• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determination Planting Calendar of Upland Rice based Water Balance of the Dry Land (Case Study: South Konawe, Kendari, Southeast Sulawesi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determination Planting Calendar of Upland Rice based Water Balance of the Dry Land (Case Study: South Konawe, Kendari, Southeast Sulawesi)"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KALENDER TANAM PADI GOGO BERDASARKAN

NERACA AIR PADA LAHAN KERING

(STUDI KASUS: KONAWE SELATAN, KENDARI, SULAWESI TENGGARA

)

EKA FEBRIANTI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

EKA FEBRIANTI (G24070003). Determination Planting Calendar of Upland Rice based Water

Balance of the Dry Land (Case Study: South Konawe, Kendari, Southeast Sulawesi). Supervised

by Prof. Dr. Ir. YONNY KOESMARYONO, MS and YON SUGIARTO, S.Si M.Sc.

Dry-land agriculture is agriculture carried out on the land without the use of irrigation and water needs as a whole depends on rainfall. Source of water for dry land agriculture generally comes from rainfall and high rainfall distribution also determine the period of the cropping pattern in a year. Determination of the planting period can help increase the production of upland rice as dry land agricultural commodities and to minimize crop failure due to climate variability (El-Nino and La-Nina). Planting period is arranged as a calendar based on soil water content (KL and TLP) obtained from analysis of the water balance of the land. The region of South Konawe have different soil moisture content for each region. In normal years, the planting period ranging between 7-8 months. El-Nino phenomenon causes a shift in the early growing season and planting time periods experienced a reduction. Time of planting ranged from 6-8 months at the time of El-Nino. La-Nina phenomenon also causes a shift in the early growing season (more advanced than the normal year). Planting period ranged between 8-12 months when the La-Nina. In South Konawe region, there are some areas of stations that can not be used as a regional development and production of upland rice. This is because soil moisture content under field capacity.

(3)

RINGKASAN

EKA FEBRIANTI (G24070003). Penentuan Kalender Tanam Padi Gogo berdasarkan Neraca Air

pada Lahan Kering (Studi Kasus: Konawe Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara). Dibimbing oleh

Prof. Dr.Ir YONNY KOESMARYONO, MS dan YON SUGIARTO, S.Si M.Sc.

Pertanian lahan kering merupakan pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa penggunaan irigasi dan kebutuhan air secara keseluruhan tergantung pada curah hujan. Sumber air untuk pertanian pada lahan kering umumnya berasal dari curah hujan serta sebaran dan tinggi hujan sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Penentuan periode tanam dapat membantu peningkatan produksi padi gogo sebagai komoditas pertanian lahan kering dan meminimumkan kegagalan panen akibat variabilitas iklim (El-Nino dan La-Nina). Periode tanam yang disusun sebagai suatu kalender didasarkan pada kandungan air tanah (KL dan TLP) yang diperoleh dari hasil analisis neraca air lahan. Secara umum, wilayah Konawe Selatan memiliki kadar air tanah yang berbeda untuk setiap wilayah. Pada tahun normal, periode penanaman berkisar antara 7-8 bulan. Fenomena El-Nino menyebabkan pergeseran awal musim tanam dan periode masa tanam mengalami pengurangan. Waktu tanam berkisar antara 6-8 bulan pada saat berlangsung fenomena El-Nino. Adapun fenomena La-Nina juga menyebabkan pergeseran awal musim tanam (lebih maju daripada tahun normal). Kondisi ini berdampak positif, dimana periode penanaman dapat dilakukan lebih lama dibandingkan tahun normal. Periode tanam berkisar antara 8-12 bulan saat La-Nina. Pada wilayah Konawe Selatan, terdapat beberapa wilayah stasiun yang tidak dapat digunakan sebagai daerah pengembangan dan produksi padi gogo. Hal ini dikarenakan kadar air tanah berada di bawah kapasitas lapang.

(4)

PENENTUAN KALENDER TANAM PADI GOGO BERDASARKAN

NERACA AIR PADA LAHAN KERING

(STUDI KASUS: KONAWE SELATAN, KENDARI, SULAWESI TENGGARA)

EKA FEBRIANTI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Judul Skripsi : Penentuan Kalender Tanam Padi Gogo berdasarkan Neraca Air pada Lahan Kering (Studi Kasus: Konawe Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara).

Nama : Eka Febrianti NRP : G24070003

Disetujui:

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono, MS Yon Sugiarto, S.Si M.Sc NIP. 19740604 199803 1 003 NIP. 19581228 198503 1 003

Diketahui:

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi

Dr.Ir. Rini Hidayati, MS NIP. 19600305 198703 2 002

(6)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan atas ke hadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi strata satu (S1). Penelitian dilakukan selama kurang lebih 4 bulan, yaitu dimulai bulan Februari hingga Mei 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyusunan skripsi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof.Dr.Ir.Yonny Koesmaryono, MS. selaku pembimbing pertama dan Yon Sugiarto, S.Si M.Sc. selaku pembimbing kedua. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada staf pengajar dan karyawan Institut Pertanian Bogor, khususnya Departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan-FMIPA, tempat penulis menyelesaikan pendidikan di IPB, staf dan karyawan Balai Inventarisasi Perpetaan Kehutanan-Kendari, Sulawesi Tenggara, serta seluruh warga Konawe Selatan tempat penulis melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada Sigit Deni Sasmito, Syamsoe Dwi Jadmiko, Putri Yasmin, Dimas Tiara P, Dian Kusumawardhani, Firdana Ayu R dan seluruh teman-teman Meteorologi Terapan angkatan 2007 dan angkatan 2006 yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada kedua orang tua dan saudara-saudara penulis, Laode Sabaruddin, Sitti Ramnah, Islan Yusuf, dan Sahrial Fauzi, yang selalu mendukung dan memberi motivasi serta Dhaniar Astri, Irma Syarifiana, Jatu Rukmi M, Raisya Auliane S A, Fatmiati Harun, Ridha Zuanda, Ibnu Abi AA, Ririn Nurmawati, Tinto Punto Kahar, dan seluruh anak Griya Mahasiswa Budi Luhur Bogor atas doa, dukungan, dan bantuannya.

Penulis menyadari kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karen itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk penulis agar lebih baik berikutnya. Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai rujukan untuk kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Juli 2011

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang dilahirkan di Kendari pada tanggal 21 Februari 1989 dari ayah Laode Sabaruddin dan ibu Sitti Ramnah.Jenjang pendidikan penulis dimulai tahun 1995-2001 di SDN 11 Tipulu, penulis melanjutkan ke jenjang SMP yaitu tahun 2001-2004 di SMPN 2 Kendari dan melanjutkan ke SMAN 1 Kendari pada tahun 2004-2007 serta pada tahun 2007 masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Geofisika dan Meteorologi Terapan, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Penulis menjadi aktivis asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) dengan menjabat sebagai ketua Rumah Tangga di salah satu gedung asrama. Penulis tidak mengikuti organisasi di IPB, tetapi aktif di beberapa kegiatan yang diselenggarakan oleh IPB, seperti Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 2008/2009, Masa Perkenalan Fakultas dan Departemen 2008/2009 hingga 2009-2010. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Meteorologi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, penulis melakukan penelitian dengan judul Penentuan

Kalender Tanam Padi Gogo berdasarkan Neraca Air pada Lahan Kering yang dibimbing

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 1

2.1 Padi Gogo ... 1

2.2 Lahan Kering ... 2

2.3 Evapotranspirasi ... 2

2.4 Neraca Air Lahan ... 3

2.5 Fenomena El-Nino dan La-Nina ... 3

2.6 Musim dan Kalender Tanam... 4

BAB III METODOLOGI ... 4

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 4

3.2 Alat dan Bahan ... 4

3.3 Metode Penelitian ... 4

3.3.1 Variabilitas Iklim ... 4

3.3.2 Klasifikasi Iklim ... 4

3.3.3 Peta Wilayah Penyebaran Stasiun ... 5

3.3.4 Pengambilan Sampel Tanah ... 5

3.3.5 Analisis Sifat Fisika Tanah ... 5

3.3.6 Evapotranspirasi ... 5

3.3.7 Neraca Air Lahan ... 5

3.3.8 Kalender Tanam ... 6

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 6

4.1 Kondisi Umum Wilayah Kajian ... 6

4.2 Tipe Iklim Kabupaten Konawe Selatan ... 7

4.3 Penutupan Lahan Kabupaten Konawe Selatan ... 8

4.4 Evapotranspirasi Potensial Kabupaten Konawe Selatan ... 8

4.5 Deskripsi Wilayah Pengambilan Sampel Tanah dan Nilai Kadar Air ... 9

4.6 Variabilitas Iklim ... 10

4.7 Analisis Neraca Air ... 11

4.7.1 Stasiun Atari ... 11

4.7.2 Stasiun Lanud W Mongonsidi ... 13

4.7.3 Stasiun Baito ... 15

4.7.4 Stasiun Motaha ... 18

4.7.5 Stasiun Moramo ... 19

4.8 Kalender Tanam Padi Gogo ... 22

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 24

DAFTAR PUSTAKA ... 24

(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Tipe pembagian iklim menurut Oldeman ... 5

