• Tidak ada hasil yang ditemukan

Green city model of Bandung Regency West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Green city model of Bandung Regency West Java"

Copied!
294
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KOTA HIJAU

DI KABUPATEN BANDUNG

JAWA BARAT

SITI BADRIYAH RUSHAYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Green City Model of Bandung Regency West Java. Under the supervision of HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, and HERRY PURNOMO.

Urban development in Bandung Regency has been responsible for the urban heat island effect and increased of air temperature due to increased CO2 emissions from motor vehicles, human population and industries. Other then these, urban heat island was also caused by increasing built ups and declining green open spaces leading to decreased albedo while in turn raised the air temperature. Urban heat island should be managed through studying the related variables. The purpose of this study was to assess the heat island city and create a green city model. This green city model is expected to be the basis to make policy for green growth based development to create Bandung regency as a green city. The research was conducted by collecting secondary data (socio-economic conditions, number of vehicles, industry, population),

and primary data through field’s measurements of micro climate, crowns density,

quantities of motor vehicles, direct interviews with residents of Bandung Regency, and analyzing the distribution of air temperature. The results of this research, especially the study of the conditions of heat island effect, indicated that Bandung Regency has experiencing urban heat island effect, where the air temperature in urban centers (27,0 °C) were higher than in rural areas (20,0 °C). The difference between the highest and lowest air temperature was 7 °C. The research also suggested that higher percentage of land built ups would result in lower percentage of green open spaces, thus higher CO2 emissions which would caused an increase of areas with high temperature. Research Area I has the highest percentage (60%) of develop area and the lowest percentage (29%) of green open space and also high CO2 emissions (503,987 tons CO2/year). This causes the region has most extensive area (161.59 ha) with high temperature (air temperature > 27 º C) in comparison with Research Area II and III. Urban heat island problems can be solved by building a green open space. Based on the measurements of micro climate in several types of green open space, it can be concluded that green open spaces including urban forest are very important in overcoming urban heat island, because they can lower the air temperature. Urban forest is known to be more effective in resolving urban heat island issues than any other types of green open spaces. Based on the results of simulations model, green scenarios can be used as a tool to determine alternative policies to address urban heat island issue. Green scenario could hold back the occurrence of

≥30°C air temperature. The temperature would occur on 2054 in Research Area I, after 2058 in Research Area II, and on 2056 in Research Area III. Although the factors which influence heat island had been well managed (using green scenario), nevertheless urban areas which already had high percentage of developed area, low percentage of green open space, and high CO2 emissions, would still generate a

condition of ≥30°C air temperature on a faster rate (for example Research Area I).

(3)

RINGKASAN

SITI BADRIYAH RUSHAYATI. Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI S. ALIKODRA, ENDES N. DAHLAN, dan HERRY PURNOMO.

Masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara saat ini adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Pulau bahang kota menyebabkan heat island effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di wilayah perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan Kabupaten Bandung.

Terbentuknya pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dan lahan terbangun di area perkotaan. Berbagai aktivitas di perkotaan (transportasi, industri, sampah), menghasilkan gas rumah kaca dan menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Lahan terbangun di area perkotaan menyebabkan albedo menurun sehingga semakin banyak radiasi yang diserap sehingga dapat meningkatkan pemanasan dan peningkatan suhu udara.

Kabupaten Bandung merupakan salah satu kota di Indonesia yang sudah mengalami efek pulau bahang. Kabupaten Bandung juga merupakan kawasan penyangga Kota Bandung yang terus berkembang dan menyebabkan jumlah penduduk, lahan terbangun dan jumlah kendaraan roda dua dan kendaraan roda empat terus meningkat dengan peningkatan masing-masing sebesar 1,95%; 7%; 4,3%; dan 2,3% . Total emisi CO2 dari berbagai aktivitas tersebut, diperkirakan sebesar 4.563.174 ton/tahun. Sebaliknya ruang terbuka hijau terus menurun (4,3%). Tingginya emisi CO2 dan kurangnya ruang terbuka hijau khususnya di area perkotaan, menyebabkan terjadinya efek pulau bahang sehingga suhu udara di wilayah perkotaan lebih tinggi dibandingkan wilayah perdesaan. Kondisi ini menyebabkan kenyamanan di area perkotaan menurun.

Agar pembangunan di Kabupaten Bandung terus berjalan dengan baik dan kondisi lingkungan juga terjaga, maka perlu strategi pembangunan berbasis keseimbangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang dikenal dengan pembangunan kota hijau (green city). Kota hijau dapat diwujudkan dengan pembangunan yang mempertimbangkan keseimbangan beberapa faktor yaitu (1) ekonomi, (2) sosial, (3) keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan, (4) daya lenting lingkungan terhadap perubahan iklim, serta (5) penurunan gas rumah kaca. Pembangunan yang dilaksanakan berdasarkan keseimbangan kelima faktor tersebut dikenal dengan pembangunan berbasis green growth.

(4)

pulau bahang kota (urban heat island) sehingga dapat digunakan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan sehingga dapat mewujudkan kota hijau di Kabupaten Bandung.

Penelitian dilakukan di tiga wilayah perkotaan. Wilayah I terdiri dari Kec. Margaasih, Kec. Margahayu, Kec.Dayeuhkolot, Kec. Bojongsoang dan Kec. Cileunyi. Wilayah II terdiri dari Kec. Soreang, Kec. Katapang, Kec. Pemeungpeuk, Kec. Baleendah, Kec. Cangkuang dan Kec. Banjaran. Wilayah III terdiri dari Kec. Ciparay, Kec. Majalaya, Kec. Solokan Jeruk dan Kec. Rancaekek. Metode penelitian terdiri dari kajian efek pulau bahang, ruang terbuka hijau, sosial ekonomi, dan pembuatan model kota hijau. Analisis data penelitian terdiri dari : (1) analisis efek pulau bahang dengan menggunakan analisis spasial, (2) analisis deskriptif dan kuantitatif kajian ruang terbuka hijau, (3) analisis deskriptif kondisi sosial ekonomi masyarakat, (4) analisis sistem dinamik dengan menggunakan program stella 9.2.

Berdasarkan hasil analisis spasial tutupan lahan di wilayah penelitian, diketahui bahwa lahan terbangun di Wilayah I, II dan III, berturut turut adalah sebesar 60%, 40% dan 37%. Sedangkan persentase ruang terbuka hijau berturut turut 29%, 45% dan 52%. Berdasarkan analisis spasial terhadap distribusi suhu udara, diketahui suhu udara tertinggi dan terendah di Wilayah I, lebih tinggi dibandingkan area II dan III. Suhu udara tertinggi di Wilayah I, II dan III berturut turut yaitu 29 ºC, 28 ºC, dan 27 ºC. Sedangkan suhu terendah di area I, II dan III berturut turut adalah 22 ºC, 21 ºC, dan 20 ºC. Berdasarkan analisis spasial penutupan lahan dan distribusi suhu udara, maka dapat disimpulkan bahwa di wilayah perkotaan di Kabupaten Bandung telah terjadi pulau bahang kota.

Pulau bahang kota dapat diatasi dengan membangun ruang terbuka hijau. Berdasarkan pengukuran iklim mikro diketahui bahwa ruang terbuka hijau berupa pohon (hutan kota) lebih efektif dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara. Selain jenis ruang terbuka hijau, indeks luas daun (kerindangan) juga mempengaruhi kondisi suhu udara. Semakin tinggi nilai indeks luas daun, maka akan semakin menurunkan suhu udara. Bentuk dan struktur hutan kota juga berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban udara. Bentuk hutan kota yang menggerombol dan berstrata banyak paling tinggi mereduksi suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara.

Agar masalah pulau bahang kota dapat diatasi dengan efektif, maka perlu penentuan lokasi ruang terbuka hijau yang disesuaikan dengan analisis arah dan kecepatan angin agar absorbsi dan adsorbsi CO2 dapat efektif dan efisien. Berdasarkan windrose di Kabupaten Bandung, posisi ruang terbuka hijau khususnya hutan kota sebaiknya dibangun membujur dari arah selatan ke utara dan terletak di sebelah timur dan barat sumber polutan. Selain itu juga melintang dari barat ke timur dengan letak di sebelah selatan sumber polutan.

