• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keragaman genetik dan adaptabilitas gandum (Triticum aestivum L ) introduksi di lingkungan tropis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Keragaman genetik dan adaptabilitas gandum (Triticum aestivum L ) introduksi di lingkungan tropis"

Copied!
83
0
0

Teks penuh

(1)

KERAGAMAN GENETIK DAN ADAPTABILITAS

GANDUM (

Triticum aestivum

L.) INTRODUKSI

DI LINGKUNGAN TROPIS

RAHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASINYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul “Keragaman Genetik dan Adaptabilitas Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi di Lingkungan Tropis” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2011

(3)

ABSTRACT

RAHMAH. Genetic Variation and Adaptability of Introduced Wheat (Triticum aestivum L.) Varieties in Tropical Conditions. Supervised by YUDIWANTI WAHYU and DESTA WIRNAS.

The objective of this study was to obtain information on genetic variabilitiy and adaptability of introduced wheat varieties in tropical conditions. The research was carried out at field station research of Balithi, Cipanas and Biotrop, Bogor, Indonesia in May 2010 - February 2011. Genetic material tested was the Oasis/Skauz//4*BCN var -28, HP 1744, Laj/Mo88, and Rabe/M88 (introduced from Turkey), Basribey, Alibey, and Menemen (introduced from India), 21, G-18 and H-2 (introduced from CIMMYT), and Selayar and Dewata (national varieties) as check varieties. The results showed that plant height, panicle length, spikelet number, grain weight per panicle and 1000 grain weight had high heritability value. Genotype (G), location (L), and the interaction GXL had significant effect on grain weight. Grain weight variation of introduced wheat varieties was mainly due to interaction between genotype and location. Based on the regression coefficient, Rabe/Mo88 showed good adaptation in the highland (Cipanas), whereas Oasis/Skauz //4 * BCN var-28 had good adaptation in the lowland (Bogor). The first bilinear AMMI model accounted 93.6% variation. Biplot analysis showed that Menemen, Basribey, Alibey, and Selayar classified as stable varieties with high yields, whereas Laj/Mo88 was stable with lower yield than the average yield of all locations. G-18 adapted well in Manado and G-21 to adapt well in Muneng. There was no superior genotype in all locations.

(4)

RINGKASAN

RAHMAH. Keragaman Genetik dan Adaptabilitas Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi di Lingkungan Tropis. Dibimbing oleh YUDIWANTI WAHYU dan DESTA WIRNAS.

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan serealia dari famili Gramineae (Poaceae) yang berasal dari daerah subtropis. Di daerah tropis seperti Indonesia, gandum dapat tumbuh baik di daerah dataran tinggi ( > 700 m dpl), namun lahan yang tersedia di dataran tinggi sangat terbatas dan umumnya sudah digunakan untuk tanaman hortikultura yang bernilai ekonomi tinggi. Disamping itu masih sedikit materi genetik yang dapat beradaptasi di lingkungan tropis, sehingga diperlukan kegiatan pemuliaan melalui uji adaptasi genotipe-genotipe gandum yang mampu beradaptasi pada ketinggian < 700 m dpl. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan memperoleh genotipe gandum introduksi yang mampu beradaptasi di dataran tinggi dan dataran rendah di lingkungan tropis Indonesia.

Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu ketinggian 1100 m dpl di kebun Balithi Cipanas, Jawa Barat dan ketinggian 250 m dpl di kebun Biotrop-Bogor, Jawa Barat, dilaksanakan mulai Mei 2010 hingga Februari 2011. Data percobaan dua lokasi lain yaitu Muneng, Probolinggo, Jawa Timur (50 m dpl) dan Manado, Sulawesi Utara (900 m dpl) merupakan data sekunder untuk analisis stabilitas. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan. Pada tiap lokasi materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 genotipe gandum introduksi yaitu dari India: Oasis/Skauz//4*BCN, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, dari Turki: Basribey, Alibey dan Menemen, dari CIMMYT: G-21, G-18 dan H-2, dan dua varietas unggul nasional sebagai pembanding yaitu Selayar dan Dewata.

Penentuan daya adaptas dilakukan dengan menggunakan analisis parameter genetik, stabilitas Finlay dan Wilkinson, AMMI serta indeks sensitivitas terhadap suhu tinggi yang didasarkan pada beberapa karakter. Hasil analisis menunjukkan nilai heritabilitas yang tinggi pada karakter tinggi tanaman, panjang malai, jumlah spiklet, bobot biji per malai dan bobot 1000 biji. Berdasarkan Finlay dan Wilkinson, Rabe/Mo88 beradaptasi baik di dataran tinggi (Cipanas), Oasis/Skauz//4*BCN Var-28 beradaptasi baik pada dataran rendah (Bogor). Model bilinier AMMI untuk data hasil genotipe gandum mampu menjelaskan interaksi genotype x lingkungan sampai 93.6%. Biplot menunjukkan bahwa Menemen, Basribey, Alibey, dan Selayar stabil dengan hasil yang tinggi, sedangkan Laj/Mo88 stabil dengan hasil lebih rendah dibandingkan hasil rata-rata di semua lokasi. Genotipe G-18 beradaptasi baik di Manado, sedangkan G-21 beradaptasi baik di Muneng. Tidak ada genotipe yang unggul di semua lokasi.

Berdasarkan indeks sensitivitas terhadap suhu tinggi pada karakter bobot biji/petak didapatkan dua genotipe yang toleran yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28 dan G-18. Genotipe yang medium toleran adalah HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, H-21, G-21, Menemen, Basribey, Alibey, dan Selayar. Tidak ada genotipe yang peka.

(5)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

KERAGAMAN GENETIK DAN ADAPTABILITAS

GANDUM (

Triticum aestivum

L.) INTRODUKSI

DI LINGKUNGAN TROPIS

RAHMAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Keragaman Genetik dan Adaptabilitas Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi di Lingkungan Tropis

Nama : Rahmah

NIM : A253090071

Program Studi : Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu. E.K, MS Dr. Desta Wirnas, SP, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr

(9)

PRAKATA

Bismillaahirrahmaanirrahiimi

Alhamdulillah, puji syukur yang tak terhingga penulis haturkan kepada Allah

SWT atas pertolongan, kemudahan dan karuniaNya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis dengan judul “Keragaman Genetik dan

Adaptabilitas Gandum (Triticum aestivum L.) Introduksi di Lingkungan Tropis”

sebagai syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana di Institut

Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan jazakumullahu khairan katsira’ kepada berbagai pihak

yang telah memberikan perhatian, kasih sayang, semangat, motivasi, bimbingan,

pengarahan, dan doa selama kegiatan penelitian dan penulisan tesis ini, serta selama

penulis menempuh masa studi di IPB:

1. Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu, E.K, MS dan Dr. Desta Wirnas, SP, MSi selaku

komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberikan saran,

bimbingan dan arahan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.

2. Kepada Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc selaku Ketua Mayor Pemuliaan dan

Bioteknologi Tanaman, Dr. Ir. Rahmi Yunianti, SP.MSi selaku penguji pada

ujian tesis beserta semua staf pengajar yang telah mencurahkan ilmunya selama

menempuh pendidikan serta Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang

Pertanian yang telah membiayai penelitian ini hingga selesai.

3. Ayahanda H. Badaruddin Gassing dan ibunda Hj. Siti Hamsinah, terima kasih

yang tulus dan hormat yang sangat mendalam atas segala doa, bantuan moril

dan kasih sayang yang diberikan selama ini.

4. Kepada kakanda Ir. H.Nasaruddin MS/H.Agustini, Drs. Ansar/Dra. Bungadia,

Drs. Adnan MSc/Dra. Marliyah, Dr. Ir. Muh. Farid, MP/Ir. Darpenidar, Dra.

Wahidah Masnani M.Hum/Drs. Alwi M.Hum, Sitti Naimah Masyhar, S.Si

Apt/Ahmad Munatsir, ST, Hamsurijal ST/Jumriani Mustafa, SKM, Abdul

Malik Musafir ST, MT/Halimah SP MS, Aminnur, SP MSi/ Suminarti, S.Sos

MA, Fatimah, S.Si M.Si serta semua keponakanku yang tidak dapat penulis

(10)

5. Teman-teman kost, Mba Elly, Mba Tini, Ima, Yuni, Mirza dan Anita.

Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

6. Kelurga besar Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman ’09, Karlina, Nila,

Winda, Vitri, Vina, Juwartina, Deni, Asep, Nur Arifin, Jose, Purbo, Yogo,

Erwin dan Constantin.

7. Sahabat-sahabat dakwahku, Intan, Ija, Inna, Lisa, Yusroh, Devi, Vivi,

Fanny, Rifah, Winny, dan Mega. Semoga kita senantiasa selalu dalam

keistiqomahan dalam berdakwah.

8. Untuk Lazim Sofi, SP dan keluarga, terima kasih atas segala doanya.

9. Kepada semua pihak yang karena keterbatasan tempat tidak dapat

disebutkan satu per satu.

Akhirnya dengan segenap kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil

penelitian yang tertuang dalam tesis ini dapat memberikan manfaat bagi para

pembacanya.

Bogor, Juni 2011

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pattiro Bajo, Kabupaten Bone Sulawesi Selatan pada

tanggal 20 Mei 1981 dari ayah H. Badaruddin Gassing dan Ibu Hj. Siti Hamsinah.

Penulis merupakan anak ke sebelas dari sebelas bersaudara.

