ANALSIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA
OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan
memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
MASLIM NUR EVENDI SINAMBELA
NIM : 100200360
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
ANALSIS TERHADAP PERJANJIAN KERJASAMA
OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT
UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas - tugas dan
memenuhi syarat – syarat untuk mencapai gelar
Sarjana Hukum
Oleh :
MASLIM NUR EVENDI SINAMBELA
NIM : 100200360
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. H. Hasim Purba, SH, M. Hum NIP. 196603031985081001
Pembimbing I Pembimbing II
Sunarto Adi Wibowo, SH, M.Hum Zulkifli Sembiring, SH, MH NIP. 195203301976011001 NIP. 196101181988031001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Puji dan syukur kehadhirat Allah SWT atas limpahan rahmat, nikmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini sebagai
tugas akhir untuk menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dan tidak lupa shalawat
beriring salam saya sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah
menuntun umatnya kejalan yang di ridhoi Allah SWT.
Adapun skripsi ini berjudul : “Analsis Terhadap Perjanjian Kerjasama
Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi
Medan” Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih mempunyai banyak
kekurangan di dalam penulisannya, oleh karena itu penulis berharap adanya
masukkan dan saran yang bersifat membangun untuk dimasa yang akan datang.
Didalam pelaksanaan penulisan skripsi ini diakui banyak mengalami
kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari
dosen pembimbing, maka penulisan ini dapat diselesaikan dengan baik Dalam
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan
setinggi-tingginya kepada semua pihak yang banyak membantu, membimbing,
dan memberikan motivasi. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Runtung, SH. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum, selaku Wakil
SH. MH. DFM, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, Bapak Dr. O. K. Saidin, SH. M.Hum selaku Wakil Dekan
III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Dr. Hasim Purba, SH. M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Rabiatul Syariah, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Sunarto Adi Wibowo, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I
yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan didalam
penulisan skripsi ini.
5. Bapak Zulkifli Sembiring, SH, MH, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak memberikan bimbingan dan arahan-arahan dalam penulisan
skripsi ini.
6. Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada Ayahanda Abdul Halim Sinambela dan Ibunda Masrum Br.
Hutagaol yang selalu memberikan perhatian, dukungan moral dan materiil
serta doa dan kasih sayangnya hingga penulis dapat menyelesaikan studi di
Fakultas Hukum USU.
8. Kepada Saudara Kandung Penulis, yaitu Iwan Jhon Frangki Sinambela,
Syahputra Wondo Sinambela, Hajaruddin Sinambela, Herman Sinambela
dan Romadan Sinambela yang memberikan perhatian dan semangat untuk
9. Kepada Puji Astuti yang Penulis sayangi serta sahabat-sahabat
seperjuangan ku : Rendy, SH, Evan, SH, Josua, SH, Fadlan, SH, Agung,
SH, Edward, SH, Budi, SH, Dekna, SH, kinan, SH, intan, SH, Leonard, SH.
Terima kasih atas doa, dukungan dan bantuannya selama ini.
10.Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini baik secara
langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
11.Civitas Akademik Mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, khususnya stambuk 2010.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, atas segala keterbatasan,
kesalahan dan kekurangan, saya bersedia untuk menerima teguran dan bimbingan.
Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Medan, April 2015
Hormat Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iv
ABSTRAK ... vii
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan... 4
C. Tujuan Penulisan ... 4
D. Manfaat Penulisan ... 5
E. Metode Penelitian... 6
F. Keaslian Penulisan ... 8
G. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN/PERIKATAN ... 11
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan ... 11
B. Syarat Sah Perjanjian ... 15
C. Asas-Asas Perjanjian ... 26
D. Wanprestasi ... 34
E. Onrechtmatige Daad ... 36
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT UMUM ... 39
A. Pengertian Rumah Sakit Umum ... 39
C. Pengertian Hemodyalisa... 47
D. Peranan Rumah Sakit Umum Dalam Penatalaksanaan Mesin Hemodyalisa ... 49
BAB IV PERJANJIAN KERJASAMA OPERASIONAL MESIN HEMODYALISA DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. PIRNGADI MEDAN ... 51
A. Proses Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 51
B. Bentuk Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 54
C. Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 65
D. Bentuk Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan ... 73
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78
A. Kesimpulan ... 78
B. Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
* Sunarto Ady Wibowo, SH.M.Hum ** Zulkifli Sembiring, SH.MH
*** Maslim Nur Evendi S
Penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Untuk membahas judul tersebut maka diajukan permasalahan tentang: Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telaah teoritis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan adalah dengan terlebih dahulu adanya penawaran dari pihak PT. Mendjangan Jakarta kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penawaran yang dilakukan tersebut tentunya memiliki dasar yaitu untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan dilakukan secara tertulis yaitu ada hitam di atas putih, serta diberi judul "Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Antara RSUD Dr. Pirngadi Medan Dengan PT. Mendjangan Jakarta. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka apabila ada salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka kedua pihak memilih penyelesaian secara Musyawarah, bila masih belum tercapai kesepakatan maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permasalahannya kepada Panitia Arbitrase. Bilamana perselisihan diatas tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri Medan.
Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama, Operasional, Mesin Hemodyalisa
ABSTRAK
* Sunarto Ady Wibowo, SH.M.Hum ** Zulkifli Sembiring, SH.MH
*** Maslim Nur Evendi S
Penelitian ini akan mengajukan judul penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Untuk membahas judul tersebut maka diajukan permasalahan tentang: Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan, bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan dan bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telaah teoritis.
Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan adalah dengan terlebih dahulu adanya penawaran dari pihak PT. Mendjangan Jakarta kepada Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Penawaran yang dilakukan tersebut tentunya memiliki dasar yaitu untuk pelayanan kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan dilakukan secara tertulis yaitu ada hitam di atas putih, serta diberi judul "Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Antara RSUD Dr. Pirngadi Medan Dengan PT. Mendjangan Jakarta. Akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka apabila ada salah satu pihak melalaikan perjanjian atau tidak memenuhi isi perjanjian sebagaimana yang telah mereka sepakati bersama-sama, maka apabila salah satu pihak tidak melaksanakan prestasi yang sudah disepakatinya pihak tersebut telah melakukan wanprestasi. Bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan maka kedua pihak memilih penyelesaian secara Musyawarah, bila masih belum tercapai kesepakatan maka Pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan permasalahannya kepada Panitia Arbitrase. Bilamana perselisihan diatas tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaiannya melalui Pengadilan Negeri Medan.
