• Tidak ada hasil yang ditemukan

Realisasi Tujuan Pernikahan Menurut Syariat Islam Pada Kehidupan Berumah Tangga (Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga Pada Masyarakat Di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Realisasi Tujuan Pernikahan Menurut Syariat Islam Pada Kehidupan Berumah Tangga (Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga Pada Masyarakat Di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

REALISASI TUJUAN PERNIKAHAN MENURUT SYARIAT ISLAM PADA KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA

(Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga Pada Masyarakat

Di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk

Mencapai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Mawardi NIM :108044100076

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

(Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga Pada Masyarakat

Di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk

Mencapai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Mawardi NIM : 108044100076

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

(4)

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Mawardi

NIM : 108044100076

Program Studi : Hukum Keluarga

Fakultas : Syariah dan Hukum

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya ini asli hasil karya atau penelitian saya sendiri dan bukan jiplakan dari hasil karya orang lain.

(5)

v

ABSTRAK

Mawardi. NIM: 108044100076. Realisasi Tujuan Pernikahan Menurut Syariat Islam Pada Kehidupan Berumah Tangga ( Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabuoaten Bekasi). Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H / 2015 M.

Keluarga yang harmonis merupakan tujuan utama dari sebuah perkawinan yang didambakan setiap pasangan suami isteri. Namun, yang terjadi pada beberapa pasangan keluarga di desa Pusaka Rakyat, melainkan aneka kekurangan seperti ekonomi, intervensi dan miskomunikasi antara suami dan isteri. Keharmonisan dalam rumah tangga itu telah tiada; yang ada hanya percekcokan dan penderitaan lahir batin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui realitas kehidupan berumah tangga di Desa Pusaka rakyat, faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pernikahan menurut syariat Islam, dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tidak tercapainya tujuan pernikahan menurut syariat Islam terhadap keluarga di Desa Pusaka rakyat.

Penelitian ini bertitik tolak dari pemikiran bahwa tujuan pernikahan dalam Islam adalah untuk menciptakan keluarga yang mawaddah, sakinah dan rahmah. Percekcokan dalam keluarga dan faktor-faktor lain yang bisa memperburuk keadaan rumah tangga harus dihindarkan dengan berbagai upaya seperti telah diatur dalam hukum Islam guna mewujudkan tujuan perka winan di atas.

Metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus dengan sumber data primernya adalah 80 pasangan suami isteri yang terdapat di Desa Pusaka rakyat dan sumber data sekundernya adalah bagian-bagian tertentu yang terdapat dalam referensi bidang fiqh munakahat. Dari sumber primer, data dikumpulkan dengan teknik penyebaran angket dan wawancara. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak tercapainya tujuan pernikahan yang sesuai dengan syariat islam, yaitu tidak tercapainnya keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah pada beberapa keluarga di Desa Pusaka Rakyat , faktor-faktor yang menimbulkan kekurang harmonisan keluarga di Desa Pusaka rakyat, adalah faktor ekonomi, seks, intervensi dan komunikasi, menurut hukum Islam Tanpa Komunikasi yang baik keluarga yang harmonis sulit dpertahankan, sebab mereka hanya akan menjalani kehidupan berumah tangga dalam suasana ketertutupan, kesunyian, prasangka yang buruk, kesalahpahaman, bahkan boleh jadi saling bermusuhan.

Kata kunci : Pernikahan, Keluarga, Rumah Tangga, hak, kewajiban, Sakinah, Mawaddah, Rahmah, Hamonis.

(6)

vi

ميحّرلا نمحّرلا ه مسب

Assalamu‟alaikum, Wr, Wb.

Puji Syukur saya persembahkan kehadirat Allah SWT., atas perkenan-Nya

penulis telah diberikan kekuatan lahir dan batin untuk menulis Skripsi ini. Shalawat

dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad SAW.,

Terwujudnya skripsi ini merupakan satu proses yang panjang dan tidak lepas

dari bantuan banyak pihak, bantuan tersebut sangat besar arti dan nilainya.

Pada kesempatan ini hanya ucapan terima kasih yang mendalam dari

penyusun untuk dihaturkan kepada:

1. Bapak Dr. Asep Saepuddin, MA, selaku Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Sri Hidayati, M.Ag, yang telah berkenan meluangkan waktunya

yang berharga untuk membimbing penyusunan skripsi ini.

3. Bapak H. A. Basiq Djalil dan Bapak H. M. Riza Afwi, Lc, MA.,

Selaku penguji skripsi penulis, yang telah memberi masukan untuk

kesempurnaan dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak JM. Muslimin, Ph.D., Selaku Dosen penasihat akademik

penulis yang telah banyak memberikan nasihat dan motivasinya untuk

(7)

vii

5. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Hukum Keluarga UIN Jakarta

yang telah memberi bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.

6. Masyarakat Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten

Bekasi yang telah sudi meluangkan waktunya untuk berwawancara dan

melengkapi dalam pengambilan data penyelesaian skripsi ini.

7. Terima kasih kepada Bapak Drs. H. Abdul Choir dan ibu Hj. Zulaicho

sebagai orang tua penyusun, yang sangat banyak memberikan bantuan

moril, materil, arahan, dan selalu mendoakan keberkahan dan

keselamatan unuk penulis.

8. Kepada kakak-kakakku dan keponakan-keponakanku yang senantiasa

memberikan motivasi untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi

ini.

9. Dan semua pihak yang tidak dapat penyusun sebutkan satu persatu

dalam membantu sekaligus mendukung pembuatan skripsi ini, sekali

lagi disampainkan banyak terima kasih.

Semoga seluruh bantuan dan kemudahan yang diberikan kepada penulis

selama menyelesaikan skripsi ini, dicatat oleh Allah sebagai bagian amal shaleh

yang akan mengalir di akhirat kelak, dan semoga buah karya penyusun lewat skripsi

ini dapat bermanfaat dan memiliki nilai pengabdian di sisi Allah yang maha

(8)
(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

D. Metode Penelitian ... 10

E. Teknik dan Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERKAWINAN DALAM ISLAM... 16

A. Pengertian dan Tujuan Pernikahan ... 16

B. Konsep Keluarga Ideal dalam Islam ... 23

C. Hak dan Kewajiban Suami Istri menurut Hukum Positif ... 32

(10)

x

B. Eksistensi Desa Pusaka Rakyat ... 48

C. Pemahaman masyarakat tentang Keagamaan dan Hukum Keluarga ... 52

BAB IV TUJUAN PERNIKAHAN MENURUT SYARIAT ISLAM PADA KEHIDUPAN BERUMAH TANGGA DI DESA PUSAKA RAKYAT KECAMATAN TARUMA JAYA KABUPATEN BEKASI ... 59

A. Realitas tujuan pernikahan menurut syariat Islam pada kehidupan berumah tangga ... 59

B. Analisis Faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam ... 63

C. Tinjauan Hukum Islam terhadap Penyebab tidak tercapainya tujuan pernikahan yang sesuai dengan syariat Islam ... 73

BAB V PENUTUP ... 83

A. Kesimpulan ... 83

B. Saran-saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... xii

LAMPIRAN-LAMPIRAN :

1. ANGKET ... I

(11)

xi

3. GAMBAR ... V

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang utuh dan universal, yang memerintahkan

kepada umatnya untuk mendirikan sebuah rumah tangga melalui suatu syariat yaitu

dengan melaksanakan perkawinan terlebih dahulu secara resmi.

