• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Aspek Hukum Perlindungan Terhadap Anak Didik Pemasyarakatan Dalam Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA

(Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

NOVITA SARI S NIM : 110200247

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN

NARKOTIKA

(Studi Kasus Lemabaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH : NOVITA SARI NIM : 110200247

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. H. M. Hamdan, SH, M.H NIP : 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan rahmatNya atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjalani perkuliahan hingga masa penyelesaian skripsi ini di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Adapun skripsi ini berjudul “ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DALAM TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan)” disusun guna melengkapi salah satu unsur penting dalam pemenuhan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini membahas tentang pengaturan hukum mengenai perlindungan anak di Indonesia khususnya bagi anak didik pemasyarakatan dan bagaimana pelaksanaan perlindungan tersebut terhadap anak didik di dalam Lembaga Pemasyarakatan. Penulis telah mencurahkan segenap hati dan pikiran dalam proses penyelesaian skripsi ini.

(4)

Saurlin Febriana Sari Sihaloho, semoga Tuhan YME selalu memberkati dan melindungi mereka, Amin.”

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Budiman Ginting, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Dr. OK. Saidin, S.H., M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H.,M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum., selaku sekertaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Ibu Nurmalawaty, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I, atas ilmu, pengajaran serta bimbingan dan saran yang telah banyak diberikan kepada penulis, baik dalam masa perkuliahan maupun dalam masa penulisan skripsi.

8. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, atas bimbingan dan pengetahuan serta masukan-masukan yang diberikan sejak masa perkuliahan hingga saat sekarang ini.

(5)

10. Semua Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum, Program Ilmu Hukum dan Perpustakaan Pustaka Universitas Sumatera Utara Medan.

11. Bapak dan Ibu Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, Pak Leo, Pak Andre dan Ibu Adista yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

12. Adik-adik di Lembaga Pemasyarakatan selaku sumber utama bahan penulisan skripsi ini, yang juga telah memberikan banyak pelajaran dan pengalaman selama di Lapas.

13. Rika Anggita Sitompul, partner terbaik sejak masa kecil sampai saat ini. Terimakasih buat bantuannya, baik nasehat maupun motivasi yang sangat membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

14. Rekan-rekan seperjuangan penulis, Rika, Christin Tobing, Via Situmorang, Stephanie Situmorang dan Mutiara Rizki, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

15. Rekan-rekan DPC Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia Medan, terkhusus untuk Abangda Riswanto Damanik, Beni Manik, Edyson Tanjung, Husein, Petrus, Elridho, Hikler, Gabeta Solin, Joshua, Hendro, Raymond, Elvira Fransisca, Natalia, Imelda Rosari, Regina, Husna, Cindy, Lydia, Synta, dan masih banyak lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah tersebut di hati penulis.

(6)

17. Rekan-rekan terkasih Panitia Acara Natal Fakultas Hukum USU 2014, Tulus, Imelda, Kartika, Asido, Alex, Guntur, Stephanie, Rika, Via, Christin, dan Holy.

18. Seluruh pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu namun telah tersebutkan dihati penulis.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyajian skripsi ini, untuk itu Penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekurangan yang ada. Besar harapan penulis, skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum baik dalam teori maupun praktik, khususnya ilmu hukum Pidana. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, atas perhatian saudara/i penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Agustus 2015

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penulisan ... 9

D. Manfaat Penelitian ... 9

E. Keaslian Penulisan ... 10

F. Tinjauan Pustaka ... 11

1. Pengertian Anak ... 11

2. Pengertian Perlindungan Anak ... 15

3. Tindak Pidana dan Unsur-unsur Tindak Pidana ... 20

4. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika ... 23

5. Lembaga Pemasyarakatan ... 27

G. Metode Penelitian dan Penulisan ... 28

H. Sistematika Penelitian ... 31

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak ... 33

(8)

C. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ... 48 D. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1995 tentang Sistem Pemasyarakatan ... 56

