GATRA TENTANG SERUAN BOIKOT ISRAEL DARI
NEW YORK
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom.I)
Oleh
Fauziah Mursid
NIM: 109051100055
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 7 Mei 2013
i
Analisis Wacana Teun A Van Dijk dalam Pemberitaan Laporan Utama Majalah Gatra tentang Seruan Boikot Israel dari New York
Israel dan Palestina adalah dua negeri yang tidak terlepas dari pembicaraan publik. Masalah wilayah yang terjadi antara Israel dan Palestina sejak tahun 1947 terus berkembang hingga saat ini. Terakhir pemberitaan mengenai masalah ini adalah upaya yang dilakukan negara-negara dunia untuk menekan Israel yakni melakukan gerakan pemboikotan terhadap produk Israel yang dihasilkan di wilayah kependudukan. Selanjutnya pernyataan ini berkembang menjadi pemberitaan yang hangat di berbagai negara, salah satunya Indonesia. Berbagai media massa di Indonesia mengangkat berita seputar boikot ini. Salah satunya adalah Majalah Gatra yang mengangkat tema ini sebagai laporan utama. Namun, disadari atau tidak, media massa saat ini merupakan arena konstruksi dan produksi makna sebuah realitas.
Untuk mengetahui produksi berita dalam Majalah Gatra, maka timbul beberapa pertanyaan, yaitu: Bagaimana deskripsi teks yang dibangun majalah Gatra pada Pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York? Bagaimana model kognisi sosial Majalah Gatra pada Pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York? Bagaimana konteks sosial Majalah Gatra pada Pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York?
Dalam menjawab rumusan masalah ini, teori yang penulis gunakan adalah teori analisis wacana Teun A van Dijk yang lebih mendekatkan pada segi kognisi sosial, melihat bagaimana kognisi yang dibangun dalam hal ini adalah penulis majalah Gatra. Selain itu, kognisi juga bukan tercipta dengan sendirinya tetapi merupakan produk konstruksi dari lingkungan kognisi itu lahir, yakni konteks sosial. Konteks sosial juga berperan dalam penentuan kognisi sosial seseorang.
ii
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT dzat Yang Maha Besar yang
senantiasa memberikan limpahan Rahmat dan Kasih-Nya kepada
hamba-hambanya. Puji serta sykur Penulis panjatkan dengan petunjuk serta Ridho-Nya,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Wacana
Teun A van Dijk dalam Pemberitaan Laporan Utama Majalah Gatra Seruan Boikot Israel dari New York sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
Seperti diketahui bahwa penyusunan skripsi ini merupakan tugas akhir penulis
sebagai persyaratan dalam menyelesaikan program studi Strata Satu (S1) di
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari benar bahwa begitu
banyak dukungan dan perhatian yang penulis dapatkan dari berbagai pihak
sehingga segala kesulitan dan hambatan dalam menyusun skipsi ini akhirnya
dapat dilalui. Namun tentunya, ucapan terima kasih saja belum dirasakan cukup
untuk membalas dukungan-dukungan tersebut. Namun bagaimana pun, penulis
menghaturkan terima kasih sedalam-dalamnya atas dukungannya baik moril
maupun materil selama proses menyeselesaikan studi kepada:
1. Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A., Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Bapak Drs. Mahmud Jalal M.A., Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum, Bapak Wahidin Saputra, MA., Wakil Dekan Bidang
Akademik, dan Bapak Drs. Study Rizal, LK. MA., Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan.
2. Ibu Rubiyanah, M.A. selaku Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ibu Ade Rina
iii
3. Bapak Tantan Hermansah M.Si.,dosen pembimbing penulis yang telah
begitu banyak memberikan arahan, bimbingan, nasehat dalam penyusunan
skripsi ini.
4. Bapak Drs. Study Rizal, LK. M.A selaku ketua penguji sidang yang
merangkap juga sebagai dosen penguji satu dan Bapak Drs. M. Hudri M.Ag
selaku dosen penguji dua yang telah memberikan saran dan masukan dalam
skripsi ini.
5. Seluruh Dosen, serta para staf-staf tata usaha Fakultas ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Secara khusus penulis
ucapkan terima kasih kepada Dosen Jurnalistik sekaligus pemimpin redaksi
Berita UIN ketika penuulis tergabung di dalamnya, Bapak Nanang Saikhu
yang banyak mengajari penulis, dunia tulis menulis.
6. Kepada pihak Majalah Gatra yang turut berperan dalam selesainya
penelitian penulis, khususnya kepada Sekretaris Redaksi Gatra Mas Sapto,
Bapak Asrori Karni dan Bapak Erwin Y Salim. Terimakasih telah
meluangkan waktu di tengah kesibukannya untuk penulis wawancarai.
7. Secara khusus dan paling utama adalah yang penulis banggakan, kedua
orang tua, H. Mursidun dan Sri Pindani yang telah banyak memberikan doa,
dukungan dan pengorbanan yang tak terkira selama penulis hidup hingga
iv
juga tak kalah pentingnya atas terselesaikannya skripsi ini.
9. Nurul Rizki Salam, seseorang yang hingga skripsi ini tersusun menjadi
seseorang yang berarti serta tak henti-hentinya memberi semangat dan
dukungannya kepada Penulis, terimakasih semangat dan dukungannya ya.
Terus berjuang ya bersama-sama!
10.Teman-teman seperjuangan Jurnalistik B angkatan 2009, yang telah menjadi
bagian hidup penulis selama mengenyam pendidikan di UIN Jakarta
diantaranya, Imas Damayanti, Arintika Asharrani, Adjri Septiani, Marisha
Arianti Agustin, Samsul, Andin, Putri Nurazizah, Turi, Dewi Rifqina, Dewi
Febriyanti, Ima, Devi, Pipite, Linda, Phebe, Anis, Puti, Ucup, Sigit, Ali,
Jejep, Ilham Aldiansyah, Bobby, Jauhari, Omen, Nunu, Bima, Dul, Azis,
Mekar, Devit.
11.Sahabat-sahabat penulis yang selalu ada di saat suka maupun duka. Tia,
Tuffah, dan Nevy yang tak pernah lelah untuk menyemangati penulis. Dan
untuk Hilda Savitri, seorang yang selama tiga tahun lebih berjuang bersama
penulis, yang paling memahami penulis dan mengajarkan penulis banyak
hal.
