HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN
DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN
KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
LISBET SIMATUPANG
100805001
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN
DENGAN KUALITAS AIR DI PERAIRAN SUNGAI ASAHAN
KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI
SUMATERA UTARA
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains
LISBET SIMATUPANG
100805001
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERSETUJUAN
Judul : Hubungan Struktur Komunitas Ikan dengan Kualitas Air di Sungai Asahan Kabaupaten Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara
Kategori : Skripsi
Nama : Lisbet Simatupang Nomor Induk Mahasiswa : 100805001
Progran Studi : Sarjana (S1) Biologi Departemen : Biologi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara
Disetujui di Medan, Januari 2015
Komisi Pembimbing:
Pembimbing 2, Pembimbing 1,
Dr. Hesti Wahyuningsih, M, Si Prof. Dr. Ing. Ternala A. Barus, M.Sc
NIP. 19691018 1994 12 2002 NIP. 19581016 1987 03 1003
Disetujui Oleh
Departemen Biologi FMIPA USU Ketua,
PERNYATAAN
HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN
KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA
SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Saya mengaku bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, Januari 2015
PENGHARGAAN
Segala puji, hormat dan rasa syukur hanya kepada Allah Tri Tunggal yang penuh
kasih dan kebijaksanaan melimpahkan hikmat, bijaksana dan kasih karunia-Nya
kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul
“HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAN KABUPATEN TOBA SAMOSIR PROVINSI
SUMATERA UTARA”.
Terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ing. Ternala, A. Barus, M.Sc dan Ibu
Dr. Hesti Wahyuningsih, M.Si sebagai Dosen Pembimbing yang telah banyak
memberikan bimbingan dan masukan dari awal penelitian hingga selesainya
penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Dr. Miswar Budi Mulya, M.Si.
Dan Ibu Dr. Erni Jumilawaty M.Si sebagai Dosen Penguji yang juga telah banyak
memberikan arahan dan masukan dalam penyempurnaan penyusunana skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada ibu Dr. Nursahara Pasaribu, M.Sc
sebagai ketua Departemen Biologi, Bapak Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc sebagai
Dosen Penasehat Akademik, Ibu Dr. Saleha Hanum, M.Sc sebagai Sekretaris
Departemen Biologi, ibu Mizarwati, Ibu Rosalina Ginting, Bang Ewin, seluruh
Dosen dan Staf Pengajar di Departemen Biologi FMIPA USU yang telah
membimbing dan membekali penulis dengan berbagai disiplin ilmu.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada orangtuaku
tersayang dan dan yang kubanggakan yaitu K. Simatupang dan A. Pardosi, nenek
tercinta T. Lubis yang selalu memberikan dukungan doa, semangat, motivasi baik
materi yang pernah bisa terbalaskanku. Terima kasih yang sangat khusus juga
penulis sampaikan kepada abangku tersayang Eko Frans Hardinata Simatupang
Amd. yang memberi dukungan doa, motivasi dan juga materi hingga selesainya
skripsi ini. Serta terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakakku tercinta
Ferlinda Simatupang, abang ipar F. Sihombing, adekku tersayang dan juga
keponakanku yang selalu ada member dukungan yang luar biasa hingga
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sri Rejeki Samosir, Juwita
Sihombing, Riris Delima Purba, Tiur Mawarni Parhusip, Silvia Julita Saragih,
Veronika HL Tobing, saudara asuhku Doni Tua Hutahaean, Julpiter Hutajulu,
Edwarman Zalukhu, bang Sahat Parningotan Silaban, bang Boy Sandi Lubis,
Merryauwita Pakpahan, Olive Stepahani Turnip, adek asuhku Kalvinder Sing atas
dukungan doa dan waktu kepada penulis. Terimakasih kepada teman seperjuangan
stambuk 2010, Persekutuan Keluarga Besar Kristen Biologi, HIMABIO, seluruh
adek stambuk 2011, 2012, 2013, 2014 dan organisasi PASOGIT buat doa dan
HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN
KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA
SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Hubungan kualitas air dengan struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten
Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara telah diteliti dari Juni sampai Juli 2014.
Pengambilan sampel menggunakan metode “Purposive Random Sampling”. Ada sepuluh
spesies ikan yang ditemukan di lokasi penelitian yang diklasifikasikan ke dalam 3 ordo
(Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) dan 5 famili (Cyprinidae, Balitoridae,
Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae). Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 1
dengan nilai 0,157 ind/m2 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,013 ind/m2. Indeks
keanekaragaman terbesar ditemukan pada stasiun 2 dengan nilai 1,554; sementara
terendah ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,487. Nitrat, fosfat dan intensitas cahaya
berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan.
CORELATION OF STRUCTURE OF FISH COMMUNITY TO
THE WATER QUALITY IN ASAHAN RIVER REGENCY OF
TOBA SAMOSIR AT NORTH SUMATERA
ABSTRACT
Corelation of structure of fish community to the water quality in Asahan river
regency of Toba Samosir at North Sumatera has been studied. Three different
study site was settle using purposive sampling method based on activities. Ten
genera of fishes, classifying into three orders (Cypriniformes, Perciformes,
Siluriformes) and five families (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae,
Bagridae, Sisoridae) were recorded from research location. The highest diversity
is found at first location with the number 0,157 ind/m2 and the lowest one is found
at the third location with the number 0,013 ind/m2. The highest diversity index
recorded from second location with the number 1,554; while the lowest is found
in the the first location with the number 0,487. Nitrat, phosfat and light intensity
are evidently correlated to the diversity of fishes.
DAFTAR ISI
2.4.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
3.3 Alat dan Bahan 16
4.1 Faktor Biotik Lingkungan 24
4.1.1 Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun 24
4.1.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif, dan Frekuensi Kehadiran 4.1.3 Indeks Keanekaragaman (Shannon Wienner), Indeks
Keseragaman
4.2 Faktor Abiotik Lingkungan 46
4.2.1 Parameter Fisika 4.2.2 Parameter Kimia
4.2.3 Sifat Fisika-Kimia Sungai Asahan berdasarkan Metode STORET
46 48 50
4.3 Nilai Analisis Korelasi Pearson 51
Bab 5. Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan 53
5.2 Saran 53
DAFTAR TABEL
Nomor Tabel
Judul Halaman
1 Baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah
Indonesia No. 82 Tahun 2001
22
2 Klasifikasi mutu air 22
3 Pemberian skor dalam penentuan Indeks STORET 23
4 Jenis-jenis ikan yang diperoleh dari setiap stasiun 24
5 Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan
frekuensi kehadiran (%) ikan pada setiap stasiun pengamatan
31
6 Data Indeks Keanekaragaman (H‟), Indeks Keseragaman (E)
33
7 Data Indeks Similaritas (IS) di setiap stasiun 35
8 Rasio Kelamin masing-masing spesies ikan di Sungai
Asahan
36
9 Data hubungan panjang-bobot ikan pada setiap stasiun 37
10 Data pengukuran faktor fisik-kimia perairan Sungai
Asahan pada setiap stasiun
46
11 Kondisi kualitas perairan Sungai Asahan menurut metode
STORET
70
12 Nilai Korelasi Pearson antara keanekaragaman ikan
dengan sifat fisik-kimia perairan Sungai Asahan
DAFTAR GAMBAR
Nomor Gambar
Judul Halaman
1 Stasiun 1 (Daerah dekat Pemukiman Penduduk) 14
2 Stasiun 2 (Daerah dekat Bendungan PLTA PT. Inalum) 15
3 Stasiun 3 (Daerah dekat Perkebunan Kelapa Sawit) 15
4 Hampala macrolepidota 26
13 Glypthotorax platygonoides 30
14 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Hampala
macrolepidota
39
15 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Leptobarbus hosii 40
16 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Lobocheilus
schwanenfeldii
40
17 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Neolisocheilus
sumatranus
41
18 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Puntius binotatus 42
19 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Tor tambra 42
20 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Homaloptera
ophiolepis
43
21 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Mastacembelus
unicolor
44
22 Grafik hubungan panjang-bobot ikan Mystus olyroides 44
23 Grafik hubungan panjang-berat ikan Glypthotorax
platygonoides
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Lampiran
Judul Halaman
A Peta Lokasi 58
B Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur DO 59
C Bagan Kerja Metode Winkler untuk Mengukur BOD5 60
D Tabel Kelarutan O2 (Oksigen) 61
E Bagan Kerja Pengukuran Nitrat (NO3) 62
F Bagan Kerja Pengukuran Posfat (PO43-) 63
G Panjang dan Berat Ikan 64
H Hasil Korelasi Pearson 68
I Contoh Perhitungan 69
HUBUNGAN STRUKTUR KOMUNITAS IKAN DENGAN
KUALITAS AIR DI SUNGAI ASAHAAN KABUPATEN TOBA
SAMOSIR PROVINSI SUMATERA UTARA
ABSTRAK
Hubungan kualitas air dengan struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten
Toba Samosir Provinsi Sumatera Utara telah diteliti dari Juni sampai Juli 2014.
