• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pemerintahan Megawati Soekartno Putri tentang terorisme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan pemerintahan Megawati Soekartno Putri tentang terorisme"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG

TERORISME

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

OLEH: M. THOIYIBI NIM: 1010 3322 1795

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG TERORISME

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh M. Thoiyibi 101033221795

Di Bawah Bimbingan

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP:150 299 932

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Sripsi ini berjudul “KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI

SOEKARNOPUTRI TENTANG TERORISME” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Maret 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 31 Maret 2008

Sidang Munaqosyah,

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dra. Hermawati, M.A Dra. Wiwik Siti Sajaroh, M.Ag

NIP:150 227 408 NIP:150 270 808

Anggota,

Drs. Agus Nugraha, M.Si Nawiruddin, M.A

NIP:150 299 478 NIP:150 317 965

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat yang telah diberikan

kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan

sebaik-baiknya. Sholawat dan salam selalu penulis haturkan kepada sang

pembawa risalah kebenaran yang sempurna Nabi Muhammad SAW, juga sebagai

revolusioner sejati dalam sejarah dunia yang hasilnya masih dinikmati sepanjang

zaman.

Alhamdulillah, selalu penulis ucapkan, karena salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-I) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

seorang mahasiswa wajib mengerjakan tugas akhir yaitu dengan membuat karya

ilmiah (skripsi) sesuai dengan kemampuannya masing-masing, dan penulis sudah

menyelesaikan dengan baik walaupun banyak kekurangannya.

Dengan penuh kesadaran, penulisan skripsi ini tidaklah dapat terselesaikan

oleh penulis sendiri, akan tetapi berkat do’a, dukungan, masukan, motivasi dan

bantuan dari kawan-kawan, ibu pembimbing dan kedua orang tua penulis yang

selalu mendorong dan memaksa penulis untuk menyelesaikan tugas skripsi ini,

oleh karnanya tanpa bantuan mereka semuanya, apalah arti seorang penulis.

Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang tak

terhingga kepada semua pihak terutama antara lain:

1. Dr. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Dra.

(5)

Pemikiran Politik Islam yang senantiasa siap dan sabar melayani

penulis dalam setiap urusan administrasi dan akademik. Dan segenap

dosen jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan

Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak

memberikan motifasi dan bimbingan berupa ilmu selama penulis

menjalankan studi di kampus tercinta.

2. Dra. Haniah Hanafie, M.Si., selaku dosen pembimbing yang baik dan

sabar, meskipun di tengah-tengah kesibukannya yang padat, beliau

tetap selalu melayani penulis, tidak pernah mengeluh dan selalu

memberikan bimbingan, masukan, referensi dan motivasi, sehingga

penulis bisa mengerjakan tugas akhir ini dengan baik.

3. Ayahanda Zainuddin Abbas MT dan Ibunda Siti Aisyah yang sangat

penulis cintai, serta kakanda dan adinda. Berkat kasih sayang,

perjuangan, pengorbanan, tanggung jawab dan do’a yang tulus kalian,

sehingga penulis mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan

tinggi di ibu kota Indonesia, tidak mudah bagi seorang penulis sebagai

orang kampung dan anak seorang petani untuk mengadu nasib di kota

besar ini, namun penulis merasa sangat beruntung bilamana bisa

melanjutkan studi di ibu kota Indonesia ini, itu semua adalah berkat

dukungan kalian. Sebagai wujud, terima kasih dan bakti kepada kalian,

penulis hanya bisa mempersembahkan skripsi ini kepada kalian,

namun penulis akan berusaha memberikan yang terbaik buat kalian

semua, semoga Allah SWT membalas amal baik, dan dijadikan amal

(6)

4. Teman-teman, kakak-kakak dan abang-abang penulis: di SDN II

Sungai Manau, MTSN I Sungai Manau, MAN DR (Daarerrahman),

AMJ (Asrama Mahasiswa Jambi Jakarta), PERMAJA JAYA

(Persatuan Mahasiswa Jambi Jakarta Raya), PPI/A angkatan

2001-2002 (Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),

BMKJ (Badan Musyawarah Keluarga Jambi Jakarta) DPP KNPI

(Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan

PPPGDI

5. Seluruh pihak yang tidak penulis sebutkan dan cantumkan namanya

satu-persatu, maka tidak mengurangi rasa hormat penulis pada jasa

kalian semua, semoga amal baik kalian diterima disisi Allah SWT. dan

menjadi amal sholeh kalian amin.

Jakarta, 31 Maret 2008

(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian... 5

D. Metode Penelitian ... 6

E. Sistematika Penulisan... 7

BAB II KONSEP DASAR TENTANG TERORISME

A. Pengertian Terorisme... 8

B. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Terorisme di Indonesia... 14

BAB III KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP TERORISME

(8)

B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Terhadap Terorisme... 24

C. Penanganan Terorisme di Indonesia... 36

BAB IV IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN RESPON UMAT ISLAM

A. Implikasi Kibijakan Megawati Soekarnoputri... 41

B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati... 50

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan... 54

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Berawal dari tragedi 11 September yang sangat memilukan, hanya dalam

hitungan menit dua menara kembar World Trade Center (WTC) dan bangunan

penting Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) di Washington DC,

hancur total ditabrak oleh pesawat terbang komersial. Sulit dipastikan berapa

nyawa yang menjadi korban, namun bisa diperkiarakan korban mencapai 4.000

orang lebih1 dalam tragedi ini. Memang layak kalau tragedi ini dikatakan tragedi

nasional bagi Amerika Serikat.

Peristiwa 11 september 2001 ini, banyak memunculkan perubahan

paradigma tentang “keamanan dan ancaman nasional”, bagi negara-negara besar

di dunia khususnya Amerika Serikat dan sekutunya, peristiwa ini telah

memunculkan dua fenomena yang sangat mewarnai percaturan politik

internasional2. Pertama, makin meningkatnya ketegangan hubungan antara

Amerika Serikat dibawah George W. Bush dengan dunia Islam, dimana perang

melawan teroris sangat dirasakan mengarah kepada perang melawan Islam

fundamental. Ketegangan tersebut disebabkan penyerangan Amerika Serikat

terhadap dua negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Afganistan dan Irak

sebagai pembalasan atas penyerangan WTC. Disamping itu Bush cenderung

menyamakan kelompok Islam fundamental dengan teroris. kedua,Bush juga tidak

1

Es. Soepriyadi, Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar Ba’asyir dan Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali, (Jakarta: Almawardi Prima, 2003) h. 126

2

(10)

segan-segan memaksa penguasa yang di anggap sekutu untuk membasmi gerakan

atau kelompok fundamentalis di negara masing-masing. Akibatnya, di sejumlah

negara terjadi ketegangan antara penguasa yang sekuler dengan para aktivis Islam

seperti yang terjadi di Indonesia.

Dalam perang melawan terorisme, Amerika Serikat dan sekutunya

menginginkan perang melawan teroris ini tidak hanya menjadi perhatian mereka

akan tetapi menjadi permasalahan semua negara di dunia. Indonesia dalam hal ini

tidak luput dari bagian perang melawan teroris, walaupun Indonesia sering kali

dicap sebagai sarang terorisme di Asia.

Kebijakan nasional Indonesia memang harus dilakukan, karena sesuai

dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan mengamanatkan bahwa

negara-negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap

ancaman kejahatan baik yang bersikap nasional, transnasional apalagi yang

bersifat internasional. Perang melawan teroris adalah kebutuhan yang mendesak

untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang

diamanatkan UUD 19453 tersebut.

Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan dapat digolongkan kedalam

kejahatan kemanusiaan, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional

maupun internasional, karenanya penanganan masalah ini memerlukan kerjasama

internasional. Memerangi terorisme dari sudut pandang internasional adalah

merupakan pelaksanaan komitmen Dewan Keamanan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB

untuk mencegah dan memberantas terorisme. Walaupun kebijakan melawan

3

Ansyaad Mbai, “Memahami Aktivitas Terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26

(11)

terorisme harus sesuai dengan kebijakan internasional, namun penerapannya oleh

Indonesia sudah barang tentu membutuhkan penyesuaian sesuai kondisi objektif.