2 Klasifikasi iklim Stasiun Kabupaten Konawe Selatan ... 8

3 Data nilai kadar air tanah setiap stasiun ... 10

4 Tahun-tahun variabilitas iklim ... 11

5 Identifikasi bulan defisit dan surplus stasiun Kabupaten Konawe Selatan ... 22

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pola curah hujan dan suhu Kabupaten Konawe Selatan ... 7

2 Letak Stasiun Iklim Kabupaten Konawe Selatan ... 7

3 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun normal ... 12

4 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun El-Nino... 12

5 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun La-Nina ... 12

6 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari tahun normal ... 13

7 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari tahun El-Nino ... 13

8 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari tahun La-Nina... 13

9 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun normal ... 14

10 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun El-Nino ... 14

11 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun La-Nina ... 14

12 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun normal ... 15

13 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun El-Nino ... 15

14 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun La-Nina ... 15

15 Grafik neraca air wilayah Stasiun Baito tahun normal ... 16

16 Grafik neraca air wilayah Stasiun Baito tahun El-Nino ... 16

17 Grafik neraca air wilayah Stasiun Baito tahun La-Nina ... 16

18 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun normal ... 17

19 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun El-Nino ... 17

20 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun La-Nina ... 17

21 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha tahun normal ... 18

22 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha tahun El-Nino ... 18

23 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha Tahun La-Nina ... 18

24 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun normal... 19

25 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun El-Nino ... 19

26 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun La-Nina... 19

27 Grafik neraca air wilayah Stasiun Moramo tahun normal ... 20

28 Grafik neraca air wilayah Stasiun Moramo tahun El-Nino ... 20

29 Grafik neraca air wilayah Stasiun Moramo tahun La-Nina ... 20

30 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo tahun normal ... 21

31 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo tahun El-Nino ... 21

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Peta administrasi Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara ... 27

2 Letak Stasiun Iklim Konawe Selatan ... 28

3 Peta penutupan lahan dan letak Stasiun Iklim Konawe Selatan, Kendari, Sulawesi Tenggara ... 29

4 Data klasifikasi iklim Stasiun Konawe Selatan ... 30

5 Data SOI klasifikasi tahun variabilitas iklim ... 31

6 Data hasil analisis sifak fisik tanah ... 33

7 Neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi ... 34

8 Neraca air lahan wilayah Stasiun Baito... 36

9 Neraca air lahan wilayah Stasiun Atari ... 38

10 Neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo ... 40

11 Neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha ... 42

12 Curah hujan tahun – tahun variabilitas iklim Konawe Selatan ... 44

(12)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan peningkatan konsumsi atau kebutuhan akan bahan pangan. Aktifitas pembangunan yang juga mengalami peningkatan menyebabkan perubahan fungsi lahan pertanian menjadi daerah pemukiman maupun industri (lahan non pertanian). Pemanfaatan lahan kering sebagai lahan pertanian merupakan suatu alternatif untuk menghasilkan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, serta menyongkong kebutuhan pangan manusia yang terus meningkat.

Pertanian lahan kering adalah sistem usaha tani yang dilakukan di atas lahan tanpa menggunakan irigasi (Solahuddin dan Ladamay 1997). Beberapa istilah yang dipergunakan untuk pertanian lahan kering adalah pertanian tanah darat, tegaan, ladang, dan huma. Jumlah air yang tersedia (ketersediaan air) pada lahan kering ditentukan oleh faktor curah hujan dan kemampuan tanah dalam menahan air (Sabaruddin 2003).

Padi gogo merupakan salah satu jenis padi yang dapat digunakan sebagai komoditas pertaian lahan kering. Rata-rata produksi padi gogo sebesar 2,56 ton/ha jauh di bawah rata-rata produksi padi sawah sebesar 4,78 ton/ha (BPS 2005). Peluang untuk meningkatkan hasil produksi tanaman padi gogo dapat ditekankan terhadap perlakuan para petani dalam memaksimalkan produksi per unit air.

Pengamatan dan informasi data iklim khusunya data curah hujan merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan penanaman dan produksi yang maksimal. Informasi iklim dapat digunakan dalam menentukan waktu tanam dalam suatu sistem kalender tanam, yang menggambarkan informasi atau potensi waktu tanam yang tepat untuk komoditas padi gogo.

Kalender tanam bertujuan untuk memperkecil kerugian maupun gagal panen akibat pengaruh variabilitas iklim, seperti kejadian El-Nino dan La-Nina atau lebih dikenal dengan nama ENSO (El Nino Southerm Oscilation) yang terjadi di wilayah Samudra Pasifik. Fenomena ENSO akan mempengaruhi curah hujan yang terjadi di wilayah Indonesia, baik mengurangi jumlah intensitas hujan (kekeringan) maupun

penambahan intensitas hujan (banjir). Adapun daerah yang terpengaruh oleh ENSO antara lain SumSel, Seluruh Pulau Jawa, KalBar, KalTeng, KalSel, KalTim, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya (Irkhos 2006).

Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi yang mengembangkan komoditas padi gogo dan merupakan salah satu wilayah yang dipengaruhi oleh ENSO. Secara umum, daerah Sulawesi Tenggara tergolong beriklim kering dengan limpahan radiasi cukup tinggi pada musim hujan maupun musim kemarau. Adapun secara geografis, Sulawesi Tenggara terletak di daerah khatulistiwa dengan kondisi curah hujan yang cukup rendah. Pengaruh kondisi setempat berupa pegunungan, bentang perairan, serta lautan merupakan faktor lokal yang mempengaruhi rendahnya curah hujan di Sulawesi Tenggara.

Kabupaten yang memiliki potensi dalam pengembangan padi gogo adalah Konawe Selatan. Hal ini didasarkan oleh potensi lahan yang dimiliki sangat mendukung pertumbuhan padi gogo dibandingkan daerah lainnya. Fluktuasi curah hujan yang dipengaruhi oleh ENSO, baik El-Nino maupun La-Nina akan memberikan pengaruh terhadap kualitas maupun kuantitas produksi padi gogo. Menurut BNPB (2010), Konawe Selatan tergolong wilayah yang memiliki resiko banjir cukup tinggi berdasarkan indeks bencana banjir di Indonesia. Oleh karena itu, penentuan kalender tanam dapat membantu meningkatkan produksi padi gogo mencapai maksimal serta mengurangi resiko gagal panen baik pada saat berlangsung El-Nino maupun La-Nina.

1.2Tujuan

Tujuan penelitian adalah menganalisis neraca air lahan kering dan menyusun kalender tanam untuk komoditas padi gogo di wilayah Kabupaten Konawe Selatan, Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Padi gogo

(13)

(Sumarhani 2005). Jenis tanah tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil produksi padi gogo. Sifat kimia dan sifat fisika sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan padi gogo, dimana pH tanah yang dikehendaki adalah 5,5-6,5. Faktor iklim terutama curah hujan juga merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pertumbuhan atau budidaya padi gogo dibandingkan dengan faktor tanah. Hal ini didasarkan akan kebutuhan air pada padi gogo sepenuhnya berasal dari curah hujan yang turun.

Kondisi agroekologi yang ideal untuk padi gogo adalah topografi datar sedikit bergelombang, solum tanah dalam lebih dari 40 cm, tekstur halus-medium, kandungan bahan organik tanah tinggi-medium, drainase baik-sedang, kandungan hara tanah tinggi-sedang, dan curah hujan selama empat bulan tanam merata dengan total 400-600 mm (Basyir et al. 1995 dalam Sumarno dan Hidayat 2007). Adapun menurut Oldeman (1980), curah hujan yang cukup untuk tanaman padi gogo sebesar 200 mm/bulan atau lebih selam 3 bulan secara berurutan. Distribusi curah hujan dalam satu dekade sangat penting disebabkan jika curah hujan mencapai 200 mm/bulan dalam satu bulan tetapi dalam satu dekade tidak terdapat hujan, maka pertumbuhan padi gogo akan mengalami kekurangan air. Secara umum, jumlah curah hujan yang baik untuk pertanaman padi gogo sekitar 50 mm/dekade selama 12-16 dekade secara berurutan.

Pada daerah-daerah yang mempunyai tipe iklim C dan D atau wilayah yang curah hujannya mempunyai bulan basah hanya berlangsung 3 - 4 bulan pertahun dan keterlambatan melakukan penanaman akan mengakibatkan padi gogo mengalami gangguan kekeringan terutama pada fase generatif. Lingkungan yang sangat cocok untuk pertanaman padi gogo yaitu wilayah dengan curah hujan 1.500 hingga 3.500 mm per tahun (Basyir et al. 1995 dalam Sumarhani 2005).