Informasi hasil kajian kondisi pulau bahang kota, ruang terbuka hijau, dan kondisi sosial ekonomi di Kabupaten Bandung, digunakan dalam penyusunan model kota hijau. Berdasarkan simulasi model, secara umum untuk wilayah Kabupaten Bandung, skenario hijau masih memungkinkan digunakan untuk mengatasi masalah pulau bahang kota sehingga dapat membantu untuk mewujudkan kota hijau. Pilihan kebijakan dengan menggunakan skenario hijau dapat menjaga kondisi lingkungan

(5)

terjadi lebih cepat. Berdasarkan simulasi model, maka program kota hijau berbasis green growth sangat penting diterapkan seawal mungkin terutama untuk kota-kota yang masih pada taraf awal pengembangan.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

(7)

MODEL KOTA HIJAU

DI KABUPATEN BANDUNG

JAWA BARAT

SITI BADRIYAH RUSHAYATI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji Luar Komisi

Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S : Dr. Ir. Tania June, MSc

Penguji Luar Komisi

Ujian Terbuka : Dr. Ir. Efransjah

(9)

Judul Disertasi : Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung Jawa Barat Nama : Siti Badriyah Rushayati

NRP : E 361070011

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra Ketua

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Konservasi Biodiversitas Tropika

Tanggal Ujian : 20 Desember 2011 Tanggal Lulus : Dr. Ir. Endes N. Dahlan, M.S

Anggota

Dr. Ir. Herry Purnomo, M.Comp Anggota

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Karya ilmiah dalam disertasi ini adalah mengenai model kota hijau untuk mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi masalah di banyak kota di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Adapun judul dari disertasi ini adalah Model Kota Hijau di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Bapak Prof.Dr.Ir.H. Hadi S. Alikodra selaku pembimbing utama, serta kepada Bapak Dr.Ir.H. Endes N. Dahlan, MS, dan Bapak Dr.Ir. Herry Purnomo, M.Comp selaku anggota pembimbing, yang telah banyak memberi arahan, saran dan bimbingan. Disamping itu penghargaan juga penulis sampaikan kepada Staf Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung yang telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat dalam penyusunan disertasi ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sigit Nugroho S.Si, MT; Dr.Ir. Arzyana Sunkar; Dr.Ir. Mirza Dikari K; Iis Siti Aisyah ST, MT; Syamsul Maarif ST, MT; Eva Rahmawati S.Hut, MSi; Resti Meilani, S.Hut, MSi; serta para mahasiswa bimbingan dan teknisi yang telah memberikan bantuan dan dukungan selama proses penyelesaian disertasi. Tak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami Ir. Dusanto Kristihono, MSi serta anak-anak Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar Arrafi, ayah, ibu, Amira, Adit, dan adik-adik atas segala motivasi dan do’anya. Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Wonogiri pada tanggal 4 Juli 1965 sebagai anak sulung dari lima bersaudara dari ayah drs. Abdul Rosjid Muchtar dan ibu dra. Siti Badarul Chajati. Penulis menikah dengan Ir. Dusanto Kristihono, M.Si dan dikaruniai dua orang putra putri, Siva Devi Azahra dan Fadhel Haidar Arrafi. Pendidikan sarjana penulis ditempuh di Program Studi Agrometeorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, lulus pada tahun 1989. Penulis melanjutkan di Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana IPB, dan memperoleh gelar magister sains pada tahun 1999. Pada tahun 2007, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan program doktor pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL………...

DAFTAR GAMBAR...………..

DAFTAR LAMPIRAN……….

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN...

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang... 1.2 Kerangka Pemikiran... 1.3 Tujuan Penelitian... 1.4 Hipotesa... 1.5 Manfaat Penelitian... 1.6 Kebaruan (Novelty)...

2.5 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat... 2.6 Kebijakan Kota Hijau...

III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian... 3.2 Bahan dan Peralatan ... 3.3 Metode dan Analisis Penelitian... 3.3.1 Jenis Data Penelitian... 3.3.2 Metode dan Analisis Pulau Bahang Kota... 3.3.3 Metode dan Analisis Sistem Dinamik Model Kota Hijau...

3.3.4 Metode dan Analisis Kondisi Sosial, Ekonomi Masyarakat...

IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Geografis... 5.1.5 Peran Ruang Terbuka Hijau dalam Mengatasi Pulau Bahang Kota..

(13)

5.2 Model Kota Hijau... 5.2.1 Pengorganisasian Model... 5.2.2 Sensitivitas Model dan Evaluasi Model... 5.2.3 Model Baseline Wilayah Kabupaten Bandung... 5.2.4 Skenario Model Wilayah Kabupaten Bandung... 5.2.5 Model di Wilayah Penelitian... 5.2.6 Hasil Analisis Simulasi Model Kota Hijau... 5.3 Kondisi Sosial Ekonomi... 5.4 Kebijakan Pengelolaan Pulau Bahang Kota...

VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan... 6.2. Saran...

DAFTAR PUSTAKA...

LAMPIRAN...

72 72 78 78 79 82 90 93 97

104 105

106

111

(14)

DAFTAR TABEL

Data primer dan sekunder penelitian... Persentase lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Bandung pada tahun 2008 .... Produk domestik regional bruto Kabupaten Bandung atas dasar harga berlaku tahun 2008 (x106 rupiah)... Jumlah, kepadatan dan pertumbuhan penduduk... Emisi CO2 yang dikeluarkan oleh rumah tangga dalam menggunakan bahan bakar di Kabupaten Bandung (2009)... Hasil penghitungan kepadatan kendaraan di Jalan Kopo (November 2009)... Luas jenis penutupan lahan tahun 2003 dan 2008... Kondisi pulau bahang kota di Kabupaten Bandung... Kondisi fisik ruang terbuka hijau di Kabupaten Bandung... Taman-taman kota yang terdapat di Kabupaten Bandung... Suhu dan kelembaban udara di beberapa bentuk dan struktur hutan kota...

(15)

DAFTAR GAMBAR

Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung... Pembangunan kota hijau berbasis green growth... Rata-rata CO2 di Hawai... Hasil observasi temperatur global... Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung... Konseptualisasi model dalam bentuk diagram sebab akibat (causal loop) model kota hijau melalui pengendalian efek pulau bahang (urban heat island)...

Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung………

Curah hujan rataan bulanan Kabupaten Bandung... Suhu rataan bulanan Kabupaten Bandung... Kelembaban udara rataan bulanan Kabupaten Bandung... Kecepatan angin rataan bulanan Kabupaten Bandung... Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2003... Penutupan lahan Kabupaten Bandung tahun 2008... Distribusi suhu udara tahun 2008 di Kabupaten Bandung... Suhu udara di beberapa jenis penutupan lahan di Kabupaten Bandung... Kelembaban udara di beberapa jenis penutupan lahan... Kerindangan tajuk di Hutan Kawah Putih dan Hutan Kota Pemda

Kabupaten Bandung... Kerindangan tajuk vegetasi kebun campur dan hutan kota permukiman... Kerindangan tajuk vegetasi Hutan Kota... WindroseKabupaten Bandung... Sub model sumber pencemar CO2……….

Sub model suhu udara………

(16)

27

Hasil simulasi model skenario moderat di Kabupaten Bandung lima puluh

tahun ke depan………

Hasil simulasi model skenario pesimis di Kabupaten Bandung lima puluh tahun ke depan...

Hasil simulasi model baseline Wilayah I lima puluh tahun ke depan……...

Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I lima puluh tahun ke depan.. Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I lima puluh tahun ke

depan………..

Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I lima puluh tahun ke

depan………..

Hasil simulasi model baseline Wilayah II lima puluh tahun ke depan... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II lima puluh tahun ke depan. Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II lima puluh tahun ke

depan………..

Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II lima puluh tahun ke

depan………..

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda dua dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah kendaraan roda empat dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah industri dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan jumlah penduduk dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas lahan terbangun dengan suhu udara... Uji sensitivitas pengaruh perubahan luas ruang terbuka hijau dengan suhu udara.... Volume kendaraan bermotor yang beroperasi setiap jamnya di ruas jalan Kabupaten Bandung pada tahun 2006...

Persamaan model………...

Hasil simulasi model baseline Wilayah Kabupaten Bandung ……... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah Kabupaten Bandung... Hasil simulasi model baseline Wilayah I... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah I... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah I... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah I... Hasil simulasi model baseline Wilayah II... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah II... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah II... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah II... Hasil simulasi model baseline Wilayah III... Hasil simulasi model skenario hijau Wilayah III... Hasil simulasi model skenario moderat Wilayah III... Hasil simulasi model skenario pesimis Wilayah III...

Kuesioner untuk anggota masyarakat Kabupaten Bandung………..

(18)

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

Albedo (α) Perbandingan antara jumlah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan jumlah radiasi gelombang pendek yang diterima suatu permukaan.

Emisi Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar. Evaporasi Evaporasi yaitu penguapan dari tanah dan badan air (sungai,

danau, laut)

Evapotranspirasi Evapotranspirasi, yaitu penguapan yang terjadi pada permukaan air, tanah, maupun tumbuhan.