Kata Kunci: Perjanjian Kerjasama, Operasional, Mesin Hemodyalisa
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan terdiri dari berbagai macam peralatan dengan kualitas
yang berbeda dan selalu berkembang pesat dari waktu ke waktu baik dari segi
jenis maupun prinsip kerjanya seiring dengan kemajuan teknologi. Peralatan
kesehatan di dalam penggunaannya kepada penderita baik yang langsung maupun
tidak langsung tujuan akhirnya adalah untuk menyelamatkan jiwa manusia.
Kelancaran dan keamanan pengoperasian merupakan hal yang mutlak perlu pada
peralatan kesehatan. Untuk itu perlu diperhatikan dalam menyediakan alat
kesehatan yang merupakan unsur penting dalam operasional sebuah rumah sakit,
tetapi disebabkan sifat umum rumah sakit menurut Undang-Undang No. 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perseorangan secara paripurna yang
menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat, maka hal-hal
lainnya seperti pengadaan alat kesehatan merupakan kerjasama dengan pihak lain.
Salah satu bentuk perjanjian yang merupakan kajian penelitian ini adalah
perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa antara RSUD Dr. Pirngadi
Medan dengan PT. Mendjangan Jakarta. Perjanjian ini disebut perjanjian
kerjasama karena meletakkan suatu sifat perbuatan pinjam pakai mesin
hemodyalisa dalam kaitannya dengan pelaksanaan pelayanan kesehatan pasien di
RSUD Dr. Pirngadi Medan.
Perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa termasuk dalam
perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Buku III KUH Perdata. Secara garis
besar, tatanan hukum perdata Indonesia memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi masyarakat untuk saling mengadakan perjanjian tentang apa saja yang
dianggap perlu bagi tujuannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata
yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagaimana undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menyikapi hal
tersebut R. Subekti menjelaskan
Bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti undang-undang. Atau dengan perkataan lain, dalam soal perjanjian, kita diperbolehkan membuat undang-undang bagi kita sendiri. Pasal-pasal dari hukum perjanjian hanya berlaku, apabila atau sekedar kita tidak mengadakan aturan-aturan sendiri dalam perjanjian-perjanjian yang kita adakan itu.1
Dalam setiap perjanjian terdapat subyek dan obyek perjanjian. Subyek
perjanjian adalah para pihak yang membuat perjanjian, baik orang maupun badan
hukum, para pihak tersebut adalah kreditur dan debitur. Dalam hal ini kreditur
berhak atas prestasi, sedangkan debitur mempunyai kewajiban untuk memenuhi
prestasi. Apabila dalam suatu perjanjian terdapat lebih dari satu kreditur yang
berhadapan dengan seorang debitur ataupun sebaliknya, maka perjanjian yang
dibuat tersebut adalah tetap sah. Sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yang
terkait dalam suatu perjanjian. Apabila terjadi pengurangan jumlah kreditur, juga
tidak mengurangi sahnya perjanjian tersebut. Sesuai dengan teori dan praktek
hukum, kreditur dan debitur terdiri dari :
1
1. Individu sebagai person yang bersangkutan.
a. Natuurlijk Persoon atau manusia tertentu.
b. Rechts persoon atau badan hukum.
2. Seseorang atas keadaan tertentu mempergunakan kedudukan atau hak orang
lain.
3. Person yang dapat diganti.
Identitas para pihak harus selalu diketahui oleh pihak-pihak walaupun
telah dilakukan suatu penggantian karena suatu hak agar masing-masing dapat
dengan mudah menuntut prestasinya.
Mengenai obyek perjanjian, Wirjono Prodjodikoro, SH mengatakan:
“… Obyek dalam suatu perjanjian dapat diartikan sebagai hal yang
diperlukan oleh subyek itu berupa suatu hal yang penting dalam tujuan yang
dimaksudkan dengan membentuk suatu perjanjian”.2
Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan obyek perjanjian adalah
prestasi. Sesuai dengan Pasal 1234 KUH perdata bahwa prestasi yang
diperjanjikan oleh para pihak dapat berupa:
1) Untuk memberikan sesuatu,
2) Berbuat sesuatu dan,
3) Tidak berbuat sesuatu.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini akan mengajukan judul
penelitian yaitu “Analisis Terhadap Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin
2
Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan”.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik beberapa permasalahan yang akan
menjadi batasan pembahasan dari penelitian ini nantinya, antara lain:
a. Bagaimana proses perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan?
b. Bagaimana bentuk perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. pirngadi Medan?
c. Bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama operasional
mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan?
d. Bagaimana bentuk Penyelesaian sengketa dalam perjanjian kerjasama
operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi
Medan?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan
beberapa tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui proses perjanjian kerjasama operasional mesin
hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan.
2. Untuk mengetahui bentuk perjanjian kerjasamao perasional mesin
3. Untuk mengetahui akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian kerjasama
operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi
Medan.
4. Untuk Mengetahui Bentuk Penyelesaian jika terjadi sengketa dalam
perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Pirngadi Medan.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat dari Penelitian yang dilakukan ini dibedakan dalam manfaat
teoritis dan manfaat praktis yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis sebagai berikut:
a. Memberikan manfaat dalam bentuk sumbang saran untuk perkembangan
ilmu hukum pada umumnya dan khususnya pada bidang hukum
perjanjian kerjasama di bidang operasional alat kesehatan seperti
hemodyalisa.
b. Menambaha khasanah perpustakaan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis sebagai berikut:
a. Sebagai masukan bagi instansi terkait seperti pemerintah dan juga pihak
kontaktor dalam kaitannya dengan pembuatan perjanjian kerjasama
operasional alat kesehatan seperti hemodyalisa.
masyarakat tentang proses perjanjian kerjasama operasional alat
kesehatan di sebuah rumah sakit.