2.2 Lahan kering

Penggunaan istilah “lahan kering” di Indonesia belum tersepakati dengan benar. Beberapa istilah yang digunakan diantaranya upland, dryland, atau unirrigated land (Notohadiprawiro 2006). Lahan kering identik dengan pertanian lahan kering yang merupakan usaha penanaman pada sebidang tanah dengan memanfaatkan air secukupnya yang bersumber pada curah hujan.

Secara umum, lahan kering dapat didefinisikan sebagai lahan yang dalam keadaan alamiah, bagian atas dan bawah tubuh tanah sepanjang tahun tidak mengalami jenuh air atau tidak tergenang dan hampir sepanjang tahun berada di bawah kapasitas lapang (Satari et al. 1991 dalam Sabaruddin 2003). Kondisi fisik lahan kering umumnya berupa lahan tadah hujan berciri khas agroekologi lahan yang amat beragam karena ketersediaan air dan kesuburan, tingkat adopsi teknologi yang masih rendah dan ketersediaan modal sangat terbatas serta peka terhadap erosi. Adapun Menurut Solahudin (1996), pertanian lahan kering didefinisikan sebagai pertanian yang dilaksanakan di atas lahan tanpa penggunaan irigasi dan kebutuhan air secara keseluruhan tergantung pada curah hujan.

Sumber air untuk pertanian pada lahan kering umumnya berasal dari curah hujan serta sebaran dan tinggi hujan sangat menentukan periode pola tanam dalam setahun. Karakteristik curah hujan di lahan kering bersifat eratik yaitu deras, singkat dan sulit diduga. Munculnya sumber air di musim kering dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti jenis tanah, iklim dan pengelolaan lahan oleh manusia. Pengelolaan lahan oleh manusia merupakan salah satu model pola tanam. Musim tanam di lahan kering pada umumnya diawali setelah hujan sepuluh hari pertama mencapai lebih dari 50 mm. Petani secara serempak menanam baik monokultur maupun tumpangsari. Persiapan lahan dilakukan pada musim kemarau, sehingga secara berurutan jadwal kegiatan dalam setahun tidak terdapat kekosongan (Sabaruddin 2003).

2.3 Evapotranspirasi

(14)

mempengaruhi evapotranspirasi dari dalam tanaman.

Adapun kuantitas atau banyaknya evapotranspirasi didasarkan atas curah hujan bulanan, pembakuan bulan, dan lama penyinaran (Rafi’i 1995). Suhu mempunyai pengaruh yang nyata terhadap laju evapotranspirasi. Secara umum, semakin tinggi suhu baik suhu udara maupun suhu permukaan, maka laju penguapan akan meningkat (Usman 2004). Laju evapotranspirasi yang tinggi menyebabkan kandungan air tanah di lapisan perakaran berkurang dengan cepat dan tanaman menjadi sulit untuk menyerap air dari tanah. Tanaman mengurangi laju evapotranspirasi untuk menghindari dehidrasi sehingga terjadi evapotranspirasi yang betul-betul terjadi (evapotranspirasi aktual) yang nilainya lebih kecil dari evapotranpirasi.

Nisbah evapotranspirasi aktual dan evapotranspirasi potensial tergantung pada defisit air tanah, yang didefinisikan sebagai selisih antara kandungan air tanah pada keadaan evapotranspirasi aktual dengan kandungan air tanah pada kapasitas lapang (Arsyad 2010). Salah satu metode untuk menentukan nilai evapotranspirasi adalah metode Thornthwaite. Secara umum, meode ini menggunakan data resolusi bulanan dan menggunakan parameter suhu udara (Handoko dan Irsal Las 1995).

2.4 Neraca Air Lahan

Neraca air merupakan perhitungan antara masukan dan keluaran air pada suatu sistem (Baharsjah et al. 1996). Pada bidang pertanian, komponen neraca air secara umum terdiri dari curah hujan dan irigasi sebagai masukan serta intersepsi tajuk, evapotranspirasi, limpasan, dan drainase sebagai keluaran. Hillel (1972) menyatakan bahwa pengelolaan lahan kering melalui analisis neraca air lahan merupakan sesuatu yang penting karena neraca air merupakan perincian tentang semua masukan,keluaran, dan perubahan simpanan air yang terdapat pada suatu lahan. Analisis ini berguna untuk menetapkan jumlah air yang terkandung di dalam tanah yang menggambarkan perolehan air (surplus atau defisit) dari waktu ke waktu.

Perhitungan neraca air lahan membutuhkan data dan informasi fisika tanah terutama nilai kandungan air pada tingkat kapasitas lapang (KL) dan pada titik layu permanen (TLP). Prioritas penggunaan air hujan adalah untuk memenuhi kebutuhan

evapotranspirasi dan kehilangan air yang lain akan mengisi cadangan air tanah. Bila simpanan air tanah telah mencapai batas maksimum, maka kelebihan air dihitung sebagai surplus. Batas maksimum simpanan air tanah didefinisikan sebagai jumlah air yang dapat ditahan oleh tanah dengan potensial sebesar 1/3 atm dikenal sebagai kapasitas lapang. Titik layu permanen dapat didefinisikan sebagai batas minimum tanaman menyimpan air pada tekanan potensial 15 atm yang pada saat itu tanaman tidak mampu melakukan aktivitasnya dan mengalami kekeringan fisiologis jika tidak diberi tambahan air (Purbawa dan Wirjaya 2009).

Analisis neraca air merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk menduga dinamika kadar air tanah selama pertumbuhan tanaman, khususnya pada periode-periode kritis dimana kadar air tanah sangat rendah (Handoko dan Irsal Las 1995). Adapun kebutuhan air tanaman pada lahan kering sama dengan kebutuhan air konsumtif itu sendiri, yaitu parameter yang menyatakan jumlah air yang secara potensial diperlukan untuk memenuhi pemakaian air konsumtif (evapotranspirasi) suatu areal tanaman agar dapat tumbuh secara normal (Arsyad 2010).

2.5 Fenomena El-Nino dan La-Nina

Fenomena El-Nino dan La-Nina merupakan peristiwa anomali iklim global yang akibatnya signifikan terhadap komoditas bahan pangan (Irawan 2006). Pada daerah tropis, kedua anomali iklim menimbulkan beberapa akibat, yaitu pergeseran pola curah hujan, perubahan besaran hujan, serta perubahan terhadap temperatur udara. Kekeringan yang menimbulkan kebakaran hutan, peningkatan kejadian banjir, serta gangguan hama dan penyekit juga merupakan akibat anomali tersebut. Secara umum, fenomena El-Nino diikuti oleh penurunan curah hujan dan peningkatan suhu udara di suat wilayah. Adapun La-Nina menyatakan gejala peningkatan curah hujan yang mengakibatkan banjir, serta merangsang peningkatan hama dan penyakit (Irawan 2006).

(15)

antara Tahiti dan Darwin, yang mencerminkan perubahan dalam pola sirkulasi atmosfer di daerah yang luas dan dapat berfluktuatif dari bulan ke bulan.

Istilah El-Nino mengacu pada suhu permukaan laut di Samudra Pasifik tengah ke timur, dimana suhu permukaan lautnya lebih hangat. Kejadian ini terulang setiap tiga sampai delapan tahun dan umumnya dikaitkan dengan SOI bernilai negatif. Selama peristiwa atau fenomena El-Nino, nilai SOI memperlihatkan nilai yang negatif atau nilai SOI < -7. Kejadian EL-Nino biasanya muncul dalam bulan Maret hingga bulan Juni, dimana pada kondisi tersebut, Indonesia akan mengalami musim kering (intensitas hujan yang rendah).

Ketika samudera Pasifik timur jauh lebih dingin dari normal, biasanya nilai SOI terus menerus akan bernilai positif (nilai SOI berkisar 7). Peristiwa ini sering membawa hujan dan banjir yang disebut dengan peristiwa La-Nina. Selama fenomena tersebut, suhu cenderung di bawah normal, khususnya di wilayah bagian utara dan timur Australia. Pendinginan relatif terkuat pada bulan Oktober hingga Maret (Anonim 2005).

2.6 Musim dan Kalender Tanam

Mengantisipasi perubahan iklim yang tidak menentu dan sulit untuk diprediksi, kalender tanam disusun berdasarkan kondisi periode tanam yang dilakukan oleh petani saat ini, tetapi juga mengaju untuk tiga kejadian iklim, yaitu tahun basah, tahun kering, serta tahun normal.