Hutan Menurut Undang-Undang RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan Kota Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, yang dimaksud dengan hutan kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah Negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai hutan kota oleh pejabat yang berwenang.

Iklim Mikro Kondisi fisik lapisan atmosfer yang dekat permukaan tanah atau di sekitar tanaman, seperti suhu, kelembaban, tekanan udara, dan dinamika energy radiasi surya.

(19)

Kawasan Perkotaan Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, yang dimaksud kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Landsat ETM+ Land Satellite Enhanced Thematic Mapper Plus, merupakan satelit komersial modifikasi dari TM dengan pengayaan pada kanal 8.

Laten Heat Flux (LE) Perpindahan bahang laten melalui proses evapotranspirasi. Model Merupakan abstraksi dari sebuah sistem, yang merupakan

kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya.

NDVI Normalized Difference Vegetation Index, menggambarkan seberapa besar penyerapan radiasi matahari oleh tanaman terutama bagian daun.

NIR Reflektansi kanal infra merah dekat (kanal 2)

RH Relative Humidity, adalah perbandingan dalam persen antara tekanan uap air dengan tekanan uap air jenuh pada suhu yang sama.

Ruang Terbuka Hijau Menurut Undang-Undang RI No. 26 Tahun 2007, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggu-naannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Radiasi Neto Radiasi bersih, yaitu selisih antara radiasi yang diserap dengan radiasi yang dipancarkan oleh suatu benda atau permukaan.

Sensible Heat Flux (H) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang digunakan untuk memanaskan udara di atas permukaan. Soil Heat Flux (G) Merupakan salah satu komponen neraca energi yang

digunakan untuk memanaskan permukaan dan kedalaman tanan melalui proses konduksi.

(20)

Suhu Udara (Ta) Suhu udara adalah ukuran energi kinetik rata-rata dari pergerakan molekul-molekul. Skala suhu udara yang sering digunakan adalah skala celsius dan fahrenheit.

THI Temperature Humidity Index, adalah indeks kenyamanan manusia dengan satuan °C yang ditentukan oleh suhu dan kelembaban udara. Nilai kisaran THI nyaman tergantung letak lintang.

Transpirasi Proses hilangnya air dalam tumbuhan akibat penguapan melalui stomata daun.

Udara Ambien Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya.

Urban Heat Island Kondisi dimana udara (atmosfer) di atas kawasan perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota). Suhu udara semakin menurunke arah sub urban dan rural.

VIS Reflektansi kanal cahaya tampak (kanal 2)

(21)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan saat ini semakin meningkat. Salah satu masalah lingkungan global yang dihadapi banyak negara adalah terjadinya pulau bahang kota (urban heat island) di beberapa kawasan perkotaan di dunia termasuk kota-kota di Indonesia. Urban heat island (pulau bahang kota) menyebabkan heat island effect (efek pulau bahang) yang dicirikan dengan suhu udara di area perkotaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara di sekitarnya. Beberapa kota di dunia yang sudah mengalami efek pulau bahang adalah Los Angeles, London, Bogota, beberapa kota di Swedia, Philadelphia, dan Guangzhou. Beberapa kota di Indonesia juga sudah mengalami efek pulau bahang yaitu Jakarta, Surabaya, Semarang dan juga Kota dan Kabupaten Bandung.

Pulau bahang kota disebabkan oleh tingginya gas rumah kaca dan persentase lahan terbangun di perkotaan. Gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dihasilkan dari berbagai aktivitas manusia (transportasi, industri, sampah). Berbagai Aktivitas di perkotaan, menyebabkan terjadinya akumulasi gas-gas rumah kaca di atmosfer sehingga menyebabkan pancaran radiasi balik gelombang panjang terperangkap oleh gas-gas tersebut sehingga menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca di kawasan perkotaan ini membentuk pulau bahang kota dan menyebabkan suhu udara di kota lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya (Voogt 2002).

Gas rumah kaca khususnya CO2 penyebab efek pulau bahang di Kabupaten Bandung dihasilkan oleh berbagai aktivitas transportasi, industri dan persampahan. Produksi CO2 dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya jumlah penduduk. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik Kabupaten Bandung (2006 dan 2009), jumlah penduduk Kabupaten Bandung pada tahun 2005 tercatat berjumlah 2.952.042 orang, dan pada tahun 2008 naik menjadi 3.127.008 orang. Rata-rata laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,95 %.

(22)

Aktivitas manusia di perkotaan dari transportasi, industri dan sampah, mengakibatkan polutan udara di perkotaan meningkat. Ditambah dengan posisi Kabupaten Bandung terletak di daerah cekungan, maka polutan udara yang terbawa aliran udara mengalami stagnasi sehingga pengenceran polutan di Kabupaten Bandung tidak efektif. Sebagai gambaran, hasil penelitian Soedomo (2001) menyatakan bahwa emisi polutan udara antropogenik SO4 di Jakarta 20.503 ton/tahun, dan Bandung 2.472 ton/tahun. Namun pembebanan SO4 di Jakarta lebih kecil dibandingkan dengan Kabupaten Bandung. Di Jakarta sebesar 4,34 kg/ha/thn, sedangkan di Kabupaten Bandung 5,37 kg/ha/thn.

Selain diakibatkan oleh polutan udara, efek pulau bahang dipengaruhi oleh jenis penutupan lahan. Lahan terbangun meningkatkan efek pulau bahang yang mengakibatkan suhu udara semakin tinggi. Salah satu cara untuk mengatasi efek pulau bahang adalah dengan meningkatkan ruang terbuka hijau. Tetapi faktanya adalah berkebalikan dengan jumlah kendaraan bermotor, jumlah penduduk dan lahan terbangun, ruang terbuka hijau terus berkurang dari 119.150 ha (tahun 2003) menjadi 105.532 ha (tahun 2008).

Tursilowati (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan secara spasial di Bandung, terlihat adanya perluasan efek pulau bahang (daerah dengan suhu tinggi 30-35 °C) di pusat kota Bandung per tahun sebesar kira-kira 12.606 ha atau 4,47 % yang terletak pada kawasan terbangun (permukiman dan industri). Menurut Tursilowati, pertumbuhan kawasan terbangun menyebabkan perluasan efek pulau bahang. Hasil penelitian Tursilowati juga menyebutkan bahwa pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%).

Meskipun pemerintah daerah sudah membuat kebijakan yang mendukung terwujudnya Kabupaten Bandung sebagai kota hijau, serta sudah menuangkannya dalam perencanaan dan pengembangan ruang terbuka hijau didalam rencana pembangunan jangka menengah dan jangka panjang, serta dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW), tetapi karena belum menjadi prioritas penting dalam pembangunan daerah maka pelaksanaannya belum dapat mengatasi permasalahan lingkungan khususnya masalah pulau bahang kota.

(23)

tersebut maka masalah efek pulau bahang perlu segera ditangani agar iklim mikro perkotaan menjadi lebih baik dan nyaman.

Salah satu cara untuk mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau adalah dengan cara mengkaji faktor-faktor penyebab terjadinya pulau bahang kota serta memformulasikannya dalam sebuah model yang dapat dijadikan acuan dalam membuat kebijakan yang disesuaikan dengan kondisi sosial, ekonomi, serta lingkungan yang ada. Melalui simulasi model, maka akan didapatkan skenario terbaik yang dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam mewujudkan keberlanjutan ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan dalam pembangunan daerah sehingga akan dapat mewujudkan Kabupaten Bandung menjadi kota hijau.

1.2. Kerangka Pemikiran

1.2.1. Sosial Ekonomi Masyarakat dan Kebijakan Pemerintah Daerah

Kebijakan pemerintah daerah sangat menentukan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Begitu pula sebaliknya, kondisi sosial ekonomi masyarakat akan menjadi dasar pertimbangan penentuan kebijakan pemerintah daerah. Salah satu kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dalam meningkatkan kondisi sosial dan pertumbuhan ekonomi adalah upaya peningkatan kapasitas produksi masyarakat agar dapat meningkatkan pendapatan per kapita dan lapangan kerja. Selain itu, juga adanya kebijakan peningkatan pertumbuhan industri yaitu dengan memberikan berbagai program pengembangan industri kecil dan menengah, pengembangan cluster industri, pengembangan teknologi dan pengembangan sentra-sentra industri potensial.

