• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero): (The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital Toward Work Egagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Per

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero): (The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital Toward Work Egagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Per"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA DAN MODAL PSIKOLOGIS

TERHADAP KETERIKATAN KERJA KARYAWAN

PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO)

(The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital Toward Work

Egagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees)

T E S I S

Digunakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

dalam Program Studi Magister Psikologi Sains

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

I L M I A H

NIM. 127049004

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis

saya yang berjudul “Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap

Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)” merupakan hasil

karya saya sendiri dan belum pernah diajukan ke perguruan tinggi manapun, sebagai syarat

untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Magister Psikologi Sains,

Universitas Sumatera Utara.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip dari hasil karya

orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika

penulisan ilmiah.

Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia

menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Medan, Januari 2015

Yang menyatakan,

I l m i a h

(3)

LEMBAR PERSEMBAHAN

Tesis ini dipersembahkan

kepada Umi dan Mama tercinta yang telah membekaskan banyak pembelajaran untukku tentang kehidupan,

untuk my beloved inspirator Mas Tio Handoko dan para perusuh yang menyenangkan : Mas Ridho, Mas Khalil, Mas

Furqon dan Mbak Rara.

Teristimewa untuk seluruh guruku yang telah mencurahkan ilmu, energi dan waktu yang tak dapat ternilai dengan apapun.

(4)

UCAPAN TERIMA KASIH

Sungguh merupakan anugerah yang sangat penulis syukuri, menyadari bahwa

pada akhirnya, penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan hasil karya yang

melibatkan banyak pihak. Untuk itu, terima kasih yang sangat, saya persembahkan untuk :

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera

Utara yang membuat atmosfir akademik di Program Magister Sains Psikologi ini sangat

kondusif dalam menuntut ilmu dan melaksanakan penelitian.

2. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog selaku Ketua Program Pendidikan Magister

Psikologi Sains Universitas Sumatera Utara, yang sekaligus juga merupakan dosen

pembimbing. . High appreciation for you. You are not a best coach only, but a good

motivator too, even in your busiest time.

3. Ibu Vivi Gusrini Rahmadani Pohan, MA, M.Sc, psikolog selaku Pembimbng II dan

Bapak Ferry Novliadi, M.Si, psikolog selaku penguji, yang telah banyak memberikan

masukan berharga untuk penyempurnaan tesis ini.

4. Seluruh dosen Magister Psikologi Sains Universitas Sumatera Utara yang telah

berkenan berbagi ilmu dan waktu dalam proses pembelajaran di bangku kuliah.

5. Seluruh pegawai sekretariat Magister Psikologi Sains, Ardi, Bu Dina, Bu Rahma,

terima kasih atas segala bantuannya selama ini.

6. Bapak H. Ahmad Gusmar Harahap, Kepala Bagian SDM PT. Perkebunan Nusantara III,

yang telah memfasilitasi proses pengambilan data.

(5)

8. Seluruh karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) yang telah berkenan menjadi

subjek penelitian.

9. Teman-teman dalam suka duka, tempat berbagi cerita dan pengalaman, yang tanpa

pamrih saling bantu dan saling mendukung dalam proses belajar dan penelitian. Ada

Rika, Bu Endang, Linda, Uyun, Findy, Lisda, Bu Murni, Poppy, Kwinna, Bu Kasta,

Marasdhona dan David. It will be unforgettable moments for me.

10.Keluarga tercinta yang dengan setia menjadi penyemangat agar penelitian ini dapat

terselesaikan segera.

11.Seluruh pihak yang telah membantu, secara langsung maupun tak langsung, yang

namanya belum tercantum dalam tulisan ini. Thank’s for all. May God bless all of you.

Amiin.

Penelitian ini jauh dari sempurna dan disadari butuh banyak masukan untuk

perbaikan. Sekecil apapun masukan yang diberikan, akan menjadi poin berharga dalam

proses pembelajaran peneliti.

Terlepas dari segala kekurangan yang ada, saya berharap bahwa hasil karya anak

manusia yang tak pernah bosan untuk belajar ini, akan memberi manfaat, minimalnya bagi

para pemerhati manajemen sumber daya manusia. Terima kasih atas perhatian yang

diberikan.

Medan, Januari 2015 Peneliti,

(6)

DAFTAR ISI

Hal.

Lembar Cover ……….……… i

Lembar Pengesahan ..…….………. ii

Lembar Pernyataan ..……..………. iii

Lembar Persembahan …...……….. iv

Ucapan Terima Kasih ……..………... v

Daftar Isi ………. vii

Daftar Tabel ……… x

Daftar Gambar ……… xii

Daftar Lampiran ……… xiii

Abstrak ……….. xiv

Abstract ………. xv

Bab I PENDAHULUAN ….………... 1

A. Latar Belakang Masalah ……….. 1

B. Rumusan Masalah ……….. 8

C. Keaslian Penelitian ……….. 9

D. Tujuan Penelitian ……… 9

E. Manfaat Penelitian ……….. 10

F. Sistematika Penelitian ………. 11

Bab II LANDASAN TEORI ………... 13

(7)

3. Aspek-Aspek Keterikatan Kerja ……….. 16

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja ………… 17

B. Kualitas Kehidupan Kerja .………...………. 21

1. Definisi Kualitas Kehidupan Kerja ...…...……… 21

2. Kriteria Kualitas Kehidupan Kerja ………... 23

C. Modal Psikologis ………..………. 25

1. Definisi Modal Psikologis ...………... 25

2. Komponen Modal Psikologis...……… 26

D. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Keterikatan Kerja ….. 28

E. Pengaruh Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja ... 30

F. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja ………... 33

G. Skema Hubungan Antar Variabel ... 36

H. Hipotesis Penelitian ……… 37

Bab III METODE PENELITIAN………... 38

A. Identifikasi Variabel ……… 38

B. Definisi Operasional Variabel ……… 38

1. Keterikatan Kerja ……….. 38

2. Kualitas Kehidupan Kerja ………. 38

3. Modal Psikologis ……….. 39

C. Subjek Penelitian ………. 40

D. Metode Pengumpulan Data ………. 41

1. Alat Pengumpulan Data ……… 41

(8)

3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ……..……….. 49

E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………... 53

1. Persiapan Penelitian ………. 53

2. Pelaksanaan Penelitian ……….. 53

3. Pengolahan Data Penelitian dan Pelaporan ………. 55

F. Metode Analisa Data ……….. 55

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 58

A. Hasil Penelitian ……….. 58

1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ……… 58

2. Kategorisasi Data Variabel Penelitian ………. 62

3. Hasil Uji Asumsi Penelitian ……… 64

4. Uji Hipotesis Penelitian ……… 69

B. Pembahasan ……… 71

Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 79

A. Kesimpulan ……… 79

B. Saran ………. 79

Daftar Pustaka ……… 83

(9)

DAFTAR TABEL

Hal.

Tabel 1 Uraian Dimensi Keterikatan Kerja ……….... 41

Tabel 2 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Sebelum Uji Coba ... 42

Tabel 3 Uraian Dimensi Kualitas Kehidupan Kerja ………..... 43

Tabel 4 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Sebelum Uji Coba ...

