PENGARUH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA DAN MODAL PSIKOLOGIS
TERHADAP KETERIKATAN KERJA KARYAWAN
PT. PERKEBUNAN NUSANTARA III (PERSERO)
(The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital Toward Work
Egagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees)
T E S I S
Digunakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
dalam Program Studi Magister Psikologi Sains
Universitas Sumatera Utara
Oleh :
I L M I A H
NIM. 127049004
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis
saya yang berjudul “Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap
Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero)” merupakan hasil
karya saya sendiri dan belum pernah diajukan ke perguruan tinggi manapun, sebagai syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains di Program Studi Magister Psikologi Sains,
Universitas Sumatera Utara.
Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis ini yang saya kutip dari hasil karya
orang lain telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika
penulisan ilmiah.
Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Medan, Januari 2015
Yang menyatakan,
I l m i a h
LEMBAR PERSEMBAHAN
Tesis ini dipersembahkan
kepada Umi dan Mama tercinta yang telah membekaskan banyak pembelajaran untukku tentang kehidupan,
untuk my beloved inspirator Mas Tio Handoko dan para perusuh yang menyenangkan : Mas Ridho, Mas Khalil, Mas
Furqon dan Mbak Rara.
Teristimewa untuk seluruh guruku yang telah mencurahkan ilmu, energi dan waktu yang tak dapat ternilai dengan apapun.
UCAPAN TERIMA KASIH
Sungguh merupakan anugerah yang sangat penulis syukuri, menyadari bahwa
pada akhirnya, penelitian ini dapat terselesaikan. Penelitian ini merupakan hasil karya yang
melibatkan banyak pihak. Untuk itu, terima kasih yang sangat, saya persembahkan untuk :
1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera
Utara yang membuat atmosfir akademik di Program Magister Sains Psikologi ini sangat
kondusif dalam menuntut ilmu dan melaksanakan penelitian.
2. Bapak Zulkarnain, Ph.D, psikolog selaku Ketua Program Pendidikan Magister
Psikologi Sains Universitas Sumatera Utara, yang sekaligus juga merupakan dosen
pembimbing. . High appreciation for you. You are not a best coach only, but a good
motivator too, even in your busiest time.
3. Ibu Vivi Gusrini Rahmadani Pohan, MA, M.Sc, psikolog selaku Pembimbng II dan
Bapak Ferry Novliadi, M.Si, psikolog selaku penguji, yang telah banyak memberikan
masukan berharga untuk penyempurnaan tesis ini.
4. Seluruh dosen Magister Psikologi Sains Universitas Sumatera Utara yang telah
berkenan berbagi ilmu dan waktu dalam proses pembelajaran di bangku kuliah.
5. Seluruh pegawai sekretariat Magister Psikologi Sains, Ardi, Bu Dina, Bu Rahma,
terima kasih atas segala bantuannya selama ini.
6. Bapak H. Ahmad Gusmar Harahap, Kepala Bagian SDM PT. Perkebunan Nusantara III,
yang telah memfasilitasi proses pengambilan data.
8. Seluruh karyawan PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) yang telah berkenan menjadi
subjek penelitian.
9. Teman-teman dalam suka duka, tempat berbagi cerita dan pengalaman, yang tanpa
pamrih saling bantu dan saling mendukung dalam proses belajar dan penelitian. Ada
Rika, Bu Endang, Linda, Uyun, Findy, Lisda, Bu Murni, Poppy, Kwinna, Bu Kasta,
Marasdhona dan David. It will be unforgettable moments for me.
10.Keluarga tercinta yang dengan setia menjadi penyemangat agar penelitian ini dapat
terselesaikan segera.
11.Seluruh pihak yang telah membantu, secara langsung maupun tak langsung, yang
namanya belum tercantum dalam tulisan ini. Thank’s for all. May God bless all of you.
Amiin.
Penelitian ini jauh dari sempurna dan disadari butuh banyak masukan untuk
perbaikan. Sekecil apapun masukan yang diberikan, akan menjadi poin berharga dalam
proses pembelajaran peneliti.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, saya berharap bahwa hasil karya anak
manusia yang tak pernah bosan untuk belajar ini, akan memberi manfaat, minimalnya bagi
para pemerhati manajemen sumber daya manusia. Terima kasih atas perhatian yang
diberikan.
Medan, Januari 2015 Peneliti,
DAFTAR ISI
Hal.
Lembar Cover ……….……… i
Lembar Pengesahan ..…….………. ii
Lembar Pernyataan ..……..………. iii
Lembar Persembahan …...……….. iv
Ucapan Terima Kasih ……..………... v
Daftar Isi ………. vii
Daftar Tabel ……… x
Daftar Gambar ……… xii
Daftar Lampiran ……… xiii
Abstrak ……….. xiv
Abstract ………. xv
Bab I PENDAHULUAN ….………... 1
A. Latar Belakang Masalah ……….. 1
B. Rumusan Masalah ……….. 8
C. Keaslian Penelitian ……….. 9
D. Tujuan Penelitian ……… 9
E. Manfaat Penelitian ……….. 10
F. Sistematika Penelitian ………. 11
Bab II LANDASAN TEORI ………... 13
3. Aspek-Aspek Keterikatan Kerja ……….. 16
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja ………… 17
B. Kualitas Kehidupan Kerja .………...………. 21
1. Definisi Kualitas Kehidupan Kerja ...…...……… 21
2. Kriteria Kualitas Kehidupan Kerja ………... 23
C. Modal Psikologis ………..………. 25
1. Definisi Modal Psikologis ...………... 25
2. Komponen Modal Psikologis...……… 26
D. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Keterikatan Kerja ….. 28
E. Pengaruh Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja ... 30
F. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja ………... 33
G. Skema Hubungan Antar Variabel ... 36
H. Hipotesis Penelitian ……… 37
Bab III METODE PENELITIAN………... 38
A. Identifikasi Variabel ……… 38
B. Definisi Operasional Variabel ……… 38
1. Keterikatan Kerja ……….. 38
2. Kualitas Kehidupan Kerja ………. 38
3. Modal Psikologis ……….. 39
C. Subjek Penelitian ………. 40
D. Metode Pengumpulan Data ………. 41
1. Alat Pengumpulan Data ……… 41
3. Hasil Uji Coba Alat Ukur ……..……….. 49
E. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………... 53
1. Persiapan Penelitian ………. 53
2. Pelaksanaan Penelitian ……….. 53
3. Pengolahan Data Penelitian dan Pelaporan ………. 55
F. Metode Analisa Data ……….. 55
Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……… 58
A. Hasil Penelitian ……….. 58
1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ……… 58
2. Kategorisasi Data Variabel Penelitian ………. 62
3. Hasil Uji Asumsi Penelitian ……… 64
4. Uji Hipotesis Penelitian ……… 69
B. Pembahasan ……… 71
Bab V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 79
A. Kesimpulan ……… 79
B. Saran ………. 79
Daftar Pustaka ……… 83
DAFTAR TABEL
Hal.
Tabel 1 Uraian Dimensi Keterikatan Kerja ……….... 41
Tabel 2 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Sebelum Uji Coba ... 42
Tabel 3 Uraian Dimensi Kualitas Kehidupan Kerja ………..... 43
Tabel 4 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Sebelum Uji Coba ...