1.2.2. Pulau Bahang Kota

Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kebijakan yang diputuskan dan dijalankan pemerintah daerah, sangat menentukan pertumbuhan lahan terbangun, jumlah penduduk, industri, jumlah kendaraan bermotor, serta kondisi ruang terbuka hijau. Aktivitas industri dan transportasi menyebabkan emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Selain itu emisi gas rumah kaca juga dihasilkan dari pemanfaatan bahan bakar fosil untuk berbagai aktivitas penduduk (memasak, penerangan), serta dari limbah sampah.

(24)

yang terakumulasi di perkotaan menyerap radiasi balik berupa radiasi gelombang panjang. Akibatnya radiasi gelombang panjang terperangkap di atmosfer khususnya troposfer di atas perkotaan, dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Efek rumah kaca yang terjadi di kawasan perkotaan dan menyebabkan suhu udara di perkotaan lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan sekitarnya, dan seperti pulau tersendiri, maka kondisi seperti ini disebut dengan efek pulau bahang (Voogt 2002).

Selain dipengaruhi oleh gas CO2, efek pulau bahang juga dipengaruhi oleh nilai albedo dari tutupan lahan yang ada. Albedo merupakan perbandingan radiasi yang dipantulkan dengan radiasi yang datang di suatu permukaan (Geiger et al. 1961). Dari nilai albedo dan radiasi surya yang masuk ke permukaan bumi, dapat diperkirakan nilai radiasi neto (radiasi yang datang dikurangi radiasi yang keluar). Radiasi neto dari lahan terbangun digunakan untuk memanaskan lahan terbangun tersebut dan udara yang ada di atasnya. Area bervegetasi menggunakan radiasi neto untuk evapotrans-pirasi sehingga pemanasan udara di atasnya rendah. Kondisi ini menyebabkan area bervegetasi mempunyai suhu udara yang rendah. Persentase yang tinggi dari lahan terbangun di perkotaan menyebabkan radiasi neto hanya digunakan untuk memanaskan benda tersebut dan udara yang berada di atasnya sehingga area yang didominasi lahan terbangun suhu udaranya tinggi.

Emisi CO2 dan persentase lahan terbangun yang tinggi, serta rendahnya persentase ruang terbuka hijau, menyebabkan efek pulau bahang semakin meningkat. Efek pulau bahang yang terjadi di berbagai perkotaan akan meningkatkan pemanasan global yang pada akhirnya juga akan mempengaruhi kondisi suhu udara di perkotaan tersebut. Oleh karena itu penanganan permasalahan pulau bahang kota yang saat ini sudah terjadi di banyak negara, akan membantu upaya mitigasi pemanasan global.

1.2.3. Kota Hijau

(25)

(transportasi, industri, manusia) serta perlu dilakukan upaya peningkatan absorbsi CO2 dengan cara mengembangkan ruang terbuka hijau. Ruang terbuka hijau berperan dalam menurunkan suhu udara dan meningkatkan kelembaban udara melalui proses fotosintesis dan evapotranspirasi. Dengan peran ganda ini maka ruang terbuka hijau sangat penting dalam perbaikan kondisi iklim mikro perkotaan dan perbaikan kenyamanan kota. Suhu udara dan kondisi iklim mikro perkotaan yang nyaman dapat menciptakan kota hijau yang akan berdampak positif terhadap perkembangan sosial ekonomi masyarakat serta akan menjadi dasar pembuatan kebijakan yang lebih baik dan lebih ramah lingkungan. Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota, disajikan pada Gambar 1.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji kondisi pulau bahang kota yang terdiri dari kajian potensi emisi gas CO2, ruang terbuka hijau, dan distribusi suhu permukaan di wilayah perkotaan Kabupaten Bandung.

2. Membuat model kota hijau Kabupaten Bandung melalui penanganan pulau bahang kota (urban heat island).

1.4. Hipotesa

Kota hijau di Kabupaten Bandung akan dapat diwujudkan dengan menangani pulau bahang kota yaitu dengan cara mengendalikan sumber emisi CO2, mening-katkan ruang terbuka hijau dan mengendalikan pertumbuhan lahan terbangun. Selain faktor lingkungan, kota hijau dapat diwujudkan dengan meningkatkan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Kondisi sosial ekonomi dan lingkungan yang berjalan secara seimbang akan dapat mewujudkan kota hijau sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan.

Lahan Jumlah

Kondisi Sosial Ekonomi

(26)

Keterangan : : Meningkatkan : Menurunkan

Sumber : Dunn (2003), WWF dan PWC (2011), Voogt (2002), Wang (2009), dan

Wildsmith (2009)

Gambar 1 Kerangka pemikiran membangun model kota hijau melalui penanganan pulau bahang kota di Kabupaten Bandung.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian ini adalah :

Jumlah Unit Industri

MODEL KOTA HIJAU

Albedo

Evapotranpirasi

Sampah Pernapasan

Pe

m

an

as

an

G

lo

b

al

Bahan Bakar Fosil

(27)

1. Bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) pengelolaan lingkungan, khususnya pengetahuan dalam mengatasi pulau bahang kota yang saat ini menjadi permasalahan perkotaan, baik di Indonesia maupun di dunia.

2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam pembuatan kebijakan di Kabupaten Bandung serta kota-kota lain di Indonesia sehingga akan dapat membantu mengatasi permasalahan pemanasan perkotaan serta dapat menjadi dasar menentukan strategi dalam mewujudkan kota hijau.

1.6. Kebaruan (Novelty)

(28)

2.1. Pemodelan Sistem

2.1.1. Pengertian Pemodelan Sistem

Purnomo (2005) menyatakan bahwa pemodelan sistem adalah sebuah pengetahuan dan seni. Pengetahuan karena dalam sistem dibangun logika yang jelas dengan urutan yang logis, sedangkan pemodelan merupakan seni karena mencakup bagaimana menuangkan gagasan manusia atas dunia nyata dengan segala keunikannya dalam sebuah model.

Sistem sendiri dapat diartikan sebagai gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau gugus tujuan tertentu (Hartrisari (2007). Suatu sistem dapat terdiri dari beberapa subsistem. Hartrisari (2007) juga menyatakan bahwa sistem dapat digolongkan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (open system) dan sistem tertutup (closed system). Sistem terbuka merupakan sistem yang outputnya merupakan tanggapan dari input, namun output yang dihasilkan tidak memberikan umpan balik terhadap input. Sedangkan sistem tertutup, output memberikan umpan balik terhadap input.

Teori sistem erat hubungannya dengan sibernetika dan dinamika sistem (system dynamics), yaitu model-model yang terdiri dari jaringan peubah yang berubah menurut waktu. Sibernetika (cybernetics) yaitu studi tentang organisasi, komunikasi dan kontrol dalam sistem kompleks dengan berfokus pada umpan balik. Teori sistem digunakan dalam sain-sain kompleksitas (sciences complexity). Sedangkan analisis sistim (system analysis) merupakan aplikasi dari prinsip-prinsip sistem untuk membantu pengambilan keputusan.

(29)

Model yang dibangun harus diuji sensitivitasnya terhadap stimulus yang diberikan terhadap model tersebut. Jika hasil uji sensitivitas terhadap model utuh maupun terhadap masing-masing variabel kunci menunjukkan bahwa ada perubahan kinerja model apabila diberikan suatu stimulus, maka dapat dikatakan model yang dibangun tersebut sensitif (Muhammadi et al. 2001). Selain uji sensitivitas, menurut Purnomo (2005), sebelum model digunakan harus dilakukan evaluasi model dengan cara pengamatan kelogisan model, pengamatan perilaku model dan membandingkan dengan konseptualisasi model, serta membandingkan perilaku model dengan data yang didapat dari system (dunia nyata).

2.1.2. Penelitian Pemodelan Sistem Dinamik

Sistem bersifat dinamis. Dalam sistem, antar komponen berubah menurut waktu. Purnomo (2005) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan dinamika sistem adalah studi mengenai perubahan sistem menurut waktu dengan memperhatikan umpan balik. Sedangkan pemodelan sistem dinamik merupakan kegiatan membawa dunia nyata ke dalam dunia tak nyata tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya, serta model tersebut bersifat dinamis berubah menurut waktu.

Telah banyak dilakukan penelitian mengenai pemodelan sistem dinamik, tetapi belum ada pemodelan sistem dinamik yang menggambarkan sistem perkotaan dengan permasalahan pulau bahang kota yang mengaitkan antara sumber-sumber emisi CO2, albedo, dinamika perubahan luas berbagai jenis penutupan lahan, serta dampaknya terhadap iklim mikro perkotaan khususnya suhu udara.

