ahli
Menurut Ruth Carlton terdapat lima prinsip mediasi, lima prinsip ini
dikenal dengan lima dasar filsafat mediasi, kelima prinsip itu adalah prinsip
kerahasiaan (confidentiality), prinsip sukarela (volunteer), prinsip
pemberdayaan (empowerment), prinsip netralitas (neutrality) dan prinsip
solusi yang unik (a uniqe solution).
a. Prinsip Kerahasiaan (confidentiality)
Kerahasiaan yang dimaksud di sini adalah bahwa segala sesuatu
yang terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan
pihak-pihak yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik atau
diberitahukan kepada pers oleh masing-masing pihak. Begitupun mediator
itu sendiri tidak boleh membocorkan isi dari mediasi tersebut. Bahkan
setelah mediasi itu memperoleh hasil, dokumentasi-dokumentasi yang ada
harus dimusnahkan untuk menjaga kerahasiaan hasil mediasi tersebut.
Dan para pihak yang terlibatpun diharapkan menghargai kerahasiaannya.
mediator tidak dapat dijadikan saksi dalam memberi keterangan dalam
b. Prinsip Sukarela (volunteer)
Yang dimaksud dengan sukarela disini yaitu masing-masing
pihak yang bertikai datang ke mediasi atas keinginannya sendiri, dengan
sukarela dan tidak ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun. Prinsip
kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa orang akan mau bekerjasama
untuk menemukan jalan keluar dari persengketaan mereka dan atas
keinginan mereka sendiri.
c. Prinsip Pemberdayaan (empowerment)
Prinsip ini didasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang
ke mediasi sebenarnya mempunyai kemampuan untuk menegosiasiakan
masalah mereka sendiri dan dapat mencapai kesepakatan yang mereka
inginkan. Kemampuan mereka dalam hal ini harus diakui dan dihargai.
Oleh karena itu setiap solusi atau jalan penyelesaian sebaiknya tidak
dipaksakan dari luar. Penyelesaian sengketa harus muncul dari
pemberdayaan terhadap masing-masing pihak, karena hal itu akan lebih
memungkinkan para pihak untuk menerima solusinya.
d. Prinsip Netralitas (neutrality)
Dalam mediasi, seorang mediator hanya memfasilitasi prosesnya
saja, dan mengontrol berjalan atau tidak mediasi tersebut. Sedangkan
isinya tetap menjadi milik orang yang bersengketa. Dalam mediasi,
mediator tidak ikut campur seperti halnya seorang hakim atau juri yang
membenarkan dan menyalahkan salah satu pihak, tetapi mediator di sini
bersifat netral.
e. Prinsip Solusi yang unik (a uniqe solution).
Solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak haus sesuai
dengan standar legal, tetapi dapat dihasilkan dari proses kreatifitas. Oleh
karena itu hasil mediasi mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan
kedua belah pihak, yang terkait erat oleh konsep pemberdayaan
masing-masing pihak.
2. Prnsip-prinsip Mediasi Dalam al-Qur’an
Mediasi dalam konsep Islam dikenal dengan istilah Shulhu/Ishlah,
beberapa ahli fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam
redaksi yang berbeda, artinya yang mudah difahami adalah memutus suatu
persengketaan. Dalam penerapan yang kita fahami adalah suatu akad dengan
maksud untuk mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling
bersengketa yang berakhir dengan perdamaian. Allah Swt telah mengingatkan
kepada kita akan posisi antara sesame manusia, hal tersebut tercantum di
dalam Al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 10,
Artinya: “Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
Ada beberapa bentuk Ishlah dalam Islam yang kita kenal antara lain :
a. Ishlah antara orang muslim dengan orang kafir;
b. Ishlah antara suami dengan isteri;
c. Ishlah antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat
adil;
d. Ishlah antara orang yang saling menuntut;
e. Ishlah dalam hal penganiayaan seperti mema‟afkan dengan ganti rugi
berupa uang;
f. Ishlah untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak
milik.