Allah telah menunjukkan kekuasaan-Nya melalui penciptaan manusia hidup

dengan berpasang-pasangan (suami-istri) dengan dibarengi perasaan kasih dan

sayang. Dengan demikian, manusia akan merasa tentram dalam kehidupan

keluarganya, sehingga terbentuklah keluarga yang sakinah atau harmonis

sebagaimana yang di cita-citakan oleh ajaran Islam.

Dalam pasal 3 KHI disebutkan pula bahwa perkawinan bertujuan “untuk

mewujudkan kehidupan rumah tangga yang Sakinah, mawaddah dan rahmah”.1

Sebagaiman kita ketahui bahwa yang dinamakan perkawinan adalah suatu

perjanjian perikatan antara suami dan isteri yang sudah barang tentu akan

mengakibatkan timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi kedua belah pihak.

Jadi yang dimaksud dengan hak di sini adalah sesuatu yang merupakan milik atau

dapat dimiliki oleh suami atau isteri yang diperolehnya dari hasil perkawinan. Hak ini

1

Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), cet. 4, hal.

(13)

2

juga dapat dihapus apabila yang berhak rela, apabila haknya tidak dipenuhi atau

dibayar oleh pihak lain. Adapun yang dimaksud dengan kewajiban adalah hal-hal

yang wajib dilakukan atau diadakan oleh salah seorang dari suami isteri, untuk

memenuhi haknya dari pihak yang lain.2

Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 77 ayat (1) menjelaskan bahwa “Suami

istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah, dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.3 Dengan

demikian menurut Undang-undang bahwa dalam pengelolaan rumah tangga antara

suami dan istri memiliki kewajiban yang sama.

Peranan suami istri sudah digariskan secara baku oleh aturan agama dan

negara. Di mana para istri berperan didalam rumah tangga dan bertanggung jawab

dalam pengelolaan nafkah yang diberikan suaminya, sementara suami mencari nafkah

diluar rumah untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Pada intinya, menurut Ibnu Musthafa,4 jika keluarga didalam masyarakat itu

baik, akan baiklah masyarakat itu sebaliknya, jika keluarga itu buruk, maka akan

buruklah masyarakat itu. Untuk menciptakan keluarga yang tentram, senang dan

bahagia tidaklah mudah seperti membalikkan telapak tangan, tetapi terlebih dahulu

harus menghadapi pahit manisnya kehidupan dunia. Hal tersebut dapat terwujud

2

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta:

Liberty, 1998), cet. 4, hlm. 87

3

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, Hal. 132

4

(14)

apabila hubungan dan pergaulan antara anggota keluarga berjalan baik. Hubungan

antara anggota akan bertambah erat jika masing-masing anggota keluarga mengetahui

dan merealisasikan hak-hak dan kewajibannya.

Seorang suami dalam menjalankan kewajibannya, terbagi kedalam dua

bentuk, yaitu pertama kewajiban dalam bentuk materi atau kebendaan, dan kedua

kewajiban dalam bentuk moral spiritual atau bukan kebendaan (imateriil).

Selengkapnya Djauharuddin,5 merinci kewajiban tersebut sebagai berikut:

a. Memberi nafkah lahir dan bathin kepada istri dan anak sesuai dengan

kemampuannya.

b. Memperlakukan isteri dan menghormati keluarga istrinya dengan cara dan

sikap yang baik.

c. Membantu tugas istri terutama dalam hal mendidik dan memelihara serta

membina anak dengan penuh rasa tanggung jawab.

d. Memberi kebebasan berfikir dan bertindak kepada istri sesuai dengan ajaran

islam.

e. Dapat mengatasi keadaan, mencari solusi dengan cara yang ma‟ruf dan

bijaksana.

f. Berusaha untuk menciptakan ketentraman, kedamaian, dan keruklunan dalam

keluarga.

5

(15)

4

g. Memelihara, memimpin dan membimbing serta membina keluarga agar

menjadi keluarga yang shaleh.

Penanaman dan pembinaan nila-nilai keislaman amat tepat dimulai dari

keluarga. Apabila rumah tangga berdiri di atas landasan taqwa dan seluruh anggota

keluarganya diajak berkhidmat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya terwujudlah

sebuah kekuatan asasi dalam masyarakat. Jika masyarakat menjadi baik karena terdiri

keluarga-keluarga baik, niscaya terbentuklah kekuatan asasi bagi sebuah bangsa.

Untuk itu, maka ide menghadirkan konsep manajemen keluarga, menjadi suatu hal

yang sangat penting.

Abu A‟la Maududi seperti dikutip oleh Kaswan6

menyatakan bahwa keluarga

merupakan lembaga yang penting utama dan fundamental dalam masyarakat manusia

dalam setiap kurun dan zaman manpun. Oleh sebab itu jika sebuah keluarga itu dapat

diibaratkan sebuah bangunan yang tersusun dari berbagai batu bata, maka kumpulan

batu bata yang ada, berhubungna satu sama lain. Bangunan (keluarga) akan kuat bila

batu bata itu tersusun dengan kuat dan kokoh, demikian pula bangunan itu akan

runtuh bila batu batanya rapuh. Begitu pula halnya bangsa, kuat bila segenap keluarga

itu utuh serta kuat, dan bangsa itu akan lemah bila rumah tangga (keluarga) itu rapuh

dan lemah.7

6

Kaswan, Membina Keluarga dalam Islam. (Bandung: Pustaka, 1991), hlm. 23.

7

Mahmud Syalthout, Aqidah wa al-Syari‟ah, terj. M Yunus, Aqidah dan Syariat Islam,

(16)

Karena begitu urgennya peranan keluarga dalam kehidupan rumah tangga

serta bermasyarakat secara umum, maka ia perlu dibangun serta ditata dengan baik

untuk tetap dijaga kelestarian dan keharmonisannya, agar pada akhirnya nanti yang

menjadi tujuan dari pernikahan itu senantiasa ada dalam keluarga itu yaitu rumah

tangga yang sakinah, mawaddah warahmah.

Pada kasus yang terjadi di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya

banyak terjadi ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga misalnya adanya kasus

seorang isteri yang tidak mau melayani suaminya dalam berhubungan biologis

dengan alasan suami sering tidak memberikan nafkah lahir atau biaya hidup dan tidak

pernah memikirkan keadaan keluarganya. Yang lebih parah lagi adalah hak dan

kewajiban lainnya antara pasangan suami istri itu yang kurang dijalankan

sebagaimana mestinya, dan itu diduga menjadi salah satu faktor keluarganya menjadi

kurang harmonis.

Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa kelancaran rumah tangga

dipengaruhi oleh kelancaran dan kestabilan ekonomi. Segala kebutuhan rumah tangga

dapat terpenuhi jika ekonominya lancar tapi sebaliknya kericuhan-kericuhan rumah

tangga dapat sering terjadi yang kadang-kadang diakhiri oleh perceraian, ini

disebabkan oleh masalah ekonomi yang tidak stabil/morat-marit8.