Fong et al. (2006) melakukan penelitian menggunakan model sistem dinamik baru terbatas untuk menduga konsumsi energi di perkotaan. Model terdiri dari empat sub model, yaitu sub model perumahan, komersial, industri, dan transportasi. Berdasarkan simulasi model, diketahui bahwa pendorong utama terjadinya peningkatan konsumsi energi adalah adanya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat konsumsi energi oleh industri, konsumsi energi oleh penduduk di perumahan, dan konsumsi energi aktivitas komersial.

(30)

sangat mempengaruhi permintaan dan produksi semen. Semakin meningkat jumlah manusia, maka semakin meningkat pula permintaan akan semen, dan menyebabkan emisi CO2 semakin meningkat pula. Dengan kondisi saat ini, diperkirakan emisi CO2 pada tahun 2020 adalah sebanyak 396,89 juta ton. Dengan menggunakan skenario mitigasi emisi CO2 yang terdiri dari intervensi kebijakan untuk menstabilkan pertumbuhan penduduk, pembatasan kelebihan produksi semen, melakukan manajemen struktural, efisiensi energi, akan dapat menurunkan emisi CO2 pada tahun 2020 hingga mencapai 42%.

Model sistem dinamik juga digunakan Lee (2005) untuk memprakirakan penyebab dan dampak dari emisi gas rumah kaca di Kota New York. Lee (2005) membuat model sistem dinamik berdasarkan data emisi gas rumah kaca yang dikeluarkan oleh Kota New York. Variabel aktivitas sumber emisi CO2 dalam model tersebut terdiri dari konsumsi listrik, konsumsi bahan bakar fosil untuk pemanas udara, serta konsumsi bahan bakar transportasi. Simulasi model dibuat untuk memprakirakan emisi gas CO2 25 tahun ke depan yaitu dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2030.

Emisi gas rumah kaca di Kota New York pada tahun 2005, diperkirakan 58,8 juta metric ton equivalent (mt CO2e). Berdasarkan prakiraan model sistem dinamik, pada tahun 2030 emisi gas CO2 meningkat menjadi 73 juta metric ton. Dengan membuat skenario efisiensi energi dan penurunan konsumsi energi pada level moderat, diperkirakan emisi CO2 tahun 2005 sebanyak 58 mt CO2e, sedangkan pada tahun 2030 diperkirakan menurun menjadi 54 mt CO2e. Apabila menggunakan skenario yang lebih ketat, maka emisi CO2 dapat ditekan menjadi 43 mt CO2e pada tahun 2005, dan 40 mt CO2e pada tahun 2030.

(31)

2.2. Kota Hijau (Green City) 2.2.1. Kawasan Perkotaan

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penye-lenggaraan Penataan Ruang, dijelaskan bahwa kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

2.2.2. Kota Hijau

a. Pengertian Kota Hijau

Menurut Wildsmith (2009), green city (kota hijau) juga dapat disebut sustainable city (kota yang berkelanjutan) atau eco-city (kota berbasis ekologi), yaitu kota yang dalam melaksanakan pembangunan didesain dengan mempertimbangkan lingkungan sehingga fungsi dan manfaatnya dapat berkelanjutan. Green city dapat terwujud jika masyarakat yang tinggal di dalamnya melakukan penghematan (minimisasi) pemanfaatan energi dan air. Selain itu juga melakukan minimisasi buangan penyebab panas, serta melakukan pencegahan pencemaran air dan udara. Selain elemen-elemen tersebut Wildsmith (2009) juga menambahkan elemen sosial dan budaya. Sehingga green city merupakan kota yang melakukan pembangunan berkelanjutan secara ekonomi, sosial, dan ekologi sehingga tercipta keseimbangan diantara manusia dan alam.

Mori dan Christodoulou (2011), mengartikan kota hijau sebagai kota berkelanjutan. Yang dimaksud dengan kota berkelanjutan adalah sebuah kota yang dalam melakukan pembangunan berasaskan keadilan antara generasi saat ini dengan generasi yang akan datang. Pembangunan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan generasi yang akan datang. Seperti halnya Wildsmith (2009), Mori dan Christodoulou (2011) juga mensyaratkan keseimbangan biofisik, sosial dan ekonomi yang berkeseimbangan dalam pelaksanaan pembangunan kota berkelanjutan.

(32)

transportasi, 2) Perlu memperhatikan kebutuhan transportasi ramah lingkungan, 3) Merehabilitasi lingkungan perkotaan yang rusak (sungai, pantai, lahan basah), 4) Mendukung kegiatan penghijauan, pertanian masyarakat lokal, 5) Sosialisasi daur ulang limbah, teknologi inovatif tepat guna, 6) Menciptakan keadilan sosial dengan memberikan kesempatan pada wanita dan orang cacat untuk berperan serta menikmati pembangunan, 7) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berbasis ekologi yaitu dengan menurunkan limbah dan polusi, serta menggunakan bahan baku yang tidak berbahaya bagi lingkungan, 8) Mensosialisasikan penghematan pemanfaatan sumberdaya alam, 9) Meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan melalui kegiatan pendidikan lingkungan.

b. Permasalahan dalam Mewujudkan Kota Hijau

Permasalahan lingkungan perkotaan yang menghambat terwujudnya kota hijau adalah disebabkan oleh tingginya laju pertumbuhan penduduk serta laju pertambahan luas lahan terbangun, semakin menurunnya ruang terbuka hijau, terjadinya pencemaran air, pencemaran udara, pencemaran tanah, dan terbentuknya pulau bahang kota.

Pulau bahang kota telah terjadi di beberapa kota di dunia, salah satunya adalah pulau bahang kota yang terjadi di Guangzhou. Weng dan Yang (2004) menjelaskan bahwa permasalahan lingkungan yang dihadapi Kota Guangzhou adalah terus meningkatnya luas suhu udara tinggi di area perkotaan. Luas suhu udara tinggi yang terus meningkat ini terkait dengan terus meningkatnya populasi penduduk sehingga meningkatkan luas lahan terbangun, industri dan transportasi, serta merubah tata kota dan lingkungan fisik Kota Guangzhou. Emisi CO2 dari berbagai aktivitas di perkotaan serta semakin meningkatnya lahan terbangun dan menurunnya ruang terbuka hijau di Kota Guangzhou, menyebabkan terbentuknya pulau bahang kota.

(33)

ekonomi sehingga menimbulkan berbagai masalah lingkungan hidup termasuk pemanasan di perkotaan.

c. Pengelolaan Kota dalam Mewujudkan Kota Hijau

Salah satu cara untuk mewujudkan kota hijau adalah dengan melakukan pembangunan berkelanjutan yang saat ini dikenal dengan pembangunan berbasis green growth. World Wide Fund for Nature dan PricewaterhouseCoopers (2011), mendefinisikan green growth sebagai sebuah konsep pembangunan yang dilaksanakan dengan mengupayakan keseimbangan ekonomi, sosial, budaya serta lingkungan hidup. Konsep pembangunan berbasis green growth menurut World Wide Fund for Nature (WWF) dan PricewaterhouseCoopers (PWC), dilaksanakan berdasar pada lima pilar penting berikut :

a. Pertumbuhan ekonomi b. Perbaikan kondisi sosial

c. Konservasi keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan d. Kemampuan adaptasi terhadap perubahan iklim global e. Penurunan emisi gas rumah kaca.

Sektor ekonomi sangat penting dalam menggerakkan pembangunan perkotaan. Ekonomi yang sehat akan meningkatkan kondisi sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di dalamnya. Pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya harus ditingkatkan. Selain sektor ekonomi dan kondisi sosial masyarakat, yang perlu menjadi perhatian adalah perlunya memberikan harga (value) tinggi pada sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada. Sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan berperan penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perkotaan. Keanekeragaman hayati vegetasi ruang terbuka hijau mempunyai jasa lingkungan melalui perannya dalam mengabsorbsi dan mengadsorbsi berbagai polutan udara, memperbaiki iklim mikro perkotaan, meningkatkan estetika lingkungan, me-ngurangi kebisingan (Dahlan 2004). Oleh karena itu perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat dalam upaya konservasi sumberdaya alam dan jasa lingkungan serta perbaikan habitat di perkotaan.

(34)

pelaksanaan pembangunan kota berbasis karbon rendah. Konsep pembangunan berkelanjutan atau pembangunan berbasis green growth tersebut disajikan pada Gambar 2.

Sumber : WWF dan PWC (2011)

Gambar 2 Pembangunan kota hijau berbasis green growth.

2.3. Pulau Bahang Kota (Urban Heat Island) 2.3.1. Pengertian Pulau Bahang Kota

Tursilowati (2002), Voogt (2002), Hidayati (1990), Santosa (1998) serta Weng dan Yang (2004) menyatakan bahwa pulau bahang kota atau urban heat island atau juga disebut dengan kubah kota terjadi ketika udara di atas perkotaan digambarkan seperti pulau udara dengan permukaan panas yang terpusat di area urban (kota), temperaturnya semakin menurun ke arah sub urban dan rural.