44

Tabel 5 Uraian Dimensi Modal Psikologis………... 45

Tabel 6 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Sebelum Uji Coba ... 46

Tabel 7 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Setelah Uji Coba ……. 50

Tabel 8 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Penelitian …….…….. 50

Tabel 9 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Setelah Uji Coba ……. 51

Tabel 10 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Penelitian ……… 51

Tabel 11 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Setelah Uji

Coba ……….. 52

Tabel 12 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Penelitian…… 52

Tabel 13 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Jabatan ………… 58

Tabel 14 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ……….. 59

Tabel 15 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Area Kerja ……… 60

Tabel 16 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ………. 61

Tabel 17 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………… 62

Tabel 18 Data Mean Empirik dan MeanHipotetik Variabel Penelitian ………….. 63

(10)

Tabel 20 Data Uji Normalitas Sebaran Data Penelitian One-Sample Kolmogorov

Smirvov Test ………. 65

Tabel 21 Uji Asumsi Linearitas Keterikatan Kerja dan Modal Psikologis ………. 66

Tabel 22 Uji Asumsi Linearitas Keterikatan Kerja dan Kualitas Kehidupan Kerja 66 Tabel 23 Tabel Koefisien Nilai Toleransi dan VIF ………. 68

Tabel 24 Model SummaryNilai Durbin Watson ………. 69

Tabel 25 Anova Analisis Regresi Berganda ………. 70

Tabel 26 Model Summary Prediktor Keterikatan Kerja ……….. 70

(11)

DAFTAR GAMBAR

Hal.

Gambar 1 Skema Hubungan Antar Variabel ... 37

Gambar 2 Kurva Normalitas Data Penelitian ……… 65

Gambar 3 Grafik Linearitas Data Penelitian ………. 67

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Skala Penelitian Sebelum Uji Coba

Lampiran B Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala

Lampiran C Skala Penelitian

Lampiran D Uji Asumsi dan Hasil Penelitian

(13)

Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis Terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusanrara III (Persero)

Ilmiah, Zulkarnain, dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRAK

.

Keterikatan kerja karyawan memainkan peranan penting untuk pencapaian kinerja suatu perusahaan. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan organisasi. Faktor yang bersumber dari dalam diri individu disebut modal psikologis dan faktor yang bersumber dari lingkungan kerja disebut kualitas kehidupan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala keterikatan kerja, skala kualitas kehidupan kerja, dan skala modal psikologis. Penelitian ini melibatkan 394 orang karyawan perusahaan, terdiri dari pemegang jabatan manager, masinis kepala, asisten kepala, asisten dan mandor yang bekerja di wilayah kerja PT. Perkebunan Nusantara III (Persero). Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode analisis Regresi Berganda. Berdasarkan hipotesis, dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi keterikatan kerja karyawan. Implikasi dari penelitian diharapkan bahwa pihak manajemen dapat memenuhi kebutuhan personal karyawan melalui peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karyawan, mengembangkan modal psikologis karyawan melalui program pengembangan yang relevan, dan dapat mempertimbangkan modal psikologis sebagai salah satu indikator dalam penerimaan karyawan baru dan promosi karyawan.

(14)

The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital toward Work Engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees

Ilmiah, Zulkarnain and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRACT

. Work engagement has important role to achieve performance of

company. There are two factors can influence work engagement, individual factor and organization environment factor. Individual factor is called psychological capital and organization environment factor is called quality of work life. This research aims to investigate the influence of quality of work life and psychological capital toward work engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) employees. This research used three scales; namely quality of work life scale, psychological capital scale, and work engagement scale. This research involved 394 employees of plantation company, PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), consisted of managers, chief engineers, assistants and foremen. Collected data were examined by using multiple regression analysis. Based on the hypothesis, it can be concluded that quality of work life and psychological capital can be used as indicators to predict employee engagement. Implications of this study that management are expected to fulfill employee personal needs through improving the factors which influence quality of work life, developing psychological capital with human resource development program and consider psychological capital as one of indicators for new employee selection dan promotion program.

(15)

Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis Terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusanrara III (Persero)

Ilmiah, Zulkarnain, dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRAK

.

Keterikatan kerja karyawan memainkan peranan penting untuk pencapaian kinerja suatu perusahaan. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan organisasi. Faktor yang bersumber dari dalam diri individu disebut modal psikologis dan faktor yang bersumber dari lingkungan kerja disebut kualitas kehidupan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala keterikatan kerja, skala kualitas kehidupan kerja, dan skala modal psikologis. Penelitian ini melibatkan 394 orang karyawan perusahaan, terdiri dari pemegang jabatan manager, masinis kepala, asisten kepala, asisten dan mandor yang bekerja di wilayah kerja PT. Perkebunan Nusantara III (Persero). Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode analisis Regresi Berganda. Berdasarkan hipotesis, dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi keterikatan kerja karyawan. Implikasi dari penelitian diharapkan bahwa pihak manajemen dapat memenuhi kebutuhan personal karyawan melalui peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karyawan, mengembangkan modal psikologis karyawan melalui program pengembangan yang relevan, dan dapat mempertimbangkan modal psikologis sebagai salah satu indikator dalam penerimaan karyawan baru dan promosi karyawan.

(16)

The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital toward Work Engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees

Ilmiah, Zulkarnain and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan

ABSTRACT

. Work engagement has important role to achieve performance of

company. There are two factors can influence work engagement, individual factor and organization environment factor. Individual factor is called psychological capital and organization environment factor is called quality of work life. This research aims to investigate the influence of quality of work life and psychological capital toward work engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) employees. This research used three scales; namely quality of work life scale, psychological capital scale, and work engagement scale. This research involved 394 employees of plantation company, PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), consisted of managers, chief engineers, assistants and foremen. Collected data were examined by using multiple regression analysis. Based on the hypothesis, it can be concluded that quality of work life and psychological capital can be used as indicators to predict employee engagement. Implications of this study that management are expected to fulfill employee personal needs through improving the factors which influence quality of work life, developing psychological capital with human resource development program and consider psychological capital as one of indicators for new employee selection dan promotion program.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar

terhadap peningkatan pendapatan Indonesia. Kementerian Pertanian menyatakan

bahwa pada tahun 2013, sektor perkebunan mampu menyumbang devisa bagi

Indonesia senilai 21,4 miliar dolar AS dari perolehan ekspor dengan volume 23,3

juta ton. Penyumbang terbesar volume total ekspor pertanian dan perkebunan

adalah sub sektor perkebunan dengan kontribusi sebesar 97,7% dan dari segi nilai

sebanyak 96,3%. Perolehan devisa ini terutama ditopang komoditi sawit 11,5

miliar dolar AS, karet 5,27 miliar dolar AS, kakao 780 dolar AS dan kopi 920 juta

dolar AS (Antara News, 2014).

Sektor perkebunan mempunyai peran strategis terhadap pertumbuhan

ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, sektor

perkebunan menunjukkan peran strategisnya. Disaat banyak sektor ekonomi

mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan, perkebunan justru memberikan

manfaat terbesar bagi pelakunya. Tidak hanya manfaat dadakan dari ekspor

(windfall profit) sebagai akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar

Amerika, tetapi perkebunan juga telah menjadi salah satu penopang penting

bangsa Indonesia dalam menghadang krisis moneter (Ditjenbun, 2012).