Pendidikan Dasar dan Menengah ditempuh dan diselesaikan berturut-turut

di SD Inpres 10 Pattiro Bajo, SMPN 1 Pattiro Bajo, kemudian pada tahun 1996

melanjutkan ke SMU Negeri 2 Watampone.

Tahun 1999, penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan studi

pada Program Diploma Tiga Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian

Universitas Hasanuddin, Makassar. Kemudian melanjutkan ke jenjang Sarjana

pada tahun 2003 di universitas yang sama dan lulus tahun 2005. Tahun

2007-2009 penulis diberikan amanah untuk menjadi guru di SMP Islam Terpadu

Ar-Rahmah. Pada tahun 2009, penulis diterima di Program Studi Pemuliaan dan

(12)

DAFTAR ISI

Tujuan Penelitian ... Kerangka Pemikiran ... Hipotesis Penelitian ...

TINJAUAN PUSTAKA ...

Asal Usul dan Biologi Gandum ... Budidaya Gandum ... Pemuliaan Gandum ... Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Gandum ... Interaksi Genotipe x Lingkungan .…... Stabilitas dan Adaptabilitas ...

BAHAN DAN METODE ...

Waktu dan Tempat ... Bahan Penelitian ... Metode Penelitian ... Analisis data ...

HASIL DAN PEMBAHASAN ...

(13)

DAFTAR TABEL

Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi gandum introduksi pada masing-masing lokasi ...…...

Analisis ragam gabungan menggunakan model acak …...

Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis ………...

Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis …...

Rata-rata komponen hasil genotipe gandum di lingkungan tropis …………..

Rata-rata karakter morfologi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis ..………...

Analisis ragam pengaruh genotipe (G), lokasi (L), dan interaksi G x E pada karakter agronomi dan morfologi gandum di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) ………...

Rata-rata gabungan karakter agronomi dan morfologi gandum di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) ………...

Parameter genetik karakter agronomi dan morfologi genotipe gandum di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) ………...

Indeks sensitivitas terhadap suhu tinggi genotipe gandum di lingkungan tropis (Cipanas vs Bogor) ………...

Analisis ragam gabungan karakter hasil genotipe gandum introduksi di empat lokasi (Bogor, Cipanas, Manado, dan Muneng)...

Rata-rata karakter hasil (ton ha-1) genotipe gandum yang diuji pada empat lokasi ...

Rata-rata hasil, koefisien regresi, dan simpangan regresi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis ...

Analisis ragam model AMMI ... 40

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1

2

3 4

5

6

Bagan alir penelitian...

Keragaan pertanaman gandum di Bogor dan Cipanas…….…………....

Keragaan gandum varietas Dewata di Bogor dan Cipanas ..………….

Keragaan biji gandum di Bogor dan Cipanas ………..

Kurva respon hasil genotipe gandum di lingkungan tropis (Cipanas, Bogor, Manado, dan Muneng) ………..………

Biplot pengaruh interaksi model AMMI untuk data hasil genotipe gandum dengan kesesuaian model 93.6% …………...

4

23

24

29

38

(15)

Halaman

1

2

3

4

5

Rata-rata temperatur, kelembaban, curah hujan, dan lama penyinaran tahun 2010 ………

Hasil analisis contoh tanah………

Deskripsi gandum ………...………..

Analisis ragam karakter agronomi dan morfologi gandum masing-masing lokasi ……...………..

Analisis ragam gabungan karakter agronomi dan morfologi gandum di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor)………...

50

54

54

55

(16)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan serealia dari famili Gramineae

(Poaceae) yang berasal dari daerah subtropis. Salah satu keunggulan gandum

adalah kandungan gluteinnya yang mencapai 80%. Glutein adalah protein yang

bersifat kohesif dan liat sehingga bahan pangan yang mengandung glutein banyak

digunakan untuk membuat roti, tepung, produk bahan baku (cake, cookies,

crackers, pretzel), roti tanpa ragi, semolina, bulgar dan sereal. Selain kandungan

glutein yang tinggi, komposisi nutrisi gandum juga lebih baik dibanding

komoditas lainnya. Sebagai contoh, kandungan protein pada gandum mencapai

13%, sedangkan pada padi 8%, jagung 10%, dan barley 12%. Kandungan

karbohidrat gandum mencapai 69%, sedangkan padi 65% dan barley 63%.

Keragaman penggunaan, kandungan nutrisi dan kualitas penyimpanannya yang

tinggi menjadikan gandum sebagai bahan makanan pokok lebih dari sepertiga

populasi dunia (Porter 2005).

Permintaan terhadap gandum dunia sampai tahun 2020 diperkirakan

meningkat sebesar 1.6% per tahun. Di negara-negara berkembang peningkatan

permintaan gandum diperkirakan mencapai sekitar 2% per tahun. Untuk

memenuhi kebutuhan tersebut diperlukan peningkatan produksi gandum dua kali

dari rata-rata produksi gandum dunia saat ini. Laju peningkatan produksi gandum

pada saat ini masih terlalu rendah untuk dapat memenuhi kebutuhan gandum di

masa depan (Reynolds2002).

Kebutuhan gandum dalam bentuk tepung terigu di Indonesia meningkat

setiap tahun sejalan dengan perkembangan ekonomi dan jumlah penduduk.

Konsumsi terbesar adalah 40% untuk kebutuhan industri skala rumah tangga, 25%

untuk industri roti, 20% industri mie instant, serta 15% untuk industri kue dan

biskuit. Konsumsi terigu Indonesia meningkat sangat signifikan dari 9.9 kg per

kapita pada tahun 2002, menjadi 17.11 kg per kapita pada tahun 2007 atau sekitar

12% dari konsumsi pangan Indonesia. Tahun 2009 konsumsi terigu mencapai 17.7

(17)

tahun diperkirakan mencapai 3.8 juta ton. Dengan demikian Indonesia kini

menjadi negara pengimpor gandum terbesar kelima dengan total impor 4.5 juta

ton/tahun dan angka ini terus meningkat dengan laju 2.6 %/tahun (Loppies 2010).

Sovan (2002) menyatakan bahwa untuk menekan impor gandum,

Indonesia perlu melakukan upaya untuk memproduksi gandum dalam negeri.

Produksi gandum dalam negeri perlu didukung oleh ketersediaan varietas gandum

dan penerapan teknologi budidaya yang sesuai dengan kondisi agroklimat di

Indonesia. Varietas yang sesuai di Indonesia dapat diperoleh dengan

mengadaptasikan gandum subtropis di lingkungan tropis Indonesia.

Hasil penelitian membuktikan bahwa tanaman gandum dapat tumbuh dan

berproduksi dengan baik di Indonesia serta mempunyai peluang untuk

pengembangannya, namun perlu diperhatikan pengaruh suhu, terutama curah

hujan yang menyebabkan naiknya intensitas penyakit terutama menjelang panen

(Azwar et al. 1988). Hasil gandum di Lembang, Jawa Barat (1100 m dpl)

mencapai 3.34 ton ha-1, varietas Nias di Malino dapat menghasilkan 5.37 ton ha-1

pada 2001 dan gandum yang ditanam di daerah Cangar, Jawa Timur (1700 m dpl)

pada musim kemarau tahun 2000 mampu memproduksi hasil biji sebesar 3.5 – 4.0

ton ha-1 (Dahlan et al. 2003).

Program pengembangan varietas unggul gandum di Indonesia telah

dilakukan sejak tahun 1985. Kegiatan penelitian meliputi evaluasi plasma nutfah

dari CIMMYT dan India, pembentukan populasi pemuliaan melalui persilangan,

evaluasi daya hasil pendahuluan dan lanjutan serta uji multilokasi.

Kegiatan-kegiatan penelitian tersebut dilaksanakan di beberapa propinsi di Indonesia,

khusus kegiatan uji multilokasi. Tahun 2003 telah berhasil dirilis varietas baru

gandum yang lebih adaptif pada ketinggian 1000 m dpl yaitu varietas Selayar dan

Dewata (Dahlan et al. 2003).

Gandum dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada beberapa lokasi

di Indonesia, khususnya pada dataran tinggi. Di dataran tinggi tanaman gandum

bersaing dengan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang jauh

lebih tinggi, akibatnya areal pertanaman gandum menjadi terbatas dan tidak

(18)

3

gandum di dataran rendah untuk mendapatkan varietas yang adaptif

(Danakusuma 1985).

Luas lahan yang sesuai untuk pengembangan komoditas gandum dataran

tinggi mencapai 1.972.000 ha, akan tetapi sebagian besar telah digunakan untuk

pengembangan komoditas lainnya seperti sayur-sayuran, namun masih ada

peluang pengembangan tanaman gandum di lahan dataran tinggi seluas 706.500

ha. Lahan seluas tersebut tersebar di beberapa pulau, seperti Sumatera, Sulawesi,

Kalimantan dan Nusi Tenggara Timur (Andyana et al. 2006). Oleh karena itu

perlu dilakukan perakitan varietas gandum yang dapat beradaptasi baik pada

kondisi tropis baik di dataran tinggi maupun dataran rendah untuk meningkatkan

daya saing dan elektabilitas pasar gandum sebagai sumber pangan.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi tentang

daya adaptasi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis Indonesia.

