• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ dalam Kultur Jaringan Daun Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh BAP dan TDZ dalam Kultur Jaringan Daun Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk"

Copied!
111
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat

keanekaragaman jenis pohon yang tinggi. Hasil hutan berupa kayu merupakan

komoditas utama yang dihasilkan dari hutan, akibatnya penebangan hutan secara

liar terjadi di berbagai tempat dengan tidak memperhatikan kerugian dan

kerusakan yang ditimbulkan, terutama merosotnya kualitas lingkungan. Selain

kayu, hutan juga menghasilkan komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang

memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Salah satunya adalah tanaman penghasil

gaharu yang banyak dihasilkan dari genus Aquilaria. Gaharu bernilai ekonomi tinggi karena digunakan sebagai bahan baku minyak wangi, parfum, kosmetik,

obat-obatan, dupa dan sebagai pencegah dan penghilang stress. Pohon penghasil

gaharu adalah salah satu jenis tanaman berkayu yang memiliki kandungan damar

wangi yang berasal dari infeksi mikroorganisme terjadi secara alami maupun

buatan sering ditemukan di bagian dalam batang utama pada umumnya terjadi

pada pohon Aquilaria.

Di Indonesia telah diketahui ada 16 jenis pohon penghasil gaharu yang

berasal dari 3 famili yaitu Thymeleaceae, Leguminoceae dan Euphorbiaceae,

dengan 8 genus yaitu Aquilaria sp.,Grynops sp., Excocaria sp., Gonistylus sp.,

Aetoxylon sp., Enkleia sp., Wiekstromia sp. danDalbergia sp. Pohon dari marga Aquilaria menghasilkan gaharu yang memiliki mutu sangatbaik dan lebih tinggi nilai perdagangannya daripada gaharu yang dihasilkan oleh pohon darimarga

lainnya.

Meningkatnya kebetuhan gaharu dari tahun ke tahun dan tingginya harga

jual, menyebabkan intensitas pemungutan liar yang berasal dari hutan alam

semakin tinggi dan tidak terkendali, khususnya terhadap jenis gaharu berkualitas

tinggi. Menurut Sumarna (2002), tanaman gaharu A. malaccensis yang ada di Indonesia termasuk spesies tanaman yang mulai langka, hal ini terjadi akibat

perburuan liar yang tidak terkendali dan tidak mengindahkan faktor-faktor

(2)

tidak berisi gaharu mengakibatkan masyarakat pemungut gaharu menebang pohon

secara spekulatif. Apabila pada akhirnya pohon tersebut tidak mengandung gaharu

setelah dikupas dan dicacah, maka pohon tersebut ditinggalkan begitu saja. Cara

perburuan tersebut terus berlangsung sehingga populasi tumbuhan A. malaccensis berada di ambang kelangkaan. Sehingga pada tahun 1994 organisasi dunia CITES

(Convention on International Trade in EndangeredSpecies of Wild Fauna and Flora)IX di Florida, mencantumkan tanaman gaharu A. malaccensisdalam Appendix II karena berstatus sebagai plasma nutfah yang terancam punah (Barden

et al.,2000). Menindaklanjuti hal tersebut, Departemen Kehutanan melalui Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) membatasi penjualan gaharu alam

bukan budidaya di dalam maupun luar negeri.

Perlu dilakukan upaya pencegahan untuk menghindari kepunahan di alam,

yaitu dengan melakukan teknik budidaya baik secara generatif maupun vegetatif

sebagai salahsatu upaya konservasi eksitu. Salah satu teknik budidaya vegetatif

yaitu dengan menggunakanteknik kultur jaringan, sehingga dengan teknik ini

dapat menghasilkan bibit dalam jumlah yangbanyak dan waktu yang relatif

singkat untuk mendukung kegiatan konservasi pohon penghasil gaharu.

Beberapa spesies asli telah berhasil dikoleksi, top soil telah diselamatkan berikutnya adalah perbanyakan spesies. Upaya yang telah dilakukan berupa

pembuatan nursery skala besar dan perbanyakan secara in vitro dalam laboratorium. Perbanyakan secara in vitro tepat diterapkan karena memiliki beberapa keunggulan, yaitu tanaman yang dihasilkan seragam, tidak

membutuhkan ruangan luas, produksi cepat dan tanaman bebas penyakit.

Daun sebagai bagian terbanyak dari suatu tanaman masih jarang digunakan

dalam perbanyakan secara in vitro. Proses induksi jika menggunakan daun kurang populer dibandingkan induksi menggunakan bagian tanaman seperti tunas karena

panjangnya proses yang harus sebelum tahap aklimatisasi. Daun dalam kultur

jaringan arah penggunaannya untuk menghasilkan kalus dan embriosomatik.

Kalus dan embrisomatik arah pengembangan berikutnya masih sangat luas.

Beberapa tujuan yang bisa dicapai menurut Santoso dan Nursandi (2001), antara

(3)

plasma nutfah yang efisien dan dapat digunakan untuk tujuan memproduksi

senyawa metabolit sekunder.

1.2 Tujuan

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk memperbanyak ketersedian

kalus gaharu dengan sifat genetik yang sama dengan induknya dalam jumlah

banyak dan waktu yang relatif singkat. Sedangakan secara khusus penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui pengaruh pertumbuhan dan konsentrasi ZPT BAP

dan TDZ yang optimum dalam multiplikasi kalus daun tanaman penghasil gaharu

dari A. malaccensis dalam media semi padat Murashige dan Skoog (MS).

1.3 Hipotesa

Hipotesa dalam penelitian ini adalah penambahan zat pengatur tumbuh

sitokinin BAP, TDZ dan kombinasinya dengan tingkat konsentrasi yang berbeda,

berpengaruh terhadap pertumbuhan eksplan daun A. malaccensis.

1.4 Manfaat

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

efisiensi dan efektifitas penggunaan ZPT dalam praktik komersial kultur jaringan

(4)

2.1 Tanaman Penghasil Gaharu - Aquilaria malaccensis Lamk.

A. malaccensis adalah salah satu dari 15 sub-spesies di marga Aquilaria, famili Thymelaeaceae. Pohon yang hijau sepanjang tahun yang dapat tumbuh

hingga 40 m dengan diameter 1,5 – 2,5 m, sering ditemukan di habitat hutan

campuran antara ketinggian tempat 0 – 1.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Spesies ini memiliki sebaran luas, ditemukan di Bangladesh, Bhutan, India,

Indonesia, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Thailand.

Produksi gubal gaharu memerlukan pohon gaharu dan mikroba untuk

menginduksi pembentukan senyawa gaharu. Gubal gaharu terbentuk sebagai

reaksi pertahanan pohon terhadap infeksi patogen, melalui pelukaan batang,

cabang atau ranting atau pengaruh fisik lainnya. Infeksi patogen mengakibatkan

keluarnya resin yang terdeposit pada jaringan kayu. Lama kelamaan jaringan kayu

ini akan mengeras dan berubah warnanya menjadi coklat sampai kehitaman,

bagian ini menjadi berat dan berbau wangi (Hou, 1960 dalam Azwin, 2007). Patogen yang biasa dijumpai menginfeksi pohon gaharu adalah jenis

mikroorganisme seperti cendawan yang telah diketahui sebagai pembentuk gaharu

ialah Fusarium sp., Phytium sp., Lasiodiplodia sp., Libertela sp., Trichoderma sp., Syctalidium sp. dan Thielaviopsos sp. (Sumarna, 2002).

2.1.1 Sejarah kehidupan dan bioekologi

SpesiesAquilaria telah beradaptasi untuk bertahan hidup di berbagai tipe habitat, seperti habitat berbatu, berpasir atau berkapur, lereng, punggung bukit dan

dekat rawa. Tumbuh pada ketinggian tempat 0 – 850 mdpl, dan dapat juga tumbuh

pada ketinggian tempat 1.000 mdpl dengan suhu rata-rata harian 20 - 22˚C (Ding

Hou, 1960; Afifi, 1995; Keller dan Sidiyasa, 1994; Wiridinata, 1995). Menurut

Sumarna (2002) umumnya gaharu berkualitas baik tumbuh pada daerah yang

beriklim panas dengan suhu 28-34˚C, kelembaban 60-80% dan curah hujan

(5)

A. malacccensis mulai berbunga dan memproduksi buah pada umur 7 -9 tahun di barat laut India, dan pohon berukuran sedang pernah dilaporkan

memproduksi buah berkisar 1,5 kg selama musim berbuah. Merupakan spesies

toleran ketika muda dan mungkin akan beregenerasi pohon induk (Beniwal, 1960).

Riap rata-rata di hutan alami di Malaysia cukup rendah, yaitu berkisar 0,33

cm/tahun, tapi spesimen cepat tumbuh pernah dilaporkan tumbuh hingga 0,8-1

cm/tahun. (La Frankie, 1994 dalam Barden et al., 2000). Viabilitas benih berkisar 1 minggu dan germinasi terjadi antara 16 hingga 63 hari (Ng, 1992)

2.1.2 Taksonomi

Dalam klasifikasi tumbuhan, gaharu (A. malaccensis) termasuk dalam divisi Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledone, ordo Thymelaeles,

famili Thymeliaceae, genus Aquilaria dan spesies A. malaccensis Lamk. (Ponirin, 1997). Menurut (Sumarna, 2002) di Indonesia ada 8 genus dan 16 spesies tanaman

penghasil gaharu antara lain adalah genus Aquilaria sp, Aetoxylon,

Enkleia,Gonystylus sp, Wikstroemia sp, Grynops, Dalbergia dan Excocaria. Genus Aquilaria memiliki 6 spesies A. beccariana, A. cumingiana, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis dan A. microcarpa (Soehartono, 1997 dalam Barden et al.,2000). Di beberapa daerah di Indonesia gaharu dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti layak, pohon pelanduk, kayu linggu, menameng dan terentak.