Pengambilan sampel menggunakan metode “Purposive Random Sampling”. Ada sepuluh
spesies ikan yang ditemukan di lokasi penelitian yang diklasifikasikan ke dalam 3 ordo
(Cypriniformes, Perciformes, Siluriformes) dan 5 famili (Cyprinidae, Balitoridae,
Mastacembellidae, Bagridae, Sisoridae). Kepadatan tertinggi ditemukan pada stasiun 1
dengan nilai 0,157 ind/m2 dan terendah pada stasiun 3 dengan nilai 0,013 ind/m2. Indeks
keanekaragaman terbesar ditemukan pada stasiun 2 dengan nilai 1,554; sementara
terendah ditemukan pada stasiun 1 dengan nilai 0,487. Nitrat, fosfat dan intensitas cahaya
berkorelasi sangat kuat terhadap keanekaragaman ikan.
CORELATION OF STRUCTURE OF FISH COMMUNITY TO
THE WATER QUALITY IN ASAHAN RIVER REGENCY OF
TOBA SAMOSIR AT NORTH SUMATERA
ABSTRACT
Corelation of structure of fish community to the water quality in Asahan river
regency of Toba Samosir at North Sumatera has been studied. Three different
study site was settle using purposive sampling method based on activities. Ten
genera of fishes, classifying into three orders (Cypriniformes, Perciformes,
Siluriformes) and five families (Cyprinidae, Balitoridae, Mastacembellidae,
Bagridae, Sisoridae) were recorded from research location. The highest diversity
is found at first location with the number 0,157 ind/m2 and the lowest one is found
at the third location with the number 0,013 ind/m2. The highest diversity index
recorded from second location with the number 1,554; while the lowest is found
in the the first location with the number 0,487. Nitrat, phosfat and light intensity
are evidently correlated to the diversity of fishes.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sungai termasuk salah satu wilayah perairan tawar yang penting. Menurut
Sumarti (1996) dalam Patriono (2007) sungai merupakan suatu ekosistem yang
mempunyai keanekaragaman organisme yang sangat kompleks, banyak terdapat
tumbuhan air, hewan avertebrata dan ikan yang telah beradaptasi dengan habitat
tertentu. Dua fungsi utama sungai di alam yaitu untuk mengalirkan air dan
mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan alurnya dimana kedua fungsi ini
berlangsung secara bersamaan dan saling mempengaruhi (Mulyanto, 2007).
Sungai Asahan merupakan salah satu sungai di Sumatera Utara. Sungai ini
mengalir dari outlet Danau Toba, melintasi kota Tanjung Balai dan Desa Porsea
dengan panjang 150 km yang berakhir di Teluk Nibung, Selat Malaka. Di sekitar
aliran Sungai Asahan terdapat banyak aktivitas termasuk daerah perkebunan,
daerah industri, daerah pemukiman dan air hujan yang secara alami semua airnya
akan mengalir ke sungai tersebut (Loebis, et al. 1993 dalam Siregar 2009).
Kondisi perairan sangat menentukan kelimpahan dan penyebaran
organisme di dalamnya, akan tetapi setiap organisme memiliki kebutuhan dan
preferensi lingkungan yang berbeda untuk hidup yang terkait dengan karakteristik
lingkungannya. Ada tiga alasan utama bagi ikan untuk memilih tempat hidup
yaitu 1) yang sesuai dengan kondisi tubuhnya, 2) sumber makanan yang banyak,
3) cocok untuk perkembangbiakan dan pemijahan (Anwar, 2008).
Kualitas suatu perairan memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap
pertahanan dan pertumbuhan makhluk hidup di perairan itu sendiri. Lingkungan
yang baik bagi ikan diperlukan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidupnya
(Minggawati & Lukas 2012). Variasi habitat yang luas menjadi faktor yang
memaksa ikan harus mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungan setempat.
Keberadaan ikan di suatu perairan bergantung kepada kemampuan fisiologis dan
struktur organ untuk beradaptasi terhadap lingkungan, terutama dalam
untuk melakukan reproduksi meskipun berjarak sangat jauh dari tempat
mencari makan (Rahardjo et al., 2011).
Kehidupan organisme sangat tergantung pada faktor lingkungan baik
lingkungan biotik dan abiotik. Dalam studi ekologi pengukuran-pengukuran
faktor lingkungan abiotik secara garis besarnya dapat dibagi atas faktor iklim,
fisik dan kimia. Faktor fisik di air antara kadar oksigen terlarut, pH, alkalinitas,
kesadahan, BOD, sedangkan faktor lingkungan biotik bagi organisme adalah
organisme lain yang juga terdapat di habitatnya (Suin, 2002). Pertumuhan ikan
dan perbedaan nisbah kelamin juga dipengaruhi oleh faktor abiotik dalam suatu
perairan (Haetami, 2005). Perubahan lingkungan di Sungai Asahan yang
disebabkan oleh berbagai aktivitas mempengaruhi kualitas air dan struktur
komunitas ikan di sungai tersebut. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian tentang “Hubungan Kualitas Air dengan Struktur Komunitas Ikan di Sungai Asahan” yang pada saat ini belum dilakukan.
1.2 Permasalahan
Sungai Asahan merupakan sungai yang banyak digunakan oleh masyarakat
sekitarnya dalam berbagai keperluan. Banyak aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat di Sungai Asahan seperti mandi, cuci, kegiatan pariwisata, arum
jeram, kegiatan perkebunan, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan sungai
ini juga merupakan salah satu daerah pembuangan limbah pabrik PT. Pulp Lestari.
Dengan adanya berbagai aktivitas tersebut terjadi perubahan kualitas air di sungai
tersebut. Oleh sebab itu perlu diteliti bagaimana kualitas air di sungai tersebut
yang juga mempengaruhi struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten
1.3 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten
Toba Samosir Sumatera Utara.
b. Untuk mengetahui sifat fisik kimia air di Sungai Asahan, Kabupaten Toba
Samosir Sumatera Utara berdasarkan baku mutu kualitas air dalam PP No. 82
Tahun 2001.
c. Untuk mengetahui korelasi keanekaragaman ikan dengan kualitas air di
Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai:
a. Informasi mengenai kualitas air terhadap struktur komunitas ikan bagi pihak
terkait dan masyarakat sekitar Sungai Asahan untuk pengelolaan dan
pengembangan Sungai Asahan, Kabupaten Toba Samosir Sumatera Utara.
b. Informasi mengenai struktur komunitas ikan di Sungai Asahan, Kabupaten
Toba Samosir Sumatera Utara.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ekosistem Sungai
Sungai adalah saluran air tawar yang mengalir dan bermuara di laut, danau atau
sungai lain yang lebih besar (Murtianto, 2008). Sungai merupakan suatu bentuk
ekosistem akuatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi dan
berfungsi sebagai daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya, sehingga kondisi
suatu sungai sangat dipengaruhi oleh karakteristik yang dimiliki oleh lingkungan
(Junaidi, et al.,2009). Sungai terbentuk dari air presipitasi (hujan) yang turun ke
bumi. Sebagian air tersebut mengalami evaporasi, kemudian diabsorbsi oleh
tanah. Rembesannya akan menuju ke bumi dan membentuk air sub permukaan
(ground water). Bagian yang tidak merembes akan mengalir di atas permukaan
sebagai surface run-off yang lalu membentuk sungai (Septiano, 2006).