44
Tabel 5 Uraian Dimensi Modal Psikologis………... 45
Tabel 6 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Sebelum Uji Coba ... 46
Tabel 7 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Setelah Uji Coba ……. 50
Tabel 8 Distribusi Aitem-Aitem Skala Keterikatan Kerja Penelitian …….…….. 50
Tabel 9 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Setelah Uji Coba ……. 51
Tabel 10 Distribusi Aitem-Aitem Skala Modal Psikologis Penelitian ……… 51
Tabel 11 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Setelah Uji
Coba ……….. 52
Tabel 12 Distribusi Aitem-Aitem Skala Kualitas Kehidupan Kerja Penelitian…… 52
Tabel 13 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Kelompok Jabatan ………… 58
Tabel 14 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Usia ……….. 59
Tabel 15 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Area Kerja ……… 60
Tabel 16 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Masa Kerja ………. 61
Tabel 17 Gambaran Subjek Penelitian Berdasarkan Tingkat Pendidikan ………… 62
Tabel 18 Data Mean Empirik dan MeanHipotetik Variabel Penelitian ………….. 63
Tabel 20 Data Uji Normalitas Sebaran Data Penelitian One-Sample Kolmogorov
Smirvov Test ………. 65
Tabel 21 Uji Asumsi Linearitas Keterikatan Kerja dan Modal Psikologis ………. 66
Tabel 22 Uji Asumsi Linearitas Keterikatan Kerja dan Kualitas Kehidupan Kerja 66 Tabel 23 Tabel Koefisien Nilai Toleransi dan VIF ………. 68
Tabel 24 Model SummaryNilai Durbin Watson ………. 69
Tabel 25 Anova Analisis Regresi Berganda ………. 70
Tabel 26 Model Summary Prediktor Keterikatan Kerja ……….. 70
DAFTAR GAMBAR
Hal.
Gambar 1 Skema Hubungan Antar Variabel ... 37
Gambar 2 Kurva Normalitas Data Penelitian ……… 65
Gambar 3 Grafik Linearitas Data Penelitian ………. 67
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Skala Penelitian Sebelum Uji Coba
Lampiran B Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala
Lampiran C Skala Penelitian
Lampiran D Uji Asumsi dan Hasil Penelitian
Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis Terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusanrara III (Persero)
Ilmiah, Zulkarnain, dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRAK
.
Keterikatan kerja karyawan memainkan peranan penting untuk pencapaian kinerja suatu perusahaan. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan organisasi. Faktor yang bersumber dari dalam diri individu disebut modal psikologis dan faktor yang bersumber dari lingkungan kerja disebut kualitas kehidupan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala keterikatan kerja, skala kualitas kehidupan kerja, dan skala modal psikologis. Penelitian ini melibatkan 394 orang karyawan perusahaan, terdiri dari pemegang jabatan manager, masinis kepala, asisten kepala, asisten dan mandor yang bekerja di wilayah kerja PT. Perkebunan Nusantara III (Persero). Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode analisis Regresi Berganda. Berdasarkan hipotesis, dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi keterikatan kerja karyawan. Implikasi dari penelitian diharapkan bahwa pihak manajemen dapat memenuhi kebutuhan personal karyawan melalui peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karyawan, mengembangkan modal psikologis karyawan melalui program pengembangan yang relevan, dan dapat mempertimbangkan modal psikologis sebagai salah satu indikator dalam penerimaan karyawan baru dan promosi karyawan.
The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital toward Work Engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees
Ilmiah, Zulkarnain and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRACT
. Work engagement has important role to achieve performance of
company. There are two factors can influence work engagement, individual factor and organization environment factor. Individual factor is called psychological capital and organization environment factor is called quality of work life. This research aims to investigate the influence of quality of work life and psychological capital toward work engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) employees. This research used three scales; namely quality of work life scale, psychological capital scale, and work engagement scale. This research involved 394 employees of plantation company, PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), consisted of managers, chief engineers, assistants and foremen. Collected data were examined by using multiple regression analysis. Based on the hypothesis, it can be concluded that quality of work life and psychological capital can be used as indicators to predict employee engagement. Implications of this study that management are expected to fulfill employee personal needs through improving the factors which influence quality of work life, developing psychological capital with human resource development program and consider psychological capital as one of indicators for new employee selection dan promotion program.
Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis Terhadap Keterikatan Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusanrara III (Persero)
Ilmiah, Zulkarnain, dan Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRAK
.
Keterikatan kerja karyawan memainkan peranan penting untuk pencapaian kinerja suatu perusahaan. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi keterikatan kerja, yaitu faktor individu dan faktor lingkungan organisasi. Faktor yang bersumber dari dalam diri individu disebut modal psikologis dan faktor yang bersumber dari lingkungan kerja disebut kualitas kehidupan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan kerja karyawan. Penelitian ini menggunakan tiga skala, yaitu skala keterikatan kerja, skala kualitas kehidupan kerja, dan skala modal psikologis. Penelitian ini melibatkan 394 orang karyawan perusahaan, terdiri dari pemegang jabatan manager, masinis kepala, asisten kepala, asisten dan mandor yang bekerja di wilayah kerja PT. Perkebunan Nusantara III (Persero). Data yang telah terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode analisis Regresi Berganda. Berdasarkan hipotesis, dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dapat dijadikan prediktor untuk memprediksi keterikatan kerja karyawan. Implikasi dari penelitian diharapkan bahwa pihak manajemen dapat memenuhi kebutuhan personal karyawan melalui peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karyawan, mengembangkan modal psikologis karyawan melalui program pengembangan yang relevan, dan dapat mempertimbangkan modal psikologis sebagai salah satu indikator dalam penerimaan karyawan baru dan promosi karyawan.
The Influence of Quality of Work Life and Psychological Capital toward Work Engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) Employees
Ilmiah, Zulkarnain and Vivi Gusrini Rahmadani Pohan
ABSTRACT
. Work engagement has important role to achieve performance of
company. There are two factors can influence work engagement, individual factor and organization environment factor. Individual factor is called psychological capital and organization environment factor is called quality of work life. This research aims to investigate the influence of quality of work life and psychological capital toward work engagement of PT. Perkebunan Nusantara III (Persero) employees. This research used three scales; namely quality of work life scale, psychological capital scale, and work engagement scale. This research involved 394 employees of plantation company, PT. Perkebunan Nusantara III (Persero), consisted of managers, chief engineers, assistants and foremen. Collected data were examined by using multiple regression analysis. Based on the hypothesis, it can be concluded that quality of work life and psychological capital can be used as indicators to predict employee engagement. Implications of this study that management are expected to fulfill employee personal needs through improving the factors which influence quality of work life, developing psychological capital with human resource development program and consider psychological capital as one of indicators for new employee selection dan promotion program.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkebunan tercatat sebagai sektor yang memiliki kontribusi besar
terhadap peningkatan pendapatan Indonesia. Kementerian Pertanian menyatakan
bahwa pada tahun 2013, sektor perkebunan mampu menyumbang devisa bagi
Indonesia senilai 21,4 miliar dolar AS dari perolehan ekspor dengan volume 23,3
juta ton. Penyumbang terbesar volume total ekspor pertanian dan perkebunan
adalah sub sektor perkebunan dengan kontribusi sebesar 97,7% dan dari segi nilai
sebanyak 96,3%. Perolehan devisa ini terutama ditopang komoditi sawit 11,5
miliar dolar AS, karet 5,27 miliar dolar AS, kakao 780 dolar AS dan kopi 920 juta
dolar AS (Antara News, 2014).
Sektor perkebunan mempunyai peran strategis terhadap pertumbuhan
ekonomi. Ketika Indonesia mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998, sektor
perkebunan menunjukkan peran strategisnya. Disaat banyak sektor ekonomi
mengalami kemunduran bahkan kelumpuhan, perkebunan justru memberikan
manfaat terbesar bagi pelakunya. Tidak hanya manfaat dadakan dari ekspor
(windfall profit) sebagai akibat pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar
Amerika, tetapi perkebunan juga telah menjadi salah satu penopang penting
bangsa Indonesia dalam menghadang krisis moneter (Ditjenbun, 2012).