Dalam perdagangan dunia gaharu ini dikenal dengan nama aqarwood, aloewood

dan eaglewood (Sumarna, 2002 dalam Azwin, 2007).

2.1.3 Morfologi

Ding Hou (1960) mencatat bahwa pohon A.

malaccensis tumbuh hingga tingginya mencapai 40 m dengan diameter batang utama 60 cm.

Kulit batang licin, berwarna putih atau

keputih-putihan, kadang-kadang beralur. Bentuk

daunnya lonjong agak memanjang, dengan

ukuran 5-8 cm, lebar 3-4 cm, berujung runcing

dan berwarna hijau mengkilap (Sumarna, 2002).

Menurut Ponirin (1997), daun yang kering

biasanya berwarna abu-abu kehijauan, tepi daun

(6)

agak bergelombang, melengkung dan kedua permukaannya licin serta mengkilap,

tulang daun sekunder 12-16 pasang. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak

atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telur atau

lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar sekitar 3 cm, biji bulat atau

bulat telur yang ditutupi bulu-bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2002).

2.1.4 Distribusi dan status konservasi

A. malaccensis tersebar luas di Asia Selatan dan Tenggara. Oldfield et al. (1998) dalam Barden et al. (2000) menyebutkan spesies ini ditemukan di 10 negara, antara lain Bangladesh, Bhutan, India, Indonesia, Iran, Malaysia,

Myanmar, Philippines, Singapore dan Thailand. Di Indonesia daerah penyebaran

gaharu antara lain terdapat di kawasan Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,

Papua, Nusa Tenggara dan Jawa. (Azwin, 2007)

A. malaccensis termasuk dalam The World List of Threatened Tress (Oldfield et al., 1998). IUCN Red List tahun 2002 mengelompokan spesies ini ke

dalam kelompok vulnerable (rawan)(VU A1cd) berdasarkan laju pengurangan populasi kurang dari 20% selama lebih dari tiga generasi disebabkan oleh

eksploitasi aktual atau potensial, seiring dengan penurunan di lokasi asalnya.

Tingkat keberadaan dan/atau kualitas habitat (Hilton-Taylor, 2002). Klasifikasi ini

berdasarkan pendekatan yang dirumuskan pada 1994. Tekanan akibat pemanenan

besar-besaran terjadi di beberapa negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand

sehingga spesies dimasukkan dalam Appendix II pada tahun 1994.

2.1.5 Manfaat gubal gaharu dan kandungan

Pemanfaatan gaharu hingga saat ini masih dalam bentuk bahan baku yaitu

kayu bulatan, cacahan, bubuk atau fosil kayu yang sudah terkubur. Aroma yang

dikeluarkan gaharu sangat populer dan disukai masyarakat Timur Tengah, Saudi

Arabia, Uni Emirat, Yaman, Oman, daratan China, Korea dan Jepang. Menurut

Chakrabarty et al. (1994) dalam Barden et al. (2000) gubal gaharu digunakan sebagai dupa, wewangian, penghilang rasa sakit, asma, reumatik, tonik saat hamil

setelah melahirkan. Menurut Barden et al. (2000), gubal gaharu juga dimanfaatkan sebagai pelengkap dalam acara ritual keagamaan pada masyarakat

khususnya di kawasan Asia dan Timur Tengah dalam bentuk dupa, hio atau

(7)

Wangi dari gubal gaharu terjadi karena terdapat senyawa kimia aromatik

dan minyak atsiri. Komponen minyak atsiri yang dikeluarkan gaharu berupa

sequiterpenoida, eudesmana dan valencana. Hasil analisis kimia memberikan informasi gaharu memiliki 6 komponen utama berupa furanoid sesquiterpene

diantaranya a-agarofuran, b-agarofuran dan agarospirol. A. malaccensis asal

Kalimantan ditemukan komponen pokok minyak gaharu berupa chromone yang menyebabkan bau harum bila dibakar (Sumarna, 2002).

2.2 Kultur In Vitro 2.2.1 Teknik kultur in vitro

Kultur in vitro merupakan suatu metode untuk mengisolasi (mengambil) bagian tanman seperti protoplasma, sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, dan

menumbuhkannya secara aseptis (bebas kontaminasi) menjadi tanaman yang utuh

(plantet) (Gamborg 1982; Nugroho dan Sugito 2002). Teknik kultur in vitro sering

disebut teknik kultur jaringan. Sandra dan Karyaningsih (2000) menambahkan

bahwa dasar pengembangan kultur in vitro berdasarkan teori yang dikemukakan

oleh Schleiden dan Schwan yaitu sel tumbuhan yang mempunyai kemampuan

otonom totipotensi, yang merupakan potensi suatu sel untuk dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap dan dewasa karena tiap sel mengandung rangkaian gen

yang lengkap.

Gunawan (1995) menyatakan bahwa teknik kultur in vitro memiliki

beberapa tahapan yaitu : persiapan media, isolasi bahan tanaman (eksplan),

sterilisasi eksplan, inokulasi, pertumbuhan, aklimatisasi dan usaha memindahkan

tanaman hasil kultur lapangan. Teknologi ini menuntut syarat tertentu yang harus

dipenuhi dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah

tersedianya fasilitas laboratorium yang menyediakan alat-alat kerja dan sarana

produksi hingga terciptanya kondisi aseptik yang terkendali serta diperlukan pula

keterampilan dan latar belakang keilmuan bagi pelaksanaannya.

Gunawan (1995) menyatakan, suatu metode regenerasi belum tentu dapat

diterapkan pada semua jenis tanaman terutama jenis-jenis tanaman tropika. Oleh

karena itu langkah pertama yang perlu dilakukan adalah percobaan regenerasi

(8)

tanaman. Untuk memperoleh hasil perlu dilakukan percobaan pendahuluan.

Percobaan pendahuluan menjadi latar belakang pendekatan yang sistematis

terhadap permasalahan yang timbul.

2.2.2 Manfaat kultur in vitro

Kegunaan utama dari kultur in vitro adalah untuk mendapatkan tanaman

dalam jumlah banyak, dalam waktu yang relatif singkat, serta mempunyai sifat

fisiologi dan morfologi yang sama dengan induknya. Teknik tersebut juga mampu

menghasilkan tanaman baru yang bersifat unggul (Hendaryono & Wijayani 1994)

Budiatmoko (1998), juga menyatakan bahwa kelebihan penggunaan teknik

kultur in vitro untuk pembudidayaan tanaman yaitu: (1) membantu usaha pemuliaan pohon, (2) menghasilkan tanaman bebas penyakit, (3) tidak tergantung

iklim dan musim serta tidak membutuhkan lahan yang luas karena dilakukan di

laboratorium, (4) mempunyai tingkat laju perbanyakan yang tinggi dalam waktu

yang singkat, (5) menghemat bahan baku karena hanya bagian kecil tanaman yang

digunakan dan (6) merupakan sarana untuk mendapatkan produk sekunder

tanaman (misalnya metabolit sekunder) dengan cepat dalam jumlah yang cukup

besar.

2.2.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi kultur in vitro

Ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan teknik kultur

in vitro antara lain : eksplan, media kultur jaringan, zat pengatur tumbuh yang

digunakan dan lingkungan tumbuh.

A. Eksplan

Eksplan merupakan potongan yang diisolasi dari tanaman yang

dipergunakan untuk inisisasi suatu kultur in vitro. Eksplan yang baik memiliki

syarat daya regenerasi yang tinggi, lebih baik merupakan bahan tanaman yang

tertutup seperti pucuk dan meristem, sehat dan tidak mengandung bibit penyakit

(Sandra & Karyaningsih 2000). Menurut Gamborg dan Shyluk (1981) hampir

semua bagian jaringan tanaman dapat dijadikan sebagai eksplan. Organ yang biasa

digunakan sebagai eksplan antara lain tunas pucuk, tunas ketiak (aksilar), akar,

mata tunas, daun dan embrio. Tingkat keberhasilan dari jenis organ yang

(9)

B. Media kultur in vitro

Gunawan (1995) mengatakan faktor penentu di dalam media tumbuh adalah

komposisi garam anorganik, zat pengatur tumbuh dan bentuk fisik media.

Komposisi garam anorganik telah dikembangkan oleh beberapa ahli. Ada yang

tinggi konsentrasinya garamnya, ada yang sedang dan ada yang rendah.

Komposisi media tersebut pada umumnya diberi nama sesuai dengan nama

penemunya, antara lain : medium dasar Murashige dan Skoog (MS), medium

dasar Knop, medium dasar Nitsch dan Nitsch, medium dasar B5 atau Gamborg,

medium dasar White, medium dasar Vacin Went (VW), medium dasar N6,

medium dasar Heller, medium dasar Woody Plant Medium (WPM), medium

dasar Knudson C, medium dasar Schenk dan Hildebrant, medium dasar Gresshof

dan Day dan medium dasar Anderson.

Komposisi garam dalam medium dasar Murashige dan Skoog (MS)

merupakan media yang paling umum digunakan khususnya untuk morfogenesis,

kultur meristem, dan regenerasi tanaman (Gamborg dan Shyluk 1981). Medium

ini digunakan untuk hampir semua macam tanaman. Media ini punya konsentrasi

garam-garam mineral yang tinggi dan senyawa N dalam bentuk NO3- dan NH4+.

medium dasar Woody Plant Medium (WPM) dan Anderson digunakan untuk menanam tanaman dari eksplan yang keras, umumnya digunakan untuk tanaman

berkayu (Hendaryono dan Wijayani, 1994).

C. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT)

Zat pengatur tumbuh tanaman mencakup zat-zat endogen maupun zat-zat

eksogen (sintetik) yang dapat mengubah pertumbuhan tanaman. Zat pengatur

tumbuh tanaman yang dihasilkan oleh tanaman (zat endogen) disebut fitohormon,

sedangkan yang sintetik disebut zat pengatur tumbuh (Wattimena, 1988).