12.Teman-teman anggota KKN PENA dan segenap warga Gunung Seureuh,
terima kasih atas kebersamaannya dan pengalamannya sebulan disana.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat menerima kritik dan saran sehingga dapat menjadi
v
Jakarta, 14 Mei 2013
vi
2. Konsep Utama Analisis Wacana kritis ... 16
3. Analisis Wacana Teun A van Dijk ... 19
B. Berita dan Media Massa dalam Paradigma Kritis ... 29
BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH GATRA A. Sejarah Majalah GATRA ... 34
B. Visi dan Misi Majalah GATRA ... 36
C. Perkembangan Majalah GATRA ... 39
D. Struktur Organisasi ... 40
E. Segmentasi Pemasaran ... 41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Analisis Struktur Teks Laporan Utama Majalah GATRA “Seruan Boikot Israel dari New York ... 45
B. Analisis Kognisi Sosial Laporan Utama Majalah GATRA “Seruan Boikot Israel dari New York ... 62
C. Analisis Konteks sosial Laporan Utama Majalah GATRA “Seruan Boikot Israel dari New York ………... ... 69
vii
viii
Tabel 1.1 Struktur Elemen Analisis Wacana ... 9 Tabel 2.1 Struktur Analisis van Dijk ... 22 Tabel 2.2 Elemen Analisis Wacana van Dijk ... 23 Tabel 4.1 Kerangka Analisis Data Laporan Utama 1 “Seruan Boikot
Israel dari New York” ... 58 Tabel 4.2 Kerangka Analisis Data Laporan Utama 2 “Tidak Beli Demi
ix
Gambar 1 Model Analisis Wacana van Dijk ... 9
Gambar 2 Model Analisis Wacana van Dijk ... 21
Gambar 3 Pembaca berdasarkan Jenis Kelamin ... 44
Gambar 4 pembaca berdasarkan Usia ... 45
Gambar 5 Pembaca berdasarkan pendidikan ... 45
Gambar 6 Pembaca berdasarkan pekerjaan ... 46
Gambar 7 pembaca berdasarkan kesetiaan pembaca ... 46
1
A. Latar Belakang Masalah
Era globalisasi saat ini membuat masyarakat menjadi tergantung dengan
media komunikasi. Saat ini manusia tidak pernah lepas dari media komunikasi.
Dalam sebuah riset diperoleh informasi bahwa maju tidaknya suatu negara
ditandai dengan penggunaan media komunikasi di negara tersebut. Media
komunikasi yang dimaksud dalam hal ini yaitu media massa.
Komunikasi massa merupakan disiplin ilmu yang umurnya lebih muda
dibandingkan dengandisiplin ilmu lainnya. Pada dasarnya komunikasi massa
adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Media
massa yang termasuk dalam komunikasi massa ini dihasilkan oleh teknologi
canggih.Media massa yang dimaksud menunjuk pada hasil produksi teknologi
modern sebagai saluran dalam komunikasi massa.1
Media massa sesuai perannya berfungsi sebagai pemberi informasi,
pemberi identitas pribadi, sarana integrasi dan interaksi sosial, serta sebagai
sarana hiburan. Seiring dengan perkembangannya, media massa, salah satu
contohnya media cetak kini telah menjelma menjadi alat propaganda paling
efektif. Melalui berita yang dikemasnya, media cetak berperan dalam mengubah
pola pikir masyarakat. Masyarakat dengan mudah dipengaruhi oleh arah opini
yang telah digiring media cetak untuk menjalin relasi antara wacana dan
kekuasaan.
Pada dasarnya kehadiran media massa seharusnya sebagai sarana
penyampai informasi yang tepat dan faktual kepada masyarakat. Oleh karena itu,
media massa dituntut untuk memberikan informasi yang netral dan berimbang
kepada khalayaknya. Namun disadari atau tidak, media massa saat ini merupakan
produk informasi buatan dari ideologi tertentu. Bagaimana hegemoni (idelogis)
dapat menebarkan sayapnya, Stuart Hall berpendapat, media massa merupakan
sarana paling penting dari kapitalisme abad ke-20 untuk memelihara hegemoni
ideologis. Melalui mekanisme kerja tertentu, segala bentuk ekspresi dan cara
penerapannya dalam rangka memengaruhi alam pikiran media, serta kemampuan
media untuk membentuk agenda setting masyarakat dalam menentukan
pilihan-pilihan kultural.1
Analisis wacana kritis diartikan bahwa tidak ada media massa yang
sepenuhnya netral. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subyek
yang mengkontruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan
pemihakannya.2 Media dimiliki oleh kelompok tertentu dan digunakan untuk
mendominasi kelompok yang tidak dominan. Hal tersebut di atas dapat dipahami
karena di setiap proses produksi, distribusi, dan konsumsi informasi terdapat
kepentingan lain yang harus dipenuhi oleh media massa. Alasan tersebut yang
membuat pembuatnya menjadi tidak benar-benar netral atau objektif. Dengan kata
lain, media massa sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan
berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks serta beragam.
Sama seperti halnya media massa pada umumnya, Majalah Gatra
merupakan salah satu media cetak yang telah melahirkan berbagai wacana di
1Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, (Jakarta: Kencana, 2008). h. 29. 2 Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001)
Indonesia. Kehadiran majalah Gatra padatahun 1994 memberikan warna dalam
pemberitaan di era Orde Baru saat itu. Pembredelan majalah Tempo oleh
pemerintah saat itu berperan penting dalam berdirinya majalah ini. Seiring
perkembangannya, saat ini Majalah Gatra menjadi salah satu media yang turut
diperhitungkan dalam pemberitaan berita nasional. Dalam pemberitaannya selama
ini, majalah Gatraberusaha mengedepankan fakta daripada isu semata.
Pemberitaan mengenai serangan Israel ke Palestina selalu menjadi topik
yang hangat untuk dibicarakan. Kekejaman Israel terhadap Palestina telah
berlangsung sejak lama. Israel selalu melanggar perjanjian dengan terus berusaha
memperluas wilayahnya dengan membuat pemukiman-pemukiman yahudi di
wilayah Palestina.
Semua pihak di dunia menentangapa yang telah dilakukan Israel tersebut.
Negara-negara lain menuntut hak kemanusiaan rakyat Palestina untuk
diperjuangkan. Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) sebagai organisasi dunia menjadi
pihak yang diharapkan dalam penyelesaian kasus ini. Namun pada kenyataannya
PBB dianggap tidak mampu mencegah serangan Israel ke Palestina. Israel justru
mendapat dukungan penuh dari Anggota Hak Veto PBB yakni Amerika Serikat.
Namun hal tersebut tidak membuat masyarakat dunia berhenti
memperjuangkan hak rakyat Palestina untuk menjadi rakyat yang merdeka. Saat
ini Palestina telah diakui di PBB sebagai negara anggota pengamat PBB yang
tetap, naik dari sebelumnya yang hanya sebagai organisasi saja. Dukungan ini
dilakukan sebagai upaya untuk mengakui keberadaan negara Palestina. Selain itu
produk buatan Israel. Pemboikotan tersebut dianggap mampu menekan
perekonomian Israel.
Ide boikot produk Israel ini dilontarkan pertama kali oleh Menteri Luar
Negeri Indonesia Marty Natalegawa, di sela-sela sidang PBB di New York. Ide
boikot ini diserukan Marty untuk produk yang dihasilkan di wilayah pendudukan
Israel atas Palestina. Usai pernyataan Marty inilah kemudian muncul pemberitaan
di berbagai media massa Indonesia terkait pernyataan Marty tersebut.
Pemberitaan mengenai aksi boikot terhadap Israel tersebut juga diangkat
majalah Gatra sebagai laporan utama pada edisi bulan Oktober 2012. Topik ini
merupakan topik yang sensitif yang terkadang meluas pada sentimen agama. Jika
dalam pemberitaannya suatu media dipengaruhi ideologi media tersebut ataupun
kognisi pewarta itu sendiri, maka akan terjadi pemberitaan yang tidak berimbang
condong kepada salah satu pihak.