c. Sebagai bahan masukkan bagi penyempurnaan perundang-undangan
nasional khususnya yang berhubungan dengan masalah perjanjian
kerjasama dilingkungan rumah sakit.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat dan materi penelitian
Penelitian ini bersifat deskripsif analisi yaitu menggambarkan, menelaah dan
menjelaskan serta menganalisa peraturan-peraturan yang berlaku dihubungkan
dengan pengaturan perjanjian kerjasama operasional mesin hemodyalisa di
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pringadi Medan. Sedangkan materi penelitian
ini adalah berdasarkan data sekunder yaitu berdasarkan telah teoritis.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk meneliti penerapan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan (hukum positif) dalam bidang perjanjian
kerjasama operasional mesin hemodyalisa di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan. Dengan demekian penelitian yang dilakukan merupakan
penelitain hukum juridis normatif yaitu suatu penelitain dengan mengambil
kerangka penelitian berdasarkan ketentuan pengaturan perundang-undangan,
yang kemudian hasilnya akan dipaparkan dalam bentuk deskripsi berupa
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini berasal dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni:
1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945,
2) Peraturan perundang-undangan yang terkait seperti KUH perdata,
Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit,
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1998 Tentang Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan serta Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 beserta
perubahan-perubahannya Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
dan lain sebagainya.
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti : buku-buku, hasil-hasil penelitian, karya dari
kalangan hukum dan sebagainya.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang mencakup :
1) Bahan-bahan yang member petunjuj-petunjuk maupun penjelasan
terhadap hukum primer dan sekunder.
2) Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) di luar bidang
hukum seperti kamus, insklopedia, majalah, koran, makalah dan
sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan.
3. Alat pengumpul data
melalui studi dokumen dan penelusuran kepustakaan yang merupakan alat
pengumpul data dalam bentuk sekunder.
4. Analisis hasil penelitian
Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi
dokumen, maka hasil penelitian ini menggunakan analisa kualitatif. Analisa
kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang
dikemukakan, sehingga dari teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal
yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.
F. Keaslian Penulisan
Adapun penulisan skripsi yang membahas tentang Analisis Terhadap
Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Pirngadi Medan ini merupakan luapan dari hasil pemikiran penulis
sendiri. Sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggung
jawabkan secara moral dan akademik.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa bab, dimana dalam bab
terdiri dari unit-unit bab demi bab. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam
bentuk uraian:
Bab I. Pendahuluan
Dalam Bab ini akan diuraikan tentang uraian umum seperti penelitaian
Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan, Keaslian Penulisan
dan Sistematika Penulisan.
Bab II. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian/Perikatan
Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian
Perjanjian/Perikatan, Syarat Sah Perjanjian, Asas-asas Perjanjian,
Wanprestasi, Onrechtmatige Daad.
Bab III. Tinjauan Umum Tentang Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum
Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Pengertian Rumah
Sakit Umum, Sarana dan Prasarana Rumah Sakit Umum, Pengertian
Mesin Hemodyalisa, Peranan Rumah Sakit Umum Dalam
Penatalaksanaan Mesin Hemodyalisa.
Bab IV. Perjanjian Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah
Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan
Dalam Bab ini akan diuraikan pembahasan tentang: Proses Perjanjian
Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum
Daerah Dr. Pirngadi Medan, Bentuk Perjanjian Kerjasama Operasional
Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Pirngadi
Medan, Akibat Hukum Wanprestasi Dalam Perjanjian Kerjasama
Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
Pirngadi Medan, Bentuk Penyelesaian Sengketa Dalam Perjanjian
Kerjasama Operasional Mesin Hemodyalisa Di Rumah Sakit Umum
Bab V. Kesimpulan dan Saran
Bab ini adalah bab penutup, yang merupakan bab terakhir dimana akan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN/PERIKATAN
A. Pengertian Perjanjian/Perikatan
Perjanjian berasal dari terjemahan overeenkomst yang diterjemahkan
dengan menggunakan istilah perjanjian maupun persetujuan. Beberapa sarjana
tidak menggunakan istilah perjanjian akan tetapi memakai istilah persetujuan.
Mereka berpendapat pemakaian istilah tersebut tidaklah merupakan persoalan
yang mendasar, karena suatu perjanjian sebenarnya berasal dari adanya
persetujuan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Dalam
Pasal 1313 KUH Perdata memberikan rumusan tentang perjanjian bahwa : “Suatu
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Terhadap definisi Pasal 1313 KUH Perdata ini. Purwahid Patrik
menyatakan beberapa kelemahan, yaitu: 3
a. Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Hal ini dapat
disimak dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang
sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua pihak. Sedangkan
maksud perjanjian tersebut adalah para pihak saling mengikatkan diri,
sehingga tampak kekurangannya yang seharusnya ditambah dengan rumusan
“saling mengikatkan diri”;
3
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian (Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial), Kencana, Jakarta, 2011, hal. 17
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa consensus/kesepakatan, termasuk
perbuatan mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming) dan perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad). Hal ini menunjukkan makna
“perbuatan” itu luas dan yang menimbulkan akibat hukum;
c. Perlu ditekankan bahwa rumusan Pasal 1313 KUH Perdata mempunyai ruang
lingkup di dalam hukum harta kekayaan (vermogensrecht).
Dari pasal 1313 KUH Perdata. Orang menafsirkan, bahwa yang dimaksud
dengan perjanjian di sini adalah perjanjian obligatoir, perjanjian yang
menimbulkan perikatan dan perikatan di sini merupakan hubungan hukum dalam
lapangan hukum kekayaan, dimana di satu pihak ada hak dan di lain pihak ada
kewajiban.4 Para sarjana memberikan rumusan mengenai perjanjian dengan
penggunaan kalimat yang berbeda-beda, namun pada prinsipnya mengandung
unsur yang sama, yaitu: 5
1. Ada pihak-pihak. Yang dimaksud dengan pihak disini adalah subyek
perjanjian dimana sedikitnya terdiri dari dua orang atau badan hukum dan
harus mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum sesuai yang
ditetapkan oleh undang-undang;
2. Ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersifat tetap dan bukan suatu
perundingan;
3. Ada tujuan yang akan dicapai. Hal ini dimaksudkan bahwa tujuan dari pihak
hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
4
Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 173
5
undang-undang;
4. Ada prestasi yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan bahwa prestasi
merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai dengan
syarat-syarat perjanjian;
5. Ada bentuk tertentu, lisan atau tulisan. Hal ini berarti bahwa perjanjian biasa
dituangkan secara lisan atau tertulis. Hal ini sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang menyebutkan bahwa hanya dengan bentuk tertentu suatu
perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti kuat.