Sektor perkebunan tidak hanya memberikan kontribusi yang signifikan

(18)

kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan dalam bentuk kemitraan dan bina

lingkungan, dan mendorong penyerapan tenaga kerja yang tidak sedikit. Pada

tahun 2013, sebanyak 21,4 juta orang tenaga kerja telah terserap di sektor

perkebunan (Antara News, 2014). Hal ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan

perkebunan menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2004, yaitu untuk

meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara,

meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan lapangan kerja,

meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan

konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri serta mengoptimalkan

pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Sektor perkebunan di Indonesia dikelola oleh tiga kelompok besar pelaku

usaha perkebunan, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan

perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (Ditjenbun, 2012). Salah satu BUMN

yang bergerak di bidang usaha perkebunan adalah PT. Perkebunan Nusantara III

(Persero) dimana seluruh unit kerjanya tersebar di wilayah Sumatera dan Aceh.

PT. Perkebunan Nusantara III bersifat padat karya, kaya dengan sumber daya

manusia yang pada bulan Mei tahun 2014 tercatat memiliki ± 28,000 orang

karyawan (PTPN III, 2014) .

Pada tahun 2013, PT. Perkebunan Nusantara III menunjukkan fenomena

terjadinya penurunan tingkat keterikatan kerja karyawan. Hal ini tergambar dari

beberapa indikator, yaitu terjadinya penurunan produksi tandan buah segar sawit

(19)

5 tahun sebelumnya terus meningkat. Sejalan dengan itu, produktivitas kelapa

sawit 2013 menurun 11.38% dibandingkan tahun 2012, dari 23.46 ton/ha menjadi

20.79 ton/ha. Disamping itu, tingkat turnover karyawan tahun 2013 meningkat

16,81% dibandingkan tahun 2012 dari 119 orang menjadi 139 orang. Mayoritas

turnover disebabkan tindakan indisipliner berupa mangkir dan melanggar

peraturan perusahaan (PTPN III, 2014).

Menurut Schiemann (2009), keterikatan kerja karyawan dapat

digambarkan dari pencapaian kinerja, jumlah hasil yang diinginkan perusahaan,

retensi karyawan, kualitas produk, kepuasan dan loyalitas pelanggan serta kinerja

finansial perusahaan.

Vazirani (2007) mengatakan bahwa seorang karyawan yang sangat terikat

akan secara konsisten bekerja melampaui harapan. Perusahaan yang memiliki

karyawan dengan keterikatan kerja yang tinggi memiliki kinerja yang lebih tinggi.

Hal ini sejalan dengan Gallup yang menyimpulkan dalam penelitiannya

pada tahun 2004 bahwa perusahaan dengan karyawan yang terikat, cenderung

tinggi produktivitasnya, pendapatan perusahaan diatas rata-rata, loyalitas

pelanggan lebih tinggi, tingkat kepuasan kerja karyawannya tinggi, tingkat

turnover dan tingkat absensi karyawannya rendah (Vazirani, 2007).

Gallup dalam hasil penelitiannya pada tahun 2004 menyatakan bahwa

karyawan yang terikat memiliki karakteristik sungguh-sungguh dalam bekerja

dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki berupa pikiran, emosi dan fisik

untuk kemajuan perusahaan. Karyawan yang tidak terikat hanya bekerja dan fokus

(20)

aktif, yang merasa tidak bahagia dalam bekerja, menunjukkan ketidakbahagiaan

mereka, melawan segala sesuatu secara nyata, menanam benih negativitas di

setiap ada kesempatan, mengacaukan pencapaian rekan kerjanya yang terikat,

menimbulkan permasalahan, konflik dan tegangan yang mengakibatkan

ketidakseimbangan dalam organisasi (Vazirani, 2007).

Schaufeli & Bakker (2010) menguraikan bagaimana para pekerja yang

terikat merasakan pekerjaan menjadi perangsang dan sumber energi bagi mereka,

dan sesuatu dimana mereka sungguh-sungguh ingin mencurahkan waktu dan

upayanya; berupaya keras, dan merasa menyatu dengan pekerjaan dimana mereka

berkonsentrasi secara penuh dalam pekerjaannya.

Kahn (1990) menguraikan karyawan yang terikat sebagai karyawan yang

fisik, kognitif dan emosionalnya tercurah secara penuh dalam peran kerja mereka.

Bakker & Demerouti (2008) pula menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa

pekerja yang terikat lebih kreatif, lebih produktif dan lebih berkeinginan untuk

memberikan kinerja terbaiknya.

Pendek kata, hal ini sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Bakker

(2010) bahwa sumber daya manusia yang memiliki tingkat keterikatan yang tinggi

menjadi hal yang penting bagi organisasi. Organisasi akan mendapat manfaat jika

karyawannya secara sadar terikat, pada level tinggi, dengan pekerjaan mereka.

Model keterikatan kerja karyawan yang dikembangkan Bakker &

Demerouti (2008) yang dikenal dengan Job Demands – Resources (JD-R) Model,

(21)

dihadapkan dengan tuntutan kerja (beban kerja, tuntutan emosi, dan tuntutan

mental) yang tinggi.

Faktor lingkungan pekerjaan yang disebut Bakker & Demerouti (2008)

sebagai job resources meliputi lingkungan fisik, sosial dan organisasional

pekerjaan. Terpenuhinya kepuasan atas kebutuhan dasar, dukungan sosial dari

kolega dan atasan, umpan balik (feedback) atasan atas kinerja, kebebasan

mengambil keputusan (otonomi), reward dan pengakuan, kesesuaian nilai-nilai

diri dengan perusahaan, peluang belajar dan berkembang, dan keberagaman skill,

mengawali proses motivasional yang membawa menuju keterikatan kerja, dan

akhirnya berdampak pada kinerja yang lebih tinggi.

Vazirani (2007) mengatakan bahwa penyebab tidak terikatnya karyawan

dengan pekerjaan mereka berhubungan dengan lingkungan kerja yang negatif.

Selanjutnya ia mengatakan bahwa semakin kondusif lingkungan kerja, semakin

tinggi tingkat keterikatan kerja karyawan.

Sejalan dengan itu, Oshagbemi (1999) mengatakan bahwa lingkungan

kerja yang kondusif yang membentuk sikap atau reaksi emosional yang positif

terhadap lingkungan kerja disebut sebagai kualitas kehidupan kerja.

Kanten & Sadullah (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa

kualitas kehidupan kerja mempengaruhi keterikatan kerja karyawan. Pemenuhan

kualitas kehidupan kerja bagi karyawan mengindikasikan bahwa perusahaan

menempatkan sumber daya manusianya sebagai individu yang dapat dipercaya,

individu yang bertanggung jawab dan mampu memberikan kontribusi yang

(22)

bermartabat dan berharga melalui pemenuhan lingkungan kerja yang memuaskan

bagi karyawan. Gaji yang adil dan mencukupi, lingkungan kerja yang sehat dan

aman, kebebasan berekspresi melakukan yang terbaik, penghargaan pada hak-hak

karyawan, teknologi yang mendukung, beban kerja yang wajar, citra perusahaan

yang memuaskan, mutu produk/jasa, peluang penggunaan kemampuan yang

dimiliki dan keseimbangan waktu kerja dengan kehidupan pribadi dan kehidupan

keluarga, pada akhirnya membuat karyawan mengembangkan, menggunakan dan

mencurahkan seluruh kemampuan terbaiknya dalam bekerja, yang dikenal dengan

keterikatan kerja. Seluruh dimensi kualitas kehidupan kerja yang diteliti memiliki

hubungan positif dengan keterikatan kerja, kecuali dimensi keseimbangan waktu

kerja dengan kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga yang dalam penelitian

Kanten & Sadullah (2012) tidak menunjukkan korelasi positif.

Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja, yang bersumber

dari dalam diri karyawan, sesuai JD-R Model, digambarkan oleh Bakker &

Demerouti (2008) dengan istilah personal resources. Karyawan yang memiliki

skor tinggi dalam optimism (kecenderungan untuk percaya bahwa mereka akan

mencapai hasil yang baik dalam hidup), memiliki keyakinan bahwa mereka dapat

memenuhi tuntutan yang dihadapi (self efficacy), tetap bertahan meski

menghadapi kesulitan (resilience) dan percaya bahwa mereka dapat memuaskan

kebutuhan mereka melalui partisipasi dalam peran di organisasi (self esteem),

semua itu akan membuat mereka lebih termotivasi secara intrinsik untuk mencapai

(23)

Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengistilahkan personal resources

dengan modal psikologis, yang merupakan suatu keadaan psikologis positif yang

berkembang pada individu yang dicirikan dengan self efficacy, optimism, hope dan

resilience. Sinergi dan interaksi antar komponen modal psikologis tersebut secara

keseluruhan akan menghasilkan perilaku kerja yang positif dan kinerja yang lebih

baik dibandingkan interaksi secara parsial, seperti : hanya hope & optimism saja.

Selanjutnya Sweetman & Luthans (2010) dalam hasil penelitiannya

menguraikan kenapa modal psikologis terkait dengan keterikatan kerja. Karyawan

yang tinggi dalam modal psikologis memiliki keuletan dan ketekunan, didorong

oleh keyakinan mereka pada keberhasilan ke depan. Modal psikologis juga

senantiasa menyediakan harapan untuk tercapainya sasaran, bahkan dalam

menghadapi tantangan baru, mereka tetap mengharapkan hal-hal baik terjadi pada

mereka.

Xanthopoulou, Bakker, Demerouti & Schaufeli (2007) dalam hasil

penelitiannya menyatakan bahwa 3 elemen modal psikologis (self efficacy, self

esteem dan optimism) meramalkan keterikatan kerja. Karyawan yang terikat

sangat self-efficacious; mereka yakin bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat

mengendalikan peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi dan dapat menyesuaikan

dengan tuntutan yang mereka hadapi dalam konteks luas. Karyawan yang terikat

memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa mereka akan mengalami hasil yang

baik dalam hidup (optimistic) dan bisa memuaskan kebutuhan mereka dengan

berpartisipasi dalam peran kerja di organisasi (self esteem berbasis organisasi).

(24)

menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung yang dapat mendorong

berkembangnya modal psikologis staf mereka. Modal psikologis dapat

dikembangkan untuk mengembalikan kinerja yang melemah dan menghasilkan

manfaat kompetitif.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja

karyawan merupakan variabel penting bagi perusahaan yang keadaannya dapat

berubah sewaktu-waktu, dapat meningkat ataupun menurun. Kualitas kehidupan

kerja dan modal psikologis adalah dua variabel yang berdasarkan hasil penelitian

terdahulu dapat mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.

Terjadinya fenomena menurunnya tingkat keterikatan kerja karyawan

PTPN III, dikaitkan dengan uraian berbagai teori dan temuan penelitian para ahli

tentang keterikatan kerja karyawan serta peran modal psikologis dan kualitas

kehidupan kerja di dalamnya, maka peneliti ingin melihat lebih jauh tentang

Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan

Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III.

B. Rumusan Masalah

Untuk lebih memperjelas dan mengarahkan permasalahan yang

mendasari, maka rumusan permasalahan adalah sebagai berikut :

1. Sejauhmana pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap

keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan Nusantara III;

(25)

3. Bagaimana gambaran modal psikologis karyawan PT. Perkebunan

Nusantara III;

4. Bagaimana gambaran keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan

Nusantara III.

C. Keaslian Penelitian

Penelitian dengan topik keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan

Nusantara III dikaitkan dengan peran kualitas kehidupan kerja dan modal

psikologis, sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti oleh peneliti lain.

Sejumlah literatur yang telah dikaji menunjukkan bahwa penelitian yang

melibatkan keterikatan kerja adalah penelitian Hadi dan Indrianti (2012) tentang

hubungan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja pada perawat.

Kemudian, penelitian Herbert (2011) mengenai peran modal psikologis terhadap

keterikatan kerja dan variabel lain pada perusahaan konstruksi. Ahli lainnya

adalah Hodges (2010) yang melakukan studi eksperimen tentang dampak modal

psikologis terhadap keterikatan kerja dan variabel lainnya pada perusahaan yang

bergerak di bidang jasa keuangan. Selanjutnya, Kanten & Sadullah (2012) yang

meneliti hubungan kualitas kehidupan kerja dan keterikatan kerja pada perusahaan

marmer.

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah

(26)

berpengaruh positif secara signifikan terhadap keterikatan kerja karyawan

PT. Perkebunan Nusantara III.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris mengenai

pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan

kerja karyawan perusahaan perkebunan, sehingga dapat menjadi masukan bagi

disiplin ilmu psikologi sains, psikologi industri dan organisasi, peminatan

pengembangan sumber daya mansusia dan disiplin ilmu lainnya yang terkait.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi PT. Perkebunan

Nusantara III (Persero) dengan uraian sebagai berikut :

a. Sebagai informasi praktis tentang keterikatan kerja karyawan perkebunan dan

faktor-faktor yang mempengaruhinya.

b. Memberikan alternatif solusi dalam permasalahan kinerja perusahaan

perkebunan dikaitkan dengan peranan keterikatan kerja karyawan.

c. Membantu menemukenali faktor-faktor modal psikologis dan kualitas

kehidupan kerja karyawan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan

(27)

d. Menjadi referensi untuk menentukan strategi dalam manajemen sumber daya

manusia yang dapat diterapkan di perusahaan agar muncul perilaku kerja

karyawan yang sesuai dengan harapan, diiringi dengan kinerja optimal

karyawan yang pada akhirnya dapat memelihara kesinambungan

(sustainability) perusahaan.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan teori pendukung dan penelitian terdahulu tentang

masing-masing variabel seperti teori keterikatan kerja karyawan,

teori kualitas kehidupan kerja, teori modal psikologis, hubungan

antara kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dengan

keterikatan kerja karyawan, kerangka konseptual hubungan antar

variabel, dan hipotesa.

BAB III METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tempat penelitian, identifikasi variabel, defenisi

operasional, populasi dan sampel, alat ukur, validitas & reliabilitas

(28)

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini mengurai hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian

terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, deskripsi data

empirik dan hipotetik variabel penelitian, kategorisasi data variabel

penelitian, hasil uji asumsi penelitian dan uji hipotesis penelitian.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(29)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Keterikatan Kerja

1. Definisi Keterikatan Kerja

Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement dinyatakan

Vazirani (2007) sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan yang karyawan miliki

terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya yang terlihat dalam

sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.