Dari latarbelakang permasalahan yang dipaparkan diatas, maka peneliti
tertarik meniliti dengan judul “Analisis Wacana Teun A Van Dijk dalam
PemberitaanLaporan Utama Majalah GatratentangSeruan Boikot Israel Dari New York”dengan alasan untuk mengetahui wacana apa yang ada dibalik
pemberitaan tersebut.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembahasan pemberitaan mengenai boikot Israel dan Palestina di majalah
Gatra Edisi mingguan 10 Oktober 2012 ada tiga judul yakni “Seruan Boikot Israel
dari New York, Tidak Beli Demi Palestina, dan Marty Natalegawa: KTT
Non-Blok Sepakat Boikot Israel. Namun karena penulis ingin melihat konteks wacana
dipaparkan di atas maka penulis membatasi penelitian ini pada dua pemberitaan
saja yakni Seruan Boikot Israel dari New York dan Tidak Beli demi Palestina.
Sedangkan rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana deskripsi teks yang dibangun Majalah Gatra pada pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York?
2. Bagaimana model kognisi sosial Majalah Gatra pada pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York?
3. Bagaimana konteks sosial Majalah Gatra pada pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York?
B.Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah pertanyaan penelitian di atas, secara
khusus penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengetahui Bagaimana deskripsi teks yang dibangun Majalah Gatra
pada pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York.
2. Untuk mengetahui bagaimana model kognisi sosial Majalah Gatra pada
pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York.
3. Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial Majalah Gatra pada
pemberitaan Seruan Boikot Israel dari New York.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Akademisi
Melalui hasil dari penelitian ini diharapkan sebagai pemberi wawasan di
bidang akademis mengenai gambaran metode analisis wacana dalam kajian media
melakukan penelitian media massa, melalui analisis wacana. Selain itu, hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan informasi untuk penelitian sejenis di
masa mendatang.
2. Manfaat Praktisi
Kajian tentang analisis wacana media massa ini diharapkan memberikan
kontribusi positif dalam penelitian selanjutnya untuk dijadikan bahan rujukan atau
referensi penelitian yang sejenis.
E. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatankualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapat
diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik
(utuh).3 Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam,
suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data
yang pasti merupakan suatu nilai di balik data yang tampak.4
2. Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah teks pemberitaan Majalah Gatra mengenai
Seruan Boikot Israel dari New York yang diangkat sebagai Laporan Utama
majalah Gatra Edisi Oktober 2012.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan teknik atau cara-cara yang
digunakan periset untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data
3Lexy J. Maleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2000) h. 4.
dibedakan menjadi dua, yakni riset kualitatif dan kuantitatif. Pada riset kualitatif
yang penulis pakai pada riset ini adalah observasi, wawancara, dan juga
dokumentasi. Ide penelitian kualitatif adalah dengan sengaja memilih informan
(atau dokumen atau bahan-bahan visual lain) yang dapat memberikan jawaban
terbaik pertanyaan penelitian.5
1. Observasi
Observasi atau pengamatan merupakan salah satu teknik pengumpulan
data yang sering digunakan untuk penelitian kualitatif.6Observasi merupakan
metode pertama yang digunakan dalam penelitian dengan melakukan pengamatan
dan pencatatan secara sistemastis terhadap fenomena-fenomena yang diselidiki.7
Pada metode observasi, periset biasanya menggunakan instrumen
observasi. Instrumen observasi tersebut antara lain: sistem kategori, sistem skala,
sistem tanda, diary keeping, analisis dokumen, lembar pengamatan, dan panduan
pengamatan. Pada riset ini peneliti hanya menggunakan analisis dokumen sebagai
instrumen observasi. Peneliti mengamati beberapa dokumen sebagai sumber
informasi dan menginterpretasikannya ke dalam hasil penelitian. Dokumen yang
digunakan bisa berupa dokumen publik atau dokumentasi privat sertasumber yang
berkaitan dengan wacana dan objek penelitian.8
2. Wawancara
Wawancara adalah sebuah proses memperoleh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara pewawancara
5 John W. Creswell,
Desain penelitian: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif,(Jakarta: KIK Press, 2003) h. 143.
6M. Antonius Birowo, Metode Penelitian Komunikasi : Teori dan Aplikasi, (Yogyakarta:
Gitanyali, 2004), h. 186.
7
Jumroni, Metode-metode Penelitian Komunikasi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 21.
8 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana 2007) Cet-2,
Konteks
dengan informan terkait.9Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan
data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari
narasumbernya.10Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah
semi terstruktur. Dalam hal ini mula-mula interviewer menanyakan serentetan
pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu persatu diperdalam dalam mengorek
keterangan lebih jauh.
4. Teknis Analisis Data
Bagian selanjutnya setelah pengumpulan data – data adalah menyusun data
– data tersebut secara sistematis. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
analisis wacana Teun Van Djik. Wacana oleh Van Dijk digambarkan mempunyai
dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis Van Dijk
adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan
analisis. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level
kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi
individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan wacana
yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Gambar 1. Model Analisis Wacana van Dijk
9M. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia,2003) h. 193.
10Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006) h. 35.
Kognisi sosial
Struktur/elemen wacana yang dikemukakan Van Dijk dapat
digambarkan sebagai berikut.11
Tabel. 1.1 Struktur Elemen Analisis Wacana
Struktur Wacana
Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik (apa yang dikatakan)
Struktur Mikro Semantik (makna yang ingin ditekankan dalam Struktur Mikro Stilistik (pilihan kata apa
yang dipakai)
Leksikon
Struktur Mikro Retoris (bagaimana dan dengan cara apa
penekanan dilakukan)
Grafis, Metafora Ekspresi
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis terlebih dahulu membaca dan
menelaah skripsi – skripsi di perpustakaan yang terdapat di Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi dan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ternyata penulis belum menemukan skripsi mahasiswa yang meneliti tentang
judul yang sama persis. Hanya saja pada skripsi sebelumnya mempunyai jenis
metode yang sama dengan metode yang akan penulis teliti sekarang ini terutama
skripsi yang mempunyai pembahasan mengenai media cetak.
Selama tinjauan tersebut penulis menemukan beberapa judul skripsi yang
berkaitan dengan skripsi yang penulis teliti dan penulis jadikan bahan acuan
sebagai pembanding, yaitu :
1. Analisis Wacana Penulisan Feature di Media Indonesia Edisi 25-26
Oktober 2011 yang ditulis oleh Apristia Krisna Dewi mahasiswa Jurusan
Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi angkatan 2008. Pada
skripsi ini terdapat kesamaan yaitu menggunakan metode analisis teks
yang sama yaitu analisis wacana dengan model Analisis Wacana Teun A.
van Djik. Dan perbedaannya adalah skripsi ini lebih menganalisis wacana
pada penulisan feature dan media yang menjadi objek penelitiannya
adalah Media Indonesia.
2. Analisis Wacana Van Djik Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang
Kraft” di Majalah Pantau yang ditulis oleh Tia Agnes Astuti mahasiswa
Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2006. Persamaan dengan skripsi ini
adalah menggunakan metode analisis teks dengan pisau analisis van Dijk..
Dari beberapa skripsi tersebut maka penulis mengambil kesimpulan bahwa
belum ada mahasiswa yang meneliti dengan judul skripsi Analisis Wacana Teun
A van Dijk dalam Pemberitaan Laporan Utama Majalah GATRA tentang ‘Seruan
Boikot Israel dari New York’.