Sungai mempunyai komponen dan yang saling berinteraksi membentuk
ekosistem yang saling mempengaruhi. Komponen ekosistem sungai akan
berintegrasi satu sama lainnya membentuk suatu aliran energi yang mendukung
stabilitas ekosistem tersebut (Junaidi et al., 2009). Aliran air melintasi permukaan
bumi dan membentuk alur aliran sungai atau morfologi sungai tertentu. Morfologi
sungai tersebut menggambarkan keterpaduan antara karakteristik (fisik, hidrologi,
hidraulika, sedimen dan lain-lain) dan karakteristik (biologi atau ekologi
termasuk flora dan fauna) daerah yang dilaluinya. Pengaruh campur tangan
manusia dapat mengakibatkan perubahan morfologi sungai yang jauh lebih cepat
daripada pengaruh alamiah biotik dan saja (Maryono, 2005)
Menurut Murtianto (2008), berdasarkan ketersediaan airnya, maka sungai
dibagi menjadi:
a. Sungai episodik, yaitu sungai yang kondisi airnya tetap sepanjang tahun
b. Sungai periodik, yaitu sungai yang kondisi airnya melimpah di musim hujan
dan sedikit atau kering di musim kemarau.
Perairan mengalir mempunyai corak tertentu yang secara jelas membedakannya
Satu perbedaan mendasar antara danau dan sungai adalah bahwa danau
terbentuk karena cekungannya sudah ada dan air mengisi cekungan itu, tetapi
danau itu setiap saat dapat terisi oleh endapan sehingga menjadi tanah kering.
Sebaliknya sungai terjadi karena airnya sudah ada, sehingga air itulah yang
membentuk dan menyebabkan tetap adanya saluran selama masih terdapat air
yang mengisinya (Siregar, 2009).
Menurut Murtianto (2008), berdasarkan arah alirannya, jenis sungai dapat
dibagi sebagai berikut:
a. Sungai konsekwen, yaitu sungai yang searah dengan kemiringan lereng.
b. Sungai subsekwen, yaitu anak sungai konsekwen yang arahnya tegak lurus
terhadap sungai konsekwen
c. Sungai insekwen, yaitu sungai yang arah alirannya tidak menentu
d. Sungai obsekswen, yaitu anak sungai subsekwen yang arah alirannya
berlawanan dengan sungai konsekwen
e. Sungai resekwen, yaitu anak sungai subsekwen yang arah alirannya searah
dengan sungai konsekwen.
Menurut Septiano (2006) menyatakan bahwa siklus kehidupan sungai
dimulai ketika tanah baru muncul dari atas permukaan laut. Hujan kemudian
mengikisnya dan membuat parit, kemudian parit itu bertemu dengan parit lain dan
membentuk sungai. Kemudian memperdalam salurannya dan mengiris ke
dasarnya membentuk sisi yang curam, suatu lembah berbentuk „‟V‟‟. Anak-anak
sungai kemudian tumbuh dari pohon. Semakin tua sungai, lembahnya semakin
dalam dan anak-anak sungainya semakin panjang.
2.2 Ekologi Ikan
Ikan merupakan hewan vertebrata dan dimasukkan ke dalam filium Chordata yang
hidup dan berkembang di dalam air dengan menggunakan insang. Ikan mengambil
oksigen dari lingkungan air di sekitarnya. Ikan juga mempunyai anggota tubuh
berupa sirip untuk menjaga keseimbangan dalam air sehingga ia tidak tergantung
Penyebaran suatu organisme tergantung pada tanggapannya terhadap
faktor lingkungan. Organisme yang dapat hidup pada selang faktor lingkungan
yang lebar (euri), cenderung akan tersebar luas pula di permukaan bumi ini,
sebaliknya jenis organisme yang hanya dapat hidup pada selang faktor lingkungan
yang sempit (steno) penyebarannya sangat terbatas. Penyebaran organisme
ditentukan oleh pola penyebarannya. Organisme yang tersebar sangat luas
umumnya pola penyebarannya berkelompok atau beraturan (Suin, 2003).
Menurut Myers (1951) dalam Rahardjo et al., (2011) ikan yang ditemukan
di perairan air tawar secara garis besar dipisahkan dalam enam kelompok yaitu:
a. Ikan primer adalah kelompok ikan yang tidak atau sedikit bertoleransi
terhadap air laut misalnya Cyprinidae dan Clariidae. Air asin bertindak
sebagai pembatas distribusi ikan.
b. Ikan sekunder adalah kelompok ikan yang sebarannya terbatas pada
perairan air tawar tetapi cukup bertoleransi terhadap salinitas, sehingga
mereka dapat masuk ke laut dan kadang kala melintasi hambatan air asin
misalnya Cichlidae.
c. Ikan diadromus adalah kelompok ikan yang secara reguler beruaya antara
perairan tawar dan perairan laut, misalnya Sidat dan Salmon.
d. Ikan vicarious adalah kelompok ikan laut yang bukan peruaya yang hidup
di perairan tawar misalnya Burbot (Lota).
e. Ikan komplementer adalah kelompok ikan laut peruaya yang mendominasi
habitat tawar bila itidak ada ikan primer dan sekunder misalnya belanak
dan Obi.
f. Ikan sporadik adalah kelompok ikan yang kadangkala masuk perairan
atau yang dapat hidup dan memijah di antara salah satu perairan misalnya
belanak.
2.2.1 Karakteristik Ikan
Ikan merupakan organism akuatik dan bernafas dengan insang. Tubuh ikan terdiri
atas caput, truncus dan caudal. Batas yang nyata antara caput dan truncus disebut
tepi caudal operculum dan sebagai batas antara truncus dan ekor disebut anus.
dilapisi oleh epithelium. Di antara sel-sel epithelium terdapat kelenjar uniseluler
yang mengeluarkan lender yang menyebabkan kulit ikan menjadi licin
(Radiopoetro (1990) dalam Siagian (2009)).
Menurut Rahardjo et al., (2011) menyatakan pada bagian tubuh ikan
terdapat beberapa sirip tapi tidak semua ikan memiliki sirip yang lengkap. Ada 5
tipe sirip pada tubuh ikan yaitu:
a. Sirip ventral, berperan sebagai alat penyeimbang agar posisi ikan stabil. Pada
beberapa ikan penghuni dasar perairan sirip ventralnya berubah bentuk
menjadi semacam alat yang digunakan untuk mencengkram substrat dan
sebaggai alat penyalur sperma.
b. Sirip pektoral mempunyai bentuk yang beragam. Pada ikan perenang cepat
seperti ikan tuna sirip pektoral cenderung panjang dan meruncing. Sebaliknya
pada ikan yang geraknnya lambat sirip cenderung membundar.
c. Sirip dorsal mempunyai banyak variasi. Sirip dorsal yang memanjang
ditemukan pada ikan gabus.
d. Sirip anal pada beberapa ikan letaknya memanjang seperti pada bawal hitam.
Sirip anal menyatu dengan sirip kaudal yang ditemukan pada ikan belida.
Pada ikan seribu jantan sirip anal berubah menjadi gonopodium yang
berfungsi sebagai penyalur sperma.
e. Sirip kaudal berperan dalam gerak bereng sebagai pendorong dan sekaligus
berfungsi sebagai kemudi untuk berbelok ke kiri atau ke kanan. Sirip ekor
mempunyai berbagai bentuk, yakni: bundar, berpinggiran tegak, berbentuk
tunggal, bulan sabit, seperti garpu, baji dan berlekuk ganda.
Menurut Lagler et al., (1962) dalam Patriono (2007) ikan mempunyai ukuran
tubuh berbeda-beda dimana setiap bentuk tubuh menyesuaikan dengan kondisi
lingkungan dan habitatnya. Umumnya tubuh ikan berbentuk torpedo (fusiform)
dan kebanyakan agak oval dalam potongan melintangnya untuk ikan yang biasa
hidup pada kondisi air yang mempunyai arus yang deras serta ikan yang
berbentuk streamline sempurna untuk ikan perenang bebas. Bentuk umum dari
kebanykan ikan adalah sebagai berikut:
a. bulat (globioform) pada Tetraodontidae,
c. seperti jarum (filiform) pada Nemichthyidae
d. sangat datar dari sisi yang satu ke sisi yang lain (compressedform) pada
chaetodontidae dan Pleuronectidae
e. bagian lain datar tapi sangat panjang (trachipteriform) pada Trachipteridae,
f. datar dari atas samapi ke bawah (depressedform) pada Rajidae dan
Ogcocephalidae
2.3 Biologi Ikan
Struktur biologi ikan dipengaruhi oleh keadaan lingkungan baik secara abiotik dan
biotik. Beberapa aspek biologi ikan antara lain hubungan panjang-berat ikan, pola
pertumbuhan ikan dan rasio kelamin ikan.
