SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SITI NURJANAH NIM: 1110044100044
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.SV)
Oleh:
SITI NURJANAH
NIM: 1110044100044
Di Bawah Bimbingan:
W"
Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA.
NIP: 197106301997032002
KONS
ENTRA
SIPERADILANAGAMA
PROGRAM
STT]DIHUKT]M
KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
TJNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 rV2015
M
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l.
Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan untuk memenuhi salahsatu persyaratan memperoleh gelar strata
I
di Universitas Islam Negeri (UIN)Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisanini
telah saya cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Of$
SyarifHidayatullah Jakarta.
3.
Jika kemudian hari terbukti bahwa karyaini
bukan hasil karya asli saya ataumerupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi
yang
berlakudi
Universitas Islam Negeri Jakarta(UIN)
SyarifHidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02Marct2015
Siti Nurjanah
Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara Perceraian (Studi di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan dalam sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1.
Kctua Prodi Kamarusdiana. S.Ag.. MH.NIP. 1 972 0 22 4199 803t0 03
Sri Hidayati" S.Ag.. M.As
NIP" 1 971 0215t997 032002
:... )
3"
Pembimbing Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA. NIP. 19710 6301997 032002Dr" I{i" dzizah. MA.
l{IP. 19630409198902200 X
4.
PengujiI
Abdurrauf" Lc."
MA"
*NIP. 19731215200s01 1002
2,
Sekretaris Prodixv
J akarta, 1 9 Maret 20 I 5
NIP. 19691
v
Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat keberhasilan mediasi, faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui apakah hakim yang ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi tersebut dengan optimal.
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara mengumpulkan data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek yang diteliti. Sumber data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data sekunder adalah data yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview.
Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun 2008. Namun, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan angka perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah: a) terbatasnya waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b) terbatasnya kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam melaksanakan mediasi, c) kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk terciptanya perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk dilakukan.
Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian
Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA.
vi
hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada insan
pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan
namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal dari penulis.
Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui. Banyak hal yang tidak
dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan pengetahuan dan
waktu.
Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan studi
penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta terutama dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga
kepada semua pihak, Bapak dan Ibu:
1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag. Ketua dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.
3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing yang begitu peduli
dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan berbagai saran,
vii
sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.
5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis butuhkan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan, SH., MH. serta
bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah meluangkan waktu
dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan yang penulis
angkat.
7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Ayahanda Warto
dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan terutama dari
segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan pengorbanan ayah
dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu hingga
ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan skripsi ini. Tiada kata
yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu tiada tara dan
tak akan pernah terbalaskan.
8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku tercinta
Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut memberikan
viii
9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa Peradilan Agama
angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu khususnya
Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga teruntuk sahabat
terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri Wulandari, Tri Prisca
Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah Hasan,
terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta inspirasinya, kalian
banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan yang ikut andil dalam
penyelesaian skripsi ini
Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh Allah
SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal Alamin.
Jakarta, 02 Maret 2015
ix
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
D. Metode Penelitian ... 10
E. Penelitian Terdahulu ... 13
F. Sistematika Penulisan ... 14
BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN A. Perceraian ... 16
B. Mediasi ... 27
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian ... 34
D. Mediasi Dalam Hukum Islam ... 41
x
B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat... 61
C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 63
D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65
E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 73
B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 82
C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat ... 87
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 92
DAFTAR PUSTAKA ... 94
1
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath’i, al-dhommu, al-
jam’u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh, hubungan badan,
berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan (nikah) yaitu akad
yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan seorang wanita,
selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang diharamkan baik
dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1
Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang memberikan
faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara sadar
(sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna mendapatkan
kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki, nikah adalah
sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh mazhab
Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin kepemilikan (untuk)
bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau tazwiji; atau turunan
1
(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan nikah
tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau tazwij guna
mendapatkan kesenangan (bersenang).2
Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3
:
“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan
hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan mengadakan
tolong-menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan kewajiban
masing-masing.”
Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu perjanjian. Oleh
Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah perjanjian
yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan ghaliizhaan”.
2. Segi sosial dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang umum, ialah
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang sangat penting,
dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara
2
Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 45
3
perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi
pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan
mempergunakan nama Allah.4
UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan tujuannya
dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga;
sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya
4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, (Yogyakarta:Graha Ilmu, 2011), Cet. 1, h. 4
5
keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga.
Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang
halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.6
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU perkawinan
adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU perkawinan itu
sendiri, sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
6
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu telah harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia,
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus
ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan siding pengadilan.
5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.7
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua suami-istri
penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias menjadi pudar, bahkan
bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah datang, dan
suami-istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali
kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu
7
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan
tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali menjadi
kasih sayang. 8
Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara para pihak
yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan merupakan sumber
yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan kewajiban
suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan putusnya
perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri dalam suatu
rumah tangga.
Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia, mawadah
dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan: “Diantara
tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari dirimu agar
kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah wa
rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan keturunan yang
merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan menjadi
kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup
berpasang-pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan manusia
sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9
8
Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96
9
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral dapat
dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam juga memahami
realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang kadang-kadang
mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan. Perselisihan
antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga tidak harmonis,
sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam membuka jalan
berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh
suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi. Perceraian
dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri tidak serta-merta
menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi mengandung
proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat dipertahankan.10
Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak selalu
mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan. Percekcokan
dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang dapat
mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya dalam porsi
yang tidak terlalu banyak.11
Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan dalam
berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 181
11
namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka demi
kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam menyelesaikan perkara
perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi.
Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau sengketa
yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi kebahasaan lebih
menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut mediator.
Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para pihak yang
bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan sehingga
mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12
Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama dan
utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang berperkara, karena
mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal ini perkara
perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, disebutkan
“selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan”.
Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam perkara
perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)”
12
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada masalah
peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014
2. Perumusan Masalah
Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak adalah
bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah dilaksanakan
dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya mediasi
dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas.
Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah :
1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
dalam perkara perceraian ?
3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat dalam perkara perceraian.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan pendukung
dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para Hakim dan praktisi
hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di Pengadilan
Agama.
2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan
dibahas pada permasalahan tersebut.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian
selanjutnya.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis sosiologis adalah:
suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau
kejadian yang dilapangan.13 Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama dengan
13
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat diperoleh
kejelasannya di persidangan pengadilan.
2. Jenis Penelitian
Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan yang
diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kualitatif
dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari orang-orang atau
perilaku orang.
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini ialah
secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan data
seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini untuk
menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1 Tahun
2008.
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer dan data
sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode
dokumentasi dan interview.
a. Data primer
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang diperoleh
melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap
pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi di
b. Data sekunder
Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah
umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode
sebagai berikut:
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen, agenda, dan
sebagainya.
b. Metode Interview
Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan skripsi
ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum, seperti
hakim dan pengamat hukum lainnya.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
E. Penelitian Terdahulu
Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu harmonis
seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama suami istri
bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa penelitian yang
penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang relefan. Di antaranya
sebagai berikut :
1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi
Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi Perma No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi). Skripsi
tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja yang menjadi
penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses mediasi
tersebut.
2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul skripsi
Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1 Tahun
2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011, dari
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun 2008
prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses, hingga
putusannya.
Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang proses
pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan faktor-faktor yang
penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam
bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu bahasan dari
masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya sebagai
berikut:
Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian mediasi, proses
mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan mediator.
Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya Pengadilan
Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama Jakarta Pusat
bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi misi Pengadilan
Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan menjelaskan
tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam keberhasilan mediasi
dalam perkara perceraian.
16
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau itlaq yang
artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1 Perceraian
menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya pisah,
perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak” ialah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu Zakaria
Al-Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang
semacamnya.3
Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh
suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya suatu
perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya, talak dapat
dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat lagi
dipertahankan perkawinannya tersebut.
1
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), h. 861
2
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261
3
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan
perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan bahwa talak
merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah ikatan
perkawinan.4
Dasar Hukum Perceraian
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan
sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan
diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul
tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang
sakinah mawaddah dan warahmah.
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi
dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian.
Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah sesuatu yang
tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh. Hukum
makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya perceraian
atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5
4
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 207
5
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang merupakan
jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak ditemukan
jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya, ajaran Islam
tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu, Allah Swt
memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai perbuatan halal yang
sangat dimurkai-Nya.
Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah Swt.”(HR. Abu
Daud dan Hakim).
Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya dipergunakan
pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka Al-Qur’an
menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang pada
umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan menentukan
sikap.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 231:
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka
“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS. At-Talaq: 2)
Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat:
a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh
hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli
istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula membayar
kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu
memudaratkan istrinya.6
b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan
dirinya.
c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu si istri
dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah
dicampurinya dalam waktu suci itu.7
d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu sedangkan
manfaatnya juga ada kelihatannya.8
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
7
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h. 380
8
Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan hal-hal
yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi karena
alasan atau alasan-alasan.9
2. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Rukun talak ada empat, sebagai berikut:
a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena
talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak
mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang
sah.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak diisyaratkan:
1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Yang
dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal
karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal karena sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya.
2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa
talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu kurang
dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan mengetahui
akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
9
3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri disini
ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak itu
dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang lain.10
b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap istri orang
lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan sebagai
berikut:
1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri
yang menjalin masa iddah talak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam
dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi, di
pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang
dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam hal
talak bai’in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi terhadap bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak ba’in
itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan bekas
suami.
2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil, seperti
akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad nikah
dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua perempuan
bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal suami
10
pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu berada
dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak dipandang
ada.
c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran),
baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun
dengan suruhan orang lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap istrinya
menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri, memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan
barang-barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu bukan talak.
Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan
angan-angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak. Pembicaraan suami
tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga tidak dipandang
sebagai talak.11
d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk
maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud untuk talak
dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah salak
kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu kata-kata:
11
“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini sebuah
talakuntukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12
3. Alasan-Alasan Perceraian
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan penyebab
atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU Perkawinan
disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:
a. Kematian salah satu pihak,
b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,
c. Keputusan Pengadilan.13
Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
dalam mendamaikan kedua belah pihak.14
Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan yang
dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:
12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
13
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 74
14
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.15
4. Akibat-Akibat Perceraian
Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian suci
antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila perkawinan putus
atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya. Akan tetapi ada
akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang bercerai.
Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan saja karena
perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki kosekuensi
hukum tersendiri.
15
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan perceraian
yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat dari perceraian
itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal tersebut pada
pasal-pasal berikut ini, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan memberi keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan dapat menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban bekas istri.16
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib :
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri baik berupa uang atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau nusyyuz dan dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh apabila Qobla al-Dukhul.
16
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 219
17
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju’ kepada bekas istrinya yang masih dalam masa iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyyuz.
Pasal 156
a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya diganti oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah;
3) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu;
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.18
Dalam Al-Qur’an tidak ada yang menyuruh atau melarang eksistensi
perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat yang
menyuruh melakukannya.
Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan, begitu juga
pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita dapatkan baik
bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu perbuatan yang halal
tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah dibolehkannya talak
itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus
kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah tangga
itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan mudharat
bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan juga kepada anak
itu sendiri.19
B. Mediasi
1. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari kosakata
Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia kemudian lebih suka mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya istilah-istilah lainnya,
18
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75
19
yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi arbitrase, dan
litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti ranah
penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan antara
mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris meditation yang
berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena mediasi
berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan legal,
sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan batin atau
bernuansa spiritual.20
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare
yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan
menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah’ juga bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam
menyelesaikan sengketa.21
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan bahwa
mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak yang
bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22
20
Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12
21
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2
22
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu
perselisihan sebagai penasihat.
Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa Indonesia
mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua pihak atau
lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa adalah
pihak-pihak yang berasal dari luar pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai penasihat dan
tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan keputusan.23
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih menekankan
pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak bersengketa
untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi di tengah
dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan mengupayakan
menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang memuaskan
para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih sangat umum
sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan kegiatan
mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan pengertian
mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi konflik.24
23
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 3
24
Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke Delapan
Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu
perkara.25
2. Prinsip-Prinsip Mediasi
Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis dari
diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini merupakan
kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga dalam
menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang melatarbelakangi
lahirnya institusi mediasi.
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth Carlton
tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26 :
Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu yang
terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan pihak-pihak
yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers oleh
masing-masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga kerahasiaan
25
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradyana Paramitha, 2004), h. 468
26
mediasi tersebut.27 Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali para pihak
menghendaki lain.28
Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela.