BAB III BENTUK PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP

ANAK DIDIK PEMASYARAKATAN DI LEMBAGA

PEMASYARAKATAN Klas II A TANJUNG GUSTA MEDAN A. Hak Anak Dalam Lembaga Pemasyarakatan ... 60 B. Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Anak di Lembaga Pemasyarakatan

………. 64

C. Konsep Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan ... 73 D. Hambatan-Hambatan Yang Terjadi Selama Pembinaan di

Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tj. Gusta Medan ... 79

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan ... 82 B. Saran ... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

(9)

ABSTRAK *Novita Sari S **Nurmalawaty ***Mahmud Mulyadi

Anak adalah suatu anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua untuk dijaga dan dididik. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai hal yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan, yang datang dari dalam maupun luar lingkungan anak itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak juga dapat melakukan kejahatan yang setara dengan perbuatan orang dewasa, khususnya dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang telah mencapai situasi mengkhawatirkan. Anak tidak hanya dapat menjadi korban tindak pidana, melainkan dapat menjadi pelaku sama seperti orang dewasa. Sehingga anak perlu mendapatkan perlindungan hukum dari penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut, pertama, bagaimana pengaturan perlindungan terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia. Kedua, bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan klas II A Tanjung Gusta Medan.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui lebih jelas pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan klas II A Medan. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitian juridis normatif dan juridis empiris dan dengan menggunakan data primer berupa wawancara dengan beberapa informan terkait serta data sekunder, berupa buku-buku, tulisan, laporan hasil penelitian.

Hasil dari penelitian skripsi ini diketahui bahwa, pertama, perlindungan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Kedua, bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan klas II A Medan telah terlaksana sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pemasyarakatan. Hak dan segala kebutuhan anak telah terpenuhi dan telah mendapat perlindungan sebagai anak didik.

* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(10)

ABSTRAK *Novita Sari S **Nurmalawaty ***Mahmud Mulyadi

Anak adalah suatu anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua untuk dijaga dan dididik. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai hal yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan, yang datang dari dalam maupun luar lingkungan anak itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak juga dapat melakukan kejahatan yang setara dengan perbuatan orang dewasa, khususnya dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang telah mencapai situasi mengkhawatirkan. Anak tidak hanya dapat menjadi korban tindak pidana, melainkan dapat menjadi pelaku sama seperti orang dewasa. Sehingga anak perlu mendapatkan perlindungan hukum dari penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini dapat dirumuskan sebagai berikut, pertama, bagaimana pengaturan perlindungan terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia. Kedua, bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan klas II A Tanjung Gusta Medan.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui lebih jelas pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia dan untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan yang diterapkan di lembaga pemasyarakatan klas II A Medan. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah menggunakan jenis penelitian juridis normatif dan juridis empiris dan dengan menggunakan data primer berupa wawancara dengan beberapa informan terkait serta data sekunder, berupa buku-buku, tulisan, laporan hasil penelitian.

Hasil dari penelitian skripsi ini diketahui bahwa, pertama, perlindungan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia terdapat dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun1995 tentang Sistem Pemasyarakatan. Kedua, bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan klas II A Medan telah terlaksana sesuai dengan aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Sistem Pemasyarakatan. Hak dan segala kebutuhan anak telah terpenuhi dan telah mendapat perlindungan sebagai anak didik.

* Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah suatu anugerah yang dititipkan oleh Tuhan kepada orang tua untuk dijaga dan dididik. Anak juga dikatakan sebagai generasi penerus cita-cita keluarga, agama, bangsa dan negara. Anak dianggap sebagai sumber daya manusia, asset, atau masa depan bagi pembangunan bagi suatu negara. Anak harus dididik agar memiliki pengetahuan dan kepribadian yang baik, sehingga semakin baik kepribadian dan ilmu yang dimilikinya maka akan semakin baik pula masa depan bangsa yang diciptakannya.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atasUndang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dikatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Setiap makhluk hidup memiliki hak asasi manusia, termasuk anak. Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, yang harus memperoleh jaminan hukum, sebab hak-hak tersebut hanya dapat efektif apabila hak-hak itu dilindungi oleh hukum, misalnya hak untuk hidup dan hak untuk menyampaikan pendapat

Anak memiliki hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, seperti :

(12)

2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan; 3. Hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran; 4. Hak untuk menyatakan pendapat;

5. Hak untuk mendapat perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan;

6. Hak untuk rehabilitasi dan menerima bantuan sosial bagi anak penyandang Disabilitas;

7. Hak untuk diasuh oleh Orang Tua; 8. Hak untuk memperoleh perlindungan.

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksanaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan dari kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/yuridis (legal protection).1

Dalam masyarakat, setiap orang mempunyai kepentingan sendiri yang tidak hanya sama tetapi juga kadang-kadang bertentangan, untuk itu diperlukan aturan hukum dalam menata kepentingan tersebut yang menyangkut kepentingan

1

(13)

anak diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak.2

Mengenai hukum perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan :

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Perlindungan Anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dalam melaksanakan perlindungan anak terdapat beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut :3

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri

Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang mempengaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child)

2

Ibid, hlm. 51

3

(14)

Kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Prinsip ini digunakan karena dalam banyak hal anak sebagai korban disebabkan karena ketidaktahuan (ignorance) karena usia perkembangannya.

c. Ancangan daur kehidupan (Life-Circle Approach)

Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungan harus dimulai sejak dini dan terus-menerus. Anak memperoleh kesempatan belajar yang baik, waktu istirahat dan bermain yang cukup, dan ikut menentukan nasibnya sendiri.

d. Lintas sektoral

Nasib anak tergantung dari berbagai faktor makro maupun mikro yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota, sistem pendidikan yang menekankan hapalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan tidak dapat ditangani oleh sektor, terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.

(15)

artinya menjadi jahat, asosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, dan lain-lain.4

Romli Atmasasmita mengatakan bahwa deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela.5

Anak melakukan kenakalan dapat dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya. Kenakalan anak bukan hanya merupakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi juga mengancam masa depan bangsa dan negara. Atas dasar ini, anak perlu dilindungi dari perbuatan-perbuatan yang merugikan, agar anak sebagai generasi penerus bangsa tetap terpelihara demi masa depan bangsa dan negara.6

Bila ditinjau dari aspek sosiologis, psikologis dan karakteristik antara anak dan orang dewasa, jelas timbul perbedaan yang gradual. Tetapi hal ini tidak menjamin perilaku kenakalan yang dilakukan oleh anak dan orang dewasa berbeda juga.

(16)

Kejahatan di Indonesia beragam jenis, di antaranya pencurian, pembunuhan, tawuran atau perkelahian antarpelajar, penyalahgunaan narkotika dan minuman keras, hubungan seksual, dan tindak kriminalitas lainnya. Terkait jenis-jenis kejahatan tersebut, fokusnya adalah penyalahgunaan narkotika.

Penyalahgunaan narkotika dewasa ini telah mencapai situasi yang mengkhawatirkan sehingga menjadi masalah Nasional maupun Internasional yang mendesak. Hal ini sangat memprihatinkan sekali karena korban penyalahgunaan narkotika di Indonesia akhir-akhir ini cenderung meningkat dan mencakup tidak hanya terbatas pada kelompok masyarakat yang mampu tetapi juga telah merambah ke kalangan masyarakat yang kurang mampu baik di kota maupun di pedesaan.8

Kasus ini sangat mengejutkan karena baik pelaku maupun korban sebagian besar adalah anak-anak yang merupakan generasi muda dimana dapat mengancam rusaknya generasi penerus bangsa.