Undang-undang memberikan beberapa pedoman dalam penafsiran
perjanjian, yaitu:
a. Jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk
menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (Pasal 1342 KUH Perdata).
b. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu, daripada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf (Pasal
1343 KUH Perdata).
c. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan,
daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan
(Pasal 1344 KUH Perdata).
d. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian (Pasal 1345 KUH
e. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana perjanjian telah dibuat (Pasal
1346 KUH Perdata).
f. Hal-hal yang, menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan (Pasal 1347 KUH Perdata).
g. Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka perjanjian
seluruhnya (Pasal 1348 KUH Perdata).
h. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal, dan untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu (Pasal 1349 KUH Perdata).
i. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam mana suatu perjanjian disusun,
namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan
oleh kedua belah pihak sewaktu membuat perjanjian (Pasal 1350 KUH
Perdata).
j. Jika seorang dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan
perikatan, tak dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak
mengurangi maupun membatasi kekuatan perjanjian menurut hukum dalam
hal-hal yang tidak dinyatakan (Pasal 1351 KUH Perdata).
Pada umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk tertentu jadi
dapat dibuat secara lisan dan andai kata dibuat secara tertulis maka ini bersifat
tertentu undang-undang menentukan suatu bentuk, sehingga apabila bentuk itu
tidak dituruti maka perjanjian itu adalah tidah sah. Dengan demikian bentuk
tertulis tadi tidaklah hanya semata-mata merupakan alat pembuktian saja tetapi
merupakan syarat untuk adanya perjanjian itu. Misalnya perjanjian mendirikan
perseroan Terbatas harus dengan akte notaries (Pasal 38 KUHD).6
Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat
lahir dari suatu perjanjian dan undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat
menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian
tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”.
Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia.
Ketentuan pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa “Tiap-tiap
perikatan dilahirkan, baik karena suatu perjanjian, maupun karena
undang-undang”. Jika kita coba rumuskan secara berlainan, maka dapat kita katakan
bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber lahirnya perikatan. Dengan
membuat perjanjian salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut
mengikatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban sebagaimana yang dijanjikan. Ini
berarti di antara para pihak yang membuat perjanjian lahirlah perikatan.7
Definisi “perikatan” menurut doktrin (para ahli) adalah hubungan hukum
dalam bidang harta kekayaan di antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang
satu (debitur) wajib melakukan suatu prestasi, sedangkan pihak yang lain
6
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Alumni, Bandung, 1986, hal. 73
7
(kreditor) berhak atas prestasi itu.8
Dari rumusan yang diberikan di atas dapat diketahui bahwa suatu
perikatan, sekurangnya membawa serta di dalamnya empat unsur, yaitu:
1. Bahwa perikatan itu adalah suatu hubungan hukum;
2. Hubungan hukum tersebut melibatkan dua pihak atau lebih;
3. Hubungan hukum tersebut adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum
harta kekayaan;
4. Hubungan hukum tersebut melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam
perikatan.
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa menurut Pasal 1233 KUH Perdata,
hubungan hukum dalam perikatan dapat lahir karena kehendak para pihak, sebagai
akibat persetujuan yang dicapai oleh para pihak, dan sebagai akibat perintah
peraturan perundang-undangan. Dengan demikian berarti hubungan hukum ini
dapat lahir sebagai akibat perbuatan hukum, yang disengaja ataupun tidak, serta
dari suatu peristiwa hukum, atau bahkan dari suatu keadaan hukum. Peristiwa
hukum yang melahirkan perikatan misalnya tampak dalam putusan pengadilan
yang bersifat menghukum atau kematian yang mewariskan harta kekayaan
seseorang kepada ahli warisnya. Setiap hubungan hukum yang tidak membawa
pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan
pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup
batasan hukum perikatan. Kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah
kewajiban dalam pengertian perikatan.
8
B. Syarat Sah Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
c. Mengenai suatu hal tertentu
d. Suatu sebab yang halal.
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif karena mengenai
perjanjian sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan, bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik, si pembeli mengingini sesuatu barang si penjual .9
Syarat sah umum di luar Pasal 1338 dan 1339 KUH Perdata yang terdiri
dari:
a. Syarat itikad baik,
b. Syarat sesuai dengan kebiasaan,
c. Syarat sesuai dengan kepatuhan,
d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
9
Untuk syarat sah yang khusus yang dikemukakan oleh Munir Fuady terdiri
dari:
a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu,
b. Syarat akta notaris untuk kontrak-kontrak tertentu,
c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan notaris) untuk kontrak-kontrak
tertentu,
d. Syarat izin dari yang berwenang. 10
Menurut Mariam Darus Badrulzaman:
Syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapat dibedakan syarat subjektif, dan syarat objektif. dalam hal ini kita harus dapat membedakan antara syarat subjektif dengan syarat objektif. Syarat subjektif adalah kedua syarat yang pertama, sedangkan syarat objektif kedua syarat yang terakhir.11
Saliman menjelaskan tafsiran atas Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:
a. Syarat subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi:
1). Kecakapan untuk membuat kontrak (dewasa dan tidak sakit ingatan) 2). Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya.
b. Syarat objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum meliputi:
1). Suatu hal (objek) tertentu
2). Sesuatu sebab yang halal (kausa).12
Perjanjian atau kesepakatan dari masing-masing pihak itu harus
dinyatakan dengan tegas, bukan diam-diam. Perjanjian itu juga harus diberikan
bebas dari pengaruh atau tekanan yaitu paksaan.
10
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 34.
11
Mariam Darus Badrulzaman, II, KUH Perdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasannya, Alumni, Bandung, 1993, hal. 98.
12
Suatu kesepakatan dikatakan mengandung cacat, apabila
kehendak-kehendak itu mendapat pengaruh dari luar sedemikian rupa, sehingga dapat
mempengaruhi pihak-pihak bersangkutan dalam memberikan kata sepakatnya.