Stasus dan pola ketersediaan air merupakan faktor utama penentuan pola tanam di Indonesia. Penetapan pola tanam sangat identik atau harus didahului dengan pendugaan lamanya musim tanam, dimana musim tersebut sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air bagi tanam harus didahului berdasarkan potensi dan kadar air tanah. Penetapan musim tanam padi gogo dapat ditentukan berdasarkan klasifikasi Oldeman, dimana musim tanam dikategorikan dengan periode curah hujan rata-rata > 100 mm/bulan. Namun, penetapan pola tanam yang lebih tepat didasarkan pada kadar air tanah melalui analisis neraca air yang mempertimbangkan fisik lahan. Secara teoritis batas air tersedia bagi air tanaman adalah jika kadar air tanah berada diatas titik layu permanen (TLP) dengan pf < 2,54 atau dengan tegangan air tanah < 15,2 mbar (Suharsono et al. 1996).

BAB III METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Mei 2011 di Laboratorium Agrometeorologi, Laboratorium Ilmu Tanah, serta Lahan Pertanian Wilayah Konawe Selatan.

3.2 Alat dan Bahan

 Perangkat Komputer, Micrososft Excel, Microsoft Word, dan Arc View

 Faktor koreksi berdasarkan letak geografis wilayah Konawe Selatan.  Sifat dan Kondisi Tanah wilayah

Konawe Selatan.

 Peta pembagian lahan pertanian dan Administrasi Konawe Selatan.  Pisau, Parang, dan Pacul.  Ring Sampel

 Papan, Plastik, dan Spidol.  Buku dan pensil

Penentuan tahun kejadian variabilitas iklim ditentukan dengan melihat nilai SOI pada tahun-tahun pengamatan. Adapun nilai SOI diperoleh dari hasil kajian Australia

atau website

http://reg.bom.gov.au/climate/current/soihtm 1.shtml (Anonim 2011).

Tahun La-Nina dapat diidentifikasi dengan nilai SOI >= 7 dan tahun El-Nino dapat diidentifikasi dengan nilai SOI < -7 (Anonim 2005). Hasil kajian tahun variabilitas iklim kemudian disesuaikan dengan hasil analisis tahun-tahun kejadian variabilitas iklim (El-Nino, La-Nina, serta tahun normal) diperoleh dari hasil kajian australia atau website http://reg.bom.gov.au/climate/enso/enlist/ind ex.shtml (Anonim 2011).

3.3.2Klasifikasi Iklim

(16)

Berikut merupakan karakteristik sistem klasifikasi Oldeman ( Handoko, 1993)

1. Bulan Basah (BB) yaitu bulan

Adapun pembagian tipe iklim utama dan subdivisinya sebagai berikut:

Tabel 1 Tipe pembagian iklim menurut Oldeman

(Sumber: Handoko 1993)

3.3.3 Peta Wilayah Penyebaran Stasiun

Pembuatan peta wilayah sebaran stasiun dapat digambarkan dengan menggunakan software Arcview dan peta Sulawesi Tenggara dalam bentuk file .shp.

3.3.4 Pengambilan Sampel Tanah

Sampel tanah diambil disejumlah lokasi wilayah kajian dengan prosedur kerja sebagai berikut:

o Mencari tanah yang baik (tanah

tidak berpasir dan kondisi tanah cukup lembab).

o Membersihkan tanah tersebut

dengan menggunakan parang dari rumput atau batu-batuan.

o Pada tanah-tanah yang cukup

tandus, dapat diberikan air sebelum pengambilan sampel dilakukan. Hal ini untuk memudahkan dalam pengambilan tanah.

o Meletakkan ring sampel kedalam

tanah. Adapun kedalaman tanah berkisar antara 0–20 cm (area perakaran). Jika situasi dan kondisi tanah cukup keras, maka menggunakan alat bantu berupa parang atau papan dengan memukul

alat-alat tersebut kebagian ring sampel yang telah terbenam didalam tanah hingga rata dengan tanah.

o Membuat lingkaran atau menggali

tanah disekitar ring sampel hingga kedalaman tertentu dengan tujuan memudahkan dalam mengambil sampel tanah dalam ring tersebut.

o Menggunakan pisau untuk

meratakan tanah dengan ring sampel.

o Membungkus ring dengan plastik

yang telah diikat dengan sangat erat. Hal ini bertujuan untuk menjaga kestabilan kondisi tanah.

o Menyimpan ring sampel ditempat

yang tidak terkena langsung radiasi matahari.

3.3.5 Analisis Sifat Fisika Tanah

Pengambilan sampel dilakukan di beberapa titik lahan wilayah Konawe Selatan dengan menggunakan alat Ring Sampel lalu dianalisis sifat fisikanya di laboratorium Ilmu Tanah.

3.3.6 Evapotranspirasi

Nilai evapotranspirasi dapat diketahui dengan menggunakan metode Thornhtwaite dengan input data suhu :

ETp∗= ET × Faktor Terkoreksi

ETP= -0,0433×t2 +3,2244×t-41,54, dimana suhu (T) >= 26.5 0C. menggunakan tahapan berikut ini:

1. Menghitung selisih antara curah hujan dan nilai evapotranspirasi. Selisih antara kedua parameter tersebut merupakan hasil Accumulation of Potensial Water Loss (APWL).

2. Pada kondisi CH < ETp terjadi akumulasi kehilangan air secara potensial (APWL), maka kandungan air tanah dapat dihitung sebagai berikut:

KAT = KL x eAPWL /KL

(17)

KATi= KAT i-1+ (CH-ETp)

Hingga kandungan air tanah sama dengan kapasitas lapang yang berarti kondisi air tanah terus mencapai kondisi kapasitas lapang.

Dengan keterangan : I = indeks bahang KL =Kapasitas lapang (mm)

KAT =Kadar (kandungan) air tanah aktual (mm).

APWL = akumulasi air yang hilang secara potensial (mm).

e = 2,718281828

Adapun menghitung nilai ∆KAT berdasarkan selisih antara KAT satu yang lain menggunakan persamaan:

∆KAT = KATi-KATi-1

Nilai ∆KAT (+) menunjukkan penambahan terhadap kadar air tanah, sebaliknya jika nilai ∆KAT (-) menunjukkan penggurangan terhadap kadar air tanah.

4. Menghitung nilai evapotranspirasi aktual, dengan menggunakan konsep sebagai berikut:

Jika CH > ETp, ETA = ETp Jika CH<ETp, ETA = CH + ∆KAT 5. Menghitung nilai defisit yang

merupakan jumlah air yang berkurang untuk keperluan tanaman:

Defisit = ETp−ETA

6. Menghitung surplus yang merupakan kelebihan curah hujan setelah simpanan air mencapai kapasitas lapang dengan menggunakan persamaan:

S=CH-ETp-∆KAT

7. Menghitung nilai limpasan surplus air sebesar 50% dengan persamaan sebagai berikut:

Ro1= Si-Ri-1 ×kRo Keterangan:

Ron = runoff periode ke –n dihitung sejak awal periode surplus. Si = Surplus ke-i

kRo =koefisien runoff (50%).

3.3.8 Kalender Tanam

Potensi masa tanam untuk tanaman dapat juga ditentukan berdasarkan ketersediaan lengas tanah yang diperoleh dari hasil perhitungan neraca air lahan. Ditetapkan bahwa periode masa tanam adalah periode-periode dimana kandungan lengas tanah > 50 % air tersedia (Pramudia et al 1998). Penyataan ini mengacu pada pendapat Richard dan Richard dalam Buckman dan

Brady (1969) bahwa untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang baik, air harus ditambahkan bila 50-85% dari air tersedia telah habis terpakai.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Kondisi Umum Wilayah Kajian

Konawe Selatan merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan koordinat wilayah 03°45' - 04°45’ LS hingga 121°45' - 123°00' BT. Luas daerah konawe selatan 451.420 ha atau sekitar 11, 84% dari luasan Sulawesi tenggara. Wilayah Konawe selatan memiliki batas-batas wilayah, yaitu sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Konawe, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Tiworo, sebelah timur berbatasan dengan laut banda, serta sebelah barat, berbatasan dengan wilayah kabupaten Kolaka. Kondisi permukaan tanah wilayah Konawe bergunung dan berbukit yang diapit oleh dataran rendah. Konawe Selatan merupakan kabupaten yang memiliki potensi paling tinggi dalam mengupayakan hasil dari sektor pertanian.

Adapun jenis tanah di wilayah tersebut meliputi Latosol dengan luas 105.451,71 Ha atau 23,36%, Podzolik seluas 127.074,73 Ha atau 28,15%, Organosol seluas 21.261,88 Ha atau 4,71 %, Mediteran seluas 15.303,14 Ha atau 3,39%,Aluvial seluas 21.668,16 Ha atau 4,80% serta tanah Campuran seluas 160.660,38 Ha atau 35,59% (BPS Konawe Selatan 2010).