Tepat setahun setelah peristiwa yang menghancurkan menara kembar

WTC, terjadi peledakan di Bali tanggal 12 Oktober 2003, kejadian inilah awal

malapetaka bagi umat Islam Indonesia, dimana pemerintahan Megawati

Soekarnoputri telah membuat kebijakan dalam bentuk Undang-Undang No. 16

tahun 2003 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan

tindak pidana terorisme. Kemudian untuk mendukung itu, pemerintah Megawati

Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No.5 tahun 2002 yang memberikan otoritas

kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengkoordinasikan kegiatan Intelijen

dalam menangani masalah terorisme.

Namun kebijakan pemerintah yang diterapkan dalam Perpu dan UU ini

ibarat “pukat harimau” yang menjaring segala jenis ikan, binatang, bahkan kerang

laut. Yang ditangkap oleh UU pukat harimau ini bukan hanya orang-orang yang

benar-benar melakukan pengeboman seperti Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas

dan lain-lain, melainkan menangkap aktivis mesjid, santri-santri dan ustad-ustad

(guru agama) yang tidak melakukan aktivitas terorisme sama sekali. Para

penceramah yang keras juga sejak adanya Perpu dan UU ini mulai di incar aparat

intelijen baik dari kepolisian maupun meliter.4 Target dari operasi intelijen ini

adalah aktivis yang menginginkan penerapan Syariat Islam di berbagai daerah.

Target selanjutnya adalah orang yang kritis terhadap pemerintah umpamanya

penangkapan terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan Suripto serta alumni jihad Ambon

lainya.

4

(12)

Namun, sepak terjang kebijakan yang berupa undang-undang ini berakhir

ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review (PK) yang diajukan

kuasa hukum Masykur Abdul Kadir salah seorang tertuduh dalam kasus bom Bali.

Alasan yang dipakai dalam pembatalan ini karena Undang-Undang ini

menerapkan Azaz Retroaktif, yakni asas yang berlaku surut dalam kasus Bom

Bali.5

Di tengah hantaman isu terorisme yang ditujukan kepada umat Islam,

akibat pemberlakukan undang-undang “pukat harimau” dan walaupun

Undang-Undang No. 16 Tahun 2003 ini telah dibatalkan MK, ada beberapa hal menarik

yang penting untuk di potret dan diteliti lebih jauh bagaimana sikap umat Islam

dalam penanganan terorisme di Indonesia, dan bagaimana implikasi dan respon

dari kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang secara historis dan

garis politik berbeda dan vis a vis dengan kalangan umat Islam. Berdasarkan

deskripsi di atas, penulis mencoba meneliti masalah tersebut dengan judul :

Kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tentang Terorisme.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

5

(13)

fokus Penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab secara spesifik

pertanyaan dibawah ini :

1. Bagaimana sikap dan penangganan Pemerintah Megawati Soekarnoputri

terhadap Terorisme.

2. Bagaimana respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati

Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.

C. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian

Berdasarkan dua pertanyaan pokok diatas, maka penulisan skripsi ini

secara garis besar memiliki tujuan dan manfaat penelitian

1. Penelitian ini untuk memahami bagaimana sikap pemerintah pemerintahan

Megawati Soekarnoputri dalam penangganan Terorisme.

2. Untuk mengetahui respon umat Islam terhadap pemerintahan Megawati

Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.

3. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu politik tentang

kebijakan politik dan memberikan sumbangsih bagi Program Studi (PPI)

di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah.

(14)

Penelitian ini akan menganalisa tentang kebijakan pemerintahan Megawati

Soekarnoputri terhadap terorisme, jenis penelitian yang akan digunakan adalah

penelitian kualitatif, yakni mengetahui secara mendalam permasalahan yang

berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam

menanggani permasalahan terorisme.

Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini

bersifat deskriptif-analisis yakni menggambarkan secara keseluruhan tentang

sikap dan penanganan Megawati Soekarnoputri dalam masalah terorisme di

Indonesia kemudian dianalisa apakah terdapat implikasi dari kebijakan Megawati

Soekarnoputri tentang terorisme dan bagaimana respon umat Islam yang terkena

imbas dari kebijakan tersebut.

Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode

dokumenter, yakni mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen yang

berkaitan dengan masalah kebijakan Megawati tentang terorisme.

Sedangkan penulisannya berpedoman pada: Buku Pedoman Akademik

2006-2007 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(15)

Secara umum penulisan skripsi ini akan dibuat lima bab, yang mengikuti

sistimatika sebagai berikut:

Bab Pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan membahas tentang

latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan

penelitian, metode penelitian pembahasan, sistimatika penulisan.

Bab Kedua ini menguraikan konsep dasar tentang terorisme, pengertian

terorisme dan sejarah kelahiran dan perkembangan terorisme di Indonesia.

Bab Ketiga membahas tentang kebijakan Megawati Soekarnoputri

terhadap terorisme, pengertian kebijakan, dasar hukum kebijakan megawati

terhadap terorisme, dan penangganan terorisme di Indonesia.

Bab Keempat membahas implikasi kebijakan Megawati Soekarnoputri dan

respon umat Islam. Akan diuraikan tentang implikasi kebijakan Megawati

Soekarnoputri dan respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati.

Bab Kelima adalah penutup yang akan menarik kesimpulan dari uraian

(16)

BAB II

KONSEP DASAR TENTANG TERORISME

A. Pengertian Terorisme

Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’

yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘Teror’ juga

bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian di hati dan pikiran korbannya.

Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara

universal. Namun pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep

yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan

terjadi pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa6.

Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti,

mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud

menyebar rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan

kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai “teror” atau “terorisme”.7 Namun

ketika terorisme didefinisikan secara khusus dalam rumusan kata-kata

menimbulkan cukup banyak varian, umumnya pendefinisian terorisme beranjak

dari asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya menyangkut

kekerasan politik (Political Violence), adalah Justifiabel dan sebagian lagi adalah

unjustifiable. Kekerasan jenis terakhir inilah yang sering disebut sebagai teror.

Sedangkan terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan

6

Drs. Abdul Wahid, SH., MA., dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004),h. 22

7

(17)

cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai

suatu tujuan.

T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)

mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis

yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan

cara-cara ekstra normal. Khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman

kekerasan.

Terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu enforcement terror

yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka,

dan agitation terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan

untuk kemudian menguasai tatanan politik tersebut.8

Untuk mendapatkan definisi tentang terorisme, penting kiranya untuk

mengulas lebih jauh tentang konsep dan sejarah terorisme. Walaupun harus diakui

pada saat ini sangat sulit untuk menemukan definisi teroris yang dapat diterima

semua pihak.

Bagi bangsa Indonesia sangat tidak mungkin mengikuti begitu saja definisi

terorisme versi Amerika yang sekarang sangat gencar dikampanyekan dalam

bentuk war againts terrorism keseluruh dunia. Terorisme lebih terkait dengan

Islam radikal atau militan, Jamaah Islamiyyah, Al Qaida, atau apapun namanya,

akhirnya terorisme identik dengan Islam Jika terminologi ini yang dipakai maka

Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar tentu saja rentan menjadi bidikan itu.