Faktor yang perlu mendapat perhatian dalam penggunaan zat pengatur

tumbuh antara lain jenis zat pengatur tumbuh yang akan digunakan, konsentrasi,

urutan penggunaan dan periode masa induksi dalam kultur tertentu (Gunawan,

1995). Pertumbuhan dan morfologis tanaman secara in vitro juga dikendalikan

oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang berada dalam

(10)

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang biasanya dibutuhkan

dalam jumlah yang sedikit dan dapat merangsang, menghambat atau mengubah

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. ZPT ini mempengaruhi pertumbuhan

dan perkembangan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ (Gunawan,

1987)

D. Faktor Lingkungan

Faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap perkembangan kultur

in vitro antara lain derajat keasaman (pH), kelembaban, cahaya dan temperatur

(Gunawan 1995). Faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap proses

pertumbuhan dan differensiasi.

Kelembaban relatif (RH) lingkungan yang dibutuhkan biasanya mendekati

100%. RH di sekitar kultur akan mempengaruhi pola perkembangan (Gunawan,

1995). Bila kelembaban ruangan rendah, penguapan air dari media kultur akan

terlalu besar. Dalam hal ini kelembaban perlu dinaikkkan. Sebaliknya apabila

kelembaban udara kultur tinggi, akan menyebabkan pertumbuhan mikroba di luar

wadah kultur (Wetherell, 1982).

2.3 Karakteristik BAPdan TDZ

BAP dan TDZ merupakan zat pengatur tumbuh yang masuk dalam katagori

(sitokinin), dengan tujuan pemakaian untuk memacu pertumbuhan tunas dan kalus.

BAP dan TDZ adalah senyawa kimia dengan ikatan kompleks.

2.3.1 BAP(Benzylaminopurin)

BAP (Benzylaminopurin) merupakan

zat pengatur tumbuh yang tergolong

kedalam sitokinin sintetik yang

penggunaannya dipengaruhi oleh ZPT

lainnya. Sitokinin mempengaruhi berbagai

proses fisiologi di dalam tanaman. Aktivitas utama sitokinin adalah sitokinesis

atau pembelahan sel. Aktivitas ini yang menjadi kriteria utama untuk

(11)

Berbeda dengan auksin dan giberelin, sitokinin hanya sedikit yang di

translokasikan melalui jaringan hidup tanaman. Sitokinin dibawa secara pasif

sepanjang aliran transpirasi pada xilem dari akar yang merupakan sumber utama menuju bagian-bagian lain dari tanaman (Krishnamoorty 1981 dalam Hartini

1996).

Salah satu jenis hormon dari kelompok sitokinin yang paling banyak

digunakan adalah BAP. Hal ini karena BAP dinilai lebih stabil, tidak mahal dan

lebih efektif dibandingkan kinetin. BAP biasanya digunakan untuk induksi kalus

tapi yang terpenting adalah BAP dapat menginduksi pembentukan tunas, pucuk

atau kecambah (Bonga dan Durzan, 1982).

Kockankov et al. 1989 dalam Hartini 1996 menyatakan BAP dapat menginduksi terjadinya transisi tunas generatif pada tanaman Rudbeckia bicolor. Selain itu, BAP juga efisien dalam mendorong inisiasi tunas bunga tapi tidak

mempengaruhi perkembangan tanaman selanjutnya. Total kandungan sitokinin

meningkat pada lapisan xilem pada 30 hari sebelum pembentukan bungan

mencapai maksimum selama pembentukan tunas bunga dan mencapai maksimum

selama pembentukan tunas bunga serta saat mekar penuh.

Penggunaan BAP dengan konsentrasi tinggi dan waktu yang lama seringkali

menyebabkan regenerant sulit berakar dan dapat menyebabkan penampakan

pucuk abnormal. Hal ini jelas terlihat pada kultur pucuk Asparagus officinalis (Wattimena 1998).

2.3.2 TDZ (Thidiazuron)

Thidiazuron juga masuk dalam kelompok

ZPT sitokinin sintetik sama seperti BAP. Menurut

Tefera dan Wannakrairoj 1897 dalam Kusmianto (2008), TDZ dapat berperan dalam menstimulasi

produksi sitokinin endogen. Kende dan Zaavaart

1997 dalam Kusmianto (2008) lebih lanjut

menjelaskan bahwa TDZ juga memiliki peran sebagai inhibitor sitokinin oksidase

(12)

Oleh karena itu TDZ dapat meningkatkan kerja sitokinin lain, baik sitokinin

eksogen ataupun sitokinin endogen.

Thidiazuron merupakan salah satu sitokinin tipe phenylurea sintetik yang memiliki kemampuan lebih baik dalam menginduksi tunas, di antara sitokinin lain

seperti zeatin, benzylaminopurin dan kinetin (Mok dan Mok 2001; Kou et al.

dalam Kusmianto, 2008).

2.4 Fungsi Unsur dalam Media Tanam

Menurut Sutarno Maeso 1989 dalam Hendaryono dan Wijayani 1994,

kegunaan setiap unsur-unsur yang akan digunakan dalam medium kultur in vitro adalah sebagai berikut :

Unsur Nitrogen (N), kegunaan N bagi tanaman adalah untuk menyuburkan tanaman sebab unsur N dapat membentuk protein, lemak dan berbagai

senyawa organik yang lain. Unsur N dipergunakan terutama untuk

pertumbuhan vegetatif tanaman. Selain itu unsur ini juga berperan dalam

pembentukan hijau daun yang berguna untuk melaksanakan proses

fotosintesis yang selanjutnya akan menghasilkan karbohidrat.

Unsur Fosfor (P), unsur ini terutama dibutuhkan untuk pembentukan karbohidrat. Unsur ini dibutuhkan besar-besaran pada waktu pertumbuhan benih,

pembuangan, pemasakan biji.

Unsur Kalium (K), berfungsi untuk memperkuat tubuh tanaman karena unsur ini dapat menguatkan serabut-serabut akar sehingga daun, bunga dan buah tidak

mudah gugur. Selain itu juga berfungsi memperlancar metabolisme dan

mempengaruhi penyerapan makanan.

Unsur Kalsium(Ca), unsur ini terdapat pada batang dan daun tanaman. Unsur ini juga bertugas merangsang pembentukan bulu-bulu akar, merangsang batang

dan merangsang biji karena unsur Ca bersama dengan Mg akan

memproduksi cadangan makanan.

Unsur Magnesium(Mg), penambahan unsur ini maka kandungan fosfat dalam tanaman dapat meningkat. Kegunaan dari fosfat sendiri adalah sebagai

(13)

protein menyebabkan pertumbuhan daun menjadi hijau sempurna dan

terbentuk karbohidrat, lemak serta minyak-minyak.

Unsur Besi (Fe), unsur Fe dibutuhkan sedikit lebih banyak daripada unsur mikro lainnya. Pemberian unsur Fe berfungsi sebagai penyangga (chelatin agent) yang sangat penting untuk menyangga kestabilan pH media selama

digunakan untuk menumbuhkan jaringan tanaman. Pada tanaman unsur Fe

berfungsi untuk pernafasan dan pembentukan hijau daun.

Unsur Sukrosa, Glukosa dan Fruktosa, Sukrosa dalam medium kultur in vitro berfungsi sebagai sumber energi yang diperlukan untuk induksi kalus.

Sukrosa 2-5% merupakan sumber karbon. Unsur glukosa dan fruktosa dapat

digunakan untuk mengganti sukrosa karena dapat merangsang pertumbuhan

beberapa jaringan. Pemilihan gula dan konsentrasi yang akan digunakan

tergantung dari jaringan tumbuhan yang akan dikulturkan dan tujuan yang

ingin dicapai.

Unsur Mio-inositol, penambahan mio-inositol pada medium bertujuan untuk membantu differensiasi dan pertumbuhan sejumlah jaringan. Bila

mio-inositol diberikan bersama denga auksin, kinetin dan vitamin maka dapat

mendorong pertumbuhan jaringan kalus.

Unsur Vitamin, vitamin-vitamin yang sering digunakan dalam media kultur in vitro antara lain adalah Thiamin (vit. B1), Pirodiksin (vit. B6) dan asam

nikotinat. Vitamin-vitamin ini umumnya terdapat dalam tanaman. Thiamin

adalah vitamin yang esensial untuk semua kultur in vitro tumbuhan. Fungsinya adalah untuk mempercepat pembelahan sel pada meristem akar

juga berperan sebagai koenzim dalam reaksi yang menghasilkan energi dari

karbohidrat dan memindahkan energi. Asam nikotinat juga penting dalam

(14)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Departemen

Lingkungan Hidup PT Newmont Nusa Tenggara, Kecamatan Sekongkang,

Kabupaten Sumbawa Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat selama 3 bulan mulai

dari bulan Juni hinggaAgustus 2011.

3.2 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah botol kultur, oven, plastik

warp, gelas piala, gelas ukur, hot plate, magnetic stirer, cawan petri, erlenmeyer,

autoklaf, api spiritus, mata pisau, gunting, pH meter, scapel, pinset, pipet, spatula,

neraca digital, laminar air flow cabinet serta rak-rak untuk menempatkan botol

hasil kultur.

3.3 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan dalam tiga kelompok

sesuai dengan jenis dan cara penggunaannya.

3.3.1 Bahan media tanam

Media dasar berfungsi sebagai suplai nutrisi bagi eksplan. Media dasar yang

digunakan adalah Murashige Skoog (MS). Bahan yang dibutuhkan untuk

membuat media MS adalah unsur makro, mikro dan vitamin. Jenis media tanam

berupa gel padat, menggunakan agar-agar khusus yang tidak berwarna dan

bersifat netral. Gula digunakan sebagai cadangan makanan dan air sebagai pelarut

seluruh media. Hormon yang digunakan adalah Benzyl Adenin Purin (BAP) dan

(15)

3.3.2 Bahan tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah eksplan Gaharu (Aquilaria

malaccensis) dalam media MS 0 hasil subkultur dengan karakteristik satu tunas

banyak daun. Bagian tanaman yang digunakan adalah daun.Umur plantlet adalah

4 bulan. Plantlet ditanam dalam botol selai yang berukuran besar.