Secara umum, wilayah Konawe Selatan memiliki dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan November hingga Maret, dan musim kemarau terjadi pada bulan Agustus hingga bulan Oktober. Suhu tertinggi yang terukur selama 13 tahun terjadi pada bulan November dan suhu udara terendah di bulan Agustus.

(18)

Gambar 1 Pola curah hujan dan suhu Kabupaten Konawe Selatan. Menurut Khomarudin et al (2001), daerah yang termasuk tipe hujan monsoon adalah Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat dan Jakarta, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Papua. Kawasan Sulawesi Tenggara yang tergolong tipe hujan monsoon mengidentifikasikan bahwa Konawe Selatan juga memiliki pola hujan yang sama. Adapun letak stasiun pengamatan hujan di Konawe Selatan dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Letak Stasiun Iklim Kabupaten Konawe Selatan

4.2 Tipe Iklim Kabupaten Konawe Selatan

Klasifikasi Oldeman merupakan salah satu klasifikasi yang cukup berguna khususnya dalam klasifikasi lahan pertanian tanaman pangan Indonesia. Kriteria dalam klasifikasi iklim ini didasarkan pada hitungan bulan basah (BB), bulan lembab

(BL), serta bulan kering (BK) yang batasannya memperhatikan peluang hujan, hujan efektif, dan kebutuhan air tanaman. Adapun batas kriteria sebagai berikut (Handoko, 1993):

1. Bulan basah yaitu bulan dengan rata-rata curah hujan > 200 mm. 2. Bulan Lembab yaitu bulan dengan

rata-rata curah hujan 100-200 mm. 3. Bulan kering yaitu bulan dengan

rata-rata curah hujan < 100 mm. Data curah hujan yang digunakan dalam klasifikasi iklim untuk stasiun Motaha, Atari, serta Bandara sebanyak 26 tahun, yang dimulai dari tahun 1985–2010. Adapun untuk stasiun Moramo, panjang data yang digunakan sebanyak 20 tahun, yang dimulai dari tahun 1990–2010. Perbedaan panjang data tersebut disebabkan oleh keterbatasan akan data curah hujan pada tiap-tiap stasiun iklim.

Konawe Selatan merupakan wilayah yang beriklim kering, dengan tipe iklim D dan E (Tabel 2). Kondisi tersebut sangat memungkinkan untuk pembudidayaan padi gogo, sebagai salah satu varietas padi untuk lahan kering. Berdasarkan survey yang dilakukan pada saat pengambilan sampel tanah di beberapa titik (daerah perwakilan setiap stasiun), terdapat beberapa daerah yang memiliki kelembaban tanah yang cukup lembab (baik), yaitu wilayah Baito dan Lanud W Mongonsidi. Walaupun tergolong daerah dengan iklim D, akan tetapi di wilayah ini masih terdapat lahan padi sawah yang cukup luas.

Secara umum, padi gogo untuk wilayah Lanud W Mongonsidi dan Baito ditanam secara tumpang sari dengan tanaman komoditas lahan kering yang membutuhkan jumlah air lebih sedikit, seperti Jagung. Adapun untuk daerah Motaha dan Atari merupakan dua dari beberapa wilayah di Konawe Selatan yang cukup kering. Hal ini dapat diperkuat dengan kondisi tanah yang cenderung retak dan keras.

(19)

Tabel 2 Klasifikasi iklim Stasiun Kabupaten Konawe Selatan

4.3Penutupan Lahan Kabupaten Konawe Selatan

Tipe penutupan lahan Kabupaten Konawe Selatan diklasifikasikan menjadi beberapa lahan, diantarannya perkebunan, sawah, savanna, belukar rawa, hutan lahan kering, pertanian lahan kering dan sebagainya. Hasil klasifikasi secara menyeluruh serta batas-batas wilayah penutupan lahan disajikan pada peta penutupan lahan yang terdapat pada lampiran.

Wilayah Moramo dan sekitarnya serta wilayah Lanud W Mongonsidi dan sekitarnya didominasi oleh jenis penutupan lahan berupa hutan lahan kering baik primer maupun sekunder serta pertanian lahan kering bercampur semak. Penutupan lahan di wilayah Motaha dan sekitarnya didominasi oleh savana, pertanian lahan kering bercampur semak, perkebunan, serta hutan tanaman industri. Penutupan lahan di sekitar wilayah Baito dan sekitarnya didominasi oleh pertanian lahan kering bercampur semak, hutan, dan pelabuhan laut. Adapun wilayah Atari dan sekitarnya, jenis penutupan lahan didominasi oleh pertanian lahan kering bercampur semak dan savana.

Hasil pemetaan titik stasiun dan penutupan lahan menunjukkan bahwa wilayah savana yang merupakan tanaman ciri wilayah kering terdapat di wilayah Motaha dan Stasiun Atari serta wilayah sekitarnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa kedua wilayah beriklim kering dibandingkan

wilayah lainnya (Lanud W Mongonsidi, Baito, dan Moramo).

4.4 Evapotranspirasi Potensial Kabupaten Konawe Selatan

Hasil perhitungan nilai evapotranspirasi potensial dapat dilihat pada lampiran neraca air lahan di berbagai wilayah stasiun iklim Konawe Selatan. Suhu pada seluruh wilayah Konawe Selatan menggunakan suhu yang terukur pada stasiun Lanud W Mongonsidi. Hal ini dikarenakan pada stasiun Atari, Baito, Motaha, maupun Moramo tidak mengukur suhu pada wilayah sekitar stasiun tersebut. Perbedaan tinggi wilayah yang relatif tidak terlampau jauh (dataran rendah) mengakibatkan suhu stasiun Lanud W Mongonsidi masih dapat mewakili stasiun lainnya.

Secara umum, nilai evapotranspirasi potensial pada tahun normal mencapai nilai tertinggi pada bulan Januari sebesar 158.4 mm/bulan dan terendah sebesar 130.4 mm/bulan yang jatuh pada bulan Agustus. Tahun El-Nino nilai evapotranspirasi potensial tertinggi di bulan November sebesar 157.6 mm/bulan. Penurunan terjadi hingga nilai evapotranspirasi bulan Agustus mencapai nilai terendah sebesar 105.1 mm/bulan. Pada tahun La-Nina, nilai evapotranspirasi mencapai maksimum di bulan Januari sebesar 155.2 mm/bulan serta mencapai minimum pada bulan Agustus sebesar 126.4 mm/bulan.

Pengaruh anomali iklim baik terjadi karena ENSO maupun IOD, berpengaruh Stasiun Bulan satu kali palawija setahun tergantung pada ada atau tidaknya air irigasi Atari lama 0 4 7 E3 Daerah ini umumnya terlalu kering,

mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung adanya hujan

Montaha 0 12 0 E4 Daerah ini umumnya terlalu kering, mungkin hanya dapat satu kali palawija, itupun tergantung adanya hujan

Moramo 3 4 - D3 Hanya mungkin satu kali padi atau satu kali palawija setahun tergantung pada ada atau tidaknya air irigasi Lanud

Bandara

(20)

terhadap curah hujan secara signifikan, terutama pada kondisi kejadian dengan intensitas kuat (Irianto dan Suciantini 2006). Evapotranspirasi potensial dengan menggunakan metode Thornthwaite menggunakan indikator suhu, sehingga anomali iklim yang terjadi tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai evapotranspirasi potensial wilayah Konawe Selatan.

4.5 Deskripsi Wilayah Pengambilan

Sampel Tanah dan Nilai Kadar Air Tanah.

Pengambilan sampel tanah dilakukan di 8 desa dengan 16 sampel tanah, masing-masing 2 sampel tanah setiap desanya. Berikut merupakan deskripsi masing- masing desa pengambilan sampel tanah:

 Baito

Pada wilayah Baito dan sekitarnya , sampel tanah diambil di Desa Lalemba dan Desa Uluraka. Secara umum, kondisi kedua desa ini hampir sama, yaitu topografi bergunung-gunung dengan kondisi hutan yang masih cukup dominan. Jarak antara dan Desa Lalembuu dengan kecamatan Lalembuu. Topografi kedua desa tersebut cukup bergunung-gunung dengan situasi yang cukup kering. Hal ini terlihat dari kondisi kesuburan tanah di kedua desa. Pada Desa Wondumtolo kondisi tanah yang cukup kering menyebabkan butuh penambahan air pada saat pengambilan sampel tanah tersebut. Pengambilan sampel tanah di lakukan di wilayah sekitar dengan jarak antara kedua desa sekitar 200 meter.

Beberapa masalah atau kendala dalam pengambilan sampel tanah adalah transportasi dan jalan menuju desa. Jalan yang sempit serta terputusnya jalur menuju desa menyebabkan pengambilan sampel dilakukan di kedua desa dengan jarak yang relatif dekat.