Sektor perkebunan tidak hanya memberikan kontribusi yang signifikan
kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan dalam bentuk kemitraan dan bina
lingkungan, dan mendorong penyerapan tenaga kerja yang tidak sedikit. Pada
tahun 2013, sebanyak 21,4 juta orang tenaga kerja telah terserap di sektor
perkebunan (Antara News, 2014). Hal ini sejalan dengan tujuan penyelenggaraan
perkebunan menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2004, yaitu untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara,
meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan lapangan kerja,
meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan
konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri serta mengoptimalkan
pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan.
Sektor perkebunan di Indonesia dikelola oleh tiga kelompok besar pelaku
usaha perkebunan, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan
perkebunan swasta dan perkebunan rakyat (Ditjenbun, 2012). Salah satu BUMN
yang bergerak di bidang usaha perkebunan adalah PT. Perkebunan Nusantara III
(Persero) dimana seluruh unit kerjanya tersebar di wilayah Sumatera dan Aceh.
PT. Perkebunan Nusantara III bersifat padat karya, kaya dengan sumber daya
manusia yang pada bulan Mei tahun 2014 tercatat memiliki ± 28,000 orang
karyawan (PTPN III, 2014) .
Pada tahun 2013, PT. Perkebunan Nusantara III menunjukkan fenomena
terjadinya penurunan tingkat keterikatan kerja karyawan. Hal ini tergambar dari
beberapa indikator, yaitu terjadinya penurunan produksi tandan buah segar sawit
5 tahun sebelumnya terus meningkat. Sejalan dengan itu, produktivitas kelapa
sawit 2013 menurun 11.38% dibandingkan tahun 2012, dari 23.46 ton/ha menjadi
20.79 ton/ha. Disamping itu, tingkat turnover karyawan tahun 2013 meningkat
16,81% dibandingkan tahun 2012 dari 119 orang menjadi 139 orang. Mayoritas
turnover disebabkan tindakan indisipliner berupa mangkir dan melanggar
peraturan perusahaan (PTPN III, 2014).
Menurut Schiemann (2009), keterikatan kerja karyawan dapat
digambarkan dari pencapaian kinerja, jumlah hasil yang diinginkan perusahaan,
retensi karyawan, kualitas produk, kepuasan dan loyalitas pelanggan serta kinerja
finansial perusahaan.
Vazirani (2007) mengatakan bahwa seorang karyawan yang sangat terikat
akan secara konsisten bekerja melampaui harapan. Perusahaan yang memiliki
karyawan dengan keterikatan kerja yang tinggi memiliki kinerja yang lebih tinggi.
Hal ini sejalan dengan Gallup yang menyimpulkan dalam penelitiannya
pada tahun 2004 bahwa perusahaan dengan karyawan yang terikat, cenderung
tinggi produktivitasnya, pendapatan perusahaan diatas rata-rata, loyalitas
pelanggan lebih tinggi, tingkat kepuasan kerja karyawannya tinggi, tingkat
turnover dan tingkat absensi karyawannya rendah (Vazirani, 2007).
Gallup dalam hasil penelitiannya pada tahun 2004 menyatakan bahwa
karyawan yang terikat memiliki karakteristik sungguh-sungguh dalam bekerja
dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki berupa pikiran, emosi dan fisik
untuk kemajuan perusahaan. Karyawan yang tidak terikat hanya bekerja dan fokus
aktif, yang merasa tidak bahagia dalam bekerja, menunjukkan ketidakbahagiaan
mereka, melawan segala sesuatu secara nyata, menanam benih negativitas di
setiap ada kesempatan, mengacaukan pencapaian rekan kerjanya yang terikat,
menimbulkan permasalahan, konflik dan tegangan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan dalam organisasi (Vazirani, 2007).
Schaufeli & Bakker (2010) menguraikan bagaimana para pekerja yang
terikat merasakan pekerjaan menjadi perangsang dan sumber energi bagi mereka,
dan sesuatu dimana mereka sungguh-sungguh ingin mencurahkan waktu dan
upayanya; berupaya keras, dan merasa menyatu dengan pekerjaan dimana mereka
berkonsentrasi secara penuh dalam pekerjaannya.
Kahn (1990) menguraikan karyawan yang terikat sebagai karyawan yang
fisik, kognitif dan emosionalnya tercurah secara penuh dalam peran kerja mereka.
Bakker & Demerouti (2008) pula menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa
pekerja yang terikat lebih kreatif, lebih produktif dan lebih berkeinginan untuk
memberikan kinerja terbaiknya.
Pendek kata, hal ini sejalan dengan apa yang ditekankan oleh Bakker
(2010) bahwa sumber daya manusia yang memiliki tingkat keterikatan yang tinggi
menjadi hal yang penting bagi organisasi. Organisasi akan mendapat manfaat jika
karyawannya secara sadar terikat, pada level tinggi, dengan pekerjaan mereka.
Model keterikatan kerja karyawan yang dikembangkan Bakker &
Demerouti (2008) yang dikenal dengan Job Demands – Resources (JD-R) Model,
dihadapkan dengan tuntutan kerja (beban kerja, tuntutan emosi, dan tuntutan
mental) yang tinggi.
Faktor lingkungan pekerjaan yang disebut Bakker & Demerouti (2008)
sebagai job resources meliputi lingkungan fisik, sosial dan organisasional
pekerjaan. Terpenuhinya kepuasan atas kebutuhan dasar, dukungan sosial dari
kolega dan atasan, umpan balik (feedback) atasan atas kinerja, kebebasan
mengambil keputusan (otonomi), reward dan pengakuan, kesesuaian nilai-nilai
diri dengan perusahaan, peluang belajar dan berkembang, dan keberagaman skill,
mengawali proses motivasional yang membawa menuju keterikatan kerja, dan
akhirnya berdampak pada kinerja yang lebih tinggi.
Vazirani (2007) mengatakan bahwa penyebab tidak terikatnya karyawan
dengan pekerjaan mereka berhubungan dengan lingkungan kerja yang negatif.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa semakin kondusif lingkungan kerja, semakin
tinggi tingkat keterikatan kerja karyawan.
Sejalan dengan itu, Oshagbemi (1999) mengatakan bahwa lingkungan
kerja yang kondusif yang membentuk sikap atau reaksi emosional yang positif
terhadap lingkungan kerja disebut sebagai kualitas kehidupan kerja.
Kanten & Sadullah (2012) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa
kualitas kehidupan kerja mempengaruhi keterikatan kerja karyawan. Pemenuhan
kualitas kehidupan kerja bagi karyawan mengindikasikan bahwa perusahaan
menempatkan sumber daya manusianya sebagai individu yang dapat dipercaya,
individu yang bertanggung jawab dan mampu memberikan kontribusi yang
bermartabat dan berharga melalui pemenuhan lingkungan kerja yang memuaskan
bagi karyawan. Gaji yang adil dan mencukupi, lingkungan kerja yang sehat dan
aman, kebebasan berekspresi melakukan yang terbaik, penghargaan pada hak-hak
karyawan, teknologi yang mendukung, beban kerja yang wajar, citra perusahaan
yang memuaskan, mutu produk/jasa, peluang penggunaan kemampuan yang
dimiliki dan keseimbangan waktu kerja dengan kehidupan pribadi dan kehidupan
keluarga, pada akhirnya membuat karyawan mengembangkan, menggunakan dan
mencurahkan seluruh kemampuan terbaiknya dalam bekerja, yang dikenal dengan
keterikatan kerja. Seluruh dimensi kualitas kehidupan kerja yang diteliti memiliki
hubungan positif dengan keterikatan kerja, kecuali dimensi keseimbangan waktu
kerja dengan kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga yang dalam penelitian
Kanten & Sadullah (2012) tidak menunjukkan korelasi positif.
