• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS

BUDAYA TEGAL

YUDHA KARTANA PUTRA

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi “Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal” adalah karya saya dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau mengutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir dalam skripsi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

RINGKASAN

YUDHA KARTANA PUTRA. Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal. Dibimbing oleh ANDI GUNAWAN.

Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang unik di Indonesia. salah satu daerah yang memiliki budaya Jawa yaitu Tegal. Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai dan geografisnya, berpotensi untuk menerima pengaruh daerah lain di sekitarnya. Selain mempengaruhi kehidupan sosial, juga berpengaruh pada penataan rumah tinggal dan penempatan jenis tanaman di sekitarnya. Kebutuhan masyarakat dalam pemilihan elemen-elemen penting taman pada rumah tinggal untuk mendapatkan ciri khas, sehingga kekhasan tersebut dapat diketahui dan dapat dijadikan dasar perencanaan taman Tegal.

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa. Manfaat penelitian ini yaitu memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya dan membantu pemerintah dan masyarakat Tegal untuk memahami elemen-elemen penting pembentuk taman pada rumah tinggal sebagai landasan mendesain taman Tegal.

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif. Informasi yang dikumpulkan bersumber dari studi literatur, observasi langsung, dan wawancara. Tahapan-tahapan penelitian ini, meliputi: (1) pengumpulan informasi, (2) pendeskripsian informasi, (3) analisis informasi, dan (4) sintesis dan konsep.

Pada ketiga wilayah memilki bentuk dan tata ruang rumah tinggal yang sama yaitu persegi panjang dan simetris. Gaya arsitektur, tata ruang, dan elemen pembentuk rumah tinggal masyarakat Tegal terdapat persamaan antara gaya arsitektur Jawa dan gaya arsitektur kolonial. Hal ini terbukti dari kesamaan karakter pola tata ruang rumah tinggal. Kekhasan ini terlihat dari lingkungan pesisir hingga pegunungan.

Pola tata ruangnya terbagi atas 4 ruang utama yaitu halaman depan, teras, rumah utama, dan halaman belakang. Berdasarkan fungsi, halaman depan dan halaman belakang berfungsi sebagai ruang publik, teras atau pendopo sebagai ruang semi privat, dan rumah sebagai ruang privat.

Keseluruhan pola tata ruangnya didesain mengikuti sirkulasi yang dibuat lurus menuju ruang belakang. Orientasi tata ruangnya mengarah pada arah utara atau selatan. Rumah tinggal tokoh masyarakat (golongan bangsawan) mengikuti gaya arsitektur tradisional Jawa karena individu tersebut memahami prinsip tata ruang Jawa.

(4)

tetapi pada perkembang masyarakat perkotaan memiliki pagar berupa dinding bata.

Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, rumah direpresentasikan sebagai kosmos vertikal. Bagian depan rumah terdapat teras disertai dengan anak tangga yang memiliki tinggi lebih dari permukaan tanah. Bagian teras lebih tinggi daripada tanah yang menunjukan kesucian. Bagian atap berarsitektur limasan dengan tambahan emperan. Dinding rumah dibuat tinggi untuk memberikan kenyamanan yaitu menetralisir panas dari luar. Pada masyarakat pesisir dan perkotaan, sebagian material dinding terbuat dari batu bata yang direkatkan dengan kapur, sedangkan di daerah pegunungan menggunakan material kayu. Terdapat mushola yang memiliki tinggi yang berbeda dengan lantai dasar, sehingga mencerminkan kesucian dan letaknya dekat dengan ruang makan pada tata ruang rumah di pesisir. Komponen dapur dan sumur di pesisir terpisah dari bangunan rumah utama, sedangkan di perkotaan dan pegunungan menyatu dengan rumah utama.

Teras berfungsi sebagai ruang interaksi dan penerimaan tamu. Selain teras, pendopo memiliki fungsi yang sama, terdapat pada tempat tinggal bangsawan di Tegal. Interaksi yang intim dilakukan di pendopo atau teras oleh antar anggota keluarga atau dengan tamu. Berdasarkan prinsip tata ruang Jawa, pendopo atau teras merupakan ruang transisi memiliki simbol sebagai ruang pertemuan antara kosmos horizontal dan kosmos vertikal.

Rumah tinggal pesisir memiliki halaman belakang yang luas, sedangkana rumah tinggal perkotaan dan pegunungan memiliki halaman belakang yang relatif sempit. Halaman belakang pada masyarakat pesisir difungsikan untuk aktivitas beternak dan berkebun.

Halaman memiliki simbol sebagai kosmos horizontal karena tempat pertemuan antar manusia dan alam. Halaman depan berupa ruang terbuka baik hanya beralaskan tanah maupun ditanami rumput. Halaman depan rumah tinggal masyarakat peisisir cenderung luas. Tanaman yang khas bagi masyarakat Tegal yaitu mangga dan puring karena hampir ditanam di seluruh halaman depan rumah tinggalnya. Tanaman yang ditanam di halaman merepresentasikan tanaman yang dapat menghasilkan manfaat tertentu, menciptakan keteduhan, dan terkadang memiliki makna filosofi Jawa.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang

mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(6)

KAJIAN ELEMEN TAMAN RUMAH TINGGAL BERBASIS

BUDAYA TEGAL

YUDHA KARTANA PUTRA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada

Departemen Arsitektur Lanskap

DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP

FAKULTAS PERTANIAN

(7)

Judul Skripsi : Kajian Elemen Taman Rumah Tinggal Berbasis Budaya Tegal Nama : Yudha Kartana Putra

NIM : A44061379

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Andi Gunawan, MAgr. Sc. NIP. 19620801 198703 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Arsitektur Lanskap

Dr. Ir. Siti Nurisjah, MSLA. NIP. 19480912 197412 2 001

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tegal pada tanggal 2 Januari 1989 dari Prof. Dr. H. Tri Jaka Kartana, M.Si dan dra. Sri Wardhani, M.Pd. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara, memiliki seorang kakak perempuan bernama Primadhany Kartana Putri.

Riwayat pendidikan penulis diawali dari tingkat taman kanak-kanak (TK) di TK Tunas Muda Islamiyah pada tahun 1996 hingga 1997. Pada tahun 1997 hingg 2002, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan sekolah dasar di SD Mangkukusuman I Kota Tegal. Pada tahun 2002 hingga 2004, penulis melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah pertama di SMP 2 Tegal, kemudian melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas di SMA 2 Tegal pada tahun 2004. Penulis merupakan lulusan SMA Negeri 2 Tegal pada tahun 2006 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI-IPB).

Penulis memiliki hobi menggambar dan menyanyi. Penulis pernah terpilih sebagai anggota Paskibraka Kota Tegal pada tahun 2004 dan Paskibraka IPB tahun 2006. Penulis telah banyak memperoleh penghargaan dalam bidang seni menggambar dan melukis dari SMA sampai saat ini.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur atas berkah dari Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul Kajian Desain Taman Tegal Berbasis Karakter dan Budaya Masyarakat di Tegal merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telahmembantu dalam penyelesaian tugas akhir ini, yaitu kepada:

1. Dr. Ir. Adi Gunawan, MAgr. Sc. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan, kritik, saran, dan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak, Ibu, dan Kakak yang telah memberikan segala bantuan baik moril maupun materi, dorongan motivasi terus-menerus kapada saya untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Ekotunas, Bapak Atmo Tan Sidik, Bapak Daryono, Bapak Nurngudiono, Bapak Akur Sujarwo, Bapak Agus Wijanarko, Bapak Pujianto, dan Bapak Wijanarto selaku pihak yang memberikan informasi secara menyeluruh mengenai sejarah dan budaya Tegal, motivasi, kritik, dan saran kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Bahtiar A. Pratama yang telah membantu penelusuran informasi selama di Tegal, memberikan motivasi, kritik, dan saran yang berguna dalam penulisan skripsi ini.

Penulis mengharapkan kritik dan saran pada penulisan skripsi ini. Penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi yang bermanfaat. Terimakasih.