8

(18)

Jika kita mau menelusuri lebih jauh, konsep terorisme tidak ada hubungan

dengan Islam dan umat Islam. Jean Boudillard, seorang filosof Prancis

menyatakan bahwa :

“Terorisme ibarat virus, ada dimana-mana. Terpendam secara global,

terorisme ibarat bayang-bayang dari segala sistem dominasi, yang siap

dimana-mana muncul sebagai agen ganda. Tidak ada batasan yang jelas untuk

mendefinisikan hal tersebut; ini adalah kode inti dari budaya yang ingin melawan

dominasi- dan keretakan yang tampak (kebencian) yang menentang, dalam level

global, yang tereksploitasi dan terbelakang melawan dunia barat, adalah sangat

rahasia terkait keretakan internal dalam sistem dominan”.9

Dari definisi diatas Boudillard seolah menyatakan bahwa terorisme

merupakan anak kandung dari wacana kekuatan yang tunggal dan hegemoni.

Teorisme mendulang energi dan menyemangati gerakannya dengan pertentangan

atas keretakan dominasi barat (AS) yang telah eksploitatif. Artinya selama AS

selalu ingin menjadi kekuatan hegemonik tunggal di dunia dan globalisasi dengan

one world system-nya di paksakan berlangsung, maka selama itu pula terorisme

akan selalu ada dan tidak mungkin dilenyapkan.

Sementara itu Jurgen Habermas memandang terorisme sebagai efek

trauma modernisasi yang telah menyebar keseluruh penjuru dunia dengan suatu

kecepatan patologis, sedangkan, Jacques Derrida memandang terorisme sebagai

suatu gejala elemen traumatis yang instrinsik terhadap pengalaman modern.

9

(19)

Keduanya sepakat bahwa globalisasi memainkan peran yang besar melawan

terorisme.10

Dengan demikian, jika terorisme sama sekali tidak terkait dengan ajaran

Islam, lantas apakah masyarakat global juga bisa menerima bahwa terorisme

adalah anak kandung globalisasi atau hanya icon politik internasional Amerika

Serikat untuk mempertahankan hegemoninya terhadap dunia.

Di awal masa modernisasi lahir, terorisme juga terjadi pada revolusi

Prancis (1793-1794), dimana pemerintah teror berkuasa dan menangkapi 300.000

orang lebih, serta eksekusi 17.000 tahanan itu melalui proses pengadilan.

Kemudian dalam sejarah revolusi Amerika setelah Civil War (1861-1865),

kelompok pembangkang dikawasan Amerika Selatan mendirikan organisasi

teroris Ku Kluk Klan untuk mengintimidasi pendukung pemerintah.

Memasuki abad 20, terorisme telah berkembang pesat dan menyebar luas

di daratan Eropa, Amerika, Rusia dan China. Abad ini juga menandai terjadinya

perubahan besar-besaran dalam motivasi dan telah menjadi bagian dari ciri

pergerakan politik ekstrim kiri dan kanan dalam spektrum ideologi, kemajuan dan

teknologi menjelma dalam kebijakan pemerintahan totaliter Adolf Hitler (Jerman)

Stalin (Rusia) dan Mao Tse Tung (China). Bahkan menurut penelitian korban

yang dihasilkan Mao berskala lebih besar dari yang dilakukan Stalin, sekitar

10-20 juta orang dimusnahkan hanya untuk mempertahankan pemerintahan teror

Mao.

Terorisme juga digunakan oleh satu atau dua pihak dalam konflik anti

kolonial, seperti yang terjadi di Irlandia Utara-Inggris-Algeria-Prancis,

10

(20)

Amerika Serikat, perebutan wilayah dan perbedaan bangsa Palestina-Israel,

perbedaan denomisasi agama; Katolik-Protestan di Irlandia Utara, maupun anti

hegemoni tunggal dunia, seperti AS-Al-Qaeda.

Berdasarkan konsep historis tersebut diatas, maka pengertian terorisme

yang lebih objektif bisa diajukan disini supaya bangsa ini memiliki kejelasan

terhadap apa yang dihadapi terkait dengan keamanan nasional kita, baik sebagai

bangsa, dan warga negara Indonesia maupun dunia. Artinya bangsa Indonesia

sangat berhak merumuskan sendiri konsepsi tanpa harus didikte oleh kepentingan

dan kekuatan internasional tertentu tentang terorisme dalam hubungannya dengan

keamanan nasional kita sendiri tentunya definisi yang dibuat tanpa menafikan

berbagai kesepakatan dan konvensi internasional serta resolusi PBB tentang

terorisme.

Oleh karena itu konsepsi terorisme dari sekjend PBB Kofi Annan, dalam

undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme (UU Anti Terorisme),

buku putih pertahanan Dephan, serta Sayidiman Suryohadiprodjo layak untuk

dijadikan acuan untuk mendapatkan definisi terorisme yang lebih objektif.

Kofi Annan melihat terorisme sebagai “ satu ancaman dan negara harus

melindungi warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai

hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa

tindakan-tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan-tindakan-tindakan untuk

menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM.”11

Dalam buku putih pertahanan, depertemen pertahanan mengkonsepsikan

tindakan terorisme sebagai sebuah tindakan yang “ selalu menimbulkan korban

11

(21)

jiwa, mengancam keselamatan publik menimbulkan kekacauan yang luas

sehingga keselamatan bangsa dan kedaulatan negara, .terorisme telah

merupakan ancaman nyata terhadap keselamatan bangsa, bahkan menjadi

ancaman bagi demokrasi dan masyarakat sipil (civil soceity).”12

Dengan begitu, terorisme dapat didefinisikan oleh bangsa Indonesia

sebagai “ Segala bentuk ancaman, intimidasi dan tindakan kekerasan, tindakan

ilegal menimbulkan suasana teror (dampak psikologis) yang dilakukan

perorangan maupun kelompok secara sadar dan sengaja yang mengakibatkan

kerugian nyawa, harta benda, fasilitas negara, (Publik) atau objek vital strategis

lainnya dan menimbulkan ancaman nyata terhadap keselamatan publik bangsa,

warga negara, maupun warga dunia”.

12

(22)

B. Sejarah dan Perkembangan Terorisme di Indonesia

Sulit melepaskan motivasi agama dalam berbagai aksi terorisme di

Indonesia, selain ada pengaruh dari luar Indonesia (jaringan organisasi terorisme

internasional), maka keberadaan terorisme dewasa ini di Indonesia sebenarnya

tidak dapat dilepaskan dari benang merah sejarah pemberontakan bernuansa

keagamaan yang terjadi di tahun-tahun awal kemerdekaan. Dari sudut tujuannya

ada persamaan, yaitu mendirikan sebuah negara berlandaskan prinsip keagamaan

di bumi Nusantara. Perbedaannya terletak pada metode perjuangannya

Pemberontakan di masa lampau memakai metode mobilisasi kekuatan

bersenjata, sedangkan kelompok teroris saat ini menggunakan metode

aksi-serangan teror yang dilakukan oleh kelompok kecil (sel) secara sporadis.

Tujuannya untuk menciptakan instabilitas negara yang bermuara pada kejatuhan

pemerintahan nasional dan digantikan dengan pemerintahan yang sejalan dengan

pandangan atau keyakinan politik mereka13. Selain itu jika diteliti lebih dalam lagi

maka dapat diketahui bahwa sebagian tokoh kunci kelompok teroris yang ada saat

ini memiliki pertalian hubungan darah dengan pimpinan, anggota, aktivis DI/TII

atau pimpinan, anggota, aktivis organisasi garis keras berlabel Islam yang kerap

kali terlibat benturan kekerasan dengan aparat keamanan di masa lampau. Dengan

demikian, terorisme di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai terorisme yang

bermotivasi keyakinan agama (di sini tidak dibahas apakah pemahaman keyakinan

agama mereka itu benar atau keliru. Kebenaran untuk mereka, bukan kebenaran

secara umum). Pertalian antara elemen organisasi garis keras berlabel Islam di

Indonesia dengan jaringan terorisme international berawal di Afghanistan sekitar

13

(23)

pertengahan dekade tahun 80-an. Pada tahun 1984 Osama bin Laden

bersama-sama dengan Dr. Abdullah Azzam (keturunan Jordanian-Palestina) mendirikan

Afghan Bureau (yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Al-Qaeda).