Tujuan khusus penelitian adalah :

1) Memperoleh informasi variabilitas genetik gandum introduksi di lingkungan

tropis Indonesia

2) Memperoleh genotipe gandum introduksi yang dapat beradaptasi pada

dataran tinggi di lingkungan tropis Indonesia

3) Memperoleh gandum introduksi yang dapat beradaptasi pada dataran rendah

di lingkungan tropis Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Lingkungan yang cocok untuk produksi gandum di Indonesia adalah

ketinggiaan 1000-3000 m dpl, namun pada ketinggian tersebut gandum bersaing

dengan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi dari

gandum. Kendala utama yang dihadapi pada adaptasi tanaman gandum di dataran

rendah (< 400 m dpl) adalah cekaman lingkungan yang sangat tinggi, khususnya

cekaman suhu tinggi, dan belum tersedia varietas yang sesuai untuk dataran

(19)

dapat beradaptasi di lingkungan tropis Indonesia, baik untuk dataran rendah

maupun dataran tinggi. Bagan alir penelitian terdapat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir penelitian.

Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini adalah :

1) Terdapat variabilitas genetik yang tinggi dari gandum introduksi di

lingkungan tropis Indonesia

2) Terdapat gandum introduksi yang dapat beradaptasi pada dataran tinggi di

lingkungan tropis Indonesia

3) Terdapat gandum introduksi yang dapat beradaptasi pada dataran rendah di

lingkungan tropis Indonesia.

Gandum

Uji Adaptasi

Ketinggian > 1000 m dpl Ketinggian < 400 m dpl

Studi Keragaman Genetik

Analisis Adaptabilitas

Galur Adaptif Dataran Tinggi Galur Adaptif Dataran Rendah

(20)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul dan Biologi Gandum

Pertanaman gandum telah berkembang sejak 5000 sebelum masehi (SM) di

area sekitar Sungai Nil, dan sejak 3000 SM di Cina. Negara-negara produsen utama

gandum adalah Rusia, USA, Cina, India, Perancis, dan Kanada. Gandum pertama kali

dibudidayakan oleh manusia antara tahun 7500- 6500 SM di daerah Timur Tengah.

Gandum ditemukan dalam artefak kuno Yunani, Persia dan Mesir. Pada tahun 1529,

Spanyol memperkenalkan gandum ke Amerika yang merupakan benua baru dan pada

tahun 1966 Spanyol juga menanamnya di Filipina (Briggle 1980).

Masyarakat prasejarah sudah mengenal sifat-sifat gandum dan tanaman

biji-bijian lainnya sebagai sumber makanan. Berdasarkan penggalian arkeolog,

diperkirakan gandum berasal dari daerah sekitar Laut Merah dan Laut

Mediterania, yaitu daerah sekitar Turki, Siria, Irak, dan Iran. Sejarah Cina

menunjukkan bahwa budidaya gandum telah ada sejak 2700 SM (Hanson 1982).

Gandum termasuk divisi Spermatophyta, kelas Angiospermae, subkelas

Monocotylodenae, ordo Graminae, famili Graminae, dan genus Triticum. Ada tiga

jenis gandum yang dibudidayakan dan secara umum ditanam oleh petani, yaitu

Triticum aestivum (gandum roti), Triticum durum (gandum durum), dan Triticum

compactum (gandum club). Triticum aestivum biasa digunakan sebagai bahan baku

pembuatan roti. Pangsa pasar gandum ini mencakup sekitar 90% dari kebutuhan

gandum dunia. Triticum durum (gandum durum) biasa digunakan sebagai bahan

baku pembuatan makaroni dan mie. Kebutuhan akan gandum ini mencakup sekitar

9% dari kebutuhan gandum dunia. Gandum jenis club (Triticum compactum) hanya

mencakup sekitar 1% dari kebutuhan gandum dunia (Hanson 1982).

Gandum termasuk tanaman herba setahun/semusim dengan karakteristik

alami melakukan penyerbukan sendiri (self-polinated), penyerbukan silang hanya

1-4%. Pembungaan dimulai pada sepertiga bagian tengah malai kemudian

menyebar secara bersamaan ke arah ujung dan pangkal malai. Bunga-bunganya

bermekaran pada pertengahan pagi menjelang siang. Kemampuan reseptif stigma

(21)

Bulir yang berada pada bagian tengah malai dan bagian proksimal dari floret

cenderung membesar. Kondisi masak fisiologis dicapai apabila kandungan

kelembaban dari keseluruhan bulir yang terbentuk telah menurun antara 25-35%

(Ginkel dan Villareal 1996).

Tanaman gandum memiliki batang beruas (6 ruas) dan berongga seperti

tanaman padi. Seperti tanaman graminae lainnya, gandum memiliki akar serabut.

Daun tanaman gandum tumbuh tegak/melengkung (tergantung varietas) dan berbentuk

pita. Daun yang sudah tua akan mengering dan melengkung ke bawah (Stoskoff 1985).

Pembungaan pada gandum bersifat majemuk (Stoskoff 1985). Pada gandum,

kumpulanbunga (spikelets) bertumpuk satu sama lain pada malai. Tiap spikelet terdiri

dari beberapa bulir dan kulit ari (lemma dan palea). Biasanya tiap spikelet akan

menghasilkan dua sampai tiga biji (kernel). Tiap bulir memiliki batang yang sangat

kecil yang disebut rachilla. Pada dasar spikelet terdapat glume yang umumnya halus

dan pada beberapa varietas, glume berambut pendek. Selanjutnya, terdapat lemma dan

palea yang di dalamnya terdapat tiga anther dan dua stigma dengan sebuah ovarium.

Lemma, palea dan keseluruhan alat kelamin (yang nantinya menjadi biji atau kernel)

tersebut merupakan satu kesatuan bunga (floret). Selanjutnya terdapat beberapa floret

sebelum glume terakhir (Phoelman dan Sleper 1995).

Pada umumnya, kernel berbentuk oval dengan panjang 6–8 mm dan diameter

2–3 mm. Seperti jenis serealia lainnya, gandum memiliki tekstur yang keras. Biji

gandum terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kulit (bran), bagian endosperma, dan

bagian lembaga (germ). Bagian kulit dari biji gandum sebenarnya tidak mudah

dipisahkan karena merupakan satu kesatuan dari biji gandum tetapi bagian kulit ini

biasanya dapat dipisahkan melalui proses penggilingan (Kent 1975).

Bran merupakan kulit luar gandum dan terdapat sebanyak 14.5% dari total

keseluruhan gandum. Bran terdiri dari 5 lapisan yaitu epidermis (3.9%), epikarp

(0.9%), endokarp (0.9%), testa (0.6%), dan aleuron (9%). Bran memiliki granulasi

lebih besar dibanding pollard, serta memiliki kandungan protein dan kadar serat tinggi

sehingga baik dikonsumsi ternak besar. Epidermis merupakan bagian terluar biji

gandum, mengandung banyak debu yang apabila terkena air akan menjadi liat dan tidak

(22)

7

tepung terigu agar lapisan epidermis yang terdapat pada biji gandum tidak hancur dan

mengotori tepung terigu yang dihasilkan.

Endosperma merupakan bagian yang terbesar dari biji gandum (80-83%)

yang banyak mengandung protein, pati, dan air. Pada proses penggilingan, bagian

inilah yang akan diambil sebanyak-banyaknya untuk diubah menjadi tepung terigu

dengan tingkat kehalusan tertentu. Pada bagian ini juga terdapat zat abu yang

kandungannya akan semakin kecil jika mendekati inti dan akan semakin besar jika

mendekati kulit (Jones et al. 1967).

Lembaga terdapat pada biji gandum sebesar 2.5-3%. Lembaga merupakan

cadangan makanan yang mengandung banyak lemak dan terdapat bagian yang

selnya masih hidup bahkan setelah pemanenan. Di sekeliling bagian yang masih

hidup terdapat sedikit molekul glukosa, mineral, protein, dan enzim. Pada kondisi

yang baik, akan terjadi perkecambahan yaitu biji gandum akan tumbuh menjadi

tanaman gandum yang baru. Perkecambahan merupakan salah satu hal yang harus

dihindari pada tahap penyimpanan biji gandum. Perkecambahan ini dipengaruhi

oleh beberapa faktor, di antaranya kondisi kelembaban yang tinggi, suhu yang

relatif hangat dan kandungan oksigen yang melimpah.

Budidaya Gandum

Gandum dapat diklasifikasi menjadi gandum keras dan gandum lunak.

Gandum keras tumbuh di daerah arid dan memiliki kandungan protein dalam

bentuk senyawa gluten lebih tinggi dibanding gandum lunak. Gandum keras

menghasilkan strong flour. Tepung ini memiliki tekstur kasar (hard grain), pati,

dan kandungan gluten yang tinggi. Tepung ini memiliki daya serap air yang

cukup tinggi dan cocok digunakan dalam pembuatan roti. Yang termasuk gandum

keras adalah gandum durum (T. durum) yang digunakan dalam pembuatan

macaroni dan mie, serta gandum roti (T. aestivum) yang digunakan dalam

pembuatan roti.

Gandum lunak umumnya tumbuh ketika curah hujan meningkat. Tepung yang

dihasilkan dari gandum lunak memiliki tekstur yang lebih lembut daripada tepung yang

(23)

membuat daya serap terhadap airnya relatif kecil dan lebih banyak digunakan untuk

membuat kue-kue. Gandum lunak banyak dihasilkan di Australia dan Eropa Barat.

Gandum ditumbuhkan umumnya dibelahan bagian utara, 250 dan 600 LU.