3.3.3 Bahan sterilisasi

Bahan yang digunakan untuk mensterilkan peralatan adalah alkohol 70%

(cair dan gel), aquades, iodine (betadine), spiritus (api), korek api, kapas, cairan

liquinox dan air yang sudah disterilisasi.

3.4 Langkah Kerja

Urutan kerja dilakukan sesuai dengan Gambar 4, penjelasan teknis kegiatan

dijabarkan pada sub bab sebagai berikut,

Sterilisasi alat

Pengambilan data

Analisis data Sterilisasi

lingkungan kerja

Pembuatan media tanam

Penanaman/Subkultur

Pengamatan

MS instan, Gula, Air, Agar

Pengukuran ZPT (BAP dan

TDZ)

(16)

3.4.1 Sterilisasi alat

Botol kultur dan perlengkapan penanaman berupa petri dish, scapel, pinset

bengkok dan lurus dicuci menggunakan cairan liqui-nox dengan bantuan spon

busa dan gumpalan kawat untuk menghilangkan kotoran yang melekat pada

peralatan tersebut. Setelah pembersihan menggunakan cairan liquinox kemudian

semua botol dan peralatan dibilas menggunakan aquades untuk menghilangkan

sisa-sisa cairan pembersih yang masih menampel. Botol dan perlengkapan

penanaman ditiriskan di keranjang berongga agar air sisa pencucian sebagian

jatuh. Jika botol akan disterilkan pada hari yang berbeda maka botol disimpan di

tempat bersih dan tertutup dalam mulut botol berada di bawah (terbalik). Khusus

peralatan yang terbuat dari besi setelah pembilasan terakhir harus segera

dikeringkan menggunakan tissue untuk mencegah timbulnya karat akibat oksidasi

besi dengan air sisa pencucian begitu juga dengan petri dishharus segera

dikeringkan untuk mencegah timbulnya bercak-bercak tetesan air.

Sterilisasi berikutnya menggunakan bantuan autoclave. Sebelum menata botol kultur pastikan air rebus cukup untuk proses sterilisasi selama satu jam.

Botol kultur disusun rapi dan rapat dalam autoclave dengan posisi terbalik.

Perlengkapan penanaman disusun sesuai kebutuhan dan dikelompokkan sesuai

fungsinya seperti pinset dan scapel dibungkus menjadi satu wadah. Langkah

selanjutnya dibungkus rapi dalam kertas HVS dan diberi label nama alat dan

tanggal sterilisasi.

Strerilisasi peralatan dalam autoclave dilakukan selama satu jam dengan

tekanan 17,5 psi dan suhu 121°C. Autoclave dioperasikan dalam keadaan exhaust

valve (katup pembuangan) terbuka hingga uap air keluar selama 5 menit, hal ini untuk membuang uap air awal yang masih mengandung kotoran-kotoran yang

dapat menyebabkan kontaminasi. Botol dan peralatan yang sudah disterilisasi

langsung disimpan dalam wadah tertutup untuk mengurangi kontak dengan udara

luar terlalu lama.

3.4.2 Pembuatan media tanam

Pertama menyiapkan alat dan bahan dalam meja kerja. Penataan botol steril

(17)

untuk mencegah kontaminan masuk selama masa pembuatan media. Semua bahan

ditimbang menggunakan neraca digital dengan berat sebagai berikut.

Tabel 1. Penggunaan bahan untuk pembuatan media tanam

Bahan Berat (gram)

MS Instan 4,43

Gula pasir 30

Agar-agar 7

setelah seluruh bahan selesai ditimbang kemudian dicampur ke dalam satu liter air

mineral aduk hingga merata.Langkah selanjutnya mengukur pH menggunakan pH

indikator, pastikan didapatkan berkisar pH 5-6. Kemudian panaskan

menggunakan hot plate hingga mendidih, selama proses pemanasan larutan harus

tetap diaduk agar semua bahan tercampur dengan sempurna. Pemberian BAP dan

TDZ sesuai dengan taraf yang direncanakan, larutan BAP yang digunakan adalah

BAP 1 ppm dan BAP 2 ppm, TDZ yang digunakan adalah TDZ 0,05 ppm, 0,1

ppm dan 0,5 ppm. Pencampuran antara media dasar dengan hormon diaduk

hingga merata.

Penuangan dilakukan menggunakan wadah tuang yang berujung lancip

untuk memudahkan masuknya larutan ke dalam botol. Volume penuangan kurang

lebih 10 ml tiap botol. Botol yang telah terisi media segera ditutup menggunakan

plastik dengan ukuran 10 cm x 10 cm kemudian ikat dengan karet untuk

mencegah kontaminan masuk, pengikatan dengan karet sebaiknya tidak terlalu

rapat untuk mencegah plastik bocor saat proses sterilisasi dengan tekanan dan

suhu tinggi.

Proses sterilisasi media langkahnya sama dengan sterilisasi alat, hanya saja

lama proses dikurangi menjadi 20 menit. Media yang sudah steril selanjutnya

ditambah ikatan karet dan ditempatkan pada wadah tertutup kemudian disimpan

(18)

3.4.3 Sterilisasi lingkungan kerja

Sebelum melakukan penanaman, ruangan penanaman disterilisasi terlebih

dahulu untuk mengeliminasi faktor kontaminasi kasat mata berupa bakteri, virus

dan jamur yang menempel pada debu baik yang beterbangan maupun menempel

pada peralatan kerja dan permukaan ruangan. Terdapat dua jenis sterilisasi, yaitu

sterilisasi ruangan dan sterilisasi laminar air flow (LAF).

Sterilisasi ruangan dilakukan dengan menyapu lantai ruangan untuk

membersihkan debu-debu yang menempel pada lantai ruangan kemudian

mengepel lantai menggunakan larutan alkohol 70% selanjutnya menghidupkan

lampu UV selama 12 jam untuk mematikan kontaminan yang masih beterbangan

di udara.

Sterilisasi LAF dilakukan dengan menyemprotkan larutan alkohol 70% pada

seluruh permukaan luar LAF kemudian mengeringkan dengan tissue. Filter

blower juga dibersihkan secara berkala. Bagian dalam juga disemprot larutan

alkohol 70% dalam keadaan blower hidup kemudian dikeringkan. Setelah semua

langkah diatas selesa, media tanam, alat dan bahan tanam dimasukkan kedalam

LAF kemudian hidupkan lampu UV minimal selama 2 jam untuk mematikan

kontaminan yang masih tersisa. Sebelum memulai menggunakan LAF, buka

sedikit pintu LAF, matikan lampu UV dan nyalakan blower selama 30 menit

untuk membuang sisa debu dan kontaminan yang telah terkena UV.

Ruangan yang steril juga ditunjang dengan sikap dan pakaian yang steril.

Hal ini diterapkan untuk mengurangi masuknya kontaminan ke dalam ruangan

laboratorium. Pakaian steril yang dikenakan adalah jas lab khusus, penutup

kepala, kaos tangan karet, masker dan kacamata.

3.4.4 Penanaman/Subkultur

Pastikan alat dan bahan telah lengkap tersedia di dalam LAF, selama

penanaman hidupkan lampu neon dan blower. Siapkan kapas untuk mengoleskan

campuran betadine, alkohol gel 70% dan air steril secukupnya pada bibir dan

leher botol. Teteskan betadine sebanyak 3 tetes dan air steril secukupnya ke dalam

petri dish secukupnya kemudian ratakan dengan cara memutar-mutar petri dish. Keluarkan terlebih dahulu beberapa plantlet dari botol selai menggunakan

(19)

pinset. Daun berukuran relatif besar dipotong menjadi dua sampai tiga bagian

dengan potongan horizontal urat daun. Daun yang digunakan adalah daun yang

sudah berwarna hijau muda hingga tua. Susun rapi daun-daun yang akan

dimasukkan kembali ke dalam botol untuk efisiensi subkultur.

Buka tutup plastik media tanam secara perlahan, panaskan sekeliling leher

botol di api bunsen untuk mematikan kontaminan, oleskan cairan betadine,

alkohol gel 70% dan air steril menggunakan kapas sepanjang bibir dan leher

botol. Masukan dua eksplan daun ke dalam botol, posisi tanam diusahakan

membuat kontak permukaan daun dengan media sebanyak mungkin. Tutup

kembali petri dish. Panaskan beberapa saat bibir botol kemudian langsung tutup

dengan plastik dan ikat menggunakan dua karet serapat mungkin.

Proses penanaman dilakukan cepat dan hati-hati karena semakin lama botol

dan petri dish terbuka, semakin besar peluang kontaminan masuk ke dalam.

Sebelum menggunakan pinset dan mata pisau scapel, dicelupkan ke dalam alkohol

70%, dipanaskan di api bunsen dan masukkan ke air steril untuk mendinginkan.

Selama proses penanaman minimalkan tangan keluar dari LAF dan

bercakap-cakap.

3.4.5 Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan dua metode, yaitu pengamatan visual

dan pengukuran langung. pengamatan visual dilakukan untuk mengamati

perubahan morfologi eksplan, gangguan pertumbuhan dan kontaminasi.

Pengukuran langsung dilakukan seminggu sekali selama 8 minggu. Variabel yang

diukur dalam penelitian ini adalah

1). Luas bengkak : diukur menggunakan bantuan milimeter blok transparan, untuk

mengukur luas permukaan daun yang bengkak, hasil pengukuran

dikelompokkan dalam dua grup nilai. Nilai 1 untuk eksplan bengkak dengan

luas kurang dari 50% dari luas total jaringan daun yang hidup. Nilai 2 untuk

eksplan bengkak dengan luas lebih dari sama dengan 50% dari luas total

jaringan daun yang hidup.

