• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Tataniaga Kubis (Studi Kasus: Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan)"

Copied!
212
0
0

Teks penuh

(1)

1

I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Subsektor hortikultura berperan penting dalam mendukung perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat melalui nilai Produk Domestik Bruto (PDB). Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura memberikan gambaran seberapa jauh kontribusi yang diberikan subsektor hortikultura terhadap pendapatan nasional. Komoditas yang termasuk dalam subsektor hortikultura meliputi buah-buahan, sayuran, tanaman hias, dan biofarmaka. Kontribusi komoditas tersebut dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan PDB Hortikultura Tahun 2006-2010

Komoditas Nilai PDB (Milyar Rp.)

2006 2007 2008 2009 2010

Buah-Buahan 35.447,59 42.362,48 47.059,78 48.436,70 45.481,89 Sayuran 24.694,25 25.587,03 28.205,27 30.505,71 31.244,16 Tanaman Hias 4.734,27 4.740,92 5.084,78 5.494,24 6.173,97 Biofarmaka 3.762,41 4.104,87 3.852,67 3.896,90 3.665,44 Hortikultura 68.638,53 76.795,30 84.202,50 88.333,56 86.565,49

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)

Pada tahun 2006 hingga tahun 2009 nilai Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura mengalami peningkatan. Namun pada tahun 2010 nilai tersebut mengalami penurunan sebesar Rp 1.768,07 milyar atau sekitar dua persen jika dibandingkan pada tahun 2009. Pada tahun 2010 komoditas buah-buahan memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura sebesar Rp 45.481,89 milyar atau sekitar 52,54 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura. Meskipun demikian, nilai tersebut menurun sebesar Rp 2.954,81 milyar (6,1 persen) jika dibandingkan tahun 2009. Komoditas selanjutnya yang memberikan sumbangan terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) hortikultura tahun 2010 yaitu sayuran (Rp 31.244,16 milyar atau sekitar 36,09 pesen). Kontibusi sayuran dalam Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan tahun 2009. Peningkatan tersebut sebesar Rp 738,45 milyar (2,42 persen).

(2)

2 memberikan kontribusi terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional yaitu cabai besar, bawang merah, cabai rawit, tomat, kentang, kubis, dan bawang daun, sedangkan jenis sayuran yang memberikan sumbangan yang relatif kecil dalam Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional digolongkan ke dalam komoditas sayuran lainnya. Berikut disajikan data Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran terhadap total Produk Domestik Bruto (PDB) sayuran nasional tahun 2009-2010 pada Tabel 2.

Tabel 2. PDB Beberapa Komoditas Sayuran Terhadap Total PDB Sayuran Nasional Tahun 2009-2010

No. Komoditas 2009 2010 Total Sayuran 30.505,71 100,00 31.244,16 100,00

Sumber: Direktorat Jenderal Hortikultura, Kementerian Pertanian (2011)

Nilai Produk Domestik Bruto (PDB) beberapa komoditas sayuran (cabai besar, bawang merah, dan kubis) meningkat pada tahun 2010. Kubis berada di posisi terbesar ketiga sebagai komoditas yang mengalami peningkatan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 78,33 milyar (0,09 persen) setelah bawang merah (Rp 443,54 ; 1,1 persen) dan cabai besar (Rp 267,37; 0,36 persen). Peningkatan nilai tersebut salah satunya dipengaruhi oleh peningkatan produksi kubis pada tahun 2010. Hal tersebut dapat dilihat pada Lampiran 1. Pada tahun 2006 hingga tahun 2010 produksi kubis merupakan jumlah yang tertinggi dibandingkan jenis sayuran lainnya dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 2,22 persen. Pertumbuhan tersebut relatif stabil setiap tahun. Hal ini dilihat dari produksi per tahun yang selalu meningkat secara bertahap.

(3)

3 pendapatan petani1. Selain itu, kubis memiliki banyak kegunaan terutama dalam memenuhi konsumsi rumah tangga dan mengandung berbagai vitamin dan mineral. Kubis banyak ditanam di dataran tinggi, relatif cepat dipanen yaitu pada usia tiga hingga empat bulan, dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah dan dapat ditanam sepanjang tahun. Hal ini yang menjadi salah satu alasan petani memilih untuk menanam kubis. Varietas kubis sangat beragam dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia. Hampir sebagian besar daerah di Indonesia memproduksi kubis, mulai dari Aceh hingga Papua. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Lampiran 2.

Berdasarkan Lampiran 2 ditunjukkan bahwa Provinsi Sumatera Selatan turut memproduksi kubis. Pada tahun 2009 produksi kubis di Provinsi Sumatera Selatan menempati urutan ke-13 dari 29 Provinsi penghasil kubis di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2010 Provinsi Sumatera Selatan termasuk ke dalam lima besar dari Provinsi-Provinsi yang mengalami peningkatan produksi kubis (Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa Tengah, Bali, dan Sulawesi Selatan). Meskipun di tahun tersebut terjadi penurunan luas panen kubis sebesar 65 hektar, dari sebelumnya 554 hektar pada tahun 2009 menjadi 489 hektar pada tahun 2010. Namun produksi kubis pada tahun 2010 di Provinsi Sumatera Selatan meningkat sebesar 43 ton (0,49 persen) yang berimplikasi pada peningkatan produktivitas sebesar 2,18 ton per hektar.

Kota Pagar Alam adalah sentra produksi sayuran dan penghasil kubis nomor satu di Provinsi Sumatera Selatan. Kondisi tersebut didukung oleh keadaan alam Kota Pagar Alam yang didominasi dataran tinggi sehingga cocok untuk budidaya kubis. Data luas panen, produksi, dan produktivitas kubis menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan tahun 2009- 2010 dapat dilihat pada Tabel 3. Pada Tabel 3 diketahui bahwa di tahun 2009 dan tahun 2010 Kota Pagar Alam merupakan wilayah yang memiliki luas panen dan produksi kubis terbesar di Provinsi Sumatera Selatan. Penurunan luas panen yang terjadi pada tahun 2010 tidak berpengaruh terhadap produksi kubis yang dihasilkan. Meskipun pada tahun 2010 terjadi penurunan luas lahan sebesar 19 hektar yaitu dari semula 325 hektar

1

Tingkatkan Bobot Kubis dengan Pupuk Organik. http://pupuknpkorganiklengkap.blogspot.com/2009/11/tingkatkan-bobot-kubis-dengan

(4)

4 di tahun 2009 menjadi 306 hektar di tahun 2010, produksi kubis justru mengalami peningkatan sebesar 120 ton yaitu dari 5.971 ton di tahun 2009 menjadi 6.091 ton di tahun 2010.

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Selatan Tahun 2009-2010

Kabupaten/ dibandingkan jenis sayuran unggulan lainnya seperti kentang, cabai, dan tomat. Total produksi kubis setiap tahun selalu menjadi yang paling tinggi dan terus

Gambar 1.Total Produksi Sayuran Unggulan Kota Pagar Alam Tahun 2006-2010

Sumber: Provinsi Sumatera Selatan Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Sumatera Selatan (2007- 2011), diolah

Ton

(5)

5 Wilayah di Kota Pagar Alam yang memiliki luas panen dan volume produksi kubis terbesar berada di Kecamatan Dempo Utara. Pada Tahun 2010 menurut data Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, luas panen dan produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara yaitu 155 hektar dan produksi 73,30 persen dari total produksi kubis di Kota Pagar Alam. Kemudian diikuti Kecamatan Pagar Alam Selatan ( 83 hektar; 20,64 persen ), Pagar Alam Utara (43 hektar; 4,10 persen), Dempo Selatan (16 hektar; 1,49 persen), dan Dempo Tengah (9 hektar; 0,47 persen).

Keadaan tanah yang subur dan letaknya yang berada di dataran tinggi (705m-1200m diatas permukaan laut) sangat mendukung dalam pengembangan kubis di wilayah Kecamatan Dempo Utara. Sentra produksi kubis di Kecamatan Dempo Utara berada di Kelurahan Agung Lawangan. Sebagian besar lahan di Kelurahan tersebut ditanami kubis karena kesesuaian iklim dan jenis tanahnya yang subur. Kubis yang dihasilkan di daerah ini dijual ke pasar lokal yaitu pasar terminal Kota Pagar Alam dan pasar luar kota seperti Kota Muara Enim dan Kabupaten Lahat. Volume penjualan kubis ke luar kota umumnya lebih besar dibandingkan ke pasar lokal.