2.3.1 Pola Pertumbuhan Ikan
Pola pertumbuhan ikan dapat diketahui dengan melakuka analisis panjang berat
ikan tersebut. Hubungan ini juga menerangkan pertumbuhan ikan, kemontokan
dan perubahan lingkungan (Effendie, 1979).
Faktor kimia perairan dalam keadaan ekstrim mempunyai pengaruh
terhadap pertumbuhan ikan seperti karbondioksida, hydrogen sulfide, derajat
keasaman dan alkalinitas yang pada akhirnya mempengaruhi makanan ikan
(Effendie, 2002). Makanan ikan mengandung protein, karbohidrat dan kandungan
nutrisi lainnya. Ikan akan memndapat protein tinggi karena mempunyai
kemampuan tambahan untuk melepaskan nitrogen yang berlebihan melalui
insangnya (Hanif, 2011).
2.3.2 Rasio Kelamin
Rasio kelamin merupak perbandingan jumlah ikan jantan dengan ikan betina
dalam suatu populasi dimana perbandingan 1:1 (50% jntan dan 50% betina)
merupak kondisi ideal untuk mempertahankan spesies. Tetapi sering kali terjadi
penyimpangan dari pola 1:1 yang antara lain disebabkan adanya perbedaan
tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina, perbedaan laju mortalitas dan
kemudian nisbah kelamin berubah menjadi 1:1 diikuti dengan dominansi ikan
betina (Setiawan, 2007).
2.4 Faktor Fisik-Kimia Perairan Sungai
Distribusi ikan di perairan sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan anta lain
suhu, arus, pH, kecerahan, oksigen terlarut dan ketersediaan makanan alami.
Faktor-faktor ini dapat mengalami perubahan baik secara alami maupun akibat
dari aktivitas manusia (Defiran & Muchlisin, 2004).
2.4.1 Faktor Fisika Perairan Sungai 2.4.1.1 Arus Sungai
Perpindahan air sangatlah penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas
terlarut dan garam-garaman juga mempengaruhi perilaku organisme kecil.
Kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan ke dasar, meskipun
berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apa pun. Arus
akan paling lambat bila makin dekat ke dasar. Perubahan kecepatan air itu
tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup dalam
air mengalir, yang kedalamannya berbeda (Michael, 1995).
Kecepatan arus air permukaan tidak sama dengan air bagian bawah.
Semakin ke bawah gerakan air biasanya semakin lambat dibandingkan dengan di
bagian permukaan. Perbedaan kecepatan arus antar kedalaman menyebabkan
tampak bentuk antara organisme air pada kedalaman yang berbeda tidak sama.
Kecepatan arus air dapat diukur dengan beberapa cara, mulai dengan cara yang
paling sederhana sampai dengan alat yang khusus untuk itu, yaitu dengan meteran
arus buatan pabrik (Suin, 2002).
2.4.1.2 Suhu Air Sungai
Dalam setiap penelitian pada ekosistem akuatik, pengukuran suhu air merupakan
hal yang mutlak dilakukan. Hal ini disebabkan karena kelarutan berbagai gas di
(misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola suhu ekosistem
akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari,
pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor
kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi (Brechm &
Meijering, 1990 dalam Barus, 1996).
Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi
badan air. Suhu juga sangat berperan dalam mengendalikan kondisi ekosistem
perairan. Organisme akuatik memiliki kisaran suhu tertentu yang baik bagi
pertumbuhannya (Wijaya, 2009).
Suhu merupakan salah satu variabel lingkungan yang sangat penting. Ikan,
sebagai hewan ektodermal (poikilotermal), sangat bergantung pada suhu. Setiap
ikan diketahui mempunyai kisaran suhu optimal yang pada suhu tersebut ikan
tumbuh maksimal. Pada anakan ikan suhu optimal pertumbuhan menurun seiring
dengan pertambahan bobot. Pertumbuhan ikan di daerah tropik lebih cepat
dibandingkan dengan pertumbuhan ikan di daerah dingin (Rahardjo et al., 2011).
2.4.1.3 Kekeruhan Air Sungai
Kekeruhan pada sungai diakibatkan oleh adanya zat organik yang tersuspensi dan
terurai secara halus sekali, jasad renik, lumpur serta benda terapung yang tidak
mengendap dengan segera. Kekeruhan berkaitan erat dengan tipe substrat dan
perairan dengan dasar berlumpur cenderung memiliki kekeruhan yang tinggi
(Herdiana, 2000). Dengan keruhnya air maka penetrasi cahaya ke dalam air
berkurang, sehingga penyebaran organisme berhijau daun tidak begitu dalam,
karena proses fotosintesis tidak dapat berlangsung. Untuk mengukur kekeruhan
digunakan alat yang dinamakan turbidimeter (Suin, 2002).
2.4.1.4 Kecerahan Air Sungai
Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat optis
dari air. Sebagian cahaya matahari tersebut akan diabsorbsi dan sebagian lagi akan
dipantulkan ke luar permukaan air. Dengan bertambahnya kedalaman lapisan air
intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yang signifikan baik secara
kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat
berwarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah
menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi
dalam air sampai ke lapisan dasar. Kondisi optik dalam air selain dipengaruhi oleh
intensitas cahaya matahari juga oleh berbagai substrat dan benda lain yang
terdapat di dalam air, misalnya oleh plankton dan humin yang terlarut dalam air
(Barus, 2004.
Pengukuran kecerahan air dengan keeping secchi didasarkan pada batas
pandangan ke dalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air.
Semakin keruh suatu badan air akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya
kalau air jernih akan jauh batas pandangan tersebut (Suin, 2002).
2.4.2 Faktor Kimia Perairan
Air sebagai pelarut yang baik bagi berbagai jumlah zat terlarut, selalu ada dalalm
air alamiah. Jumlah zat terlarut dalam air biasanya berbeda-beda dalam jumlah
yang ada dalam cairan tubuh organisme yang hidup di dalam air.
Perbedaan-perbedaan itu mempengaruhi pertukaran osmotik antara hewan dan
lingkungannya. Selain itu, sifat kimia air mempengaruhi penyebaran organisme
air (Michael, 1995).
2.4.2.1 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)
Kelarutan oksigen merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan.
Oksigen terlarut merupakan suatu factor yang sangat penting di dalam ekosistem
perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar
organisme air. Kelarutan oksigen di dalam air terutama sangat dipengaruhi oleh
faktor suhu, dimana kelarutan maksimum terdapat pada suhu 0oC, yaitu sebesar
14,16 mg/L oksigen. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi
oksigen akan menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah akan
meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Sumber utama oksigen terlarut dalam
air berasal dari adanya kontak antara permukaan air dengan udara dan juga dari
proses fotosintesis. Air kehilangan oksigen melalui pelepasan dari permukaan ke
Gas-gas yang terlarut dalam air merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap perkembangan embrio ikan terutama bagi telur ikan ovipar. Kelarutan
oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada
jenis ikan, umumnya 4-12 ppm dapat diterima oleh ikan. Ikan biasa memijah di air
mengalir dan dingin memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang
biasanya memijah di air tergenang (stagnan) atau berarus lambat. Tekanan
oksigen dapat mempengaruhi jumlah elemen meristik (Rahardjo et al., 2011).
2.4.2.2 Biochemical Oxygen Demand (BOD)
Nilai BOD dapat dinyatakan sebagai jumlah oksigen yang diperlukan oleh
mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa organik. Penguraian
bahan buangan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air
lingkungan adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan
mengandung oksigen yang cukup (Wardhana (1995) dalam Fitra (2008)).
Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) menyatakan jumlah oksigen
yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik dalam proses penguraian senyawa
organik yang diukur pada temperature 20 oC. Dalam proses oksidasi secara
biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan
dengan proses oksidasi secara kimiawi. Dari hasil penelitian misalnya diketahui
bahwa untuk menguraikan senyawa organik yang terdapat di dalam limbah rumah
tangga secara sempurna, mikroorganisme membutuhkan waktu sekitar 20 hari
lamanya. Mengingat bahwa waktu selama 20 hari dianggap terlalu lama dalam
proses pengkuran ini, sementara dari penelitian diketahui bahwa setelah
pengukuran dilakukan selama 5 hari jumlah senyawa organik yang diuraikan
sudah mencapai kurang lebih 70%, maka pengukuran yang umum dilakukan
adalah pengukuran selama 5 hari (BOD5). Disamping itu bisa juga dilakukan
pengukuran selam 1 hari, 2 hari dan seterusnya, sesuai dengan kebutuhan dan
faktor waktu yang tersedia. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengukuran BOD
adalah jumlah senyawa organik yang akan diuraikan, tersedianya mikroorganisme
2.4.2.3 Nilai pH (Derajat Keasaman)
Ion-ion hidrogen (asam) dan ion-ion hidroksil (basa), keduanya dihasilkan dari
pengionan air. Dengan demikian setiap perubahan konsentrassi salah satu ion ini
akan membawa perubahan dalam konsentrasi ion lainnya. Suatu skala bilangan
yang disebut skala pH digunakan untuk mengukur keasaman atau kebasaan air,
dan bilangan tersebut menyatakan konsentrasi ion hidrogen secara tidak langsung
(Michael, 1995).
Organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH
netral dengan kisaran antara asam lemah sampai basa lemah. Nilai pH yang ideal
bagi kehidupan organisme air pada umumnya terdapat antara antara 7 sampai 8,5.
Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan
membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan
terjadinya gangguan metabolisme dan dan respirasi. Disamping itu pH yang
sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat
terutama ion aluminium (Barus, 2004).
2.4.2.4 Kandungan Nitrat dan Posfat
Unsur hara sangat dibutuhkan dalam suatu perairan terutama untuk makrophyta
dan fitoplankton yang merupakan produsen tingkat pertama dalam suatu perairan.
Fitoplanton dapat menghasilkan energy dan molekul yang kompleks jika tersedia
bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalan nitrat dan posfat (Nybakken
1992 dalam Siregar 2009).
Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan untuk
tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat
mematikan organisme air. Disamping itu nitrit dapt menyebabkan fungsi
hemoglobin dalam transportasi oksigen terganggu dimana hemoglobin akan
diubah menjadi methahemoglobin yang mempunyai kemampuan rendah dalam
mentransport oksigen. Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal
dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya
masuk ke dalam system perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2014 di Sungai
Asahan Kabupaten Asahan Sumatera Utara. sampel yang diperoleh dibawa untuk
diidentifikasi di Laboratorium Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan,
Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Sumatera Utara.
3.2 Deskripsi Area
Penelitian ini dilakukan dengan penentuan titik lokasi pengambilan sampel
menggunakan metode “Purposive Sampling” yaitu dengan menentukan 3 stasiun
pengambilan sampel. Masing-masing stasiun ditentukan berdasarkan aktivitas
yang terdapat di stasiun tersebut, yaitu: stasiun 1 (pemukiman penduduk), stasiun
2 (bendungan PLTA PT. Inalum) dan stasiun 3 (perkebunan kelapa sawit).
3.2.1 Stasiun 1
Stasiun ini terletak di sungai Aek Sibargot, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten
Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o33‟ 44,7” LU dan 099o 20‟ 19,5”
BT. Sungai ini merupakan anakan sungai dan dekat dengan pemukiman penduduk
3.2.2 Stasiun 2
Stasiun ini terletak di sungai Tangga, Kecamatan Pintu Meranti, Kabupaten
Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o33‟ 31,0” LU dan 099o18‟ 37,4”
BT. Daerah ini merupakan daerah bendungan PLTA PT. Inalum. Substrat dasar
pada lokasi ini adalah pasir dan batuan.
Gambar 2. Daerah Dekat Bendungan PLTA PT. Inalum
3.2.3 Stasiun 3
Stasiun ini terletak di sungai Parhitean, Kecamatan Pintu Meranti,
Kabupaten Asahan, yang secara geografis terletak pada 02o 33‟ 53,77” LU dan
099o 20‟ 09,3” BT. Sungai ini merupakan sungai utama dimana di sekitar daerah
ini adalah perkebunan kelapa sawit. Substrat pada lokasi ini berupa batu dan pasir.
3.3 Alat dan Bahan
Adapun alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah jala dengan
luas 12,46 m2, toples kaca, kertas grafik, pH meter, termometer, bola ping pong,
Stopwatch, keping sechii, Spektrofotometer, timbangan digital, penggaris, camera
digital, pipet tetes, erlenmeyer 150 ml, spit 1 ml, spit 3 ml, spit 5 ml, aluminium
foil, plastik berukuran 5kg, botol alkohol, lux meter, bagan kerja DO (Dissolved
Oxigen), dan GPS (Global Positioning System), serta buku identifikasi ikan
Kottelat et al, (1996). Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
formalin 4% dan alkohol 70%, MnSO4, KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3 dan amilum.
3.4 Pengambilan Sampel Ikan
Pengambilan sampel ikan dengan menggunakan jala dilakukan dengan
menebar jala sebanyak 30 ulangan pada masing-masing stasiun. Penebaran jala
dilakukan secara acak di setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel ikan yang
diperoleh dimasukkan ke dalam plastik berukuran 5 kg dan diawetkan dengan
alkohol 70% untuk selanjutnya dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi.
3.5 Pengukuran faktor Fisik-Kimia Perairan 3.5.1 Suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan alat termometer dengan
skala 0-100oC. Termometer dimasukkan ke badan air dan biarkan beberapa saat
lalu dibaca skala dari termometer tersebut dan dicatat hasil yang tertera pada
skala.
3.5.2 pH
Pengukuran pH air dilakukan dengan menggunakan pH meter.
Sebelumnya dikalibrasi dulu pH dengan pH 7. pH meter dimasukkan ke badan air
lalu dibaca nilainya dan dicatat hasil yang tertera pada skala pH meter.
3.5.3 Penetrasi Cahaya
Pengukuran penetrasi cahaya dilakukan dengan menggunakan keping
Sechii, caranya dengan keping Sechii dimasukkan ke dalam perairan sungai,
3.5.4 DO (Dissolved Oxigen)
Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan metode
Winkler, yaitu sampel air dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan
masing-masing 1 ml MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan
dihomogenkan. Sampel didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih,
kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga
terbentuk endapan coklat. Sampel diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam
erlenmeyer lalu dititrasi dengan Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat,
lalu sampel ditetesi amilum sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk
larutan biru. Kemudian sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga
terjadi perubahan warna menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang
terpakai dihitung dan hasilnya dicatat. (Lampiran B).
3.5.5 BOD5 (Biochemichal Oxigen Demand)
Pengukuran BOD5 dilakukan setelah sampel air yang diambil, diinkubasi
selama 5 hari, kemudian dengan metode Winkler yang memakai reagen-reagen
kimia yaitu MnSO4 dan KOH-KI, H2SO4, Na2S2O3, amilum. Sampel air
dimasukkan ke dalam botol Winkler, lalu ditambahkan masing-masing 1 ml
MnSO4 dan KOH-KI ke dalam botol tersebut dan dihomogenkan. Sampel
didiamkan sebentar hingga terbentuk endapan putih, kemudian ditambahkan 1 ml
H2SO4, dihomogenkan dan didiamkan hingga terbentuk endapan coklat. Sampel
diambil 100 ml dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dititrasi dengan
Na2S2O3 0,0125 N hingga berwarna kuning pucat, lalu sampel ditetesi amilum
sebanyak 5 tetes dan dihomogenkan hingga terbentuk larutan biru. Kemudian
sampel dititrasi menggunakan Na2S2O3 0,0125 N hingga terjadi perubahan warna
menjadi bening. Volume Na2S2O3 0,0125 N yang terpakai dihitung dan hasilnya
dicatat. Nilai BOD5 adalah nilai DO awal dikurang dengan nilai DO akhir.
3.5.6 Kejenuhan Oksigen
Nilai kejenuhan oksigen (%) dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Kejenuhan O2 x 100%
Keterangan:
O2 [U] : Nilai konsentrasi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 [t] : Nilai konsentrasi pada tabel (lampiran D) sesuai besar suhunya.
3.5.7 Intensitas Cahaya
Lux meter diletakkan pada lokasi penelitian setelah terlebih dahulu
dinyalakan dan diatur Lux meter pada perbesaran 200.000, kemudian dicatat nilai
yang tertera pada layar.
3.5.8 Kecepatan Arus Sungai
Bola ping pong dimasukkan ke badan sungai bersamaan dengan
menghidupkan stopwatch, hingga mencapai jarak 10 m. Kemudian dimatikan
stopwatch dan dicatat waktunya.