Anak-anak pada usianya sedang dalam proses belajar menuju kedewasaan, termasuk belajar tentang tanggung jawab sosial, etika, dan adab suatu masyarakat. Oleh karena itu, dia harus diberitahu tentang nilai-nilai yang melanggar hukum dan yang tidak melanggar hukum. Bila melanggar hukum, anak harus tahu hukuman apa yang akan diterima sehingga setiap perbuatan telah diketahui resikonya.9

Dari penjelasan di atas, telah menunjukkan bahwa pentingnya perangkat hukum dan kelembagaan khusus yang disediakan bagi anak yang berhadapan dengan hukum. Tetapi penanganan yang diberikan tidak sama dengan penanganan

8

Yuddin Chandra, Tindak Pidana Narkotika dalam Hukum Positif Indonesia, www.republic-ycna.weebly.com/gerbang-articel/tindak-pidana-narkotika-dalam-hukum-positif-indonesia (akses 4 Juni 2015, 23:37)

9

(17)

bagi orang dewasa yang melakukan kejahatan. Anak sebagai pelaku tindak pidana wajib mendapatkan perlindungan hukum baik selama proses persidangan di pengadilan sampai putusan dan pada saat anak berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan.

Lembaga pemasyarakatan (disingkat Lapas) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962. Ia menyatakan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, melainkan juga tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.10

Di dalam Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) tidak ada istilah narapidana untuk anak, melainkan disebut Anak Didik Pemasyarakatan. Pada Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, anak didik pemasyarakatan terdiri dari :

a. Anak pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk dididik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.

10

(18)

Sebenarnya, hukuman terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. Tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan atau telah melakukan perbuatan menyimpang.11

Anak yang telah dijatuhkan hukum pidana dan ditempatkan di LAPAS Anak, berhak memperoleh hak-haknya sesuai dengan hak asasi anak dalam peraturan-peraturan hukum di Indonesia. Baik anak sebagai korban maupun pelaku tindak pidana, khususnya dalam tulisan ini anak dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “Aspek hukum perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan dalam tindak pidana penyalahgunaan narkotika (studi kasus di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Medan)”.

B. Rumusan Masalah

Permasalahan merupakan acuan untuk melakukan penelitian dan juga menentukan bahasan selanjutnya sehingga sasaran dapat tercapai. Setelah mengetahui latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan beberapa pokok permasalahan yaitu :

1. Bagaimana pengaturan perlindungan terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia?

11

(19)

2. Bagaimana bentuk perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Anak Tanjung Gusta Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun beberapa tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini, adalah :

1. Untuk mengetahui lebih jelas pengaturan mengenai perlindungan terhadap anak dalam hukum positif di Indonesia

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Anak Medan.

Karya tulis ini pun diharapkan dapat menambah dan memperkaya literatur-literatur yang telah ada sebelumnya, khusunya mengenai perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan yang akan dicapai sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka penulisan skripsi ini juga bermanfaat untuk :

a. Manfaat Teoritis

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, khususnya mengenai perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan, serta bentuk-bentuk perlindungan yang diberikan oleh aparat penegak hukum.

(20)

- Bagi Penulis : penelitian ini dapat memperluas pengetahuan tentang penerapan ilmu yang didapat selama perkuliahan di lapangan, serta menambah wacana ilmu hukum pidana tentang perlindungan terhadap anak didik pemasyarakatan.

- Bagi Aparat Penegak Hukum khususnya yang berada di Lembaga Pemasyarakatan : penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan wacana dalam penerapan aturan hukum terhadap perlindungan anak didik pemasyarakatan.

- Bagi Pemerintah : penelitian ini diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengetahui penerapan perlindungan hukum terhadap anak didik pemasyarakatan di lembaga pemasyarakatan guna dapat membentuk peraturan baru ataupun memperbaiki peraturan yang telah ada.

- Bagi Masyarakat : penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai perlindungan hukum terhadap anak didik yang diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan.