Bogor, Februari 2011

(10)
(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN……… 37

Hasil Observasi Lapang………. 37

Hasil Wawancara……… 45

Tata Ruang Rumah Tinggal dan Elemen Taman………... 46

Orientasi Arah Hadap……… 47

Pintu Gerbang dan Pagar ……….……….. 48

Teras dan Pendopo……….……….... 48

Rumah (Omah)..………..………... 49

Sirkulasi………...………... 50

Sumur (Pakiwan)……… 50

Mushola.………. 50

Halaman Belakang………. 51

Tanaman………. 51

Konseptualisasi Taman Tegal………. 55

Konsep Tata Ruang……… 55

Konsep Elemen Taman Tegal………... 59

KESIMPULAN DAN SARAN……… 61

Kesimpulan………. 61

Saran………... 62

DAFTAR PUSTAKA………... 63

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta

Hadiningrat, dan Cirebon……… 11

2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat Tegal……… 12

3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa……… 18

4. Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian... 33

5. Daftar Nama Narasumber... 33

6. Jenis, Bentuk, dan Sumber Data………. 34

7. Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal… 38 8. Penanaman Tanaman di Lingkungan Rumah Tinggal……… 44

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa... 8

2. Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa... 9

3. Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat ……….. 10

4. Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa……….. 13

5. Gambaran Umum Tata Ruang dan Tata Letak Khas Tradisional Masyarakat Jawa Golongan Bangsawan……… 13

6. Bagian Ruang Dalem Ageng... 15

7. Perayaan Toa Pe Kong di Tegal... 28

8. Sumber Peninggalan Budaya di Tegal…...……….………... 29

9. Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal Serta Batas Administrasi Kecamatan………... 31

10. Kerangka Berfikir Penelitian………..…... 35

11. Bentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……… 39

12. Tanaman Kedondong sebagai Pagar Hidup ………. 40

13. Anak tangga menuju Teras ……….. 41

14. Pembagian Fungsi Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………….. 46

15. Bagian Teras Rumah Tinggal Masyarakat Tegal disertai Anak Tangga.. 49

16. Penanaman Tanaman di Rumah Tinggal Pedesaan Pesisir……… 52

17. Pagar Hidup Rumah Tinggal Masyarakat Pedesaan di Pesisir………….. 53

18. Penanaman Tanaman di Halaman Depan Rumah Tinggal di Perkotaan... 54

19. Penanaman pada Rumah Tinggal Golongan Bangsawan di Tegal……… 55

20. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Tegal pada Umumnya.. ……… 58

21. Konsep Tata Ruang Taman Rumah Tinggal Masyarakat Bangsawan di Tegal………... 58

22. Konsep Penanaman Tanaman Taman Rumah Tinggal Masyarakat pada Umumnya………..………. 60

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Gaya Arsitektur Rumah Tinggal Masyarakat Tegal……….. 72

2. Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………. 73

3. Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Masyarakat Tegal………. 74

4. Elemen Pembentuk Rumah……… 75

5. Jenis Penanaman Tanaman di Halaman Rumah Tinggal………... 76

6. Elemen Pembentuk Rumah Tinggal Tokoh Masyarakat (Bangsawan) di Tegal……….. 77

7. Tradisi Masyarakat Tegal……….. 78

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman budaya di Indonesia dihadirkan melalui keberadaan suku yang berbeda-beda pada setiap daerahnya. Keberadaan tiap suku pada tiap daerah memiliki karakter budaya yang khas dan digambarkan melalui tradisi kedaerahan, aktivitas sosial masyarakatnya, serta memiliki kekhasan tata ruang arsitektur. Budaya jawa termasuk salah satu budaya yang memiliki kekhasan tersendiri.

Budaya Jawa berkembang dan memberikan pengaruh di beberapa daerah di pulau Jawa, salah satunya adalah Tegal yang terletak di propinsi Jawa Tengah. Berdasarkan pembagian daerah sub wilayah kebudayaan Jawa, Tegal termasuk ke dalam sub wilayah kebudayaan pesisir yang masih terpengaruh oleh pusat perkembangan budaya Jawa di keraton (Sedyawati 2003). Letak Tegal yang dinilai strategis dekat dengan pantai, berpotensi untuk menerima pengaruh asing. Berdasarkan potensi di atas maka pengaruh tersebut diperkirakan secara nyata mempengaruhi karaker rumah tinggal masyarakat Tegal.

Kebudayaan Jawa di Tegal berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat baik dari segi sosial dan arsitekturnya yang mempengaruhi karakter khas setempat. Masyarakat Tegal memiliki kekhasan dalam menginterpretasikan budaya dan kehidupannya, di antaranya keunikan dalam pelaksanaan tradisi dan penataan rumah tinggal.

Sesuai dengan kebiasaan dan tradisi yang berkembang di lingkungan masyarakat Tegal yaitu mengutamakan interaksi, maka diperkirakan terdapat fungsi ruang yang berfungsi untuk menampung kebutuhan tersebut. Oleh karena itu, didasarkan atas kebiasaan dan tradisi setempat juga perlu dikaji mengenai pemanfaatan ruang di lingkungan rumah tinggalnya yang dimanfaatkan sebagai ruang interaksi.

(17)

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji elemen-elemen penting pembentuk taman rumah tinggal masyarakat Tegal yang berbasis budaya Jawa.

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

1. memberikan arahan bagi perencana dalam mengembangkan lanskap Tegal ditinjau dari sudut pandang budaya.

(18)

TINJAUAN PUSTAKA

Lanskap

Lanskap merupakan suatu sistem yang terintegrasi sebagai ekosistem. Ekosistem merupakan perpaduan antara lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Sistem tersebut memiliki nilai pengalaman yang dijadikan sebagai historical value

terkait hubungan antara ruang dan waktu. Proses yang terjadi di dalam ekosistem tersebut saling mempengaruhi. Hasil dari proses tersebut melalui kombinasi interaksi yaitu memunculkan karakter khusus yang berbeda dengan tempat lain (Lyle 2001).

Lanskap sebagai ekosistem memiliki faktor-faktor penting. Beberapa faktor penting tersebut yaitu manusia, lahan, dan design physical planning.

Lanskap yang diharapkan dapat menampung ragam aktivitas manusia sesuai dengan latar belakang dan pola perilaku. Pola perilaku tersebut dapat diperoleh dari budaya setempat yang merujuk pada kebiasaan sehari-hari dan karakter manusianya. Lanskap ini diarahkan agar berdampak pada peningkatan kualitas manusia dan lingkungan sekitar (Eckbo et al. 1998).

Peningkatan kualitas tersebut disesuaikan dengan kebutuhan manusia dan lingkungan sekitarnya. Kebutuhan manusia tersebut diperoleh melalui kebutuhan psikologis, emosional, dan dimensional. Kebutuhan manusia diarahkan untuk memenuhi ruang gerak, proses menghayati, merasakan, berfikir, dan menciptakan kawasannya (range) terhadap lingkungannya (Simonds dan Starke 2006).

Lanskap terdiri atas elemen-elemen yang berguna dalam membentuk karakter. Salah satu elemen terpenting dalam menciptakan karakter yaitu tanaman. Penggunaan material tanaman didasarkan atas: (1) fungsi tanaman, (2) peletakan tanaman (nilai simbolisme), (3) tujuan pendesainan, (4) habitat, dan (5) prinsip tata hijau. Material tanaman dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu berdasarkan marfologi, fungsi ekologis, dan efek visual (Laurie 1975)

(19)

sekitar. Konsep penataan tersebut harus diarahkan mewakili kebutuhan manusia dan lingkungan sekitar, sehingga menciptakan keharmonisan antara kebutuhan manusia dan lingkungan. Hubungan ini diarahkan untuk membentuk struktur ide, kekuatan (quality), dan perasaan terhadap keindahan yang membentuk karakter melalui proses desain (Rogers 2001).

Manusia di dalam lanskap memiliki peran dalam menentukan kekhasan desain lanskap yang diarahkan untuk keberlanjutan. Keberlanjutan (sustainable) ini didapatkan melalui identifikasi karakter dan pola sosial dari sikap dan perilaku manusia di dalamnya. Sikap dan perilaku manusia di dalam lanskap tertentu tercermin dari pendekatan budaya setempat melalui penggambaran simbol-simbol penting. Hubungan antara manusia dan lingkungan diharapkan dapat memberikan ciri khusus yang membedakan dengan kelompok lain (identity atau special character) (Benson & Roe 2000).

Lingkungan (alam) sebagai lanskap yang memberikan arti hidup dan kosmos. Hubungan manusia dan lingkungan diartikan sebagai hubungan kedekatan yang sesuai dengan karakter, kualitas, dan perilaku. Hubungan kedekatan tersebut berimplikasi pada penentuan bentuk dan pola ruang. Oleh karena itu, lanskap dapat diartikan sebagai hubungan yang harmonis, mewakili karakter, dan mengekspresikan kehidupan (Thompson & Steiner 1997).

Penataan lanskap meliputi struktur dan ruang melalui landasan pemikiran yang tercermin dari pengalaman (pengetahuan manusia) sebagai simbol. Pengalaman dapat menimbulkan beragam ekspresi yang diperoleh melalui pendalaman teori dan teknologi yang mendukungnya. Pola lanskap yang melalui simbol tersebut disesuaikan dengan kondisi nyata dari faktor-faktor setempat. Faktor tersebut mempengaruhi karakter (khas) kondisi lanskap tersebut, sehingga dapat memberikan pandangan yang berbeda dalam mempresentasikannya (Hendraningsih 1982).

(20)

identitas dari kebudayaan tertentu. Identitas lanskap yang ditunjukkan ini akan secara nyata mempengaruhi persepsi masing-masing (Bentley & Watson 2007).

Persepsi dalam lanskap yang dipengaruhi oleh tatanan sosial (tradisi), elemen lanskap, dan kondisi asli lingkungan yang saling mempengaruhi dan berinteraksi, akan menunjukkan keharmonisan dan menghindari konflik. Hal ini merupakan keberhasilan dalam membantu pencitraan sebuah karakter khusus dan secara nyata dapat diketahui dan dipelajari dengan melihat pola-pola yang ada dengan merujuk pada pendekatan kesejarahan. (Longstreth 2008)

Kebudayaan

Kebudayaan sebagai pedoman tingkah laku manusia untuk memahami lingkungan berdasarkan pengalamannya. Kebudayaan terdiri atas unsur-unsur universal, yaitu: bahasa, teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Kebudayaan terdiri atas tiga wujud yaitu ideal, aktifitas, dan benda budaya (Koentjaraningrat 1984).