Secara umum, tantangan yang dihadapi oleh sebuah keluarga adalah persoalan

ekonomi (nafkah), karena itu kebahagiaan dan keharmonisan sebuah rumah tangga

8

Anonimous,Modul Fasilitator Kursus Calon Pengantin,(Bandung: Departemen Agama,

(17)

6

banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi tersebut. Meski sebenarnya masalah

ekonomi tidaklah selalu menjadi faktor utama bagi suatu kebahagiaan. Kenyataan

juga membuktikan bahwa seseorang tidak akan pernah bisa membina suatu

kedamaian dan kebahagiaan hidup berumah tangga hanya bermodalkan cinta dan

kasih sayang semata.

Ketika sepasang laki-laki dan perempuan melangsungkan perkawinan atau

bahkan sebelumnya, sewaktu dalam pertunangan, tentunya sudah terpancar

harapan-harapan dan cita-cita yang ingin dicapai, yaitu kebahagiaan dan ketentraman serta

kesejahteraan lahir dan batin yang dinikmati bersama. Kemudian, kalau kita

mengamati dan memahami lebih mendalam tentang keluarga, tentunya dalam

keluarga itu terdapat fungsi-fungsi sebagai pengendali roda rumah tangga. Diantara

fungsi-fungsi itu adalah fungsi ekonomi, fungsi sosial, fungsi protektif, fungsi

religius, fungsi rekreatif, fungsi afektif, fungsi reproduktif (pelanjut generasi), dan

fungsi edukatif.9

Keadaan keluarga akan kokoh apabila seluruh fungsi di atas berjalan seperti

seharusnya. Apabila pelaksanaan fungsi di atas dihilangkan atau bahkan dikurangi,

maka terjadilah krisis rumah tangga.10 Keluarga tanpa memiliki fungsi reproduktif

akan hilang, keluarga tanpa memiliki fungsi ekonomi akan kacau dan jauh dari

ketentraman, keluarga tanpa fungsi edukatif (menanamkan norma-norma

ke-Islam-an), anak yang lahir dalam keluarga itu tidak akan berhasil untuk disosialisasikan,

9

Nina Surtiretna, Bimbingan Seks bagi Remaja, (Bandung: Rosada Karya, 2000), hlm. 173.

10

(18)

hubungan antara anak dan orang tua akan mengalami gangguan dan ketidakteraturan

dalam rumah tangga.

Dari penjelasan diatas penulis ingin melihat sejauh mana realisasi tujuan

pernikahan menurut syariat Islam pada kehidupan berumah tangga, khususnya di

Kabupaten Bekasi dan dikaitkan dengan KHI Pasal 77 Ayat 1 tentang Hak dan

Kewajiban Suami Isteri, Maka dari itu penulis ingin menuangkan permasalahan ini

serta menguraikanya dalam skripsi yang berjudul: “Realisai Tujuan Pernikahan

Menurut Syariat Islam Pada Kehidupan Berumah tangga. (Penelitian Terhadap Kehidupan Berumah Tangga di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Taruma Jaya Kabupaten Bekasi)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Persoalan mengenai realisasi pernikahan menurut syariat Islam sangatlah

menarik dalam menilai kualitas keluarga yang baik. Agar tidak terjadi pembahasan

yang melebar serta tidak ada titik temu pangkal ujungnya, maka dari itu penulis

membatasi permasalahan hanya pada tujuan pernikahan menurut syariat Islam pada

masayarkat di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma jaya kabupaten bekasi.

(19)

8

Undang-undang menjelaskan bahwa “Suami isteri memikul kewajiban yang

luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.11

Tapi ada kasus seorang istri yang tidak mau melayani suaminya dalam

berhubungan biologis dengan alasan suami sering tidak memberikan nafkah lahir atau

biaya hidup dan tidak pernah memikirkan keadaan keluarganya.

Berdasarkan rumusan masalah dan uraian di atas, maka dalam penelitian

skripsi ini penulis menagjukan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Apakah tujuan kehidupan berumah tangga masyarakat di desa Pusaka Rakyat

kecamatan Taruma Jaya kabupaten Bekasi sudah sesuai dengan syariat Islam?

2. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya tujuan kehidupan

berumah tangga yang sesuai dengan syariat Islam pada masyarakat di desa

Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya kabupaten Bekasi?

3. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap penyebab ketidak harmonisan

kehidupan berumah tangga?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

11

(20)

a. Untuk mengetahui apakah tujuan kehidupan berumah tangga

masyarakat di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya kabupaten

Bekasi sudah sesuai dengan syariat Islam

b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tidak tercapainya

tujuan kehidupan berumah tangga yang sesuai dengan syariat Islam

pada masyarakat di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya

kabupaten Bekasi

c. Bagaimana tinjauan Hukum Islam Islam terhadap penyebab tidak

tercapainya tujuan pernikahan menurut syariat Islam terhadap keluarga

di Desa Pusaka rakyat?

2. Manfaat Penelitian

Penelitian skripsi ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:

a. Manfaat secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan bisa memperkaya teori tentang tathbiq syari‟ah khususnya pada masyarakat di desa Pusaka Rakyat kecamatan

Taruma Jaya kabupaten Bekasi.

b. Kegunaan Praktis

1) Menambah wawasan peneliti tentang pelaksanaan kehidupan

berumah tangga di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya

(21)

10

2) Memberi informasi ilmiah mengenai pelaksanaan kehidupan

berumah tangga di desa Pusaka Rakyat kecamatan Tarumajaya

kabupaten Bekasi, faktor-faktor yang menyebabkan tidak

tercapainya tujuan pernikahan yang sesuai dengan syariat islam,

tinjauan hukum Islam terhadap tidak tercapainya tujuan

pernikahan menurut syariat Islam terhadap keluarga di Desa

Pusaka rakyat, dan

3) Sebagai penelitian skripsi Program Studi Hukum Keluarga (

Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah), penelitian ini diharapkan menjadi

sumbangan postitif terhadap pengembangan ilmu fikih munakahat

khususnya tentang bagaimana menciptakan keluarga yang

sakinah, mawaddah wa rahmah.

D. Metode Penelitian

Skripsi ini merupakan penelitian terhadap pelaksanaan kehidupan berumah

tangga dikaitkan dengan tujuan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Penulis membatasi penelitian ini dengan memfokuskan diri terhadap pelaksanaan

kehidupan berumah tangga yang terjadi di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan

Tarumajaya Kabupaten Bekasi.

(22)

Penelitian ini merupakan corak penelitian yang menggabungkan antara

penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan (field research) yaitu menelaah

buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, juga

melakukan wawancara dan diskusi dengan beberapa responden yaitu beberapa

keluarga yang ada di wilayah penelitian.

Maka penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu metode penelitian

ilmiah yang didasarkan pada alur berfikir induktif dalam mendekati kebenaran ilmiah.

Berfikir induktif terkait dengan perkembangan generalisasi dari hasil

observasi-observasi yang spesifik. Dengan kata lain, metode penelitian yang akan dilakukan

adalah deskriptif-analitik.