Tujuannya menghimpun dan melatih para mujahidin dari seluruh dunia untuk

membantu membebaskan Afghanistan dari pendudukan Uni Soviet.

Afghan Bureau memperoleh dukungan penuh dalam bentuk dana,

peralatan dan persenjataan dari Dinas Intelijen Pakistan (ISI), Saudi Arabia dan

Amerika Serikat (CIA). Dari Indonesia berangkat ke Afghanistan untuk berjihad

sebagai mujahidin sekitar 300 orang pemuda. Umumnya mereka dikenal sebagai

aktivis organisasi garis keras berlabel Islam. Perekrutan para mujahidin tersebut

dilakukan secara terbuka di beberapa masjid. Pemerintahan Orde Baru

mendiamkan saja kegiatan perekrutan para mujahidin tersebut, karena kegiatan itu

didukung oleh negara-negara sahabat, yaitu Saudi Arabia, Pakistan dan Amerika

Serikat.

Sepulang para mujahidin asal Indonesia ke Tanah Air (secara bertahap),

mereka senantiasa saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Mereka menamakan

kelompok itu sebagai G-272 (singkatan dari Grup 272), yaitu jumlah mujahidin

yang ada. G-272 inilah yang menjadi generasi pertama jaringan Al-Qaeda di

Indonesia. mereka mulai terlibat dalam aksi-aksi serangan teror bom di Indonesia

sejak pertengan tahun 2000.14

Selanjutnya, dari sudut orientasi teologisnya terorisme di Indonesia

dewasa ini dibedakan atas tiga kelompok, yaitu Kelompok Solo, Kelompok

14

(24)

Banten, dan Kelompok Lamongan. Meski demikian, komunikasi dan koordinasi

di antara kelompok-kelompok tersebut berjalan cukup baik, karena memang

memiliki tujuan yang sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat taktis terdapat

variasi antara satu dengan lainnya. Kadang kala serangan-serangan teroris

dilaksanakan dengan kerja sama antarkelompok itu.

Tetapi, dapat juga dilakukan oleh masing-masing kelompok secara

sendiri-sendiri. Peristiwa penggranatan fasilitas Kedubes AS di Jl. Telukbetung, Jakarta

Pusat beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh Sel Purwakarta yang merupakan

bagian dari Kelompok Solo. Sedangkan serangan Bom Bali I dilakukan dengan

kerja sama oleh sel-sel yang merupakan bagian dari ketiga kelompok tersebut.

Bagaimana sejarah perkembangan kelompok teroris di Indonesia?

Kelompok teroris di Indonesia pada awal berdirinya (sekitar 1999) yang

dipelopori oleh para mujahidin eks Afghanistan, terutama mereka yang pernah

bergabung atau berlatih di kamp-kamp yang dikelola oleh Al-Qaeda di perbatasan

Pakistan-Afghanistan.

Dewasa ini jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut telah

mencapai ratusan orang yang terdiri atas para pemuda yang direkrut kemudian.

Anggota baru atau generasi baru itu, setelah diseleksi secara ketat,

kemudian sebagian memperoleh latihan militer di kamp-kamp pelatihan yang

didirikan di berbagai tempat terpencil di wilayah Indonesia (seperti di Poso), dan

sebagian lagi dikirim ke Kamp Abu Bakar milik MNLF di Filipina Selatan.

Perekrutan anggota baru ini terus berjalan sampai kini.

Berdasarkan informasi yang diterima, program perekrutan tersebut kini

(25)

pengangguran tetapi yang sering mengunjungi masjid-masjid di beberapa tempat

tertentu. Modus perekrutannya dilakukan secara sederhana. Para anggota yang

lebih senior menyamar sebagai penjual pisang goreng atau singkong goreng yang

mangkal di sekitar masjid-masjid tersebut. Mereka menyelidiki dan mengawasi

para pemuda yang diincar. Lalu mereka diteliti latar belakang keagamaan

keluarganya. Setelah dianggap tepat, baru kemudian didekati untuk diajak

bergabung. Dengan demikian, jumlah anggota kelompok-kelompok teroris

tersebut dari hari ke hari semakin bertambah, bukannya berkurang, meskipun

sebagian dari mereka ada yang tertangkap petugas keamanan.

Jika ditinjau dari perkembangan perekrutan di atas, serta dikaitkan dengan

cita-cita perjuangan mendirikan sebuah negara berlandaskan agama di Indonesia

yang sudah tertanam sejak lama, maka masalah terorisme di Indonesia bukanlah

persoalan jangka pendek, melainkan persoalan jangka panjang.

Sejak peristiwa Bom Bali I dan menyusul penangkapan-penangkapan yang

dilakukan oleh Polri terhadap pihak-pihak yang dicurigai terlibat bom Bali,

kelompok-kelompok teroris secara bersama sepakat untuk mengosongkan Pulau

Jawa dan memindahkan para anggotanya keluar Pulau Jawa. Sementara yang

ditinggalkan hanya segelintir anggota tingkat operasional rendahan saja.

Beberapa waktu yang lalu media cetak memberitakan bahwa sejumlah

LSM telah melaporkan pihak Polri melakukan penangkapan secara

sewenang-wenang terhadap 15 orang tersangka pelaku bom Marriott serta menculik 25 orang

aktivis Islam yang sejak beberapa waktu telah menghilang. Padahal sebenarnya 25

orang yang diberitakan hilang tersebut merupakan bagian dari anggota kelompok

(26)

Dewasa ini kelompok-kelompok teroris berkumpul di tiga tempat, yaitu

Sumatera, terutama wilayah antara Medan dan Pekanbaru (termasuk pulau-pulau

kecil di Kepulauan Riau), wilayah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu dan

Palembang). Lalu di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan (sekitar

Banjarmasin) dan Kalimantan Timur, khususnya di pulau-pulau kecil di daerah

perbatasan dengan Serawak Malaysia (Pulau Sebatik, Pulau Nunukan, dll.)

Terakhir di Pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah (Palu-Poso)15.

Di satu daerah dapat saja didiami oleh satu kelompok teroris tertentu,

tetapi dapat juga didiami oleh beberapa kelompok teroris, seperti di Palu-Poso

terdapat Kelompok Lamongan dan Kelompok Banten.

Bom Bali II dilakukan oleh jaringan ini. Pemberantasannya tidak bisa

dilakukan oleh kepolisian saja. Terorisme hanya bisa dihilangkan oleh metode

operasi intelijen yang tak hanya menangkap pelaku tetapi menghilangkan akar

jaringannya.

Operasi teroris biasanya dilaksanakan oleh elemen klandestin yang dilatih

dan diorganisir secara khusus, tindakan pengamanan yang ketat diberlakukan

setelah sasaran operasi dipilih. Anggota tim tidak dipertemukan sebelum

pelaksanaan latihan pendahuluan sesaat sebelum berangkat menuju sasaran.

Pengintaian dilaksanakan oleh elemen atau personel yang bertugas khusus sebagai

intelijen kusus, untuk memeperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan

operasi, lebih banyak serangan yang direncanakan dari pada yang dilancarkan.

Teroris senantiasa mencari dan mengeksploitir titik lemah dari sasaran. Mereka

15

(27)

seringkali menyerang sasaran yang tidak dilindungi atau kurang pengamanannya.

Karakteristik dari operasi adalah kekerasan, kecepatan dan pendadakan.

Metoda. Teroris beroperasi dalam hubungan unit kecil yang terdiri dari

personel yang terlatih menggunakan senapan otomatis ringan, granat tangan,

bahan peledak munisi dan radio transistor. Sebelum pelaksanaan operasi, teroris

berbaur dengan masyarakat setempat untuk menghindari deteksi dari aparat

keamanan. Setelah pelaksanaan operasi, mereka kembali bergabung dengan

masyarakat untuk memperbesar kemungkinan pelolosan mereka. Adapun taktik.

yang sering dilakukan oleh para teroris adalah16:

1. Bom; Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam

dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan

menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal

ini kedepan masih mungkin terjadi.