Kebudayaan dihasilkan melalui proses komunikasi dimana komunitas yang bersangkutan mampu membangun citra melalui hubungan yang saling melengkapi. Kebudayaan tumbuh beranekaragam, tetapi sangat membutuhkan satu sama lainnya karena kebudayaan diperoleh melalui proses komunikasi baik

internal maupun eksternal. Proses komunikasi ini yaitu memberikan pesan dari satu ke yang lainnya untuk mencapai kesepakatan yang terbaik. Kesepakatan tersebut dapat berupa nilai, kepercayaan, dan norma yang penting (Samovar et al.

2008).

Kebudayaan dinilai nyata dan rasional dikelola secara berulang-ulang, sehingga menunjukkan pola yang khas yaitu pola sosial, mental, dan keyakinan menjadi faktor pendorong yang menciptakan ide dan nilai. Ide dan nilai pada budaya mendefinisikan suatu simbol yang merujuk pada suatu gaya dari kebudayaan tersebut dimana mempengaruhi bentuk arsitektural, adab dan adat, serta kesenian khas (Rogers 2001).

(21)

kebiasaan-kebiasaan tertentu yang diwujudkan melalui penerapan nilai, norma, peraturan, ketentuan, atau perundang-undangan sebagai pedoman hidup, memiliki kesatuan identitas dan jati diri yang kuat sehingga menganggap berbeda dengan kelompok lainnya (Hariyono 2007).

Kebudayaan juga sebagai pencerminan keseluruhan ilmu pengetahuan, sikap, dan pola perilaku yang merupakan kebiasaan dan diwariskan kepada keturunannya (Linton 1940). Berdasarkan hubungan kedekatan dengan alam, Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa manusia sebagai pelaku budaya menggunakan pengalamannya untuk menginterpretasikan alam yang dijadikan sebagai simbol atau pedoman dalam memaknai kehidupan.

Kebudayaan membentuk pola kehidupan dari masyarakat melalui kegiatan, bangunan arsitektural, dan kehidupan sosial yang menjadi ciri khas atau identitas tertentu (Geertz 1992). Salah satu bentuk kebudayaan yang mengutamakan pemaknaan kehidupan yaitu kebudayaan Jawa, sehingga Koentjaraningrat (1986) menyatakan bahwa kebudayaan Jawa memiliki nilai-nilai pokok kehidupan manusia, antara lain: (1) masalah hakekat hidup manusia, (2) masalah hakekat karya manusia, (3) kedudukan manusia dalam ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam, dan (5) hubungan manusia dengan sesama dan Tuhannya.

Budaya dan Konsep Tata Ruang Jawa Budaya Jawa

Budaya Jawa memiliki falsafah Jawa yang dilaksanakan oleh masyarakatnya sebagai penuntun untuk memperoleh ketentraman jiwa dan batiniah. Falsafah Jawa dijadikan sebagai pedoman hidup masyarakat Jawa. Falsafah Jawa menuntun seseorang pada keseimbangan antara kehidupan duniawi dan kerohanian. Hasil dari falsafah Jawa tersebut menghasilkan kehidupan yang harmonis, selamat, dan tentram. Terdapat ungkapan Jawa yaitu “sepi ing pamrih,

(22)

Budaya Jawa tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan budaya Keraton Yogyakarta Hadiningrat dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat perkembangannya. Lanskap Keraton dianggap sebagai konsep Taman Tradisional Jawa. Keraton memiliki tata ruang dan penggunaan elemen-elemen tanaman yang mengandung makna simbolik. Makna tersebut mengarahkan pada penggambaran kehidupan manusia menuju kesempurnaan (Kasampurnaning Ngaurip) antara kehidupan duniawi dan rohani (Herusatoto 1983). Konsep kosmologi Jawa yang mempengaruhi lanskap khas Jawa mengajarkan tentang tata perilaku dalam kehidupan, yaitu hubungan dengan manusia, alam, dan Tuhannya. Falsafah Jawa di dalamnya mengarah pada konsep keselarasan dan ketentraman jiwa. (Bratawijaya 1997).

Keselarasan mengenai konsep kosmologi Jawa yang mengarahkan manusia pada kasampurnaning ngaurip, mengarahkan pada konsep kseimbangan kosmos. Keseimbangan kosmos didasarkan atas kosmologi Jawa terdiri atas kosmos vertikal dan kosmos horizontal. Kosmos vertikal dipercaya dibagi menjadi tiga bagian, antara lain: (1) dunia atas, (2) dunia tengah, dan (3) dunia bawah, disebut Tri Buwana. Kosmos vertikal mengarahkan manusia untuk dekat dengan Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti) menuju kesempurnaan. Kosmos horizontal menggambarkan kehidupan duniawi yaitu kekerabatan dan kerukunan antara sesama manusia. Hubungan keduanya dapat menghasilkan keberaturan dan keseimbangan yang hakiki. Kedua kosmos ini mempengaruhi ragam aktivitas dan kebutuhan ruang untuk memunculkan kehidupan yang harmonis dan sebagai penanda kekhasan tradisional Jawa. Kondisi ini dapat berbeda antara daerah satu dengan daerah lainnya, tetapi tidak mempengaruhi nilainya (Setiawan 2000).

(23)

sadulur papat kalima pancer yaitu kehidupan memerlukan arah tuntutan. Arah Utara (Lor) sampai ke arah selatan (Kidul) mengisyaratkan jalan kehidupan sampai menuju kesucian menghadap Sang Khalik (Manunggaling Kawula Gusti).

Arah barat-timur (wetan-kulon) mengisyaratkan asal segala sesuatu (Yosodipuro 1994).

Gambar 1 Konsep Sadulur Papat Kalima Pancer pada Tata Ruang Keraton Jawa (Sumber: Setiawan 2000).

Definisi lain konsep sadulur papat kalima pancer yaitu konsep macapat.

(24)

Gambar 2 Konsep Macapat Menggambarkan Arah Mata Angin Sebagai Dasar Konsep Taman Jawa (Sumber: Hariyono 2007)

Kepercayaan mengenai mata angin secara kosmis pada konsep sadulur papat kalima pancer diterapkan melalui perlambangan. Perlambangan tersebut mengartikan arah utara, selatan, barat, dan timur. Arah mata angin utara dilambangkan oleh Dewa Wisnu, memiliki simbol matahari dengan warna kuning. Arah mata angin selatan dilambangkan oleh Dewa Anantaboga (Ratu Kidul), memiliki simbol hitam yang berarti kesabaran dan kasihan. Arah mata angin barat dlambangkan oleh dewa Yamadipati dengan simbol api berwarna merah, memiliki makna kebinasaan dan kematian. Arah mata angin timur dilambangkan oleh dewa Mahadewa dengan simbol air berwarna biru yang bermakna keseragaman dan rasa kebersamaan (Hariyono 2007).

Pencitraan konsep sadulur papat kalima pancer diarahkan pada suatu

imago mundi (pencitraan dunia). Filosofi tersebut menarahkan pada falsafah ”Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Gusti” yang memiliki

persamaan dengan ajaran Islam yaitu Hablun Minallah dan Hablun Minannas.

Falsafah ini mengarahkan pada hubungan antara kehidupan duniawi dan pendekatan diri dengan Sang Khalik (aspek rohani) harus seimbang (Setiawan 2000).

(25)

Penggambaran konsep sadulur papat kalima pancer pada lanskap keraton Surakarta Hadiningrat secara makro dapat dilihat pada gambar 3. Konsep ini dipercaya sebagai perwujudan kekuatan dewa-dewa penjaga. Kekuatan ini merupakan pencitraan dari kekuatan alam yang diciptakan oleh Sang Khalik. Tata ruang di lingkungan keraton merupakan landasan untuk pendesainan Tata ruang dan tata letak khas tradisonal Jawa pada umumnya (Setiawan 2000).

Gambar 3 Tata Ruang Makro di Keraton Surakarta Hadiningrat (Sumber: Setiawan 2000).

Tata Ruang Tradisional Jawa

(26)

Tabel 1. Perbandingan Elemen Keraton Yogyakarta Hadiningrat, Surakarta Hadiningrat, dan Cirebon

No. Komponen Keraton Yogyakarta Keraton Surakarta Keraton Cirebon

1 Orientasi Keraton dan as. Imajiner

Utara-Selatan Utara-Selatan Utara-Selatan

2 Peletakan Bangunan mengikuti pola orientasi utara-selatan mengikuti pola orientasi

utara-selatan

mengikuti pola orientasi utara-selatan

3 Alun alun Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat

berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.

Ada, alun-alun sebagai tempat rakyat berkumpul dan pasar.

4 Elemen Lanskap di sekitar

keraton

• Terdapat pendopo sebagai tempat

penerimaan tamu, tempat bertemunya raja dengan abdi dalem

• Terdapat pendopo dan dinding pertahanan dengan tinggi sekitar tiga sampai lima meter dan tebal sekitar satu meter.

• Halaman depan keraton ini

dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya. • Terdapat tanaman beringin dan dari Tugu

menuju ke Keraton (Kompleks Kedaton) menunjukkan tujuan akhir manusia yaitu menghadap penciptanya.