Alur berfikir ini terdiri dari tiga langkah: (1) Pengamatan (observation) adalah

melakukan pengamatan secara cermat ata objek penelitian, (2) Penemuan pola

(finding a pattern) adalah menemukan berbagai pola yang berkaitan dengan objek

penelitian, dan (3) Simpulan tentative-sementara (tentative conclution) adalah

menarik kesimpulan dari berbagai rangkaian dan pola objek penelitian.12

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini meliputi dua jenis sumber data, yaitu sumber

data primer dan sumber data sekunder.

a. Sumber data primer

12

Earl Babbie, The Practice of Social Research, (Belmont-USA: Wadsworth/Thomson

(23)

12

Sumber data primer dalam penelitian ini adalah ungkapan-ungkapan dari

responden yang menggambarkan realitas tujuan pernikahan di Desa responden

terdiri dari Kepala Desa, tokoh masyarakat setempat, dan beberapa pasangan

suami istri yang dijadikan responden.

b. Sumber data sekunder

Yaitu bagian-bagian tertentu dari buku-buku dan kitab fiqh munakahat

serta pendapat ahli hukum yang berhubungan dengan permasalahan yang

diteliti.

3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis dalam

penelitian ini adalah observasi, wawancara dan studi kepustakaan.

a. Observasi

Observasi ini dilakukan untuk mendalami permasalahan yang timbul yang

dijadikan topik penelitian.

b. Wawancara

Wawancara atau interview merupakan tanya jawab secara lisan dimana

dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada

dua pihak yang menempati kedudukan berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai

pencari informasi atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai

pemberi informasi atau informan (Responden)13

13

Soemitro Romy H. Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), Hlm.

(24)

c. Angket atau Kuisoner

Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang di gunakan untuk

memperoleh informasi tentang pribadinya atau hal-hal yang ia ketahui.14

Dalam hal ini penulis menggunakan pertanyaan-pertanyaan tertutup

yaitu pertanyaan-pertanyaan, dimana responden tinggal memilih jawaban

yang tersedia, jawaban telah terikat dan responden tidak dapat memberikan

jawaban secara bebas. Metode ini penyusun gunakan untuk mendapatkan data

mengenai Realisasi dan tujuan pernikahan menurut syariat islam pada

masyarakat di desa pusaka rakyat kecamatan taruma jaya kabupaten bekasi.

4. Analisis Data

Untuk menganalisis data, penulis menggunakan teknik deskriptif

interpretative, yaitu mendeskripsikan pelaksanaan kehidupan berumah tangga di

Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi dengan cara

merekontruksikan dan menghubungkan dengan tujuan pernikahan yang terdapat

dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).

Langkah yang penulis tempuh adalah menetapkan komponen-komponen

atau aspek-aspek yang akan membentuk pemikiran-pemikiran tersebut sehingga

mendapat gambaran yang detail terutama tentang kehidupan berumah tangga di

Desa Pusaka Rakyat Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi.

Analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

14

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian,Suatu pendekatan praktek. (Jakarta: PT.Rieneka

(25)

14

a. Menelaah semua data yang terkumpul dari berbagai sumber, baik

sumber primer maupun sumber sekunder;

b. Mengelompokkan seluruh data dalam satuan-satuan sesuai dengan

masalah yang diteliti;

c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam

kerangka pemikiran; dan

d. Menafsirkan serta menarik kesimpulan dari data yang dianalisis

dengan memperhatikan rumusan masalah dan kaidah-kaidah yang

berlaku dalam penelitian.

E. Teknik dan Sistematika Penulisan 1. Teknik Penulisan

Adapun pedoman yang digunakan dalam penulisan proposal skripsi ini

adalah Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Tahun 2012.

2. Sistematika Penulisan

Pendahuluan dalam sub bab ini berisikan tentang latar belakang masalah,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitan, teknik dan

sistematika penulisan.

Sedangkan dalam bab dua menjelaskan tentang pengertian dan tujuan

(26)

menurut hukum islam dan perundang-undangan, hukum meninggalkan hak dan

kewajiban suami isteri.

Dalam bab tiga ini penulis membahas tentang profil desa Pusaka Rakyat,

eksistensi desa Pusaka Rakyat dan pemahaman masyarakat tentang keagamaan

dan hukum keluarga.

Dalam bab empat ini penulis menganalisis tentang realitas tentang

kehidupan berumah tangga di desa Pusaka Rakyat kecamatan Taruma Jaya

bekasi, kemudian menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan tidak

harmonisnya kehidupan berumah tangga di Desa Pusaka Rakyat Kecamatan

Taruma Jaya dan tinjauan hukum Islam terhadap penyebab ketidak harmonisan

kehidupan berumah tangga.

Sedangkan dalam bab terakhir penulis memberikan kesimpulan serta

(27)

16

BAB II

TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERNIKAHAN DALAM ISLAM

A. Pengertian dan Tujuan Pernikahan 1. Pengertian Pernikahan

Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul. Menurut istilah

Syara‟ ialah Ijab dan Qabul (Akad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki

dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang ditentukan oleh Islam.1

Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama

dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.2 Pernikahan itu bukan hanya untuk

mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu

kaum dengan kaum yang lainnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.3

1Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah,

Fiqih Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,1998) hal.537

2

H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374

3

Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara

(28)

Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan

yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan

pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.4

Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan

masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang

menurut perundang-undangan yang berlaku.5

2. Tujuan Pernikahan

Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi tuhan dengan kecenderungan seks

(libido seksualitas).Oleh karena itu, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk

terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat kemanusiaan. Akan

tetapi, perkawinan tidaklah semata-mata dimaksudkan untuk menunaikan hasrat

biologis tersebut. Kalau hanya itu, tujuan perkawinan memiliki nilai yang sama

dengan perkawinan yang dianut biologi, yaitu mempertemukan jantan dan betina

untuk sekedar memenuhi kebutuhan reproduksi generasi. Perkawinan yang diajarkan

Islam meliputi multiaspek.6

Diantara aspek-aspek tersebut adalah:

1. Aspek personal

4

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Akademika Pressindo, 2010), cet.4, hlm.

114

5

YLBH APIK, Undang- undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, diakses pada tanggal 12 Desember 2014, http://www.lbh-apik.or.id/uu-perk.htm.

6

(29)

18

a. Penyaluran kebutuhan biologi

Sebagai suatu sunnatullah, manusia selalu hidup berpasangan akibat adanya

daya tarik, nafsu syahwat diantara dua jenis kelamin yang berlainan.Hidup bersama

dan berpasangan tadi tidaklah harus selalu dihubungkan dengan masalah seks

walaupun faktor ini merupakan factor yang dominan.7

Wirjono Projodikoro8 mengatakan, “mungkin saja sebagai kekecualian

kehidupan perkawinan tanpa hubungan seks. ”Hal ini, karena kekuatan melakukan

hubungan seks tidak selalu ada pada setiap orang, disamping seks bukan merupakan

persyaratan perkawinan.