Misalnya karena ditodong, dipaksa atau karena kekeliruan mengenai suatu sifat dari pada benda yang diperjanjikan dan dapat pula karena penipuan. Pendek kata ada hal-hal yang luar biasa yang mengakibatkan salah satu pihak dalam perjanjian tersebut telah memberikan perizinannya atau kata sepakatnya secara tidak bebas dengan akibat perizinan mana menjadi pincang tidak sempurna.13
Perjanjian yang diadakan dengan kata sepakat yang cacat itu dianggap
tidak mempunyai nilai. Lain halnya dalam suatu paksaan yang bersifat relatif,
dimana orang yang dipaksa itu masih ada kesempatan apakah ia akan mengikuti
kemauan orang yang memaksa atau menolaknya, sehingga kalau tidak ada
perjanjian dari orang yang dipaksa itu maka jelas bahwa perjanjian yang telah
diberikan itu adalah perjanjian yang tidak sempurna, yaitu tidak memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Paksaan seperti inilah yang dimaksudkan undang-undang dapat
dipergunakan sebagai alasan untuk menuntut batalnya perjanjian, yaitu
suatu paksaan yang membuat perjanjian atau perizinan diberikan, tetapi secara
tidak benar.
Tentang halnya kekeliruan atau kesilapan undang-undang tidak
memberikan penjelasan ataupun pengertian lebih lanjut tentang apa yang
dimaksud dengan kekeliruan tersebut. Untuk itu harus dilihat pengertian yang
mana telah memberikan pengertian terhadap kekeliruan itu, terhadap sifat-sifat
13
pokok yang terpenting dari obyek perjanjian itu. Dengan perkataan lain bahwa
kekeliruan itu terhadap unsur pokok dari barang–barang yang diperjanjikan yang
apabila diketahui atau seandainya orang itu tidak silap mengenai hal-hal tersebut
perjanjian itu tidak akan diadakan. Jadi sifat pokok dari barang yang diperjanjikan
itu adalah merupakan motif yang mendorong pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mengadakan perjanjian.
Sesuatu kekeliruan atau kesilapan untuk dapat dijadikan alasan guna
menuntut pembatalan perjanjian maka haruslah dipenuhi persyaratan bahwa
barang-barang yang menjadi pokok perjanjian itu dibuat, sedangkan sebagai
pembatasan yang kedua dikemukakan oleh adanya alasan yang cukup menduga
adanya kekeliruan atau dengan kata lain bahwa kesilapan itu harus diketahui oleh
lawan, atau paling sedikit pihak lawan itu sepatutnya harus mengetahui bahwa ia
sedang berhadapan dengan seseorang yang silap.
Misalnya si penjual lukisan harus mengetahui bahwa si pembelinya mengira bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia memberikan pembeli itu dalam kesilapannya. Atau dalam hal penyanyi yang mengetahui bahwa sang Direktur Operasi itu secara silap telah mengadakan kontrak dengan penyanyi kesohor yang sama namanya.14
Kekeliruan atau kesilapan sebagaimana yang dikemukakan di atas
adalah kekeliruan terhadap orang yang dimaksudkan dalam perjanjian. Jadi orang
itu mengadakan perjanjian justru karena ia mengira bahwa penyanyi tersebut
adalah orang yang dimaksudkannya. Dalam halnya ada unsur penipuan pada
perjanjian yang dibuat, maka pada salah satu pihak terdapat gambaran yang
sebenarnya mengenai sifat-sifat pokok barang-barang yang diperjanjikan,
14
gambaran dengan sengaja diberikan oleh pihak lawannya. Dalam hal penipuan
inipun dapat pula diajukan sanksi atas dasar perbuatan melawan hukum atau
sebagaimana diatur Pasal 1365 KUH Perdata.
Perihal adanya penipuan itu harus dibuktikan, demikian hal tersebut
ditegaskan dalam Pasal 1328 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi “Penipuan
merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang
dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak
yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat”.
Untuk dapat dikatakan adanya suatu penipuan atau tipu muslihat tidak cukup
kalau seseorang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, paling
sedikit harus ada sesuatu rangkaian kebohongan. Karena muslihat itu, pihak yang
tertipu terjerumus pada gambaran yang keliru dan membawa kerugian kepadanya.
Syarat kedua untuk sahnya suatu perjanjian adalah, kecakapan para pihak. Untuk
hal ini dikemukakan Pasal 1329 KUH Perdata, dimana kecakapan itu dapat
dibedakan:
a. Secara umum dinyatakan tidak cakap untuk mengadakan perjanjian secara
sah.
b. Secara khusus dinyatakan bahwa seseorang dinyatakan tidak cakap untuk
mengadakan perjanjian tertentu, misalnya Pasal 1601 KUH Perdata yang
menyatakan batalnya suatu perjanjian perburuhan apabila diadakan antara
Sedangkan perihal ketidakcakapan pada umumnya itu disebutkan bahwa
orang-orang yang tidak cakap sebagaimana yang diuraikan oleh Pasal 1330 KUH
Perdata ada tiga, yaitu:
a. Anak-anak atau orang yang belum dewasa
b. Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampunan
c. Wanita yang bersuami
Ketidak cakapan ini juga ditentukan oleh undang-undang demi
kepentingan curatele atau orang yang ditaruh di bawah pengampuan itu sendiri.
Menurut Pasal 1330 KUH Perdata di atas wanita bersuami pada umumnya adalah
tidak cakap untuk bertindak dalam hukum, kecuali kalau ditentukan lain oleh
undang-undang. Ia bertindak dalam lalu lintas hukum harus dibantu atau
mendapat izin dari suaminya. Hal ini mengingat bahwa kekuasaan sebagai kepala
rumah tangga adalah besar sekali, seperti yang kita kenal dengan istilah maritale
macht.
Melihat kemajuan zaman, dimana kaum wanita telah berjuang membela
haknya yang kita kenal dengan emansipasi, kiranya sudah tepatlah kebijaksanaan
Mahkamah Agung yang dengan surat Edarannya No. 3 Tahun 1963 tanggal 4
Agustus 1963 telah menganggap Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata tentang
wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk
menghadap di depan pengadilan tanpa izin atau bantuan dari suaminya sudah
tidak berlaku lagi.