1.2. Perumusan Masalah

Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengecer (lokal) dan pedagang pengecer luar kota (non-lokal). Keterlibatan lembaga-lembaga tataniaga tersebut dipengaruhi oleh jarak antara produsen dan konsumen (konsumen akhir luar kota) yang cukup jauh sehingga umumnya membentuk saluran tataniaga yang panjang.

(6)

6 yang telah dijalankan tersebut. Besaran biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang didapat oleh masing-masing lembaga tataniaga mencerminkan besaran margin yang terbentuk. Umumnya saluran tataniaga yang panjang akan membentuk total margin yang nilainya relatif besar.

Margin yang terbentuk juga dapat dilihat melalui perbedaan harga yang diterima petani dan harga yang dibayarkan konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani kubis di Kota Pagar Alam termasuk Kelurahan Agung Lawangan dan yang dibayarkan konsumen akhir lokal (Kota Pagar Alam) cenderung fluktuatif setiap bulannya. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010 dapat dilihat pada Tabel 4. Pada tahun 2010 harga rata-rata tertinggi yang diterima petani kubis yaitu Rp 1.700,00 per kilogram dan harga terendah yaitu Rp 250,00 per kilogram, sedangkan harga rata-rata tertinggi yang dibayarkan konsumen akhir yaitu Rp 5.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 1.250,00 per kilogram. Harga tertinggi kubis pada bulan Januari hingga Maret 2012 yaitu Rp 3.000,00 per kilogram dan harga terendah Rp 500,00 per kilogram. Dampak fluktuasi harga tersebut berpengaruh pada pendapatan petani kubis karena petani tidak bisa memprediksi harga kubis yang akan mereka terima setelah panen.

Selisih harga rata-rata kubis yang diterima petani dan yang dibayarkan konsumen akhir di Kota Pagar Alam cukup besar, mencapai Rp 4500,00. Nilai inilah yang disebut margin tataniaga. Margin tataniaga yang tinggi menggambarkan bahwa lembaga-lembaga tataniaga memperoleh bagian pendapatan yang lebih besar dibandingkan petani sehingga tataniaga diindikasikan tidak efisien jika dilihat dari indikator margin tataniaga.

(7)

7 menunjukkan bahwa petani menerima 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Nilai farmer’s share yang rendah juga mengindikasikan bahwa tataniaga tidak efisien jika dilihat dari indikator farmer’s share.

Tabel 4. Harga Rata-rata Kubis yang Diterima Petani dan Konsumen Akhir di Kota Pagar Alam Tahun 2010, Margin Tataniaga, dan Farmer’s Share

Rata-rata Tahun 2010 712,50 2.875,00 2.162,50 27,63

Sumber: Sub Terminal Agribisnis dan Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011), diolah

Permasalahan yang juga dihadapi petani kubis yaitu dalam posisi tawar-menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain seperti pedagang yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah). Petani sebagai produsen merupakan pihak yang menerima harga (price taker) sehingga tidak memiliki pengaruh dalam penentuan harga.

Berdasarkan uraian diatas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam?

(8)

8

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini, antara lain:

1. Menganalisis saluran tataniaga dan fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga, serta struktur pasar dan perilaku pasar yang terjadi dalam tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.

2. Menganalisis efisiensi setiap saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi bagi petani kubis dan lembaga tataniaga lainnya untuk dapat meningkatkan pendapatan melalui rekomendasi yang diberikan.

2. Sebagai informasi bagi pemerintah setempat dalam menetapkan kebijakan mengenai tataniaga kubis di Kota Pagar Alam.

3. Sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya khususnya yang terkait dengan tataniaga kubis.

4. Sebagai praktik bagi penulis dalam menerapkan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari selama masa perkuliahan untuk menambah pengalaman dan pengetahuan baru yang diperoleh di lapang.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

(9)

9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Komoditi Kubis

Kubis juga disebut kol dibeberapa daerah. Kubis merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan pada sektor agribisnis yang dapat memberikan sumbangan yang besar dalam peningkatan kesejahteraan petani dalam Herviyani (2009). Kubis sebagai sayuran mempunyai peran penting untuk kesehatan manusia. Kubis banyak mengandung vitamin dan mineral yang sangat dibutuhkan tubuh manusia. Secara umum, semua jenis kubis mampu tumbuh dan berkembang pada berbagai jenis tanah. Namun, kubis dapat tumbuh optimum bila ditanam pada tanah yang kaya bahan organik. Kubis tidak dapat tumbuh dengan baik di tanah yang sangat asam. Keasaman optimum untuk pertumbuhan kubis antara 5,5-5,6. Kubis akan tumbuh dengan baik bila ditanam didaerah dengan suhu optimum 150-200C. Jika suhu melebihi 250C maka pertumbuhan kubis akan terhambat. Kubis dapat dipanen pada umur tiga hingga bulan.

Permasalahan yang dihadapi petani dalam penanaman kubis antara lain serangan hama dan penyakit serta pemasaran. Menurut Susila (2006), hama yang biasanya menyerang kubis yaitu ulat daun, ulat krop, Chartopilla brassicae, dan Pieris brassicae. Sedangkan penyakit yang biasanya menyerang kubis yaitu

Bacterium xanthomonas campestris, Alternaria brassicae, Fusarium oxysporum,

Rhizoctonia solani kuhn, dan Damping-off. Tataniaga menjadi kendala yang serius

dalam budidaya kubis. Pada saat harga tinggi petani cenderung untuk menanam kubis, akibatnya produksi melimpah, harga kubis jatuh dan petani mengalami kerugian.

2.2. Sistem Tataniaga dan Efisiensi Tataniaga

(10)

10 bawang di wilayah yang berbeda. Sedangkan Ariyanto (2008) dan Agustina (2008) menjelaskan hanya terdapat tiga pola saluran tataniaga untuk komoditi bayam dan kubis. Noviana (2011) menjelaskan lebih ringkas, bahwa hanya terdapat dua pola saluran tataniaga untuk komoditi jamur tiram yaitu; Pola I : Petani – Pedagang pengumpul desa – Pedagang besar/grosir - Pedagang pengecer

– Konsumen akhir dan Pola II : Petani – Konsumen akhir. Panjang-pendeknya suatu saluran tataniaga belum dapat menggambarkan suatu efisiensi tataniaga.

Lembaga-lembaga tataniaga dalam kegiatan tataniaga atau pemasaran menjalankan fungsinya masing-masing. Fungsi-fungsi tataniaga meliputi fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Ariyanto (2008) menjelaskan bahwa petani sebagai produsen menjalankan ketiga fungsi tersebut, yaitu fungsi pertukaran yang berupa fungsi penjualan, fungsi fisik yakni kegiatan pengemasan dan pengangkutan, dan fungsi fasilitas meliputi informasi pasar, penanggungan resiko dan pembiayaan. Berbeda dengan Agustina (2008), Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011) mengemukakan bahwa petani hanya menjalankan dua dari tiga fungsi tataniaga yang ada. Agustina (2008) menemukan bahwa petani tidak melakukan fungi fasilitas. Fungsi fasilitas dijalankan oleh lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecer dalam hal standardisasi/grading, pembiayaan, penanggungan resiko dan informasi harga. Petani juga tidak menjalankan fungsi fisik menurut Noviana (2011), Wacana (2011) dan Utama (2011). Pedagang pengumpul, pedagang grosir, pedagang pengecer dan lembaga tataniaga lainlah yang menjalankan fungsi fisik tersebut. Lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul, grosir, dan pengecerpun turut menjalankan fungsi pertukaran dalam hal pembelian dan penjualan. Pedagang pengumpul misalnya, melakukan pembelian kepada petani dan penjualan ke pedagang pengecer.

(11)

11 petani yang banyak. Selain itu, petani juga bebas untuk keluar masuk pasar, produk petani bersifat homogen, dan informasi harga yang dimiliki petani cukup baik. Sistem penentuan harga dilakukan oleh pedagang berdasarkan harga yang berlaku di pasar sehingga kedudukan petani dalam sistem tataniaga sangat lemah (price taker).

Agustina (2008) menyatakan hal yang berbeda, bahwa petani kubis green cronet dihadapkan pada pasar yang mengarah ke oligopoli. Hal ini ditunjukkan

dengan banyaknya jumlah petani dibandingkan jumlah pedagang pengumpul, sedikitnya jumlah pedagang pengumpul menyebabkan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang pengumpul, sehingga petani hanya bertindak sebagai price taker akibat posisi tawar yang lemah walaupun dalam proses transaksi dilakukan secara tawar-menawar, dan komoditi yang diperjualbelikan bersifat homogen, serta informasi pasar diperoleh dari sesama petani dan pedagang pengumpul.