Dalam hal ini, undang-undang membolehkan perkawinan antara dua orang,

yang salah seorang diantaranya atau keduanya sangat lanjut usia. Dalam usia seperti

ini, kemungkinan untuk melakukan hubungan seks kecil. Peraturan juga

membolehkan suatu perkawinan yang salah satunya berada dalam keadaan yang

sangat kritis (in extremis) atau dalam keadaan sekarat.

Tidak diperolehnya keturunan karena ketidakmampuan salah satu pihak bukan

sebab resmi untuk bercerai.Apabla lebih lanjut terjadi, itu hanyalah hak untuk

memilih, yang dapat dipergunakan atau mungkin tidak.

Namun demikian, tak dapat disangkal lagi bahwa faktor hubungan badan ini

merupakan faktor utama. Wirjono Projodikoro dalam buku hukum perkawinan di

7

Ibid.

8

Wirjono Projodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Voorkink Van Hoove, t.th),

(30)

Indonesia, lebih lanjut mengatakan: “…pada umumnya dapat dikatakan bahwa hal

persetubuhan ini faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama tadi, dengan

maksud mendapatkan anak turunan ataupun hanya untuk hawa nafsu belaka. Jadi,

jelaslah bahwa faktor yang satu ini sangat mempengaruhi manusia disamping

factor-faktor lain untuk melakukan perkawinan.”9

b. Reproduksi Generasi

Hal ini, karena akibat yang ditimbulkan dari persetubuhan adalah kehamilan

yang diakhiri dengan kelahiran keturunan. Akan tetapi, persetubuhan diluar

perkawinan jelas dilarang oleh ajaran Islam. Oleh karena itu, meskipun persetubuhan

yang illegal itu membuahkan keturunan, hal itu dianggap tidak ada. Keturunan yang

dimaksud adalah keturunan yang sah melalui perkawinan, seperti yang disabdakan

Rasulullah saw:

اِ َ َ ِ ْا اَمْ ََ اُ َ ُا اُ ُ ِ اٌ ىَ َ ُ اى ِ َ ا ْ ُ َ َ ََ

ا

Artinya: “Nikahlah kamu, sesungguhnya aku menginginkan darimu umat yang

banyak”.10

Bahkan, Nabi Muhammad Saw menyuruh umatnya untuk memilih wanita yang

subur peranakannya.11

2. Aspek Sosial

9

Ibid., hlm. 42.

10

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam., hlm. 17.

11

(31)

20

a. Rumah tangga yang baik sebagai fondasi masyarakat yang baik

Perkawinan diibaratkan sebagai ikatan yang sangat kuat, bagaikan ikan

dengan airnya, dan bagaikan beton bertulang yang sanggup menahan getaran gempa.

Kalau kita amati, pada awalnya mereka yang melakukan pernikahan tidak saling

kenal dan kadangkala mereka mendapatkan pasangan yang berjauhan. Akan tetapi,

tatkala memasuki dunia perkawinan, mereka begitu menyatu dalam keharmonisan,

bersatu dalam menghadapi tantangan dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Mahmud Syaltut memperumpamakan keluarga sebagai batu-batu dalam

tembok suatu bangunan. Apabila batu-batu itu rapuh karena kualitas batu itu sendiri

ataupu karena kualitas perekatnya, maka akan rapuhlah seluruh bangunan itu.

Sebaliknya apabila batu-batu serta perekat itu baik, maka akan kokohlah bangunan

tersebut. Keluarga sebagai bagian dari struktur suatu bangsa, mempunyai kontribusi

yang sangat besar terhadap bangsa itu sendiri.Jadi kalau suatu bangsa terdiri atas

kumpulan keluarga yang kokoh, kokoh pulalah bangsa tersebut, tetapi sebaliknya

apabila keluarga sebagai fondasi suatu bangsa itu lemah, lemahlah bangsa tersebut.12

b. Membuat manusia kreatif

Perkawinan juga mengajarkan kepada kita tanggung jawab akan segala akibat

yang timbul karenanya. Dari rasa tanggung jawab dan perasaan kasih saying terhadap

keluarga inilah timbul keinginan untuk mengubah keadaan kea rah yang lebih baik

dengan berbagai cara. Orang yang telah berkeluarga selalu berusaha untuk

12

(32)

membahagiakan keluarganya. Hal ini mendorongnya untuk lebih kreatif dan

produktif, tidak seperti pada masa lajang.

Sikap tersebut akan memberikan dampak yang baik terhadap lingkungannya.

Sebagai makhluk social, manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Jadi,

tatkala berkreasi dan berproduksi, dia pasti akan melibatkan orang lain. Akibatnya

terbentuklah dinamika pribadi-pribadi yang pada gilirannya akan mendinamisasikan

bangsanya.13

3. Aspek Ritual

Ajaran Islam mengenai pernikahan, yang kita pahami dari tujuan, hikmah dan

prinsip-prinsipnya tidak menitikberatkan pada kebutuhan biologis semata dan bukan

sekedar tertib administrasi. Pernikahan adalah bagian syari‟at Islam. Pernikahan

adalah suatu ibadah dan berarti pelaksanaan perintah syari‟, sebagai refleksi ketaatan

makhluk kepada khaliknya, bagian yang tak terpisahkan dari seluruh ajaran agama

dan sama sekali bukan sekedar tertib administrative. Dalam ajaran Islam diterapkan

aturan yang rinci dalam perkawinan, akibat yang mungkin terjadi selama dan

setelahnya terputusnya perkawinan.14

4. Aspek Moral

Seperti kita telah ketahui bahwa libido seksualitas pada dasarnya adalah suatu

fitrah kemanusiaan dan juga fitrah bagi makhluk hidup lainnya.Oleh karena itu, baik

manusia maupun makhluk hidup lainnya sama-sama memerlukan pelampiasan

13

Rahmat Hakim., Hukum Perkawinan Islam., hlm. 20.

14

(33)

22

terhadap lawan jenisnya. Jadi, dari segi kebutuhan biologis, manusia dan hewan

mempunyai kepentingan yang sama. Adapun yan membedakannya dalam

melaksanakan kebutuhan tersebut.Manusia dituntut untuk mengikuti aturan atau

norma-norma agama, moralitas agama, sedangkan hewan tidak dituntut demikian.

Jadi, perkawinan adalah garis demarkasi yang membedakan manusia dengan hewan

untuk menyalurkan kepentingan yang sama.15

5. Aspek Kultural

Perkawinan disamping membedakan manusia dengan hewan juga

membedakan antara manusia yang beradab dengan manusia yang biadab, ada juga

antara mansia primitive dan manusia modern.Walaupun pada dunia primitive

mungkin terdapat aturan-aturan perkawinan dipastikan aturan-aturan kita jauh lebih

baik daripada aturan-aturan mereka. Itu menunjukkan bahwa kita mempunyai kultur

yang lebih baik daripada manusia-manusia purba atau primitif.