2. Pembajakan; Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok

teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi

di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di

Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan

pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan

massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

3. Pembunuhan; Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan

masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini

seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab

atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini

16

(28)

biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat

keamanan. Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus

pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.

4. Penculikan; Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh.

Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan

lebih ditujukan untuk menculik personel, seperti yang dilakukan oleh

kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery

Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan

imbalan berupa uang atau tuntutan politik lainnya.

5. Penyanderaan; Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam

dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali

memiliki pengertian yang sama. Penculik biasanya menahan

korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa

materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera

di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh

kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti

Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar

materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus

(29)

BAB III

KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP TERORISME

A. Pengertian Kebijakan

Kebijakan (policy) adalah sebuah intrumen pemerintah, bukan saja dalam

arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan governance

yang menyentuh seluruh pengelolaan negara yang baik dan saling

menguntungkan. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau

bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan

kepentingan-kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara17.

Banyak sekali definisi mengenai kebijakan. Sebagian besar ahli

memberikan pengertian kebijakan dengan keputusan pemerintah untuk melakukan

suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi warganya, seperti

kata Bridgman dan Davis, kebijakan pada umumnya mengandung pengertian

mengenai ’whatever government choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan

adalah ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan.

Dalam beberapa literatur yang membahas tentang ‘kebijakan’, menurut

Prof. DR. M. Solly Lubis, SH ditemukan beberapa definisi untuk menjelaskan

pengertian kebijakan diantaranya 18:

17

Edi Suharto, Phd, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung; Alfabeta, 2007),h. 3

18

(30)

1. Kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yanag diusulkan oleh

seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu

lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan

peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai

tujuan tertentu.Ada beberapa pokok-pokok dalam suatu kebijakan

yakni adanya tujuan (goal), sasaran (objektif), kehendak (Purpose).19

2. Amara Raksasataya mengatakan, kebijakan adalah suatu taktik dan

strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur

dalam kebijakan menurut Amara, pertama identifikasi tujuan yang

akan dicapai, kedua strategi untuk mencapainya, ketiga penyedian

berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaanya.

3. James Anderson

Kebijakan negara (State Policy) adalah kebijakan yang dikembangkan

oleh lembaga pejabat pemerintah dengan ciri-ciri khas sebagai berikut :

a. Kebijakan itu mempunyai tujuan

b. Kebijakan itu berisi tindakan

c. Kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan

d. Kebijakan itu mungkin positif dan negatif

e. Kebijakan itu selalu dituangkan dalam peraturan yang otoritatif

4. David Easton menyebut kebijakan pemerintah itu sebagai “

kewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai” bagi masyarakat secara

menyeluruh.Berarti yang mengatur secara menyeluruh kepentingan

masyarakat adalah pemerintah bukan lembaga yang lain.

19

(31)

5. Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk

mecapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang

diarahkan dalam pencapaian tujuan, nilai, dan praktek.

6. Hugh Heglo mengatakan kebijakan suatu yang bermaksud mencapai

tujuan (goal, end) tertentu ( a course of action intended to accomplis

some end).20

7. Thomas R. Dye mengatakan kebijakan sebagai pilihan pemerintah

untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do

or not to do).

B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Soekarnoputri Terhadap Terorisme

Abad 21 merupakan abad globalisasi, baik dalam perkembangan di bidang

ekonomi, sosial, politik, hukum dan perkembangan di bidang teknologi.

Kecanggihan teknologi informasi telah menjadikan kehidupan manusia tidak lagi

20

(32)

dibatasi ruang dan waktu. Bahkan dapat dikatakan bahwa jarum yang jatuh

disuatu negara atau di wilayah tertentu dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan

akan segera diketahui oleh seluruh bangsa di dunia. Sehingga tidak akan tersisa

sedikit pun informasi mengenai kejadian-kejadian lokal yang luput dari perhatian

dunia. Apalagi kejadian lokal atau nasional tersebut mempunyai aspek

internasional. Seperti yang terjadi di Indonesia yang sangat menghentakkan

ketenangan anak bangsa yakni peristiwa peledakan bom 12 Oktober 2002 di Bali.

Yang mengindikasikan keterlibatan kelompok yang di cap teroris.

Kejadian ini sangat membuat pemerintah kesulitan untuk menjelaskan

kepada dunia apa yang sebenarnya telah terjadi, karena pada peristiwa bom Bali

banyak dari warga negara asing yang menjadi korban. Untuk mengatasi peristiwa

tersebut agar tidak terulang kembali, pemerintah Megawati Soekarnoputri

menempuh cara untuk mengatasi permasalahan teroris dengan membentuk

aturan-aturan yang berkaitan dengan terorisme. Yakni dengan diterbitkannya Peraturan-aturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 tahun 2002 tentang

pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa bom Bali tanggal 12

Oktober 2002, maka pemerintah bekerjasama dengan DPR RI mengesahkan

kedua Perpu tersebut menjadi undang No. 15 Tahun 2003 dan

Undang-undang No 16 Tahun 2003.

Penyusunan naskah rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme mulai dilakukan sejak minggu keempat bulan april 2002

oleh satu tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan unsur Lembaga Swadaya

(33)

dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, termasuk kepada

Organisasi Islam dan mahasiswa. Sosialisasi tersebut dilaksanakan pada bulan

Juni 2002 di Jakarta dan Surabaya.

Dalam penyusunan naskah rancangan undang-undang ini, tim telah

melakukan study banding atas undang-undang tentang pemberantasan terorisme di

berbagai negara, diantaranya : Singapura, Malaysia, Australia, Kanada, India dan

Amerika. Selain itu tim juga telah banyak memperoleh masukan dari ahli

terorisme Kanada, Australia, dan Amerika melalui diskusi intensif yang

berlangsung di Jakarta.

Setelah melakukan dua kali sosialisasi di dua kota besar, tim merasa perlu

untuk menambah sosialisasi di tiga kota besar lainnya yakni Bandung, Medan dan

Ujung Pandang. Tujuan sosialisasi ini untuk memperoleh masukan dari

masyarakat luas dan sekaligus upaya untuk menumbuhkan pemahaman yang sama

dikalangan masyarakat akan pentingnya dan perlunya mempunyai undang-undang

tentang tindak pidana terorisme. Tujuan lain adalah untuk menghilangkan kesan

bahwa undang-undang yang akan dibentuk atas perintah Amerika dan tekanan

dunia internasional.

Untuk menyempurnakan naskah rancangan undang-undang ini tim telah di

berkonsultasi dengan pakar hukum pidana dan hukum internasional serta

menghapus beberapa ketentuan yang bersifat krusial yang memungkinkan

timbulnya kontroversi di kalangan masyarakat, diantaranya21 :

21

(34)

1. Menghapus rancangan semula mengenai ketentuan tentang

Pembentukan badan anti terorisme” dengan pertimbangan kerena

dikhwatirkan akan berpotensi mengembalikan trauma masyarakat

terhadap kehadiran lembaga Komando Operasi Keamanan dan

Ketertiban (KOMKAMTIB) dimasa lampau, dan untuk menghapus

kesan undang-undang ini sebagai undang-undang subversi “gaya baru”

yang dapat merugikan citra dan niat baik pemerintah secara politis.

Namun demikian tim mencoba memasukkan usulan mengenai

kemungkinanan pembentukan SATGAS berdasarkan Keputusan

Presiden atas usulan kepala kepolisian Republik Indonesia. Hal ini

terjadi ketika Polri sudah tidak mampu mengatasi situasi teror.

2. memasukkan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan

tersangka dan korban tindak terorisme dengan tetap menggunakan

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai

landasan kepolisian dalam melakukan tindakan pro justisia. Tim juga

telah memasukkan tentang konpensasi dan rehabilitasi bagi korban

tindak pidana terorisme, sehingga diharapkan Rancangan

Undang-Undang ini dapat memelihara keseimbangan perlakuan terhadap kedua

subjek hukum. Guna mencegah perlakuan yang bersifat diskriminasi.