Pedagang pengumpul menghadapi pasar oligopoli atau oligopsoni menurut Agustina (2008), Ariyanto (2008), dan Wacana (2011) karena jumlah penjual dan pembeli yang terlibat dalam kegiatan pemasaran pada tingkat pedagang pengumpul sedikit dan terdapat hambatan bagi pedagang lain untuk memasuki pasar pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul memiliki keterikatan (hubungan yang erat) dengan petani. Setiap pedagang pengumpul telah memiliki petani langganan. Jumlah pedagang pengumpul sedikit dibandingkan dengan jumlah petani.

Struktur pasar yang dihadapi oleh pedagang pengecer bersifat persaingan sempurna. Ariyanto (2008) dan Utama (2011) melihat bahwa jumlah pedagang pengecer banyak, produk yang diperjualbelikan bersifat homogen dan pedagang pengecer tidak dapat mempengaruhi pasar sehingga bertindak sebagai price taker. Agustina (2008) dan Wacana (2011) menemukan hal yang berbeda bahwa pedagang pengecer masing-masing dihadapkan pada pasar oligopoli dan persaingan monopolistik. Dapat disimpulkan bahwa masing-masing lembaga tataniaga menghadapi struktur pasar yang bervariasi.

(12)

12 (2011) dan Utama (2011) menyebutkan setiap lembaga tataniaga melakukan praktek penjualan dan pembelian, kecuali petani yang tidak melakukan praktek pembelian (hanya melakukan praktek penjualan) serta konsumen akhir yang tidak melakukan proses penjualan (hanya melakukan praktek pembelian). Utama (2011) menggambarkan saluran pemasaran daun bawang yang dimulai dari petani yang menjual daun bawangnya dengan tiga cara, yaitu penjualan kepada pedagang pengumpul kebun (PPK), penjualan ke pedagang pengecer dan penjualan ke pedagang besar. Daun bawang yang telah dipanen oleh petani kemudian dijual kepada pedagang pengumpul kebun (PPK) selanjutnya PPK menjual kembali daun bawang tersebut melalui pedagang besar dan STA (Sub Terminal Agribinis), yang kemudian daun bawang dijual ke pedagang pengecer yang terdiri dari pedagang lokal dan supermarket. Praktek pembelian daun bawang ditingkat PPK dilakukan dengan petani kemudian PPK menjualnya ke pedagang besar. Pedagang pengecer membeli daun bawang dari pedagang besar.

Penentuan harga biasanya dilakukan melalui tawar menawar antar lembaga tataniaga. Utama (2011) menjelaskan bahwa harga daun bawang ditingkat petani lebih ditentukan oleh pedagang pengumpul kebun, karena sebagian besar petani mengandalkan PPK untuk memasarkan hasil panen daun bawang dengan pertimbangan kemudahan dalam akses pengangkutan menuju pasar dan PPK lebih menguasai pasar. Agustina (2008) menemukan bahwa penentuan harga ditingkat pedagang pengumpul didasarkan pada harga yang berlaku dipasaran. Sedangkan menurut Wacana (2011) sistem penentuan harga yang terjadi baik ditingkat petani hingga pedagang pengecer sebenarnya terbentuk dari hasil penyesuaian terhadap harga yang berlaku ditingkat pedagang pengecer.

Sistem pembayaran yang dilakukan antar lembaga tataniaga memiliki banyak keragaman diantaranya sistem pembayaran tunai, sistem pembayaran dibayar dimuka, sistem pembayaran sebagian, dan sistem pembayaran hutang. Namun sistem pembayaran tunai merupakan jenis sistem pembayaran yang selalu terdapat dalam transaksi oleh lembaga-lembaga tataniaga.

(13)

13 Lembaga tataniaga melakukan kerjasama atas dasar lamanya mereka melakukan hubungan dagang dan rasa saling percaya. Hal ini diperkuat oleh Utama (2011) bahwa pelaku – pelaku dalam kelembagaan daun bawang sudah menjalin kerjasama yang terjalin lama dan baik.

Analisis margin tataniaga bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi tataniaga dalam suatu aliran tataniaga. Margin tataniaga merupakan penjumlahan dari seluruh biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan yang diambil oleh lembaga tataniaga selama proses pendistribusian suatu komoditas. Semakin banyak lembaga tataniaga yang terlibat maka akan semakin memperbesar margin tataniaga. Margin tataniaga memiliki hubungan negatif dengan farmer’s share (bagian pendapatan yang diterima petani). Semakin tinggi margin tataniaga, maka bagian yang akan diperoleh petani semakin rendah. Indikator lain yang menentukan efisiensi suatu komoditas yaitu rasio keuntungan terhadap biaya

(π/c).

Agustina (2008), menunjukkan perhitungan margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya yang berbeda-beda pada setiap saluran

(14)

14 bahwa saluran yang efisien yaitu saluran III.

2.3. Keterkaitan dengan Penelitian Terdahulu

Kajian mengenai sistem tataniaga umumnya ditujukan untuk melihat efisiensi tataniaga pada komoditas yang diteliti. Efisien atau tidaknya suatu saluran tataniaga dilihat dari dua sisi yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Analisis kuantitatif meliputi analisis lembaga dan saluran pemasaran, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar dan perilaku pasar. Secara kualitatif efisiensi tataniaga diukur dari margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio

keuntungan terhadap biaya (π/c).

(15)

15

III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1. Konsep Tataniaga

Tataniaga atau pemasaran memiliki banyak definisi. Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) istilah tataniaga dan pemasaran berasal dari kata

marketing”. Tataniaga adalah kegiatan yang bertalian dengan penciptaan atau penambahan kegunaan barang dan jasa sehingga termasuk usaha yang produktif. Tataniaga menunjukkan semua aktivitas bisnis yang mempengaruhi arus atau aliran produk dan jasa dari titik produksi pertanian hingga ke tangan konsumen akhir (Kohl dan Uhl 2002). Menurut Dahl dan Hammond (1977), tataniaga produk-produk pertanian dapat dilihat sebagai serangkaian langkah-langkah, tahapan, atau fungsi-fungsi yang dibutuhkan untuk mengubah atau memindahan input atau produk dari titik produksi primer untuk konsumsi akhir. Serangkaian fungsi tersebut yaitu; pembelian, penjualan, penyimpanan, pengangkutan, pengolahan, standardisasi, pembiayaan, penanggungan risiko, dan informasi pasar.

Dalam tataniaga, barang mengalir dari produsen sampai kepada konsumen akhir yang disertai penambahan guna bentuk melalui proses pengolahan, guna tempat melalui proses pengangkutan dan guna waktu melalui proses tataniaga (Sudiyono 2002). Menurut Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya.

(16)

16 konsumen hingga produsen. Pendekatan serba lembaga mempelajari masalah-masalah tataniaga atau pemasaran melalui lembaga-lembaga tataniaga yang turut serta dalam penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Pendekatan serba barang melibatkan studi tentang bagaimana barang-barang tertentu berpindah dari produsen ke konsumen. Pendekatan teori ekonomi lebih menitik beratkan kepada masalah-masalah penawaran, permintaan, harga, bentuk bentuk pasar dan lain lain.

3.1.2. Lembaga dan Saluran Tataniaga

Lembaga tataniaga adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau fungsi tataniaga dimana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai pihak konsumen (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Lembaga tataniaga timbul karena adanya keinginan konsumen untuk memperoleh komoditi yang sesuai dengan waktu, tempat dan bentuk yang diinginkan konsumen (Sudiyono 2002).

Sudiyono (2002) juga menjelaskan bahwa lembaga tataniaga berdasarkan penguasaanya terhadap komoditi yang diperjualbelikan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Lembaga yang tidak memiliki tapi menguasai benda, seperti agen perantara, makelar (broker, selling broker dan buying broker).

b. Lembaga yang memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti pedagang pengumpul, tengkulak, eksportir dan importir.

c. Lembaga yang tidak memiliki dan menguasai komoditi-komoditi pertanian yang diperjualbelikan, seperti perusahaan-perusahaan penyediaan fasilitas-fasilitas transportasi, asuransi pemasaran dan perusahaan penentu kualitas produk pertanian (surveyor).

Hanafiah dan Saefuddin (2006) memberikan gambaran bahwa panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui suatu komoditi tergantung pada beberapa faktor, antara lain:

(17)

17 b. Cepat tidaknya produk rusak. Sifat produk yang cepat rusak menuntut penerimaan yang cepat pula ditangan konsumen, sehingga menghendaki saluran yang pendek dan cepat.

c. Skala produksi. Bila produksi berlangsung dalam ukuran-ukuran kecil maka jumlah produk yang dihasilkan berukuran kecil pula. Hal ini tidak menguntungkan bila produsen langsung menjualnya ke pasar. Dengan demikian dibutuhkan pedagang perantara dan saluran yang akan dilalui produk cenderung panjang.

d. Posisi keuangan pengusaha. Produsen yang posisi keuangannya kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga.