Sedangkan untuk teknis penulisan hasil penelitian ini mengacu pada buku
Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid
Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, tahun
2007.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : Dalam bab ini penulis akan memaparkan mengenai
latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, , dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN TEORITIS : Pada bab ini penulis akan menguraikan
konsep analisis wacana secara etimologis dan terminologis. Kemudian akan
dibahas mengenai analisis wacana model Teun A. van Dijk.
BAB III GAMBARAN UMUM : Dalam bab ini penulis akan memaparkan
mengenai sejarah dan perkembangan Majalah GATRA, visi dan misi, serta
struktur redaksi dari Majalah GATRA.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA : Dalam bab ini, penulis membahas
tentang temuan dan analisis wacana Majalah GATRA mengenai pemberitaan
Seruan Boikot Israel dari New York
BAB V PENUTUP : Bab terakhir ini, penulis memberikan kesimpulan dan saran
terhadap apa yang telah diangkat dan diteliti oleh penulis dan juga beberapa
12
A.Analisis Wacana
1. Definisi Analisis Wacana
Kata wacana merupakan kata yang biasa didengar dalam kehidupan
sehari-hari. Penggunaan kata wacana sering dipakai oleh berbagai disiplin ilmu mulai
dari studi bahasa, psikologi, sosiologi, politik, komunikasi, sastra dan
sebagainya. Dan setiap disiplin ilmu tersebut, memiliki makna dan batasan
tersendiri tentang pengertian istilah wacana.
Istilah wacana dalam Kamus Besar Indonesia Kontemporer terdapat tiga
hal. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua, keseluruhan tutur atau
cakapan yang merupakan suatu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar,
terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel,
buku, dan artikel.1
Ismail Marahimin mengartikan wacana sebagai “kemampuan untuk maju
(dalam pembahasan) menurut urut-urutan yang teratur dan semestinya”, dan
“komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan yang resmi dan teratur”.2
Menurut Riyono Pratikto, proses berpikir seseorang sangat erat kaitannya
dengan ada tidaknya kesatuan dan koherensi dalam tulisan yang disajikannya.
Makin baik cara atau pola berpikir seseorang, pada umumnya makin terlihat
jelas adanya kesatuan dan koherensi itu.3
1
Peter Y Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 2002), h. 1709.
2
Ismail Muhaimin, Menulis Secara Populer, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1994), h. 26.
3
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosda Karya , cet. Keempat April 2006),
Sedangkan dalam lapangan sosiologi, wacana menunjuk terutama pada
hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Dalam pengertian
linguistik, wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat. Analisis
wacana dalam studi linguistik ini merupakan reaksi dari bentuk linguistik
formal yang lebih memperhatikan pada unit kata, frase, atau, kalimat semata
tanpa melihat keterkaitan di antara unsur tersebut. Analisis wacana, kebalikan
dari linguistik formal, justru memusatkan perhatian pada level di atas kalimat
seperti hubungan gramatikal yang terbentuk pada level yang lebih besar dari
kalimat.4 Dari semua keseluruhan disiplin ilmu yang disebutkan di atas,
analisis wacana selalu berhubungan dengan studi pemakaian bahasa.
Ada tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana. Pandangan
pertama diwakili oleh kaum positivme-empiris. Oleh penganut aliran ini
memisahkan antara pemikiran dan realitas. Orang tidak perlu mengetahui
makna subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya. Analisis wacana
disini dimaksudkan untuk menggambarkan tata aturan kalimat, bahasa, dan
pengertian bersama. Jadi, wacana lantas diukur dengan pertimbangan
kebenaran/ketidakbenaran (menurut sintaksis dan semantik).
Pandangan kedua, yakni kaum konstrukstivisme. Aliran ini menolak
pandangan kaum empirisme/ positivisme yang memisahkan subjek dan objek
bahasa. Dalam pandangan kaum ini, bahasa diatur dan dihidupkan oleh
pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah
tindakan penciptaan makna, yakni tindakan pembentukan diri serta
pengungkapan jati diri dari sang pembicara.
4
Pandangan dari kaum kritis sebagai sebagai kelompok ketiga ingin
mengoreksi pandangan kaum konstrukstivisme. Analisis wacana dalam
paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses
produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang
netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat.5
Menurut Eriyanto, dalam khasanah studi analisis tekstual, analisis wacana
masuk dalam paradigma penelitian kritis, suatu paradigma berpikir yang
melihat pesan sebagai pertarungan kekuasaan, sehingga teks berita dipandang
sebagai bentuk dominasi dan hegemoni satu kelompok kepada kelompok lain.
Wacana dengan demikian adalah suatu alat representasi di mana satu kelompok
yang dominan memarjinalkan posisi kelompok yang tidak dominan.6
Melalui pemahaman paradigma kritis ini tentunya teori yang digunakan
tentu saja bukan diambil dari lingkungan linguistik, tetapi pengertian wacana
yang diperkenalkan oleh Michael Foucault dan Althusser. Sumbangan terbesar
Foucault terutama adalah mengenalkan wacana sebagi praktik sosial. Wacana
berperan dalam mengontrol, menormalkan, dan mendisiplinkan individu.
Sementara dalam konsepsi Althusser, wacana berperan dalam mendefinisikan
individu dan memposisikan seseorang dalam posisi tertentu.7
Analisis Wacana Kritis (AWK) dalam penelitian teks media memerhatikan
beberapa aspek. AWK memandang fakta merupakan hasil proses pertarungan
5
Ibid, h. 6.
6
Ibid, h. 18.
7
antara kekuatan ekonomi, politik, dan sosial yang ada dalam masyarakat. Dan
menganggap berita sebagai cerminan dari kepentingan kekuatan dominan. Jika
dilihat dari segi posisi media, AWK memandang media sebagai yang dikuasai
oleh kelompok dominan dan menjadi sarana untuk memojokkan kelompok lain
sehingga media hanya dimanfaatkan dan menjadi alat kelompok dominan
tersebut.
Sementara itu, wartawan sebagai seseorang yang terjun langsung meliput
dan menulis berita dianggap oleh AWK memiliki beberapa pengaruh dalam
membuat wacana. Nilai dan ideologi wartawan dalam AWK tidak dapat
dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan peristiwa. Wartawan juga
dianggap sebagai partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat yang
memiliki profesi atau pekerjaan yang memosisikannya pada kelas sosial yang
berbeda. Sehingga AWK melihat tujuan peliputan dan penulisan sebagai
pemihakkan kelompoknya sendiri dan atau pihak lain.
Dalam analisis wacana ini terdapat beberapa pendekatan atau model
analisis, yakni Roger Fowler dkk, Theo van Leeuwen, Sara Mills, Teun A van
Dijk, dan Norman Fairclough.
Dari model-model yang disebutkan diatas, terdapat persamaan dan
perbedaannya. Secara singkat, persamaan dari masing-masing model adalah
pada ideologi yang menjadi bagian penting dari analisis semua model.
Kekuasaan (power) juga menjadi bagian sentral. Namun, yang harus
diperhatikan pada analisis semua model adalah berpandangan bahwa wacana
dapat dimanipulasi oleh kelompok dominan atau kelas yang berkuasa dalam
bahasa digunakan sebagai alat penelitian untuk mendeteksi ideologi dalam
teks.