3.5.9 Kadar Nitrat (NO3)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml, lalu ditambahkan 1 ml NaCL dengan
pipet volum dan ditambahkan 5 ml H2SO4 75% lalu ditambah 4 tetes Brucine
Sulfat Sulfanic Acid. Larutan yang terbentuk dipanaskan selama 25 menit.
Kemudian larutan tersebut didinginkan lalu diukur dengan spektrofotometer pada
λ= 410 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera pada spektrofotometer (Lampiran
E).
3.5.10 Kadar Posfat (PO4)
Sampel air diambil sebanyak 5 ml lalu ditambahkan 1 ml Amstrong Reagen dan 1
ml Ascorbic Acid. Larutan yang terbentuk dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur
dengan spektrofotometer pada λ= 880 nm. Kemudian dicatat nilai yang tertera
3.6 Analisis Data 3.6.1 Ikan
Data ikan yang diperoleh dihitung nilai kepadatan populasi, kepadatan relatif,
frekuensi kehadiran, indeks diversitas Shannon-Weinner, dan indeks ekuitabilitas
Dimana:
H‟ = indeks diversitas Shannon-Wiener
pi = proporsi spesies ke-i
Ln = logaritma nature
Pi =
(Perhitungan jumlah individu suatu jenis dengan keseluruhan jenis) 0<H‟<2,303 = Keanekaragaman tinggi
2,302<H‟<6,907 = Keanekaragaman sedang
H‟ = indeks diversitas Shannon-Wienner
H max = keanekaragaman spesies maximum
3.6.2 Rasio Kelamin
Penentuan jenis kelamin ikan dapat dilakukan dengan cara pembedahan yaitu
dengan melihat gonad jantan dan gonad betina, atau mengeluarkan cairan sperma
dan telur dengan mengurut bagian perut dekat lubang kelamin. Menurut Efendie
(1997), sifat seksual primer pada ikan ditandai dengan adanya organ yang secara
langsung berhubungan dengan proses reproduksinya yaitu ovarium dan
pembuluhnya pada ikan betina dan pada ikan jantan testis dengan pembuluhnya.
Sifat seksual sekunder ikan dapat dilihat melalui sifat morfologi dari ikan jantan
dan betina. Pada ikan jantan mempunyai warna yang lebih cerah dan lebih
menarik daripada ikan betina.
Rasio kelamin dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut:
RK=j/b
Dimana:
RK : Rasio Kelamin
j : Jantan
b : Betina
3.6.3 Hubungan Panjang-Bobot
Hubungan Panjang-Bobot ikan dpat dilakukan untuk melihat pola pertumbuhan
ikan di alam, yang ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Effendie, 1997):
W= aLb
Dimana:
W : Bobot tubuh ikan (g)
L : Panjang total ikan (cm)
a : Konstanta
b : Koefisien pertumbuhan
Pendekatan regresi linier dilakukan untuk melihat hubungan kedua parameter
tersebut. Nilai b digunakan untuk menduga laju pertumbuhan kedua parameter
yang dianalisis. Hipotesis yang digunakan adalah:
1. Jika b=3 maka disebut isometrik (pola pertumbuhan panjang sama dengan
2. Jika b≠3 disebut allometrik yaitu:
a. Jika b>3 disebut allometrik positif (pertumbuhan berat lebih dominan)
b. Jika b<3 disebut allometrik negatif (pertumbuhan panjang lebih
dominan)
3.6.4 Metode STORET
Metode Stored digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan
menggunakan Indeks Kualitas Air (IKA) STORET . Baku mutu yang digunakan
dalam indeks STORET adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 82
tahun 2001 kelas 2 (baku mutu air peruntukan budidaya perikanan dan
pariwisata). Prinsip dari metode STORET adalah membandingkan data kualitas
air dengan baku mutu air (Tabel 1) yang disesuaikan dengan peruntukannya guna
menentukan status mutu air.
Tabel 1. Baku mutu air berdasarkan PP No. 82 tahun 2001
Parameter Satuan Baku Mutu
Fisika
Intensitas Cahaya Candela (-)
Suhu oC Deviasi 3
Keterangan: Tanda (-) menyatakan parameter tersebut tidak dipersyaratkan (Gonawi, 2009).
Cara untuk menentukan status mutu air dengan menggunakan sistem nilai dari
“US-EPA (Enviromental Protection Agency) dengan mengklasifikasikan mutu air
dalam empat kelas seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi mutu air
Skor Kelas Karakteristik Kualitas Air
0 A Baik sekali -1 s/d -10 B Baik
-11 s/d -30 C Tercemar sedang
≤ -31 D Tercemar berat
Menurut Saputra (2009), prosedur yang dilakukan dalam penentuan
kualitas air dengan metode storet adalah menghitung nilai maksimum, minimum,
dan rata-rata setiap parameter kualitas air yang diamati, lalu dicantumkan dalam
satu tabel. Dibandingkan nilai rata-rata, nilai maksimum, dan nilai minimum dari
masing-masing parameter kualitas air tersebut dengan nilai baku mutu air. Jika
nilai dari hasil pengukuran tersebut memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi
skor 0 (nol). Jika nilai tersebut tidak memenuhi nilai baku mutu air, maka diberi
skor tertentu sebagai berikut (Tabel 3):
Tabel 3. Pemberian skor dalam penentuan indeks STORET
Jumlah Data Nilai Parameter
Fisika Kimia
<10 Maksimum -1 -2
Minimum -1 -2
Rata-rata -3 -6
≥10 Maksimum -2 -4
Minimum -2 -4
Rata-rata -6 -12
Sumber: Canter (1997) dalam Saputra (2009)
3.6.5 Analisis Korelasi
Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan
yang berkorelasi terhadap nilai keanekaragaman ikan. Analisis korelasi dihitung
menggunakan Analisis Korelasi Pearson dengan metode komputerisasi SPSS Ver.
21.00.
Keterangan:
0,00-0,199 : Sangat rendah
0,20-0,399 : Rendah
0,40-0,599 : Sedang
0,60-0,799 : Kuat
0,80-1,00 : Sangat kuat
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Biotik Lingkungan
4.1.1 Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun
Hasil klasifikasi ikan yang diperoleh dari setiap stasiun dapat dilihat tabel 4 berikut ini:
Tabel 4. Jenis-jenis Ikan yang Diperoleh dari Setiap Stasiun
No. Ordo Famili Spesies
1. Cypriniformes 1 Cyprinidae 1. Hampala macrolepidota
2. Leptobarbus hosii
3. Lobocheilus schwanenfeldii
4. Neolisocheilus sumatranus
5. Puntius binotatus
6. Tor tambra
2. Perciformes 2. Balitoridae 7. Homaloptera ophiolepis
3. Mastacembelidae 8. Mastacembelus unicolor
3. Siluriformes 4. Bagridae 9. Mystus olyroides
5. Sisoridae 10.Glypthotorax platygonoides
Tabel 4 menunjukkan bahwa ikan yang diperoleh terdiri dari 3 ordo, 5 famili dan
10 spesies. Masing-masing jenis ikan ini memiliki karakteristik yang berbeda baik
dari segi morfologi, maupun habitatnya dapat dilihat sebagai berikut:
Deskripsi Ikan:
1. Ikan (Hampala macrolepidota) (Hampala)
Morfologi: panjang total: 17,2-20,27; panjang standar: 13,5-15,8; panjang
kepala: 1,2-1,6; tinggi badan: 1,2-2,3; panjang ekor: 1,2-2,3; lebar bukaan mulut:
1,5-2,3; jumlah sisik: 106-187; bentuk tubuh compressedform, tipe mulut
terminal, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid. Ikan ini memiliki tubuh
berwarna kuning perak, pada bagian ekor berwana merah dan pada bagian
Gambar 4.Hampala macrolepidota
2. Ikan Leptobarbus hosii (Jelawat)
Morfologi: panjang total: 3,8-12,2; panjang standar; panjang kepala:
0,8-1,6; tinggi badan: 0,5-3,6; panjang ekor: 1,2-3,4; lebar bukaan mulut: 0,6-2,3;
jumlah sisik: 87-210; 5-51/2 sisik antara gurat sisik dan awal sirip punggung dan
batang ekor dikelilingi oleh 14 sisik, bentuk tubuh compressedform, tipe ekor
homocercal, tipe sisik sikloid, tubuh berwarna kuning keperakan dan termasuk
ikan perenang cepat.