• Terdapat tanaman beringin di alun-alun

• Terdapat tanaman beringin di alun -alun

• Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo melambangkan tujuh

langkah/gerbang menuju surga (seven step to heaven)

• Sebelum memasuki dalam

terdapat anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

• Sebelum memasuki dalam terdapat

anak tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

• Sebelum memasuki dalam terdapat anak

tangga yang mengarahkan pada kesucian dan niat baik

5 Arsitektur Bangunan Bergaya arsitektur Jawa tradisional. Di

(27)

Bagi masyarakat Jawa, rumah (omah) merupakan kebutuhan hidup utama, selain pakaian (sandang) dan makanan (pangan). Tata ruang rumah tinggal merupakan penjabaran miniatur kosmos dimana diarahkan untuk menciptakan keselarasan hidup berkeluarga dan menghindari perpecahan (Wardani 2007). Rumah tinggal masyarakat Jawa terdiri atas rumah dan halaman, sehingga antara keduanya harus sinergi. Rumah dianggap sebagai pohon yang teduh, dimana orang tanpa rumah diibaratkan pohon tanpa bunga (Widayati 1999).

Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa (Tabel 2), semakin mendekati rumah (omah) semakin bernilai privat. Bagian halaman diperuntukan sebagai ruang publik. Pada bagian sekitar teras dan pendopo diperuntukan sebagai ruang semi publik. Penempatan elemen tanaman terdapat pada bagian halaman dan sekitar halaman (Hamzuri 1986).

Tabel 2. Kedudukan dan Fungsi Antar Ruang pada Tempat Tinggal Masyarakat Tegal

No. Kedudukan Ruang Fungsi Ruang

1 Ruang Publik Sebagai penyedia ruang terbuka hijau melalui penanaman tanaman di sekitar halaman

2 Ruang Semi-Privat Membangun kepercayaan, kekerabatan (menjalin kerukunan), dan memperkuat silaturahmi.

3 Ruang Privat Sebagai ruang pertemuan saudara dan keluarga.

(Sumber : Setiawan (2000))

(28)

Tata ruang Rumah Tinggal Rakyat Biasa Tata Ruang Rumah Tinggal Bangsawan

Gambar 4 Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Jawa.

Adapun perbedaan antara tata ruang Jawa antara golongan rakyat biasa dan bangsawan. Tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan rakyat biasa tidak memiliki orientasi khusus, terdiri atas omah dan halaman. Orientasi arah pada rumah tinggal masyarakat Jawa sebagian besar mengarah ke arah selatan atau utara. Pada gambar 5 dapat dilihat bahwa tata ruang dan tata letak tradisional khas Jawa pada golongan bangsawan dibatasi oleh dinding dan gapura serta memiliki pendopo sebagai elemen pembentuk dari segi arsitekturalnya (Widayati 1999).

(29)

Setiap tata ruang tradisional Jawa memiliki filosofi dan pandangan mengenai elemen-elemen pembentuknya. Tata ruang rumah tinggal masyarakat Jawa golongan bangsawan terdiri atas: (1) rumah (omah), (2) pendopo, dan (3) gapura. Arah hadap rumah pada golongan masyarakat tidak boleh menghadap ke arah timur. Hal ini disebabkan arah hadap timur dianggap milik keraton (arah timur ditempati oleh Batara Sang Hyang Maha Dewa sebagai simbol asal kehidupan di dunia ini). Sementara itu, tata ruang masyarakat Jawa menggunakan arah hadap utara atau selatan. Arah utara dipercaya ditempati oleh Dewa Sang Hyang Batara Wisnu yang memiliki lambang pemeliharaan (Hamzuri 1986).

Rumah tinggal oleh masyarakat Jawa didasarkan atas norma-norma Jawa yang diterapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hakekatnya, masyarakat Jawa mempunyai pola kerja yang ditujukan untuk mencapai tiga sasaran pokok, yaitu: kepuasan diri, pengakuan dari masyarakat sekitarnya dan kasih sayang dari lingkungannya. Apabila pola kerja tersebut dikaitkan dengan penentuan tipe bangunan, bentuk bangunan dan lokasi tempat bangunan tersebut berada, maka akan diperoleh hubungan sebagai berikut: tipe bangunan rumah sangat tergantung pada aspek sosial, dalam hal ini erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh pengakuan dari masyarakat sekitarnya, bentuk bangunan tergantung pada aspek geografis dan aspek sosial yang erat hubungannya dengan upaya pemilik untuk memperoleh kasih sayang dengan lingkungan sekitarnya, dan penentuan lokasi sangat tergantung pada aspek geografis, dalam arti dirinya sendiri adalah bagian dari alam (Indartoyo 2008).

Konsep arsitektur rumah tinggal di daerah pesisir merupakan perpaduan arsitektur tradisional Jawa dan kolonial. Struktur penutup atap dari bangunan menjadi penciri yang khas konsep Jawa. Terdapat tiga tipe spesifik yaitu kampungan, limasan, dan joglo. (Nas & Vletter 2009).

Rumah menurut masyarakat Jawa juga disebut dalem ageng (Gambar 6). Dalem ageng adalah bagian paling penting karena merupakan tempat tinggal keluarga. Dalem ageng memiliki beberapa ruang yang disebut dengan sentong.

Sentong ini terdiri dari:

(30)

2) Sentong tengah, merupakan tempat yang sakral karena digunakan sebagai tempat pemujaan kepada Dewi Sri. Ruang ini disebut juga pedaringan.

3) Sentong tengen, sama seperti sentong kiwo yaitu merupakan tempat tidur anggota keluarga.

Gambar 6 Bagian Ruang Dalem Ageng (Sumber: Kusyanto 2007).

Hamzuri (1986) menjelaskan bahwa alur sirkulasi pada rumah Jawa dari ruang depan menerus ke ruang belakang, bahkan juga dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Alur sirkulasi dari ruang depan ke ruang belakang, apabila melihat pada Gambar 6 maka sirkulasi tersebut berturut-turut meliputi: pendopo, pringgitan, dalem, dan senthong (senthong kanan, senthong tengah dan senthong kiri). Alur sirkulasi dari kanan ke kiri meliputi: ruang pendopo alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju ke halaman luar, ruang pringgitan dan ruang dalem alur sirkulasi ke kanan dan ke kiri menuju gandhok kanan dan gandhok kiri dengan melalui longkangan. Dan alur sirkulasi selanjutnya adalah menuju pawon (dapur),

gadri dan pekiwan melalui pintu yang berada di gandhok kanan dan gandhok kiri.

Elemen Taman

(31)

lingkungannya yaitu melalui pemilihan tanaman yang berbentuk pohon (Setiawan 2000). Taman Jawa juga digambarkan sebagai penampung aktivitas manusia secara psikologis, emosional, dan dimensional. Elemen tanaman sangat penting di dalam desain Taman Tradisional Jawa. Hal ini dikarenakan tanaman memiliki fungsi sebagai pembentuk kosmos (Herusatoto 1983).

Gapura

Elemen tata ruang luar rumah tinggal sebagai gerbang masuk yaitu gapura. Gapura digambarkan sebagai pintu semesta raya, digambarkan seseorang yang memasukinya berarti telah berada di dalam kosmos (Prijotomo 1988). Gapura merupakan bagian dari pagar yang mengelilingi taman, pada lingkungan Keraton Surakarta Hadiningrat dengan Keraton Yogyakarta Hadiningrat juga memiliki pagar berbentuk tembok tebal sebagai pengaman keluarga keraton (Soeharso 1985).

Halaman

Berdasarkan Filosofi Jawa, halaman dipercaya terbentuk dari pencerminan kepribadian manusia Jawa. Keseluruhannya mengarahkan pada penciptaan keselarasan, ketenangan, suasana interaksi yang nyaman, pencerminan moral, etika, dan dinamika gerak sosial. Adapun peruntukan kebutuhan ruang terbuka yang ditanami beberapa tanaman yang difungsikan sebagai tanaman berbuah atau pemenuh kebutuhan (Setiawan 2000).

Di dalam konsep tata ruang Jawa, bagian halaman lebih luas dan ditanami tanaman-tanaman yang menghasilkan keteduhan dan dapat dimanfaatkan. Halaman yang luas ini dilatarbelakangi oleh prinsip masyarakat Jawa yang menyenangi keteduhan dan keindahan. Tanaman yang ditanam di halaman dapat menetralisir udara panas sebelum masuk ke pendopo (Widayati 1999).

Sirkulasi

(32)

yang lurus mengarah pada pusat kosmos dengan open space di sekitarnya (Prijotomo 1988).

Pendopo

Pendopo menjadi salah satu bangunan penting di kompleks keraton yang berfungsi untuk bersemedi (meditasi), mengheningkan cipta, memohon kesejahteraan bagi warga Keraton. Pendopo ini juga digunakan untuk bertemu atau bertatap muka dengan keluarganya, abdi dalem, bahkan rakyatnya. Bangunan pendopo berbentuk arsitektur joglo pada atapnya yang disangga 4 tiang sebagai saka guru pada bagian tengahnya (Anonim 2007). Pada tata ruang rumah tinggal masyarakat bangsawan juga terdapat pendopo sebagai tempat penerimaan tamu dan berinteraksi (sebagai ruang semi privat) (Widayati 1999).