Gandum tipe dingin ditanam dimana suhu cukup rendah untuk syarat vernalisasi. Ada

gandum musim semi ditanam selama bulan-bulan dingin, ketika suhu terdingin dan

menguntungkan untuk gandum, tetapi tidak terlalu rendah dimana gandum tipe semi

akan mati (Phoelman dan Sleper 1995).

Di daerah tropis, gandum dapat tumbuh dengan baik pada daerah dataran

tinggi yang bersuhu rendah. Gandum tidak toleran terhadap kekeringan, sensitive

terhadap salinitas tanah, dan tidak dapat tumbuh pada daerah yang hangat dan

memiliki kelembaban tinggi. Berbagai syarat agroklimat ini telah diketahui

sangat mempengaruhi tingkat dan jenis serangan penyakit pada gandum (Ginkel

dan Villareal 1996).

Curah hujan efektif yang dibutuhkan tanaman gandum 825 mm/tahun dengan

ketinggian di atas 800 m dpl (Musa 2002). Gandum juga dapat tumbuh dengan

bantuan irigasi apabila curah hujan sangat minim. Musim kering yang panjang tanpa

irigasi akan menurunkan hasil panen. Gandum yang ditanam di daerah panas dan

kekurangan air produksinya akan lebih rendah walaupun kualitasnya lebih baik

daripada daerah lembab dan beririgasi karena penyakit gandum dapat berkembang

cepat di daerah panas dan lembab.

Pemuliaan Gandum

Pemuliaan gandum bertujuan untuk memperoleh kultivar berpotensi hasil

tinggi, meningkatkan kualitas produk, serta meningkatkan stabilitas hasil

berkaitan dengan upaya untuk mendapatkan kultivar yang seragam, berpotensi

hasil tinggi, serta mampu beradaptasi luas pada berbagai kondisi lingkungan.

Prosedur pemuliaan gandum meliputi introduksi dan koleksi plasmautfah, seleksi

galur murni, dan hibridisasi (Poehlman dan Sleper 1995).

Kegiatan pemuliaan gandum juga diarahkan untuk mengevaluasi keragaan

(performance) pada kondisi kelembaban dan suhu tinggi dikaitkan dengan

serangan penyakit utama (major diseases) seperti Fusarium, karat (rust), smut,

(24)

9

Dasar genetik pemuliaan pada tanaman serealia terhadap toleransi tidak

dikontrol oleh gen tunggal. Pada tanaman gandum seberapa besar heritabilitas

dan jumlah gen yang terlibat dalam toleransi panas masih belum diketahui secara

pasti. Sebagian besar penelitian menunjukkan adanya pengaruh sitoplasma dan

interaksi antara sitoplasma dan inti dalam mengontrol toleransi suhu tinggi, akan

tetapi kesimpulannya terhadap karakteristik genetik sangat bervariasi (Maestri et

al. 2002). Yang et al. (2002), menemukan adanya pengaruh aditif pada

persilangan dialel dari 6 kultivar gandum, selanjutnya ditemukan efek dominan

maupun aditif dalam dua set persilangan full dialel. Beberapa penulis

menyimpulkan bahwa toleransi panas tidak diwariskan secara sederhana dan

masih diperlukan penelitian untuk memahami dasar genetiknya pada gandum.

Selanjutnya dikatakan bahwa toleransi panas pada gandum dikontrol oleh banyak

gen dan diwariskan secara kuantitatif.

Besarnya variabilitas genetik suatu karakter yang timbul dalam suatu

populasi tanaman yang diperbanyak melalui biji dipengaruhi oleh konstitusi gen

yang mengendalikan generasi segregasi dari gen-gen tersebut. Ditinjau dari

konstitusi gen yang mempengaruhi timbulnya variabilitas, dikenal variabilitas

kuantitatif dan variabilitas kualitatif. Variabilitas kuantitatif disebabkan oleh

banyak gen, sedangkan variabilitas kualitatif ditimbulkan oleh gen sederhana

(Crowder 1986).

Variabilitas genetik suatu populasi dapat diketahui dengan mengevaluasi

beberapa sifat pertumbuhan dan hasil. Variabilitas genetik akan sangat

mempengaruhi keberhasilan suatu proses seleksi. Apabila suatu sifat mempunyai

variabilitas genetik yang luas, maka seleksi akan dapat dilaksanakan pada

populasi tersebut. Apabila nilai variabilitas genetik sempit, maka kegiatan seleksi

tidak dapat dilaksanakan karena individu dalam populasi relatif seragam sehingga

perlu dilakukan upaya untuk memperbesar variabilitas genetik (Poepodarsono

1988).

Variasi genetik sifat toleransi terhadap panas atau suhu tinggi ditemukan

pada gandum lokal dan kerabat liarnya. Gandum liar dengan genom D mempunyai

kemampuan untuk bertahan lebih tinggi pada musim panas di daerah temperate

(25)

tanaman gandum heksaploid hasil persilangan Triticum durum x Aegilops tauschii

dan tanaman gandum oktaploid hasil persilangan Triticum aesiticum x Aegilops

logissima dan mendapatkan gandum oktaploid lebih toleran panas dibandingkan

kontrol dan tetua Aegilops aestivum, namun produksinya rendah disebabkan

tingginya sterilitas (Yang et al. 2002).

Parameter seleksi untuk toleransi terhadap suhu tinggi pada tanaman gandum

yaitu hasil dan komponen hasil telah digunakan secara luas sebagai indikator tolerasi

gandum terhadap cekamana panas pada fase akhir pertumbuhan. Namun demikian

penggunaan parameter hasil membutuhkan waktu yang lama dan sumber daya yang

banyak dan hasilnya juga dipertanyakan ketika kriteria tersebut diterapkan pada kultivar

primitif atau landrace yang hasilnya rendah disebabkan kelemahan dari segi genetik

dan fisiologis. Dari beberapa hasil penelitian diperoleh beberapa parameter lain yang

memiliki korelasi yang erat dengan hasil pada kondisi lingkungan bercekaman suhu

tinggi dan dengan sifat toleransi terhadap suhu tinggi seperti indeks sensitivitas,

kandungan klorofil pada daun bendera, Cell Membrane Thermostability (CMS),

pengujian Triphenyl Tetrazolium Chloride (TTC), dan Canopy Temperature

Depression (CTD) (Yang et al. 2002).

Pendugaan variabilitas genetik suatu karakter tanaman sering menjadi

perhatian utama para pemulia tanaman. Variabilitas genetik merupakan landasan

bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbiakan tanaman. Variabilitas

genetik yang luas merupakan syarat berlangsungnya proses seleksi yang efektif

karena akan memberikan keleluasaan dalam proses pemilihan suatu genotipe

(Allard 1960).

Pengaruh Suhu Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Gandum

Gandum merupakan tanaman yang berasal dari lingkungan subtropis,

sehingga untuk mengadaptasikannya di Indonesia membutuhkan lingkungan yang

mirip lingkungan asalnya. Umumnya tanaman pangan tumbuh secara normal

pada kisaran suhu 15-400 C. Jika terjadi peningkatan suhu lingkungan 10 -150C di

atas suhu normal tersebut, maka tanaman akan mengalami kerusakan atau

(26)

11

suhu tinggi (heat stress) sering didefinisikan sebagai kenaikan suhu yang melebihi

ambang kerusakan untuk periode waktu yang cukup lama dan menyebabkan

kerusakan yang tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan

perkembangan tanaman (Ismail dan Hall 1999).

Cekaman suhu serius mengancam produksi tanaman di seluruh dunia,

emisi gas akibat kegiatan manusia secara substansial menambah konsentrasi gas

rumah kaca terutama CO2, metana, dan nitrous oksida, dan klorofluorokarbon.

Model perbedaan sirkulasi global memperkirakan bahwa gas rumah kaca dunia

secara bertahap akan meningkatkan suhu rata-rata dunia. Menurut laporan dari

Inter Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik 0.30C per dekade

mencapai sekitar 10 dan 30C di atas nilai sekarang pada tahun 2025 dan 2100

sehingga menyebabkan pemanasan global (Jones et al. 1999).

Cekaman panas pada fase akhir pertumbuhan (terminal heat stress atau

post-anthesis heat stress) sering menjadi faktor pembatas pada produksi gandum

di beberapa negara (Yang et al. 2002). Pada suhu tinggi laju perkembangan

tanaman meningkat sehingga mengurangi potensi akumulasi biomasa. Secara

umum, pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir pada serealia meliputi

laju perkembangan bulir yang lebih cepat, penurunan berat bulir, biji keriput,

berkurangnya laju akumulasi pati serta perubahan komposisi lipid dan polipeptida

(Stone 2001).

Interaksi Genotipe x Lingkungan

Interaksi genotipe x lingkungan (GxE) bersifat kompleks karena

bervariasinya komponen-komponen faktor lingkungan. Interaksi genotipe x

lingkungan (GxE) merupakan perbedaan yang tidak tetap diantara

genotipe-genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain (Allard

dan Bradsaw 1964). Interaksi tersebut penting diketahui karena dapat

mempengaruhi kemajuan seleksi dan sering menyulitkan dalam pemilihan

varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian varietas. Sejumlah prosedur

statistik telah dikembangkan untuk menganalisis interaksi genotipe x lingkungan

(27)

Cara yang paling umum dilakukan untuk mengenali galur ideal adalah

dengan menguji seperangkat galur harapan pada beberapa lingkungan.