Selanjutnya, faktor yang mempengaruhi keterikatan kerja, yang bersumber
dari dalam diri karyawan, sesuai JD-R Model, digambarkan oleh Bakker &
Demerouti (2008) dengan istilah personal resources. Karyawan yang memiliki
skor tinggi dalam optimism (kecenderungan untuk percaya bahwa mereka akan
mencapai hasil yang baik dalam hidup), memiliki keyakinan bahwa mereka dapat
memenuhi tuntutan yang dihadapi (self efficacy), tetap bertahan meski
menghadapi kesulitan (resilience) dan percaya bahwa mereka dapat memuaskan
kebutuhan mereka melalui partisipasi dalam peran di organisasi (self esteem),
semua itu akan membuat mereka lebih termotivasi secara intrinsik untuk mencapai
Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengistilahkan personal resources
dengan modal psikologis, yang merupakan suatu keadaan psikologis positif yang
berkembang pada individu yang dicirikan dengan self efficacy, optimism, hope dan
resilience. Sinergi dan interaksi antar komponen modal psikologis tersebut secara
keseluruhan akan menghasilkan perilaku kerja yang positif dan kinerja yang lebih
baik dibandingkan interaksi secara parsial, seperti : hanya hope & optimism saja.
Selanjutnya Sweetman & Luthans (2010) dalam hasil penelitiannya
menguraikan kenapa modal psikologis terkait dengan keterikatan kerja. Karyawan
yang tinggi dalam modal psikologis memiliki keuletan dan ketekunan, didorong
oleh keyakinan mereka pada keberhasilan ke depan. Modal psikologis juga
senantiasa menyediakan harapan untuk tercapainya sasaran, bahkan dalam
menghadapi tantangan baru, mereka tetap mengharapkan hal-hal baik terjadi pada
mereka.
Xanthopoulou, Bakker, Demerouti & Schaufeli (2007) dalam hasil
penelitiannya menyatakan bahwa 3 elemen modal psikologis (self efficacy, self
esteem dan optimism) meramalkan keterikatan kerja. Karyawan yang terikat
sangat self-efficacious; mereka yakin bahwa kemampuan yang dimilikinya dapat
mengendalikan peristiwa-peristiwa yang mempengaruhi dan dapat menyesuaikan
dengan tuntutan yang mereka hadapi dalam konteks luas. Karyawan yang terikat
memiliki kecenderungan untuk percaya bahwa mereka akan mengalami hasil yang
baik dalam hidup (optimistic) dan bisa memuaskan kebutuhan mereka dengan
berpartisipasi dalam peran kerja di organisasi (self esteem berbasis organisasi).
menciptakan lingkungan yang positif dan mendukung yang dapat mendorong
berkembangnya modal psikologis staf mereka. Modal psikologis dapat
dikembangkan untuk mengembalikan kinerja yang melemah dan menghasilkan
manfaat kompetitif.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja
karyawan merupakan variabel penting bagi perusahaan yang keadaannya dapat
berubah sewaktu-waktu, dapat meningkat ataupun menurun. Kualitas kehidupan
kerja dan modal psikologis adalah dua variabel yang berdasarkan hasil penelitian
terdahulu dapat mempengaruhi keterikatan kerja karyawan.
Terjadinya fenomena menurunnya tingkat keterikatan kerja karyawan
PTPN III, dikaitkan dengan uraian berbagai teori dan temuan penelitian para ahli
tentang keterikatan kerja karyawan serta peran modal psikologis dan kualitas
kehidupan kerja di dalamnya, maka peneliti ingin melihat lebih jauh tentang
Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja dan Modal Psikologis terhadap Keterikatan
Kerja Karyawan PT. Perkebunan Nusantara III.
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas dan mengarahkan permasalahan yang
mendasari, maka rumusan permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Sejauhmana pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap
keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan Nusantara III;
3. Bagaimana gambaran modal psikologis karyawan PT. Perkebunan
Nusantara III;
4. Bagaimana gambaran keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan
Nusantara III.
C. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan topik keterikatan kerja karyawan PT. Perkebunan
Nusantara III dikaitkan dengan peran kualitas kehidupan kerja dan modal
psikologis, sepengetahuan peneliti belum pernah diteliti oleh peneliti lain.
Sejumlah literatur yang telah dikaji menunjukkan bahwa penelitian yang
melibatkan keterikatan kerja adalah penelitian Hadi dan Indrianti (2012) tentang
hubungan antara modal psikologis dengan keterikatan kerja pada perawat.
Kemudian, penelitian Herbert (2011) mengenai peran modal psikologis terhadap
keterikatan kerja dan variabel lain pada perusahaan konstruksi. Ahli lainnya
adalah Hodges (2010) yang melakukan studi eksperimen tentang dampak modal
psikologis terhadap keterikatan kerja dan variabel lainnya pada perusahaan yang
bergerak di bidang jasa keuangan. Selanjutnya, Kanten & Sadullah (2012) yang
meneliti hubungan kualitas kehidupan kerja dan keterikatan kerja pada perusahaan
marmer.
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
berpengaruh positif secara signifikan terhadap keterikatan kerja karyawan
PT. Perkebunan Nusantara III.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bukti empiris mengenai
pengaruh kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis terhadap keterikatan
kerja karyawan perusahaan perkebunan, sehingga dapat menjadi masukan bagi
disiplin ilmu psikologi sains, psikologi industri dan organisasi, peminatan
pengembangan sumber daya mansusia dan disiplin ilmu lainnya yang terkait.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi PT. Perkebunan
Nusantara III (Persero) dengan uraian sebagai berikut :
a. Sebagai informasi praktis tentang keterikatan kerja karyawan perkebunan dan
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
b. Memberikan alternatif solusi dalam permasalahan kinerja perusahaan
perkebunan dikaitkan dengan peranan keterikatan kerja karyawan.
c. Membantu menemukenali faktor-faktor modal psikologis dan kualitas
kehidupan kerja karyawan yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan
d. Menjadi referensi untuk menentukan strategi dalam manajemen sumber daya
manusia yang dapat diterapkan di perusahaan agar muncul perilaku kerja
karyawan yang sesuai dengan harapan, diiringi dengan kinerja optimal
karyawan yang pada akhirnya dapat memelihara kesinambungan
(sustainability) perusahaan.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan teori pendukung dan penelitian terdahulu tentang
masing-masing variabel seperti teori keterikatan kerja karyawan,
teori kualitas kehidupan kerja, teori modal psikologis, hubungan
antara kualitas kehidupan kerja dan modal psikologis dengan
keterikatan kerja karyawan, kerangka konseptual hubungan antar
variabel, dan hipotesa.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini berisikan tempat penelitian, identifikasi variabel, defenisi
operasional, populasi dan sampel, alat ukur, validitas & reliabilitas
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini mengurai hasil penelitian dan pembahasan. Hasil penelitian
terdiri dari gambaran umum subjek penelitian, deskripsi data
empirik dan hipotetik variabel penelitian, kategorisasi data variabel
penelitian, hasil uji asumsi penelitian dan uji hipotesis penelitian.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Keterikatan Kerja
1. Definisi Keterikatan Kerja
Keterikatan kerja atau yang sering disebut engagement dinyatakan
Vazirani (2007) sebagai tingkat komitmen dan keterlibatan yang karyawan miliki
terhadap organisasinya dan nilai-nilai yang ada di dalamnya yang terlihat dalam
sikap positif karyawan terhadap organisasi dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Macey, Schneider, Barbera & Young (2009) mengatakan bahwa
keterikatan kerja karyawan adalah suatu keadaan psikologis yang positif terkait
pekerjaan yang dicirikan dengan suatu keinginan murni untuk berkontribusi bagi
kesuksesan organisasi. Dalam keterikatan kerja terdapat hubungan emosional dan
intelektual yang tinggi antara karyawan dengan pekerjaannya, organisasi, manajer
dan rekan kerjanya, sehingga mempengaruhi karyawan untuk melakukan upaya
lebih pada pekerjaannya. Bertambahnya energi, melakukan pekerjaan yang
melebihi harapan, bentuk-bentuk perilaku adaptif atau inovatif untuk kesuksesan
perusahaan merupakan indikasi perilaku keterikatan kerja.