2). Luas kalus : diukur menggunakan bantuan milimeter blok transparan, untuk

mengukurluas permukaan kalus yang terbentuk, satuan yang digunakan cm2.

(20)

3.4.6 Analisis data

Perhitungan parameter kualitatif meliputi persentase kontaminasi oleh jamur

dan bakteri, browning (pencoklatan), dan kematian pada eksplan dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

%Tingkat kontaminasi = ∑eksplan yang terkontaminasi x 100%

N

%Tingkat pencoklatan = ∑eksplan yang mengalami pencoklatan x 100%

N

%Tingkat pemutihan = ∑eksplan yang mengalami pemutihan x 100%

N

%Tingkat kematian = ∑eksplan yang mengalami kematian x 100%

N

%Tingkat keberhasilan = ∑eksplan yang berkalus x 100%

N

Keterangan : N adalah jumlah total eksplan yang tersedia pada setiap perlakuan

Data yang akan diolah menggunakan metode statistik akan menggunakan

bantuan perangkat lunak Statistical Analysis System 9.1 dengan metode statistik

Annova yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.

3.5 Rancangan percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan

Faktorial dengan Acak Lengkap (RAL-F). Dalam penelitian ini, RAL-F terdiri

dari dua faktor yaitu zat pengatur tumbuh BAP dan zat pengatur tumbuh TDZ.

masing-masing taraf terdapat 20 eksplan yang ditanam dalam 10 botol, sehingga

eksplan total adalah 240 eksplan dalam 120 botol.Taraf atau konsentrasi

(21)

Tabel 2. Kombinasi zat pengatur tumbuh

BAP (ppm)

TDZ(ppm)

0 0,05 0,1 0,5

0 B0T0 B0T1 B0T2 B0T3

1 B1T0 B1T1 B1T2 B1T3

2 B2T0 B2T1 B2T2 B2T3

Keterangan :

B0T0 : Kontrol B1T1 : BAP 1 ppm + TDZ 0,05ppm

B0T1 : TDZ 0,05 ppm B1T2 : BAP 1 ppm + TDZ 0,1ppm

B0T2 : TDZ 0,1 ppm B1T3 : BAP 1 ppm + TDZ 0,5ppm

B0T3 : TDZ 0,5 ppm B2T1 : BAP 2 ppm + TDZ 0,05ppm

B1T0 : BAP 1 ppm B2T2 : BAP 2 ppm + TDZ 0,1ppm

B2T0 : BAP 2 ppm B2T3 : BAP 2 ppm + TDZ 0,5ppm

Adapun model linear rancangan percobaan yang digunakan yaitu sebagai

berikut (Mattjik & Sumertawijaya 2002) :

Yijk=µ + Bi + Tj + (BT)ij + εijk 

Keterangan :

Yijk : Nilai respon eksplan terhadap perlakuan BAP ke-I, TDZ ke-j dan

ulangan ke-k.

µ : Nilai tengah populasi

Bi : Pengaruh perlakuan BAP ke-i

Tj : Pengaruh perlakuan TDZ ke-j

(BT)ij : Pengaruh interaksi antara perlakuan BAP ke-I dan TDZ ke-j εijk : Nilai galat/error percobaan pada perlakuan BAP ke-I, TDZ ke-j

dan ulangan ke-k

Hipotesis dalam uji F:

H0 : Perlakuan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus pada eksplan

daun

H1 : Perlakuan berpengaruh terhadap pertumbuhan kalus pada eksplan

daun

(22)

Terima H0 = Perbedaan taraf pemberian antibiotika pada media kultur

tidak berpengaruh terhadap tingkat kontaminasi pada selang kepercayaan 95%

(α=0,05)

Terima H1 = Sekurang-kurangnya ada taraf pemberian antibiotika pada

media kultur yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kontaminasi pada selang

kepercayaan 95% (α= 0,05)

Untuk mengetahui pengaruh yang diberikan pada percobaan dilakukan

uji-F yang diperoleh dari hasil analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA).

Kemudian dibandingkan dengan F tabel pada selang kepercayaan 95% (α=0,05)

dengan kaidah :

1. Jika F hitung < F tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga

pemberian antibiotika pada media kultur tidak berpengaruh terhadap

tingkat kontaminasi.

2. Jika F hitung > F tabel maka H0 ditolak H1 diterima sehingga

pemberian antibiotika pada media kultur berpengaruh nyata terhadap

tingkat kontaminasi.

Jika sidik ragam memberikan hasil berpengaruh nyata, selanjutnya

dilakukan uji Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan. Pengolahan data

(23)

4

a

t

p

a

p

k

G

d

k

d

h

m

d

4.1

Persen

Inokul

adalah 20 se

taraf. Hasil

persentase k

adalah 81%

prosedur pe

kultur kalus

Gambar (5)

j

Ekspla

dari eksplan

kematian ya

dan kontam

hitam/coklat

memotong d

dalam daun j

ntase Keber

lasi dilakuka

ehingga tota

pengamatan

keberhasilan

% berbandin

nanaman da

dari eksplan

(5)

Diagram pe

jenis keberh

an yang ber

n berkalus d

ang terjadi d

minasi yang

t dan putih

daun dari ba

juga dapat m

rhasilan Ek

an secara be

al eksplan y

n eksplan da

hidup dan k

ng 19%. Pe

an kualitas m

n daun.

ersentase ke

asilan hidup

rhasil bertah

dan 36% ha

dikatagorikan

g disebabk

terjadi akiba

atang utama p

meracuni tan

splan dan G

rtahap. Juml

yang diamati

aun

A. mala

kematian pa

eluang hidup

media tanam

eberhasilan h

p dan kemati

han hidup be

anya bengka

n menjadi ti

kan oleh c

at stress pen

plantlet sela

naman.

37% 6% 12

Gangguanny

lah eksplan

i sebanyak 2

ccensis (Lam

ada minggu s

p yang tin

m cukup unt

(6)

hidup ekspl

an eksplan.

ereaksi dalam

akatau tidak

ga, yaitu hit

cendawan 1

nanaman yan

ain itu senya

4 2% 1%

ya.

daun masing

240 eksplan

mk.) menunj

setelah tanam

ggi menunj

tuk menduk

lan.(6)Diagra

m dua bentu

terjadi kalu

tam/coklat 1

1%. Penyeb

ng dilakuka

awa fenol ya

44% % berka stagn putih hitam konta

g-masing tar

n daun dari

njukkan bahw

m (MST) ke

jukkan bahw

kung hidupn

am persenta

uk, yaitu 44

us. Sedangk

12%, putih 7

bab kemati

n dengan ca

(24)

dan kontaminasi cendawan terjadi akibat adanya cendawan yang menempel pada

botol yang jatuh dan tumbuh setelah mengenai media. Hal ini disimpulkan karena

kontaminasi terjadi pada MST ke-4. Media berubah warna menjadi hitam karena

ditumbuhi koloni cendawan dan eksplan mati karena kehabisan sumber makanan dan

kalah bersaing dengan cendawan.

Yusnita (2003) dalam Azwin (2007), menyatakan bahwa masalah yang sering

dihadapi dalam kultur jaringan tanaman berkayu adalah terjadinya pencoklatan atau

penghitaman bagian eksplan. Pada waktu jaringan terkena stress mekanik, seperti

pelukaan pada waktu proses isolasi eksplan, proses sterilisasi, metabolisme senyawa

berfenol pada eksplan sering terangsang Senyawa berfenol sering bersifat toksik,

menghambat pertumbuhan, bahkan dapat mematikan jaringan eksplan.Menurut

Santoso (2001) pencoklatan terjadi karena rangsangan kimia sdan juga menjelaskan

bahwa munculnya kontaminasi merupakan konsekuensi dari penggunaan media

tanam yang diperkaya.

Untuk mengatasi problem pencoklatan beberapa hal yang dilakukan, misalnya:

1. Mengeluarkan senyawa fenol, yaitu dengan cara membilas terus menerus dengan

air atau aquades, melakukan subkultur berulang, mengabsorbsi dengan arang aktif,

mengarbsorbsi dengan polyvinylpirolidone (PVP).

2. Memodifikasi potensial redok media,

3. Mengurangi agen yang menyebabkan terjadinya pencoklatan, yang paling umum

biasanya yaitu dengan mengurangi jumlah karbohidrat medium, mengurang atau

meniadakan kontak dengan oksigen.

4. Menghambat enzim phenol oksidase, untuk ini dapat digunakan (chelating agents).

EDTA telah terbukti dapat menghambat kerja enzim phenol oksidase.

5. Pengaturan pH rendah, ini dapat dilakukan karena enzim polyophenol oksidase

kerja optimalnya pada pH 6,5 dan menurun seirama dengan turunnya pH.

6. Penggunaan ruang gelap, karena enzim polyphenol oksidase kerja efektifitasnya

dipengaruhi oleh cahaya. Disarankan penggunaan ruang gelap minimal 14 hari

(25)

4.2 Pengaruh Pemberian ZPT BAP dan TDZ.

Perkembangan eksplan daun pascapenanaman yang dapat diamati adalah

perubahan morfologi menjadi bengkak dan berkalus. Bengkak merupakan perubahan

morfologi daun akibat pembelahan sel-sel yang terdapat pada daun namun belum

menembus lapisan epidermis daun sehingga daun tampak mengembang dan keriput.

Menurut Santoso (2001) kalus adalah sekumpulan sel amorphopalus yang terjadi dari

sel-sel jaringan awal yang membelah diri secara terus menerus. Sedangkan kalus

merupakan masa proliferasi (pembiakan yang subur) massa jaringan yang belum

terdiferensiasi terbentuk karena adanya sel-sel yang kontak dengan media terdorong

menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan pembelahan seperti jaringan

penutup luka. Kalus terbentuk akibat adanya kandungan auksin pada eksplan yang

cukup tinggi dan kandungan sitokinin yang sangat rendah atau tidak ada sehingga

auksin dapat menginduksi pembentukan kalus pada berbagai jenis batang Salisbury

dan Cleon (1995) dalam Hidayat (2009).