E. Keaslian Penulisan

Karya tulis ini merupakan hasil buah pikiran penulis berdasarkan literatur-literatur yang telah ada, baik dari buku-buku yang dimiliki penulis sendiri maupun dari perpustakaan, penelitian di lapangan, serta sumber-sumber lainnya yang dapat dipercaya dan yang mendukung penyelesaian skripsi ini.

(21)

permasalahan yang sama dengan karya tulis ini, penulis dapat mempertanggungjawabkannya.

F. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Anak

Ditinjau dari aspek yuridis maka pengertian “Anak” di mata hukum positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa (minder jarig/person under a ge), orang yang di bawah umur/ keadaan di bawah umur (minderjarigheid/ inferiority) atau kerap juga disebut sebagai anak yang di bawah pengawasan wali (minderjarige ondervoordij). Maka dengan bertitik tolak kepada aspek tersebut di atas ternyata hukum positif Indonesia (ius constitutum/ ius operatum) tidak mengatur adanya unifikasi hukum yang baku dan berlaku universal untuk menentukan kriteria batasan umur bagi seorang anak.12

Secara internasional definisi anak tertuang dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Natoin Convention on The Right of The Child Tahun 1989, Aturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations Standard Minimum Rules for the Administra tion of Juvenile Justice (The Beijing Rules) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau United Declaration of Human Rights Ta hun 1948.13

Secara nasional definisi anak didasarkan pada batasan usia anak menurut hukum pidana, hukum perdata, hukum adat dan hukum islam. Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam spesifikasi hukum seperti ini :

1. 1 Hukum Pidana

12

Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia (Teori, Praktik dan Permasalahannya),

Bandung, Mandar Maju, 2005, hlm. 3

13

(22)

Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa batasan usia pada anak adalah di bawah 16 (enam belas) tahun, yang terdapat dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi :

“Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur enam belas tahun hakim dapat menentukan : Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana ataupun memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 517, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut diatas dan putusannya telah menjadi tetap atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.”

Peraturan batas usia anak dalam KUHP di atas sebebnarnya sudah tidak berlaku lagi karena pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki substansi yang lemah dan di dalam system hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggungjawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal.

Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut :

- Ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana

- Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tata negara dengan maksud untuk mensejahterakan anak

(23)

- Hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan - Hak anak dalam proses hukum acara pidana.14

1. 2 Hukum Perdata

Dalam hukum perdata, mengenai batas usia anak terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 330 yang berbunyi :

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini.”

1. 3 Hukum Adat

Menurut hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan orang dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. Mr. Soepomo berdasarkan hasil penelitian menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut :

1. dapat bekerja sendiri

2. cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab

3. dapat mengurus harta kekayaan sendiri15

1. 4 Menurut Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Adapun beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak di antaranya adalah :16

14Definisi Anak

, https;//andibooks.wordpress.com/definisi-anak, (akses 22 Agustus 2015, 23:45)

(24)

a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, misalnya, mensyaratkan usia perkawinan 16 (enam belas) tahun dan 19 (sembilan belas) tahun bagi laki-laki.

b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mendefinisikan anak berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin.

c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mendefinisikan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah berusia 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

Undang-Undang di atas telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang memuat definisi anak dalam Pasal 1 angka (3) bahwa, anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.

e. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membolehkan usia bekerja 15 (lima belas) tahun.

f. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberlakukan Wajib Belajar 9 Tahun, yang dikonotasikan menjadi anak berusia 7 (tujuh) sampai 15 (lima belas) tahun.