Macey, Schneider, Barbera & Young (2009) mengatakan bahwa

keterikatan kerja karyawan adalah suatu keadaan psikologis yang positif terkait

pekerjaan yang dicirikan dengan suatu keinginan murni untuk berkontribusi bagi

kesuksesan organisasi. Dalam keterikatan kerja terdapat hubungan emosional dan

intelektual yang tinggi antara karyawan dengan pekerjaannya, organisasi, manajer

dan rekan kerjanya, sehingga mempengaruhi karyawan untuk melakukan upaya

lebih pada pekerjaannya. Bertambahnya energi, melakukan pekerjaan yang

melebihi harapan, bentuk-bentuk perilaku adaptif atau inovatif untuk kesuksesan

perusahaan merupakan indikasi perilaku keterikatan kerja.

Menurut Schiemann (2009), keterikatan kerja menggambarkan seberapa

jauh karyawan bersedia melampaui persyaratan minimal dari peran mereka untuk

memberikan energi tambahan atau mengadvokasi (membela) organisasi mereka

terhadap perusahaan lainnya sebagai tempat yang baik untuk bekerja atau

(30)

perusahaan lebih lama, memuaskan lebih banyak pelanggan dan memiliki

pengaruh positif yang lebih kuat terhadap hasil perusahaan.

Schaufeli & Bakker (2010) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai

“suatu keadaan pikiran yang positif terkait pekerjaan yang dicirikan dengan vigor,

dedication dan absorption. Vigor dicirikan dengan energi tingkat tinggi dan

fleksibilitas mental saat bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya dalam

pekerjaan, dan tetap teguh meski menghadapi berbagai kesulitan; dedication

mengacu pada keterlibatan yang kuat pada pekerjaan dan mengalami rasa penting,

antusias dan tertantang terhadap pekerjaan; absorption dicirikan dengan

berkonsentrasi secara penuh dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga

waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.

Pendeknya, karyawan yang terikat memiliki level energi yang tinggi dan antusias

dengan pekerjaan mereka.

Kahn (1990) menguraikan karyawan yang terikat sebagai karyawan yang

fisik, kognitif dan emosionalnya terhubung secara penuh dengan peran kerja

mereka.

Marciano (2010) mendefenisikan keterikatan kerja karyawan sebagai

luasan dimana seseorang itu komit, berdedikasi dan loyal dengan organisasi,

supervisor, pekerjaan dan koleganya. Hal ini ditunjukkan dengan gairah dan

antusias terhadap pekerjaan, secara konsisten melebihi sasaran dan harapan,

membawa gagasan baru dalam pekerjaan, berinisiatif, ingin tahu, mendorong dan

(31)

fokus pada tugas, berusaha secara aktif mengembangkan diri, orang lain dan

bisnis serta komit dengan organisasi.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja

karyawan menggambarkan suatu keadaan psikologis yang positif terhadap

pekerjaaan dan organisasi serta nilai-nilai yang ada di dalamnya yang

menimbulkan kesediaan untuk melampaui persyaratan minimal pekerjaan dan

direfleksikan dalam sikap positif kepada organisasi melalui kontribusi kinerja

terbaiknya secara fisik, kognitif dan emosi untuk kesuksesan organisasi.

2. Kategori Keterikatan Kerja

Gallup the Consulting Organization (Vazirani, 2007) menyebut karyawan

yang terikat sebagai pembangun (builders). Mereka ingin tahu harapan yang

diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan melebihi harapan

tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan mereka dan tempat

mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten pada level tinggi. Mereka

ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka dalam bekerja setiap hari.

Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka mendorong inovasi serta

menggerakkan organisasi mereka ke depan.

Selanjutnya, karyawan yang tidak terikat cenderung berkonsentrasi pada

tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan

perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh dan

melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas dibanding

(32)

potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka kadangkala merasakan hal ini karena

mereka tidak memiliki hubungan yang produktif dengan manajer mereka atau

dengan mitra kerja mereka (Vazirani, 2007).

Sedangkan karyawan yang tidak terikat secara aktif, secara konsisten

melawan segala sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam

bekerja, mereka juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka

menanam benih negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja

yang secara aktif tidak terikat, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka yang

terikat. Dalam situasi dimana para pekerja bergantung satu sama lain untuk

menghasilkan produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang dimunculkan

oleh para pekerja yang secara aktif tidak terikat bisa menyebabkan kerusakan

besar bagi fungsi organisasi.

3. Aspek-Aspek Keterikatan Kerja

Berdasarkan definisi keterikatan kerja menurut Schaufeli & Bakker

(2010), terdapat tiga aspek keterikatan, yaitu vigor, dedication dan absorption.

Vigor ditunjukkan dengan tingkat energi yang tinggi dan fleksibilitas mental saat

bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan seluruh energi yang dimiliki untuk

pekerjaan, dan tetap tekun meski menghadapi berbagai kesulitan. Dedication

ditunjukkan dengan kesediaan untuk terlibat secara mendalam pada pekerjaan,

merasa antusias dan bangga dengan pekerjaan, serta selalu merasa tertantang

(33)

dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu terasa cepat berlalu dan

merasa enggan untuk meninggalkan pekerjaan.

Schiemann (2009) menguraikan tiga aspek pembentuk keterikatan kerja,

yaitu : kepuasan, komitmen dan advokasi. Kepuasan merupakan perasaan positif

terhadap perusahaan karena telah terpenuhinya hal-hal mendasar pada karyawan,

yang membawa pada kehadiran karyawan secara psikologis dalam pekerjaannya.

Komitmen menggambarkan keengganan meninggalkan perusahaan dan

kebanggaan sebagai bagian dari perusahaan. Sedangkan advokasi menggambarkan

kesediaan untuk mengerahkan upaya ekstra, bekerja melampaui harapan dan

mendorong orang lain untuk mendukung produk atau jasa perusahaan. Advokasi

menimbulkan semangat dan kekuatan (force) yang akan menjadi bahan bakar pada

perilaku kerja yang lebih efektif.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keterikatan

kerja terdapat 3 aspek, yaitu energi yang tinggi dan ketekunan kerja yang disebut

Schaufeli & Bakker (2010) sebagai vigor, kerelaan dan ketulusan mendedikasikan

kemampuan terbaiknya untuk perusahaan yang disebut dedication serta merasa

senang dalam menjalankan pekerjaan dan lebur dalam pekerjaan yang disebut

absorption.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja

Berdasarkan model keterikatan kerja yang disebut JD-R (Job

(34)

terlihat bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh job resources dan personal

resources.

Model ini menunjukkan bahwa job resources dan personal resources

secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama meramalkan keterikatan kerja

karyawan. Job resources dan personal resources memiliki dampak positif pada

keterikatan kerja saat tuntutan kerja tinggi (Bakker & Demerouti (2008)).

Job resources mengacu pada aspek-aspek lingkungan terkait pekerjaan,

yaitu aspek fisik, sosial atau organisasional dari pekerjaan. Contoh job resource

adalah : dukungan sosial dari kolega dan supervisor, coaching dari supervisor,

feedback kinerja, beragamnya skill dan otonomi, dan lain-lain. Sedangkan

personal resources mengacu pada keadaan psikologis individu, yaitu: optimism,

self efficacy, resiliency dan self esteem (Bakker & Demerouti, 2008).

