• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

SITI NURJANAH NIM: 1110044100044

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)

Oleh:

SITI NURJANAH

NIM: 1110044100044

Di Bawah Bimbingan:

W"

Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA.

NIP: 197106301997032002

KONS

ENTRA

SIPERADILANAGAMA

PROGRAM

STT]DI

HUKT]M

KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

TJNIVERSITAS

ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436 rV2015

M

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

l.

Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar strata

I

di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan

ini

telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri

Of$

Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika kemudian hari terbukti bahwa karya

ini

bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi

yang

berlaku

di

Universitas Islam Negeri Jakarta

(UIN)

Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 02Marct2015

Siti Nurjanah

(4)

Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di

Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1.

Kctua Prodi Kamarusdiana. S.Ag.. MH.

NIP. 1 972 0 22 4199 803t0 03

Sri Hidayati" S.Ag.. M.As

NIP" 1 971 0215t997 032002

:... )

3"

Pembimbing Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA. NIP. 19710 6301997 032002

Dr" I{i" dzizah. MA.

l{IP. 19630409198902200 X

4.

Penguji

I

Abdurrauf" Lc."

MA"

*

NIP. 19731215200s01 1002

2,

Sekretaris Prodi

xv

J akarta, 1 9 Maret 20 I 5

NIP. 19691

(5)

v

Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi, faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui apakah hakim yang ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi tersebut dengan optimal.

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview.

Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) terbatasnya waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b) terbatasnya kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam melaksanakan mediasi, c) kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk terciptanya perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk dilakukan.

Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian

Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA.

(6)

vi

hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan

pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan

namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis.

Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak

dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan

waktu.

Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi

penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam

menyelesaikan skripsi ini.

Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga

kepada semua pihak, Bapak dan Ibu:

1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan

Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.

3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli

dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran,

(7)

vii

sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.

5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan

fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan, SH., MH. serta

bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu

dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis

angkat.

7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Warto

dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari

segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan ayah

dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga

ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. Tiada kata

yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu tiada tara dan

tak akan pernah terbalaskan.

8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku tercinta

Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut memberikan

(8)

viii

9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama

angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya

Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga teruntuk sahabat

terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri Wulandari, Tri Prisca

Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah Hasan,

terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta inspirasinya, kalian

banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah.

10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam

penyelesaian skripsi ini

Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh Allah

SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin.

Jakarta, 02 Maret 2015

(9)

ix

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

D. Metode Penelitian ... 10

E. Penelitian Terdahulu ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN A. Perceraian ... 16

B. Mediasi ... 27

C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian ... 34

D. Mediasi Dalam Hukum Islam ... 41

(10)

x

B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat... 61

C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 63

D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65

E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 73

B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 82

C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 87

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 92

DAFTAR PUSTAKA ... 94

(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini

yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam

Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-

jam’u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan,

berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad

yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan seorang wanita,

selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik

dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1

Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan

faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar

(sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan

kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah

sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan

dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab

Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk)

bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwiji; atau turunan

1

(12)

(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah

tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna

mendapatkan kesenangan (bersenang).2

Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3

:

“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan

hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan

tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban

masing-masing.”

Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.

Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh

Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah perjanjian

yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”.

2. Segi sosial dari suatu perkawinan

Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah

bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai

kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting,

dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara

2

Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45

3

(13)

perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi

pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan

mempergunakan nama Allah.4

UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan:

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya

dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Pasal 2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat

kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal 3

Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang

sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi

petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan

bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga;

sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya

4

Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 4

5

(14)

keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih

sayang antar anggota keluarga.

Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan

kasih sayangnya.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang

halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas

dasar cinta dan kasih sayang.6

Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan

adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu

sendiri, sebagai berikut:

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar

masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materiil.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

6

(15)

kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya

dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada

perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.

4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,

kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk

mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus

ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan.

5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami

baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,

sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan

dan diputuskan bersama oleh suami istri.7

Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri

penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada

kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan

bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan

suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali

kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,

upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu

7

(16)

dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan

tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi

kasih sayang. 8

Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak

yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber

yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban

suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya

perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu

rumah tangga.

Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah

dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara

tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar

kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa

rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang

merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi

kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup

berpasang-pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia

sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9

8

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96

9

(17)

Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat

dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami

realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang

mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan

antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis,

sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan

berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh

suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian

dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta

menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung

proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.10

Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu

mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan

dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat

mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga

sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi

yang tidak terlalu banyak.11

Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam

berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,

10

Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 181

11

(18)

namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi

kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara

perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi.

Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa

yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih

menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk

menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator.

Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang

bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga

mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12

Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan

utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena

mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara

perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan

“selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada

setiap sidang pemeriksaan”.

Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara

perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)”

12

(19)

B. Batasan dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada masalah

peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama

Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014

2. Perumusan Masalah

Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah

bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah dilaksanakan

dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya mediasi

dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas.

Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah :

1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di

Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?

2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat

dalam perkara perceraian ?

3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan

mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di

(20)

2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta

Pusat dalam perkara perceraian.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung

dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi

hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan

Agama.

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah

wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan

dibahas pada permasalahan tersebut.

3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian

selanjutnya.

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Masalah

Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan

memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis sosiologis adalah:

suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau

kejadian yang dilapangan.13 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal

pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan

13

(21)

berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat diperoleh

kejelasannya di persidangan pengadilan.

2. Jenis Penelitian

Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang

diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif

dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang atau

perilaku orang.

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini ialah

secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan

untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data

seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk

menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun

2008.

3. Sumber Data

Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data

sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode

dokumentasi dan interview.

a. Data primer

Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh

melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap

pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi di

(22)

b. Data sekunder

Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi,

buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah

umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode

sebagai berikut:

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,

transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen, agenda, dan

sebagainya.

b. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara

untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan skripsi

ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum, seperti

hakim dan pengamat hukum lainnya.

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada

prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman

penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

14

(23)

E. Penelitian Terdahulu

Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu harmonis

seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama suami istri

bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa penelitian yang

penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang relefan. Di antaranya

sebagai berikut :

1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi

Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi Perma No. 1

Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi). Skripsi

tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja yang menjadi

penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses mediasi

tersebut.

2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi

Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008

Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun

2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011, dari

perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008

(24)

prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga

putusannya.

Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang proses

pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor-faktor yang

penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta

Pusat.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam

bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari

masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai

berikut:

Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang latar

belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian mediasi, proses

mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan mediator.

Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya Pengadilan

Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat

bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi misi Pengadilan

(25)

Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan menjelaskan

tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta

Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan

Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam keberhasilan mediasi

dalam perkara perceraian.

(26)

16

A. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau itlaq yang

artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1 Perceraian

menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah,

perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak” ialah

menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya

dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria

Al-Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang

semacamnya.3

Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh

suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu

perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat

dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi

dipertahankan perkawinannya tersebut.

1

Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861

2

Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261

3

(27)

Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk

melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan

perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan bahwa talak

merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah ikatan

perkawinan.4

Dasar Hukum Perceraian

Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan

sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan

diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul

tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang

sakinah mawaddah dan warahmah.

Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi

dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan

kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.

Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang

tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum

makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya perceraian

atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5

4

Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 207

5

(28)

Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan

jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan

jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam

tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah Swt

memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang

sangat dimurkai-Nya.

Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:

“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Swt.”(HR. Abu

Daud dan Hakim).

Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan

pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka Al-Qur’an

menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada

umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menentukan

sikap.

Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 231:































“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,

maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka

(29)

















“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan

hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Talaq: 2)

Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat:

a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh

hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli

istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar

kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu

memudaratkan istrinya.6

b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya

(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan

dirinya.

c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu si istri

dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah

dicampurinya dalam waktu suci itu.7

d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan

tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan

manfaatnya juga ada kelihatannya.8

6

Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201

7

Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380

8

(30)

Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan hal-hal

yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena

alasan atau alasan-alasan.9

2. Rukun dan Syarat Perceraian

Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan

terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.

Rukun talak ada empat, sebagai berikut:

a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak

menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena

talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak

mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang

sah.

Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan:

1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang

dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal

karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya.

2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang

belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa

talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang

dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui

akibatnya, talaknya dipandang jatuh.

9

(31)

3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini

ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu

dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.10

b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri

sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang

lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai

berikut:

1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri

yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam

dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.

Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, di

pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang

dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal

talak bai’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in

itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas

suami.