E. Mediasi dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
PERMA Nomor 1 tahun 2008 tentang Prosedur mediasi di Pengadilan
terdiri dari 8 bab dan 27 pasal:
Sistematika PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Bab I: Ketentuan Umum Ruang Lingkup dan Kekuatan
Berlakunya Perma
Pasal
Biaya pemanggilan para pihak
Jenis perkara yang dimediasi
Sertifikasi mediator
Sifat proses mediasi
Bab II: Tahap Pra Mediasi Kewajiban hakim pemeriksaan dan kuasa
hukum
Hak para pihak memilih mediator
Daftar mediator
Honorarium mediator
Batas waktu pemilihan mediator
Menempuh mediasi dengan iktikad baik
Pasal
7 – 12
Bab III: Tahap-Tahap
Proses Mediasi
Penyerahan resume perkara dan lama
waktu proses mediasi
Kewenangan mediator menyatakan
mediasi gagal
Tugas-Tugas mediator
Keterlibatan ahli
Mencapai kesepakatan
Tidak mencapai kesepakatan
Keterpisahan mediasi dan litigasi
Pasal
13– 19
Penyelenggaraan Mediasi 20
Bab V: Perdamaian di
Tingkat Banding, Kasasi
dan Peninjauan Kembali
Pasal
21– 22
Bab VI: Kesepakatan di
Luar Pengadilan
Pasal
23
Bab VII: Pedoman Perilaku
Mediator dan Insentif
Pasal
24– 25
Bab VIII: Penutup Pasal
26– 27
Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan adalah penyempurnaan terhadap Peraturan Mahkamah Agung
RI Nomor 2 Tahun 2003 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Penyempurnaan
tersebut dilakukan Mahkamah Agung karena dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003
ditentukan beberapa masalah, sehingga tidak efektif penerapannya di pengadilan.
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA Nomor 1 Tahun 2008 sebagai upaya
mempercepat, mempermurah, dan mempermudah penyelesaian sengketa serta
memberikan akses lebih besar kepada pencari keadilan. Mediasi merupakan
instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan perkara di pengadilan, dan sekaligus
memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan sengketa,
Hakim wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui mediasi. Bila
hakim melanggar atau enggan menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim
tersebut batal demi hukum (Pasal 2 ayat (3) Perma). Oleh karenanya, hakim dalam
pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa perkara yang bersangkutan
telah diupayakan perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator
untuk perkara yang bersangkutan.
Pasal 4 Perma No. 1 Tahun 2008 menentukan perkara yang dapat diupayakan
mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertama,
kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur pengadilan niaga, pengadilan
hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan Penyelesaikan Sengketa
Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Perkara
yang dapat dilakukan mediasi adalah perkara perdata yang menjadi kewenangan
lingkup peradilan umum dan lingkup peradilan agama.
Mediator non hakim dapat berpraktik di pengadilan, bila memiliki sertifikat
mediator yang diperoleh setelah mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh
lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung RI ( Pasal 5 ayat (1) Perma).
Hakim mewajibkan para pihak untuk menempuh mediasi pada hari sidang yang telah
ditentukan yang dihadiri oleh para pihak.
Adanya kewajiban menjalankan mediasi, membuat hakim dapat menunda
proses persidangan perkara. Dalam menjalankan mediasi, para pihak bebas memilih
mediator yang disediakan oleh pengadilan atau mediator di luar pengadilan. Untuk
memuat sekurang-kurangnya (5) nama mediator yang disertai dengan latar belakang
pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua pengadilan mengevaluasi
mediator dan memperbarui daftar mediator setiap tahun. (Pasal 9 Ayat (7) Perma).
Bila para pihak yang memilih mediator hakim, maka baginya tidak dipungut biaya
apapun, sedangkan bila memilih mediator nonhakim uang jasa ditanggung bersama
para pihak berdasakan kesepakatan.
Dalam Pasal 11 Perma Nomor 1 Tahun 2008 disebutkan bahwa para pihak
diwajibkan oleh hakim pada sidang pertama untuk memilih mediator atau 2 (dua) hari
kerja sejak pertama kali sidang. Para pihak segera menyampaikan mediator terpilih
kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim membertahukan mediator untuk
melaksanakan tugasnya.