Menurut Schiemann (2009), banyak faktor yang mempengaruhi

keterikatan kerja karyawan. Jaminan pekerjaan, perlakuan yang adil, kompensasi

yang mencukupi, perlakuan dengan penuh hormat dan bermartabat, faktor-faktor

yang berhubungan dengan stres (seperti beban kerja yang berlebihan, target

kinerja yang tidak realistis, konflik pekerjaan dan keluarga yang disebabkan

adanya ketidakseimbangan), adanya timbal balik hak (konsekwensi positif

perusahaan atas kinerja yang baik dari karyawan) yang tidak hanya mencakup

upah atau benefit yang menarik, tetapi juga pengembangan keterampilan, budaya

inovatif atau ketersediaan sumber daya tertentu yang memungkinkan karyawan

(35)

kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan individu, adanya teman sejawat yang

akrab dan pemimpin yang menginspirasi, dan lain-lain.

Marciano (2010) mengatakan bahwa saat level penghargaan terhadap

seseorang tumbuh, level keterikatan kerjanya juga tumbuh. Hal ini dikembangkan

dari prinsip bahwa jika orang diperlakukan dengan berharga, mereka akan terikat

dan bekerja lebih keras mencapai sasaran organisasi.

Selanjutnya Marciano (2010) menguraikan tujuh faktor yang mendorong

terjadinya keterikatan kerja karyawan yang dirangkumnya dalam 7 Drivers

RESPECT Model, yaitu : Recognition, Empowerment, Supportive feedback,

Partnering, Expectations, Consideration dan Trust. Dengan recognition

(pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan diapresiasi,

pemberian reward (hadiah) diberikan berdasarkan kinerja dan para atasan secara

reguler mengakui anggota tim berhak mendapatkannya. Dalam empowerment

(pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja, sumber daya dan

pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam pekerjaan, memberikan

otonomi dan didorong untuk mengambil risiko. Supportive feedback (umpan balik

yang mendukung) berarti para atasan memberikan feedback yang spesifik pada

waktunya dalam suatu media yang mendukung, tulus dan konstruktif, bukan untuk

membuat malu atau menghukum. Dalam partnering (kemitraan), karyawan

diperlakukan sebagai mitra bisnis dan secara aktif berkolaborasi dalam

pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi keuangan, mendapatkan

keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan bertindak sebagai pendorong

(36)

dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan prioritas bisnis secara

jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui standard kinerja

mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab. Considerations dimana para

atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa tenggang, kepedulian dan

perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha memahami pendapat

dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat karyawan

mengalami permasalahan pribadi. Trust (rasa percaya), dimana para atasan

menunjukkan kepercayaan dan yakin dengan skill dan kemampuan karyawan,

sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan mereka akan bekerja dengan tepat

melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan komitmen mereka sehingga

karyawan mempercayai para atasan.

Xanthopoulou, Bakker & Demerouti (2008) menyatakan bahwa

keterikatan kerja ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor

lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik

pekerjaan, seperti : otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik

kinerja dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu

pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu

untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa

keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal

mengacu pada individu karyawan, sedangkan faktor eksternal mengacu pada

(37)

B. Kualitas Kehidupan Kerja

1. Definisi Kualitas Kehidupan Kerja

Secara umum, kualitas kehidupan kerja yang juga disebut Quality of Work

Life berarti kesesuaian atau ketidaksesuaian lingkungan kerja bagi manusia.

Kualitas kehidupan kerja mengacu pada kualitas hubungan antara karyawan dan

lingkungan kerja keseluruhan (Reddy & Reddy, 2010).

Menurut Ivancevich, Matteson & Konopaske (2006), kualitas kehidupan

kerja adalah filosofi dan praktik manajemen yang meningkatkan harga diri

karyawan, yang memperkenalkan perubahan dalam budaya organisasi, serta

memperbaiki keadaan fisik dan emosional karyawan. Misalkan, menyediakan

kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.

Menurut Cascio (1986), kualitas kehidupan kerja didefinisikan dalam dua

cara pandang. Cara pertama menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan

serangkaian kondisi dan praktek organisasi yang objektif (seperti kebijakan

promosi dari dalam, supervisi yang demokratis, melibatkan karyawan, kondisi

kerja yang aman). Cara kedua menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan

persepsi karyawan terhadap keberadaan fisik dan mental dalam pekerjaan, bahwa

mereka aman, terpuaskan dengan relatif baik, memiliki keseimbangan kehidupan

kerja yang layak, dan mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia.

Cara ini mengaitkan kualitas kehidupan kerja dengan tingkatan dimana kebutuhan

manusia terpenuhi secara penuh.

Mondy (1990) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah luasan

(38)

pengalaman organisasi mereka. Tanggung jawab atas kualitas kehidupan kerja ini

merupakan gabungan tanggung jawab manajemen, serikat pekerja dan anggota

lainnya dalam organisasi.

Davis, Levine & Taylor (1984) menyatakan bahwa kualitas kehidupan

kerja didefinisikan sebagai aspek-aspek kerja dimana anggota-anggota organisasi

melihatnya sebagai suatu yang diinginkan dan dapat meningkatkan mutu

kehidupan dalam pekerjaan. Hal ini bisa berarti bahwa dua organisasi yang

berbeda bisa mendefenisikan kualitas kehidupan kerja secara berbeda. Dalam

organisasi yang samapun, persepsi tentang apa kualitas kehidupan kerja itu bisa

berbeda dari grup yang satu dengan grup yang lain. Meski sifat dan kondisi kerja

bervariasi, persepsi tentang kepuasan juga berbeda antara satu dengan yang lain,

namun ada kesamaan yang penting yang memotong perbedaan-perbedaan ini.

Lawler (1975; Davis et al, 1984) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja

dalam istilah tingkatan dimana lingkungan kerja organisasi memotivasi agar

performance pekerjaan efektif. Kualitas kehidupan kerja yang tinggi setara dengan

motivasi dan tingkat kepuasan karyawan yang tinggi.

Oshagbemi (1999) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah

lingkungan kerja yang kondusif untuk membentuk sikap atau reaksi emosional

positif terhadap lingkungan kerja.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan

kerja adalah kualitas hubungan antara karyawan dengan lingkungan kerjanya

(39)

sumber daya organisasi yang relevan, sehingga hal ini mendorong karyawan di

semua level untuk secara aktif berpartisipasi dalam peningkatan efektivitas

organisasi sekaligus peningkatan mutu kehidupan kerja karyawan itu sendiri.

2. Kriteria Kualitas Kehidupan Kerja

Walton (1973) menyatakan bahwa terdapat 8 kriteria yang

menggambarkan kualitas kehidupan kerja karyawan, yaitu :

a. Kompensasi yang adil dan mencukupi. Artinya kompensasi yang ditawarkan

sesuai dengan standard minimal pribadi karyawan dan adil jika dibandingkan

dengan karyawan lain.

b. Lingkungan kerja yang selamat dan sehat. Kondisi kerja yang tidak sehat dan

berbahaya menyebabkan permasalahan bagi karyawan dan pemberi kerja.

Kondisi kerja yang sehat dan selamat mempengaruhi produktivitas kerja

karyawan untuk jangka panjang. Karenanya, investasi yang memadai harus

dibuat untuk menjamin kondisi kerja yang selamat dan menyehatkan.