4.2.1 Perubahan morfologi daun menjadi bengkak.

Tabel 3. Hasil sidik ragam (Anova) pengaruh perlakuan BAP dan/atau TDZ terhadap

perubahan morfologi bengkak eksplan daun

ZPT Pengamatn ke- (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 BAP tn sn sn sn sn sn sn sn

TDZ tn n n n n n n n

BAP*TDZ tn n n n tn tn tn tn Keterangan : tn : Tidak berpengaruh nyata

n : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% sn : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 95%

Berdasarkan hasil uji analisis sidik ragam kombinasi hormon BAP dengan TDZ

pada selang kepercayaan 95% maka dapat diketahui pemberian hormon BAP pada

perlakuan kombinasi hormon tersebut memberikan pengaruh yang sangat nyata mulai

2 MST hingga 8 MST terhadap skor luas bengkak. Pemberian hormon TDZ pada

perlakuan kombinasi hormon tersebut memberikan pengaruh yang nyata mulai 2

MST hingga 8 MST terhadap skor luas bengkak. Interaksi BAP dengan TDZ

(26)

MST hingga 4 MST saja. Untuk melihat beda antar perlakuan pada hormon BAP,

TDZ dan interaksinya dilakukan uji lanjut wilayah Duncan

Tabel 4. Pengaruh perlakuan kombinasi hormon BAP dan TDZ terhadap rata-rata

skor luas bengkak

Perlakuan (ppm) Pengamatn ke- (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 Kontrol 0a 0,5ed 0,85dc 0,95dc 0,95c 0,95c 0,95c 0,95c BAP 1 0a 1,3ba 1,5ba 1,65ba 1,65ba 1,65ba 1,65ba 1,65ba BAP 2 0a 0,8bedc 0,9bdc 0,95dc 0,95c 0,95c 0,95c 0,95c TDZ 0,05 0a 0,5ed 0,65d 0,65d 0,65c 0,65c 0,65c 0,8c

TDZ 0,1 0a 0,5ed 1,05bdc 1,15bdc 1,15bc 1,15bc 1,15bc 1,35bac TDZ 0,5 0a 0,65edc 0,7dc 0,75d 0,75c 0,75c 0,75c 0,8c BAP 1 + TDZ 0,05 0a 0,35ed 1,2bdc 1,2bdc 1,2bc 1,2bc 1,2bc 1,2bc BAP 1 + TDZ 0,1 0a 1,1bac 1,5ba 1,6ba 1,6ba 1,6ba 1,6ba 1,6ba BAP 1+ TDZ 0,5 0a 1,55a 1,85a 1,85a 1,85a 1,85a 1,85a 1,85a

BAP 2 + TDZ 0,05 0a 0,3ed 0,6d 0,6d 1,6ba 1,6ba 1,6ba 0,9c BAP 2 + TDZ 0,1 0a 0,85bdc 1,3bac 1,45bac 1,55ba 1,55ba 1,55ba 1,6ba BAP 2 + TDZ 0,5 0a 0,25e 1,05bdc 1,1bdc 1,1bc 1,1bc 1,1bc 1,1bc Keterangan :

Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5%

Hasil uji lanjut wilayah Duncan menunjukkan bahwa rata-rata skor luas

bengkak tertinggi dihasilkan oleh kombinasi hormon BAP 1 ppm + TDZ 0,5 ppm.

Kombinasi ini sudah memperlihatkan hasil yang berbeda pada 2 MST bernilai 1,55

dan mencapai puncaknya pada 3 MST dengan nilai 1,85. Sedangkan rata-rata jumlah

daun terendah tiap MST berbeda, pada 2 MST nilai terendah dihasilkan pada

kombinasi BAP 2 ppm + TDZ 0,5 ppm. pada 3 dan 4 MST niali terendah dihasilkan

oleh kombinasi hormon BAP 2 ppm + TDZ 0,05 ppm. Pada 5 MST hingga 8 MST

rata-rata skor luas bengkak terendah terjadi pada TDZ 0,05 ppm. Penambahan

hormon BAP 2 ppm, TDZ (0,05;0,1;0,5)ppm, BAP 1 ppm + TDZ 0,05 ppm, BAP 2

ppm + TDZ 0,05 ppm, BAP 2 ppm + TDZ 0,5 ppm memberikan pengaruh yang tidak

(27)

Gambar7 Grafik pertambahan skor luas bengkak mingguan eksplan daun A.

malaccensis.

Peningkatan skor luas bengkak sangat signifikan terjadi pada 1 MST hingga 2

MST, 2 MST hingga 3 MST pertambahan cenderung berkurang dan relatif tidak

terjadi penambahan skor luas bengkak hingga 8 MST. Hal ini menunjukkan MST

optimum terjadinya bengkak yaitu pada 1 MST hingga 3 MST pada saat stok

makanan masih banyak tersedia di media tanam.

4.2.2 Muncul kalus

Hasil pengamatan terhadap eksplan daun yang ditanam pada media yang diberi

perlakuan ZPT BAP dan/atau TDZ tidak menunjukkan perbedaan pada taraf uji 0,05

DMRT

Tabel 5. Hasil sidik ragam (Anova) pengaruh perlakuan BAP dan/atau TDZ terhadap

pertumbuhan kalus eksplan daun

ZPT Pengamatn ke- (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 BAP tn tn tn tn tn tn tn tn

TDZ tn tn tn n n n n sn

BAP*TDZ tn tn tn tn tn tn tn n

Keterangan : tn : Tidak berpengaruh nyata

n : Berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 95% sn : Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 95%

0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 2

W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8

(28)

Hasil sidik ragam diatas menunjukkan kombinasi BAP dan TDZ tidak

memberikan pengaruh yang nyata hingga 7 MST pada pertumbuhan luas kalus dan

pada 8 MST interaksinya memberikan pengaruh yang nyata. Media tanam dengan

penambahan ZPT TDZ mulai memberikan pengaruh nyata pada 5,6 dan 7 MST

kemudian menjadi sangat nyata perbedaannya pada 8 MST.

Audus

(1963)dalam Hidayat (2009) menyatakan bahwa pengaruh pemberian

suatu konsentrasi zat pengatur tumbuh berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman

bahkan berbeda pula antar varietas dalam suatu spesies. Demikian pula halnya

dengan kisaran konsentrasi yang tidak tepat dapat menimbulkan efek yang tidak

diharapkan. Dalam konsentrasi yang berbeda, zat pengatur tumbuh dapat

menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan dapat menyebabkan keracunan pada

seluruh tanamana. Leopold (1963) dalam Hidayat (2009) juga menjelaskan bahwa

keefektifan penggunaan zat pengatur tumbuh selain dipengaruhi oleh faktor

lingkungan juga dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan kombinasi hormon BAP dan TDZ terhadan

pertumbuhan luas kalus

Perlakuan (ppm) Pengamatn ke- (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8

Kontrol 0a 0a 0a 0b 0,11bac 0,175bac 0,335b 0,335b BAP 1 0a 0a 0a 0b 0,185a 0,34a 0,596a 0,7555a

BAP 2 0a 0a 0a 0b 0,155ba 0,19bac 0,245cb 0,265b TDZ 0,05 0a 0a 0a 0b 0,06bac 0,08bc 0,12cb 0,165b TDZ 0,1 0a 0a 0a 0b 0,105bac 0,155bac 0,18cb 0,185b TDZ 0,5 0a 0a 0a 0b 0,005c 0,005c 0,01c 0,015b

BAP 1 + TDZ 0,05 0a 0a 0a 0b 0,02bc 0,05bc 0,105cb 0,105b BAP 1 + TDZ 0,1 0a 0a 0a 0b 0,055bac 0,095bc 0,115cb 0,115b BAP 1+ TDZ 0,5 0a 0a 0a 0b 0,085bac 0,11bc 0,145cb 0,145b BAP 2 + TDZ 0,05 0a 0a 0a 0,005a 0,01c 0,015bc 0,02c 0,02b BAP 2 + TDZ 0,1 0a 0a 0a 0b 0,1bac 0,215ba 0,26cb 0,26b BAP 2 + TDZ 0,5 0a 0a 0a 0b 0,025bc 0,09bc 0,195cb 0,195b Keterangan :

Nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata untuk minggu yang sama pada uji DMRT 5%

Berdasarkan hasil sidik ragam perlakuan penambahan TDZ memberikan

(29)

sehingga dilakukan uji lanjut wilayah Duncan untuk melihat perbedaan antar tarafnya.

Hasil uji lanjut wilayah Duncan pada 5 MST perlakuan kontrol dengan TDZ 0,1 ppm

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata sedangkan antar sesama perlakuan TDZ

juga tidak menunjukkan perbedaanyang nyata. 6 MST perlakuan kontrol tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata dengan perlakuan TDZ 0,1 ppm. Perlakuan TDZ

0,1 ppm juga tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,5 ppm. Perlakuan TDZ 0,05 ppm

tidak berbeda nyata dengan TDZ 0,05 ppm.

Pada 7 dan 8 MST perlakuan kontrol berbeda nyata dari semua perlakuan

penambahan ZPT TDZ dan antar perlakuan TDZ tidak menunjukkan perbedaan yang

nyata. Perlakuan kontrol meninjukkan nilai yang baik dibandingkan semua perlakuan

TDZ di semua MST dengan demikian penambahan TDZ saja pada media tanam

justru menghambat pembentukan kalus pada eksplan daun. Peningkatan konsentrasi

TDZ dari 0,05 ppm ke 0,5 ppm menunjukkan tren negatif hal ini menunjukkan

konsentrasi TDZ yang semaik tinggi justru menghambat terbentuknya kalus pada

eksplan daun.