Dalam halnya perjanjian-perjanjian yang dibuat orang yang tergolong
dianggap tidak cakap itu sendiri, sebab undang-undang beranggapan bahwa
perjanjian ini dibatalkan secara sepihak, yaitu oleh pihak yang tidak cakap itu
sendiri, akan tetapi apabila pihak yang tidak cakap itu mengatakan bahwa
perjanjian itu berlaku penuh baginya, maka konsekwensinya adalah segala akibat
dari perjanjian yang dilakukan oleh para pihak yang tidak cakap dalam arti tidak
berhak atau tidak berkuasa maka pembatalannya hanya dapat dimintakan oleh
pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Pembatalan terhadap orang-orang tertentu dalam hal kecakapan membuat
suatu perjanjian sebagaimana dikemukakan Pasal 1330 KUH Perdata tersebut,
kiranya dapat diingat bahwa sifat dari peraturan hukum sendiri pada hakekatnya
selalu mengejar dua tujuan yaitu rasa keadilan di satu pihak dan ketertiban hukum
dalam masyarakat di pihak lain. Maka demikianlah bilamana dari sudut tujuan
hukum yang pertama ialah mengejar rasa keadilan memang wajarlah apabila
orang yang membuat suatu perjanjian dan nantinya terikat oleh perjanjian itu
harus pula mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyapi akan
tanggung-jawab yang harus dipikulkan dan tujuan yang satu inilah akan sulit diharapkan
apabila orang-orang yang merupakan pihak dalam suatu perjanjian itu adalah
orang-orang di bawah umur atau orang sakit ingatan atau pikiran yang pada
umumnya dapat dikatakan sebagai belum atau tidak dapat menginsyapi apa
sesungguhnya tanggung-jawab itu.
Pembatasan termaksud di atas itu kiranya sesuai apabila dipandang dari
sudut tujuan hukum dalam masyarakat, yaitu mengejar ketertiban hukum dalam
juga mempertaruhkan harta kekayaannya. Maka adalah logis apabila orang-orang
yang dapat berbuat itu adalah harus orang-orang yang sungguh-sungguh berhak
berbuat bebas terhadap harta kekayaannya itu. Dimana kenyataan yang demikian
itu tidaklah terdapat dalam arti orang–orang yang sungguh tidak ditaruh di bawah
pengampuan atau orang-orang yang tidak sehat pikirannya, karena sebab-sebab
lainnya ataupun pada diri orang-orang yang masih di bawah umur.
Selanjutnya syarat yang ketiga untuk sahnya satu perikatan adalah adanya
hal tertentu yang diperjanjikan maka ini berarti bahwa apa yang diperjanjikan
harus cukup jelas dalam arti barang atau benda yang dimaksudkan dalam
perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata dengan pengertian bahwa jumlahnya barang
tidak menjadi syarat, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan.
Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata berbunyi “Suatu persetujuan harus
mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan
jenisnya”.
Syarat yang ketiga ini menjadi penting, terutama dalam hal terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, guna dapat menetapkan apa-apa saja
yang menjadi hak dan kewajiban dari pada pihak-pihak dalam perjanjian yang
mereka buat itu. “Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat tidak dipenuhi
syarat ini, perjanjian itu batal demi hukum (voidneiting)”. 15
15
Pasal 1320 KUH Perdata menyebutkan sebagai syarat ke-empat ialah
adanya suatu sebab yang halal. Dengan sebab ini dimaksudkan tiada lain dari pada
isi perjanjian itu sendiri. Atau seperti dikemukakan R. Wirjono Prodjodikoro,
yaitu: “Azas-azas hukum perjanjian, bahwa dengan pengertian causa adalah bukan
hal yang mengakibatkan hal sesuatu keadaan belaka. Selanjutnya beliau
mengatakan dalam pandangan saya, causa dalam hukum perjanjian adalah isi dan
tujuan suatu persetujuan, yang menyebabkan adanya perjanjian itu”.16
Suatu causa dalam perjanjian, haruslah berupa causa yang halal, dalam arti
bahwa isi perjanjian itu harus bukan sesuatu hal yang terlarang.
“Sebagai contoh dari suatu perjanjian yang mengandung causa yang terlarang,
adalah si penjual hanya bersedia menjual pisaunya kalau si pembeli berjanjin
membunuh orang”.17
Sehubungan dengan perbedaan syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian
telah dikemukakan terlebih dahulu, yaitu syarat obyektif dan syarat subyektif,
maka apabila syarat obyektif tersebut tidak dipenuhi, perjanjian itu dapat
dikatakan batal demi hukum. Sedangkan dalam hal syarat subyektif yang tidak
dipenuhi, maka terhadap perjanjian yang demikian itu salah satu pihak
mempunyai hak untuk menuntut perjanjian yang telah dibuat menjadi batal.
Dengan perkataan lain, bahwa bila syarat subyektif tidak dipenuhi maka
dapat dituntut pembatalannya, sedangkan bila syarat obyektif yang tidak dipenuhi,
maka perjanjian itu batal demi hukum.
16
R. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 36.
17
C. Asas-Asas Perjanjian
Asas-asas hukum perjanjian mempunyai pengertian tersendiri, menurut
Sudikno Mertokusumo, pengertian asas hukum adalah suatu pemikiran dasar yang
bersifat umum yang melatarbelakangi pembentukan hukum positif. Dengan
demikian asas hukum tersebut pada umumnya tidak tertuang di dalam peraturan
yang konkret akan tetapi hanyalah merupakan suatu hal yang menjiwai atau
melatarbelakangi pembentukannya. Hal ini disebabkan oleh sifat dari asas tersebut
yaitu abstrak dan umum. Adapun fungsi-fungsi asas hukum, antara lain: 18
1. Pengundang-undangan harus mempergunakan asas-asas hukum sebagai
pedoman bagi kerjanya;
2. Hakim melakukan interpretasi hukum berdasarkan kepada asas-asas hukum;
3. Hakim perlu mempergunakan asas-asas hukum, apabila ia perlu mengadakan
analogi;
4. Hakim dapat melakukan koreksi terhadap peraturan perundang-undangan,
karena tidak dipakai terancam kehilangan maknanya.
Jika diperhatikan keempat fungsi asas-asas hukum tersebut di atas fungsi
kedua, ketiga dan keempat diberikan kepada hakim sesuai dengan fungsi dan
tugas menurut jabatannya.