Berdasarkan hasil analisis variansnya, akan diketahui ada tidaknya interaksi

genotipe x lingkungan. Jika tidak terjadi interaksi penentuan galur idealnya akan

sangat mudah dilakukan, yaitu dengan memilih galur-galur harapan dengan rerata

hasil yang tinggi. Namun bila terjadi interaksi, hasil tertinggi pada suatu

lingkungan tertentu belum tentu memberikan hasil tertinggi pula pada lingkungan

yang berbeda. Hal demikian tentunya akan menyulitkan dalam pemilihan

galur-galur-galur ideal dengan stabilitas hasil yang tinggi pada semua lingkungan

(Eberhart dan Russel 1966).

Menurut Nasrullah (1981), bahwa interaksi genotipe dan lingkungan dapat

dipergunakan untuk mengukur stabilitas suatu genotipe, karena stabilitas penampilan

pada suatu kisaran lingkungan tergantung dari besarnya interaksi tersebut. Pada uji

daya hasil galur-galur seringkali terjadi interaksi antara galur dengan lingkungan.

Perbedaan ini dapat mengakibatkan perubahan daya hasil antara suatu tempat dengan

tempat lainnya. Mengingat perbedaan hasil sangat dipengaruhi oleh perbedaan genetik

dan lingkungan, maka perlu memilih galur-galur yang unggul dengan hasil yang stabil

(Sutjihno 1993).

Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tidak akan menjamin suatu genotipe

atau varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua

wilayah ddalam kisaran area yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan

kemungkinan ada atau tidak adanya interaksi antara genotipe atau genotipe-genotipe

tanaman dengan kisaran variasi lingkungan yang luas (Baihaki dan Wicaksono 2005).

Stabilitas dan Adaptabilitas

Interaksi G x E dapat digunakan untuk mengukur stabilitas suatu genotipe

(Nasrullah 1981), karena stabilitas penampilan pada suatu kisaran lingkungan

tergantung dari besarnya interaksi G x E. Stabilitas adalah kemampuan tanaman

untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan.

Stabilitas hasil merupakan karakter yang diwariskan melalui daya saing populasi

yang secara genetik heterogen (Nor dan Cady 1979). Salah satu metode yang

(28)

13

adalah dengan cara melakukan pengujian berulang pada berbagai lingkungan

tumbuh yang bervariasi (Singh dan Chaudhary 1979).

Lin et al. (1986) membagi konsep stabilitas menjadi tiga tipe. Tipe 1 yaitu

suatu genotipe dianggap stabil bila ragam lingkungannya kecil. Stabilitas tipe ini

digunakan oleh Francis dan Kannenbert (1978). Tipe 2 yaitu suatu genotipe

dikatakan stabil jika respon lingkungan parallel terhadap rata-rata respon semua

genotipe percobaan. Diantara peneliti yang menggunakan metode ini yaitu

Plaisted dan Peterson (1959), Plaisted (1960), Shukla (1972), Finlay dan

Wilkinson (1963), Perkin dan Jinks (1968). Tipe 3 yaitu suatu genotipe dikatakan

stabil bila kuadrat tengah sisa model regresi pada indeks lingkungan kecil.

Stabilitas suatu genotipe dapat diukur dengan menggunakan parameter

koefisien keragaman (CVi) (Francis dan Kannenberg 1978). Finlay dan

Wilkinson (1963) menggunakan koefisien regresi sebagai ukuran stabilitas dan

Eberhart dan Russel (1966) menggunakan rata-rata jumlah kuadrat simpangan

regresi. Shukla (1972) menggunakan besaran yang disebut varians stabilitas

untuk menyatakan genotipe yang stabil. Gauch (1992) menggunakan model

AMMI untuk menyatakan genotipe stabil berdasarkan gabungan antara analisis

ragam dan analisis komponen utama.

Adaptabilitas adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri

terhadap kondisi lingkungan pertumbuhannya. Namun dengan analisis interaksi

belum dapat menggambarkan dengan baik tentang tanggapan yang dinamis suatu

genotipe pada lingkungan yang berbeda-beda. Tanggapan genotipe terhadap

lingkungannya dikelompokkan menjadi dua yaitu kelompok yang menunjukkan

kemampuan adaptasi pada lingkungan yang luas berarti interaksi G x E kecil.

Kelompok kedua adalah yang menunjukkan kemampuan adaptasi sempit atau

beradaptasi khusus dan berperagaan baik pada suatu lingkungan tetapi

berperagaan buruk pada lingkungan yang berbeda. Hal ini interaksi G x E besar

(Soemartono dan Nasrullah 1988).

Analisis Regresi Finlay dan Wilkinson (bi)

Parameter stabilitas Finlay dan Wilkinson diduga dengan menggunakan

nilai koefisien regresitiap genotipe (bi). Suatu genotipe dikatakan stabil bila nilai

(29)

Finlay dan Wilkinson (1963) dalam mengukur adaptabilitas dan stabilitas suatu

tanaman berdasarkan koefisien regresi antara hasil rata suatu genotipe dengan

rata-rata umum semua genotipe pada suatu lingkungan dikelompokkan menjadi tiga :

1. Jika bi ≈ 1 maka stabilitasnya adalah rata-rata (average stability). Jika

stabilitasnya rata-rata dan hasilnya rata-rata lebih tinggi dari rata-rata semua

genotipe pada semua lingkungan maka genotipe tersebut memiliki adaptasi umum

yang baik (average adaptability). Sebaliknya jika rata-rata hasil lebih rendah dari

rata-rata umum, maka adaptasinya buruk (poorly adapted) pada semua

lingkungan.

2. Jika bi > 1, maka stabilitasnya berada di bawah rata-rata (below average

stability). Genotipe ini peka terhadap perubahan lingkungan dan beradaptasi

khusus pada lingkungan yang menguntungkan (favorable).

3. Jika bi < 1, maka stabilitasnya berada di atas rata-rata (above average

stability). Genotipe beradaptasi pada lingkungan marginal.

Analisis Stabilitas AMMI

Analisis stabilitas model AMMI biasa diterapkan pada uji daya hasil. Model

AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction) menggabungkan analisis

ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda

dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi. Model AMMI dapat digunakan

untuk menganalisis percobaan lokasi ganda. Asumsi yang mendasari pengujian ini

adalah perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, ragam yang homogen dan galat bebas

(Mattjik dan Sumertajaya 1998).

Gauch (1992) menggunakan model AMMI dengan menyatakan genotipe yang

stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama, dan

Yan (2000) dengan menyatakan genotipe yang stabil dengan model biplot. Model

AMMI secara lengkap:

Ygen = +αg+βe+∑√ nφgnρen+ ge+ gen

Keterangan: g=1,2,…,a; e=1,2,…,b; n=1,2,…,m

Parameter n adalah nilai singular untuk komponen bilinier ke-n.

Pengaruh ganda genotipe ke-g melalui komponen bilinier ke-n dilambangkan

(30)

15

bilinier ke-n. Asumsi-asumsi yang mendasari analisis ragam adalah galat

percobaan menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal dengan ragam

(31)

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2010 hingga Februari 2011.

Penelitian dilaksanakan di dua lokasi yaitu ketinggian 1100 m dpl di kebun

Balithi-Cipanas, Jawa Barat dan ketinggian 250 m dpl Biotrop-Tajur, Bogor.

Bahan Penelitian

Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah 10 genotipe

gandum introduksi dari India (Oasis/Skauz//4*BCN, HP 1744, Laj/MO88,

Rabe/MO88), Turki (Basribey, Alibey, dan Menemen), CIMMYT (G-21, G-18,

dan H-21) dan dua varietas unggul nasional sebagai pembanding (Dewata dan

Selayar).

Metode Penelitian

Penelitian di setiap lokasi dilakukan dengan menggunakan Rancangan

Acak Kelompok Lengkap dengan 3 ulangan dan genotipe menjadi perlakuan.

Satuan percobaan berupa petak yang berukuran 1.5 x 5 m sehingga tiap lokasi

terdiri dari 36 satuan percobaan. Penanaman dilakukan dengan jarak tanam 25 cm

antar baris dan benih dilarik dalam baris sepanjang 5 m. Pada tiap baris ditanam

12 – 13 g benih sehingga dalam tiap petak benih yang digunakan adalah 72 – 78 g

untuk 6 baris. Tanaman dipupuk dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1

SP36 dan KCl 100 kg.ha-1 pada umur 10 HST dan pemupukan kedua dengan dosis

Urea 150 kg.ha-1 pada umur 30 HST. Pemeliharaan tanaman dilakukan

disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pertanaman di lapangan.

Pemanenan dilakukan secara serempak atau bertahap sesuai dengan kondisi

pertanaman. Jika waktu panen jatuh pada musim hujan, pemanenan dilakukan bertahap

dengan tujuan untuk mencegah benih berkecambah dalam spikelet. Khusus pada

pertanaman di dataran rendah, maka dapat dilihat tanda masak fisiologis yaitu

penampilan malai dan batang tanaman mulai menguning. Jika waktu panen memasuki

(32)

17

Pengamatan dilakukan pada 10 tanaman contoh yang kompetitif tiap

satuan percobaan dengan peubah-peubah berikut :

A. Karakter Agronomi

1. Tinggi tanaman (cm), diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun

bendera pada saat menjelang panen.

2. Jumlah anakan dihitung pada saat panen dengan cara menghitung seluruh

jumlah anakan.

3. Jumlah anakan produktif, dihitung jumlah anakan yang menghasilkan malai

pada saat menjelang panen.