Hasil uji lanjut wilayah Duncan pada 8 MST menunjukkan bahwa perlakuan

penambahan ZPT dengan konsentrasi BAP 1 ppm merupakan nilai optimum dalam

menghasilkan luas rataan kalus dengan nilai 0,7555 cm

2

. Pada perlakuan hormon lain

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan kontrol bahkan rata-rata luas yang

dihasilkan lebih kecil dari kontrol yaitu dibawah 0,335 cm

2

.Rata-rata luas kalus

terendah dapat dilihat di perlakuan penambahan TDZ tertinggu saja 0,5 ppm dengan

nilai 0,015 cm

2

.

Penambahan luas kalus terjadi karena membelahnya sel secara terus menerus

sebagai bentuk pertumbuhan dan perkembangan eksplan yang masih hidup.

Berdasarkan Gambar.2 terlihat bahwa penambahan luas paling tinggi adalah eksplan

dalam media tanam yang ditambahkan ZPT BAP 1 ppm meskipun BAP 1 ppm

menunjukkan luas tertinggi namun berdasarkan uji Duncan ternyata perlakuannya

(30)
[image:30.612.85.500.84.727.2]

Gambar 8 Grafik rata-rata penambahan luas kalus pada eksplan daun A.

malaccensis.

Media tanam tanpa perlakuan memiliki nilai rataan luas kalus hanya lebih

rendah dari media tanam dengan perlakuan BAP 1 ppm tetapi lebih tinggi meski tidak

berpengaruh nyata dengan media tanam dengan perlakuan lainnya. Hal ini terjadi

karena untuk menumbuhkan kalus embriogenesis hanya dibutuhkan media normal

dengan unsur hara makro dan mikro yang lengkap (Monnier, 1990).

[image:30.612.141.460.88.291.2]

4.3 Laju Pertumbuhan Eksplan.

Gambar 9Rekapitulasi laju pertambahan skor bengkak eksplan daun tiap taraf 8

MST.

0 5 10 15 20 25 30 35

W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8

Laju pert am bahan skor l u as bengkak MST B0T0 B1T0 B2T0 B0T1 B0T2 B0T3 B1T1 B1T2 B1T3 B2T1 B2T2 B2T3 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8

Luas kalus (cm

(31)

Laju pertambahan skor luas bengkak secara keseluruhan meningkat drastis

pada 2 MST kemudian turun pada 3 hingga 7 MST dan sedikit meningkat pada 8

MST. Laju pertambahan luas skor tertinggi terjadi pada B1T3 pada 2 MST dengan

nilai 31 skor luas bengkak/minggu. Setelah 2 MST eksplan mengalami penurunan

laju pertambahan skor luas bengkak karena eksplan yang sudah bengkak tahapan

berikutnya adalah mengalami kalus atau sudah mencapai luasan bengkak maksimal.

Hasil pengamatan laju pertumbuhan kalus tiap taraf tiap MST menghasilkan

[image:31.612.104.521.45.774.2]

hasil yang fluktuatif.

Gambar 10Rekapitulasi laju pertumbuhan kalus eksplan daun tiap taraf 8 MST.

Eksplan daun mulai berkalus pada 4 MST, jumlah kalus terbanyak pada 4 MST

dihasilkan oleh taraf B1T0. Laju pertambahan luas kalus tertinggi terjadi pada 7

MST pada hormon B1T0. Pertambahan luas kalus hampir seluruh taraf naik secara

progresif hingga 5 MST kecuali taraf B0T3 dan B2T1. dari 5 ke 6 MST terjadi

penurunan laju pertumbuhan kalus pada taraf B0T0, B1T0, B2T0, B0T1, B0T3,

B1T1, B1T2, dan B1T3. Pada 6 ke 7 MST laju pertumbuhan meningkat lagi dan

mencapai puncaknya pada taraf B0T0, B1T0, dan B0T3. Pada 7 ke 8 MST hampir

semua taraf turun laju pertumbuhannya bahkan mencapai laju pertumbuhan = 0

0

1 2 3 4 5 6

W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8

Laju pert

um

buhan (cm

2/m

inggu)

MST

(32)

cm

2

/minggu, hal ini disebabkan habisnya stok makanan pada media tanam sudah

mulai habis.

Laju pertumbuhan yang tinggi dan fluktuatif menyebabkan bahan makanan

lebih cepat habis, hal ini diperlihatkan pada Gambar 10, yaitu taraf-taraf yang

berfluktuatif hebat dan memiliki laju kecepatan tumbuh tinggi pada 8 MST laju

pertumbuhannya mendekati 0 cm

2

/minggu. Tetapi pada taraf yang tidak berfluktuatif

hebat dan laju pertumbuhannya rendah cenderung stabil tetap tumbuh pada 8 MST

yaitu taraf B2T1.

Kecenderungan laju pertumbuhan fluktuatif ini menunjukkan aktifitas sel-sel

tiap taraf berbeda dan tidak stabil. Ada fase dimana kecepatan pembelahan sel

menurun diindikasikan terjadinya penurunan laju pertambahan luas pada MST

tertentu. Pemberian perlakuan ataupun tanpa perlakuan (kontrol) gejala ini tetap

terjadi. Meskipun tidak dapat digeneralisasikan tapi kecenderungan fluktuatifnya laju

pertumbuhan menunjukkan masing-masing sel memiliki ritme pembelahan selnya.

4.4 Pengamatan

Visual.

Fenomena proses inisiasi kalus dari eksplan daun menggambarkan proses

induksi yang tidak seragam. Secara umum ada 5 model proses induksi kalus dan arah

perkembangannya.

1. Seluruh permukaan eksplan daun yang kontak dengan media secara bersama

membentuk kalus,

2. Hanya bagian-bagian ujung eksplan yang kontak dengan media secara bersama

membentuk kalus, disusul bagian lainnya secara menyeluruh,

3. Hanya satu bagian ujung eksplan yang kontak dengan media secara bersama

membentuk kalus,

4. Hanya bagian-bagian ujung eksplan yang kontak dengan media secara

bersama-sama membentuk kalus, tetapi tidak berkembang lagi dan

5. Kalus dimulai dari bagian pinggir ujung daun kemudian merambat ke arah

(33)

Perbedaan respon tiap eksplan yang berbeda, mungkin disebabkan usia daun,

jenis potongan daun, asal ruas daun yang semaksimal mungkin relatif diseragamkan.

Bagian eksplan yang terinisiasi membentuk kalus, menurut Suryowinoto (1990)

dalam Santoso dan Nursandi (2001) disebabkan karena sel-sel yang kontak dengan

media terdorong menjadi meristematik dan selanjutnya aktif mengadakan

pembelahan seperti jaringan penutup luka. Walaupun antara sel-sel pada satu bagian

eksplan dengan bagian eksplan yang lain berbeda.

Menurut Santoso dan Nursandi (2001) kemampuan bagian tanaman untuk

membentuk kalus tergantung pada umur fisiologi, musim pada waktu bahan tanam,

bagian tanaman yang digunakan, jenis tanaman dan faktor luar.

4.5 Peran

Kultur

in-vitro

dalam Konservasi dan Reklamasi Lahan.

Tiga landasan utama utama konservasi sebagai perlindungan, pengawetan dan

pemanfaatan dalam aplikasinya menemui banyak kendala. Pada skala tumbuhan

ketiga landasan di atas perlu dijalankan seimbang. Teknik konvensional yang sudah

lama dijalankan perlu didukung teknik baru yang mampu mendukung teknik-teknik

yang sudah ada sebelumnya.

Konservasi

plasma

nutfah

biasanya dilakukan secara in vivo dalam bentuk

penyimpanan biji atau tanaman hidup di kebun koleksi, kebun raya, hutan lindung,

taman nasional dan lain sebagainya. Cara ini memerlukan biaya yang cukup besar

untuk pemeliharaan dan perbanyakannya (Gunawan, 1995). Kultur jaringan in vitro

merupakan sarana penelitian untuk mempelajari aspek sains tumbuhan dalam skala

yang luas. Sebagai contoh, teknik ini digunakan mengetahui metabolit primer dan

sekunder, cytodiferensiasi, morfogenesis, fisiologi tumor tanaman dan formasi

tanaman hibrid dari teknik penggabungan protoplast. Selain itu Kultur jaringan

tanaman juga makin banyak digunakan dalam propagasi tanaman komersial. Kultur

kalus memiliki arahan lebih kepada inisiasi dan proliferasi lanjutan sel parenkim

tumbuhan yang belum terdeferensiasi dari sel induk di media agar (Brown, 1990).

Preservasi tanaman umumnya dilakukan dengan cara penyimpanan biji di

(34)

menghasilkan biji yang besar dan sangat sulit dalam penyimpanannya, atau biji yang

tidak tahan lama (biji recalcitrant). Dalam kasus demikian, sangat diperlukan

pengembangan sisten in vitro yang dapat diandalkan untuk meregenerasi sel-sel

tanaman tersebut. Sel-sel kompeten (mampu beregenerasi) atau embrio somatik ini

kemudian dapat disimpan pada temperatur rendah atau dibekukan (cryopreservasi).

Teknik pembekuan ini masih terus disempurnakan. Pada saat ini hanya ada sedikit

spesies tanaman yang dapat dibekukan dalam nitrogen cair dan 100% dari kultur yang

beku dapat tumbuh kembali setelah dikembalikan pada temperatur normal (Gunawan,

1995).

Reklamasi lahan merupakan upaya mengembalikan kondisi vegetasi seperti

sebelum dilakukan aktivitas seperti penambangan terbuka. Pra pembukaan lahan

perlu dilakukan upaya penyelamatan top soil yang kaya akan unsur hara dan

benih-benih tumbuhan. Pengadaan bibit dalam nursery telah lama diterapkan untuk

memenuhi kebutuhan bibit dan koleksi tumbuhan lokal dari kawasan yang akan

dibuka. Kekurangan nursery yang merupakan penerapan reproduksi generatif dan

vegetatif tumbuhan adalah tanamannya dapat terserang penyakit, hilangnya pohon

induk dalam kawasan mempersulit penyediaan benih untuk disemai, membutuhkan

lokasi yang luas dan biaya operasional yang cukup mahal.Penggunaan teknik kultur

in vitro dapat membantu menutupi kekurangan penggunaan teknik budidaya

konvensional.