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting, yaitu asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda, asas iktikad baik dan
asas kepribadian. Kelima asas itu disajikan sebagai berikut:
18
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) KUH Perdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kebebasan berkontrak bersifat esensial, baik bagi individu untuk
mengembangkan diri didalam kehidupan pribadi maupun didalam kehidupan
bermasyarakat serta untuk mengindahkan kepentingan-kepentingan harta
kekayaannya, maupun bagi masyarakatnya sebagai suatu kesatuan, sehingga
hal-hal tersebut oleh beberapa peneliti dianggap sebagai suatu hak dasar.19 Adapun
asas kebebasan berkontrak merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk: 20
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratannya, serta
4) Menetukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau lisan.
Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan perwujudan dari
kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya dilandasi
semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu. Perkembangan ini
seiring dengan penyusunan BW di negeri Belanda, dan semangat liberalisme ini
juga dipengaruhi semboyan Revolusi Perancis “liberte, egalite et fraternite”
(kebebasan, persamaan dan persaudaraan). Menurut paham individualisme setiap
19
Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, PT Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 99
20
orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendaki, sementara itu di dalam
hukum perjanjian falsafah ini diwujudkan dalam asas kebebasan berkontrak.21
Walau dunia barat telah terjadi pergeseran Hukum Perdata pada umumnya, hukum
perjanjian pada khususnya yang tetap berada dalam sistem individualisme yang
merupakan unsur primair di dalam masyarakat adalah kepentingan individu.22
Akan tetapi, dalam hukum perjanjian Nasional, asas kebebasan berkontrak yang
bertanggung jawab yang mampu memelihara keseimbangan ini tetap
dipertahankan, yaitu “pengembangan kepribadian” untuk mencapai kesejahteraan
dan kebahagiaan hidup lahir dan batin yang serasi, selaras dan seimbang dengan
kepentingan masyarakat.23
b. Asas Konsensualisme
Konsensualisme berasal dari perkataan “consensus” yang berarti
kesepakatan. Dengan kesepakatan dimaksudkan bahwa diantara pihak-pihak yang
bersangkutan tercapai persesuaian kehendak. Dalam asas konsensualisme yang
ditekankan adalah adanya persesuaian kehendak sebagai inti dari hukum kontrak.
Asas konsensualisme merupakan “roh” dari suatu perjanjian. Hal ini tersimpul
dari kesepakatan para pihak, namun demikian pada situasi tertentu terdapat
perjanjian yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya. Hal
ini disebabkan adanya cacat kehendak yang mempengaruhi timbulnya perjanjian.
21
Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.109
22
Mariam Darus Badrulzaman, Menuju Hukum Perikatan Indonesia, Op.Cit, hal. 17
23
Dengan demikian, asas konsensualisme sebagaimana yang dimaksud
dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata angka 1, yang menyatakan bahwa
perjanjian itu telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat, hendaknya tidak juga
diinterpretasi semata-mata secara gramatikal. Pemahaman asas konsensualisme
yang menekankan pada “sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa
yang berhadapan dalam kontrak itu adalah orang yang menjunjung tinggi
komitmen dan tanggung jawab serta orang yang beritikad baik, yang berlandaskan
pada “satunya kata satunya perbuatan”.24
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Pacta sunt servanda berasal dari bahasa latin yang berarti “janji harus
ditepati”. Pacta sunt servanda merupakan asas atau prinsip dasar dalam sistem
hukum civil law. Pada dasarnya asas ini berkaitan dengan perjanjian yang
dilakukan diantara individu, yang mengandung makna bahwa:
1) Perjanjian merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya;
2) Ingkar terhadap kewajiban yang ada pada perjanjian merupakan tindakan
melanggar janji atau wanprestasi.
Asas pacta sunt servanda atau disebut juga dengan asas kepastian hukum.
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak
yang dibuat oleh para pihak.
24
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1)
KUH Perdata, yang berbunyi: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang”.
d. Asas Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata menyatakan bahwa, “Suatu perjanjian
harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Apa yang dimaksud dengan iktikad
baik, perundang-undangan tidak memberikan definisi yang tegas dan jelas. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan iktikad adalah
kepercayaan, keyakinan yang teguh, maksud, kemauan. Iktikad baik juga
dibedakan dalam sifatnya yang nisbi dan mutlak. Pada iktikad baik yang nisbi,
orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada iktikad
baik yang mutlak atau hal yang sesuai dengan akal sehat dan keadilan, dibuat
ukuran objektif untuk menilai keadaan sekitar perbuatan hukumnya.
Wirjono Prodjodikoro membagi iktikad baik menjadi dua macam, yaitu: 25
1) Iktikad baik pada waktu mulai berlakunya suatu hubungan hukum. Iktikad
baik di sini biasanya berupa perkiraan atau anggapan seseorang bahwa
syarat-syarat yang diperlukan telah terpenuhi ketika dimulai hubungan hukum.
Dalam konteks ini hukum memberikan perlindungan kepada pihak yang
beriktikad baik, sedang pihak yang beriktikad tidak baik harus bertanggung
jawab dan menanggung resiko. Iktikad baik semacam ini dapat disimak dari
ketentuan Pasal 1977 ayat (1) KUH Perdata dan Pasal 1963 KUH Perdata,
25
dimana terkait dengan salah satu syarat untuk memperoleh hak milik atas
barang melalui daluwarsa. Iktikad baik ini bersifat subjektif dan statis.
2) Iktikad baik pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
termaktub dalam hubungan hukum itu. Pengertian iktikad baik semacam ini
sebagaimana diatur dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata adalah bersifat
objektif dan dinamis mengikuti situasi sekitar perbuatan hukumnya. Titik
berat iktikad baik di sini terletak pada tindakan yang akan dilakukan oleh
kedua belah pihak, yaitu tindakan sebagai pelaksanaan sesuatu hal.
e. Asas Kepribadian
Asas ini memberikan pengertian bahwa seseoarang yang akan melakukan
atau membuat perjanjian hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
mengacu pada Pasal 1315 dan Pasal 1340 KH Perdata. Pasal 1315 menyatakan
bahwa : “Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri
atau meminta ditetapkan suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri”. Ini berarti
bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian adalah untuk dirinya sendiri.
Selanjutnya Pasal 1340 menyatakan bahwa : “Perjanjian hanya berlaku antara
pihak yang membuatnya”. Namun demikian, ketentuan itu terdapat
pengecualiannya sebagaimana dalam pasal 1317 KUH Perdata yang menyatakan
bahwa : “Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkan suatu janji guna
kepentingan seorang pihak ke tiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh
seorang untuk dirinya sendiri atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada
seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu”. Pasal ini menyebut bahwa
adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, hanya
mengatur perjanjian untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan
orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal
1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318
KUH Perdata memiliki ruang lingkup yang luas.