Gambar 5.Leptobarbus hosii
3. Ikan Lobocheilus schwanenfeldii (Kasau)
Morfologi: Panjang total: 4,7-12,2; panjang standar: 3,8-11,7; panjang
kepala: 1,2-2,5; tinggi badan: 1,8-3,4; panjang ekor: 2,4-3,7; lebar bukaan mulut:
0,8-1,8; jumlah sisik: 120-295; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor
punggung lunak, sisik di garis rusuk 32-33, ada bercak hitam pada pangkal ekor,
kehadiran garis lateral yang gelap samar ada di atas gurat sisik di sepanjang tubuh
dan lebih mencolok pada batang ekor. Terdapat 4 sungut mandibularis di sekitar
setengah dari diameter mata, sirip perut memanjang sampai asal sirip anal, sirip
dorsal mencapai panjang vertikal melalui sirip anal dan sirip anal memanjang
sampai dasar sirip ekor.
Gambar 6.Lobocheilus schwanenfeldii
4. Ikan Neolisocheilus sumatranus (Jurung Batu)
Morfologi: panjang totatal: 5-37,8; panjang standar: 3,8-36,2; panjang
standar:3,8-36,2; panjang kepala: 0,7-2,9; tinggi badan: 1,2-3,7; panjang ekor:
2,1-4,6; lebar bukaan mulut: 1,8-3,4; jumlah sisik: 154-460; bentuk tubuh
compressedform, tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid, 7-8 sisik depan sirip
punggung, warna bagian perut putih dan bagian atas punggung agak kehitaman.
5. Ikan Puntius binotatus (pora-pora)
Morfologi: panjang total: 5,4-8,6; panjang standar: 4,1-6,3; panjang kepala:
2,1-3,2; panjang badan: 3,4-4,7; panjang ekor: 2,3-3,7; lebar bukaan mulut:
1,8-2,5;jumlah sisik: 195-286; bentuk tubuh compressedform, tipe ekor homocercal,
tipe sisik sikloid dan warna tubuh putih keperakan, mempunyai empat sungut,
jari-jari terakhir sirip punggung mengeras dan bergerigi, sebuah bintik bulat pada
bagian depan sirip punggung dan sebuah lagi pada bagian tengah ekor.
Gambar 8.Puntius bonotatus
6. Ikan Tor tambra (Jurung)
Morfologi: panjang total: 9,4-11,4; panjang standar: 7,3-8,7; panjang
kepala: 1,9-3,2; tinggi badan: 2,6-4,4; panjang ekor: 2,8-3,9; lebar bukaan mulut:
1,9-2,7; jumlah sisik: 180-395; bentuk tubuh compressedform, tipe mulut inferior,
tipe ekor homocercal, tipe sisik sikloid, terdapat sebuah cuping berukuran sedang
pada bibir bawah tetapi tidak menyentuh ujung bibir, jari-jari terakhir sirip
punggung yang mengeras lebih pendek daripada kepala tanpa moncong.
7. Ikan Homaloptera ophiolepis (Icur)
Morfologi: panjang total: 10,2-11,4, panjang standar: 7,8-8,8; panjang
kepala: 1,7-2,4; tinggi badan: 0,9-2,4; panjang ekor: 1,9-2,8; lebar bukaan mulut:
0,5-1,8; bentuk tubuh ostraciform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal dan
warna tubuh coklat kehitaman dengan permukaan yang kasar, memiliki sirip
punggung yang berada di depan awal sirip perut.
Gambar 10.Homaloptera ophiolepis
8. Ikan Mastacembelus unicolor (Sili)
Morfologi: panjang total: 17,2; panjang standar: 16,5; panjang kepala: 3,4;
panjang badan: 12,3; tinggi badan: 0,8; panjang ekor: 1,8; lebar bukaan mulut:
2,2; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor proteocercal, warna
tubuh loreng-loreng coklat dengan hitam dan permukaan tubuh licin dengan
pinggiran punggung bergerigi, sirip ekor agak terpisah dari sirip punggung.
9. Ikan Mystus olyroides (Baung)
Morfologi: panjang total: 9,4-15,7; panjang standar: 7,6-12,3; panjang
kepala: 1,9-3,2; tinggi badan: 1,9-2,7; panjang ekor: 2,1-3,8; lebar bukaan mulut:
1,2-2,3; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal,
warna tubuh hitam dengan permukaan licin, kepala pipih datar, sungut-sungutnya
sangat panjang, sungut rahang atas memanjang sampai pangkal sirip ekor atau
akhir pangkal sirip dubur.
Gambar 12.Mystus olyroides
10.Ikan Glypthotorax platygonoides (Kating)
Morfologi: panjang total: 9,8-12,5; panjang standar: 6,7-10,3; panjang
kepala: 1,8-3,2; tinggi badan: 1,9-2,,3; panjang ekor: 1,8-3,2; lebar bukaan mulut:
1,8-2,2; bentuk tubuh anguiliform, tipe mulut inferior, tipe ekor homocercal,
warna tubuh hitam dengan bercak coklat kekuningan pada bagian akhir sirip
dengan permukaan tubu licin dan badan tertutup oleh buti-butir kasar.
4.1.2 Kepadatan, Kepadatan Relatif dan Frekuensi Kehadiran Ikan
Nilai Kepadatan (K), Kepadatan Relatif (KR), dan Frekuensi Kehadiran (KR) ikan
dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5. Data kepadatan (ind/m2), kepadatan relatif (%) dan frekuensi kehadiran
yaitu 7 spesies sedangkan stasiun 1 dan stasiun 3 mempunyai jumlah spesies yang
sama yaitu 3 spesies. Hal ini dapat disebabkan pada stasiun 2 memiliki nilai Nitrat
(NO3-N) dan Posfat (PO4) yang paling tinggi dibandingkan dengan stasiun lain.
Nitrat dan posfat dibutuhkan oleh ikan sebagai bahan dasar makanannya dalam
suatu perairan. Selain itu nitrat dan posfat merupakan unsur hara penting dalam
suatu perairan sebagai bahan dasar alga dan fitoplankton sebagai produsen tingkat
pertama dalam perairan.
Stasiun 1 juga mempunyai nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,157
ind/m2. Hal ini dapat disebabkan pada stasiun ini memiliki nilai oksigen terlarut
(DO) paling tinggi dibandingkan stasiun lain yang menyebabkan banyak ikan
dapat hidup. Oksigen terlarut dalam air sangat dibutuhkan oleh ikan maupun biota
perairan lainnya untuk kelestarian jenis ikan. Oksigen terlarut dibutuhkan oleh
semua jasad hidup untuk pernafasan, proses metabolisme atau pertukaran zat yang
kemudian menghasilkan energi pertumbuhan dan pembiakan. Disamping itu,
oksigen juga dibutuhkan untuk oksidasi bahan-bahan organik dan anorganik
suatu proses difusi dari udara bebas dan hasil fotosintesis organisme yang hidup
dalam perairan tersebut (Salmin 2000 dalam Salis 2006).
Ikan Neolisocheilus sumatranus ditemukan pada setiap stasiun yang
menggambarkan daya adaptasi yang merata pada setiap stasiun. Hal ini juga dapat
disebabkan ikan ini banyak hidup di daerah sungai Asahan. Menurut Simajuntak
(2012) ikan Neolisocheilus sumatranus merupakan ikan endemik di daerah
Sumatera Utara.
Ikan Puntius binotatus hanya di temukan pada stasiun 1 hal ini dapat
disebabkan pada stasiun 1 cocok untuk pertumbuhan ikan ini seperti keadaan
oksigen terlarut yang tinggi untuk pertumbuhannya. Hal ini juga dapat disebakan
karena karakteristik ikan puntius yang sesuai dengan lingkungannya. Menurut Ali
& Kathergany (1987) dalam Defira & Muchlis 2004 menyatakan bahwa ciri khas
ikan Puntius adalah pada sisik terdapat proyeksi dari pusat ke pinggir seperti
jari-jari pada roda yang menyebabkan pergerakan ikan lebih bebas.