Kondisi di cakupan wilayah Atari dan sekitarnya relatif kering. Kondisi ini tidak hanya dibuktikan dengan tanahnya yang tandus, tetapi tanaman dominan yang terdapat pada wilayah ini merupakan tanaman tahan akan kekeringan, seperti jambu mete.

 Lanud W Mongonsidi

Pada wilayah Lanud W.Monginsidi dan sekitarnya, sampel tanah diambil di Desa Lulosinggi dan Desa Wolasi Kecamatan Wolasi. Jarak antara kedua desa tersebut relatif jauh kurang lebih 1 km. Kondisi padi gogo pada Desa Wolasi datar sedangkan kondisi lokasi penanaman padi gogo di wilayah Desa Lulosinggi cenderung berbukit-buki serta kemiringan lerengnya kurang lebih 5 derajat.

Adapun untuk kondisi secara umum wilayah Lanud W Mongonsidi dan sekitarnya cenderung lembab serta tidak kering. Hal ini dilihat dari kondisi tanah dengan kelembaban yang cukup baik.

 Motaha

Pada wilayah Motaha dan sekitarnya, sampel tanah di Desa Lamooso Kecamatan Angata serta Desa Pudahua Kecamatan Mowila. Topografi kedua desa cenderung berbeda, dimana untuk wilayah sekitar Desa Lamooso relatif datar dengan kondisi yang cukup kering. Adapun untuk Desa Pudalua, topografi cenderung berbukit-bukit dan juga cenderung kering kondisi tanah. Adapun nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen yang diperoleh dari hasil analisis tanah disajikan pada Tabel 3.

(21)

Tabel 3 Data nilai kadar air tanah setiap stasiun Nama Stasiun Kode

Sampel KL(mm)

Data kapasitas lapang merupakan data kadar air pada pF 2,54 dan data kadar air pada pF 4.2 untuk data titik layu permanen. Menurut Hanafiah (2004), kapasitas lapang adalah kondisi dimana tebal lapisan air dalam pori-pori tanah mulai menipis, sehingga tegangan antar air-udara meningkat hingga lebih besar dari gaya gravitasi, gaya gravitasi (pori-pori makro) habis dan air tersedia (pada pori-pori meso dan mikro) bagi tanaman dalam keadaan optimum. Kondisi ini terjadi pada tegangan permukaan lapisan air sekitar 1/3 atm atau pF 2,54. Adapun titik layu permanen merupakan kondisi kadar air tanah yang ketersediannya sudah lebih rendah dibandingkan kebutuhan tanaman untuk aktivitas dan mempertahankan turgornya. Kondisi ini terjadi pada tegangan 15 atm atau pF 4.2.

Data fisika tanah untuk Moramo dan sekitarnya terdiri atas kapasitas lapang sebesar 270 mm (Jufri 2011) dan titik layu permanen sebesar 208.8 mm. Nilai titik layu permanen diperoleh dari rata-rata nilai titik layu permanen wilayah lainnya. Keterbatasan literatur mengenai kondisi tanah dominan di wilayah Moramo merupakan salah satu faktor pengambilan nilai rata-rata tersebut. Semakin tinggi nilai kapasitas lapang suatu tanah, maka air yang dibutuhkan oleh tanah untuk mencapai maksimum juga cukup besar. Kadar air tanah ditentukan berdasarkan selisih antara

kapasitas lapang dan titik layu permanen. Wilayah yang memiliki air tersedia tertinggi terdapat di stasiun Motaha sebesar 263.4 mm. Curah hujan merupakan unsur iklim yang cukup erat dengan ketersediaan air khususnya air yang dibutuhkan tanah untuk mencapai simpanan maksimum. Hasil klasifikasi iklim dengan menggunakan data curah hujan, dapat diketahui bahwa wilayah Motaha memiliki curah hujan yang cukup rendah. Kondisi ini sangat rentan terhadap pertumbuhan tanaman pertanian yang membutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar.

Adapun curah hujan yang tinggi akan sangat menguntungkan untuk wilayah yang memiliki kapasitas lapang rendah, seperti pada wilayah stasiun Baito dan Lanud W Mongonsidi. Hal ini disebabkan akan terjadinya surplus yang akan menguntungkan bagi tanaman dalam kasus penyediaan air.

4.6 Variabilitas Iklim

(22)

Tabel 4 Tahun-tahun variabilitas iklim Tahun Variabiltas Iklim

1985 Normal

Curah hujan merupakan salah satu unsur iklim yang mengalami perubahan signifikan jika ENSO terjadi di wilayah Indonesia, khususnya Konawe Selatan. Secara umum, wilayah stasiun-stasiun Konawe Selatan mengalami penurunan jumlah curah hujan pada saat El-Nino terjadi serta mengalami peningkatan jumlah curah hujan saat berlangsung La-Nina. Kondisi tersebut dapat di lihat pada wilayah stasiun Moramo dan Atari (Lampiran 12). Adapun untuk wilayah stasiun lainnya, El-Nino yang terjadi menyebabkan berkurangnya jumlah curah hujan dari tahun normal. Curah hujan pada saat berlangsung La-Nina mengalami peningkatan, tetapi jumlahnya masih dibawah tahun normal. Kondisi ini terjadi di beberapa wilayah stasiun, diantaranya Stasiun Motaha dan sekitarnya, Stasiun

Lanud dan sekitarnya, serta Stasiun Baito dan sekitarnya (Lampiran 12).

4.7 Analisis Neraca Air

Perhitungan neraca air merupakan salah satu cara dalam menentukan besarnya surplus dan defisit air dari suatu wilayah. Hasil analisis tersebut akan menjadi rujukan/referensi dalam melaksanakan penanaman terhadap suatu varietas tanaman pertanian, khususnya padi serta memberikan gambaran terhadap periode basah (musim hujan) dan periode kering (musim kemarau). Adapun hasil perhitungan neraca air pada setiap stasiun di wilayah Konawe Selatan disajikan pada uraian di bawah ini:

4.7.1 Stasiun Atari

Stasiun Atari terletak di 04021’48” LS dan 122007’27” BT dan merupakan salah satu stasiun iklim di Konawe Selatan. Hasil perhitungan neraca air pada tahun normal mengidentifikasikan bahwa surplus air hanya terjadi pada bulan Juni. Defisit terjadi hampir di semua bulan sepanjang tahun normal tersebut (Gambar 3).

(23)

Gambar 3 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun normal

Gambar 4 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun El- Nino

Gambar 5 Grafik neraca air wilayah Stasiun Atari tahun La-Nina Periode terjadinya surplus dan defisit

perlu diperhatikan dalam menetukan periode musim kemarau dan musim hujan. Tinggi rendahnya nilai kedua parameter tersebut akan berdampak pada nilai kadar air tanah, dimana semakin tinggi nilai defisit maka APWL tanah juga meningkat yang menyebabkan kadar air tanah akan mengalami penurunan. Pada tahun-tahun kejadian El-Nino, jumlah curah hujan pada umumnya akan mengalami penurunan. Hasil perhitungan neraca air, diperoleh bahwa terdapat perubahan bulan kejadian surplus maupun defisit. Surplus terjadi pada bulan Mei dan Juni serta Desember dan defisit terjadi pada bulan Januari hingga April dan Juli hingga November (Gambar 4). Pada tahun normal, surplus terjadi hanya terjadi 1 bulan. Peningkatan bulan surplus pada tahun El-Nino dipengaruhi oleh jumlah curah hujan cenderung lebih besar dibandingkan normal. Secara umum, jumlah curah hujan tahun normal lebih besar dibandingkan

tahun El-Nino. Pada bulan-bulan tertentu, curah hujan meningkat dan cenderung lebih tinggi dibandingkan bulan yang sama pada tahun normal. Kondisi ini merupakan penyebab peningkatan bulan surplus pada tahun El-Nino.

Kondisi berbeda terjadi pada saat fenomena La-Nina, dimana surplus berlangsung selama 4 bulan yaitu bulan Maret, Mei hingga Juli. Adapun defisit berlangsung dengan periode yang cukup lama 8 bulan dari Agustus hingga April (Gambar 5). Data ketersediaan air pada tanah merupakan data pokok dalam perhitungan neraca air lahan dan nilai titik layu permanen (TLP) dan kapasitas lapang (KL) berbeda untuk setiap daerah. Tanaman dapat ditanam pada suatu lahan jika

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(24)

Gambar 6 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari tahun normal

Gambar 7 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari tahun El-Nino

Gambar 8 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Atari pada tahun La-Nina Pada saat kadar air tanah berada di

bawah titik layu permanen, tanaman akan mengalami kekeringan dan menjadi layu. Oleh sebab itu, penanaman tidak dilakukan pada saat KAT (kadar air tanah) berada di bawak titik layu. Hasil perhitungan neraca air lahan pada wilayah stasiun Atari menyatakan bahwa komoditas padi gogo hanya dapat ditanam pada saat La-Nina yang berlangsung selama 4 bulan (Gambar 8). Pada tahun normal dan tahun El-Nino berlangsung (Gambar 6 dan 7), tanaman padi gogo tidak dapat ditanam. Kondisi tersebut terkait dengan ketersediaan air yang jauh di bawah titik layu permanen.