3.1.3 Fungsi-fungsi Tataniaga

Peningkatan nilai guna suatu komoditi dipengaruhi oleh fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat. Fungsi tataniaga dikategorikan menjadi tiga yaitu fungsi pertukaran (exchange functions), fungsi fisik (physical functions), dan fungsi penyediaan sarana atau fasilitas (facilitating functions) (Kohl and Uhl 2002).

a. Fungsi Pertukaran (exchange function)

Fungsi pertukaran melibatkan kegiatan yang menyangkut pengalihan atau transfer hak kepemilikan dari satu pihak ke pihak lainnya dalam sistem tataniaga. Fungsi pertukaran terdiri dari fungsi penjualan dan fungsi pembelian. Fungsi penjualan antara lain mencari sumber pasokan, perakitan produk, dan aktivitas yang berhubungan dengan pembelian. Fungsi ini melibatkan baik perakitan produk mentah dari daerah produksi atau perakitan produk jadi ke tangan tengkulak lain untuk memenuhi tuntutan konsumen akhir.

(18)

18 b. Fungsi Fisik ( function of physical supply)

Fungsi fisik meliputi penanganan, perpindahan, dan perubahan fisik komoditi itu sendiri. Fungsi fisik meliputi hal-hal berikut.

1. Pengangkutan. Fokus utama fungsi pengangkutan yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada tempat yang tepat. Alternatif rute yang ditempuh dan jenis transportasi yang digunakan akan mempengaruhi biaya yang dikeluarkan.

2. Penyimpanan/pergudangan. Penyimpanan berarti menyimpan barang dari saat produksi mereka selesai dilakukan sampai dengan waktu mereka akan dikonsumsi. Fokus utama fungsi ini yaitu membuat barang-barang dapat tersedia pada waktu yang diinginkan.

3. Pemrosesan. Fungsi ini mencakup semua aktivitas yang mengubah bentuk dasar suatu produk. Misalnya: hewan hidup yang diproses menjadi daging ataupun tepung gandum yang diubah menjadi roti. c. Fungsi Penyediaan Sarana / fasilitas

Fungsi penyediaan fasilitas adalah kegiatan-kegiatan yang dapat membantu kelancaran kinerja pertukaran dan fungsi fisik. Fungsi ini meliputi hal-hal berikut.

1. Informasi pasar. Fungsi ini memiliki pengertian yaitu sebagai kegiatan mengumpulkan, menafsirkan, dan menyebarluaskan berbagai macam data yang diperlukan untuk menjalankan proses tataniaga.

2. Penanggungan risiko. Penanggungan risiko adalah menerima kemungkinan kerugian dalam tataniaga suatu produk. Risiko ekonomi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu risiko fisik dan risiko pasar. Risiko fisik adalah risiko yang terjadi akibat kerusakan produk itu sendiri, oleh karena kebakaran, kecelakaan, angin, gempa bumi, atau lainnya. Sedangkan risiko pasar adalah risiko yang terjadi karena perubahan nilai suatu produk yang dipasarkan.

(19)

19 4. Pembiayaan. Fungsi ini melibatkan penggunaan uang untuk menjalankan kegiatan tataniaga. Bentuk pembiayaan yang mudah dikenal yaitu kredit yang diberikan suatu lembaga atau sumber modal lainnya. Aktivitas ini dibutukan dalam pemasaran modern.

3.1.4. Struktur Pasar

Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa terdapat empat karakteristik pasar yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan struktur pasar yaitu:

1. Jumlah dan ukuran perusahaan (pangsa pasar yang dimiliki).

2. Keadaan produk yang diperjualbelikan (dilihat oleh pembeli). Produk yang diperjualbelikan dapat bersifat standardisasi (homogen) dan berbeda (diferensiasi), sehingga harga yang dibayarkan oleh konsumen untuk kedua jenis produk tersebut juga berbeda.

3. Mudah atau sulit untuk keluar-masuk pasar. Kondisi ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk masuk atau keluar pasar karena adanya suatu hambatan.

4. Tingkat pengetahuan (informasi) yang dimiliki oleh partisipan dalam tataniaga mengenai biaya, harga, dan kondisi pasar.

Dahl dan Hammond (1977) juga mengemukakan bahwa terdapat lima jenis struktur pasar yaitu: (1) Pasar persaingan sempurna (Pure competition), (2) Pasar Persaingan Monopolistik (Monopolistic Competition), (3) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni Murni (Pure Oligopoly/Oligopsony), (4) Pasar Oligopoli atau Oligopsoni diferensiasi (Differentiated Oligopoly/Oligopsony), (5) Pasar Monopoli atau Monopsoni (Monopoly/Monopsony). Kelima jenis pasar tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 5.

(20)

20 penjual mengenai kondisi pasar relatif sempurna, dan mobilitas faktor-faktor produksi juga berjalan secara sempurna.

Pasar persaingan monopolistik memiliki tiga karakteristik utama yaitu produk yang dihasilkan berbeda corak, jumlah penjual relatif banyak dan adanya persaingan nonharga. Pada pasar ini penjual dan pembeli relatif bebas untuk keluar masuk pasar.

Monopoli atau Monopsoni adalah struktur pasar dimana hanya ada satu penjual di pasar yang bersangkutan, sehingga tidak ada pihak lain yang menyainginya. Asumsi-asumsi yang mendasari monopoli yaitu: (1) Di pasar hanya satu penjual produk tertentu, (2) Produk yang dijual tidak ada barang substitusinya, (3) Adanya barier to entry ke pasar (baik legal atau natural).

Karakteristik utama oligopoli atau oligopsoni adalah adanya beberapa perusahaan yang menghasilkan produk homogen maupun berbeda corak, sehingga perilaku perusahaan satu mempengaruhi dan mendapat reaksi dari perusahaan lain. Akses keluar masuk pasar dalam pasar oligopoli atau oligopsoni sulit dan terdapat beberapa hambatan. Oligopoli yang menghasilkan produk homogen terstandardisasi disebut oligopoli murni (pure oligopoly), sedangkan oligopoli yang menghasilkan barang berbeda corak disebut differentiated oligopoly2. Tabel 5. Struktur Pasar dalam Sistem Pangan dan Serat

Karakteristik Struktural Struktur Pasar dari Sisi Jumlah

Perusahaan

Sifat Produk Penjual Pembeli

Banyak Standardisasi Persaingan Sempurna

Persaingan Sempurna Banyak Diferensiasi Persaingan

Monopolistik

Persaingan Monopsonistik Sedikit Standardisasi Oligopoli Murni Oligopsoni

Murni

Sedikit Diferensiasi Oligopoli

Diferensiasi

Oligopsoni diferensiasi

Satu Unik Monopoli Monopsoni

Sumber: Dahl dan Hammond (1977)

2

(21)

21

3.1.5. Perilaku Pasar

Perilaku pasar adalah pola kebiasaan pasar meliputi proses (mental) pengambilan keputusan serta kegiatan fisik individual atau organisasional terhadap produk tertentu, konsisten selama periode waktu tertentu. Kegiatan-kegitan perilaku meliputi tindakan penilaian, keyakinan, usaha memperoleh, pola penggunaan, maupun penolakan suatu produk (Budiarto 1993).

Ada tiga cara mengenal perilaku (Asmarantaka 2009), yakni:

1. Penentuan harga dan setting level of output; penentuan harga adalah menetapkan harga dimana harga tersebut tidak berpengaruh terhadap perusahaan lain, ditetapkan secara bersama-sama penjual atau penetapan harga berdasarkan pemimpin harga (price leadership).

2. Product Promotion Policy; melalui pameran dan iklan atas nama perusahaan.

3. Predatory and Exclusivenary tactics; strategi ini bersifat illegal karena bertujuan mendorong perusahaan pesaing untuk keluar dari pasar. Strategi ini antara lain menetapkan harga di bawah biaya marginal sehingga perusahaan lain tidak dapat bersaing secara sehat. Cara lain adalah berusaha menguasai bahan baku (integrasi vertikal ke belakang) sehingga perusahaan pesaing tidak dapat berproduksi dengan menggunakan bahan baku yang sama secara persaingan yang sehat.