Pendopo dan teras difungsikan sebagai tempat penerima tamu oleh pemilik rumah. Apabila di lingkungan keraton, pendopo difungsikan sebagai tempat raja menerima pisowanan dari rakyat atau bawahannya. Pendopo pada masyarakat pesisir Jawa sebagai tempat untuk bersilaturahmi. Hal ini disebabkan sifat masyarakat pesisir yang dikenal egaliter atau tidak memandang status sosial seseorang. Selain itu, sirkulasi yang terbentuk merupakan konsep sumbu imajiner yang lurus. Sirkulasi ini merupakan perwujudan proses kelahiran manusia hingga mengalami kematian. Sirkulasi pada lingkungan keraton biasanya didesain bertahap-tahap mendasari tentang perjalanan hidup manusia menuju kesempurnaan hidup (Sardjono 1996).

Tanaman

(33)

Tabel 3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa

Nama Tanaman Fungsi Simbolik (Makna)

Beringin (Ficus benjamina) Peneduh Pengayoman (mensejahterakan) Kepel (Stelechocarpus

burahol)

Peneduh Kesatuan

Kantil/Cempaka (Micelia champaca)

Estetika Kemuliaan dan pembawa rezeki

Kelapa hijau (Cocos nucifera)

Penghasil buah Suasana hati ayem dan tenteram

Jambu dersono (Eugenia javanica)

Penghasil buah Kasih sayang antar sesama

Sawo kecik (Manilkara kauki)

Simbolik, Peneduh

Kebaikan (becik)

Belimbing (Averrhoa sp.) Penghasil buah, penaung

Ketenteraman, murah rezeki, ketenangan jiwa

Gayam (Inocarpus edulis) Penaung Penyejuk jiwa Mangga (Mangifera indica) Penghasil buah,

penaung

Kesengsem (Jatuh hati)

Mawar (Hibiscus rosa sinensis)

Estetika Sabar dan pengandalian diri

Kenanga (Cananga Tanjung (Mimusoph elengi) Pengarah Mengarahkan diri Soka (Parrinarium

(34)

Tanaman yang digunakan sebagai kebutuhan, antara lain digunakan untuk upacara tradisional, wewangian, obat-obatan, makanan, kosmetik, dan pewarna (Soeharso 1985).

Adapun beberapa tanaman yang memiliki fungsi ekologis. Fungsi ekologis pada tanaman, misalnya pohon gayam memiliki fungsi sebagai penyimpan air menuju ke permukaan tanah, sehingga air jernih mudah didapatkan di sekitar pohon tersebut. Beberapa tanaman juga difungsikan agar dapat dimanfaatkan bagian dari tanaman tersebut (Setiawan 2000).

Berdasarkan filosofi Jawa, tanaman yang memiliki arti simbolik dan memiliki ketentuan khusus dalam peletakannya yaitu sawo kecik (Manilkara kauki). Tanaman sawo kecik dipercaya apabila ditanamnya tanaman ini pada tanah tertantu maka menandakan bahwa tanah tersebut milik keraton. Sebaliknya, apabila ditanam di luar lingkungan keraton maka seseorang yang bertempat tinggal yang memiliki pohon tersebut masih dalam garis keturunan keraton (trahing kusomo). Penanaman tanaman di lingkungan keraton tidak memiliki aturan peletakan tertentu. Peletakan tanaman di lingkungan keraton didasarkan atas, antara lain: (1) perintah raja setelah mendapat petunjuk dari Tuhan Yang Maha Esa, (2) meniru gaya penanaman keraton jaman dahulu, (3) mendapat kekuatan ghaib atau daya magis yang dipancarkan oleh tanaman tersebut. Tujuan penanaman yaitu untuk menambah atau menguatkan pengaruh baik dan menangkal pengaruh buruk (Setiawan 2000).

Kebudayaan Pantai Utara Jawa

(35)

Kebudayaan Pantai Utara Jawa bersifat heterogen. Hal ini dapat dilihat bahwa kondisi sosial masyarakat Tegal yang terdiri bermacam-macam etnis dan lokasi yang strategis. Selin itu, sifat heterogen ini disebabkan oleh karakter keterbukaan masyarakatnya dalam menerima pengalaman baru, bersedia menerima perubahan sosial, dan menilai ketrampilan teknis sebagai hal yang penting. Kebudayaan Pantai Utara Jawa hanya sedikit dipengaruhi oleh kehidupan keraton Surakarta dan Yogyakarta. Masyarakatnya tetap berprinsip pada falsafah Jawa yang beberapa mengalami perubahan yang adaptif, baik dari segi sosial dan arsitektural (Sedyawati 2003).

Pada bagian utara Tegal dekat dengan pelabuhan berdiri bangunan bergaya kolonial. Wilayah Pantai Utara Jawa pada masa kejayaan Belanda di tanah Jawa meninggalkan bangunan arsitektur dan taman bergaya kolonial dikenal dengan bangunan indis. Di tanah Jawa dikenal dengan rempah-rempahnya, sehingga mendorong bangsa lain seperti Arab, Cina, dan Eropa melakukan perdagangan. Selain bangunan Indis, juga ditemukan bangunan bergaya arsitektur Cina dan Arab. Kerajaan-kerajaan lainnya di Indonesia juga mengambil bagian dalam perdagangan tersebut. Pengaruh kerajaan-kerajaan tersebut mempengaruhi kondisi mental, sosial, budaya, dan tata ruang (Kartodirdjo 1999).

Alasan terdapatnya bangunan bergaya kolonial (indis/indisce) di Tegal yaitu pada abad XVII yaitu saat Zaman Modern Awal (1600-1800 M) yang ditandai dengan kedatangan pedagang Eropa dan Cina di Wilayah Pantai Utara Jawa. Tipologi arsitektur, tata ruang, dan taman ditransplantasikan pada arsitektur lokal. Sehingga, kombinasi ini mengahasilkan arsitektur bergaya campuran disertai dengan adaptasi proses akomodasi kultural. Pendopo sebagai ruang tradisional Jawa diadopsi dan dikombinasikan dengan arsitektur Eropa menjadi luasan beranda yang berfungsi sebagai ruang bersama dan ruang pertemuan (Nas & Vletter 2009).

(36)

pesisir Pantai Utara Jawa lebih dahulu dikuasai oleh Belanda (VOC) karena dianggap daerah ini dapat menjadi basis pertahanan yang kuat (Rochani 2005).

Sejarah Tegal

Tegal secara administratif terbagi atas wilayah kota dan kabupaten. Tegal terletak di bagian utara Jawa berdekatan dengan Cirebon dan Banyumas, sehingga berpotensi untuk dipengaruhi oleh budaya yang dibawa dari kedua daerah tersebut. Pada dasarnya, kota dan kabupaten Tegal merupakan kesatuan yang mencerminkan tidak adanya perbedaan dari sudut pandang budaya, sehingga karakter baik hubungan dirinya maupun secara sosial dengan orang lain memiliki kesamaan yang erat. Begitu pula latar belakang sejarahnya memiliki kesamaan yang tak dapat dipisahkan dan saling melengkapi (Su’ud 2003).

Berdasarkan sejarah perkembangan Tegal, dahulu Tegal hanya sebuah desa yang bernama “Tetegal”. Tokoh yang berperan penting bagi perkembangan Tegal yaitu Ki Gede Sebayu. Ki Gede Sebayu dianggap sebagai pendiri Tegal yang didasari oleh cerita rakyat Tegal. Ki Gede Sebayu sebagai tokoh panutan bagi masyarakat Tegal dalam tindakan dan perilakunya (Daryono et al. 2008).

Desa Tetegal merupakan sebuah desa yang belum tertata dengan baik dan ditempati oleh sebagian kecil warga. Kondisi di sekitar desa masih berupa ilalang dan padang yang luas. Nama Tetegal diperoleh dari Ki Gede Sebayu atas jasanya yang memanfaatkan potensi alam setempat dijadikan suatu tegalan atau tetegal. Berdasarkan cerita rakyat Tegal, Ki Gede Sebayu bersama warga setempat memanfaatkan potensi alam tersebut untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Hal ini melatarbelakangi meningkatnya semangat warga Tetegal untuk terus bekerja keras. Ki Gede Sebayu mendapatkan penghargaan atas jasanya mengajar dan membimbing warga untuk memanfaatkan potensi setempat dengan teknologi sederhana. Jasa Ki Gede Sebayu juga meningkatkan dan menggairahkan mental warga Tetegal untuk berusaha berperilaku yang terbaik, optimal, dan bekerja keras (Rochani 2005).

(37)

sepenuh hati dan ikhlas, kerja keras dan pemimpin yang menjadi panutan bagi seluruh warganya. Oleh karena itu, Ki Gede Sebayu diangkat sebagai Jur Demang oleh Bupati Pemalang meliputi daerah Tegal atas jasanya. Pengangkatan Ki Gede Sebayu sebagai Jur Demang didasari atas peraturan daerah no. 5 tahun 1988 pada tanggal 28 juli 1988 (Anonim 2007).

Tegal pada Era Mataram

Tradisi dan Kebudayaan masyarakat Tegal semakin berkembang pada saat masuknya Mataram di Tegal. Pada masa kejayaan Mataram di Tegal, Tegal dijadikan sebagai bandar penting bagi politik Mataram. Tegal dijadikan sebagai pelabuhan besar untuk berlabuhnya kapal Mataram dan kapal asing (Anonim 2007). Mataram dipimpin oleh Sultan Agung melakukan langkah menjadikan Tegal sebagai pintu barat Mataram dan pemasok suplai makanan saat penyerangan Mataram ke Batavia (De Graff 1990).