4. Umur berbunga (hari), dihitung jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih

dari 50 % tanaman telah mengeluarkan malai dalam setiap petak.

5. Umur panen (hari), jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari 50 %

tanaman telah menguning malainya dalam setiap petak.

6. Panjang malai (cm), diukur mulai dari lingkaran cincin sampai ujung malai

tidak termasuk bulu dan dilakukan pada saat menjelang panen.

7. Jumlah spikelet per malai, dihitung pada saat panen.

8. Jumlah spikelet hampa per malai, dilakukan pada saat panen.

9. Jumlah biji per malai, dihitung pada saat perontokan biji.

10.Bobot biji per malai (g), dilakukan setelah biji dikeringkan kemudian

ditimbang.

11.Bobot 1000 biji (g), diambil secara acak setelah biji dikeringkan kemudian

ditimbang.

12.Bobot biji per petak (g) , yaitu bobot seluruh biji dari tanaman di 2 baris

tengah sepanjang 4.5 m tidak termasuk tanaman pada 0.25 m di kedua ujung

tiap baris. Biji ditimbang setelah dikeringkan.

B. Karakter Morfologi

1. Ketebalan daun (µm) dilakukan dengan mengambil sampel daun bendera

kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop.

2. Kerapatan stomata, Untuk menentukan jumlah stomata per satuan luas daun,

pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel dari bagian tengah daun bendera

(33)

mencetak pola stomata pada permukaan daun. Kerapatan stomata dihitung

3. Intensitas kehijauan daun, diukur pada daun bendera dengan menggunakan

chloropyl meter pada saat tanaman memasuki fase generatif dan daun bendera telah

berkembang penuh.

4. Luas daun, diukur dengan menggunakan spektrometer.

5. Sebagai penunjang dilakukan pengambilan data analisis tanah dan informasi

kondisi umum lokasi penelitian.

Analisis Data

Data yang telah direkapitulasi dianalisis melalui software MINITAB dan

SAS dengan tahapan berikut :

1. Analisis ragam pada masing-masing lokasi

Analisis ragam tiap karakter genotipe gandum introduksi pada masing-masing

lokasi (Tabel 1) dilakukan mengikuti metode yang dikemukakan oleh Singh

dan Chaudhary (1979) dan Falconer (1989). Jika terdapat beda nyata maka

dilakukan uji Dunnet pada taraf α0.05 (5%). Tiap genotipe dibandingkan

dengan Selayar, karena Dewata tidak dapat diamati di Bogor.

Tabel 1. Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi gandum introduksi pada masing-masing lokasi

(34)

19

2. Analisis ragam gabungan

Data dianalisis kehomogenan ragam sebelum dilakukan analisis ragam

dengan memanfaatkan software data MINITAB 14. Untuk mengetahui pengaruh

lokasi percobaan, maka dilakukan analisis gabungan rancangan percobaan dari

tiap lokasi. Model linier RAKL (Gomez dan Gomez 1985) :

Yijk = μ + Lk + βi/k + Gj + (LG)kj + εijk

Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan dari ulangan ke-i, genotipe ke-j, dan lingkungan

ke-k

εijk = pengaruh galat percobaan pada lingkungan k, genotipe

ke-j,ulangan ke-i. i=1,2,3; j=1,2,3,…,12; k=1,2,3,4; i=1,2,3

Tabel 2. Analisis ragam gabungan model acak   

 

3. Studi keragaman dengan melibatkan G x E

Menurut Hallauer dan Miranda (1995), ragam fenotipik (σ2

P), ragam genotipik

(σ2

G), ragam interaksi (σ2GxE) dihitung sebagai berikut:

(35)

Menurut Stansfield (1983) nilai duga heritabilitas dan kriterianya dihitung

dengan menggunakan rumus :

σ2

G

h2 (bs) = x 100%

σ2

P Kriteria nilai heritabilitas :

• h2 (bs) > 0.5 : heritabilitas tinggi

• 0.2 > h2(bs) > 0.5 : heritabilitas sedang

• h2(bs) < 0.2 : heritabilitas rendah

Koefisien keragaman genetik diduga berdasarkan ragam genotipik ( 2

G

σ ) dan

luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan

berdasarkan standar deviasi ragam genetik yang diduga menurut rumus

berikut:

untuk beberapa lokasi dan satu musim

(Hallauer dan Miranda 1995). Apabila σ2G > 2 σ(σ2G): keragaman genetiknya

dbgl : derajat bebas genotipe x lokasi

4. Indeks Sensitivitas Terhadap Suhu Tinggi

Penilaian kepekaan terhadap suhu tinggi tiap genotipe dilakukan dengan

menentukan indeks kepekaan genotipe berdasarkan karakter bobot biji per

petak mengikuti cara Fisher dan Maurer (1978).

(1 – Y/Yp) S =

(36)

21

di mana: S = indeks kepekaan genotipe tertentu

Y = hasil per petak suatu genotipe pada kondisi stres

Yp = hasil per petak genotipe yang sama pada kondisi non-stres

X = rata-rata hasil per petaksemua genotipe pada kondisi stress

Xp = rata-rata hasil per petaksemua genotipe pada kondisi non stres

Kriteria kepekaan genotipe terhadap suhu tinggi :

S < 0.5 : genotipe toleran

0.5 < S < 1 : genotipe medium toleran

S > 1 : genotipe peka

5. Analisis Stabilitas

Analisis stabilitas dilakukan berdasarkan data hasil pada empat lokasi yaitu

Balithi, Cipanas (1100 m dpl) dan Biotrop, Bogor (250 m dpl). Data dari lokasi

Cipanas dan Bogor merupakan data primer, sedangkan data dari lokasi Manado,

Sulawesi Utara (900 m dpl) dan Muneng, Jawa Timur (50 m dpl) merupakan data

sekunder. Analisis stabilitas dilakukan jika interaksi G x E nyata. Pendugaan

parameter kestabilan dilakukan menggunakan dua pendekatan, yaitu model Finlay

dan Wilkinson (1963) serta model AMMI (Gauch 1992). Fasilitas analisis data

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Pertanaman

Karakteristik umum lingkungan daerah tropis dicirikan oleh kondisi iklim

yaitu suhu udara, kelembaban relative, lama penyinaran dan intensitas penyinaran.

Khusus di Bogor berdasarkan musim tanam sebelumnya, ditetapkan bahwa

penelitian tanaman gandum dimulai pada akhir musim hujan sampai musim

kemarau (April-September). Keadaan yang terjadi pada saat penelitian

dilaksanakan ternyata curah hujan yang turun jauh di atas normal (Lampiran 1).

Hasil analisis contoh tanah di Cipanas dan Bogor juga tidak jauh berbeda

(Lampiran 2). Keadaan ini menyebabkan kondisi lingkungan Bogor dan Cipanas

hampir sama, akibatnya keragaan pertanaman kurang optimal. Azwar et al. (1988)

menyatakan bahwa pertanaman gandum di daerah tropis sangat dipengaruhi oleh

musim, sedangkan pengaruh suhu hanya pada peningkatan laju pertumbuhan dan

tingkat produksi saja. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaruh suhu berkaitan

dengan ada tidaknya bulan kering selama penanaman, dengan demikian parameter

ini merupakan salah satu kriteria utama dalam pemilihan lokasi penanaman.

Kendala yang utama yang dihadapi kedua lokasi di lapangan adalah

terjadinya perubahan kondisi cuaca yang begitu drastis, dimana pada bulan Juli

sampai Agustus yang seharusnya memasuki musim kemarau, namun mulai dari

awal pertanaman bulan Mei sampai Agustus curah hujan masih tinggi. Hal ini

menjadi kendala pada pertanaman di dataran rendah dari banyaknya tanaman yang

mati hingga munculnya beberapa penyakit yang disebabkan oleh cendawan,

akibatnya pertumbuhan dan perkembangan tanaman terhambat.

Keragaan Karakter Agronomi

  Penelitian gandum dilaksanakan di dua ketinggian yaitu ketinggian 1100 m dpl

di kebun percobaan Balithi, Cipanas dan ketinggian 250 m dpl di kebun percobaan

SEAMEO-Biotrop, Bogor. Penanaman di kedua lokasi dilakukan pada bulan Mei

2010. Pertanaman musim sebelumnya pada masing-masing lokasi adalah kangkung di

(38)

23

  Keragaan pertumbuhan tanaman pada umur 10 HST, 30 HST dan fase generatif

disajikan pada Gambar 2. Keragaan tanaman hingga memasuki fase generatif

memperlihatkan penampilan yang baik. Penanaman pada kedua lokasi terlihat

perbedaan dari segi kerimbunan dan kehijauan daun. Hal ini diduga adanya perbedaan

suhu antara Bogor dan Cipanas. Dilain pihak, varietas Dewata hingga memasuki fase

generatif di Bogor tidak berbunga akibatnya Dewata di Bogor tidak dapat diambil

datanya (Gambar 3).

Gambar 2. Keragaan pertanaman gandum di Bogor dan Cipanas.

Adanya perbedaan suhu di kedua lokasi mengakibatkan perbedaan keragaan

pertanaman antara Bogor dan Cipanas. Pada Gambar 2 pertanaman gandum di Bogor

menunjukkan rumpun lebih sedikit dan intensitas kehijauan daun lebih rendah

dibandingkan dengan Cipanas. Perbedaan suhu diduga sebagai salah satu penyebab

yang membedakan penampilan tanaman di kedua lokasi. Suhu yang tinggi antara lain

mengakibatkan layunya daun dan tertutupnya stomata, sehingga menyebabkan

terhambatnya difusi CO2 yang diperlukan untuk proses fotosintesis (Yang et al. 2002).