3.1.6. Efisiensi Tataniaga

Kepuasan konsumen, produsen, maupun lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dalam aliran barang dan jasa merupakan ukuran efisiensi (Limbong dan Sitorus 1985). Menurut Hanafiah dan Saefuddin (2006) pengertian efisiensi tataniaga yang dimaksud oleh pengusaha swasta berbeda dengan yang dimaksud oleh konsumen. Perbedaan tersebut muncul karena adanya perbedaan kepentingan antara pengusaha dan konsumen. Tataniaga yang efisien dari sisi pengusaha yaitu apabila penjualan produknya dapat mendatangkan keuntungan yang tinggi. Sebaliknya konsumen menganggap bahwa tataniaga yang efisien yaitu apabila konsumen mudah mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga rendah.

(22)

22 meningkatkan biaya tataniaga (Kohl dan Uhl 2002). Efisiensi tataniaga dapat dibedakan menjadi efisiensi operasional (teknik) dan efisiensi harga. Efisiensi operasional (teknik) menurut Kohl dan Uhl 2002 diukur sebagai rasio output terhadap input. Peningkatan efisiensi operasional ditunjukkan pada situasi dimana biaya tataniaga dikurangi tanpa mempengaruhi sisi output dari rasio efisiensi. Efisiensi harga merupakan bentuk kedua dari efisiensi tataniaga. Efisiensi harga berkaitan dengan kemampuan sistem pasar mengalokasikan sumberdaya secara efisien dan mengkoordinasikan produksi dan seluruh proses tataniaga menurut arahan konsumen. Efisiensi harga dapat tercapai apabila masing-masing pihak

yang terlibat dengan pemasaran “puas” atau responsif terhadap harga yang berlaku dalam Asmarantaka (2002). Efisiensi harga dianalisis melalui ada tidaknya keterpaduan pasar (integrasi) antara pasar acuan dengan pasar pengikutnya.

3.1.7. Margin Tataniaga

Margin adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan perbedaan harga yang dibayar kepada penjual pertama dan harga yang dibayar oleh pembeli terakhir (Hanafiah dan Saefuddin 2006). Komponen margin tataniaga terdiri dari: (1) biaya-biaya yang diperlukan lembaga-lembaga tataniaga untuk melakukan fungsi-fungsi tataniaga yang disebut biaya tataniaga atau biaya fungsional (functional cost); dan (2) keuntungan (profit) lembaga tataniaga.

Dahl dan Hammond (1977) mengemukakan bahwa margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga pada level yang berbeda dalam sistem tataniaga. Margin tataniaga merupakan perbedaan antara harga yang dibayarkan oleh konsumen dan harga yang diterima petani (Tomex dan Robinson 1990; Kohl dan Uhl 2002; Hudson 2007). Margin tataniaga merupakan harga dari semua aktivitas penambahan kepuasan dan fungsi-fungsi yang dibentuk oleh perusahaan dalam tataniaga makanan (Kohl dan Uhl 2002). Harga tersebut termasuk pengeluaran dalam melakukan fungsi tataniaga dan juga keuntungan perusahaan.

(23)

23 Nilai Margin

Tataniaga (Pr-Pf) Qr,f

Biaya Tataniaga

pertama menjelaskan bahwa margin tataniaga secara sederhana adalah suatu perbedaan harga di tingkat konsumen (Pr) dengan harga yang diterima petani (Pf). Definisi kedua lebih bersifat ekonomi dan lebih tepat karena memberikan pengertian adanya nilai tambah dari kegiatan tataniaga. Dari pengertian-pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, dapat diketahui bahwa margin tataniaga merupakan M = Pr – Pf atau margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh oleh lembaga-lembaga tataniaga. Margin tataniaga tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.

{

Keterangan:

Pr : Harga di tingkat pengecer Pf : Harga di tingkat petani

Sr : Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) Sf : Penawaran di tingkat petani (primary supply) Dr : Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) Df : Permintaan di tingkat petani (primary demand) Qr,f : Jumlah produk di tingkat petani dan pengecer Gambar 2. Margin Tataniaga

Sumber: Dahl dan Hammond 1977

Permintaan di tingkat petani (primary demand) ditentukan oleh respon dari konsumen akhir. Perkiraan empiris dari fungsi permintaan di tingkat petani selalu didasarkan pada harga di tingkat pedagang pengecer dan data jumlah produk. Permintaan di tingkat pengecer (derived demand) didasarkan pada hubungan harga dan jumlah yang ada, baik pada titik dimana produk-produk meninggalkan pertanian atau titik menegah dimana produk-produk tersebut dibeli oleh pedagang

(24)

24 besar atau pengolah. Penawaran di tingkat pengecer (derived supply) adalah penawaran turunan dari penawaran di tingkat petani (primary supply) dengan menambahkan margin yang sesuai.

3.1.8. Farmer’s Share

Hudson (2007) mengemukakan bahwa secara sederhana farmer’s share adalah rasio harga ditingkat petani atas harga di tingkat pengecer. Pendapatan yang diterima oleh petani (farmer’s share) merupakan persentase perbandingan harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar oleh konsumen akhir (Asmarantaka 2009).

Secara sistematis farmer’s share dapat dirumuskan sebagai berikut.

Dimana: Fsi : Persentase pendapatan yang diterima petani Pf : Harga di tingkat atau yang diterima petani Pr : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir

Sumber: Asmarantaka (2009)

Nilai farmer’s share yang rendah memperlihatkan harga yang rendah diterima oleh petani sedangkan konsumen akhir membayar dengan harga yang tinggi. Nilai farmer’s share berbanding terbalik dengan margin tataniaga yaitu jika farmer’s share tinggi maka margin tataniaga rendah dan sebaliknya jika

farmer’s share rendah maka margin tataniaga tinggi.

3.1.9. Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Analisis rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) adalah persentase

keuntungan tataniaga terhadap biaya tataniaga yang secara teknis (operasional) untuk mengetahui efisiensinya (Asmarantaka 2009). Penyebaran rasio keuntungan dan biaya pada masing-masing lembaga pemasaran dapat diketahui melalui rumusan berikut:

Rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) =

Keterangan:

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp)

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i

Biaya Pemasaran ke-i Fsi =

Pf

Pr

(25)

25

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Kelurahan Agung Lawangan merupakan sentra pengembangan kubis di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Kubis tersebut dijual ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan luar kota (Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat). Tataniaga kubis baik melalui pasar lokal maupun luar kota melibatkan lembaga-lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar lokal, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) dan pedagang pengecer baik lokal maupun non-lokal. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut masing-masing menjalankan fungsi-fungsi tataniaga yang berbeda-beda dan mengeluarkan biaya tataniaga serta menginginkan keuntungan atas fungsi yang dijalankannya. Biaya yang dikeluarkan dan keuntungan yang diperoleh tersebut menggambarkan margin tataniaga. Margin tataniaga tertinggi yang terbentuk cukup besar mencapai Rp 4.500,00. Margin tataniaga tersebut berbanding terbalik dengan farmer’s share, dimana farmer’s share yang diperoleh hanya 10,00 persen. Artinya, petani hanya memperoleh 10,00 persen atas harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir. Harga rata-rata kubis yang diterima petani dan konsumen akhir cenderung fluktuatif. Fluktuasi harga tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap pendapatan petani kubis.

Permasalahan lain yaitu posisi tawar menawar sering tidak seimbang dimana petani dikalahkan dengan kepentingan lembaga tataniaga lain yang lebih dahulu mengetahui harga (posisi tawar petani rendah) dan petani merupakan pihak yang menerima harga (price taker). Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut adanya analisis mengenai tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan dempo Utara, Kota Pagar Alam.

Sistem tataniaga dan efisiensi tataniaga kubis dapat dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Secara kualitatif dapat dilakukan dengan menganalisis lembaga tataniaga yang terlibat dan saluran tataniaga yang terbentuk, fungsi-fungsi tataniaga, struktur pasar, dan perilaku pasar. Secara kuantitatif dilakukan dengan menghitung margin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan

terhadap biaya (π/c). Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui efisiensi

(26)

26 dilakukan oleh petani sebagai produsen dan lembaga tataniaga yang terlibat untuk meningkatkan efisiensi tataniaga. Kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Operasional

- Margin tataniaga yang besar dan Farmer’s share yang rendah - Fluktuasi harga kubis yang terjadi

- Posisi tawar petani rendah dan petani merupakan price taker

Tataniaga Kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam

Analisis Kuantitatif: - Margin tataniaga - Bagian harga yang

diterima petani (farmer’s share) - Rasio keuntungan

terhadap biaya Analisis Kualitatif:

- Lembaga dan saluran tataniaga

- Fungsi-fungsi tataniaga - Struktur pasar - Perilaku pasar

- Efisiensi tataniaga

- Alternatif saluran tataniaga yang efisien

(27)

27

IV METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Provinsi Sumatera Selatan. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Kota Pagar Alam merupakan daerah yang didominasi dataran tinggi dengan kondisi lahan yang relatif subur, dan sangat potensial untuk pengembangan komoditi sayuran. Kota Pagar Alam merupakan salah satu sentra produksi sayuran di Sumatera Selatan. Jenis sayuran yang terdapat di Kota Pagar Alam didominasi komoditi kubis. Dempo Utara merupakan Kecamatan di Kota Pagar Alam sebagai daerah unggulan tanaman sayuran termasuk kubis. Kelurahan Agung Lawangan merupakan salah satu sentra pengembangan kubis di Kecamatan Dempo Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Februari- Maret 2012.