Pengaruh Mataram di Tegal mempengaruhi tata ruang Tegal secara keseluruhan. Pada dasarnya, kerajaan Mataram bersifat agraris yang beribukota di pedalaman Jawa ini banyak mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu baik pada lingkungan keluarga raja maupun pada golongan rakyat jelata. Pemerintahan kerajaan ini ditandai dengan keikutsertaan oleh Belanda. Kerajaan Mataram merupakan pengembang kebudayaan Jawa yang berpusat di lingkungan keraton Mataram. Kebudayaan tersebut merupakan perpaduan antara kebudayaan Indonesia lama, Hindu-Budha, dan Islam. Hal ini mengakibatkan adanya perpaduan antara pengaruh arsitektur Jawa kuno dan kolonial di Tegal dan daerah pesisir lainnya (Alamsyah 2008).

(38)

Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered (Hoeve 2003).

Berdasarkan sejarah perkembangan Mataram di Tegal, Sultan Agung selama berkuasa memiliki tujuan menyatukan daerah-daerah di seluruh tanah Jawa. Daerah pesisir seperti Surabaya dan Madura ditaklukkan oleh Sultan Agung agar tidak membahayakan kedudukan Mataram. Sultan Agung merupakan penguasa lokal pertama yang secara besar-besaran dan teratur mengadakan peperangan dengan Belanda. Pada tahun 1625 Belanda mendirikan kongsi dagang VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Kekuasaan Mataram pada waktu itu meliputi hampir seluruh Jawa, dari Pasuruan sampai Cirebon. Sementara itu VOC telah menguasai beberapa wilayah seperti di Batavia dan di Indonesia Bagian Timur (Anonim 2007). Sultan Agung mengangkat Tumenggung sebagai Adipati Tegal untuk mempertahankan wilayah pesisir barat. Wilayah kekuasaan Tumenggung meliputi Tegal, Brebes, dan Losari. Tegal sebagai pertahanan Mataram yaitu sebagai pintu gerbang Mataram di wilayah barat dan memiliki pelabuhan besar yang menguntungkan bagi Mataram (Rochani 2005).

Kekuasaan Mataram telah meliputi sebagian besar wilayah Jawa, sehingga mempengaruhi kerajaan-kerajaan lainnya di Pulau Jawa. Salah satu kerajaan yang dibawah kekuasaannya yaitu Kesultanan Cirebon. Hal ini juga melatarbelakangi pengaruh besar yang mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat Tegal. Cirebon terletak di bagian pantai utara Jawa Barat. Pada saat itu, Kesultanan Cirebon memiliki wilayah yang meliputi beberapa kabupaten, seperti Indramayu, Kuningan, Majalengka, dan Cirebon. Berdasarkan Babad Negarakertabumi, kata Cirebon berkembang dari kata “caruban” yang berasal dari istilah “sarumban”. “Sarumban” memiliki arti pusat percampuran penduduk. Pada abad 16 Cirebon dibawah kekuasaan Pakuan Pajajaran. Pangeran Walasungsang ditempatkan oleh raja Pajajaran sebagai juru labuhan di Cirebon. Walasungsang dianggap sebagai pendiri Cirebon, meningkatnya status Cirebon menjadi kesultanan oleh Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati sebagai pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan Banten (Hoeve 2003).

(39)

Hoeve (2003), pada saat Kerajaan Cirebon dipimpin oleh Panembahan Ratu, masa pemerintahannya dibawah pengaruh Mataram. Pengaruh Mataram pada tahun 1590 yaitu pada saat Panembahan Senapati membantu dalam memperkuat tembok yang mengelilingi Cirebon. Menurut Dewi (2009), tahun 1678 kesultanan Cirebon di bawah perlindungan Banten terbagi menjadi 3, antara lain: Kesultanan Kasepuhan, Kesultanan Kanoman, dan Panembahan.

Menurut Daryono et al. (2008), setelah masa Sultan Agung sebagai Raja Mataram, kemudian digantikan oleh Sunan Amangkurat 1. Amangkurat I merupakan raja keempat Kerjaaan Mataram Pada saat masa Amangkurat I terjadi pemberontakan Trunojoyo. Amangkurat I termasuk raja yang berkuasa di Tegal di bawah bendera Mataram. Amangkurat I meninggal pada saat mengasingkan diri atas pemberontakan yang terjadi, sehingga meninggalkan keratonnya di Plered. Amangkurat I meninggal di Ajibarang, kemudian dimakamkan di Desa Pasarean, Kabupaten Tegal. Amangkurat I berwasiat kepada Adipati Anom berbunyi: “Tunggalna lan guruningwang ing lemah memuncak”.

Tegal merupakan daerah yang dipercaya Mataram pada masa Sultan Agung dan Amangkurat I sebagai daerah pengamanan Mataram. Pada saat Mataram menyerang ke Batavia, Tegal dijadikan sebagai gudang makanan. Siasat yang dilakukan oleh Mataram ini diketahui oleh mata-mata VOC, sehingga gudang makanan tersebut dibakar. Setelah penyerangan VOC di Tegal, VOC mengarahkan perhatiannya pada Cirebon (Alamsyah 2008).

(40)

(Amangkurat II). Selama Kerajaan Mataram di Tegal, ternyata Tegal pernah menjadi “Ibu Kota Kerajaan Mataram”.

Menurut Poesponegoro et al. (1993), pada masa perang trunajaya tahun 1677, Adipati Martoloyo menjabat sebagai Wedana Bupati Pesisiran Kilen yang bertempat di Tegal. Selain menggunakan gelar adipati atau tumenggung, penguasa daerah pesisiran juga memakai gelar Kyai Demang atau Kyai Ngabehi, terutama yang menjabat sebagai bupati.

Kartodirdjo (1992) mengatakan bahwa Amangkurat II meminta bantuan kepada VOC untuk melakukan perlawanan kepada Trunajaya. VOC memperoleh imbalan yaitu sebagian wilayah kekuasaan Mataram, termasuk Tegal. Pada tahun 1680, VOC mengangkat dirinya sebagai penguasa daerah pesisir, termasuk Tegal menjadi daerah kekuasaanya.

Tegal pada Era Kolonial

Tahun 1729-1900, pemerintahan Belanda di Kota Tegal dipegang oleh Residen Belanda dan pemerintahan tradisional Tegal dipegang oleh bupati (Suputro 1959). Kantor Residen Belanda berada di dekat benteng Belanda yaitu di sekitar pusat kota. Pusat kota ditandai dengan kediaman pejabat dan gedung pemerintahan. Segala infrastruktur Belanda diposisikan di wilayah bagian timur kota dekat dengan pelabuhan Tegal. Arsitektur bangunan belanda sangat khas dengan bangunan menyerupai benteng dan berjendela besar yang disebut dengan bangunan indis (Soekiman 2000)

Wilayah kota dan kabupaten di Tegal memiliki latar belakang masyarakat dan pandangan yang sama. Sejak dicetuskannya sumpah bersama pada perayaan Hari Proklamasi RI tanggal 17 agustus 1949 yang berbunyi: “Kami rakyat Indonesia dari Kabupaten dan Kota Tegal bersumpah tetap berjuang hingga

tercapai suatu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka bulat

berdasarkan Pancasila”. Hal ini merupakan suatu bentuk keformalitasan untuk diketahui bahwa Kota dan Kabupaten Tegal tidak memiliki perbedaan karena semuanya bermula dari Desa Tetegal (Daryono et al. 2008).

(41)

tebu ke pabrik gula Pangkah, Banjaratma, dan Jatibarang. Hal ini menyebabkan rakyat tidak menanami sawah-sawahnya dengan tanaman padi. Lokasi didirikannya pabrik pengelohan tebu bertempat di beberapa tempat, diantaranya Pagongan, Kemantran, Dukuhringin, Pangkah, Balapulang, dan Ujungrusi (Daryono et al. 2008). Menurut Alamsyah (2008), sektor pertanian di Tegal dikembangkan sebagai penopang perekonomian VOC, sehingga tanaman tebu diarahkan menjadi perkebunan yang menjadi devisa penting dalam bentuk pabrik gula.

Alamsyah (2008) mengungkapkan bahwa pada masa Pakubuwono II berkuasa, Sunan meminta bantuan kepada VOC untuk menumpas pemberontak Cina yang berlangsung selama 3 tahun yaitu pada tahun 1740 hingga 1743. Di Tegal terjadi pemberontakan yang disebut “Geger Pecinan” sebagai bentuk

pemberontakan atas kompetisi dagang antara VOC dan pedagang Cina.

Di akhir abad XIX, Belanda memasuki periode liberal yang ditandai dengan memberikan peluang bisnis kepada pihak swasta yang dikelola oleh orang Belanda maupun Cina. Setelah pemerintahan liberal, pemerintahan Belanda melakukan politik etis dengan masyarakat pribumi. Terjadi desentralisasi kekuasaan yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda atas Tegal. Pada tahun 1901, Tegal dijadikan 2 wilayah penting yaitu kota dan kabupaten (Soemarna 1984).