4.7.2 Stasiun Lanud. W. Mongonsidi

Stasiun Lanud W Mongonsidi terletak di 04004’48” LS dan 122024’0” BT serta merupakan salah satu stasiun iklim di Bandara W Mongonsidi Kendari. Hasil perhitungan neraca air pada tahun normal

mengambarkan bahwa surplus air terjadi pada bulan November hingga Juni dan defisit terjadi pada bulan Agustus hingga Oktober (Gambar 9).

Surplus menyatakan bahwa curah hujan memiliki jumlah yang tinggi dibandingkan dengan laju evapotranspirasi yang dikeluarkan. Hal ini menggambarkan bahwa pada bulan-bulan surplus berlangsung musim hujan. Kondisi terbalik terjadi pada saat defisit berlangsung, dimana jumlah curah hujan cukup rendah sehingga tidak dapat menutupi laju evapotranspirasi yang dikeluarkan. Hal ini menggambarkan berlangsungnya musim kemarau.

0

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(25)

Gambar 9 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W.Mongonsidi tahun Normal

Gambar 10 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W. Mongonsidi tahun El- Nino

Gambar 11 Grafik neraca air wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun La- Nina

Periode terjadinya surplus dan defisit perlu diperhatikan dalam menentukan periode musim hujan dan kemarau. Tinggi rendahnya nilai kedua parameter tersebut akan berdampak pada nilai kadar air tanah, dimana semakin tinggi nilai defisit maka APWL tanah juga meningkat yang menyebabkan kadar air tanah akan mengalami penurunan. Pada tahun-tahun fenomena El-Nino, surplus terjadi pada bulan Desember hingga Juni, serta bulan Agustus. Adapun defisit terjadi pada bulan Juli, bulan September hingga November (Gambar 10). Pada tahun-tahun normal, surplus terjadi selama 8 bulan. Pengaruh anomali iklim berupa El-Nino, awal suplus mengalami pergeseran selama 1 bulan, yakni pada bulan Desember. Kondisi berbeda terlihat pada parameter defisit. Kejadian El-Nino mengakibatkan jumlah curah hujan mengalami penurunan, sehingga peluang curah hujan lebih kecil daripada evapotranspirasi. Adapun jumlah defisit

pada tahun El-Nino sebesar 156.5 mm dengan puncak tertinggi pada bulan November. Jumlah tersebut cukup besar jika dibandingkan tahun normal yang hanya mencapai 49.0 mm yang mencapai nilai maksimum pada bulan September.

La-Nina merupakan salah satu variabilitas iklim yang menyebabkan kenaikan pada jumlah curah hujan. Hal ini menyebabkan jumlah curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun normal. Periode surplus lebih lama dibandingkan dengan periode defisit. Pada saat berlangsung La-Nina, surplus terjadi dari bulan Januari hingga Agustus dan berlanjut pada bulan Oktober dan November. Adapun defisit berlangsung selama 2 bulan, yaitu bulan September dan Desember (Gambar 11). Nilai defisit berkisar 4.0 mm serta mencapai maksimum pada bulan September.

0

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(26)

Gambar 12 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun normal

Gambar 13 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun El-Nino

Gambar 14 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi tahun La-Nina

Data ketersediaan air pada tanah merupakan data pokok dalam perhitungan neraca air lahan dan nilai titik layu permanen (TLP) dan kapasitas lapang (KL) berbeda untuk setiap daerah. Tanaman dapat ditanam pada suatu lahan jika ketersediaan air / lengas tanah > 50 % air tersedia. Pada saat kadar air tanah berada di bawah titik layu permanen, tanaman akan mengalami kekeringan dan menjadi layu. Oleh sebab itu, penanaman tidak dilakukan pada saat KAT (kadar air tanah) berada di bawak titik layu. Hasil perhitungan neraca air lahan pada wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi menyatakan bahwa komoditas padi gogo dapat ditanam pada semua tahun variabilitas iklim. Secara umum, El-Nino menyebabkan pergeseran awal waktu penanaman padi gogo dan La-Nina menyebabkan penanaman dapat dilakukan lebih awal dari jadwal pada tahun normal.

4.7.3Stasiun Baito

Stasiun Baito terletak di 04015’56” LS dan 122019’35” BT serta merupakan salah satu stasiun iklim di Konawe Selatan. Hasil perhitungan neraca air pada tahun normal mengidentifikasikan bahwa surplus air terjadi pada bulan Desember hingga Juni, serta defisit terjadi pada bulan Juli hingga November (Gambar15).

Surplus menyatakan bahwa curah hujan memiliki jumlah yang tinggi dibandingkan dengan laju evapotranspirasi yang dikeluarkan.

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(27)

Gambar 15 Grafik neraca air wilayah Stasun Baito tahun normal

Gambar 16 Grafik neraca air wilayah Stasiun Baito tahun El-Nino

Gambar 17 Grafik neraca air wilayah Stasiun Baito tahun La-Nina

Hal ini menggambarkan bahwa pada bulan-bulan surplus berlangsung musim hujan. Kondisi terbalik terjadi pada saat defisit berlangsung, dimana jumlah curah hujan cukup rendah sehingga tidak dapat menutupi laju evapotranspirasi yang dikeluarkan. Hal ini menggambarkan berlangsungnya musim kemarau.

Periode terjadinya surplus dan defisit perlu diperhatikan dalam menentukan periode musim hujan dan kemarau. Tinggi rendahnya nilai kedua parameter tersebut akan berdampak pada nilai kadar air tanah, dimana semakin tinggi nilai defisit maka APWL tanah juga meningkat yang menyebabkan kadar air tanah akan mengalami penurunan. Pada tahun-tahun fenomena El-Nino, surplus terjadi pada bulan Desember hingga Juni dan defisit mencapai maksimum pada bulan September. Pada saat berlangsung La-Nina, surplus terjadi dari bulan November, Januari, Maret hingga Juli. Adapun defisit berlangsung pada bulan Agustus hingga Oktober, serta Desember (Gambar 17). Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi pergeseran awal surplus dengan periode defisit berlangsung relatif singkat yaitu 4 bulan. La-Nina merupakan salah satu variabilitas iklim yang menyebabkan kenaikan pada jumlah curah hujan. Hal ini menyebabkan jumlah curah hujan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun normal, sehingga periode berlangsung surplus juga lebih lama dan defisit berlangsung dalam periode yang cukup singkat. Besar nilai defisit pada tahun La-Nina 2.4 mm dan mencapai maksimum pada bulan September.

Data ketersediaan air pada tanah merupakan data pokok dalam perhitungan neraca air lahan dan nilai titik layu

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(28)

permanen (TLP) dan kapasitas lapang (KL) berbeda untuk setiap daerah. Tanaman dapat ditanam pada suatu lahan jika ketersediaan air / lengas tanah > 50 % air tersedia. Pada saat kadar air tanah berada di bawah titik layu permanen, tanaman akan mengalami kekeringan dan menjadi layu. Oleh sebab itu, penanaman tidak dilakukan pada saat KAT (kadar air tanah) berada di bawak titik layu. Hasil perhitungan neraca air lahan pada wilayah Stasiun Baito menyatakan

bahwa komoditas padi gogo hanya dapat ditanam pada semua tahun variabilitas iklim. Wilayah Stasiun Baito memiliki awal penanaman yang sama untuk semua tahun variabilitas iklim. Hal yang mendasari perbedaan adalah periode waktu penanaman, dimana padi gogo dapat ditanam sepanjang tahun pada saat La-Nina berlangsung dan terjadi pengurangan periode tanam saat berlangsung El-Nino.

Gambar 18 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun normal

Gambar 19 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun El-Nino

Gambar 20 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Baito tahun La-Nina

0

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(29)

4.7.4Stasiun Motaha

Stasiun Motaha terletak di 04008’26” LS dan 122008’40” BT serta merupakan salah satu stasiun iklim di Konawe Selatan. Hasil perhitungan neraca air pada wilayah stasiun Motaha berbeda dengan hasil analisis stasiun iklim konawe selatan. Pada tahun normal terjadi defisit yang berkepanjangan dan tidak satu pun bulan menghasilkan nilai surplus (Gambar 21). Laju evapotranspirasi yang terlalu besar dibandingkan dengan curah hujan menjadi salah satu penyebab tingginya nilai defisit.