Proses mediasi dapat berlangsung selama 40 hari sejak mediator dipilih oleh
para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim (Pasal 13 ayat (3)Perma). Atas
dasar kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 hari
sejak berakhirnya masa 40 hari (Pasal 13 ayat (4) Perma).
Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa para pihak atas dasar kesepakatan mereka
dapat menempuh upaya perdamaian terhadap perkara yang sedang diproses banding,
kasasi atau peninjauan kembali atau terhadap perkara yang sedang diperiksa pada
tingkat banding, kasasi dan peninjauan kembali sepanjang perkara itu belum diputus.
Para pihak untuk menempuh perdamaian wajib disampaikan secara tertulis kepada
ketua pengadilan tinggi pertama yang mengadili, dan ketua pengadilan tingkat
berwenang, atau ketua Mahkamah Agung tentang kehendap para pihak untuk
menempuh perdamaian.
Adapun perbedaan-perbedaan mendasar antara PERMA No. 2 Tahun 2003
dan PERMA 1 Tahun 2008 adalah sebagai berikut23:
1. Penegasan sifat wajib, mediasi yang jika tidak dipatuhi berakibat putusan atas
perkara yang bersangkutan batal demi hukum [Pasal 2 ayat (3)]. Dalam
PERMA sebelumnya tidak ada penegasan seperti ini.
2. Pihak tergugat lebih dahulu menanggung biaya pemanggilan para pihak [Pasal
3]. Dalam PERMA sebelumnya tidak ada pengaturan seperti ini.
3. Hakim pemeriksa perkara diperkenankan menjadi mediator [Pasal 8 ayat (1)
d]. Dalam PERMA sebelumnya hakim pemeriksa perkara tidak diperbolehkan
menjadi hakim mediator.
4. Dimungkinkannya mediator lebih dari satu orang [ Pasal 8 ayat (1) edan ayat
(2)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
5. Pembuatan resume perkara oleh para pihak tidak lagi bersifat wajib [Pasal 13
ayat (1) dan (2)]. Dalam PERMA sebelumnya pembuatan resume bersifat
wajib.
6. Lama proses mediasi yaitu 40 (empat puluh) hari dan dapat diperpanjang serta
masa untuk proses mediasi itu terpisah dari masa pemeriksa perkara selma 6
23
(enam) bulan. Dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 selam 21 (dua puluh satu)
hari dan termasuk masa pemeriksaan perkara [Pasal 13 ayat (3) dan (5)].
7. Mengenai kewenangan mediator untuk menyatakan mediasi gagal dan tidak
layak (pasal 15), dalam PERMA sebelumnya pengaturan ini tidak ada.
8. Hakim wajib mendorong para pihak untuk menempuh perdamaian pada tiap
tahap pemeriksaan perkara sebelum pembacaan putusan [Pasal 18 ayat (3)].
Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
9. Mediator tidak bertanggung jawab secara perdata dan pidana atas isi
kesepakatan [Pasal 19 ayat (4)]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak
diatur.
10. Pengaturan lebih rinci tentang perdamaian pada tingkat banding dan kasasi
[Pasal 21 dan Pasal 22]. Dalam PERMA sebelumnya hal ini tidak diatur.
11.Pengaturan kesepakatan perdamaian yang diselenggarakan di luar pengadilan
44 A. Teori Efektivitas
Efektivitas hukum secara tata bahasa dapat diartikan sebagai keberhasilan
suatu hukum dalam menangani suatu permasahan yang dapat diselesaikan oleh
keeksistensian hukum itu tersebut, dalam hal ini berkenaan dengan keberhasilan
pelaksanaan hukum itu sendiri. Keefektivitasan hukum adalah situasi dimana
hukum yang berlaku dapat dilaksanakan, ditaati dan berdaya guna sebagai alat
kontrol sosial atau sesuai tujuan dibuatnya hukum tersebut.
Efektivitas juga dapat dikatakan adanya kesesuaian antara orang yang
melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju, dan berkaitan erat dengan
perbandingan antara tingkat pencapaian tujuan dengan rencana yang telah disusun
sebelumnya, atau perbandingan hasil nyata dengan hasil yang direncanakan.1
Efektifitas juga merupakan kata yang menunjukkan turut tercapainya suatu
tujuan. Krit