Menurut Schiemann (2009), keterikatan kerja menggambarkan seberapa
jauh karyawan bersedia melampaui persyaratan minimal dari peran mereka untuk
memberikan energi tambahan atau mengadvokasi (membela) organisasi mereka
terhadap perusahaan lainnya sebagai tempat yang baik untuk bekerja atau
perusahaan lebih lama, memuaskan lebih banyak pelanggan dan memiliki
pengaruh positif yang lebih kuat terhadap hasil perusahaan.
Schaufeli & Bakker (2010) mendefinisikan keterikatan kerja sebagai
“suatu keadaan pikiran yang positif terkait pekerjaan yang dicirikan dengan vigor,
dedication dan absorption. Vigor dicirikan dengan energi tingkat tinggi dan
fleksibilitas mental saat bekerja, keinginan untuk menginvestasikan upaya dalam
pekerjaan, dan tetap teguh meski menghadapi berbagai kesulitan; dedication
mengacu pada keterlibatan yang kuat pada pekerjaan dan mengalami rasa penting,
antusias dan tertantang terhadap pekerjaan; absorption dicirikan dengan
berkonsentrasi secara penuh dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga
waktu terasa berlalu dengan cepat dan sulit melepaskan diri dari pekerjaan.
Pendeknya, karyawan yang terikat memiliki level energi yang tinggi dan antusias
dengan pekerjaan mereka.
Kahn (1990) menguraikan karyawan yang terikat sebagai karyawan yang
fisik, kognitif dan emosionalnya terhubung secara penuh dengan peran kerja
mereka.
Marciano (2010) mendefenisikan keterikatan kerja karyawan sebagai
luasan dimana seseorang itu komit, berdedikasi dan loyal dengan organisasi,
supervisor, pekerjaan dan koleganya. Hal ini ditunjukkan dengan gairah dan
antusias terhadap pekerjaan, secara konsisten melebihi sasaran dan harapan,
membawa gagasan baru dalam pekerjaan, berinisiatif, ingin tahu, mendorong dan
fokus pada tugas, berusaha secara aktif mengembangkan diri, orang lain dan
bisnis serta komit dengan organisasi.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa keterikatan kerja
karyawan menggambarkan suatu keadaan psikologis yang positif terhadap
pekerjaaan dan organisasi serta nilai-nilai yang ada di dalamnya yang
menimbulkan kesediaan untuk melampaui persyaratan minimal pekerjaan dan
direfleksikan dalam sikap positif kepada organisasi melalui kontribusi kinerja
terbaiknya secara fisik, kognitif dan emosi untuk kesuksesan organisasi.
2. Kategori Keterikatan Kerja
Gallup the Consulting Organization (Vazirani, 2007) menyebut karyawan
yang terikat sebagai pembangun (builders). Mereka ingin tahu harapan yang
diinginkan dalam peran mereka sehingga bisa sesuai dan bahkan melebihi harapan
tersebut. Mereka secara alami ingin tahu tentang perusahaan mereka dan tempat
mereka di dalamnya. Mereka bekerja secara konsisten pada level tinggi. Mereka
ingin menggunakan talenta dan kekuatan mereka dalam bekerja setiap hari.
Mereka bekerja dengan sungguh-sungguh dan mereka mendorong inovasi serta
menggerakkan organisasi mereka ke depan.
Selanjutnya, karyawan yang tidak terikat cenderung berkonsentrasi pada
tugas dibandingkan konsentrasi pada sasaran dan hasil yang diharapkan
perusahaan untuk mereka capai. Mereka hanya melakukan apa yang disuruh dan
melaporkan jika sudah selesai. Mereka fokus untuk mencapai tugas dibanding
potensi mereka tidak dipedulikan. Mereka kadangkala merasakan hal ini karena
mereka tidak memiliki hubungan yang produktif dengan manajer mereka atau
dengan mitra kerja mereka (Vazirani, 2007).
Sedangkan karyawan yang tidak terikat secara aktif, secara konsisten
melawan segala sesuatu secara nyata. Mereka tidak hanya tidak bahagia dalam
bekerja, mereka juga sibuk menunjukkan ketidakbahagiaan mereka. Mereka
menanam benih negativitas di setiap ada kesempatan. Setiap hari, para pekerja
yang secara aktif tidak terikat, mengacaukan pencapaian rekan kerja mereka yang
terikat. Dalam situasi dimana para pekerja bergantung satu sama lain untuk
menghasilkan produk dan jasa, permasalahan dan tegangan yang dimunculkan
oleh para pekerja yang secara aktif tidak terikat bisa menyebabkan kerusakan
besar bagi fungsi organisasi.
3. Aspek-Aspek Keterikatan Kerja
Berdasarkan definisi keterikatan kerja menurut Schaufeli & Bakker
(2010), terdapat tiga aspek keterikatan, yaitu vigor, dedication dan absorption.
Vigor ditunjukkan dengan tingkat energi yang tinggi dan fleksibilitas mental saat
bekerja, kesediaan untuk menginvestasikan seluruh energi yang dimiliki untuk
pekerjaan, dan tetap tekun meski menghadapi berbagai kesulitan. Dedication
ditunjukkan dengan kesediaan untuk terlibat secara mendalam pada pekerjaan,
merasa antusias dan bangga dengan pekerjaan, serta selalu merasa tertantang
dan merasa asyik dengan pekerjaannya, sehingga waktu terasa cepat berlalu dan
merasa enggan untuk meninggalkan pekerjaan.
Schiemann (2009) menguraikan tiga aspek pembentuk keterikatan kerja,
yaitu : kepuasan, komitmen dan advokasi. Kepuasan merupakan perasaan positif
terhadap perusahaan karena telah terpenuhinya hal-hal mendasar pada karyawan,
yang membawa pada kehadiran karyawan secara psikologis dalam pekerjaannya.
Komitmen menggambarkan keengganan meninggalkan perusahaan dan
kebanggaan sebagai bagian dari perusahaan. Sedangkan advokasi menggambarkan
kesediaan untuk mengerahkan upaya ekstra, bekerja melampaui harapan dan
mendorong orang lain untuk mendukung produk atau jasa perusahaan. Advokasi
menimbulkan semangat dan kekuatan (force) yang akan menjadi bahan bakar pada
perilaku kerja yang lebih efektif.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam keterikatan
kerja terdapat 3 aspek, yaitu energi yang tinggi dan ketekunan kerja yang disebut
Schaufeli & Bakker (2010) sebagai vigor, kerelaan dan ketulusan mendedikasikan
kemampuan terbaiknya untuk perusahaan yang disebut dedication serta merasa
senang dalam menjalankan pekerjaan dan lebur dalam pekerjaan yang disebut
absorption.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keterikatan Kerja
Berdasarkan model keterikatan kerja yang disebut JD-R (Job
terlihat bahwa keterikatan kerja dipengaruhi oleh job resources dan personal
resources.
Model ini menunjukkan bahwa job resources dan personal resources
secara sendiri-sendiri atau secara bersama-sama meramalkan keterikatan kerja
karyawan. Job resources dan personal resources memiliki dampak positif pada
keterikatan kerja saat tuntutan kerja tinggi (Bakker & Demerouti (2008)).
Job resources mengacu pada aspek-aspek lingkungan terkait pekerjaan,
yaitu aspek fisik, sosial atau organisasional dari pekerjaan. Contoh job resource
adalah : dukungan sosial dari kolega dan supervisor, coaching dari supervisor,
feedback kinerja, beragamnya skill dan otonomi, dan lain-lain. Sedangkan
personal resources mengacu pada keadaan psikologis individu, yaitu: optimism,
self efficacy, resiliency dan self esteem (Bakker & Demerouti, 2008).