Irwan (2008) meneliti pulau bahang kota di Jakarta, Tangerang, Bekasi dan Bogor. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa pulau bahang kota yang terjadi di Kota Jakarta menciptakan suhu maksimum di Jakarta Pusat dan Jakarta Utara. Secara bertahap, suhu udara menurun ke arah selatan (ke arah Bogor). Irwan (2008) juga menjelaskan bahwa pola pulau panas cenderung melebar ke arah Tangerang dan Bekasi bagian barat. Perbedaan suhu udara maksimum dan minimum antara Kota Jakarta dan Bogor mencapai 1 – 3 °C.

Berdasarkan penelitian Effendy (2007), dijelaskan bahwa pulau bahang kota (UHI) yang terjadi di Jakarta dipicu oleh meningkatnya kepadatan kendaraan (20%), penambahan ruang terbangun (19%), dan kepadatan populasi (17%). Sedangkan pulau

(35)

bahang kota yang terjadi di Bogor dipicu oleh meningkatnya semakin meluasnya ruang terbangun (15%), diikuti oleh menurunnya ruang terbuka hijau (14%), semakin padatnya kendaraan (14%), serta semakin padatnya populasi (13%). Selain Jakarta dan Bogor, Kota Tangerang juga sudah mengalami efek pulau bahang. Kontribusi terbesar terjadinya pulau bahang kota di Tangerang disebabkan oleh semakin menurunnya ruang terbuka hijau (23%), diikuti oleh perluasan ruang terbangun (22%0, padatnya populasi (19%), serta padatnya kendaraan (17%).

2.3.2. Sumber Permasalahan Pulau Bahang Kota

Hasil kajian pulau bahang kota yang dilakukan oleh Hidayati (1990), dan Santosa (1998) membuktikan bahwa dengan adanya pulau bahang kota menyebabkan suhu udara perkotaan lebih tinggi 0,02 – 1 °C dibandingkan daerah sekitarnya. Suhu udara yang lebih tinggi di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan, disebabkan oleh tingginya emisi gas rumah kaca (CO2, N2O, CFC, CH4) dan persentase luas lahan terbangun di perkotaan.

a. Emisi Gas Rumah Kaca

Pulau bahang kota yang terbentuk di area perkotaan diakibatkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca. Gas rumah kaca di perkotaan dihasilkan oleh adanya emisi gas-gas tersebut dari berbagai aktifitas antropogenik yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara). Menurut Soedomo ( 2001), pembakaran bahan bakar minyak bumi merupakan emisi terbesar dari gas rumah kaca. Urutan berikutnya adalah penggunaan biomassa kayu bakar dan limbah pertanian, dan kemudian penggunaan gas bumi.

Dahlan (2007) menyatakan bahwa rata-rata penggunaan bahan bakar per orang di Kota Bogor adalah 134,19 liter bensin/orang/tahun ; 33,55 liter solar/orang/tahun; 6,24 liter diesel/orang/tahu; 84,17 liter minyak tanah/orang/tahun; 5,14 kg LPG/orang/tahun; dan 0,28 m3 gas/orang/tahun. Berdasarkan simulasi model emisi gas CO2 di Kota Bogor, diperkirakan emisi pada tahun 2010 sebanyak 600,216 ton dan meningkat menjadi 848,175 ton pada tahun 2100. Sedangkan Soedomo (2001) dengan menggunakan acuan tahun 1988 sebagai dasar, memperkirakan kontribusi per kapita dalam emisi gas rumah kaca per kapita adalah sebesar 1,15 ton /tahun.

(36)

Tabel 1. Emisi gas absolut di Indonesia adalah sebesar 96,08 juta metrik ton pada tahun 1980; 154,016 juta metrik ton pada tahun 1985; dan 202,47 juta metrik ton pada tahun 1988. Karbon dioksida merupakan gas rumah kaca yang terbesar jumlah emisi absolutnya. Chloro fluoro carbon belum dapat diperkirakan secara pasti sehingga belum dimasukkan dalam perhitungan.

Pembakaran bahan bakar fosil (bensin, solar, batubara) menyebabkan emisi CO2 dan peningkatan suhu udara. Nowak dan McPherson (1993) menyatakan bahwa peningkatan CO2 di atmosfer akan menyebabkan peningkatan suhu udara melalui pemanasan udara akibat adanya penyerapan radiasi gelombang panjang oleh CO2. Trewartha dan Horn (1995) juga menyatakan bahwa pencemaran atmosfer di kawasan perkotaan akibat dari emisi polutan udara kendaraan bermotor dan industri, akan mengakibatkan terperangkapnya radiasi terestrial di troposfer sehingga menghambat lolosnya radiasi terestrial tersebut ke angkasa. Hal ini menyebabkan suhu udara menjadi meningkat. Suhu udara selain ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, juga dipengaruhi oleh variabilitas output total energi matahari. Variabilitas energi matahari menghasilkan perubahan-perubahan dalam intensitas surya yang diterima di puncak atmosfer bumi serta mengakibatkan variasi iklim termasuk suhu udara (Trewartha & Horn 1980).

Trewartha dan Horn (1980) juga menyatakan bahwa variasi iklim juga dipengaruhi oleh posisi matahari dan bumi. Jarak terjauh antara matahari dan bumi selama peredarannya (aphelion) dan jarak terdekat antara matahari dan bumi (perihelion), menentukan intensitas radiasi matahari dan suhu udara di permukaan bumi.

Meskipun suhu udara ditentukan oleh variabilitas output total radiasi matahari akibat aktivitas matahari serta posisi matahari dan bumi, tetapi suhu udara yang terukur di permukaan bumi sangat ditentukan oleh konsentrasi gas rumah kaca, termasuk gas CO2. Peningkatan konsentrasi CO2 menyebabkan kenaikan suhu udara secara signifikan seperti yang disajikan pada Gambar 3 dan 4.

(37)

Gambar 3 Rata-rata CO2 di Hawai.

Gambar 4 Hasil observasi temperatur global.

b. Pengaruh Penutupan Lahan terhadap Pulau Bahang Kota

Selain gas rumah kaca, faktor yang mempengaruhi pulau bahang kota adalah jenis penutupan lahan. Penutupan lahan yang ada di area perkotan menentukan neraca radiasi (termasuk pengaruh dari albedo) serta neraca energi di area perkotaan sehingga akan menentukan kondisi pulau bahang kota.

Tahun Sumber : Keeling et al. 1989 dalam IPCC 2007

Sumber : Brohan et al. (2006), Smith and Reynolds (2005), Hansen et al., (2001) and Lugina et al. (2005) dalam IPCC (2007)

(38)

Neraca Radiasi dan Neraca Energi

Arya (2001) menyatakan bahwa neraca radiasi di suatu permukaan ditentukan oleh radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang yang datang dan yang keluar. Radiasi neto merupakan radiasi yang datang dikurangi dengan radiasi yang keluar. Persamaan neraca radiasi dan neraca energi disajikan pada persamaan berikut :

RS↓ (1 –α) + RL↓ - RL↑ = RN = H + HL + HG + ΔHS

Keterangan : RS↓ : Radiasi gelombang pendek yang masuk

α : Albedo

RL↓ : Radiasi gelombang panjang yang datang RL↑ : Radiasi gelombang panjang yang keluar RN : Radiasi neto

H : Panas terasa (sensible heat) HL : Panas laten (latent heat) HG : Flux panas permukaan

ΔHS : Perubahan panas tersimpan (energy storage)

Berdasarkan persamaan tersebut, radiasi neto dipengaruhi oleh albedo dari permukaan. Albedo merupakan perbandingan antara jumlah radiasi surya gelombang pendek (3-2 µm) yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan radiasi gelombang pendek yang diterima permukaan tersebut (Geiger et al. 1961). Energi dari radiasi neto terbagi menjadi beberapa energi yaitu energi panas terasa, panas laten, flux panas permukaan dan perubahan panas tersimpan.

Berdasarkan persamaan neraca radiasi dan neraca energi (Arya 2001), maka area yang didominasi oleh vegetasi akan menyebabkan nilai HL (energi yang digunakan untuk evapotranspirasi) dan ΔHS (energi yang digunakan untuk fotosintesis) tinggi, sedangkan nilai H dan HG, sehingga suhu udara menjadi rendah. Sebaliknya area area yang didominasi oleh lahan terbangun menyebabkan nilai H dan HG tinggi karena radiasi neto digunakan untuk memanaskan permukaan dan memanaskan udara (panas terasa). Kondisi ini menyebabkan suhu udara tinggi.