Apalagi dalam praktek kesehariaan, peristiwa perkawinan sepertinya tidak

cukup dengan persyaratan-persyaratan agamis semata.Hampir diseluruh tempat di

dunia ini, peristiwa keagamaan tersebut selalu dibumbui oleh kultur-kultur okal yang

syarat dengan symbol. Sesuatu yang oleh Islam dibolehkan selama tidak mengarah

pada hal-hal yang terlarang. Bahkan, simbol-simbol keagamaan sering terkubur oleh

15

(34)

banyaknya muatan lokal yang mewarnai seremonial perkawinan. Apalagi selepas

seremonial tersebut, keduanya akan lebur dalam percampuran budaya.16

B. Konsep Keluarga Ideal Menurut Islam

Keluarga ideal dalam Islam adalah keluarga yang sakinah, mawaddah dan

rahmah sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur‟an dalam surah Ar-Ruum ayat 21.





















































Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang” (QS. Ar-Ruum:[30]:21).

Keluarga sakinah adalah keluarga bahagia yang penuh dengan ketenangan,

kedamaian dan penuh kasih. Mawaddah adalah cinta birahi. Ia adalah yang pertama

kali menarik seorang pria terhadap seorang wanita, begitupu sebaliknya, suatu tarikan

yang kuat yang mengikat pria dan wanita mendorong untuk berkenalan atau

berpacaran. Itulah naluri cinta birahi yang bersumber pada nafsu libido. Mawaddah

juga bermakna penuh cinta. Dengan demikian mawaddah ialah kelapangdadaan dan

kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Dia adalah cinta plus bukanlah yang

mencintai, sekali hatinya kesal sehingga hatinya pudar bahkan putus. Tetapi yang

16

(35)

24

bersemi dalam hati mawaddah, tidak lagi akan memutuskan hubungan seperti yang

terjadi pada orang yang bercinta. Ini disebabkan karena hatinya yang begitu lapang

dan kosong dari keburukan sehingga pintu-pintunyapun telah tertutup untuk

dihinggapi keburukan lahir dan bathin yang mungkin datang dari pasanganya.

Rahmah dari segi bahasa ialah kasih sayang. Jadi rahmah adalah kondisi

psikologis yang muncul di dalam hati, akibat menyaksikan ketidakberdayaan

sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayakannya. Karena itu dalam

kehidupan keluarga, masing-masing suami isteri akan bersungguh-sungguh bahkan

bersusah payah demi mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala

sesuatu yang mengganggu dan mengeruhkannya.

Untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

diperlukan suatu proses yang cukup panjang. Ajaran Islam telah memberikan

petunjuk lengkap untuk mewujudkannya melalui langkah-langkah yang sangat jelas,

yaitu dari segi agama untuk asfek rohani dan dari segi ekonomi dan sosial untuk segi

fisik.17

Agama adalah fondasi utama dari keberlangsungan setiap kegiatan kehidupan.

Hidup tanpa agama yang hak membuat apa yang telah dan akan dicapai tidak akan

memberikan kebaikan, bahkan menjerumuskan manusia ke dalam neraka

sebagaimana firman Allah dalam QS. At-Thariim ayat 6 yang berbunyi:

17

(36)

























































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari

api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya

malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”

(QS. At-Tahriim:[66]:6).

Perkawinan tanpa dilandasi oleh agama, adalah bagaikan rumah tangga tanpa

pondasi yang kuat. Artinya bila perkawinan tidak didasari oleh agama dan

pendidikan, maka kekuatan sebuah keluarga mungkin tidak sekuat apabila dilandasi

dengan agama. Dalam ini Islam telah memebrikan petunjuk yang sangat jelas, di

antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama, untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

harus dimulai sejak pemilihan calon isteri atau calon suami. Allah Swt. berfirman

dalam surah An-Nuur ayat 32:







































Artinya: ”Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan

(37)

hamba-26

hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nūr:[24]:32).

Dalam kaitan dengan masalah ini Nabi Muhammad Saw. telah memberikan

ciri-ciri wanita yang baik untuk dijadikan isteri, beliau bersabda:

ه اد بعانعايحا ثّدحا،ددس ا ثّدح

ا:

ايأانعا أانعاد عسايأاد عسايثّدح

ل قا صاّيا انعا عاه ايضراة

ا:

ه ماع رااةأ م اح

ا,

ا، ه دا ا، هبسح

ك د ات ان ّدا ات ذ ا فض

ا.

(

ير خبا ا ر

18

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Musaddad. Telah menceritakan kepada

kami Yahya dari 'Ubaidillah bahwa dia telah berkata: Telah menceritakan kepadaku

Sa'id bin Abi Sa'id, dari ayahnya, dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi Saw. bahwa

beliau telah bersabda: Perempuan dinikahi karena empat hal: (1) hartanya, (2)

keturunannya, (3) kecantikannya, dan (4) agamanya. Oleh karena itu persuntinglah perempuan yang beragama, (jika tidak), binasalah kedua tanganmu.”

Kedua, setelah perempuan itu dinikahi, seorang suami tidak boleh tinggal

diam terhadap kepribadian isteri. Meskipun dia sudah baik, seorang suami harus

selalu berupaya untuk meningkatkannya. Apabila isteri itu adalah orang yang saleh,

18

Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Ismail. 1981. Shahih al-Bukhari, Jilid VII. Mesir:

(38)

maka itu adalah suatu kenikmatan, anugrah dari Allah. Sebaliknya, jika tidak saleh,

maka merupakan kewajiban suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga untuk

memperbaikinya. Kita wajib berusaha untuk memperbaikinya, tapi para suami pun

harus mengetahui terlebih dahulu bahwa memberikan hidayah (petunjuk) itu adalah

mutlak wewenang Allah dan Allah lah yang sebenarnya memperbaiki keadaan.

Hidayah itu termasuk salah satu anugrah Allah yang diberikan-Nya kepada

hamba-Nya, seperti yang diberikan kepada Nabi Zakaria, sebagaimana dikemukakan dalam

Al-Qur‟an surah Al-Anbiyā ayat 90:



















































Artinya: “Maka Kami memperkenankan do'anya, dan Kami anugerahkan kepada nya

Yahya dan Kami jadikan isterinya dapat mengandung. Sesungguhnya mereka adalah

orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang

baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah

orang-orang yang khusyu' kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya:[21]:90).

Memperbaiki isteri dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memberikan perhatian untuk memperbaiki berbagai bentuk peribadatannya

kepada Allah;

(39)

28

a. Menganjurkan untuk melakukan qiyamul lail;

b. Menganjurkan untuk selalu membaca al-Qur‟an;

c. Menyuruh untuk menghapal do‟a-do‟a dan dzikir-dzikir serta

mengingatkannya untuk melakukannya pada waktu-waktu tertentu;

d. Menganjurkan untuk rajin bersedekah;

e. Menganjurkan untuk membaca buku-buku tentang Islam;

f. Menyuruh untuk mendengarkan siaran-siaran TV, radio atau menyetel

kaset-kaset yang bermanfaat;

g. Menyuruh untuk memilih sahabat-sahabat yang baik-baik;

h. Mencegah dia dari melakukan kejahatan dan menutup pintu ke arah itu

dengan cara menjauhkannya dari pergaulan dengan teman0teman yang

berakhlak jelek.19

Ketiga, menjadikan rumah sebagai tempat mengingat Allah. Dengan selalu

dzikir atau mengingat Allah, maka hati akan tentram. Allah berfirman dalam surah

Ar-Ra‟d ayat 28:























Artinya: “(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram

dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra‟d:[13]:28).