Menurut Schiemann (2009), banyak faktor yang mempengaruhi
keterikatan kerja karyawan. Jaminan pekerjaan, perlakuan yang adil, kompensasi
yang mencukupi, perlakuan dengan penuh hormat dan bermartabat, faktor-faktor
yang berhubungan dengan stres (seperti beban kerja yang berlebihan, target
kinerja yang tidak realistis, konflik pekerjaan dan keluarga yang disebabkan
adanya ketidakseimbangan), adanya timbal balik hak (konsekwensi positif
perusahaan atas kinerja yang baik dari karyawan) yang tidak hanya mencakup
upah atau benefit yang menarik, tetapi juga pengembangan keterampilan, budaya
inovatif atau ketersediaan sumber daya tertentu yang memungkinkan karyawan
kesesuaian antara jenis pekerjaan dengan individu, adanya teman sejawat yang
akrab dan pemimpin yang menginspirasi, dan lain-lain.
Marciano (2010) mengatakan bahwa saat level penghargaan terhadap
seseorang tumbuh, level keterikatan kerjanya juga tumbuh. Hal ini dikembangkan
dari prinsip bahwa jika orang diperlakukan dengan berharga, mereka akan terikat
dan bekerja lebih keras mencapai sasaran organisasi.
Selanjutnya Marciano (2010) menguraikan tujuh faktor yang mendorong
terjadinya keterikatan kerja karyawan yang dirangkumnya dalam 7 Drivers
RESPECT Model, yaitu : Recognition, Empowerment, Supportive feedback,
Partnering, Expectations, Consideration dan Trust. Dengan recognition
(pengakuan), karyawan merasa kontribusi mereka diketahui dan diapresiasi,
pemberian reward (hadiah) diberikan berdasarkan kinerja dan para atasan secara
reguler mengakui anggota tim berhak mendapatkannya. Dalam empowerment
(pemberdayaan), para atasan menyediakan peralatan kerja, sumber daya dan
pelatihan yang dibutuhkan karyawan untuk sukses dalam pekerjaan, memberikan
otonomi dan didorong untuk mengambil risiko. Supportive feedback (umpan balik
yang mendukung) berarti para atasan memberikan feedback yang spesifik pada
waktunya dalam suatu media yang mendukung, tulus dan konstruktif, bukan untuk
membuat malu atau menghukum. Dalam partnering (kemitraan), karyawan
diperlakukan sebagai mitra bisnis dan secara aktif berkolaborasi dalam
pengambilan keputusan bisnis, menerima informasi keuangan, mendapatkan
keleluasaan dalam pengambilan keputusan, atasan bertindak sebagai pendorong
dimana para atasan menjamin bahwa sasaran, tujuan dan prioritas bisnis secara
jelas ditetapkan dan dikomunikasikan, karyawan mengetahui standard kinerja
mereka yang dievaluasi dengan bertanggung jawab. Considerations dimana para
atasan, manajer dan anggota tim menunjukkan rasa tenggang, kepedulian dan
perhatian satu sama lain, para atasan secara aktif berusaha memahami pendapat
dan perhatian karyawan dan memahami serta mendukung saat karyawan
mengalami permasalahan pribadi. Trust (rasa percaya), dimana para atasan
menunjukkan kepercayaan dan yakin dengan skill dan kemampuan karyawan,
sebaliknya karyawan percaya bahwa atasan mereka akan bekerja dengan tepat
melalui mereka, para atasan memenuhi janji dan komitmen mereka sehingga
karyawan mempercayai para atasan.
Xanthopoulou, Bakker & Demerouti (2008) menyatakan bahwa
keterikatan kerja ditentukan oleh faktor individual dan lingkungan. Faktor
lingkungan terkait dengan aspek organisasi dan atau psikologis, sosial dan fisik
pekerjaan, seperti : otonomi, dukungan sosial, coaching atasan, umpan balik
kinerja dan peluang pengembangan keahlian. Sedangkan faktor individu mengacu
pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency dan rasa mampu
untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka dengan sukses.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan secara umum bahwa
keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal
mengacu pada individu karyawan, sedangkan faktor eksternal mengacu pada
B. Kualitas Kehidupan Kerja
1. Definisi Kualitas Kehidupan Kerja
Secara umum, kualitas kehidupan kerja yang juga disebut Quality of Work
Life berarti kesesuaian atau ketidaksesuaian lingkungan kerja bagi manusia.
Kualitas kehidupan kerja mengacu pada kualitas hubungan antara karyawan dan
lingkungan kerja keseluruhan (Reddy & Reddy, 2010).
Menurut Ivancevich, Matteson & Konopaske (2006), kualitas kehidupan
kerja adalah filosofi dan praktik manajemen yang meningkatkan harga diri
karyawan, yang memperkenalkan perubahan dalam budaya organisasi, serta
memperbaiki keadaan fisik dan emosional karyawan. Misalkan, menyediakan
kesempatan bagi karyawan untuk tumbuh dan berkembang.
Menurut Cascio (1986), kualitas kehidupan kerja didefinisikan dalam dua
cara pandang. Cara pertama menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan
serangkaian kondisi dan praktek organisasi yang objektif (seperti kebijakan
promosi dari dalam, supervisi yang demokratis, melibatkan karyawan, kondisi
kerja yang aman). Cara kedua menyetarakan kualitas kehidupan kerja dengan
persepsi karyawan terhadap keberadaan fisik dan mental dalam pekerjaan, bahwa
mereka aman, terpuaskan dengan relatif baik, memiliki keseimbangan kehidupan
kerja yang layak, dan mereka dapat tumbuh dan berkembang sebagai manusia.
Cara ini mengaitkan kualitas kehidupan kerja dengan tingkatan dimana kebutuhan
manusia terpenuhi secara penuh.
Mondy (1990) mengatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah luasan
pengalaman organisasi mereka. Tanggung jawab atas kualitas kehidupan kerja ini
merupakan gabungan tanggung jawab manajemen, serikat pekerja dan anggota
lainnya dalam organisasi.
Davis, Levine & Taylor (1984) menyatakan bahwa kualitas kehidupan
kerja didefinisikan sebagai aspek-aspek kerja dimana anggota-anggota organisasi
melihatnya sebagai suatu yang diinginkan dan dapat meningkatkan mutu
kehidupan dalam pekerjaan. Hal ini bisa berarti bahwa dua organisasi yang
berbeda bisa mendefenisikan kualitas kehidupan kerja secara berbeda. Dalam
organisasi yang samapun, persepsi tentang apa kualitas kehidupan kerja itu bisa
berbeda dari grup yang satu dengan grup yang lain. Meski sifat dan kondisi kerja
bervariasi, persepsi tentang kepuasan juga berbeda antara satu dengan yang lain,
namun ada kesamaan yang penting yang memotong perbedaan-perbedaan ini.
Lawler (1975; Davis et al, 1984) mendefinisikan kualitas kehidupan kerja
dalam istilah tingkatan dimana lingkungan kerja organisasi memotivasi agar
performance pekerjaan efektif. Kualitas kehidupan kerja yang tinggi setara dengan
motivasi dan tingkat kepuasan karyawan yang tinggi.
Oshagbemi (1999) menyatakan bahwa kualitas kehidupan kerja adalah
lingkungan kerja yang kondusif untuk membentuk sikap atau reaksi emosional
positif terhadap lingkungan kerja.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan
kerja adalah kualitas hubungan antara karyawan dengan lingkungan kerjanya
sumber daya organisasi yang relevan, sehingga hal ini mendorong karyawan di
semua level untuk secara aktif berpartisipasi dalam peningkatan efektivitas
organisasi sekaligus peningkatan mutu kehidupan kerja karyawan itu sendiri.