Di samping kelima asas itu, di dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang
diselengarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Dapartemen Kehakiman
dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil
dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional. Kedelapan asas tersebut,
yaitu: 26
1. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara
mereka di belakang hari.
2. Asas Persamaan Hukum
Yang dimaksud dengan asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum
yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dalam hukum. Mereka tidak dibeda-bedakan antara satu sama lain,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama dan ras.
3. Asas Keseimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
26
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan iktikad baik.
4. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum.
Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai
undang-undang bagi yang membuatnya.
5. Asas Moral
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang yang tidak dapat menuntut haknya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang
melakukan perbuatan dengan sukarela. Yang bersangkutan mempunyai
kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah
satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan
perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan sebagai panggilan hati
nuraninya.
6. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan
dengan ketentuan mengenai isi perjanjian.
7. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal
8. Asas perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu
adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.
Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari pihak dalam menetukan
dan membuat kontrak.
D. Wanprestasi
Perikatan yang bersifat timbal balik senantiasa menimbulkan sisi aktif dan
sisi pasif. Sisi aktif menimbulkan hak bagi kreditor untuk menuntut prestasi,
sedangkan sisi pasif menimbulkan beban kewajiban bagi debitur untuk
melaksanakan prestasinya. Namun pada perikatan tertentu prestasi tidak berjalan
sebagaimana mestinya sehingga muncul peristiwa yang disebut wanprestasi.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan
kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang
telah ditentukan dalam perjanjian.27 Selanjutnya, terkait dengan wanprestasi
tersebut Pasal 1243 KUH Perdata menyatakan, bahwa : “Penggantian biaya, rugi
dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan,
apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap
melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat
diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampauinya”. Adapun
27
bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu: 28
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur
dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru
tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi
prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam,
yaitu:29
1) Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2) Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3) Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4) Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan somasi.
Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh
kreditur atau pejabat yang berwenang untuk itu. Apabila somasi itu tidak
diindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan lalu
28
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, 1999, Jakarta, hal.18
29
pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi atau tidak.
Somasi adalah teguran dari si kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi
prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya.30
E. Onrechtmatige Daad
Onrechtmatige daad diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi
perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum ini sudah menjadi
kebiasaan dalam praktik perkara perdata dan yang menjadi acuan dasar hukumnya
yaitu Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang
yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sebelum tahun 1919, Belanda mengartikan perbuatan melawan hukum
sebatas melanggar peraturan-peraturan yang tertulis. Akan tetapi sejak kasus
Lindenbaum versus Cohen tahun 1919, perbuatan melawan hukum tidak hanya
melanggar perbuatan peraturan yang sifatnya tertulis, namun diartikan secara luas,
yakni:31
1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain;
2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan;
4. Perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan atau keharusan yang terdapat
dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain.
30
Salim, Op.Cit, hal. 9.
31
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur
sebagai berikut:32
a. Perbuatan tersebut haruslah perbuatan yang melanggar hukum;
b. Perbuatan tersebut membawa kerugian terhadap orang lain;
c. Adanya unsur kesalahan dalam perbuatan yang merugikan tersebut.
Unsur kesalahan merupakan unsur mutlak berlakunya ketentuan Pasal
1365 KUH Perdata, jika unsur kesalahan tidak ditemukan, maka berlakulah
ketentuan Pasal 1366 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya”.
Sedangkan dalam Rancangan Hukum Perikatan Nasional, rumusan
perbuatan melawan hukum sebagai berikut:33
1) Perbuatan melawan hukum adalah tiap pelanggaran hak orang lain dan
perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban menurut
undang-undang atau dengan suatu kepatutan yang harus diindahkan dalam
masyarakat menurut hukum tertulis kecuali ada dasar yang membenarkan.
2) Barang siapa melakukan perbuatan melawan hukum, yang
dipertanggungjawabkan kepadanya, diwajibkan memberi ganti rugi kepada
pihak yang menderita akibat perbuatan itu.
3) Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas suatu perbuatan melawan
32
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.Cit, hal. 42
33
hukum, apabila hal itu adalah karena kesalahannya atau karena sesuatu sebab
yang menurut undang-undang atau menurut pendapat yang berlaku dalam
masyarakat adalah merupakan tanggungjawabnya.
Mengenai pertanggungjawaban di atas, Mahadi membedakannya menjadi
tanggung jawab individual dan tanggung jawab kualitatif. Pada tanggung jawab
individual yang dipertanyakan adalah siapa yang bersalah. Sedangkan, yang
dipersoalakan pada tanggung jawab kualitatif adalah siapa yang bersalah dan
siapa yang harus memikul resiko atas terjadinya perbuatan melawan hukum
tersebut.34 Adapun dasar hukum yang dipakai dalam tanggung jawab kualitatif
diatur dalam Pasal 1367, 1368 dan 1369 KUH Perdata.
34
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MESIN HEMODYALISA DI RUMAH
SAKIT UMUM
A. Pengertian Rumah Sakit Umum
Rumah sakit adalah sebuah institusi perawatan kesehatan profesional yang
pelayanannya disediakan oleh dokter, perawat, dan tenaga ahli kesehatan lainnya.
Rumah Sakit adalah suatu fasilitas umum (public facility) yang berfungsi sebagai
pusat pelayanan kesehatan meliputi pencegahan dan penyembuhan penyakit, serta
pemeliharaan, peningkatan dan pemulihan kesehatan secara paripurna.
Berdasarkan Undang-Undang RI No. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit,
rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat.
Batasan rumah sakit banyak macamnya. Beberapa diantaranya yang
dipandang penting adalah :
1. Rumah sakit adalah suatu organisasi yang melalui tenaga medis profesional yang terorganisir serta srana kedokteran yang permanen menyelenggarakan pelayanan kedokteran, asuhan keperawatan yang berkesinambungan, diagnosis serta pengobatan yang diderita oleh pasien. 2. Rumah sakit adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima
pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan.
3. Rumah sakit adalah pusat dimana pelayanan kesehatan masyarakat, pendidikan serta penelitian kedokteran diselenggarakan.35
35