Selanjutnya dalam naskah Rancangan Undang-Undang ini juga tetap

mempertimbangkan mengenai perlindungan atas kedaulatan negara

Republik Indonesia, yaitu dengan menegaskan perluasan

diberlakukannya Undang-undang ini keluar batas-batas teritorial

(35)

di Indonesia yang melarikan diri keluar negeri, dan dapat melindungi

warga negara Indonesia yang menjadi korban di luar negeri

3. memasukkan ketentuan mengenai penilaian terhadap laporan Intelijen,

dari Imigrasi, Kejaksaan, Kepolisian, Bea Cukai, dan dari Badan

Intelijen Negara (BIN) serta Badan Intelijen Strategis (BAIS), yang

dilaksanakan melalui proses hearing di bawah ketua pengadilan Negeri

atau Hakim yang ditunjuk. Prosedur ini baru dan tidak terdapat

didalam KUHAP, namun sangat penting mengingat pengalaman dan

sejarah terorisme yang memiliki kecanggihan modus operandinya

karena didukung organisasi internasional yang kuat baik segi finansial

maupun teknologi yang canggih dan jaringan intelijen yang kuat.

4. Mengeluarkan motivasi politik dari tindak pidana terorisme sehingga

setiap gerakan atau aksi demontrasi untuk melaksanakan hak-hak

politik, ekonomi dan sosial dapat diwujudkankan tanpa perlu adanya

rasa takut dituduh sebagai teroris. Namun jika terjadi akses yang jelas

terbukti terjadi pelanggaran hukum maka pasal-pasal KUHP yang akan

diberlakukan terhadap pelakunya.

Untuk mendukung peradilan terhadap pelaku tindak terorisme, tim

penyusun memasukkan ketentuan baru mengenai alat bukti elektronik sebagai

alat bukti baru selain yang diatur oleh KUHAP, sehingga akan dapat

meningkatkan efisiensi kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan

(36)

Naskah Rancangan undang-undang ini juga memasukkan sejumlah

ketentuan yang telah diatur dalam konvensi Internasional, antara lain

mengenai pemboman oleh teroris, pembekuan dan penyitaan finansial

terorisme serta sejumlah ketentuan lainnya yang berasal dari konvensi

internasional lainnya.

Dari Rancangan undang-undang yang mengacu kepada Perpu No. 1

Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ini pemerintah bersama DPR

mengesahkan menjadi Undang No. 15 Tahun 2003 dan

Undang-undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Terdapat sejumlah pasal dalam Undang-undang Pemberantasan

terorisme No. 15 dan 16 tahun 2003 yang berpeluang memberi wewenang tak

terbatas kepada aparat penegak hukum dan keamanan. Menurut Todung

Mulya Lubis dam Munir,22 pasal-pasal tersebut adalah :

1. Pasal 20 :

Setiap orang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau

dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum,

penasehat hukum dan atau hakim yang menangani tindak pidana

terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana

dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas tahun)

2. Pasal 26

Ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik

dapat menggunakan setiap laporan intelijen”.

22

(37)

Menurut Munir dan Todung Mulya Lubis, rumusan itu

memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara, terutama

pemberian kesempatan luas kepada Intelijen dari BIN dan TNI. Bisa

saja laporan dibuat untuk tujuan lain dan berbeda selain dari untuk

mencegah atau mengumpulkan informasi terkait dengan terorisme.

3. Pasal 28

Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang

diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasar bukti

permulaan yang cukup untuk paling lama 7 X 24 jam”.

Menurut Munir pasal ini memberikan mandat yang sangat luas

kepada penyidik (Polisi) untuk berbuat sewenang-wenang memeriksa

seseorang tanpa perlu memberitahu keluargannya, dan didampingi

penasehat hukum. Padahal cara-cara kekerasan fisik untuk mengorek

keterangan masih dijadikan jalan pintas oleh polisi dalam memeriksa

seseorang.

4. Pasal 30

Ayat 1: “ Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak

pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim

berwenang untuk meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga

jasa keuangan mengenai harta kekayaan dari setiap orang yang

diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme

5. Pasal 31

(38)

a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos

dan jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan

perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa.

b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi

lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,

merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.Menurut

Todung, kedua pasal ini mengancam hak-hak individual. Apalagi

hanya berdasar laporan intelijen.23

6. Pasal 46

“Berlaku surut sebelum adanya undang-undang ini”.

Menurut Todung, memperlakukan ketentuan pidana terorisme

secara retroaktif (berlaku surut) adalah pelanggaran serius terhadap

prinsip legalitas dan dalam hukum pidana ada prinsip Nullum

Delictum Nulls Poena Sine Previa Lege Poenali, tidak ada perbuatan

yang dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana sebelum perbuatan

itu terjadi.

Mengingat banyak terdapat pasal-pasal rawan yang bersifat multitafsir

dan memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan politik kepada

pemerintah dengan mengijinkan badan-badan intelijen non yudisial, baik BIN

maupun badan intelijen meliter, menjadi bagian dari institusi penegak hukum

(pasal 26) ditambah lagi pemberlakuan ketentuan pemberantasan tindak

pidana terorisme secara berlaku surut atau retroactif yang jelas-jelas

pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas. Beberapa kalangan mengajukan

23

(39)

yudisial reveuw ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali

tentang aturan-aturan dalam undang-undang tindak pidana terorisme.

Pada Jumat, 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan

keputusan yang sangat mengejutkan24. Putusan yang menggegerkan dunia

internasional, khususnya Australia yang warganya banyak meninggal akibat

peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 dan AS yang sedang giat-giatnya

melancarkan perang antiterorisme.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 16 tahun 2003

tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2 tahun

2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali

12 Oktober 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Dalam memberi keputusan MK ini ada yang menarik, putusan ini

bukanlah putusan bulat, lima hakim setuju termasuk ketuanya sedangkan

empat orang hakim lainnya tidak setuju. Hal ini mencerminkan, dikalangan

akedemisi, praktisi hukum, dan masyarakat juga akan terbelah pendapatnya

mengenai putusan itu.

Putusan itu memang kontroversial, tetapi berdasarkan aneka

pertimbangan hukum yang dikemukakan dapat dipahami meski banyak yang

tidak sependapat. Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan “ Tidak satu

perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang

yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Berdasarkan pasal tersebut,

suatu ketentuan pidana tidak dapat diberlakukan surut atau retroaktif. Asas

tersebut merupakan asas universal yang ada dalam hukum pidana semua

24

(40)

sistem hukum. Apakah asas universal tersebut harga mati atau bukan?,

Apakah dalam hal-hal tertentu yang sangat mendasar tidak boleh terjadi

penyimpangan atas asas tersebut?.

Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya pemberlakuan asas retroaktif

ini, pendapat pertama25, yang juga dikemukakan 4 orang hakim yang

mempunyai pendapat berbeda (Disenting Opinion) mengatakan pada dasarnya

konstitusi Indonesia tidak memperbolehkan dalam perundang-undangan, akan

tetapi pemerintah menganggap kasus bom Bali sebagai kejahatan luar biasa

(ekstra ordinary crime) sehingga harus dihadapi secara luar biasa, dengan

memberlakukan undang-undang yang bersifat retroaktif. Pengecualian ini

sebenarnya pernah diterapkan pada undang-undang korupsi, dimana Indonesia

tidak memperkenankan pembuktian terbalik karena menyalahi due process of

law. Tapi dalam undang-undang korupsi sistem pembuktian terbalik dapat

diberlakukan, karena mengingat kedua kejahatan tersebut (teroris dan korupsi)

ancaman yang amat membahayakan keamanan negara dan secara internasional

dianggap membahayakan keamanan dan budaya dunia.

Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme

didefinisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman

kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara

meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara

merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,

atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital

25

Frans H. Winata, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang Antiteroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta :

(41)

yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas

internasional. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme

termasuk kejahatan luar biasa terhadap kemanusian (extra ordinary crime

against humanity). Dan peristiwa bom Bali merupakan kejahatan terhadap

kemanusian (extraordinary crime) sehingga harus ditindak dengan

pengkhususan tertentu yang di dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif.

Terorisme saat ini telah menjadi momok dunia, sehingga diperlukan kerjasama

multilateral untuk menaggulanginya.

Sebenarnya, pada tanggal 17 Juli 1998, telah terbentuk International

Criminal Cort (ICC) untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap

kemanusiaan (crime against humanity) dan statuta Roma ini telah diratifikasi

oleh 60 negara.

Tujuan pembentukan ICC untuk mengadili para pelaku kejahatan yang

dianggap dapat membahayakan umat manusia dimanapun kajahatan itu terjadi.

Aneka kejahatan dalam statuta Roma adalah kehamilan yang dipaksakan,

pemerkosaan massal, kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap

kemanusiaan, genosida terhadap kebudayaan, dan agresi. Kecuali invasi yang

harus dirumuskan lagi. Statuta Roma ini dilakukan secara retroaktif dengan

tujuan agar dapat mengadili penjahat-penjahat perang Yugoslavia.

Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada

pengadilan untuk penjahat perang Nurenberg, untuk mengadili anggota Nazi

Jerman yang membantai lima juta kaum Yahudi. Korban teror Twin Tower

New York dengan 3000 orang tewas dan korban bom Bali yang tidak bisa

(42)

Pendapat kedua yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif

berargumen bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP

disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar

kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”.

Adapun alasan bahwa permasalahan terorisme telah menjadi momok bagi

dunia, dan telah diratifikasi statuta Roma oleh 60 negara, yang menjadi dasar

pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili

kejahatan kemanusiaan dan telah diratifikasi oleh banyak negara, namun

dibawah pemerintahan Bush, pada tahun 2002 Kongres Amerika Serikat telah

menerbitkan “American Service Member Protection Act (ASPA), isinya

melarang setiap kerjasama dengan ICC. ASPA juga memberikan wewenang

yang luar biasa kepada AS menggunakan segala cara termasuk menyerang

suatu negara untuk membebaskan warga dan sekutunya.

Dalam kontek kerjasama memerangi teroris ternyata AS menunjukkan

sikap ambigu, tingkat kepercayaan mayoritas masyarakat internasional

terhadap citra positif demokrasi AS semakin luntur, dan keganasan tentaranya

menjadi sorotan banyak negara. Melalui siaran pers Menlu Vatikan, Kardinal

Angelo Sodano menyatakan penyerangan AS atas komplek suci Imam Ali

Najab, melanggar kesapakatan konvensi Jeneva/Jenewa dan hukum

Internasional.

Selain itu, dari praktek-praktek hukum internasional ternyata

pihak-pihak yang diadili adalah pihak-pihak negara (regime), bukan warga (sipil)

contohnya pada pengadilan HAM adhoc kasus Tanjung Periok dan Timor

(43)

juga berunsur negara; meliter, pejabat sipil, dan milisi. Menurut Martinus

Amin26, yang dapat dikenakan asas retroaktif selain kejahatan yang diatur

dalam konvensi Roma, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh negara, alasanya

supaya negara tidak begitu mudah mengenakan asas retroaktif terhadap warga.

Hal ini mengingat watak kekuasaan yang cenderung korup, aturan yang ada

diabaikan, apalagi yang bersifat elastis.

Kalau disamakan penggunaan asas retroaktif terhadap kejahatan

terorisme dengan pembuktian terbalik dalam UU Korupsi sangat tidak pas,

karena sistem pembuktian terbalik substansi sangat berbeda, berisi pengaturan

“beban pembuktian”, dimana seseorang wajib membuktikan harta benda yang

dimilikinya bukan hasil korupsi dimuka sidang asas ini dikembangkan oleh

ahli hukum, selain dianut oleh Indonesia juga oleh beberapa negara lain.

C. Penanganan Terorisme di Indonesia

Tertangkapnya Abu Dujana terkait dengan jaringan teroris beberapa waktu

yang lalu membuktikan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah menjadi

ancaman yang sulit ditebak. Fenomena terorisme telah mampu menciptakan rasa

takut secara global dengan menggunakan jaringan dan transaksi internasional,

26

(44)

regional dan nasional. Jaringan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari

jaringan teroris internasional yang tumbuh subur di kawasan Asia.

Selain masalah terorisme, ada persoalan lain yang dapat mempengaruhi

terwujudnya keamanan nasional saat ini. Pertama, konflik ekonomi yang ditandai

dengan ketegangan-ketegangan pada sektor perdagangan, seperti tarik ulur harga

minyak goreng antara pemerintah dan produsen. Hal ini menjadi ironis karena

rakyat harus membayar harga minyak goreng lebih mahal, padahal Indonesia

produsen CPO kedua terbesar di dunia.

Kedua, ancaman terhadap keamanan nasional terutama masih dilihat

sebagai sumber dari dalam negeri. Seperti adanya konflik Poso, Ambon, Irian,

Aceh dan lain-lain yang telah memberikan andil cukup besar bagi keterpurukan

bangsa.

Ketiga, penyelundupan manusia dan migrasi ilegal, khususnya yang terjadi

di Asia juga turut memperburuk situasi keamanan dalam negeri. Migrasi ilegal

dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu faktor pendorong dan penarik. Faktor

pendorong berasal dari situasi internal negara asal seperti pengangguran yang

meningkat sebagai akibat krisis ekonomi dan finansial, serta faktor-faktor

keamanan dalam negeri yang timbul akibat pemerintahan rezim yang represif atau

terjadi perang saudara. Faktor penarik yang berasal dari negara tujuan atau negara

pilihan timbul karena negara tujuan tersebut sangat aman, secara politik stabil,

kaya, ekonominya maju dan karenanya menjanjikan kehidupan baru yang lebih

baik.

Keempat, lalu lintas obat terlarang. Indonesia sebagai salah satu negara di

(45)

penjagaan keamanannya amat lemah, menjadikan negeri ini bukan saja sebagai

lalu lintas transit yang aman untuk perdagangan narkotika ke Australia dan

kawasan lainnya, tetapi juga seperti Thailand sangat memungkinkan Indonesia

menjadi pusat perdagangan serta pasar narkotika dan obat bius lainnya.

Kelima, aksi perompakan semakin nyata sebagai suatu ancaman bersama

yang perlu dihadapi oleh negara-negara di dunia. Tidak jarang pelaku perompakan

bukan hanya berasal dari satu kebangsaan tertentu saja, tetapi dari beragam

bangsa yang terorganisasi dalam satu organisasi kejahatan lintas negara, seperti

mereka yang beroperasi di Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.

Keenam, adanya perdagangan gelap senjata, penyalahgunaan teknologi informasi,

konflik komunal yang terjadi di Aceh dan Ambon yang menggunakan senjata

sebagai alat kekerasan, misalnya, tidak menutup kemungkinan diperoleh dari hasil

perdagangan gelap. Sedangkan penyalahgunaan teknologi informasi seperti

perusakan jaringan internet dan website milik TNI dan Polri maupun milik

institusi dan perusahaan negara maupun swasta nasional lainnya.

Tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah harus mampu

meyakinkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pemberantasan

terorisme dan bahaya lain yang dapat merusak tatanan keamanan nasional

digunakan untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian

upaya untuk mewujudkan keamanan nasional dilakukan sebagai bentuk tanggung

jawab negara untuk memberikan rasa aman suatu bangsa dari berbagai ancaman,

baik politik, sosial maupun budaya, terhadap keutuhan dan kedaulatan wilayah.