2. Kriteria Kualitas Kehidupan Kerja
Walton (1973) menyatakan bahwa terdapat 8 kriteria yang
menggambarkan kualitas kehidupan kerja karyawan, yaitu :
a. Kompensasi yang adil dan mencukupi. Artinya kompensasi yang ditawarkan
sesuai dengan standard minimal pribadi karyawan dan adil jika dibandingkan
dengan karyawan lain.
b. Lingkungan kerja yang selamat dan sehat. Kondisi kerja yang tidak sehat dan
berbahaya menyebabkan permasalahan bagi karyawan dan pemberi kerja.
Kondisi kerja yang sehat dan selamat mempengaruhi produktivitas kerja
karyawan untuk jangka panjang. Karenanya, investasi yang memadai harus
dibuat untuk menjamin kondisi kerja yang selamat dan menyehatkan.
Menurut perundangan, fokus perhatian untuk peningkatan situasi kerja
meliputi kebisingan, penerangan, space kerja, penghindaran kecelakaan,
risiko kecelakaan yang rendah, penerapan jam kerja, dan batasan usia yang
potensial bagi karyawan.
c. Peluang penggunaan dan pengembangan kemampuan. Hal ini terkait dengaan
bagaimana organisasi memberikan kesempatan bagi karyawannya untuk
mengembangkan dan menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam
d. Peluang untuk tumbuh dan keamanan kerja berkaitan dengan bagaimana
organisasi menyediakan fasilitas yang dapat meningkatkan kemampuan
karyawan dalam bekerja (seperti pelatihan dan seminar), kejelasan dalam
karir serta rasa aman bahwa mereka dapat terus bekerja pada perusahaan
e. Adanya integrasi sosial dalam organisasi. Hal ini terkait dengan hubungan
yang terjalin antara karyawan dengan rekan kerja maupun perusahaan,
dimana karyawan memiliki hubungan yang baik dan dapat bekerja sama
dengan rekan kerja maupun atasan, serta memiliki keterikatan dengan
perusahaan.
f. Perlembagaan dalam organisasi terkait dengan hak-hak karyawan sebagai
pekerja di dalam organisasi, ketersediaan lingkungan yang demokratis bagi
karyawan, serta kebebasan dan kesamaan dalam segala hal.
g. Keseimbangan antara pekerjaan dengan ruang kehidupan pekerja mencakup
pengaruh pekerjaan terhadap peran-peran kehidupan pribadi. Pekerjaan,
keluarga dan kehidupan pribadi diharapkan dapat tetap seimbang.
h. Relevansi sosial kehidupan kerja mencakup tanggung jawab sosial
perusahaan terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar serta karyawan yang
bekerja di perusahaan. Hal ini dapat dilihat dari penilaian karyawan terhadap
hal-hal yang sudah dilakukan perusahaan (seperti penyediaan produk dengan
kualitas tinggi, hubungan dengan masyarakat sekitar, dan lain-lain), serta rasa
bangga karyawan terhadap perusahaan.
sehat, selamat dan aman; adanya peluang untuk tumbuh dan berkembang; peluang
penggunaan dan pengembangan kemampuan; keseimbangan antara pekerjaan,
kehidupan pribadi dan kehidupan keluarga; hubungan kerja yang baik; dan
tanggung jawab sosial perusahaan yang membangun kebanggaan karyawan.
C. Modal Psikologis
1. Definisi Modal Psikologis
Menurut Luthans, Youssef dan Avolio (2007), modal psikologis atau yang
disebut psychological capital adalah kondisi perkembangan psikologi positif
individu yang dicirikan dengan mempunyai keyakinan (self efficacy) untuk
berusaha mencapai kesuksesan dalam menghadapi tugas yang menantang;
membuat atribusi positif (optimism) tentang keberhasilan saat ini dan masa
mendatang; ketekunan menuju sasaran, kemampuan mengarahkan diri mencapai
tujuan (hope) menuju kesuksesan; dan ketika dilanda masalah dan kesulitan, tetap
bertahan dan kembali ulet bahkan melampaui (resiliency) untuk meraih sukses.
Kristiawan & Yunanto (2013) menguraikan lebih lanjut bahwa dalam
kaitannya dengan keadaan di tempat kerja, self efficacy didefinisikan sebagai
keyakinan dan kepercayaan individu tentang kemampuannya untuk menggerakkan
motivasi, sumber daya kognitif dan latihan tindakan yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan suatu tugas tertentu. Self efficacy membantu individu dalam
menghadapi hambatan dan coping terhadap stres. Optimism adalah orientasi
mencapai tujuan ketika hasil yang diinginkan mempunyai nilai yang dianggap
keadaan positif dan negatif yang berkaitan dengan titik pandang seseorang secara
umum. Orang yang optimis menganggap situasi negatif sebagai faktor eksternal,
temporal, sebaliknya orang yang pesimis menganggap situasi negatif sebagai
faktor internal, konstan dan umum. Hope adalah suatu keadaan motivasional
termasuk di dalamnya keyakinan untuk dapat mencapai sasaran yang diharapkan.
Hope merupakan suatu kondisi motivasi positif yang didasarkan pada pencapaian
tujuan. Hal ini melibatkan proses mengidentifikasi tujuan secara personal, mencari
berbagai macam cara untuk mencapainya dan menyediakan sumber daya untuk
mencapai tujuan. Resiliency didefenisikan sebagai suatu kemampuan psikologis
untuk membalikkan keadaan dari konflik dan kegagalan.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa modal psikologis
merupakan sumber daya psikologis positif dalam diri individu yang dapat
membawa menuju kesuksesan.
2. Komponen Modal Psikologis
Luthans, Youssef & Avolio (2007) mengatakan bahwa modal psikologis
merupakan konstruk inti yang terdiri dari sumber daya psikologi positif, yaitu
hope, optimism, self efficacy dan resiliency.
Hope digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu keadaan
motivasional yang positif untuk mencapai kesuksesan yang merupakan hasil
lebih percaya diri dalam mengambil tugas, memiliki energi dan keinginan yang
kuat serta determinasi yang tinggi untuk memenuhi harapannya, dan cenderung
memiliki cara alternatif ketika hambatan muncul, sehingga menghasilkan kinerja
yang lebih tinggi.
Optimism digambarkan Luthans et al (2007) sebagai suatu ekspektasi
positif ke depan yang terbuka terhadap pengembangan. Yungsiana et al (2013)
menguraikan bahwa individu yang optimis memiliki harapan bahwa hal-hal baik
akan terjadi pada dirinya, tidak mudah menyerah dan biasanya cenderung
memiliki rencana tindakan dalam kondisi sesulit apapun. Mereka berusaha
menggapai harapan dengan pemikiran yang positif, bekerja keras dalam
menghadapi stres dan tantangan sehari-hari secara efektif, memiliki impian untuk
mencapai tujuan, berjuang sekuat tenaga, tidak ingin duduk berdiam diri menanti
keberhasilan yang akan diberikan oleh orang lain, ingin melakukan sendiri segala
sesuatunya dan tidak ingin memikirkan ketidakberhasilan sebelum mencoba, dan
berpikir yang terbaik.
Self Efficacy digambarkan Luthans et al (2007) sebagai keyakinan
seseorang tentang kemampuannya untuk menggerakkan motivasi, sumber daya
kognitif dan tindakan yang dibutuhkan agar sukses dalam melaksanakan suatu
tugas spesifik. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang memiliki self
efficacy tinggi, yakin bahwa dirinya mampu menangani secara efektif peristiwa
dan situasi yang dihadapi, tekun dalam menyelesaikan tugas, percaya pada
kemampuan diri yang dimiliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan
dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha
yang kuat terhadap apa yang dilakukannya dan meningkatkan usaha pada saat
menghadapi kegagalan, fokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam
menghadapi kesulitan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan
bahwa dirinya mampu mengontrolnya.