Pada tahun El-Nino juga memperlihatkan kondisi yang cenderung sama dengan tahun normal (Gambar 22). Defisit yang cenderung

lebih besar dibandingkan tahun normal merupakan perbedaan analisis neraca air untuk kategori tahun normal dan El-Nino. Defisit pada saat berlangsung kejadian El-Nino cukup besar yaitu 704.8 mm serta mencapai nilai maksimum pada bulan Oktober. Adapun nilai defisit pada tahun normal sebesar 613.3 dan mencapai maksimum pada bulan Oktober. Pada saat berlangsung La-Nina, suplus terjadi di bulan Juni sebesar 2.7 mm. La-Nina menyebabkan peningkatan pada curah hujan, sehingga menghasilkan bulan dengan kondisi surplus. Defisit yang terjadi sebesar 463.8 mm dan mencapai maksimum pada bulan Desember.

Gambar 21 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha tahun normal

Gambar 22 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha tahun El-Nino

Gambar 23 Grafik neraca air wilayah Stasiun Motaha tahun La-Nina

0

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(30)

Gambar 24 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun normal

Gambar 25 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun El-Nino

Gambar 26 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Motaha tahun La-Nina

Data ketersediaan air pada tanah merupakan data pokok dalam perhitungan neraca air lahan dan nilai titik layu permanen (TLP) dan kapasitas lapang (KL) berbeda untuk setiap daerah. Tanaman dapat ditanam pada suatu lahan jika ketersediaan air / lengas tanah >50 % air tersedia. Pada saat kadar air tanah berada di bawah titik layu permanen, tanaman akan mengalami kekeringan dan menjadi layu. Oleh sebab itu, penanaman tidak dilakukan pada saat KAT (kadar air tanah) berada di bawak titik layu. Berdasarkan hasil perhitungan neraca air lahan, padi gogo tidak dapat

4.7.5Stasiun Moramo

Stasiun Moramo terletak di 04010’07” LS dan 1220 39’ 03” BT serta merupakan salah satu stasiun iklim di Konawe Selatan. Hasil perhitungan neraca air pada tahun normal mengidentifikasikan bahwa surplus air terjadi pada bulan Desember hingga Juli, serta defisit terjadi pada bulan Agustus hingga November (Gambar 27).

Surplus menyatakan bahwa curah hujan memiliki jumlah yang tinggi dibandingkan dengan laju evapotranspirasi yang dikeluarkan. Hal ini menggambarkan bahwa pada bulan-bulan surplus berlangsung musim hujan. Pada saat defisit berlangsung, jumlah curah hujan cukup rendah sehingga tidak dapat menutupi laju evapotranspirasi yang dikeluarkan. Hal ini menggambarkan berlangsungnya musim kemarau.

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(31)

Gambar 27 Grafik neraca air Wilayah Moramo dan sekitarnya Tahun Normal

Gambar 28 Grafik neraca air Wilayah Moramo dan sekitarnya Tahun El-Nino

Gambar 29 Grafik neraca air Wilayah Moramo dan sekitarnya Tahun La-Nina Periode terjadinya surplus dan defisit

perlu diperhatikan dalam menentukan periode musim hujan dan kemarau. Tinggi rendahnya nilai kedua parameter tersebut akan berdampak pada nilai kadar air tanah, dimana semakin tinggi nilai defisit maka APWL tanah juga meningkat yang menyebabkan kadar air tanah akan mengalami penurunan. Pada tahun-tahun fenomena El-Nino, surplus terjadi pada bulan Desember hingga Juni dan defisit terjadi pada bulan Juli hingga November (Gambar 28). Fenomena El-Nino mengakibatkan periode surplus yang cukup pendek dibandingkan pada tahun normal, dan nilai defisit mengalami penambahan periode. Defisit pada tahun El-Nino sebesar 303.9 mm dan mencapai maksimum pada fenomena La-Nina, dimana surplus

berlangsung selama 9 bulan yaitu dari bulan November hingga Juli. Adapun defisit berlangsung dengan periode yang cukup pendek 3 bulan dari Agustus hingga Oktober (Gambar 29). Besar defisit pada tahun La-Nina sekitar 16.2 mm, dengan nilai maksimum pada bulan Oktober. Data ketersediaan air pada tanah merupakan data pokok dalam perhitungan neraca air lahan

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(32)

Gambar 30 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo tahun normal

Gambar 31 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo tahun El-Nino

Gambar 32 Grafik neraca air lahan wilayah Stasiun Moramo tahun La-Nina Pada saat kadar air tanah berada di

bawah titik layu permanen, tanaman akan mengalami kekeringan dan menjadi layu. Oleh sebab itu, penanaman tidak dilakukan pada saat KAT (kadar air tanah) berada di bawak titik layu. Berdasarkan hasil perhitungan neraca air lahan, padi gogo dapat dikembangkan atau di tanam di wilayah Stasiun Moramo. Kadar air tanah di wilayah Moramo sangat mendukung

terhadap pengembangan komoditas padi gogo. Fenomena El-Nino menyebabkan pengurangan akan periode penanaman. Adapun La-Nina menyebabkan periode masa tanam tidak mengalami pergeseran dari tahun normal. Secara umum, perbedaan periode surplus dan defisit dari kelima stasiun yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 5.

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

T

Januari Febr Mar April Mei Juni Juli Agust Sep Okt Nove Dese

(33)

Tabel 5 Identifikasi bulan defisit dan surplus stasiun Kabupaten Konawe Selatan

Stasiun

Tahun Normal Tahun El-Nino Tahun La-Nina Bulan

4.8Kalender Tanam Padi Gogo

Hasil neraca air lahan menggambarkan bahwa setiap wilayah stasiun memiliki periode dan waktu tanam yang berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh nilai kapasitas lapang, titik layu permanen terhadap nilai kadar air tanah (ketersediaan air) serta curah hujan. Penentuan waktu tanam yang tepat juga dapat memberikan gambaran akan potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah dalam mengembangkan suatu komoditas pertanian. Adapun waktu tanam padi gogo di setiap wilayah stasiun dapat dilihat pada Tabel 6.

Secara umum, waktu tanam mengalami pergeseran dengan adanya variabilitas iklim berupa fenomena El-Nino dan La-Nina. Pengurangan potensi waktu tanam dari tahun normal terjadi pada tahun fenomena El-Nino dan mengalami peningkatan potensi waktu tanam saat La-Nina berlangsung.

Wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi, wilayah Stasiun Baito, serta wilayah Stasiun Moramo merupakan wilayah yang memiliki potensi waktu tanam padi gogo sangat baik. Kadar air tanah sangat cukup dalam menyediakan air bagi tanaman padi gogo selama melakukan pertumbuhan. Secara umum, penanaman padi gogo dapat dilaksanakan selama 7-8 bulan pada tahun normal. Pada tahun-tahun El-Nino, penanaman mengalami pengurangan periode selama 1-2 bulan dari tahun normalnya. Adapun untuk tahun La-Nina, penanaman padi gogo dapat mengalami peningkatan periode tanam (wilayah Stasiun Lanud W Mongonsidi), serta dapat dilaksanakan sepanjang tahun (wilayah Stasiun Baito) maupun periode penanaman tetap sama dari tahun normalnya (wilayah Stasiun Moramo). Wilayah Stasiun Atari memiliki potensi waktu tanam hanya selama 4 bulan dan

Gambar

Tabel 1 Tipe pembagian iklim menurut
Gambar 1 Pola curah hujan dan suhu
Tabel  3 Data nilai kadar air tanah setiap stasiun
Tabel 4 Tahun-tahun variabilitas iklim
+7

Referensi

Dokumen terkait

Transaksi pembelian saham atau aset neto milik pemegang saham nonpengendali (yang tidak berada dalam pengendalian yang sama dengan pemegang saham pengendali) merupakan

Untuk mengetahui efektivitas Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perkotaan Pada Kecamatan Bunyu Kabupaten Bulungan tahun 2010, (2). Untuk mengetahui faktor-faktor

Keengganan AS (dan sebelumnya Australia) untuk meratifikasi Protokol Kyoto, kegagalan negara-negara Annex 1 dalam memenuhi kewajiban penurunan emisinya, serta pertumbuhan ekonomi

[r]

kandungan unsur hara yang diterima tanaman akan semakin tinggi pula, tetapi pemberian dosis pupuk yang berlebihan mengakibatkan tanaman akan layu dan

Menurut WHO BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang atau sama dengan 2500 gram.Bayi lahir dengan BBLR memiliki kemungkinan untuk meninggal selama masa

160) adalah sebuah teknik pemecahan masalah yang mengurai sistem menjadi beberapa komponen untuk tujuan mempelajari seberapa baik bagian komponen bekerja dan

Pada 10 Maret, seusai pertemuan dengan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, misalnya, para pimpinan parpol mengeluarkan pernyataan yang tidak bisa membenarkan cara yang