Menurut perundangan, fokus perhatian untuk peningkatan situasi kerja

meliputi kebisingan, penerangan, space kerja, penghindaran kecelakaan,

risiko kecelakaan yang rendah, penerapan jam kerja, dan batasan usia yang

potensial bagi karyawan.

c. Peluang penggunaan dan pengembangan kemampuan. Hal ini terkait dengaan

bagaimana organisasi memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk

mengembangkan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam

(40)

d. Peluang untuk tumbuh dan keamanan kerja berkaitan dengan bagaimana

organisasi menyediakan fasilitas yang dapat meningkatkan kemampuan

karyawan dalam bekerja (seperti pelatihan dan seminar), kejelasan dalam

karir serta rasa aman bahwa mereka dapat terus bekerja pada perusahaan

e. Adanya integrasi sosial dalam organisasi. Hal ini terkait dengan hubungan

yang terjalin antara karyawan dengan rekan kerja maupun perusahaan,

dimana karyawan memiliki hubungan yang baik dan dapat bekerja sama

dengan rekan kerja maupun atasan, serta memiliki keterikatan dengan

perusahaan.

f. Perlembagaan dalam organisasi terkait dengan hak-hak karyawan sebagai

pekerja di dalam organisasi, ketersediaan lingkungan yang demokratis bagi

karyawan, serta kebebasan dan kesamaan dalam segala hal.

g. Keseimbangan antara pekerjaan dengan ruang kehidupan pekerja mencakup

pengaruh pekerjaan terhadap peran-peran kehidupan pribadi. Pekerjaan,

keluarga dan kehidupan pribadi diharapkan dapat tetap seimbang.

h. Relevansi sosial kehidupan kerja mencakup tanggung jawab sosial

perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar serta karyawan yang

bekerja di perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari penilaian karyawan terhadap

hal-hal yang sudah dilakukan perusahaan (seperti penyediaan produk dengan

kualitas tinggi, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan lain-lain), serta rasa

bangga karyawan terhadap perusahaan.

(41)

sehat, selamat dan aman; adanya peluang untuk tumbuh dan berkembang; peluang

penggunaan dan pengembangan kemampuan; keseimbangan antara pekerjaan,

kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga; hubungan kerja yang baik; dan

tanggung jawab sosial perusahaan yang membangun kebanggaan karyawan.

C. Modal Psikologis

1. Definisi Modal Psikologis

Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007), modal psikologis atau yang

disebut psychological capital adalah kondisi perkembangan psikologi positif

individu yang dicirikan dengan mempunyai keyakinan (self efficacy) untuk

berusaha mencapai kesuksesan dalam menghadapi tugas yang menantang;

membuat atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan masa

mendatang; ketekunan menuju sasaran, kemampuan mengarahkan diri mencapai

tujuan (hope) menuju kesuksesan; dan ketika dilanda masalah dan kesulitan, tetap

bertahan dan kembali ulet bahkan melampaui (resiliency) untuk meraih sukses.

Kristiawan & Yunanto (2013) menguraikan lebih lanjut bahwa dalam

kaitannya dengan keadaan di tempat kerja, self efficacy didefinisikan sebagai

keyakinan dan kepercayaan individu tentang kemampuannya untuk menggerakkan

motivasi, sumber daya kognitif dan latihan tindakan yang dibutuhkan untuk

menyelesaikan suatu tugas tertentu. Self efficacy membantu individu dalam

menghadapi hambatan dan coping terhadap stres. Optimism adalah orientasi

mencapai tujuan ketika hasil yang diinginkan mempunyai nilai yang dianggap

(42)

keadaan positif dan negatif yang berkaitan dengan titik pandang seseorang secara

umum. Orang yang optimis menganggap situasi negatif sebagai faktor eksternal,

temporal, sebaliknya orang yang pesimis menganggap situasi negatif sebagai

faktor internal, konstan dan umum. Hope adalah suatu keadaan motivasional

termasuk di dalamnya keyakinan untuk dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

Hope merupakan suatu kondisi motivasi positif yang didasarkan pada pencapaian

tujuan. Hal ini melibatkan proses mengidentifikasi tujuan secara personal, mencari

berbagai macam cara untuk mencapainya dan menyediakan sumber daya untuk

mencapai tujuan. Resiliency didefenisikan sebagai suatu kemampuan psikologis

untuk membalikkan keadaan dari konflik dan kegagalan.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa modal psikologis

merupakan sumber daya psikologis positif dalam diri individu yang dapat

membawa menuju kesuksesan.

2. Komponen Modal Psikologis

Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengatakan bahwa modal psikologis

merupakan konstruk inti yang terdiri dari sumber daya psikologi positif, yaitu

hope, optimism, self efficacy dan resiliency.

Hope digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu keadaan

motivasional yang positif untuk mencapai kesuksesan yang merupakan hasil

(43)

lebih percaya diri dalam mengambil tugas, memiliki energi dan keinginan yang

kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya, dan cenderung

memiliki cara alternatif ketika hambatan muncul, sehingga menghasilkan kinerja

yang lebih tinggi.

Optimism digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu ekspektasi

positif ke depan yang terbuka terhadap pengembangan. Yungsiana et al (2013)

menguraikan bahwa individu yang optimis memiliki harapan bahwa hal-hal baik

akan terjadi pada dirinya, tidak mudah menyerah dan biasanya cenderung

memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Mereka berusaha

menggapai harapan dengan pemikiran yang positif, bekerja keras dalam

menghadapi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, memiliki impian untuk

mencapai tujuan, berjuang sekuat tenaga, tidak ingin duduk berdiam diri menanti

keberhasilan yang akan diberikan oleh orang lain, ingin melakukan sendiri segala

sesuatunya dan tidak ingin memikirkan ketidakberhasilan sebelum mencoba, dan

berpikir yang terbaik.

Self Efficacy digambarkan Luthans et al (2007) sebagai keyakinan

seseorang tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber daya

kognitif dan tindakan yang dibutuhkan agar sukses dalam melaksanakan suatu

tugas spesifik. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang memiliki self

efficacy tinggi, yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa

dan situasi yang dihadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas, percaya pada

kemampuan diri yang dimiliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan

(44)

dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha

yang kuat terhadap apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha pada saat

menghadapi kegagalan, fokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam

menghadapi kesulitan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan

bahwa dirinya mampu mengontrolnya.

Resiliency digambarkan Luthans et al (2007) sebagai kapasitas untuk

mengatasi atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan atau tanggung

jawab yang meningkat. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang

memiliki resiliency yang tinggi biasanya cepat memulihkan rasa mampu setelah

mengalami kegagalan.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa modal psikologis

memiliki empat komponen, yaitu : hope (kemampuan untuk mengarahkan diri

mencapai tujuan dengan tekun), optimism (membuat atribusi positif tentang

keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang), self efficacy (keyakinan

untuk mencapai kesuksesan pada tugas-tugas yang menantang) dan resiliency

(kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan dan kegagalan).

D. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Keterikatan Kerja

Kanten & Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa

kualitas kehidupan kerja membantu karyawan dalam mengelola kehidupan

personal mereka yang pada akhirnya dapat meningkatkan keterikatan kerja

(45)

Mengacu pada teori kualitas kehidupan kerja Walton (1973), Kanten &

Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa masing-masing dimensi

kualitas kehidupan kerja, kecuali dimensi work occupancy memiliki hubungan

positif yang signifikan dengan keterikatan kerja. Work occupancy meliputi aspek

pengaruh pekerjaan terhadap waktu luang, jadwal kerja dan waktu istirahat, serta

pengaruh pekerjaan pada kehidupan keluarga. Salah satu kesimpulan penelitian

adalah bahwa organisasi yang mampu memenuhi hak-hak karyawannya

(constitutionalism), mampu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung,

adanya relevansi sosial, memberikan kompensasi yang adil dan mencukupi,

menyediakan peluang penggunaan kemampuan, peluang penggunaan dan

pengembangan kemampuan, peluang tumbuh dan keamanan kerja, dan adanya

integrasi sosial, dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan.

Mendukung penelitian Kanten & Sadullah (2012) diatas, Yipyintum

(2012) dalam hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa karyawan yang merasa

bahagia dengan kualitas kehidupan kerja yang baik, menunjukkan produktivitas

dan kualitas kehidupan kerja yang lebih baik, sikap positif dan niat untuk lebih

komit pada organisasi.

Marciano (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa keterikatan

kerja dapat timbul melalui perasaan respect (berharga). Respect (rasa berharga) ini

diperoleh melalui organisasi, kepemimpinan, anggota tim, pekerjaan dan individu

itu sendiri. Organisasi terkait dengan misi, visi, tata nilai, sasaran, kebijakan dan

tindakan yang ditetapkan organisasi sehingga membuat karyawan bangga

(46)

dengan pengawas (atasan) langsung karyawan yang dipercaya bahwa dia

kompeten dan memiliki etika, mampu membuat keputusan yang baik dan

memperlakukan orang-orang dengan adil. Anggota tim terkait dengan rasa

percaya bahwa mereka kompeten, bekerjasama, jujur, mendukung dan

berkeinginan untuk memenuhi beban kerja. Pekerjaan berkaitan dengan sifat

pekerjaan yang menantang, mendapat reward menarik dan memiliki nilai bagi

pelanggan internal dan eksternal. Individu terkait dengan perasaan dihargai oleh

organisasi, atasan dan anggota tim. Hasil penelitian Marciano (2010)

menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki pengaruh kuat terhadap

keterikatan kerja karyawan.

Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa keterikatan kerja karyawan

dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dikenal dengan sebutan kualitas

kehidupan kerja.

E. Pengaruh Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja

Terkait dengan modal psikologis, Hodges (2010) menyimpulkan hasil

penelitiannya bahwa terdapat hubungan signifikan antara modal psikologis dengan

keterikatan kerja karyawan. Self efficacy yang merupakan bagian dari modal

psikologis, merupakan keyakinan diri untuk mengatur dan melaksanakan tindakan

yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian yang ditetapkan. Keyakinan self

efficacy telah dicatat sebagai suatu faktor yang berkontribusi bagi individu untuk

(47)

signifikan. Kapasitas modal psikologis berikutnya, Hope, yang merupakan

keadaan motivasi yang di dalamnya terdapat agency (energi) dan pathways (cara)

untuk mencapai tujuan. Tingginya kapasitas hope menimbulkan kemampuan

untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang mungkin untuk mencapai tujuan.

Selanjutnya, kapasitas psikologi Optimism, berpikir tentang masa depan yang

memunculkan energi untuk berjuang mengejar tujuan secara aktif. Kapasitas

psikologi terakhir, Resilience, yang membawa kemampuan bagi karyawan untuk

berhasil dalam menghadapi perubahan, kesulitan dan risiko, serta bangkit kembali

dari keterpurukan dan kegagalan. Keempat kapasitas psikologi dalam modal

psikologis mendukung kemunculan perilaku keterikatan kerja, bersemangat,

berenergi dan antusias serta memberikan upaya lebih dalam melaksanakan

pekerjaan untuk mencapai tujuan. Semakin tinggi modal psikologis, semakin

tinggi harapan hal-hal baik terjadi dalam pekerjaan, semakin percaya mereka

mampu menciptakan kesuksesan mereka sendiri, dan lebih mampu bangkit lagi

dari kesulitan, jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal psikologis

rendah.

Sejalan dengan itu, Herbert (2011) dalam penelitiannya menemukan

bahwa sub dimensi modal psikologis tertentu (seperti optimism dan self efficacy)

dapat memprediksi varians dalam vigor dan dedication secara kuat. Terlihat

bahwa level modal psikologis yang semakin tinggi, khususnya optimism dan self

efficacy, bisa meningkatkan keseluruhan keterikatan kerja seorang individu dalam

pekerjaannya yang bisa berdampak pada hasil positif bagi individu, juga

(48)

depan, meski menghadapi hambatan serius, mereka percaya bahwa mereka

memiliki kemampuan untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif atau

tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan suatu tugas khusus. Hal itu

menyebabkan terikatnya individu dalam pekerjaannya.

Xanthopoulou et al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa

keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor individual. Faktor

individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency

dan rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka

dengan sukses. Faktor individual ini disebut dengan personal resource yang

terdiri dari self efficacy, self esteem dan optimism. Konsep personal resource ini

paralel dengan konsep modal psikologis yang dikembangkan oleh Luthans et al

(2007) yang terdiri dari empat sumber daya, yaitu optimism, efficacy, resiliency

dan hope.

Avey, Wensing & Luthans (2008) menemukan bahwa karyawan dengan

level tinggi pada modal psikologis mengalami emosi yang lebih positif, yang

terkait dengan keterikatan kerja mereka. Seorang karyawan yang penuh harapan

(sebagai suatu elemen modal psikologis) bisa menciptakan suatu visi karir yang

dia inginkan dalam hidupnya atau suatu kegigihan yang membuatnya fleksibel dan

bertahan pada semua tantangan dan tekanan yang dihadapi dalam pekerjaan.

Avey, Reichard, Luthans & Mhatre (2011) dalam penelitiannya

menyatakan bahwa modal psikologis berhubungan dengan komitmen terhadap

Gambar

Gambar 1. Skema Hubungan Antar Variabel
Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Sebelum Uji Coba
Uraian Dimensi Kualitas Kehidupan KerjaTabel 3
Tabel 4. Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya pengaruh kualitas kehidupan kerja terhadap kepuasan kerja juga mengindikasikan bahwa kualitas kehidupan kerja yang diciptakan oleh pihak manajemen, dalam hal

Program ini dilakukan untuk menghadapi perubahan dan merupakan sarana untuk tercapainya kinerja yang diharapkan akan meningkatkan kualitas kehidupan kerja para karyawan..

Faktor ini mencakup kehidupan pribadi karyawan terutama persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karkteristik kepribadian bawaan. 1) Faktor persoalan keluarga,

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa faktor- faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja adalah kebutuhan ( imbalan), keinginan

Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi kerja karyawan, seperti kebutuhan keselamatan dan keamanan, tingkat upah/ gaji yang diberikan, keterlibatan karyawan dalam

Dengan demikian, hasil pra-asesmen yang dilakukan dengan menggunakan skala pengukuran kualitas kehidupan kerja diharapkan dapat mewakili kondisi karyawan kantor pusat

Adapun saran bagi subjek yaitu karyawan PT Pelindo III Persero cabang Banjarmasin diharapkan dapat mempertahankan keterikatan kerja work engagement yang dimiliki saat ini melalui

3 Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja karyawan adalah faktor Psikologis, faktor psikologis merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan yang meliputi,