4.2. Jenis, Sumber, dan Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan secara langsung (observasi), wawancara dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuisioner) kepada pelaku dalam saluran tataniaga yaitu petani dan pedagang. Pengamatan secara langsung juga dilakukan terhadap kegiatan tataniaga dan penelusuran saluran tataniaga serta lembaga-lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga kubis.

Data sekunder digunakan untuk mendukung data primer. Data sekunder diperoleh dari studi literatur, tinjauan pustaka dan beberapa penelitian terdahulu. Selain itu data sekunder juga diperoleh dari beberapa instansi terkait seperti Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam, Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Pagar Alam, dan Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam.

4.3. Metode Penentuan Responden

(28)

28 melakukan panen kubis pada saat penelitian sehingga diperoleh gambaran harga yang terjadi pada saat penelitian.

Petani yang menjadi responden merupakan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani “Bersama” yang terdapat di Desa Kerinjing dan Kelompok Tani

“Langor Indah” yang terdapat di Desa Gunung Agung Paoh serta beberapa petani yang tidak tergabung ke dalam kelompok tani. Kedua kelompok tani tersebut dipilih dengan alasan keduanya merupakan kelompok tani yang aktif dalam melakukan aktivitasnya meskipun dalam hal penjualan kubis tidak dilakukan secara berkelompok. Kelompok Tani “Bersama“ memiliki anggota aktif sebanyak

23 orang, dan Kelompok Tani “Langor Indah memiliki anggota aktif sebanyak 10

orang. Petani responden sebanyak 12 orang berasal dari Kelompok Tani

“Bersama”, delapan orang petani dari Kelompok Tani “Langor Indah”, dan sebanyak 10 orang merupakan petani yang tidak tergabung ke dalam Kelompok Tani. Hal ini bertujuan untuk melihat saluran yang berbeda yang digunakan petani dalam melakukan penjualan kubis ke lembaga perantara selanjutnya.

Penarikan responden petani didasarkan atas informasi dari ketua Kelompok Tani dan Penyuluh Pertanian di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Penarikan responden untuk lembaga-lembaga tataniaga selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode snowball sampling, yaitu dengan menelusuri saluran tataniaga kubis yang

dominan digunakan petani di daerah penelitian berdasarkan informasi yang didapat dari petani responden.

4.4. Metode Analisis data

(29)

29

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis ini digunakan untuk mendeskripsikan secara kualitatif dan kuantitatif kondisi pemasaran kubis. Selanjutnya kondisi tersebut diformulasikan dalam bentuk tabel dan gambar.

4.4.2. Analisis Lembaga, Saluran Tataniaga, dan Fungsi-fungsi Tataniaga

Analisis lembaga tataniaga dan saluran tataniaga dilakukan untuk mengetahui lembaga-lembaga tataniaga yang terlibat dan fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan oleh masing-masing lembaga tataniaga dapat berbeda antara satu dengan lainnya. Fungsi-fungsi tataniaga tersebut terdiri dari fungsi pertukaran, fungsi fisik, dan fungsi fasilitas. Manfaat dari analisis fungsi tataniaga adalah sebagai bahan perbandingan biaya yang dihasilkan oleh setiap lembaga tataniaga.

Aliran kubis dari produsen (petani) sampai ke konsumen akhir melibatkan beberapa lembaga tataniaga seperti pedagang pengumpul dan pedagang pengecer. Saluran tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan diawali dari petani dengan menghitung persentase pasokan sampai pedagang pengecer dan hingga pada akhirnya sampai ke konsumen akhir. Jalur tataniaga tersebut akan menggambarkan saluran tataniaga. Semakin panjang saluran tataniaga, maka margin tataniaga yang terjadi antara produsen dan konsumen akan semakin tinggi.

4.4.3. Analisis Struktur dan Perilaku Pasar

Penentuan struktur pasar kubis yang dihadapi oleh masing-masing lembaga tataniaga didasarkan pada kondisi saluran yang dilalui yang dikaitkan dengan jumlah lembaga tataniaga yang terlibat (penjual dan pembeli), sifat produk (homogen/heterogen), kebebasan keluar masuk pasar, dan informasi harga pasar yang terjadi. Perilaku pasar kubis dianalisis dengan mengamati praktek penjualan dan pembelian, sistem penentuan harga, sistem pembayaran, dan kerjasama antar lembaga tataniaga.

4.4.4. Analisis Margin Tataniaga

(30)

30 menghitung nilai margin tataniaga yang diperoleh oleh masing-masing lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga dan kemudian membandingkan nilai margin tersebut untuk setiap saluran. Saluran tataniaga yang memiliki nilai margin yang terkecil diantara saluran tataniaga yang lainnya dapat dikatakan sebagai saluran yang efisien. Namun perlu diketahui bahwa margin tataniaga bukan merupakan satu-satunya indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Margin tataniaga terdiri dari biaya-biaya tataniaga yang dikeluarkan dan keuntungan tataniaga yang diperoleh masing-masing lembaga tataniaga atau merupakan selisih antara harga pada tingkat petani dengan harga di tingkat lembaga perantara (pedagang pengumpul dan pedagang pengecer). Menurut Asmarantaka (2009) secara matematis margin tataniaga dirumuskan sebagai berikut:

mji = Psi – Pbi ……… (1)

mji = Bti + πi ………... (2)

dengan demikian :

πi = mji –Bti ………. (3) jadi besarnya total margin tataniaga adalah:

Mij = Σ mji, i = 1,2,3,...n

Keterangan:

mji = Margin tataniaga pada lembaga ke-i (Rp/kg) Psi = Harga penjualan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Pbi = Harga pembelian lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Bti = Biaya tataniaga lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg)

πi = Keuntungan lembaga tataniaga ke-i (Rp/kg) Mij = Total margin tataniaga (Rp/kg)

4.4.5. Analisis Farmer’s Share

Perbandingan persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang dibayar di tingkat konsumen disebut farmer’s share (Asmarantaka 2009). Secara matematis farmer’s share dihitung sebagai berikut:

Fsi = Pf

Pr

(31)

31 Keterangan:

Fsi : Persentase pendapatan yang diterima petani Pf : Harga di tingkat atau yang diterima petani Pr : Harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir

Farmer’s share juga merupakan indikator dalam menentukan efisiensi tataniaga. Farmer’s share antara suatu saluran tataniaga dengan saluran tataniaga lainnya memiliki nilai yang berbeda. Efisiensi tataniaga dapat diketahui dengan melihat nilai farmer’s share yang paling tinggi pada setiap saluran tataniaga.

4.4.6. Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Rasio keuntungan diperoleh dari pembagian keuntungan tataniaga dengan biaya tataniaga. Keuntungan tataniaga diperoleh dari selisih harga jual dengan harga beli pada masing-masing lembaga tataniaga dikurangi dengan biaya tataniaga yang dikeluarkan masing-masing lembaga tataniaga. Rasio keuntungan terhadap biaya menunjukkan seberapa besar setiap satuan biaya yang dikeluarkan selama tataniaga dapat memberikan besaran keuntungan tertentu selama proses penyaluran produk. Secara matematis dirumuskan sebagai berikut:

Rasio keuntungan terhadap biaya =

Keterangan:

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i = Keuntungan lembaga tataniaga (Rp/Kg) Biaya pemasaran ke-i = Biaya lembaga tataniaga (Rp)

Jika rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) > 0 maka tataniaga dapat dikatakan efisien dan sebaliknya jika (π/c) < 0 maka tataniaga dikatakan tidak efisien. Tataniaga yang efisien dapat pula dilihat melalui sebaran nilai rasio keuntungan terhadap biaya (π/c) yang merata untuk setiap lembaga tataniaga dalam saluran tataniaga (Asmarantaka 2009).