Masing-masing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan kemauan
mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan dari
pihak-pihak lain atau pihak-pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun atas dasar bahwa
orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar dari
persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan atas pilihan
mereka sendiri.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini di
dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri dan
dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi, peran
seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya tetap menjadi
milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang mengontrol
proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang mediator tidak
bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah atau
27
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 29
28
benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah satunya, atau
memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah pihak.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution). Bahwasannya
solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai standar legal,
tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena itu, hasil mediasi
mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah pihak.
Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik yang
merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian sengketa yang
lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses mediasi terdapat
metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak ketiga
sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan untuk
mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para pihak.29
3. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara para
pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi dapat
mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang permanen
dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi menempatkan
kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang dimenagkan
atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh dalam
29
pengambilan keputusan.30 Mediator tidak memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam menjaga
proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka. Penyelesaian
sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya, karena para
pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan mereka
secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang gagal
pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya juga telah
dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu proses
mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar persengketaan dan
mempersempit perselisihan diantara mereka.31
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang
melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah keuntungan
antara lain:
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat dan relatif
murah.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada kepentingan
mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis mereka.
c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan mereka.
30
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 24
31
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan kontrol
terhadap proses dan hasilnya.
e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang bersengketa.
f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang terjadi
antara para pihak.32
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap pramediasi, tahap
pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi. Ketiga tahap ini
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak dalam
menyelesaikan sengketa mereka.
1. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun
sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Tahap
pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan berjalan
tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator melakukan
beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi
para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada
masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai perbedaan
budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan,
32
kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi kedua belah
pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33
Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh
terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal dalam
waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi ketika
ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator harus
menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah pihak,
sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka.
Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila
mediasi mengalami kegagalan.
Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang persoalan
utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan mediator
bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk menyusun
strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka penyelesaian
konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan sejelas
mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi, manfaat
mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para pihak.34
Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam pasal 7 ayat
(1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri oleh kedua
33
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, h. 36
34
belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar terlebuh
dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama 2 hari
kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib berunding
untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana Pasal 8 Perma
ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan jika hal
ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua Majelis yang akan
menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu penetapan.35
Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di tempuh
mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara tidak
langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka, dan
tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka terseret
dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu mengarahkan
mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan yang
lebih baik dan damai.
Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu menciptakan
rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai. Para pihak
bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik, karena
mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih baik.
Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi menunjukan
sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh harapan
35
besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga kepada pihak
lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta tidak memiliki
penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari seorang
mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator harus
bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat langkah
yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa aman,36 yaitu:
a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum kedatangan para
pihak-pihak yang bertikai
b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi
c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan,
d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam memimpin
pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa yang
bertanggung jawab pada pertemuan tersebut.
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi
Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang
bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi. Tahap
mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang proses
mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5 hari kerja
setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada mediator.
Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para pihak dapat
36
didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat rahasia
dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau penetapan
penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang paling lama 14
hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat bahwa
kesepakatan akan tercapai.37
Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak
yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses mediasi.
Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan menjernihkan
permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati, menciptakan
opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan keputusan,
mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup mediasi.38
Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai keluhuran
tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat diselamatkan tetapi
juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat dilakukan oleh
hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim menemukan
hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang terjadi.39
37
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 73
38
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 44
39
Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan
pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat diharapkan untuk
mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan pertengkaran itu.
Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah para hakim
tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu untuk
berdamai dan rukun kembali.40
Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat diselamatkan.
Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan pembinaan
anak-anak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat berlanjut.
Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah
tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan sosial
kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak terhindar dari
perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup. Upaya
mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan terpuji dan
lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di
bidang yang lain.41
Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para
pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak adalah beban
yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap memeriksa,
40
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 164
41
mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu, upaya
mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para hakim secara
optimal.42
Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa
adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar perceraian
tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang menyidangkan
perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke Pengadilan oleh
para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap ketentuan ini tidak
dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu ketentuan yang
melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama, melarang salah
satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila perjanjian itu
disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka akta
perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari perbuatan itu tidak
mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak mengajukan
gugatan baru.43
3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan
hasil-hasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu
42
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
43
perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan
komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44
D. Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan hakam.45
Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46 Perdamaian dalam