2. Konsep Utama Analisis Wacana Kritis
Menurut Fairclough dan Wodak, analisis wacana kritis melihat
wacana-pemakaian bahasa dalam tuturan dan tulisan – sebagai bentuk dari praktik
sosial.Praktik sosial dalam wacana bisa jadi menampilkan efek ideologi. Ia
dapat memproduksi dan mereproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang
antara kelompok mayoritas dan minoritas melalui mana perbedaan itu
direpresentasikan dalam posisi sosial yang ditampilkan. Menurut Eriyanto
mengutip pernyataan Teun A Van Dijk, Fairclough, dan Wodak, berikut ini
karakteristik penting dalam analisis wacana kritis.
1. Tindakan
Prinsip pertama, wacana dipahami sebagai tindakan (action). Pemahaman
semacam ini mengasosiasikan wacana sebagai bentuk interaksi. Wacana
bukan ditempatkan seperti dalam ruang tertutup dan internal. Orang
berbicara atau menulis bukan ditafsirkan sebagai ia menulis atau berbicara
untuk dirinya sendiri. Seseorang berbicara, menulis, dan menggunakan
bahasa untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Dengan
pemahaman seperti ini ada beberapa konsekuensi bagaimana wacana harus
dipandang. Pertama, wacana dipandang sebagai sesuatu yang bertujuan,
apakah untuk mempengaruhi, mendebat, membujuk, menyangga, bereaksi,
dan sebagainya. Kedua, wacana dipahami sebagai sesuatu yang
diekspresikan secara sadar, terkontrol, bukan sesuatu yang di luar kendali,
2. Konteks
Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks dari wacana seperti
latar, situasi, peristiswa, dan kondisi. Wacana di sini dipandang diproduksi,
dimengerti, dan dianalisis pada suatu konteks tertentu. Bahasa di sini
dipahami dalam konteks secara keseluruhan. Guy Cook menyebut ada tiga
hal yang sentral dalam pengertian wacana: teks, konteks, dan wacana. Teks
adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar
kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar,
efek suara, citra dan sebagainya. Konteks memasukkan semua situasi dan
hal yang berada di luar teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa, seperti
partisipan dalam bahasa, situasi di mana teks tersebut diproduksi, fungsi
yang dimaksudkan, dan sebagainya. Wacana disini, kemudian dimaknai
sebagai teks dan konteks bersama-sama.
Namun, tidak semua konteks dimasukkan dalam analisis, hanya yang
relevan dan dalam banyak hal berpengaruh atas produksi dan penafsiran
teks yang dimasukkan dalam analisis. Ada beberapa konteks yang penting
karena berpengaruh terhadap produksi wacana. Pertama, partisipan wacana,
latar siapa yang memproduksi wacana,. Kedua, setting sosial tertentu,
seperti tempat, waktu, posisi pembicara, dan pendengar atau lingkungan
fisik adalah konteks yang berguna untuk mengerti suatu wacana.
3. Historis
Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu, berarti wacana
diproduksi dalam konteks tertentu dan tidak dapat dimengerti tanpa
bisa mengerti teks adalah dengan menempatkan wacana itu dalam konteks
historis tertentu.
4. Kekuasaan
Analisis wacana kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan
(power) dalam analisisnya. Wacana di sini tidak dipandang sebagai sesuatu
yang alamiah, wajar, dan netral tetapi merupakan bentuk pertarungan
kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara
wacana dengan masyarakat.
Kekuasaan itu dalam hubungannya dengan wacana, penting untuk
melihat apa yang disebut sebagai kontrol. Satu orang atau kelompok
mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Kontrol disini tidaklah
harus selalu dalam bentuk fisik dan langsung tetapi juga kontrol secara
mental atau psikis. Kelompok yang dominan mungkin membuat kelompok
lain bertindak seperti yang diinginkan olehnya, berbicara, dan bertindak
sesuai yang diinginkan.
5. Ideologi
Ideologi juga konsep yang sentral dalam analisis wacana yang bersifat
kritis. Hal ini karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari
praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu. Peranan wacana
dalam kerangka ideologi, seperti yang dikatakan oleh Teun A van Dijk,
ideologi terutama dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan
praktik individu atau anggota suatu kelompok. Ideologi mempunyai
beberapa implikasi penting. Pertama, ideologi secara inheren bersifat sosial,
kelompok, organisasi atau kolektivitas dengan orang lainnya. Hal yang
di-sharekan tersebut bagi anggota kelompok digunakan untuk membentuk
solidaritas dan kesatuan langkah dalam bertindak dan bersikap.
Kedua, ideologi meskipun bersifat sosial, ia digunakan secara internal di
antara anggota kelompok atau komunitas. Oleh karena itu, ideologi tidak
hanya menyediakan fungsi koordinatif dan kohesi tetapi juga membentuk
identitas diri kelompok, membedakan dengan kelompok lain.8
3. Analisis Wacana Teun A van Dijk
Analisis wacana van Dijk melihat penelitian analisis wacana tidak cukup
hanya didasarkan pada analisis atas teks semata, karena teks hanya hasil dari
suatu praktik produksi. Disini perlu dilihat pula bagaimana suatu teks
diproduksi, sehingga dapat diketahui bagaimana teks bisa seperti itu. Model
analisis wacana van Dijk ini adalah model yang sering dipakai dalam penelitian
karena model van Dijk bisa dikatakan yang paling lengkap karena
mengelaborasi elemen-elemen wacana sehingga dapat digunakan secara
praktis. Model van Dijk ini sering disebut sebagai kognisi sosial.9
Dalam buku Aims of Critical Discourse Analysis, Van Dijk memberi
pengertian mengenai analisis wacana yakni;
Critical Discourse analysis has become the general label for a study of text and talk,emerging from critical lingustics, critical semiotics, and in general from socio-politically conscious and oppositional way of investigating language, discourse, and communication. As in the case many fields, approaches, and subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not easy precisely delimit the special principles, practices,aims, theories or methods of CDA.10
8
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 7-14.
9
Ibid, h. 221.
10
Konteks Sosial
Analisis model van Dijk melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan
kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat dan bagaimana
kognisi/pikiran dan kesadaran yang membentuk dan berpengaruh terhadap teks
tertentu. Wacana oleh van Dijk digambarkan mempunyai tiga dimensi/
bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti dari model ini adalah
menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan
analisis.
Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan
strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level
kognisi sosial dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi
individu dari wartawan. Sedangkan aspek ketiga mempelajari bangunan
wacana yang berkembang dalam masyarakat akan suatu masalah.
Model dari analisis Van Dijk ini dapat digambarkan sebagai berikut:11
Gambar 2. Model Analisis Wacana van Dijk
A. Teks
Van Dijk melihat suatu teks terdiri atas beberapa struktur/ tingkatan yang
masing-masing bagian saling mendukung. Ia membaginya ke dalam tiga
tingkatan. Pertama, struktur makro. Ini merupakan makna global/umum dari
11
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 225.
Kognisi sosial
suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang
dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur. Ini merupakan struktur
wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana
bagian-bagian teks tersusun kedalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro. Adalah
makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata,
kalimat, proposisi, anak kalimat, paraphrase, dan gambar.