Resiliency digambarkan Luthans et al (2007) sebagai kapasitas untuk
mengatasi atau bangkit kembali dari kesulitan, konflik, kegagalan atau tanggung
jawab yang meningkat. Yungsiana et al (2013) menguraikan individu yang
memiliki resiliency yang tinggi biasanya cepat memulihkan rasa mampu setelah
mengalami kegagalan.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa modal psikologis
memiliki empat komponen, yaitu : hope (kemampuan untuk mengarahkan diri
mencapai tujuan dengan tekun), optimism (membuat atribusi positif tentang
keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang), self efficacy (keyakinan
untuk mencapai kesuksesan pada tugas-tugas yang menantang) dan resiliency
(kemampuan untuk bertahan dan bangkit kembali dari kesulitan dan kegagalan).
D. Pengaruh Kualitas Kehidupan Kerja terhadap Keterikatan Kerja
Kanten & Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa
kualitas kehidupan kerja membantu karyawan dalam mengelola kehidupan
personal mereka yang pada akhirnya dapat meningkatkan keterikatan kerja
Mengacu pada teori kualitas kehidupan kerja Walton (1973), Kanten &
Sadullah (2012) menemukan dalam penelitiannya bahwa masing-masing dimensi
kualitas kehidupan kerja, kecuali dimensi work occupancy memiliki hubungan
positif yang signifikan dengan keterikatan kerja. Work occupancy meliputi aspek
pengaruh pekerjaan terhadap waktu luang, jadwal kerja dan waktu istirahat, serta
pengaruh pekerjaan pada kehidupan keluarga. Salah satu kesimpulan penelitian
adalah bahwa organisasi yang mampu memenuhi hak-hak karyawannya
(constitutionalism), mampu menciptakan lingkungan kerja yang mendukung,
adanya relevansi sosial, memberikan kompensasi yang adil dan mencukupi,
menyediakan peluang penggunaan kemampuan, peluang penggunaan dan
pengembangan kemampuan, peluang tumbuh dan keamanan kerja, dan adanya
integrasi sosial, dapat meningkatkan keterikatan kerja karyawan.
Mendukung penelitian Kanten & Sadullah (2012) diatas, Yipyintum
(2012) dalam hasil penelitiannya juga menyatakan bahwa karyawan yang merasa
bahagia dengan kualitas kehidupan kerja yang baik, menunjukkan produktivitas
dan kualitas kehidupan kerja yang lebih baik, sikap positif dan niat untuk lebih
komit pada organisasi.
Marciano (2010) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa keterikatan
kerja dapat timbul melalui perasaan respect (berharga). Respect (rasa berharga) ini
diperoleh melalui organisasi, kepemimpinan, anggota tim, pekerjaan dan individu
itu sendiri. Organisasi terkait dengan misi, visi, tata nilai, sasaran, kebijakan dan
tindakan yang ditetapkan organisasi sehingga membuat karyawan bangga
dengan pengawas (atasan) langsung karyawan yang dipercaya bahwa dia
kompeten dan memiliki etika, mampu membuat keputusan yang baik dan
memperlakukan orang-orang dengan adil. Anggota tim terkait dengan rasa
percaya bahwa mereka kompeten, bekerjasama, jujur, mendukung dan
berkeinginan untuk memenuhi beban kerja. Pekerjaan berkaitan dengan sifat
pekerjaan yang menantang, mendapat reward menarik dan memiliki nilai bagi
pelanggan internal dan eksternal. Individu terkait dengan perasaan dihargai oleh
organisasi, atasan dan anggota tim. Hasil penelitian Marciano (2010)
menunjukkan bahwa lingkungan kerja memiliki pengaruh kuat terhadap
keterikatan kerja karyawan.
Berdasarkan uraian diatas disimpulkan bahwa keterikatan kerja karyawan
dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dikenal dengan sebutan kualitas
kehidupan kerja.
E. Pengaruh Modal Psikologis terhadap Keterikatan Kerja
Terkait dengan modal psikologis, Hodges (2010) menyimpulkan hasil
penelitiannya bahwa terdapat hubungan signifikan antara modal psikologis dengan
keterikatan kerja karyawan. Self efficacy yang merupakan bagian dari modal
psikologis, merupakan keyakinan diri untuk mengatur dan melaksanakan tindakan
yang diperlukan untuk menghasilkan pencapaian yang ditetapkan. Keyakinan self
efficacy telah dicatat sebagai suatu faktor yang berkontribusi bagi individu untuk
signifikan. Kapasitas modal psikologis berikutnya, Hope, yang merupakan
keadaan motivasi yang di dalamnya terdapat agency (energi) dan pathways (cara)
untuk mencapai tujuan. Tingginya kapasitas hope menimbulkan kemampuan
untuk menghasilkan satu atau lebih cara yang mungkin untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya, kapasitas psikologi Optimism, berpikir tentang masa depan yang
memunculkan energi untuk berjuang mengejar tujuan secara aktif. Kapasitas
psikologi terakhir, Resilience, yang membawa kemampuan bagi karyawan untuk
berhasil dalam menghadapi perubahan, kesulitan dan risiko, serta bangkit kembali
dari keterpurukan dan kegagalan. Keempat kapasitas psikologi dalam modal
psikologis mendukung kemunculan perilaku keterikatan kerja, bersemangat,
berenergi dan antusias serta memberikan upaya lebih dalam melaksanakan
pekerjaan untuk mencapai tujuan. Semakin tinggi modal psikologis, semakin
tinggi harapan hal-hal baik terjadi dalam pekerjaan, semakin percaya mereka
mampu menciptakan kesuksesan mereka sendiri, dan lebih mampu bangkit lagi
dari kesulitan, jika dibandingkan dengan mereka yang memiliki modal psikologis
rendah.
Sejalan dengan itu, Herbert (2011) dalam penelitiannya menemukan
bahwa sub dimensi modal psikologis tertentu (seperti optimism dan self efficacy)
dapat memprediksi varians dalam vigor dan dedication secara kuat. Terlihat
bahwa level modal psikologis yang semakin tinggi, khususnya optimism dan self
efficacy, bisa meningkatkan keseluruhan keterikatan kerja seorang individu dalam
pekerjaannya yang bisa berdampak pada hasil positif bagi individu, juga
depan, meski menghadapi hambatan serius, mereka percaya bahwa mereka
memiliki kemampuan untuk menggerakkan motivasi, sumber daya kognitif atau
tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan suatu tugas khusus. Hal itu
menyebabkan terikatnya individu dalam pekerjaannya.
Xanthopoulou et al (2008) dalam penelitiannya menyatakan bahwa
keterikatan kerja dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor individual. Faktor
individu mengacu pada evaluasi diri yang positif yang berkaitan dengan resiliency
dan rasa mampu untuk mengendalikan dan mempengaruhi lingkungan mereka
dengan sukses. Faktor individual ini disebut dengan personal resource yang
terdiri dari self efficacy, self esteem dan optimism. Konsep personal resource ini
paralel dengan konsep modal psikologis yang dikembangkan oleh Luthans et al
(2007) yang terdiri dari empat sumber daya, yaitu optimism, efficacy, resiliency
dan hope.
Avey, Wensing & Luthans (2008) menemukan bahwa karyawan dengan
level tinggi pada modal psikologis mengalami emosi yang lebih positif, yang
terkait dengan keterikatan kerja mereka. Seorang karyawan yang penuh harapan
(sebagai suatu elemen modal psikologis) bisa menciptakan suatu visi karir yang
dia inginkan dalam hidupnya atau suatu kegigihan yang membuatnya fleksibel dan
bertahan pada semua tantangan dan tekanan yang dihadapi dalam pekerjaan.
Avey, Reichard, Luthans & Mhatre (2011) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa modal psikologis berhubungan dengan komitmen terhadap