Bogor, 10 HST Bogor, 30 HST Bogor, Fase Generatif

(39)

Gambar 3. Keragaan gandum Varietas Dewata di Bogor dan Cipanas.

Gandum merupakan tanaman yang beradaptasi pada iklim subtropis dan

tumbuh baik pada suhu 10-21oC. Selain beradaptasi pada suhu rendah, gandum juga

memerlukan tingkat kelembaban yang rendah. Pada kelembaban 40%, gandum dapat

tumbuh baik sampai suhu 28oC, namun pada kelembaban 80% hanya dapat tumbuh

pada suhu 23oC (Ginkel dan Villareal 1996).

Data keragaan karakter agronomi genotipe gandum di lingkungan tropis

disajikan pada Tabel 3. Karakter jumlah anakan dan umur panen berbeda nyata antar

genotipe di Cipanas, sedangkan tinggi tanaman, umur berbunga, dan umur panen

berbeda nyata hanya di Bogor. Berdasarkan uji Dunnett, untuk karakter tinggi tanaman

di Cipanas terdapat 10 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu

Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, H-21, G-18,

Menemen, Basribey, Alibey, dan Selayar. Genotipe Oasis/Skauz//4*BCN Var-28,

HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88, Menemen, Basribey, dan Alibey tidak berbeda nyata

dengan Selayar di Bogor.

Terdapat perbedaan yang nyata pada tinggi tanaman, jumlah anakan, dan

jumlah anakan produktif genotipe gandum saat ditanam di dataran tinggi dan

dataran rendah. Kisaran Tinggi tanaman (55.89 – 73.27 cm), jumlah anakan

(2.0 – 7.0), dan jumlah anakan produktif (2.0 – 7.0), dan nilai terendah dari ketiga

karakter ada pada pertanaman di lokasi Bogor. Menurut laporan Subagyo (2001)

di dataran tinggi, tinggi tanaman gandum dapat mencapai 102 cm.

(40)

25

Tabel 3. Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis

Genotipe Cipanas Bogor

TT JA JPR UB UP TT JA JPR UB UP

TT:Tinggi tanaman (cm), JA:Jumlah anakan, JPR:Jumlah anakan produktif, UB:Umur berbunga (HST), UP:Umur panen (HST), **: berbeda nyata pada taraf 1%, tn: Tidak berbeda nyata s+/-: Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar).

Perbedaan ketinggian tempat juga menyebabkan karakter umur berbunga

dan umur panen berbeda. Di Bogor umur berbunga dan umur panen lebih cepat

dibandingkan di Cipanas, artinya semakin tinggi lokasi penanaman semakin

lambat tanaman berbunga dan panen. Uji Dunnett menunjukkan bahwa untuk

umur berbunga di Bogor terdapat 9 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan

Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, Laj/Mo88, Rabe/Mo88,

H-21, G-H-21, G-18, Menemen,dan Basribey. Dilain pihak untuk umur panen terdapat

2 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Laj/Mo88 dan H-21.

Umur berbunga di Bogor berkisar 43 - 72 HST lebih cepat dibandingkan

di Cipanas dengan kisaran 59 – 68 HST. Genotipe yang paling cepat berbunga di

Bogor adalah HP 1744 (43 HST) sedangkan yang paling lambat adalah G-21

(72 HST). Penelitian di beberapa daerah lainnya di Indonesia membuktikan

bahwa gandum dataran rendah (tropis) dapat berbunga lebih cepat yaitu 35 – 51

HST dibandingkan dengan gandum dataran tinggi yaitu 55 – 60 HST (Aqil et al.

(41)

Hasil pengujian menunjukkan karakter panjang malai tidak nyata di Cipanas

sedangkan di Bogor karakter panjang malai, jumlah spikelet, dan spikelet hampa

berbeda nyata (Tabel 4). Panjang malai berkisar 6.69 – 11.92 cm, dimana genotipe

yang tertinggi adalah HP 1744 di Cipanas yaitu 11.92 cm dan terendah genotipe

Laj/Mo88 yaitu 6.69 cm. Berdasarkan uji Dunnett dari karakter panjang malai, jumlah

spikelet, dan spikelet hampa semua genotipe tidak berbeda nyata dengan Selayar di

Cipanas sedangkan di Bogor, untuk karakter panjang malai terdapat 6 genotipe yang

tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744,

Laj/Mo88, Rabe/Mo88, Menemen, Basribey, dan Alibey. Genotipe

Oasis/Skauz//4*BCN Var-18, HP 1744, Rabe/MO88, dan Alibey tidak berbeda nyata

dengan Selayar untuk karakter jumlah spikelet.

Tabel 4. Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis

Genotipe Cipanas Bogor

PM JSP SHM PM JSP SHM

OASIS/SKAUZ//4*BCN Var-28 9.00 20.83 9.88 7.63 14.40 4.77

HP 1744 11.92 19.40 10.16 7.21 12.73 7.83

LAJ/MO88 7.98 18.00 8.46 6.69s- 12.98 6.46

RABE/MO88 8.18 18.20 8.32 6.98 13.04 6.34

H-21 8.38 18.60 8.82 8.66s+ 17.39s+ 9.53

PM:Panjang malai (cm), JSP:Jumlah spikelet, SHM:Spikelet hampa, **:Berbeda nyata pada taraf 1%, tn:Tidak berbeda nyata, s+/- : Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar).

Rendahnya jumlah spikelet dan tingginya jumlah spikelet hampa di Bogor

diduga karena cekaman suhu yang tinggi, kelembaban udara, dan curah hujan yang

tinggi di lokasi tersebut. Akibatnya, jumlah spikelet yang dihasilkan sedikit dan

tingkat kehampaan spikelet pun menjadi tinggi. Hal ini sejalan dengan hasil

(42)

27

penampilan dan produksi tanaman gandum di dataran tinggi lebih baik dibandingkan

dataran rendah.

Produksi biomassa juga ditentukan oleh periode akumulasi biomassa

selama pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, semakin lama umur tanaman maka

semakin besar produksi biomassa dan hasil panen tanaman. Handoko et al.

(2008) menyatakan bahwa tanaman-tanaman yang sensitif terhadap perubahan

suhu seperti gandum, penurunan hasil panennya sangat tajam jika tanaman

tersebut ditanam pada ketinggian yang lebih rendah dengan suhu yang lebih

tinggi.

Hasil analisis ragam komponen hasil genotipe gandum (Tabel 5)

menunjukkan bahwa hanya karakter jumlah biji per malai di Cipanas yang tidak

berbeda nyata untuk semua genotipe sedangkan di Bogor terdapat 7 genotipe yang

tidak berbeda nyata dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, H-21,

G-21, G-18, Menemen, Basribey, dan Alibey. Karakter bobot biji per malai pada

Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744, H-21, G-21, Menemen, Basribey, dan

Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar di Cipanas sedangkan di Bogor hanya

HP 1744 dan Rabe/Mo88 yang berbeda nyata lebih rendah dari Selayar. Semua

genotipe di Cipanas untuk karakter bobot 1000 biji tidak berbeda nyata dengan

Selayar, dilain pihak Menemen dan Basribey berbeda nyata lebih rendah dari

Selayar di Bogor. Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, H-21, G-18, Basribey, dan

Alibey tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter bobot biji per petak di

kedua lokasi.

Kisaran jumlah biji per malai (13.40-32.70 g), bobot biji per malai

(0.31-1.11g), dan bobot 1000 biji (21.91- 31.02 g). Bobot 1000 biji tertinggi pada

genotipe Laj/Mo88 yaitu 31.02 g di Cipanas dan terendah Basribey 21.92 g di

Bogor. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian gandum di Merauke dimana bobot

(43)

Tabel 5. Rata-rata komponen hasil genotipe gandum introduksi di lingkungan ALIBEY 29.70 0.92 25.96 1368.09 29.80 0.50 24.66 391.39 SELAYAR 28.80 0.75 23.24 1382.58 27.20 0.65 30.66 490.02 DEWATA 20.60 0.63 22.05 904.70 - - - - Rata-rata 27.90 0.93 26.46 1174.74 25.40 0.56 26.21 329.64

Genotipe tn * * ** ** ** * **

KK (%) 19.2 19.8 14.0 14.7 10.6 14.6 10.3 10 Dunnett 0.05 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98 2.98

JBM: Jumlah biji per malai, BBM: Bobot biji per malai (g), B1B: Bobot 1000 biji (g), BPT: Bobot biji per petak (g)(data ditransformasi Arc sin), *,** : Berbeda nyata pada taraf 5%

dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata, s+/-:Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar).

Rendahnya hasil yang diperoleh di Bogor disebabkan cekaman suhu yang

tinggi, akibatnya jumlah biji per malai, bobot biji per malai, bobot 1000 biji, dan

bobot biji per petak lebih rendah dibandingkan dengan Cipanas. Suhu selama

pengujian di Cipanas berkisar 17.4 – 22.5oC, di Bogor berkisar 23.7 – 28.0oC

( Lampiran 1). Di daerah subtropis, tanaman gandum dapat tumbuh optimal pada

suhu 4 – 31oC dan suhu optimum 20oC. Jika pada suhu rata-rata >22.5oC gandum

mampu menghasilkan 2.37 ton/ha (Aqil et al. 2011).