Keuntungan lembaga pemasaran ke-i

(32)

32

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1. Wilayah dan Topografi

Secara geografis Kota Pagar Alam berada pada 40 Lintang Selatan (LS) dan 103.150 Bujur Timur (BT). Kota Pagar Alam terletak di Provinsi Sumatera Selatan, yaitu sekitar 298 kilometer dari Kota Palembang (Ibu Kota Provinsi). Batas wilayah Kota Pagar Alam meliputi sebelah selatan yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dan sebelah utara, timur dan barat berbatasan dengan Kabupaten Lahat. Kota Pagar Alam memiliki luas lebih kurang 633,66 Km2 dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 yaitu 126.181 jiwa dan kepadatan penduduk sebesar 199,13 jiwa/ Km2. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk Menurut

Kecamatan di Kota Pagar Alam pada Tahun 2010 No. Kecamatan

Luas Wilayah Jumlah Penduduk Kepadatan Penduduk

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Pagar Alam (2011)

Wilayah Kota Pagar Alam terbagi menjadi lima kecamatan yaitu Kecamatan Dempo Selatan, Dempo Tengah, Dempo Utara, Pagar Alam Selatan dan Pagar Alam Utara. Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Dempo Selatan (239,08 Km2) sedangkan Kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Pagar Alam Utara (55,47 Km2). Selain itu, jumlah penduduk terbanyak di Kota Pagar Alam berada di Kecamatan Pagar Alam Selatan yaitu 44.755 jiwa dan kepadatan penduduk 708,49 jiwa/Km2 sedangkan Kecamatan Dempo Selatan merupakan Kecamatan dengan jumlah penduduk yang terendah yaitu 11.611 jiwa dengan kepadatan penduduk 53,27 jiwa/Km2.

(33)

33 kehutanan dan perikanan yaitu sebanyak 58,64 persen dari total penduduk usia lima belas tahun ke atas yang bekerja (63.905 jiwa). Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian turut memiliki kontribusi terhadap perekonomian Kota Pagar Alam. Kontribusi tersebut dapat juga dilihat dari persentase Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan Menurut Lapangan Usaha pada Tahun 2010 pada Gambar 4.

Sektor pertanian menempati urutan pertama dalam memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto Regional pada tahun 2010 sebesar 36 persen. Selain itu, sektor perdagangan, hotel, dan restoran juga memberikan konstribusi yang cukup besar yaitu 21 persen. Urutan terakhir ditempati oleh sektor industri pengolahan sebesar 1 persen.

Kecamatan Dempo Utara merupakan salah satu kecamatan di Kota Pagar Alam yang dijadikan sebagai sentra pengembangan pertanian berupa sayuran. Pada tahun 2009 jumlah produksi sayuran di Kecamatan Dempo Utara yaitu 377 ton dan merupakan produksi terbesar jika dibandingkan dengan produksi padi yaitu 58 ton. Kecamatan Dempo Utara terletak sekitar 14 kilometer dari pusat

Gambar 4. Persentase PDRB Kota Pagar AlamTahun 2010

(34)

34 Kota Pagar Alam. Sebelah Utara Kecamatan Dempo Utara berbatasan dengan Kecamatan Pagar Alam Selatan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Dempo Selatan dan Kabupaten Lahat, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Sakti Kabupaten Lahat dan sebelah Timur berbatasan dengan Dempo Selatan dan Dempo Tengah. Kecamatan Dempo Utara terdiri dari tujuh kelurahan, yaitu Agung Lawangan, Bumi Agung, Pagar Wangi, Jangkar Mas, Burung Dinang, Muara Siban, dan Rebah Tinggi.

Kelurahan Agung Lawangan merupakan salah satu kelurahan dengan jumlah penduduk terbanyak di Kecamatan Dempo Utara. Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari lima desa yaitu desa Kerinjing, Gunung Agung Lama, Gunung Agung Tengah, Gunung Agung Paoh, dan Suka Mulya. Terdapat lima kepala RW (Rukun Warga) dan 16 kepala RT (Rukun Tetangga) di Kelurahan tersebut.

Pada tahun 2010 jumlah penduduk di Kelurahan Agung Lawangan berjumlah 4.873 jiwa atau sekitar 23,81 persen dari total penduduk keseluruhan (20.460 jiwa) (Tabel 7). Jumlah penduduk tersebut merupakan jumlah tebanyak jika dibandingkan dengan beberapa Kelurahan lainnya.

Tabel 7. Jumlah Penduduk dirinci Berdasarkan Kelurahan di Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam, Tahun 2010

No. Kelurahan Jumlah Penduduk (Jiwa)

1. Agung Lawangan 4.873

2. Bumi agung 2.972

3. Pagar Wangi 3.094

4. Jangkar Mas 2.219

5. Burung Dinang 2.012

6. Muara Siban 3.057

7. Rebah Tinggi 2.233

Sumber: Profil Kecamatan Dempo Utara, Kantor Kecamatan Dempo Utara (2011)

(35)

35 Tabel 8. Jumlah Penduduk Kelurahan Agung Lawangan Berdasarkan Mata

Pencarian Pokok Pada Tahun 2010

No. Mata Pencarian Pokok Jumlah (jiwa)

1. Belum Bekerja 716

2. PNS 35

3. TNI/POLRI 1

4. Wiraswasta 11

5. Pelajar/Mahasiswa 2.135

6. Tenaga Muda 20

7. Petani 1.850

8. Pensiunan 21

9. Buruh 22

10. Swasta/Dagang 58

11. Dosen 4

Sumber: Profil Kelurahan Agung Lawangan, Kantor Kelurahan Agung Lawangan (2011)

5.2. Karakteristik Petani Responden

Jumlah petani yang dijadikan sebagai responden dalam penelitian yaitu 30 orang petani. Sebagian besar sebanyak 28 orang petani responden berjenis kelamin laki-laki dan dua orang petani berjenis kelamin perempuan. Petani tersebut merupakan penduduk yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Responden petani dikategorikan berdasarkan beberapa karakteristik meliputi kelompok umur, tingkat pendidikan, luas lahan yang diusahakan dan status kepemilikan lahan, serta pengalaman dalam melakukan budidaya kubis. Hal tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 9 dan Gambar 5.

Petani responden berusia antara 22-52 tahun. Petani yang berumur antara 35-44 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 14 orang (46,7 persen). Sedangkan petani yang berumur 15-24 yaitu tiga orang (10,0 persen) merupakan jumlah yang paling sedikit. Sebagian besar petani responden (50,0 persen) memiliki tingkat pendidikan hingga Sekolah Dasar (SD) dan petani yang tidak bersekolah sebanyak 6,7 persen.

(36)

36 tahun. Petani yang memiliki pengalaman antara 6-10 tahun merupakan jumlah terbanyak yaitu 46,7 persen.

(37)

37

Gambar 5. Pie Chart Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik

5.3. Karakteristik Pedagang Responden

(38)

38 kelompok umur, tingkat pendidikan dan tingkat pengalaman. Karakteristik tersebut dapat dilihat pada hasil analisis frequencies yaitu pada Tabel 10 dan Gambar 6.

Tabel 10. Analisis Frequencies Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik

Statistics

Umur Tingkat Pendidikan Tingkat Pengalaman

(39)

39 Gambar 6. Pie Chart Jumlah Pedagang Berdasarkan Karakteristik

Pedagang yang menjadi responden berumur antara 29 tahun hingga 62 tahun. Responden pedagang paling banyak berumur lebih dari 45 tahun yaitu empat orang terdiri dari dua orang pedagang pengumpul luar kota (non-lokal), satu orang pedagang pengumpul tingkat desa dan satu orang pedagang pengumpul pasar lokal. Pedagang pengumpul tingkat desa paling banyak berumur antara 30-34 tahun.

(40)

40 tidak tamat Sekolah Dasar (SD) yaitu satu orang dan merupakan pedagang pengumpul tingkat desa. Pedagang yang merupakan sarjana hanya satu orang, yaitu pedagang pengumpul luar kota (non-lokal).

Tingkat pengalaman pedagang yaitu antara 1-13 tahun. Pedagang responden yang memiliki pengalaman kurang dari atau sama dengan lima tahun yaitu sebanyak empat orang. Sedangkan pedagang yang memiliki pengalaman di atas lima tahun terdiri dari enam orang pedagang.

5.4. Gambaran Umum Budidaya Kubis di Kelurahan Agung Lawangan

Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, budidaya kubis yang umumnya dilakukan oleh petani di Kelurahan Agung Lawangan terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut yaitu; (1) persemaian, (2) pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam, (3) penanaman, dan pemeliharaan, (4) panen. Varietas kubis yang banyak ditanam petani yaitu Grand-11.