(39)

neto akan semakin tinggi (sebagai contoh benda berwarna hitam) sehingga suhu permukaan dan udara di sekitarnya semakin tinggi.

Radiasi neto yang diserap suatu benda akan dikonduksikan (HG), sehingga kapasitas panas suatu benda akan sangat menentukan suhu benda tersebut. Dengan energi yang sama dari radiasi surya yang sampai pada suatu permukaan, akan mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang berbeda, karena suatu benda mempunyai nilai albedo, konduktivitas dan kapasitas panas yang berbeda-beda. Permukaan berupa tanah, rumput, ataupun aspal dan beton mempunyai konduktivitas panas dan kapasitas panas yang berbeda. Radiasi surya yang jatuh pada permukaan tersebut akan menyebabkan variasi suhu yang berbeda. Radiasi yang jatuh pada permukaan berupa aspal dan beton menyebabkan suhu udara di sekitarnya lebih tinggi dibandingkan jenis permukaan yang lain karena kapasitas panas pada aspal dan beton lebih rendah (Mather 1974).

Area perkotaan modern, biasanya memiliki lahan terbangun (bangunan-bangunan beton serta jalan-jalan beraspal) yang mendominasi area tersebut. Karakteristik kota seperti ini akan mempengaruhi keseimbangan energi dan kondisi suhu udara perkotaan. Atap yang gelap, bangunan beton, dan jalan-jalan beraspal di perkotaan, memiliki albedo yang rendah sehingga lebih banyak menyerap radiasi surya. Penyerapan radiasi surya menyebabkan peningkatan suhu udara, sehingga area perkotaan memiliki suhu udara yang relatif lebih tinggi dibandingkan area perdesaan yang masih didominasi oleh ruang terbuka hijau.

Penelitian Xiao dan Weng (2007) mengenai pengaruh jenis penutupan lahan serta perubahan penutupan lahan terhadap suhu udara di Kota Guiyang, Anshun, Qingzheng, dan Pingba County, menunjukkan bahwa peningkatan lahan terbangun di empat kota tersebut yang terjadi dari tahun 1991 sampai 2001, menyebabkan peningkatan suhu udara dan berakibat semakin lebarnya perbedaan suhu udara antara area perkotaan (area dengan dominansi lahan terbangun) dengan perdesaan (area yang didominasi ruang terbuka hijau). Perbedaan suhu udara antara area perkotaan dengan perdesaan yang signifikan terdapat di Kota Guiyang dan Qingzheng karena kedua kota tersebut mengalami peningkatan lahan terbangun dengan laju yang lebih tinggi dibandingkan dua kota yang lain.

(40)

dibandingkan daerah sekelilingnya. Peningkatan suhu sebesar 1 K saja menyebabkan permintaan listrik untuk energi pendingin udara meningkat 2-4 %.

Kaitan antara perluasan lahan terbangun dengan peningkatan suhu udara juga ditemukan dalam penelitian Tursilowati (2002) yang menunjukkan adanya perluasan pulau bahang kota di beberapa kota di Indonesia akibat adanya peningkatan luas lahan terbangun. Di Bandung teramati pulau bahang kota (daerah dengan suhu tinggi 30-35 °C) pada kawasan terbangun di pusat kota mengalami perluasan kira-kira 12.606 ha atau 4.47% per tahun, sedangkan di Semarang 12.174 ha atau 8,4% per tahun, dan di Surabaya 1.512 ha atau 4,8% per tahun. Pertumbuhan kawasan terbangun di Bandung per tahun kurang lebih 1.029 ha (0,36%), Semarang 1.200 ha (0,83%), dan Surabaya 531,28 ha (1,69%).

Penelitian lain mengenai pulau bahang kota adalah yang dilakukan oleh Weng dan Yang (2004) di Kota Guangzhou, Cina Selatan. Berdasarkan analisis peng-inderaan jauh, didapat informasi bahwa penutupan lahan sangat berpengaruh terhadap terbentuknya pulau bahang kota. Berdasarkan analisis data suhu permukaan pada tanggal 29 Agustus 1997, terukur suhu permukaan terendah terdapat pada penutupan lahan hutan (29,88 °C), diikuti dengan lahan pertanian (30,96 °C) dan suhu per-mukaan tertinggi terukur pada tanah tandus (32,94 °C). Hasil penelitian Weng dan Yang (2004) juga menyebutkan bahwa akibat perkembangan kota dan peningkatan lahan terbuka, menyebabkan suhu udara perkotaan meningkat dari 22,50 °C pada tahun 1989 menjadi 34,75 °C pada tahun 1997.

Sarkar (2004) juga meneliti kaitan fenomena pulau bahang kota dengan perubahan dan kerapatan tutupan lahan dengan menggunakan remote sensing dan GIS (Geographic Information System). Tutupan lahan yang dijadikan variabel bebas adalah vegetasi, bangunan, jalan, lahan basah dan lahan terbuka. Nilai tutupan lahan ditentukan oleh nilai sampel dari gambar satelit. Urban heat island dianalisis dengan menggunakan composite band (6 red, 4 green dan 4 blue). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa urban heat island (pulau bahang kota) merupakan masalah yang timbul akibat adanya perkembangan kota yang diakibatkan adanya peningkatan luas lahan terbangun dan semakin berkurangnya ruang terbuka hijau.

(41)

heat flux) dan H (sensible heat flux). Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa titik kritis pengurangan ruang terbuka hijau untuk Kota Jakarta, Kota dan Kabupaten Bogor adalah sebesar 30%, artinya setiap pengurangan ruang terbuka hijau yang melampaui batas tersebut maka akan mengakibatkan kenaikan suhu udara dengan laju dua kali lipat dibandingkan dengan pengurangan ruang terbuka hijau di bawah 30%. Hal sama berlaku untuk Kota dan Kabupaten Tangerang yang mempunyai batas kritis pengurangan ruang terbuka hijau yang lebih kecil yaitu 15 dan 20%, sementara Kota dan Kabupaten Bekasi pada batas kritis yang lebih besar hingga 35%. Rata-rata wilayah JABOTABEK (Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi) mempu-nyai titik kriitis pengurangan ruang terbuka hijau sebesar 28%

Evaporasi dan Evapotranspirasi Berbagai Jenis Penutupan Lahan

Evaporasi adalah transfer massa uap air dan energi dari suatu permukaan ke atmosfer (penguapan). Sedangkan transpirasi adalah kehilangan air dari vegetasi melalui proses penguapan. Evapotranspirasi adalah kombinasi diantara evaporasi dan transpirasi (Mather 1974). Evaporasi dan transpirasi selain ditentukan oleh faktor iklim (radiasi, suhu udara, kelembaban udara, perbedaan tekanan udara, angin) juga ditentukan oleh jenis vegetasi.

Vegetasi mempengaruhi suhu udara selain karena mempunyai nilai albedo tersendiri yang menentukan pemantulan dan penyerapan radiasi surya, juga karena vegetasi melakukan proses evapotranspirasi. Area perdesaan dengan persentase ruang terbuka hijau yang masih tinggi, maka radiasi surya yang sampai permukaan selain dikonduksikan juga digunakan untuk evapotranspirasi sehingga suhu permukaan serta suhu udara di sekitarnya lebih rendah. Oleh karena itu vegetasi memainkan peranan yang signifikan dalam mengurangi jumlah radiasi balik termal ke atmosfir, menurunkan suhu udaradan terbukti efektif menekan efek pulau bahang.

(42)

2.4. Ruang Terbuka Hijau

2.4.1. Pengertian Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau sangat menentukan kondisi pulau bahang kota, terutama berperan dalam mengurangi gas CO2 melalui proses fotosintesis, serta dalam proses evapotranspirasi yang mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan suhu udara perkotaan. Pengertian ruang terbuka hijau berdasarkan UU Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Berdasarkan PP Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008, dijelaskan bahwa salah satu strategi pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung adalah dengan penetapan ruang terbuka hijau minimal 30% dari luas kawasan perkotaan. Sedangkan kawasan perkotaan menurut UU RI No. 26 Tahun 2007 adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

2.4.2. Hutan Kota sebagai Bagian dari Ruang Terbuka Hijau

Hutan kota adalah bagian dari ruang terbuka hijau. Hutan kota menurut Irwan (2008) adalah komunitas vegetasi berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol (menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan menimbulkan lingkungan sehat, nyaman dan estetis. Sedangkan Grey dan Deneke (1978), hutan kota merupakan kawasan vegetasi berkayu yang luas, terbuka bagi masyarakat umum, mudah dijangkau oleh penduduk kota, dan dapat memenuhi fungsi perlindungan kelestarian tanah, tata air, ameliorasi iklim, penangkal polusi udara, kebisingan dan lain-lain. Peraturan Pemerintah No.63 Tahun 2002 tentang hutan kota, dinyatakan bahwa luasan hutan kota sekurang-kurangnya 10% dari luas kota.