Tabel. 2.1 Struktur Analisis van Dijk
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/ tema yang diangkat oleh suatu teks.
Superstruktur
Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan.
Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks.
Struktur/elemen wacana yang dikemukakan Van Dijk dapat digambarkan
sebagai berikut.12
Tabel. 2.2 Elemen Analisis Wacana van Dijk Struktur
Wacana
Hal yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik (apa yang dikatakan)
Struktur Mikro Semantik (makna yang ingin ditekankan dalam teks Struktur Mikro Sintaksis (bagaimana Bentuk
12
pendapat disampaikan) kalimat, koherensi, kata ganti
Struktur Mikro Stilistik (pilihan kata apa yang dipakai)
Leksikon
Struktur Mikro Retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan)
Grafis, Metafora Ekspresi
1. Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Sering
disebut juga sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks.
Dalam bukunya van dijk menyebut topik sebagai properti dari arti atau isi teks.
Topik sangat penting dalam pemahaman keseluruhan teks, misalnya dalam
pembentukan koherensi global, dan mereka bertindak sebagai semantik,
kontrol top-down pada pemahaman lokal di tingkat mikro. Topik dalam teks
memang memainkan peran sentral. Tanpa mereka tidak mungkin untuk
memahami apa teks tentang global, kita hanya akan dapat memahami fragmen
lokal teks, tanpa pemahaman tentang hubungan mereka secara keseluruhan,
hierarki, dan organisasi.13
Topik ini akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang saling
mendukung terbentuknya topik umum. Subtopik ini juga didukung oleh
serangkaian fakta yang ditampilkan yang menunjuk dan menggambarkan
subtopik, sehingga dengan subbagian yang saling mendukung antara satu
13
bagian dengan bagian yang lain, teks secara keseluruhan membentuk teks yang
koheren dan utuh.14
2. Skematik
Teks atau wacana umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan
sampai akhir. Alur tersebut menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks
disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Berita menurut van
dijk mempunyai dua kategori skema besar. Pertama, summary yang umumnya
ditandai dengan dua elemen yakni headline dan lead.15
Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi berita ini juga
mempunyai dua subkategori. Yang pertama berupa situasi yakni proses atau
jalannya peristiwa, sedang yang kedua komentar yang ditampilkan dalam teks.
Subkategori situasi yang menggambarkan kisah suatu peristiwa umumnya
terdiri atas dua bagian. Yang pertama mengenai episode atau kisah utama dari
peristiwa tersebut, dan yang kedua latar untuk mendukung episode yang
disajikan kepada khalayak. Sedangkan subkategori komentar yang
menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang terlibat memberikan komentar
atas suatu peristiwa terdiri atas dua bagian. Pertama, reaksi atau komentar
verbal dari tokoh yang dikutip wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil
oleh wartawan dari komentar beberapa tokoh.16
3. Semantik (Latar, Detil, Maksud, Pra Anggapan)
Semantik dalam skema van Dijk dikagorikan sebagai makna lokal (local
meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan
14
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 230.
15
Teun A Van Dijk, News as Discourse, h. 53.
16
antarproposisi, yang membangun makna tertentu dari suatu teks. Analisis
wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks, seperti makna yang eksplisit
maupun implisit.17
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti)
yang ingin ditampilkan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana
pandangan masyarakat hendak dibawa. Latar umumnya ditampilkan di awal
sebelum pendapat wartawan yang sebenarnya muncul dengan maksud
mempengaruhi dan memberi kesan bahwa pendapat wartawan sangat
beralasan. Oleh karena itu, latar membantu menyelidiki bagaimana seseorang
memberi pemaknaan atas suatu peristiwa.18
Elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang
ditampilkan seseorang. Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan
mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. Sikap atau wacana yang
dikembangkan oleh wartawan kadangkala tidak perlu disampaikan secara
terbuka, tetapi dari detil bagian mana yang dikembangkan dan mana yang
diberitakan dengan detil yang besar, akan menggambarkan bagaimana wacana
yang dikembangkan oleh media.19
Elemen wacana maksud, hampir sama dengan elemen detil. Bedanya,
dalam detil, informasi yang menguntungkan komunikator akan diuraikan
dengan detil yang panjang. Elemen maksud melihat informasi yang
menguntungkan komunikator akan diuraikan secara eksplisit dan jelas.
Sebaliknya, informasi yang merugikan akan diuraikan secara tersamar,
17
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 78.
18
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h. 235.
19
implisit, dan tersembunyi. Tujuan akhirnya adalah publik hanya disajikan
informasi yang menguntungkan komunikator.20
Elemen wacana praanggapan (presupposition) merupakan pernyataan yang
digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya
mendukung dengan jalan memberi latar belakang, maka praanggapan adalah
upaya mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya
kebenarannya. Praanggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang
terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan.21
4. Sintaksis (Koherensi, Bentuk Kalimat, Kata Ganti)
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks.
Dua kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan
sehingga tampak koheren. Sehingga fakta yang tidak berhubungan sekalipun
dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Koherensi
merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseoang secara strategis
menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah
peristiwa itu dipandang saling terpisah, berhubungan, atau malah sebab akibat.
Pilihan – pilihan mana yang diambil ditentukan oleh sejauh mana kepentingan
komunikator terhadap peristiwa tersebut.22
Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara
berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang
menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika kausalitas ini jika
diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan)
20
Ibid, h. 240.
21
Ibid, h. 256.
22
dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan
teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh
susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi
subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi
objek dari pernyataannya.23
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan
menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang
dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam
wacana. Dalam mengungkapkan sikapnya, seseorang dapat menggunakan kata
ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap tersebut
merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. Akan tetapi, ketika
memakai kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari
sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. Batas antara komunikator
dengan khalayak sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi
sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan.
Pemakaian kata ganti yang jamak seperti “kita” atau “kami” mempunyai
implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi serta mengurangi kritik dan
oposisi.24
5. Stilistik (Leksikon)
Elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata
atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata tersebut bukan
dilakukan secara kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan
bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas. Pemilihan kata – kata
23
Ibid, h. 251.
24
yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Peristiwa sama dapat
digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.25
6. Retoris (Grafis, Metafora)
Elemen grafis ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang
ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang
yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini muncul lewat
bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Bagian – bagian yang
ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut.
Bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh
komunikator, disana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada
bagian tersebut.26
Dalam suatu wacana, seorang wartawan tidak hanya menyampaikan pesan
pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora yang dimaksudkan
sebagai ornamen atau bumbu dari suatu berita. Akan tetapi, pemakaian
metafora tertentu bisa jadi menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna
suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh wartawan secara strategis sebagai
landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada
publik.27
B. Kognisi Sosial
Dalam pandangan van Dijk, analsis wacana tidak dibatasi hanya pada
struktur teks, karena struktur wacana itu sendiri menunjukkan atau
25
Ibid, h. 255.
26
Ibid, h. 257.
27
menandakan sejumlah makna, pendapat, dan ideologi.28Van Dijk menyebut
sebagai kognisi sosial. Untuk mengetahui bagaimana makna tersembunyi dari
teks, diperlukan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif
didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu
diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental
dari pemakai bahasa. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas
representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita.29
C. Analisis Sosial
Dimensi ketiga dari analisis van Dijk adalah analisis sosial. Wacana adalah
bagian dari wacana yang berkembang dalam masyarakat, sehingga untuk
meneliti teks perlu dilakukan analisis intertekstual dengan meneliti bagaimana
wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam masyarakat.