4.6 Potensi Daun sebagai Sumber Eksplan.

Daun sebagai bagian terbanyak dari suatu tumbuhan selama ini belum

termanfaatkan secara baik dalam perbanyakan tumbuhan secara konvensional. Hanya

pada daun-daun yang sudah memiliki kemampuan perkembangbiakan vegetatif saja

yang dapat tumbuh normal di alam yang ada pada jenis-jenis tertentu saja.

Menumbuhkan dan mengembangkan kalus memiliki banyak manfaat. Pada

dasarnya dengan menumbuhkan kalus, maka akan mendapatkan beberapa keuntungan

(35)

5.1 Kesimpulan

Hasil menunjukkan bahwa 81% eksplan berhasil hidup dan tumbuh hingga

8 MST sedangkan sisanya mati dengan penyebab kontaminasi cendawan, eksplan

memutih, eksplan mencoklat/menghitam. Hasil sidik ragam menunjukkan

interaksi antara ZPT BAP dengan TDZ pada pembentukan skor luas bengkak

memberikan pengaruh yang nyata pada minggu 2, 3, 4 MST. Kombinasi ZPT

optimum untuk menghasilkan skor luas bengkak adalah BAP 1 ppm + TDZ 0,5

ppm pada 2 MST. Hasil sidik ragam menunjukkan interaksi antara ZPT BAP

dengan TDZ pada pembentukan kalus memberikan pengaruh nyata pada 8 MST

Kombinasi ZPT optimum untuk menghasilkan luas kalus adalah BAP 1 ppm pada

7 MST.

5.2 Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada konsentrasi ZPT BAP di bawah 1

ppm. Perlu dilakukan upaya subkultur pada 5 MST untuk memperbanyak dan

(36)

PENGHASIL GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.)

ARYA WINDUJATI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(37)

Afifi. 1995. Proses Pengolahan Pohon Gaharu sampai Siap Diperdagangkan dan Tata Cara Pembudidayaannya, serta Proses Gaharu Pembentukan Gubal. Lokakarya Pengusahaan Hasil Hutan Non Kayu (Rotan, Gaharu dan Tanaman Obat). Departemen Kehutanan. Indonesia-UK Tropical Forest Management Programme.

Anonim. 2001. CITES Identification Manual: Vol 1 flora. CITES Secretariat. Geneva. Switzerland.

Azwin. 2007. Evaluasi Stabilitas Genetik Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Hasil Kultur In Vitro[Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

BardenA, Anak NA, Mulliken T, Song M. 2000. Heart of The Matter: Agarwood use and trade and CITES implementation for Aquilaria malaccensis. TRAFFIC International.

Beniwal BS. 1989. Silvical characteristics of Aquilaria agallocha Roxb. Indian Forester 115: 17-21.

Brown JT. 1990. The Initiation and Maintenance of Callus Cultures. Methods in Molecular Biology, vol. 6, Plant Cell and Tissue Culture. Jeffrey W Pollard dan John M Walker (editor).The Humana Press. New Jersey.

Bonga JM, Durjan DJ. 1982. Tissue Culture in Forestry. Martines Nyhoff Publishers. Boston.

Budiatmoko SD. 1998. Sekilas tentang Perbanyakan Tanaman dengan Teknik Kultur Jaringan. Duta Rimba/April/214/XXIII/1998 Hal 2-6. Perum Perhutani. Jakarta.

CITES. 2004. Significant trade in plants. Implementation of Resolution Conf. 12.8. Progress with implementation of species review (PC 14 Doc. 9.2.2).

Ding Hou. 1960. Thymeleaeceae. SteenisCGGJ van. (editor).Floral Malesiana(6): 1-15. Wolter Noordhof Publishing. Groningen.

Fakhrai HK, Fakhrai F. 1990. Hormon Control of Growth and Development. Methods in Molecular BiologyPlant Cell and Tissue Culture. Jeffrey W Pollard, John M Walker (editor).The Humana Press.New Jersey.

(38)

Gamborg OL. 1982. Kalus dan Kultur Sel.Metode Kultur Jaringan Edisi 2. Wetter LR dan F Constabel (editor). Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Gunawan. 1987. Teknik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gunawan LW. 1995. Teknik Kultur In Vitro dalam Hortikultura. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

Hartini. 1996. Pengaruh Konsentrasi BAP, Ethepon dan KNO pada Rambutan (Nephelium lappaceum, L). var Binjai yang telah Diberi Paclobutrazol. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Tidak diterbitkan.

Hendaryono DPS dan Wijayani A. 1994. Teknik Kultur Jaringan. Kanisius. Yogyakarta.

Hidayat O. 2009. Kajian Penggunaan Hormon IBA, BAP dan Kinetin terhadap Multiplikasi Tunas Tanaman Penghasil Gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Doomke) secara In Vitro [Skripsi]. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Hilton-Taylor C.2002. 2002 IUCN Redlist of Threatned Species. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge. United Kingdom.

KellerP, Sidiyasa K. 1994. Tress of Balikpapan-Samarinda Area. East Kalimantan.Samarinda.

Kusmianto J. 2008. Pengaruh Thidiazuron Tunggal dan Kombinasi Thidiazuron dan Benzilaminopurin Terhadap Pembentukan Tunas dari Potongan Daun Dendrobium antennatum Lindl. secara In Vitro. [Skripsi]. Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.

Mattjik AA dan Sumertawijaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. IPB Press. Bogor.

Monnier M. 1990. Induction of Embryogenesis in Callus Culture. Methods in Molecular BiologyPlant Cell and Tissue Culture. Jeffrey W Pollard dan John M Walker (editor). The Humana Press. New Jersey.

Nugroho A, Sugito H. 2002. Pedoman Pelaksanaan Teknik Kultur Jaringan. PT Penebar Swadaya. Jakarta.

NgFSP. 1992. Manual Forest Fruits, Seeds, and Seedlings. Malayan Forest No. 34 (2): 528-530. Forest Research Institute Malaysia.

(39)

Sandra E dan Karyaningsih I.2000. Panduan Teknis Pelatihan Kultur Jaringan. Unit Kultur Jaringan Laboratorium Konservasi Tumbuhan Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Santoso U dan Nursandi F. 2001. Kultur Jaringan Tanaman. Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Stepan-Sarkissian G.1990. Selection of Media for Tissue and Cell Culture. Methods in Molecular BiologyPlant Cell and Tissue Culture. Jeffrey W Pollard, John M Walker (editor).The Humana Press. New Jersey.

Sumarna Y. 2002. Budi Daya Gaharu. Penebar Swadaya. Bogor.

Wattimena GA. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wettherel DF. 1982. Pengantar Propagasi Tanaman secara In Vitro. Terjemahan Koensoemardiyah. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

(40)

PENGHASIL GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.)

ARYA WINDUJATI

DEPARTEMEN

KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

(41)

dalam Kultur Jaringan Daun Tanaman Penghasil Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.).Dibawah BimbinganEDHI SANDRA dan SISWOYO.

Gaharu merupakan produk hasil hutan bukan kayu yang berasal dari tumbuhan famili Thymeliaceae. Gubal gaharu terbentuk dari keluarnya resin sebagai bentuk pertahanan terhadap infeksi mikroorganisme patogen. Resin terdeposit dalam jaringan kayu kemudian berubah warna coklat hingga hitam dan mengeras seiring dengan bertambahnya umur pohon. Wangi gubal gaharu menyebabkan spesies ini diburu untuk memenuhi permintaan pasar yang terus meningkat. Keberadaan populasi di alam semakin berkurang karena sistem pengambilan konvensional dan tidak terkendali. Usaha revegetasi menemui kendala langkanya ketersediaan benih di alam. Kultur jaringan sebagai teknik budidaya aseptik yang dapat memproduksi bibit dalam waktu singkat, dalam jumlah banyak dan steril dapat menjadi solusi permasalahan ini. Penggunaan daun tang kemudian menjadi kalus dalam kultur jaringan tanaman penghasil gaharu jarang dilakukan karena proses hingga dapat diaklimatisasi masih panjang. Pemanfaatan kalus dalam kultur jaringan adalah untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder, pelestarian plasma nutfah dan bahan dasar untuk penggunaan kultur lanjutan.

Penelitian ini bertujuan

Gambar

Gambar 1.  Aquilaria malaccensis.
Gambar4Bagan langkah kerja penelitian.
Tabel 2. Kombinasi zat pengatur tumbuh
Tabel 4. Pengaruh perlakuan kombinasi hormon BAP dan TDZ terhadap rata-rata
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian latar belakang diatas peneliti tertarik untuk meneliti lebih mendalam tentang bagaimana pengaruh budaya organisasi, kepemimpinan, lingkungan kerja dan

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mendeskripsikan model kepemimpinan kepala sekolah di SD Negeri 3 Sumberagung Kecamatan Ngaringan Grobogan, Untuk mendeskripsikan peran

Pengadaan bahan pakan di PT Indo Prima Beef, baik pakan hijauan atau konsentrat terbilang mudah karena letak peternakan yang berada di Lampung Tengah yang merupakan daerah

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap

Table 1: Number of cattle with suspected lesions and tested for foot and mouth disease (FMD) using a pen-side test (Svanodip FMD ag test) per village, out of three randomly

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat serta anugerahNya yang begitu besar sehingga penulis mampu menyelesaikan Tugas Perencanaan

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan Tugas Perencanaan Unit Pengolahan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Team Assisted Individualization (TAI) dilengkapi dengan kartu soal pada materi hukum dasar dan konsep mol kelas X MIA 3 SMA