(43)

penapis bau, mengatasi penggenangan, mengatasi intrusi air laut, ameliorasi iklim, pengelolaan sampah (sebagai penyerap dan penyekat bau, pelindung tanah dari dekomposisi sampah, penyerap zat berbahaya), pelestarian air tanah, penapis cahaya silau. Selain itu hutan kota berperan dalam meningkatkan keindahan, sebagai habitat burung, mengurangi stres, mengamankan pantai terhadap abrasi, meningkatkan industri pariwisata dan sebagai hobi dan pengisi waktu luang.

Bentuk dan Struktur Hutan Kota

Hutan kota dapat dikelompokkan berdasarkan bentuk dan strukturnya. Bentuk hutan kota dibedakan berdasarkan bentuk sebarannya yaitu bergerombol, menyebar, dan memanjang (jalur). Menurut Irwan (2008), berdasarkan bentuknya hutan kota dibedakan menjadi tiga yaitu :

1. Bentuk bergerombol atau menumpuk, yaitu vegetasi yang terkonsentrasi pada satu areal dengan jarak tanam rapat dan tidak beraturan.

2. Bentuk menyebar, adalah hutan kota yang tidak mempunyai pola tertentu, vegetasi tumbuh menyebar, terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau gerombol-gerombol kecil.

3. Bentuk jalur, vegetasi tumbuh pada lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung mengikuti bentukan sungai, jalan, pantai, saluran dan sebagainya.

Selain berdasarkan bentuknya, hutan kota dikelompokkan berdasarkan strukturnya yang dibedakan menurut strata (lapisan) tajuk (Irwan 2008). Menurut strukturnya, hutan kota dibedakan menjadi dua kelompok yaitu :

1. Hutan kota berstrata dua, yaitu komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput atau penutup tanah lain.

2. Hutan kota berstrata banyak, komunitas tumbuh-tumbuhan yang terdiri dari pepohonan dan rumput, juga terdapat semak, terna, liana, epifit, ditumbuhi banyak anakan dan penutup tanah, jarak tanaman rapat tidak beraturan dengan strata, serta komposisi mengarah meniru komunitas tumbuh-tumbuhan hutan alam.

(44)

O2, sehingga dengan menghitung kemampuan vegetasi dalam menghasilkan O2 per satuan luas, maka didapat kebutuhan luas hutan kota sesuai dengan kebutuhannya terhadap O2.

Dahlan (2007) menganalisis kebutuhan hutan kota berdasarkan perannya sebagai sink gas CO2 anthropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik. Model yang dibuat didasarkan pada emisi CO2 yang dihasilkan Kota Bogor dari tahun ke tahun, dan didasarkan atas daya rosot gas CO2 vegetasi. Dari model ini Dahlan (2007) dapat memprediksi kebutuhan luas hutan kota sampai tahun 2100.

2.4.3. Fungsi Ruang Terbuka Hijau

Proses fotosintesis yang terjadi pada vegetasi, selain memerlukan air (H2O) dan radiasi matahari serta klorofil, juga membutuhkan CO2. Dalam proses fotosintesis dihasilkan karbohidrat yang kemudian disebarkan serta tersimpan di seluruh bagian vegetasi (daun, batang, ranting, akar, bunga, buah). Proses penyimpanan (penimbunan) karbohidrat (C6H12O6) yang terdiri dari karbon ini disebut dengan proses sekuestrasi (C-sequestration). Oleh karena itu ruang terbuka hijau termasuk hutan kota, mempunyai fungsi sebagai rosot karbon (penyimpan karbon). Bernatzky (1978) menjelaskan, bahwa satu hektar areal yang ditanami pohon, semak dan rumput dengan luas daun kurang lebih 5 hektar, dapat menyerap 900 kg CO2 dari udara dan melepaskan 600 O2 dalam waktu 2 jam.

Dahlan (2004) menyatakan bahwa dengan membangun kota kebun bernuansa hutan kota, dapat meningkatkan kesehatan lingkungan. Kualitas lingkungan akan meningkat karena vegetasi mempunyai fungsi sebagai penyerap dan penjerap partikel logam dari industri, penyerap dan penjerap partikel timbal dari kendaraan bermotor dan penyerap dan penjerap debu semen. Selain itu vegetasi juga dapat menyerap gas beracun dan gas karbon dioksida. Brack (2002) menyatakan bahwa hutan kota berfungsi sebagai kontrol refleksi (silau) dari radiasi yang sampai permukaan perkotaan, peredam kebisingan, absorbsi polutan udara, serta dapat menjadi habitat satwaliar.

(45)

rendah di dekat permukaan akan menyebabkan pemanasan udara juga menurun sehingga suhu udara juga akan turun.

Chang et al. (2007) melakukan pengukuran suhu udara di 61 titik di Kota Taipei. Hasil pengukuran itu menunjukkan bahwa suhu udara di ruang terbuka hijau 0,81 K lebih rendah dibandingkan dengan area terbuka tanpa vegetasi. Fungsi vegetasi dalam penurunan suhu udara juga dibuktikan oleh Nichol dan Wong (2005) dalam penelitiannya dengan menggunakan 3D virtual reality model di Kota Hongkong. Berdasarkan penelitian tersebut diketahui bahwa area perkotaan yang didominasi oleh gedung-gedung yang rendah, suhu udaranya 6 °C lebih tinggi dibandingkan dengan area perkotaan bervegetasi. Dalam penelitian ini juga dibandingkan suhu udara di area yang mendapat bayangan (naungan) dari gedung-gedung tinggi. Suhu udara di area yang ternaungi gedung tinggi tersebut tetap lebih tinggi jika dibandingkan dengan area bervegetasi. Nichol dan Wong (2005) menyimpulkan bahwa penurunan suhu udara lebih ditentukan oleh vegetasi daripada naungan gedung-gedung tinggi.

Kemampuan vegetasi khususnya hutan kota dalam menurunkan suhu udara, dipengaruhi oleh bentuk dan struktur dari hutan kota tersebut. Irwan (2008), menyatakan bahwa hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua yang berbentuk jalur, dapat menurunkan suhu udara sebesar 1,43 % dan menaikkan kelembaban udara 1,77 %, sedangkan yang berbentuk menyebar menurunkan suhu udara 3,60 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 % , dan yang berbentuk bergerombol menurunkan 3,18 % dan menaikkan kelembaban udara 2,20 %. Irwan (2008) juga menyebutkan bahwa hutan kota berstrata banyak dengan bentuk menyebar, dapat menurunkan suhu udara sebesar 2,28 % dan menaikkan kelembaban udara 4,77 % , sedangkan yang berbentuk bergerombol menurunkan suhu udara 3,04 % dan kelembaban udara 2,20 %.

Gambar

Gambar 3  Rata-rata CO2 di Hawai.
Gambar 5  Tiga wilayah penelitian di Kabupaten Bandung.
Tabel 1  Bahan dan peralatan penelitian
Gambar 7  Peta wilayah administrasi Kabupaten Bandung.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian Deis dan Giroux (1992) dalam Alim, dkk (2007) melakukan penelitian tentang empat hal dianggap mempunyai hubungan dengan kualitas audit, yaitu (1) lama waktu auditor

Tabel di atas menunjukkan nilai T hitung sebesar 10.922 lebih besar dari T tabel sebesar 2.144, nilai signifikansi sebesar 0.000 lebih kecil dari 0.05 dan nilai koefisien

Dengan terbuktinya DAU dapat mempengaruhi kenaikan PDRB secara signifikan, maka diharapkan Pemerintah dapat meningkatkan potensi daerah melalui kegiatan ekonomi dan yang

Data yang diukur meliputi data suhu dan kelembaban ruang pengasapan, berat ikan, berat bahan bakar awal dan akhir pengasapan, kadar air ikan awal dan akhir pengasapan.. Data

Kegiatan selamatan pupak puser dilakukan oleh orang tua bayi yang dilaksanakan di rumah, dengan mengundang tetangga sekitar rumah, acara berlangsung setelah

Segala puji syukur penulis panjatkan terhadap kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat, nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya

Rumah sakit mengelola data dan informasi klinis serta manajerial. Terdapat regulasi tentang pengelolaan data dan informasi. Data serta informasi klinis dan manajerial