Menurut van Dijk, dalam analisis mengenai masyarakat ini, ada dua poin
yang penting: kekuasaan (power), dan akses (acces).
1. Praktek Kekuasaan
Van Dijk mendefinisikan kekuasaan tersebut sebagai kepemilikan yang
dimiliki oleh suatu kelompok (atau anggotanya), satu kelompok untuk
mengontrol kelompok (atau anggota) dari kelompok lain. Kekuasaan ini
umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang bernilai
seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain berupa kontrol yang bersifat
langsung dan fisik, kekuasaan itu dipahami oleh van Dijk, juga berbentuk
persuasif; tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan
28
Teun A Van Dijk, The Interdisciplinary Study of News as Discourse, dalam Klaus Bruhn Jensen dan Nicholas W. Jankowski. Ed. Handbook of Qualitative Methodologies for Mass Communication Research, (London and New York, Routledge, 1993), h. 117.
29
jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan
pengetahuan.
2. Akses mempengaruhi Wacana
Analisis wacana Van Dijk memberi perhatian yang besar pada akses,
bagaimana akses di antara masing-masing kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elit mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok
yang tidak berkuasa. Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai
kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang
lebih besar bukan hanya memberi kesempatan untuk mengontrol kesadaran
khalayak lebih besar, tetapi juga menentukan topik apa dan isi wacana apa yang
dapat disebarkan dan didiskusikan kepada khalayak.30
B.Berita dan Media Massa dalam Paradigma Kritis
1. Konsep Berita
Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar,
menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala
seperti surat kabar, radio, televisi, atau media on-line internet.31 News (berita)
yang berarti baru. Secara singkat sebuah berita adalah sesuatu yang baru yang
diketengahkan bagi khalayak pembaca atau pendengar.
William S. Maulby mendefinisikan berita sebagai suatau penuturan secara
benar dan tak memihak dari fakta-fakta yang memunyai arti penting dan baru
terjadi, yang dapat menarik perhatian para pembaca surat kabar yang memuat
berita tersebut. Sedangkan Dja’far H Assegaf menyebut berita adalah laporan
30
Ibid, h. 273.
31
tentang fakta atau ide yang termasa (baru), yang dipilih oleh staff redaksi suatu
harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca. Entah karena
luar biasa, entah karena pentingnya, atau akibatnya, entah pula karena ia
mencakup segi – segi human interest seperti humor, emosi danketegangan.32
Ada berbagai bentuk gaya dalam penulisan berita misalnya dengan gaya to
the point, langsung pada pokok persoalan yakni straight news, sedangkan
berita yang disampaikan tidak langsung arti dan dibumbui agar menarik untuk
dinikmati termasuk jenis feature news. Membumbui kata-kata bukan dengan
menghilangkan faktanya, tetapi fakta adalah landasan untuk berkisah.
Wartawan memang harus membuat tulisannya menarik, tetapi dengan tidak
menjuruskan, mewarnai, atau, memainkan kata-kata. Berita itu sendiri
sebenarnya sudah mempunyai warna. Hamad menyatakan bahwa, nilai berita
dan nilai politik tersebut terutama berkaitan dengan kepentingan media massa
sendiri, dan kepentingan masyarakat, sebagai konsumen atau publik dari media
massa tersebut.33
Perkembangan selanjutnya, berita dalam konsep paradigma kritis dipahami
bahwa berita tidak hanya sampai pada pengertiannya saja. Namun sebagai hasil
dari pertarungan wacana antara berbagai kekuatan dalam masyarakat yang
selalu melibatkan pandangan dan ideologi wartawan atau media. Berita disini
tidak berdiri sendiri sesuai realitas yang sebenarnya di lapangan. Tetapi,
terdapat berbagai konteks sosial yang menyertainya.
32
Ibid, h. 65.
33
2. Media Massa
Media massa merupakan sarana penyampaian komunikasi dan informasi
melakukan penyebaran informasi secara massal dan dapat diakses oleh
masyarakat secara luas.34 Informasi ini ditujukan kepada sejumlah khalayak
yang tersebar, heterogen, dan anonim melewati media cetak atau elektronik,
sehingga pesan informasi yang sama dapat diterima secara serentak.
Saat ini keberadaan media massa dalam kehidupan masyarakat sangat
penting fungsinya. Media massa mengambil tempat di dalam masyarakat dan
menjadi bagian dari suatu sistem tersebut. Pers/media massa memainkan
berbagai peranan dalam masyarakat. Ada beberapa peranan umum yang
dijalankan pers diaantaranya sebagai pelapor (informer). Pada peran ini media
massa bertindak sebagai mata dan telinga publik, melaporkan
peristiwa-peristiwa yang diluar pengetahuan masyarakat dengan netral dan tanpa
prasangka. Selain itu, media massa juga berperan dalam penentuan agenda
terhadap isu-isu tertentu. Terdapat hubungan yang kuat dan signifikan antara
apa yang diagendakan oleh media massa dan apa yang menjadi agenda
publik.35
Media massa melakukan proses pesan melalui sistem yang sistematis dan
tersusun rapi, tidak semua pesan dapat dengan bebas diterima oleh khalayak,
namun harus melalui proses seleksi oleh media (censored). Semua pesan yang
diproduksi akan masuk dalam wilayah pemilihan redaksi, pemilihan pesan
34
Ibid, h. 13.
35
berlandaskan pada dua kepentingan besar, penting menurut media dan penting
menurut khalayak.36
Dalam pandangan kaum pluralis, media dilihat sebagai saluran yang bebas
dan netral, di mana semua pihak dan kepentingan dapat menyampaikan posisi
dan pandangannya secara bebas. Namun, sebaliknya menurut kaum kritis.
Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang
mengkontruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya.
Media juga dipandang sebagai wujud dari pertarungan ideologi antara
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat.37
Menurut Alex Sobur, Louis Althusser menyebut media dalam
hubungannya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena
anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Media massa
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan, agama, dan seni, dan kebudayaan,
merupakan bagian dari alat kekuasaan negara yang bekerja secara ideologis
guna membangun kepatuhan khalayak terhadap kelompok yang berkuasa
(ideological states apparatus).
Namun lain hal dengan Gramsci yang menyebut media sebagai arena
pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi. Media dilihat sebagai
ruang di mana berbagai ideologi direpresentasikan. Ini berarti, di satu sisi
media bisa menjadi sarana penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi dan
kontrol atas wacana publik. Namun di sisi lain, media juga bisa menjadi alat
resistansi terhadap kekuasaan. Media bisa menjadi alat untuk membangun
kultur dan ideologi dominan bagi kepentingan kelas dominan, sekaligus juga
36
Dedi Kurnia Syah Putra, Media dan Politik, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012), h. 11.