Keragaan karakter biji gandum di Cipanas dan Bogor (Gambar 4)

menunjukkan bahwa biji-biji gandum yang ditanam di dataran tinggi (Cipanas)

lebih bernas, padat dan bobot biji pun tinggi dibandingkan biji gandum yang

ditanam di dataran rendah (Bogor). Pada Gambar 4, terlihat bahwa biji gandum di

Bogor lebih kecil dan agak keriput, hal ini disebabkan karena proses pengisian biji

(44)

29

Gambar 4. Keragaan biji gandum di Cipanas dan Bogor.

Menurut Stone (2001) pada suhu tinggi laju perkembangan tanaman

meningkat sehingga mengurangi potensi akumulasi biomassa. Secara umum,

pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir pada serealia meliputi laju

perkembangan bulir yang lebih cepat, penurunan berat bulir, biji keriput, dan

berkurangnya akumulasi pati. Maestri et al. (2002) menyatakan bahwa cekaman

suhu tinggi juga mempersingkat periode perkembangan tanaman sehingga

menghasilkan organ yang lebih sedikit, ukuran organ yang lebih kecil, siklus

hidup yang lebih pendek dan terganggunya proses yang berkaitan dengan

asimilasi karbon, akibatnya hasil panen pada serealia berkurang.

Rata-rata karakter morfologi genotipe gandum introduksi di lingkungan

tropis disajikan pada Tabel 6. Karakter ketebalan daun tidak berbeda nyata di

Cipanas, demikian pula di Bogor untuk karakter kerapatan stomata dan ketebalan

daun. Karakter luas daun dan ketebalan daun semua genotipe di Cipanas tidak

berbeda nyata dengan Selayar. Di Bogor, selain luas daun dan kehijauan daun,

kerapatan stomata juga tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk semua genotipe.

Cipanas Cipanas Cipanas

(45)

Tabel 6. Rata-rata karakter morfologi genotipe gandum introduksi di lingkungan tropis

Genotipe Cipanas Bogor

LD KST KTD KHD LD KST KTD KHD LD: Luas daun, KST: Kerapatan stomata, KTD: Ketebalan daun (µm), KHD: Kehijauan daun, *,**: Berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%, tn: Tidak berbeda nyata, s+/- : Berbeda nyata lebih atau kurang dibanding kontrol (Selayar).

Terdapat 8 genotipe yang tidak berbeda nyata dengan Selayar untuk karakter

kerapatan stomata di Cipanas yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, HP 1744,

Laj/MO88, H-21, G-21, G-18, Menemen, dan Basribey. Hanya satu genotipe yang

berbeda nyata lebih dibanding Selayar di Cipanas untuk karakter kehijauan daun yaitu

G-21, sedangkan di Bogor untuk karakter yang sama terdapat 5 genotipe yang tidak

berbeda dengan Selayar yaitu Oasis/Skauz//4*BCN Var-28, Laj/MO88, H-21, G-18,

dan Alibey. Rata-rata tertinggi luas daun 16.65 pada genotipe G-18 dan kehijauan

daun tertinggi 45.97 pada genotipe G-18 di Cipanas. Adanya perbedaan intensitas

kehijauan daun dan luas daun pada kedua lokasi diduga karena cekaman suhu yang

tinggi di Bogor.

Menurut Yang et al. (2004), respon utama gandum terhadap cekaman suhu

tinggi salah satunya adalah penuaan yang dicirikan oleh klorosis dan kemasakan dini

pada bulir. Suhu tinggi juga menyebabkan tanaman mengalami kekurangan air

sehingga daun tanaman cepat layu, stomata tertutup, dan terhambatnya difusi CO2

(46)

31

Parameter Genetik dan Indeks Sensitivitas terhadap Suhu Tinggi

Analisis Ragam Gabungan Dua Lokasi (Cipanas dan Bogor)

Uji kehomogenan ragam galat percobaan tunggal pada karakter hasil

menunjukkan ragam galat yang homogen. Uji ini dilakukan sebagai syarat untuk

melakukan analisis ragam gabungan. Hasil analisis ragam gabungan

menunjukkan bahwa hampir faktor genotipe, lokasi maupun interaksi genotipe

dan lokasi berpengaruh nyata dan sangat nyata pada hamper semua karakter

(Tabel 7).

Tabel 7. Analisis ragam pengaruh genotipe (G), lokasi (L) dan interaksi G x E pada karakter agronomi dan morfologi gandum di lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor)

Karakter KT Genotipe

(G)

Jumlah Anakan Produktif 1.09tn 180.85** 0.45tn

Umur Berbunga 120.46** 29.33tn 95.93**

Ketebalan Daun 868.62tn 13099.4* 568.62tn

Kerapatan Stomata 219.58* 454.77* 84.99tn

Kehijauan Daun 10.01* 3.64tn 3.29**

Luas Daun 2304.42** 36508.70** 295.89tn

*,** = berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%, tn= tidak berbeda nyata

Pengaruh genotipe sangat nyata terhadap karakter tinggi tanaman, jumlah

anakan, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, spikelet hampa, jumlah

biji/malai, bobot biji/malai, bobot 1000 biji, dan luas daun. Perbedaan yang nyata

ditunjukkan oleh kerapatan stomata, kehijauan daun, dan panjang malai. Karakter

bobot biji/petak, jumlah anakan produktif dan ketebalan daun tidak berbeda nyata.

Lokasi berpengaruh sangat nyata pada karakter jumlah anakan, jumlah anakan

produktif, jumlah spikelet, spikelet hampa, jumlah biji/malai, bobot 1000 biji, dan

(47)

ketebalan daun, lokasi memberikan pengaruh yang nyata. Dilain pihak karakter

tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, bobot 1000 biji, dan kehijauan daun

tidak berbeda nyata antar lokasi.

Interaksi genotipe dan lingkungan (G x E) berpengaruh sangat nyata untuk

jumlah anakan, umur berbunga, umur panen, spikelet hampa, jumlah biji/malai,

bobot biji/malai, dan kehijauan daun. Karakter tinggi tanaman dan bobot 1000

biji berpengaruh nyata pada pengaruh interaksi. Dilain pihak, interaksi G x E

tidak berpengaruh nyata pada jumlah anakan produktif, panjang malai, bobot

biji/petak, luas daun, kerapatan stomata, ketebalan daun, dan kehijauan daun.

Pengaruh interaksi yang nyata mengindikasikan bahwa terdapat perubahan

tanggapan genotipe-genotipe yang sama dari suatu lokasi ke lokasi yang lain.

Menurut Baihaki dan Wicaksono (2005), adanya variasi lingkungan

tumbuh makro tidak akan menjamin suatu genotipe atau varietas tanaman tumbuh

baik dan menghasilkan hasil panen yang tinggi di semua wilayah dalam kisaran

area yang luas, atau sebaliknya. Hal tersebut terkait dengan kemungkinan adanya

interaksi genotipe atau genotipe-genotipe tanaman dengan kisaran variasi

lingkungan pada area yang luas.

Rata-rata gabungan karakter agronomi dan morfologi genotipe gandum di

lingkungan tropis (Cipanas dan Bogor) disajikan pada Tabel 8. Koefisien

keragaman (KK) yang kecil (< 20%) untuk semua karakter. Nilai KK yang kecil

mengandung arti bahwa keragaman yang ditimbulkan dari kesalahan atau faktor

yang tidak bias dikendalikan kecil. Sebaliknya makin tinggi nilai KK makin

rendah ketelitian percobaan tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa

pelaksanaan pengujian maupun derajat ketelitian pengambilan data cukup tinggi

(Gomez dan Gomez 1995).

Gambar

Gambar 1.  Bagan alir penelitian.
Tabel 2.  Analisis ragam gabungan model acak   
Gambar 3.  Keragaan gandum Varietas  Dewata di Bogor dan Cipanas.
Tabel 3.  Rata-rata karakter agronomi genotipe gandum introduksi di lingkungan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan work-family conflict dengan disiplin kerja anggota Polri Distrik Wanadadi Polres Banjarnegara.Populasi dalam penelitian

Produk merupakan suatu barang atau komoditas yang menjadi objek bisnis perusahaan. Produk disini mengarah pada banyaknya jenis produk atau varian produk yang

Karena nilai t hitung untuk variabel sistem informasi akuntansi lebih besar dari nilai t tabel , maka secara parsial variabel sistem informasi akuntansi mempunyai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesesuaian secara keseluruhan sebesar 86,77% terletak di rentang 81- 100% yang menunjukkan persepsi masyarakat Purwokerto

Penelitian ini ditujukan kepada siswa SMPN 5 Yogyakarta kelas VII E sebagai kelas TPS berbasis komik dalam memecahkan sebuah masalah yang dibagi dalam 3 fase yaitu fase

Under the said letter, BOC informed the employees of BBMB about the transfer of business of BBMB to BOC with effect from 30 September 1999 and in view of that, BOC was offering

Sehubungan dengan hasil evaluasi dokumen kualifikasi saudara, perihal Peningkatan Jalan Wolter.. Monginsidi Desa Tanjung Aru (LPB), maka dengan ini kami mengundang

kualitas pelayanan yaitu Expeted lIBnice dan pen:eived service, apabila jasa yang diterima oleh pelanggan PDAM Kabupaten Sumbawa sesuai dengan haJapannya maka kualitas pelayanannya