2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan

yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti

akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah

dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan

bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami

10

(32)

pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu berada

dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang

ada.

c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya

yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran),

baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun

dengan suruhan orang lain.

Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya

menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya,

mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan

barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak.

Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan

angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami

tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga tidak dipandang

sebagai talak.11

d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang

dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk

maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak

dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak

kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata:

11

(33)

“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah

talakuntukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12

3. Alasan-Alasan Perceraian

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan

Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan penyebab

atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan

disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:

a. Kematian salah satu pihak,

b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,

c. Keputusan Pengadilan.13

Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang

Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil

dalam mendamaikan kedua belah pihak.14

Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah

Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan yang

dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:

12

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201

13

H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74

14

(34)

a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya

yang sukar disembuhkan.

b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau

karena hal lain diluar kemauannya.

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain.

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan

tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.

f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.15

4. Akibat-Akibat Perceraian

Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian suci

antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus

atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya. Akan tetapi ada

akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.

Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena

perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki kosekuensi

hukum tersendiri.

15

(35)

Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian

yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian

itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada

pasal-pasal berikut ini, yaitu :

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Pasal 41

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.

b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.

c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.16

b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17

Pasal 149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul.

b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan tidak hamil.

c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila Qobla al-Dukhul.

16

Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 219

17

(36)

d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal 150

Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah.

Pasal 151

Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal 152

Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyyuz.

Pasal 156

a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:

1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah;

3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;

5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;

6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;

b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan

hadhanah dari ayah atau ibunya.

c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan

hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.

d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).

(37)

f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.18

Dalam Al-Qur’an tidak ada yang menyuruh atau melarang eksistensi

perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang

menyuruh melakukannya.

Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga

pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita dapatkan baik

bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu perbuatan yang halal

tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak

itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus

kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga

itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat

bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan juga kepada anak

itu sendiri.19

B. Mediasi

1. Pengertian Mediasi

Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata

Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya istilah-istilah lainnya,

18

Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75

19

(38)

yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan

litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah

penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara

mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang

berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi

berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan legal,

sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau

bernuansa spiritual.20

Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare

yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan

pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan

menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah’ juga bermakna

mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam

menyelesaikan sengketa.21

Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa

mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak yang

bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22

20

Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12

21

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2

22

(39)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti

sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu

perselisihan sebagai penasihat.

Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia

mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses

penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau

lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah

pihak-pihak yang berasal dari luar pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang

terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan

tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.23

Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan

pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa

untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah

dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan

menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan

para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum

sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan

mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan pengertian

mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi konflik.24

23

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 3

24

(40)

Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke Delapan

Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian dengan

menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu

perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu

perkara.25

2. Prinsip-Prinsip Mediasi

Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari

diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan

kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam

menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi

lahirnya institusi mediasi.

David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton

tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26 :

Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.

Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang

terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak

yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers oleh

masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan

25

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradyana Paramitha, 2004), h. 468

26

(41)

mediasi tersebut.27 Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali para pihak

menghendaki lain.28

Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela.

Masing-masing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan

mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan dari

pihak-pihak lain atau pihak-pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa

orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar dari

persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan atas pilihan

mereka sendiri.

Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di

dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya

mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan

dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.

Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran

seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi

milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol

proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak

bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau

27

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 29

28

(42)

benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau

memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.

Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya

solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai standar legal,

tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi

mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak.

Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik yang

merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang

lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi terdapat

metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak ketiga

sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk

mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.29

3. Tujuan dan Manfaat Mediasi

Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para

pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi dapat

mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen

dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan

kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenagkan

atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam

29

(43)

pengambilan keputusan.30 Mediator tidak memiliki kewenangan dalam

pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam

pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga

proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka. Penyelesaian

sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para

pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka

secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal

pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah

dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses

mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan

mempersempit perselisihan diantara mereka.31

Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang

melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan

antara lain:

a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif

murah.

b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan

mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka.

c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk berpartisipasi secara

langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan mereka.

30

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 24

31

(44)

d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol

terhadap proses dan hasilnya.

e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan

saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa.

f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang terjadi

antara para pihak.32

C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian

Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap

pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini

merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam

menyelesaikan sengketa mereka.