19

Muhammad al-Munajjid, 40 Cara Mencapai Keluarga Bahagia, trj. (Jakarta: Gema Insani,

(40)

Di samping menggunakan pendekatan agama, untuk mewujudkan keluarga

ideal atau keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah, perlu dilakukan

pendekatan ekonomi. Karena indikator dari sebuah keluarga ideal itu tidak cukup

dilihat dari segi keagamaan tepi juga kesejahteraan ekonomi. Tidaklah berlebihan

bahwa kelancaran rumah tangga dipengaruhi oleh kelancaran dan kestabilan

ekonomi. Segala kebutuhan rumah tangga dapat terpenuhi jika ekonominya lancar

tapi sebaliknya kericuhan-kericuhan rumah tangga sering terjadi yang kadang-kadang

diakhiri oleh perceraian, ini disebabkan oleh masalah ekonomi yang tidak

stabil/morat-marit.20

Pada umumnya tantangan yang dihadapi oleh sebuah keluarga adalah

persoalan ekonomi (nafkah), karena itu kebahagiaan dan keharmonisan sebuah rumah

tangga banyak dipengaruhi oleh faktor ekonomi tersebut. Meski sebenarnya masalah

ekonomi bukanlah faktor utama bagi suatu kebahagiaan. Kenyataan juga

membuktikan bahwa seseorang tidak akan pernah bisa membina suatu kedamaian dan

kebahagiaan hidup rumah tangga hanya bermodalkan cinta dan kasih sayang semata.

Aspek-aspek non-religious berikut ini menjadi unsur penting dari kriteria

keluarga idela dalam Islam.

Pertama aspek ekonomi. Kebutuhan ekonomi sangat penting untuk dipenuhi

bagi terciptanya sebuah keluarga yang ideal. Dalam Al-Qur‟an surah An-Nuur ayat

32 sebagai berikut:

20

(41)

30





































Artinya: ”Dan kawinkanlah orang yang sedirian diantara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan

mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An-Nūr:[24]:32).

Ayat itu menunjukkan bahwa meskipun kesejahteraan ekonomi merupakan

salah satu syarat bagi terwujudnya keluarga yang ideal, tetapi setiap muslim tidak

boleh enggan untuk menikah jika hal itu sudah diinginkannya karena keadaan

ekonomi masih belum memungkinkan atau pendapatn yang ada belum cukup untuk

menafkahi isteri apa lagi dengan anak. Perkawinan yang dilandasi dengan niat yang

ikhlas akan melahirkan kemudahan dalam masalah mencari rizki. Kekurangan dalam

masalah ekonomi akan melahirkan keruntuhan rumah tangga. Data dari berbagai

pengadilan agama di jawa barat menunjukkan bahwa salah satu faktor terkuat yang

melatarbelakangi perceraian adalah faktor ekonomi keluarga yang serba kekurangan.

Kedua, aspek pemenuhan kebutuhan seksual suami isteri. Hasrat biologis

atau keinginan melakukan hubungan seks bagi suami isteri adalah suatu fitrah dan

(42)

permasalahan seks, karena pada tingkat tertentu, dari sinilah ketegangan rumah

tangga muncul.

Ketiga, faktor komunikasi. Bahtera keluarga bagaikan sebuah perahu yang

akan berlayar mengarungi luasnya samudera kehidupan. Sudah menjadi kewajaran

ketika dalam perjalanan sebuah rumah tangga terjadi perselisihan kecil, bahkan orang

sering menyebut itu dengan bumbu dalam berumah tangga. Akan tetapi,

permasalahannya bagaimana kita menyikapi perselisihan-perselisihan kecil itu agar

jangan menjadi besar sehingga menjadi malapetaka, dan hanya menjadi bumbu dalam

berumah tangga.

Setiap permasalahan yang dihadapi manusia, sebenarnya pasti ada jalan

keluarnya, dan hal yang penting adalah untuk bisa menemukan jalan keluar dari itu

adalah dengan komunikasi, yaitu didiskusikan, karena walaupun hak seorang suami

sebagai pemimpin untuk ditaati pendapatnya, tidak berarti harus mengabaikan

pendapat atau masukan yang datang dari isteri. Karena, bisa saja justeru pendapat

isteri lebih baik dan bisa menjadi jalan keluar bagi permasalahan keluarga yang

sedang dihadapi.

Jadi keluarga yang ideal atau keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah

adalah keluarga yang segala kebutuhannya baik kebutuhan jasmani maupun ruhani

(43)

32

C. Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Hukum Positif 1. Menurut Undang-Undang Perkawinan

Negara Indonesia merupakan negara yang mendasarkan segala kegiatan

kehidupan pada peraturan perundang-undangan hukum yang berlaku dengan ancaman

akan dikenakan suatu sanksi atau tindakan apabilamelanggarnya.21

Salah satu produk Nasional adalah pada tanggal 7 Januari tahun1974,

disahkannya Undang-undang perkawinan, yaitu Undang-undang Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam lembaran negara Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 1974, tambahan lembaran negara republik Indonesia Nomor 3019

Tahun 1974. Undang-undang perkawinan tersebut pada penerapanya dirasakan sudah

mantap sekalipun masih di perlukan upaya lain untuk mempertahankan eksistensinya

dalam pengakuan hukum perkawinan.22

Adapun dasar hukum dikeluarkanya Undang-undang nomor 1 tahun 1974

tentang perkawinan diantaranya adalah Undang-undang dasar 1945 pasal 5 ayat

1(satu), pasal 20 ayat 1(satu) pasl 27 ayat 1(satu) dan pasal 29. Selain itu sebagai

dasar hukum di keluarkanya undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

adalah ketetapan MPR nomor: IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Halauan

Negara (GBHN) yang berisi landasan, modal dasar agama dan kepercayaan terhadap

21

R. Badri, perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan dan KUHP, Surabaya: CV.

Amin, 1985, hlm.11

22

(44)

Tuhan Yang Maha Esa, pembinaan keluarga sejahtera dan hukum.23

Sedangkan dasar pertimbangan yang digunakan dalam mengeluarkan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sesuai dengan falsafah

Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional sehingga perlu

dikeluarkanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi seluruh warga

Republik Indonesia.24

Undang-undang perkawinan terdiri dari 14 bab dengan 67 pasal. Dalam

Undang-undang perkawinan mengatur hak dan kewajiban suami-isteri dalam bab V

pasal 30 sampai dengan pasal 34.25

Undang-undang perkawinan pasal 30 menyatakan: ”Suami-istri memikul

kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari

susunan masyarakat”.26

Undang-undang perkawinan pasal 31 mengatur tentang kedudukan

suami-isteri yang menyatakan:

1)Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

23

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Cet.ke-18, Jakarta:

Balai pustaka, 1982, hlm 207

`24Ibid, hlm. 208.

25

R.subekti dan R.Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang hukum perdata dengan Tambahan

Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Cet.ke-18, (Jakarta: pradnyaParamita,1984)., hlm.547-548.