16

(25)

g. dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Karena definisi anak yang bermacam-macam, kebijakan perlindungan anak menjadi karut-marut. Bila misinya satu, melindungi anak, harusnyalah mengenal satu definisi, definisi universal yang telah mengikat karena ratifikasi negara, yaitu undang-undang yang secara khusus menyangkut perlindungan anak : Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

4. Pengertian Perlindungan Anak

Anak sebagai generasi penerus bangsa dan penerus pembangunan, sedini mungkin harus dipersiapkan juga sebagai subjek pelaksana pembangunan yang berkelanjutan dan pemegang kendali masa depan suatu negara. Perlindungan anak berarti melindungi potensi sumber daya insani dan membangun manusia seutuhnya, menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Selain itu, perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat.17

Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negatif

17

(26)

yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan anak.18 Untuk itu, kegiatan perlindungan anak setidaknya memiliki dua aspek. Aspek pertama berkaitan dengan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan hak-hak anak. Aspek kedua , menyangkut pelaksanaan kebijakan dan peraturan-peraturan tersebut.19

Dalam Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menentukan bahwa :

“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”

Dasar pelaksana perlindungan anak adalah :20

a. Dasar filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

b. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

c. Dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

18

Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta : Akademika Pressindo 1993), hlm. 22, seperti dikutip oleh Nashriana, Ibid, hlm. 3

19

Nashriana, Op.Cit, hlm. 3

20

(27)

Arif Gosita mengatakan bahwa Hukum Perlindungan Anak adalah hukum (tertulis maupun tidak tertulis) yang menjamin anak benar-benar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.21 Perlindungan hukum yang didapat anak adalah perlindungan yang diberi sejak anak masih dalam kandungan hingga ia melepas status sebagai seorang anak. Baik dalam kehidupannya sehari-hari dalam asuhan orang tua / wali, ataupun saat anak harus berhadapan dengan hukum.

Prinsip-prinsip perlindungan hukum pidana terhadap anak tercermin dalam Pasal 37 dan Pasal 40 Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang disahkan dengan Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990, tanggal 25 Agustus 1990. Pasal 37 memuat prinsip-prinsip sebagai berikut :22

1) Seorang anak tidak dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

2) Pidana mati maupun pidana seumur hidup tanpa memperoleh kemungkinan memperoleh pelepasan/ pembebasan (without possibility of relea se) tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun;

3) Tidak seorang anak pun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang;

4) Penangkapan, penahanan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya akhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/ pendek;

5) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnya sebagai manusia;

21

Maidin Gutom, Op.Cit, hlm. 52

22

(28)

6) Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontak dengan keluarganya;

7) Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tepat atas tindakan terhadap dirinya.

Berkaitan dengan anak yang berhadapan atau berkonflik dengan hukum, UU Nomor 35 Tahun 2014 memuat beberapa pasal, yakni :

1. Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; e. Pelibatan dalam peperangan; dan

f. Kejahatan seksual.

2. Pasal 16 yang menyatakan :

1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara bagi anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

3. Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela dari dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.

(29)

4. Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Perlindungan anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu :

I. Luas lingkup perlindungan :

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah.

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada prioritas pemenuhannya.

II. Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan. b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawabkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan di negara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).23

5. Tindak Pidana dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

23

(30)

Tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “stra fba a r feit”. Perlu diperhatikan bahwa istilah tindak pidana (strafbaar feit) dengan tindakan/perbuatan (gedraging/handeling) memiliki makna yang berbeda.24 Dalam bahasa Indonesia istilah “peristiwa pidana” digunakan untuk menterjemahkan “stra fba a r feict” atau “delict” (sebagaimana yang dipakai oleh Mr. R. Tresna dan E. Utrecht).

Beberapa ahli hukum telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian peristiwa pidana itu. Misalnya seperti yang dikemukakan beberapa ahli berikut :25

a. D. Simons

Menurutnya istilah “peristiwa pidana” itu adalah Een Stra fba a rgestelde, onrechtma tige, met schuld in verba nds staa nde ha ndeling va n een toerekeningva tba a r persoon. Terjemahan bebasnya yaitu Perbuatan salah dan melawan hukum yang diancam pidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.

b. Van Hamel

Perumusan ahli hukum ini sebenarnya sama dengan perumusan Simons, hanya saja Van Hamel menambah satu syarat lagi yaitu perbuatan itu harus pula atau patut dipidana (welk handeling een strafwaardig karakter heeft). c. Vos

Menurut Vos, peristiwa pidana adalah suatu peristiwa yang dinyatakan dapat dipidana oleh undang-undang (een strafbaar feit is een door de wet stra fba a r gesteld feit).