37
bisa menjadi instrumen perjuangan bagi kaum tertindas untuk membangun
kultur dan ideologi tandingan.38
38
34
A. Sejarah Majalah Gatra
Majalah Gatra terbit pertama kali pada November 1994. Lahir dari
tuntutan akan sebuah media informasi di tengah kawasan pembangunan Asia
Pasifik yang bergejolak saat itu. Diawali dengan pembredelan majalah Tempo,
pada Juni 1994, awak majalah Tempo yang ada saat itu dihadapkan pada pilihan
untuk menerima pembredelan tersebut dengan memilih jalannya masing-masing,
atau menerima pembredalan dengan menerbitkan majalah Gatra. Setelah
dilakukan semacam memorandum/referendum, maka waktu itu sebagian besar
awak Tempo, memilih alternatif kedua. Yaitu menerbitkan majalah berita
mingguan Gatra, yang terbit pada 19 November 1994.1
Ada dua peristiwa penting yang terjadi di bulan November 1994 itu, yakni
yang pertama adalah pertemuan para pemimpin negara-negara anggota forum
Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Jakarta dan Bogor. Dan peristiwa
yang kedua adalah peluncuran majalah Gatra. Jika pada peristiwa yang pertama
merupakan salah satu sasaran liputan puncak pers nasional Indonesia. Maka, pada
peristiwa kedua dinilai sebagai tonggak kehadiran media massa mutakhir di
tengah semarak taman jurnalisme nasional pada masa itu.2
Tidak mudah dalam memilih nama media yang kelak menjadi Gatra
tersebut. Nama Gatra sendiri dipilih melalui pemikiran yang cukup panjang. Gatra
diangkat dari khazanah bahasa bangsa. Dipilih dengan maksud tidak
1
Majalah Gatra, Profil Perusahaan Majalah Berita Mingguan Gatra (Jakarta: PT Linarasmekar, 1999), h. 20.
mencerminkan simbol golongan, mudah diingat, mulus diucapkan, singkat ditulis,
dan lancar dilisankan. Gatra sendiri memiliki makna kata, wujud, sudut pandang.
Karena nama mencerminkan makna, Gatra juga berusaha setia menyajikan
bacaaan sehat dengan informasi akurat dan obyektif. Gatra hadir dimaksudkan
bukan corong suatu golongan. Tidak juga berambisi untuk membentuk golongan
eksklusif sendiri. Profesi jurnalistik, bagi Gatra, mengandung misi lebih dari
sekadar menarik manfaat sesaat.
Tokoh-tokoh yang berada dibalik berdirinya Gatra sekaligus merpakan ex
wartawan Tempo, antara lain Hery Komar, Mahtum Mastum, Lukman Setiawan,
Harijoko Trisnadi dan Budiono Kartohadiprodjo. Pada akhirnya, sejak awal 1999,
keempat tokoh yang disebut diatas, lebih memilih mengelola majalah sendiri,
dengan lahirnya majalah GAMMA. Sedangkan tokoh kelima, Budiono
Kartohadiprojo, masih tetap di majalah Gatra sampai sekarang, sebagai Direktur
Utama.
Budiono Kartohadiprodjo, Insinyur teknik fisika lulusan Institut Teknologi
Bandung ini salah satu orang yang mempersiapkan kelahiran majalah Gatra. Dia
merupakan Direktur Utama PT Era Media Informasi, penerbit Gatra, dan
bukanlah orang baru dalam dunia media cetak di Indonesia. Sebelumnya, ia sudah
memimpin dan membina majalah Sportif dan tabloid Paron. Pengalamannya
dalam memimpin puluhan perusahaan itu tentu saja sangat berperan dalam
pengembangan Majalah Gatra hingga saat ini.
Lukman Setiawan, pemimpin umum Gatra ketika Gatra pertama kali
berdiri berasal dari lapangan. Mulai sebagai fotografer di beberapa surat kabar
jurnalistiknya. Ternyata, Lukman tak hanya jeli memotret dan lancar menulis. Ia
juga memiliki keterampilan manajerial yang tinggi dalam membina PT Temprint,
sebuah perusahaan percetakan.
Mahtum Mastoem, Pemimpin perusahaan Majalah Gatra ini memulai
karirnya sebagai kartunis, karikaturis, bahkan reporter di berbagai media cetak di
Yogyakarta dan Jakarta. Ia bahkan sempat bekerja serabutan: mengejar berita,
membuat ilustrasi, menjadi korektor di percetakan.
Herry Komar, sarjana Komunikasi Massa FISIP UI ini dikenal sebagai
pekerja pers yang efisien dan efektif. Memulai karirnya sebagai reporter olahraga,
kemudian, merambat naik hingga mencapai jabatan redaktur eksekutif majalah
Tempo. Kemudian ketika Gatra terbit ia di mendapat jabatan sebagai Pemimpin
Redaksi.
Harjoko Trisnadi, sewaktu masih bekerja di Majalah Tempo, pak Harjoko
demikian ia biasa disapa menjabat sebagai Direktur Keuangan. Dan ketika ia
bergabung bersama Gatra, ia menduduki posisi serupa.3
B.Visi dan Misi Majalah GATRA
Dari kebutuhan akan penyajian berita yang tidak saja jernih, melatihkan
juga dalam, luas, lengkap dan tuntas. Kritis tanpa mengiris, tajam tanpa menikam,
hangat tanpa membakar, “menggigit” tanpa melukai, mengungkap tanpa dendam,
melancarkan misi kontrol sosial tanpa menghasut. Bukan pekerjaan gampang,
memang. Gatra percaya, tugas pers adalah mengomunikasikan saling pengertian,
bukan menyebarkan prasangka dan benih kebencian. Jurnalisme Gatra dengan
sendirinya bukan jurnalisme untuk memaki maupun menjilat. Bukan jurnalisme
partisan. Tetap kritis, tanpa menumbuhkan fanatisme. Itulah filosofi dan kebijakan
pemberitaan Gatra.
Seperti namanya, hadirnya Gatra dimaksudkan untuk menyajikan berita
melalui penulisan yang bersahaja dan jernih. Gatra tak hanya merujuk kepada
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Tetapi juga kepada bahasa yang hidup,
yang lentur, yang bergerak lincah di tengah masyarakat pembaca.
Gatra ditulis tanpa maksud menambahkan beban bagi masyarakat
pembacanya yang cerdas, yang berkembang dinamis di tengah laju informasi dan
arus globalisasi. Gaya feature writing yang dipilih Gatra bukan sekadar berfungsi
menyampaikan informasi, tapi juga menghibur, dan menyegarkan. Karena itu,
untuk Gatra, foto tak kalah penting dari tulisan. Di dalam jurnalisme Gatra foto
memberikan aksentuasi kepada berita dan berita ditulis dalam nuansa ilustratif.
• Visi dari PT. Era Media Informasi (Gatra) :
1. Menjadi bacaan yang cerdas, bermanfaat, dan menghibur.
2. Menjadi sumber referensi yang jernih, dalam, luas, lengkap dan tuntas.
3. Melakukan fungsi kontrol sosial dengan tajam tanpa menikam, hangat
tanpa membakar, “menggigit” tanpa melukai, mengungkap tanpa
dendam, mengkritik tanpa menghasut.
4. Membangun industri informasi menuju masyarakat yang cerdas,
berakhlak, dan sadar akan hak dan kewajibannya, serta mendorong
tegaknya hukum yang berkeadilan; menjadi rujukan informasi bagi
masyarakat global.
• Misi dari PT. Era Media Informasi (Gatra) :