Masuknya etnis Cina, Arab, dan Madura di Tegal dikarenakan hubungan dan kepentingan dagang. Hal ini dikarenakan oleh adanya pelabuhan di Tegal. Potensi pelabuhan di Tegal berkembang dengan cepat, terutama fasilitas jasa yang dikarenakan adanya hasil produksi dari pertanian dan perkebunan yang melimpah di Tegal. Hasil pertanian dan perkebunan yang dikembangkan di Tegal, antara lain padi, tebu (setelah tahun 1840, permintaan terus meningkat), kopi (di tanah-tanah kering), Faktor ini mendorong kerjasama antara masyarakat pribumi dan masyarakat etnis dalam mengembangkan sektor jasa di pelabuhan Tegal. Keberadaan kebudayaan maritim dikarenakan adanya pelabuhan di Tegal dan dinamika masyarakat pesisir dimulai sejak masa Mataram Islam (Alamsyah 2004).

(42)

Kebudayaan Tegal

Kebudayaan di Tegal sangat beragam, tetapi masih berpegang teguh pada budaya Jawa. Masyarakat Tegal dikenal bersifat terbuka yaitu berkeinginan untuk mengenal pengetahuan baru. Perkembangan kebudayaan diawali dengan sebuah tradisi. Penyelenggaraan tradisi di Tegal, selain berasal dari nilai-nilai budaya Jawa juga berasal dari pengaruh-pengaruh budaya lainnya, seperti Cina dan Arab (Kustomo 2004).

Masyarakat Tegal memiliki kebiasaan kegiatan berkumpul disertai dengan acara minum teh bersama yang dikenal dengan tradisi moci. Kegiatan ini biasanya dilaksanakan pada malam hari oleh laki-laki. Menurut Su’ud (2003), tradisi minum teh yang dimulai pada tahun 1930-an, dilatarbelakangi dengan berdirinya pabrik teh di Tegal. Tradisi moci ini dilakukan dengan poci yang terbuat dari tanah liat. Menurut Kustomo (2004), teh poci menggunakan campuran antara gula batu dan teh pahit aroma melati diseduh dengan menggunakan poci dari tanah liat. Traidisi mengisyaratkan untuk selalu membina kerukunan antar sesama dan rasa syukur pada Yang Maha Kuasa.

Adapun tradisi masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh penghargaan dan rasa hormat kepada tokoh Mbah Panggung. Mbah Panggung merupakan tokoh yang berperan serta mendirikan Tegal. Menurut Hartatik (2009), kepercayaan yang berkembang di Tegal yaitu dahulu Tegal merupakan sebuah atol (pulau karang) yang dikelilingi oleh laut. Kemunculan Tegal berasal dari penggabungan sebuah atol dengan Pulau Jawa. Atol ini dipercaya merupakan tempat Mbah Panggung untuk bermunajad. Saat ini, Atol dipercaya terletak di Kelurahan Panggung, Tegal. Tradisi yang dilakukan setiap tanggal 6 bulan Syaban untuk mengenang jasa Mbah Panggung yaitu sowan (ziarah) ke makam Mbah Panggung, kemudian dilanjutkan dengan nglarung sesaji di laut.

Tradisi lainnya yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Tegal dilatarbelakangi oleh sejarah Tegal pada era Mataram saat mengadakan penyerangan ke Batavia. Bentuk strategi Mataram yaitu mendirikan bedeng

(43)

sebuah rumah makan yang saat ini dikenal dengan warung Tegal atau “warteg”. Hingga saat ini, pendirian usaha warteg menjadi tradisi yang membudaya bagi masyarakat Tegal untuk memenuhi kebutuhan ekonomi di kota-kota besar (Rahayu 1999).

Carey (2008) menyatakan bahwa hubungan antara masyarakat keturunan Cina dan Jawa telah lama terjalin sejak abad XIX. Keberadaan kebudayaan Cina di Tegal telah mengakar pada masyarakat Tegal. Tradisi kebudayaan Cina di Tegal yang terkenal yaitu Toa Pe Kong dapat dilihat pada gambar 7. Perayaan Toa Pe Kong termasuk ke dalam rangkaian perayaan tahun baru Imlek, acara perayaan Capgome. Kegiatan diwarnai dengan sembahyang kepada dewa pujaan umat Tao, yakni Tek Hay Cin Jin. Sejumlah umat melakukan sembahyang untuk memohon berkah kepada dewa yang dianggap sebagai panglima para dewa tersebut. Bagi masyarakat Kota Tegal dan sekitarnya, khususnya kaum nelayan, Tek Hay Cin Jin merupakan dewa pelindung (nama asli Kwee Lak Kwa) dijadikan sebagai dewa pujaan utama di Kelenteng Tek Hay Kiong Kota Tegal. Beberapa sesaji berupa daging ayam serta makanan lain dan air yang telah dicampur dengan bunga yang telah disembahyangi diperebutkan bagi masyarakat Tegal karena dipercaya membawa berkah.

(44)

Arsitektur tradisional khas Tegal yaitu tipe limasan dikenal dengan potong inten (limasan kilen) (Daryono et al. 2008). Nas dan Vletter (2008) menyatakan bahwa unit dasar tipe limasan diperluas pada bagian sisi kanan dan kiri. Penambahan kolom dengan struktur atas yang menjurai. Bagian tengah rumah dibangun sedikit lebih tinggi.

Tegal memiliki sumber peninggalaan kebudayaan yang mempengaruhi tata ruang Tegal. Perkembangan dan perubahan tata ruang di Tegal terjadi pada era Mataram hingga kolonial. Perubahan ini juga berdampak pada perubahan dan kedudukan sistem pemerintahan. Wujud bangunan arsitektur pada bagian utara Tegal banyak menampakan ciri bangunan Indis. Hal ini sebagai wujud peninggalan di era kolonial, bangunan Indis di Tegal ditandai dengan adanya kolom-kolom tipe dorik sebagai penciri arsitektur bergaya Eropa, sedangkan konsep arsitektur budaya Jawa, seperti pendopo terlihat pada tata ruang balai pemerintahan di Tegal dapat dilihat pada (Gambar 8). Adapun tata ruang yang umumnya terdapat pada sebagian besar daerah di Jawa yaitu alun-alun. Alun-alun difungsikan sebagai pusat aktivitas masyarakat (town center). Alun-alun dikenal sebagai penciri konsep tata ruang khas Jawa (Larasaty 2007).

Bangunan Balai Kota Lama (Gedung Pendopo di Balai Pemerintahan Tegal.

DPRD)

Gambar 8 Sumber Peninggalan Budaya di Tegal (Sumber: Daryono et al. 2008).

(45)

pancer (Daryono et al. 2008). Menurut Santoso (1981), alun-alun pada zaman prakolonial berfungsi sebagai :

1) lambang berdirinya sistem kekuasaan raja terhadap rakyatnya, 2) tempat semua upacara keagamaan yang penting,

3) tepat pertunjukan kekuasaan militeris yang bersifat profane.

Konsep alun-alun di Tegal memiliki kesamaan dengan alun-alun di Yogyakarta dan Surakarta, hanya terdapat sedikit perbedaan. Kesamaan tersebut berdasarkan konsep tata ruang Jawa yang diwakilkan dengan keberadaan bangunan-bangunan penting di sekitar alun-alun. Sebelah barat alun-alun Tegal berdiri bangunan Masjid Agung Tegal. Sebelah timur berdiri kompleks bangunan pusat pemerintahan Tegal. Sebelah barat alun-alun Tegal berdiri bangunan pelayanan masyarakat. Sebelah selatan dihubungkan dengan akses menuju Taman Pancasila dan Stasiun Tegal (Anonim 2007).

Tata Ruang Tegal

Tegal sebagai salah satu wilayah di bagian Utara Jawa dekat dengan Pantai Utara Jawa (pantura). Wilayah Tegal membentang dari pantai di bagian utara hingga daerah gunung di daerah selatan. Tegal sebagai salah satu kota yang dibangun pemerintah Hindia Belanda juga didirikan pada awal abad XX. Pada abad masuknya pemerintahan Hindia Belanda menyebabkan wilayah Tegal dibagi menjadi 2 yaitu kota dan kabupaten (Daryono et al. 2008).

Pada bagian kota Tegal banyak terjadi akulturasi budaya yaitu terdapat perkampungan Arab, Cina, hingga perumahan orang-orang Eropa pada pemerintahan Hindia Belanda (Kartodirdjo, 1999). Sekitar pelabuhan pada bagian kota Tegal banyak berdiri bangunan bergaya arsitektur Belanda, seperti rumah tinggal, perkantoran, pabrik, dan hotel (Daryono et al. 2008).

Slawi sebagai Ibu Kota Kabupaten Tegal yang terletak di sebelah selatan Kota Tegal. Slawi berbatasan dengan Kecamatan Adiwerna di utara, Kecamatan

Pangkah di timur, Kecamatan Lebaksiu di selatan dan Kecamatan Dukuhwaru di

(46)

METODOLOGI

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di wilayah kota dan kabupaten Tegal (Gambar 9). Tegal merupakan salah satu daerah yang terletak di sebelah utara Jawa Tengah. Wilayah Tegal tersebut berbatasan dengan :

1) sebelah utara adalah Laut Jawa

2) sebelah timur adalah Kabupaten Pemalang 3) sebelah barat adalah Kabupaten Brebes

4) sebelah selatan adalah Kabupaten Brebes dan Banyumas

Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai bulan Maret sampai dengan Agustus 2010.