Ikan Leptobarbus hosii, Tor tambra, Homaloptera ophiolepis, Mystus
olyroides dan Glypthotorax platygonoides hanya ditemukan pada stasiu 2 hal ini
dapat disebabkan pada stasiun 2 memiliki intensitas cahaya yang paling tinggi
yang mendukung pergerakan ikan dalam mencari makanan sehingga lebih banyak
ikan yang dapat bertahan dalam satu lingungan. Hal lain yang mempengaruhinya
adalah pada stasiun 2 memiliki kecepatan arus yang lebih tinggi dan substrat
batuan yang lebih banyak. Ikan Tor tambra memiliki ciri morfologi diantaranya
mempunyai kepala dan mulut yang besar, kepala agak memanjang yang diduga
untuk menyesuaikan dengan habitat yang berarus agar mudah dalam berenang
(Haryono, 2009). Sedangkan Glypthotorax platygonoides ikan dari genus ini
umumnya dapat beradaptasi dengan air berarus deras dan dapat bersembunyi
menyelinap di bawah batu (Kottelat et al., 1993),
Pada stasiun 1 ikan Neolisocheilus sumatranus memiliki nilai kepadatan
tertinggi dengan nilai 0,008 ind/m2. Hal ini dapat disebabkan ikan ini merupakan
ikan khas di Sungai Asahan dan kelompok ikan family Cyprinidae merupakan
penghuni utama di beberapa perairan di Sumatera (Kottelat, et al., 1993). Menurut
Patriono (2007) kelimpahan spesies ikan famili Cyprinidae dapat dihubungkan
variasi yang besar, kebanyakan dari spesies memerlukan waktu yang relatif
singkat untuk sampai pada musim kawin, dan sebagian besar dapat menempati
relung yang kecil dan mendapat cukup makanan serta tempat tinggal karena
ukurannya yang kecil.
Pada stasiun 2 ikan Lobocheilus schwanenfeldii memiliki nilai kepadatan
tertinggi dengan nilai 0,037 ind/m2 dibandingkan dengan spesies lain. Hal ini
dapat disebabkan karena stasiun ini memiliki nilai intensitas cahaya yang paling
tinggi yang mempengaruhi kecepatan ikan ini mencari makanan sehingga banyak
ikan untuk bertahan hidup. Kemampuan ikan ini dalam mempertahankan
hidupnya terhadap predator dan kompetisi di dalam perairan tersebut dengan
kelincahannya berenang karena ikan ini termasuk ikan perenang cepat. Menurut
Amzah (2002) dalam Abdurahim (2004), keberadaan suatu jenis ikan dalam
suafu perairan sangat dipengaruhi oleh adanya predator, kompetitor, dan beberapa
faktor fisika dan kimia perairan. Interaksi ikan semakin tinggi dan
keanekaragaman jenis yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas memiliki
kompleksitas tingi, karena dalam komunitas terjadi interaksi jenis yang tinggi pula
(Taqwa, 2010).
Pada stasiun 3 ikan Hampala macrolepidota dan Neolisocheilus
sumatranus sama-sama memiliki nilai kepadatan tertinggi dengan nilai 0,005
ind/m2. Hal ini karena memang ikan ini tersebar luas diperairan sesuai dengan
pendapat Rahardjo et al., (2011), ikan kelas Actinopterygii termasuk Hampala
merupakan kelas yang dominan di bumi termasuk di perairan air tawar. Keadaan
ini juga dapat disebabkan ikan Hampala memiliki kemampuan reproduksi yang
baik dalam stasiun ini. Pertumbuhan populasi ikan dialam sangat tergantung pada
strategi reproduksi dan respons dari perubahan lingkungan (Yustina, 2002).
4.1.3 Indeks Keanekaragaman (Shannon-Wienner), Indeks Keseragaman
Nilai Indek keanekaragaman dan indeks keseragaman dapat dilihat pada Tabel 6
sebagai berikut:
Tabel 6. Nilai Indeks Keanekaragaman (H‟), Indeks Keseragaman (E)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
H’ 0,487 1,554 1,073
Pada Tabel 6 dapat dilihat nilai keanekaragaman di ketiga stasiun berkisar antara
0,487-1,554 yang tergolong dalam nilai keanekaragaman rendah. Hal ini dapat
disebabkan banyaknya aktivitas yang terdapat di setiap stasiun yang
mempengaruhi kualitas air. Perubahan kualitas air mengakibatkan ikan yang tidak
dapat bertahan dalam kondisi tersebut dan akan melakukan migrasi. Perubahan
kedalaman air juga merupakan perangsang ikan melakukan migrasi untuk
bereproduksi maupun mencari makanan, Baran (2006) dalam Sulistyarto (2007).
Nilai indeks keanekaragaman (H‟) berkisar antara 0-2,302 menandakan keanekaragamannya rendah. Indeks Keanekaragaman menyatakan kekayaan
spesies dalam komunitas dan memperlihatkan keseimbangan dalam pembagian
individu per spesies. Nilai ini akan semakin meningkat jika jumlah spesies
semakin banyak dan proporsi jenis semakin merata (Krebs, 1985).
Indeks keanekaragaman (H‟) tertinggi terdapat pada stasiun 2 yaitu sebesar 1,554 sedangkan yang terendah pada stasiun 1 yaitu sebesar 0,483. Hal ini dapat
disebabkan stasiun 2 memiliki kondisi yang baik untuk keberadaan ikan. Nilai
keanekaragaman di setiap stasiun dipengaruhi oleh jumlah individu, jumlah
spesies dan penyebaran individu dari masing-masing spesies. Menurut Defirda &
Muchlisin (2004) keanekaragaman dan keseragaman jenis ikan di suatu perairan
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan interaksi antara yang hidup di setiap
perairan.
Nilai indeks keseragaman (E) pada setiap stasiun yang ditunjukkan pada
Tabel 6 berkisar antara 0,443-0,976. Nilai ini adalah tergolong baik dimana
nilainya berada diantar 0-1 yang menyatakan bahwa ikan tersebar merata. Indeks
keseragaman (E) digunakan untuk mengetahui kemerataan proporsi
masing-masing jenis ikan di suatu ekosistem, hal ini sesuai dengan pendapat Krebs
(1978) menyebutkan semakin kecil nilai (E) maka semakin kecil pula
keseragaman suatu populasi dan penyebaran individunya mendominasi populasi
sedangkan bila nilainya semakin besar maka akan semakin besar pula
keseragaman suatu populasi dimana jenis dan jumlah individu tiap jenisnya
4.1.4 Indeks Similaritas Ikan (IS)
Nilai Indeks Similaritas (IS) pada setiap stasiun dapat dilihat pada tabel 7 berikut.
Tabel 7. Data Indeks Similaritas ikan (IS) di setiap stasiun
IS Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Stasiun 1 - 40% 33,3%
Stasiun 2 - - 20%
Stasiun 3 - - -
Tabel 7 menunjukkan nilai indeks similaritas antar stasiun. Indeks similaritas
tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan stasiun 2 yaitu sebesar 40% yang artinya
kedua stasiun memiliki kesamaan spesies yang sangat mirip. Sedangkan indeks
similaritas terendah terdapat pada stasiun 2 dan stasiun 3 yaitu sebesar 20% yang
artinya kedua stasiun tidak mirip. Ketidakmiripan antara kedua habitat dapat
disebabkan kondisi lingkungan perairan di kedua habitat berbeda sedangkan
kemiripan kedua habitat juga disebabkan kondisi lingkungan yang sama. Menurut
Odum (1971) nilai IS berkisar antara 0-1. Jika IS mendekati 0 berati tingkat
kesamaan rendah dan sebaliknya jika nilai IS mendekati 1 maka tingkat kesamaan
tinggi.
Perbedaan aktivitas pada setiap stasiun mempengaruhi kondisi habitat ikan
termasuk adanya aktivitas perkebunan di sekitar stasiun. Pada dasarnya setiap
stasiun perkebunan yang menggunakan bahan kimia seperti pestisida dan pupuk
kimia terserap langsung pada arborbsi tanah yang akan terbawa ke perairan.
Menurut Clarke (1975) dalam Rudiyanti & Ekasari (2009) pestisida yang masuk
dalam tubuh organisme akan mengalami proses-proses yang sama dengan
benda-benda asing. Proses tersebut yaitu absorbsi, distribusi dan akumulasi. Pestisida
masuk dalam tubuh ikan dapat melalui saluran pencernaan, saluran pernafasan dan
kulit. Pada saluran pencernaan, pestisida yang ada dalam usus akan mengalami
proses absorbsi dan distribusi. Di hepar akan terjadi detoksikasi dan akumulasi