1. Tahap Pramediasi

Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun

sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap

pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan berjalan

tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator melakukan

beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi

para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada

masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan

budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan,

32

(45)

kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah

pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33

Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh

terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal dalam

waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika

ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator harus

menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah pihak,

sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka.

Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila

mediasi mengalami kegagalan.

Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan

utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator

bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk menyusun

strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka penyelesaian

konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan sejelas

mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi, manfaat

mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para pihak.34

Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam pasal 7 ayat

(1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua

33

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 36

34

(46)

belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar terlebuh

dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama 2 hari

kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding

untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana Pasal 8 Perma

ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan jika hal

ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua Majelis yang akan

menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu penetapan.35

Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di tempuh

mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara tidak

langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka, dan

tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terseret

dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu mengarahkan

mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan yang

lebih baik dan damai.

Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu menciptakan

rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai. Para pihak

bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik, karena

mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih baik.

Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi menunjukan

sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh harapan

35

(47)

besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga kepada pihak

lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta tidak memiliki

penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari seorang

mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator harus

bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat langkah

yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa aman,36 yaitu:

a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum kedatangan para

pihak-pihak yang bertikai

b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi

c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan,

d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam memimpin

pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa yang

bertanggung jawab pada pertemuan tersebut.

2. Tahap Pelaksanaan Mediasi

Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang

bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi. Tahap

mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses

mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja

setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat

menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.

Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat

36

(48)

didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat rahasia

dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan

penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang paling lama 14

hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat bahwa

kesepakatan akan tercapai.37

Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak

yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi.

Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator,

presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan

permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan

opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan,

mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.38

Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran

tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa

perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi

juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh

hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan

hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.39

37

Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 73

38

Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 44

39

(49)

Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan

pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk

mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu.

Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah para hakim

tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk

berdamai dan rukun kembali.40

Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa

perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat diselamatkan.

Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan

anak-anak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut.

Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah

tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial

kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari

perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Upaya

mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan terpuji dan

lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di

bidang yang lain.41

Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para

pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban

yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa,

40

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164

41

(50)

mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya

mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan

pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara

optimal.42

Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa

adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar perceraian

tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan

perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke Pengadilan oleh

para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap ketentuan ini tidak

dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu ketentuan yang

melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, melarang salah

satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian itu

disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta

perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak

mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak mengajukan

gugatan baru.43

3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi

Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan

hasil-hasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu

42

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164

43

(51)

perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan

komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44

D. Mediasi Dalam Hukum Islam

Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan hakam.45

Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46 Perdamaian dalam

Gambar

Tabel 3.1 Laporan rekapitulasi perkara yang di tangani oleh Pengadilan Agama Jakarta
Tabel 3.2 Jenis perkara ditangani oleh Pengadian Agama Jakarta Pusat
Grafik 3.2 perkara perceraian Pengadian Agama Jakarta Pusat
Daftar Mediator Hakim dan Non-Hakim di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.Tabel 4.1 15
+2

Referensi

Dokumen terkait

Website Relying Party yang menggunakan HTTP tanpa dilengkapi dengan layer yang aman ( Secure Socket Layer/SSL ) membuat semua paket data yang dikirimkan dan diterima

Padahal jika dilihat dari potensi konsumen baik dari RTP dan maupun konsumen untuk usaha skala kecil (homestay) maka pengembangan energi terbarukan layak dilakukan, misalnya

Abstrak — Proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara manual, yaitu tidak adanya proses penilaian kinerja yang dilakukan secara pasti, dalam hal ini hanya dilakukan

model pembelajaran Creative Problem Solving lebih tinggi dari pada kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam berkomunikasi mahasiswa yang dibelajarkan dengan

(3) Usaha Menengah adalah Usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan

Hal-hal yang dilakukan pada tahap ini antara lain: (a) mencatat setiap spesies anggrek baik epifit maupun terresterial yang ditemukan pada setiap titik sampling di

Sedangkan Pengeluaran Sekunder meliputi: (a) Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah; (b) Hiburan untuk para delegasi keagamaan; (c) Hiburan untuk para utusan suku dan

Dalam praktiknya kegiatan ekonomi belum serta merta menerapkan prinsip syariah. Masih banyak dijumpai keadaan yang dianggap bertentangan dengan prinsip syariah. Untuk