26

(45)

34

2)Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3)Suami adalah kepala rumah tangga dan isteri adalah ibu rumah tangga. Inilah

yang membedakan antara hukum perkawinan dengan Undang-undang hukum

perdata.

Di dalam Undang-undang perkawian menyatakan secara tegas bahwa

kedudukan suami isteri itu seimbang, dalam melakukan perbuatan hukum.Sedangkan

dalam hukum perdata apabila izin suami tidak diperoleh karena ketidak hadiran suami

atau sebab-sebab lainya,pengadilan dapat memberikan izin kepada isteri untuk

menghadap hakim dalam melakukan perbuatan hukum.27

Undang-undang perkawinan mengatakan dengan tegas bahwa suami adalah

kepala rumah tangga, berbeda dengan hukum adat dan hukum Islam.Menurut R.

Wirdjona Prodjodikoro yang dikutip oleh Lili Rasjidi, menyatakan bahwa dalam

hukum adat dan hukum Islam tidak menyatakan secara tegas.28

Kemudian pasal 32 Undang-undang perkawinan menerangkan:

1) Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tepat.

2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan oleh

suami-isteri bersama.29

Tempat kediaman dalam ayat (1) dalam artian tempat tinggal atau rumah, yang

27

Lili Rasjidi, hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaisia dan Indonesia, Cet ke-1,

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1991)., hlm.125-126

28

Ibid.

29

(46)

bisa di tempati pasangan suami-isteri dan juga anak-anak mereka.

Pasal 30 Undang-undang perkawinan merupakan prolog bagi pasal 32

Undang-undang perkawinan menyatakan bahwa: Suami-isteri memikul kewajiban

yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat. Oleh karena itu, mereka (suami-isteri) harus mempunyai tempat

kediaman yang tetap yang ditentukan bersama, di samping mereka (suami-isteri)

harus saling mencintai, hormat-menghormati dan saling memberi bantuan secara lahir

dan batin. Suami sebagai kepalarumah tangga melindungi istrinya dan memberikan

segala keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan sang suami.

Demikian pula isteri dia wajib mengatur urusan rumah tangga

sebaik-baiknya.Kemudian apabila salah satu dari keduanya melalaikan kewajibannya,

mereka dapat menuntut ke pengadilan di wilayah mereka berdomisili.30 Hal ini sesuai

dengan pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang perkawinan.

Pada pasal 33 Undang-undang perkawinan menerangkan bahwa suami-istri

wajib saling cinta mencintai, hormat-menghormati, setia memberi bantuan lahir batin

yang satu kepada yang lain.31

Sedangkan pasal 34 Undang-undang perkawinan menegaskan:

1)Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatukeperluan

hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

30

Ibid, hlm. 127.

31

(47)

36

2)Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya

3)Jika suami atau istrei melalaikan kewajibannya masing-masing dapat

mengajukan gugatan kepada pengadilan.32

Kewajiban suami dalam pasal 34 ayat (1) menegaskan suami wajib

melindungi isteri dan keluarganya, yaitu memberikan rasa aman dan nyaman, dan

isteri wajib mengurus urusan rumah tangga sebaik mungkin.Jika keduanya

malakukan sesuatu yang akibatnya melalaikan kewajibanya maka baik isteri atau

suaminya maka dapat mengajukan gugatan ke pengadilan.

2. Menurut Kompilasi Hukum Islam

Menurut HM.Tahir Azhari sebagai mana dikutip oleh Eman Sulaeman dalam

hasil penelitianya “hukum kewarisan dalam KHI di Indonesia-studi tentang

sumber-sumber hukum” bahwa yang dimaksud dengan KHI adalah suatu himpunan kaidah

-kaidah hukum Islam yang di susun secara sistematis selengkap mungkin dengan

berpedoman pada rumusan kalimat-kalimat atau pasal-pasal yang lazim digunakan

dalam peraturan perundang-undangan.33

Salah satu sebab kemunculan KHI adalah, karena hukum materiil dari

peradilan Agama masih variatif dalam berbagai kitab fiqih sebagai pedoman dalam

mengambil keputusan oleh para hakim. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya

pembangkangan bagi orang yang kalah dalam berperkara seraya menanyakan

32

Ibid

33

Eman Sulaeman, Hukum Kewarisan Dalam KHI di Indonesia (Study Tentang

(48)

pendapat yang dipakai dengan menunjukkan kitab lain sebagai penyelesaian perkara

untuk memenangkan perkaranya.34

Inilah sebab kemunculan KHI agar orang dalam berperkara memiliki hukum

positif dan kongkrit, karena pada hakekatnya peradilan Agama itu sendiri telah lahir

dari lebih dari se-abad lamanya.35

Kemunculan Kompilasi Hukum Islam mengatur hak dan kewajiban

suami-isteri dalam bab VII pasal 77 sampai dengan pasal 84.

Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam menyatakan:

1.Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan keluarga yang

sakinah, mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.

2.Suami-istri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi

bantuan lahir batin yang satu dengan yang lain.

3.Suami-isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak

mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasa dan

pendidikan agamanya.

4.Suami-istri wajib memelihara kehormatanya

5.Jika suami atau isteri melalaikan kewajibanya, masing-masing dapat mengajukan

gugatan ke pengadilan agama. 36

Adapun pasal 78 KHI menjelaskan:

34

Ibid,hlm.48-50.

35

HM. Djamil Latif, Kedudukan dan kekuasaan peradilan agama Di Indonesia,cet ke 1,

Jakarta: bulan Bintang,1983, hlm.9-10.

36

(49)

38

1)Suami-istri harus mempunyai kediaman yang sah.

2)Rumah kediaman yang dimaksud oleh ayat (1) ditentukan oleh suami isteri

bersama. 37

Dalam Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang kedudukan

Suami-isteri terdapat dalam pasal 79, yaitu:

1) Suami adalah kepala rumah tangga dan istri ibu rumah tangga.

2)Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami

dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama masyarakat.

3)Masing-masing pihak berhak melakukan perbuatan hukum.

Pasal 80 KHI menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap isteri dan

keluarganya, yaitu:

1)Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi

mengenai hal-hal urusan rumah- tangga yang penting di putuskan oleh suami-isteri

bersama.

2)Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuanya.

3)Suami wajib memberikan pendidikan dan kesempatan belajar pengetahuan yang

berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

4)Sesuai dengan penghasilan suami menanggung:

(a)Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri.

(b)Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

37

(50)

(c)Biaya pendidikan anak.

5)Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut dalam ayat (4) huruf a dan b

diatas berlaku sesudah ada tamkin dari istrinya.

6)Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana

tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7)Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.38

KHI Pasal 81 terdiri atas empat ayat yang menjelaskan tentang tempat

kediaman yang menyatakan:

1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya

atau bekas isteri yang masih dalam masa iddah

2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama

dalam ikatan atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya

dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram.

Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta

kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah-tangga.

4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya

serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik

be

Gambar

GAMBARAN UMUM DESA PUSAKA RAKYAT KECAMATAN TARUMA
Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Desa Pusaka Rakyat
Tabel 1.
Tabel 2 diatas menunjukkan bahwa 46 (57,5%) responden menyatakan bahwa
+7

Referensi

Dokumen terkait