Keamanan nasional merujuk kepada kebijakan pemerintah untuk

(46)

mewujudkan perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas. Dengan

memanfaatkan seluruh kekuatan diplomasi luar negeri (tetap berpijak pada politik

bebas aktif), mengolah potensi ekonomi nasional untuk kepentingan pertahanan

negara serta penggunaan kekuatan militer berdasarkan prinsip demokrasi. Untuk

mewujudkan langkah tersebut diawali dengan proses demokratisasi yaitu untuk

mewujudkan keamanan nasional harus mengikutsertakan masyarakat

seluas-luasnya. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian masyarakat sudah

telanjur mempunyai persepsi yang rancu bahwa fungsi keamanan hanya

dimonopoli oleh aparat negara. Peran pemerintah sebagai regulator harus

memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat umum untuk melakukan

langkah-langkah penangkalan secara dini di lingkungan masing-masing.

Penangkalan tersebut dilakukan dengan proses pemberdayaan berdasarkan

perkiraan-perkiraan matang mengenai perkembangan lingkungan, nasional

maupun internasional, tanpa harus didominasi oleh negara. Dengan demikian

keamanan nasional, apa pun definisinya pada intinya mengandung hal-hal yang

bersifat partisipatif masyarakat menuju perdamaian dan stabilitas dalam sebuah

komunitas negara.

Berdasarkan konsep baru tentang keamanan nasional maka secara legal

demokratik tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang

menyatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia

merupakan bagian dari operasi militer selain perang Military Operation Other The

War (MOOW) bukanlah hal yang tabu. Sydney Jones dari lembaga International

(47)

untuk mengimbangi kekurangmampuan lembaga lain dalam menangani masalah

ini. Paling tidak terdapat tiga peran yang dapat dimainkan. Pertama,

operasi-operasi khusus. Termasuk di dalam peran ini adalah operasi-operasi-operasi-operasi yang

membutuhkan keahlian di luar keahlian konvensional kepolisian. Tugas yang

membutuhkan keahlian khusus seperti pada contoh ini lebih tepat dibebankan

pada Detasemen 81 Gultor (Penanggulangan Teroris) Kopassus TNI-AD,

Detasemen Jalamangkara Marinir TNI-AL dan Detasemen Bravo Paskas TNI-AU.

Kedua, penjagaan perbatasan. Bruce Hoffman, salah satu pakar terorisme dunia,

memprediksi bahwa pascaterusirnya Taliban dari Afghanistan, jaringan teror

dunia akan mengalihkan sasaran ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia

yang sangat rendah penjagaannya. Indonesia sendiri setidaknya memiliki 12 pulau

terluar yang rawan penyelundupan dan akhirnya tentu bisa saja menjadi jalur

lintas kegiatan terorisme. Sehingga akan lebih optimal jika penjagaan wilayah

perbatasan dibebankan kepada personel TNI. Dan ketiga, deteksi dini potensi

teror. Dengan kemampuan data base atas kegiatan radikal, instrumen pembinaan

teritorial atau kewilayahan. Inteligence gathering pada strata terbawah komando

teritorial akan bersentuhan langsung dengan masyarakat dan merupakan sarana

efektif untuk mendeteksi potensi ancaman teror.

Dengan adanya perspektif baru keamanan nasional yang ditekankan pada

partisipasi masyarakat serta peran TNI dalam penanggulangan terorisme maka

dalam kurun waktu ke depan perlu dibuat kebijakan tentang keamanan nasional

yang komprehensif. Sehingga dapat diketahui secara jelas lembaga apa menangani

ancaman apa, serta bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan.

(48)

BAB IV

IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN RESPON UMAT ISLAM

A. Implikasi Kebijakan Megawati Soekarnoputri

Presiden Megawati Soekarnoputri adalah kepala negara pertama

mengunjungi George W. Bush paska serangan teroris pada 11 September 2001

yang merubuhkan menara kembar World Trade Center di Amerika. Pertemuan

kedua kepala negara ini banyak berbicara keinginan dan usaha untuk

mengkonsolidasikan koalisi internasional yang baru terbentuk untuk melawan

terorisme, terutama di negara berkembang. Indonesia salah satu komponen

penting dalam upaya ini karena posisinya sebagai negara demokratis

berpenduduk muslim terbanyak dan meningkatnya peran organisasi-organisasi

Islam sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Adapula dugaan bahwa

beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai kaitan dengan

organisasi Osama Bin Laden, Al-Qaida. Ini juga berkaitan dengan pernyataan

Menteri Senior Singapura (kaki tangan AS), yang terang-terangan menuduh

Indonesia sebagai “sarang para teroris”. Menurutnya, pemimpin teroris masih

berkeliaran di Indonesia.27

Aksi teror bom di Bali pada 12 Otober 2002, telah mendorong

pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan

mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya

Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002, disusul

27

(49)

dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan

Keamanan Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan

Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu

Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003.

Berkaitan dengan teror bom di Bali dan memberikan wewenang penuh kepada

datasemen 88 dan BIN untuk memberantas terorisme.

Detasemen Khusus 88 (penulisan selanjutnya Densus 88) adalah

direktorat anti teror di Indonesia, lembaga ini yang yang menjadi ujung

tombak memerangi terorisme di Indonesia, lembaga di bawah Mabes Polri ini,

banyak menerima bantuan asing dalam jumlah yang sangat besar.

Kewenangan Densus 88 dan BIN yang tidak terbatas dengan mengekploitasi

undang-undang No. 15 dan 16 tahun 2003 untuk membasmi teroris di

Indonesia ini mendapat protes dari kalangan masyarakat. Lembaga ini

mempunyai superbody yang tak tersentuh hukum, kendati banyak oknumnya

melakukan pelanggaran hukum dan sering menyakiti umat Islam, khususnya

para ulama dan aktivis muslim yang dituduh teroris tanpa ada bukti yang

jelas28.

Kalangan masyarakat yang merasa dirugikan dengan keberadaan

Densus 88 menuntut pembubaran departemen ini karena bertentangan dengan

semangat demokrasi, meresahkan masyarakat dan pelanggaran HAM, yang

telah dimanfaatkan oleh kelompok anti Islam untuk memberangus para aktivis

muslim yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Mereka berpendapat,

jika lembaga ini tetap dipertahankan maka kesalahan Orde Baru yang terkenal

28

Gambar

Grafika, pt 2006)

Referensi

Dokumen terkait

b) Melakukan montoring target di bawah ini sesuai dengan Lampiran I: setidaknya 95% hewan dipingsankan dengan efektif pada kali pertama proses pemingsanan. • Lakukan

Renstra Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Purwakarta Tahun 2018-2023 disusun sebagai komitmen perencanaan jangka menengah, yang menjabarkan secara sistematis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil nilai korelasi hasil ρ : 0,652, dengan tingkat signifikasi 0,000 berarti terdapat hubungan antara minat masuk jurusan

Pada saat saat tertentu atau khususnya saat client akan terhubung (assosiate) atau ketika akan memutuskan diri (deauthentication) dari sebuah jaringan wireless, maka

Rumahtangga yang termasuk ke dalam kategori ini adalah St (62 tahun). St adalah seorang janda yang hidup sendiri dan tidak memiliki anak. Ia tidak bekerja namun

00008/207/11/651/12 tanggal 12 Oktober 2012 jangka waktu pelunasan pajak pada saat pengajuan keberatan tertangguh Oktober 2012 jangka waktu pelunasan pajak pada saat

Dari hasil kajian dapat disimpulkasn sebagai berikut : (1) Di lihat dari gambaran pembangunan di Kabupaten Pandeglang, dilihat dari tingkat kemiskinan, tingkat pendidikan

Skripsi ini menggambarkan tentang pelaksanaan penanggulangan bencana melalui program Sekolah Madrasah Aman Bencana (SMAB) sebagai upaya mitigasi bencana di Kota Malang