(47)

Metode dan Tahapan Penelitian

Pelitian dilakukan dengan menggunakan metode deskriptif yang dilakukan melalui survei lapang dan penelusuran informasi sejarah-kebudayaan. Sumber informasi tersebut diketahui melalui penelusuran sumber tertulis dan sumber tak tertulis (Gottschalk 1983). Beberapa langkah penting dalam penelitian ini yaitu:

1) pemilihan dan penetapan subjek yang diteliti: elemen-elemen penting taman rumah tinggal, tradisi, dan budaya masyarakat Tegal.

2) sumber informasi untuk mendukung dan mendefinisikan subjek yang diteliti: arsip penting, narasumber ahli seperti sejarawan dan budayawan Tegal, lanskap budaya, bangunan arsitektural, dan studi literatur.

3) melakukan analisis terhadap butir (2) dalam koridor butir (1), dan

4) menarik kesimpulan dari hasil analisis pada butir (2) yang dapat mewakili hasil kajian.

Berdasarkan langkah-langkah tersebut, maka disusun tahapan penelitian sebagai berikut:

1. Tahapan Pengumpulan Informasi

Tahap ini ditujukan untuk mendokumentasikan informasi yang diperoleh melalui observasi lapang, wawancara, dan studi literatur. Secara rinci adalah sebagai berikut:

(48)

Tabel 4. Lokasi, Jumlah, dan Pemilik Rumah Objek Penelitian

b. Wawancara: suatu cara untuk menghimpun informasi berkaitan dengan pandangan mengenai informasi budaya tegal dan elemen taman rumah tinggal masyarakat Tegal. Informasi ini diperoleh melalui narasumber seperti sejarawan, budayawan, dan tokoh-tokoh praktisi yang mengetahui latar belakang kebudayaan masyarakat Tegal (Tabel 5).

Tabel 5. Daftar Nama Narasumber

No. Narasumber Bidang Pekerjaan

1 Yono Daryono Tokoh teater di Jawa Tengah dan

budayawan Tegal

2 Eko Tunas Seniman dan Budayawan Tegal

3 Nurngudiono Kepala Dewan Kesenian Tegal

4 Akur Sujarwo Kepala Dispora Tegal

5 Atmo Tan Sidik Budayawan Tegal dan Kepala Sie.

Media Cetak dan Elektronik di Kantor Informasi dan Humas Kab. Brebes

6 Wijanarto Budayawan Tegal

7 Agus Wijanarko Budayawan Tegal

8 Pujianto ustad di Kelurahan Panggung, Tegal

(49)

Wawancara dilakukan dengan metode indepth interview yaitu secara langsung dan mendalam dengan narasumber terkait. Wawancara ini dilakukan dengan mengambil topik-topik kepada narasumber mengenai karakter dan budaya masyarakat Tegal, tata ruang tempat tinggal, tanaman khas yang ditanam di sekitar tempat tinggal, pengaruh, dan aktivitas tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Tegal.

c. Studi Literatur: cara ini ditempuh untuk menelusuri sumber-sumber tertulis. Sumber-sumber tertulis tersebut dapat berupa arsip penting dan literatur pustaka. Arsip penting diperoleh dari dinas-dinas pemerintahan Tegal dan literatur diperoleh dari perpustakaan daerah Tegal, jejaring berkala, jurnal, buku-buku dari budayawan Tegal, dan perpustakaan LSI-IPB.

2. Deskripsi Informasi

Pada tahapan ini, informasi dideskripsikan dengan melihat hubungan keterkaitan antara informasi satu dan yang lainnya secara tepat. Informasi yang diambil pada tahap pengumpulan informasi disajikan dalam bentuk (Tabel 6):

Tabel 6. Jenis, Bentuk, dan Sumber Data

Jenis Data Bentuk Data Sumber Data

Pola Rumah Tinggal

(50)

a. Tahap klasifikasi dan pengumpulan yaitu untuk memudahkan penelusuran faktor-faktor budaya dan elemen-elemen penting taman rumah tinggal.

b. Penentuan dan pembagian tingkat pentingnya informasi dan hubungan keterkaitan dengan informasi lainnya. Tahap ini dilakukan pembahasan secara mendalam.

4. Sistesis dan Konsep

Tahap ini merupakan penjabaran hasil analisis untuk mengetahui kekhasan elemen-elemen penting taman rumah tinggal masyarakat Tegal. Elemen-elemen penting tersebut dapat mencitrakan masyarakat Tegal. Dari Elemen-elemen tersebut disusun suatu konsep yang dapat dijadikan dasar dalam mendesain taman rumah tinggal masyarakat Tegal.

Kerangka Berpikir Penelitian

Kerangka berpikir ini dilatarbelakangi oleh terbatasnya informasi mengenai taman rumah tinggal masyarakat Tegal, sehingga perlu dilaksanakan penelitian dengan langkah awal meliputi kegiatan observasi lapang, studi literatur, dan wawancara. Langkah selanjutnya dalam penelitian ini akan diperoleh informasi mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal pada tiga wilayah di Tegal yang dilakukan langsung melalui observasi lapang. Dari langkah penelitian melalui studi literatur akan diperoleh informasi terkait secara teori mengenai elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal di Tegal. Wawancara dengan narasumber dapat diperoleh suatu pengetahuan dan pendapat mengenai informasi terkait. Dari keseluruhan informasi tersebut kemudian dilakukan sintesis untuk mendapatkan hubungan yang saling keterkaitan untuk memperkuat pemahaman mengenai kekhasan elemen-elemen taman dan karakter arsitektur rumah tinggal yang disesuaikan dengan latar belakang budaya dan tradisi masyarakat Tegal.

(51)
(52)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Observasi Lapang

Pola tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal pada ketiga wilayah yaitu dekat pantai (pesisir), perkotaan, dan pegunungan memperlihatkan pola yang relatif sama. Pada umumnya tata ruang rumah tinggal masyarakat Tegal terdiri atas halaman depan, rumah, dan halaman belakang. Antara halaman depan dan rumah terdapat teras.

Orientasi arah pembangunan rumah tinggal di Tegal umumnya mengikuti arah utara atau selatan. Orientasi arah pembangunan rumah tinggal masyarakat perkotaan dan pegunungan tidak seluruhnya mengarah ke utara atau selatan, tetapi juga mengikuti jalan di depannya. Batas rumah antara ketiga wilayah memiliki perbedaan, pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan memiliki pagar yang terbentuk dari penanaman tanaman, sedangkan pada masyarakat perkotaan lebih banyak menggunakan dinding bata atau fence. Gerbang pada rumah tinggal masyarakat pesisir dan pegunungan umumnya tidak terlihat jelas, sedangkan pada rumah tinggal masyarakat perkotaan terlihat jelas ditandai dengan pintu masuk (Tabel 7).

Sirkulasi pada ketiga wilayah umumnya sama yaitu terlihat lurus menuju pintu masuk rumah. Pada rumah tinggal masyarakat perkotaan di Tegal terdapat golongan bangsawan di Tegal. Komponen sumur dan dapur diletakkan terpisah dari bangunan utama rumah masyarakat pesisir. Antara bangunan utama rumah dan dapur terdapat ruang terbuka dengan bagian penutup dari tanah liat atau tegel.

(53)

Tabel 7. Perbandingan Komponen Tata Ruang Rumah Tinggal Masyarakat Tegal

Orientasi Ruang utara-selatan Utara-Selatan atau

mengikuti jalan

Utara-Selatan atau mengikuti jalan

Batas Tapak Ada, tidak konsisten,

ada yang berpagar

Halaman Depan Luas Luas atau sempit Luas atau sempit

Sirkulasi Utama Lurus dengan pintu

rumah

Halaman Belakang Luas Sempit Luas atau sempit

Halaman Samping Ada atau tidak ada Ada atau tidak ada Ada atau tidak ada

Sumur Terpisah dari rumah Menyatu Menyatu

Dapur Terpisah dari rumah Menyatu Menyatu

Gambar

Gambar 6 Bagian Ruang Dalem Ageng (Sumber: Kusyanto 2007).
Tabel 3. Tanaman Disertai Fungsi dan Makna pada Tata Ruang Jawa
Gambar 7 Perayaan Toa Pe Kong di Tegal (Sumber: Daryono et al. 2008).
Gambar 9 Peta Wilayah Kota Tegal dan Kabupaten Tegal serta Batas  Administrasi Kecamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Shifting diperlakukan pada lantai FOH dengan permainan level yang membagi lobby dan restoran menjadi area-area yang berbeda namun tetap memiliki kesatuan (gambar

a) Obyek pengaturan agraria dalam wilayah Indonesia. Obyek yang dimaksud adalah seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya. b)

Meningkatkan keterampilan masyarakat yang bermukin pada wilayah pantai di Palanro Kabupaten Barru tentang pekerjaan finishing jamban keluarga dari kayu model

Konsekuensinya, siapa yang melakukan tindakan korupsi sudah pasti harus bersalah dan merasa malu, karena telah melawan hati nuraninya.. Rasa malu dan rasa bersalah

Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh antara perilaku manajer atas isu manajemen lingkungan terhadap kinerja keuangan perusahaan dengan menggunakan variabel intervening

This book is a tour de force, certainly the best book in English on the subject. It looks at Bauls with fresh eyes, is both thoughtful and thought-provoking, and provides many

Sejalan dengan tujuan hukum yaitu hukum sebagai kontrol sosial, maka usaha-usaha yang dilakukan dalam memberikan bantuan hukum pada tingkat penyidikan dibedakan menjadi