1). Persemaian

Benih kubis disemaikan terlebih dahulu secara merata pada luasan lahan tertentu sebelum ditanam pada lahan tetap. Pada umur lebih kurang tiga hingga empat minggu benih yang ditanam tersebut tumbuh menjadi bibit kubis yang siap dipindahkan ke lahan tetap. Penyemaian dilakukan untuk mempermudah penyiraman. Selain itu jika benih disemaikan terlebih dahulu, pengawasan terhadap pertumbuhannya lebih mudah dilakukan. Rata-rata benih yang yang digunakan petani responden untuk budidaya kubis yaitu sekitar 10 kantong benih dengan berat 15 gram per kantong. Benih tersebut dibeli petani dengan harga yang variatif mulai dari Rp 40.000,00 hingga Rp 48.000,00.

2). Pengolahan tanah dan pembuatan bedengan serta lubang tanam

(41)

41 karung. Pupuk tersebut dibeli petani dengan harga berkisar antara Rp 12.000,00 hingga Rp 16.000,00 per karung.

3). Penanaman dan pemeliharaan

Bibit yang berasal dari persemaian kemudian ditanam pada lubang tanam. Setelah bibit tersebut berumur satu bulan maka dilakukan pemupukan menggunakan pupuk urea yang dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan. Pupuk urea yang digunakan untuk satu hektar lahan yang ditanami kubis yaitu dua karung (100 kilogram) dengan harga beli sekitar Rp 95.000,00 hingga Rp 100.000,00 per karung. Selain itu, petani juga menggunakan pupuk phonska dan pupuk TSP. Pupuk phonska yang digunakan rata-rata petani yaitu satu karung (50 kilogram) dengan harga beli Rp 135.000,00 per karung. Pupuk TSP yang digunakan sekitar dua karung (100 kilogram) dengan harga beli Rp 135.000,00 per karung. Pada masa pemeliharaan petani juga menggunakan pestisida dan fungisida sesuai kebutuhan.

4). Panen

Tanaman kubis dapat dipanen setelah berumur sekitar 120 hari. Bobot kubis yang dipanen rata-rata berkisar antara 1-2,5 kg. Kubis yang telah dipanen dimasukkan ke dalam karung dan langsung dijual kepada pedagang. Panen dapat dilakukan sendiri oleh petani dan dapat pula dilakukan oleh pedagang pengumpul tingkat desa.

(42)

42

VI ANALISIS TATANIAGA KUBIS

6.1. Produsen dan Lembaga Tataniaga

Kubis yang berasal dari Kelurahan Agung Lawangan dipasarkan ke pasar lokal (Kota Pagar Alam) dan ke luar kota yaitu Kota Prabumulih dan Kabupaten Lahat. Tataniaga kubis di Kelurahan Agung Lawangan yang dimulai dari produsen (petani) ke konsumen melibatkan beberapa lembaga tataniaga. Lembaga-lembaga tataniaga tersebut yaitu pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal), pedagang pengumpul pasar lokal, dan pedagang pengecer (lokal) serta pedagang pengecer luar kota (non-lokal).

a) Petani adalah pihak yang melakukan budidaya kubis dan berperan sebagai produsen kubis di Kelurahan Agung Lawangan, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagar Alam. Petani kubis yang menjadi responden di Kelurahan Agung Lawangan sebagian besar merupakan petani yang tergabung dalam kelompok tani. Umumnya petani kubis yang tergabung dalam kelompok tani merupakan mereka yang berpendidikan sehingga sudah mempunyai pemikiran yang modern yaitu pemikiran untuk memajukan usahataninya. Berdasarkan hasil analisis menggunakan analisis Crosstabs-Chi Square pada Lampiran 3 diketahui bahwa tingkat pendidikan petani memiliki korelasi terhadap keterlibatan petani dalam kelompok tani.

Pada Lampiran 3 juga dapat dilihat bahwa petani yang tidak tergabung dalam kelompok tani memiliki tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD). Sedangkan petani yang memiliki pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) merupakan petani yang tergabung dalam kelompok tani dengan jumlah responden terbanyak. Disimpulkan bahwa tingkat pendidikan petani memiliki korelasi signifikan terhadap keterlibatannya dalam kelompok tani. Hal ini dijelaskan melalui nilai Asymp. Sig. (2-sided) yaitu 0,002 yang

kurang dari α (0.05).

(43)

43 c) Pedagang pengumpul pasar lokal adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar wilayah Kelurahan Agung Lawangan yang juga berperan sebagai perantara dalam penyaluran kubis ke pasar lokal (Kota Pagar Alam).

d) Pedagang pengumpul pasar luar kota (non-lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Kelurahan Agung Lawangan dan berperan sebagai perantara dalam menyalurkan kubis ke luar kota (non-lokal). Pedagang Pengumpul pasar luar kota (non-lokal) yang terdapat dikelurahan Agung Lawangan bukan merupakan pedagang yang tergabung dalam Sub Terminal Agribisnis (STA) Kota Pagar Alam.

e) Pedagang pengecer (lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di Kota Pagar Alam dan berperan dalam menyalurkan kubis ke konsumen akhir (Ibu rumah tangga) yang berada di Kota Pagar Alam (lokal).

f) Pedagang pengecer luar kota (non-lokal) adalah lembaga tataniaga yang tinggal di luar wilayah Kota Pagar Alam dan juga berperan dalam menyalurkan kubis ke konsumen luar kota (non-lokal).

Petani sebagai produsen menjual kubis yang dibudidayakannya melalui lembaga tataniaga yang berbeda-beda sehingga terbentuk beberapa saluran tataniaga yang berbeda pula. Saluran tataniaga yang berbeda mengakibatkan biaya yang dikeluarkanpun berbeda sehingga margin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya turut berbeda. Selain itu, fungsi-fungsi tataniaga yang dijalankan, perilaku pasar, dan struktur pasar yang dihadapi juga berbeda.

6.2. Saluran Tataniaga

(44)

44 1. Saluran I: Petani- Pedagang Pengumpul Tingkat Desa - Pedagang Pengumpul Pasar Lokal - Pedagang Pengecer (Lokal) -Konsumen Akhir (Lokal).

2. Saluran II: Petani- Pedagang Pengumpul Tingkat Desa- Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota (Non-lokal)- Pedagang Pengecer Luar Kota (Non-lokal)- Konsumen Akhir Luar Kota (Non-lokal).

3. Saluran III: Petani- Pedagang Pengumpul Pasar Luar Kota - Pedagang Pengecer Luar Kota lokal)- Konsumen Akhir Luar Kota (Non-lokal).

4. Saluran IV: Petani- Pedagang Pengecer (Lokal)- Konsumen Akhir (Lokal)

5. Saluran V : Petani- Konsumen Akhir (Lokal)

Petani dalam menjual kubis yang dihasilkannya dapat melalui lembaga tataniaga yang berbeda-beda. Kondisi tersebut dapat dilihat dari analisis frequencies (Tabel 11) dan diperjelas melalui Gambar 7.

Tabel 11. Analisis frequencies Tujuan Penjualan Petani

Frequencies

Statistics

Tujuan Penjualan

N Valid 30

Missing 0

Tujuan Penjualan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 3 4 13.3 13.3 13.3

4 4 13.3 13.3 26.7

7 5 16.7 16.7 43.3

8 3 10.0 10.0 53.3

10 5 16.7 16.7 70.0

11 7 23.3 23.3 93.3

13 1 3.3 3.3 96.7

14 1 3.3 3.3 100.0

(45)

45 Gambar 7. Tujuan Penjualan Petani

Keterangan:

Tujuan Penjualan: 1= Konsumen Akhir

2= Pedagang Pengecer Lokal

3= Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 4= Pedagang Pengumpul Luar Kota

5= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal

6= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 7= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengumpul Luar Kota

8= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa 9= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Luar Kota 10= Pedagang Pengumpul Tingkat Desa dan Pedagang Pengumpul Luar

Kota

11= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Tingkat Desa

12= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Luar Kota

13= Pedagang Pengecer Lokal dan Pedagang Pengumpul Tingkat Desa serta Pedagang Pengumpul Luar Kota

14= Konsumen Akhir dan Pedagang Pengecer Lokal serta Pedagang Pengumpul Luar Kota

Gambar

Tabel 3. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kubis Menurut Kabupaten/Kota
Tabel 4. Harga  Rata-rata  Kubis   yang   Diterima  Petani dan Konsumen Akhir di
Gambar 2.   Margin Tataniaga
Gambar 5. Pie Chart Jumlah Petani Berdasarkan Karakteristik
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai ekonomi rekreasi diduga dengan menggunakan metode pendekatan biaya perjalanan wisata ( travel cost method), yang meliputi biaya transportasi pulang pergi dari