24

Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Medan, USU Press, 2013, hlm. 74

25

(31)

Tindak pidana atau delik ialah tindakan peristiwa pidana yang mengandung 5 unsur, yaitu :26

a) Harus ada sesuatu kelakuan (gedraging);

b) Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian Undang-undang (wettelijke omsschrijving);

c) Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak; d) Kelakuan itu dapat diberatkan kepada pelaku; e) Kelakuan itu diancam dengan hukuman.

Bambang Poernomo menyebutkan beberapa ahli yang membagi unsur-unsur tindak pidana secara mendasar, sebagai berikut :27

1) Van Apeldoorn

Menurut Apeldoorn, bahwa elemen delik itu sendiri terdiri dari elemenobjektif yang berupa adanya suatu kelakuan (perbuatan) yang bertentangan dengan hukum (onrechtmatig/wederrechtelijk) dan elemen subjektif yang berupa adanya seorang pembuat (dader) mampu bertanggung jawab atau dapat dipersalahkan (toereke-ningsvatbaarheid) terhadap kelakuan yang bertentangan dengan hukum itu.

2) Van Bemmelen

Van Bemmelen menyatakan bahwa elemen-elemen dari strafbaar feit dapat dibedakan menjadi :

a) elementen voor destra fbaa rheid va n het feit, yang terletak dalam bidang objektif karena pada dasarnya menyangkut tata kelakuan yang melanggar hukum;

26Ibid

, hlm. 3

27

(32)

b) mengenai elementen voor strafbaarheid van dedader , yang terletak dalam bidang subjektif karena pada dasarnya menyangkut keadaan/ sikap bathin orang yang melanggar hukum, yang kesemuanya itu merupakan elemen yang diperlukan untuk menentukan dijatuhkannya pidana sebagaimana diancamkan.

3) Pompe

Pompe mengadakan pembagian elemen strafbaar feit atas : a) Wederrechtelijkheid (unsur melawan hukum); b) Schuld (unsur kesalahan);

c) Subsocia le (unsur bahaya/gangguan/merugikan).

6. Narkotika dan Tindak Pidana Narkotika

Kata narkotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu “narcois” yang berarti “narkose” atau menidurkan, yaitu suatu zat atau obat-obatan yang membiuskan sehingga tidak merasakan apa-apa.

Selain itu mencakup obat-obatan yang dapat menyebabkan seseorang tertidur, narkotika adalah zat yang bisa menimbulkan pengaruh-pengaruh tertentu bagi mereka yang menggunakannya, berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Dalam dunia medis, narkotika dimanfaatkan untuk pengobatan seperti di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit.28

Bila penggunaan narkotika tidak teratur, dapat menimbulkan efek yang negatif, yaitu kecanduan atau ketagihan kepada si pemakai. Akibat kecanduan

28

(33)

atau ketagihan narkotika, pemakai tidak segan-segan melakukan tindak kriminal demi tercapainya hasrat untuk memakai narkotika, seperti tindak pidana pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan lai-lain.29

Pasal 1 angka 12 Undang-undang Narkotika, dijelaskan bahwa Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. Sementara Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus-menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan. Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Narkotika, dijelaskan bahwa Penyalahgunaan adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.30

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, yang dimaksud narkotika adalah tanaman papever, opium mentah, opium masak, seperti candu, jicing, jicingko, opium obat, morfina, tanaman koka, daun koka, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, damar ganja, garam-garam atau turunannya dari morfin dan kokaina.31

Menurut cara pembuatannya narkotika dibagi dalam 3 (tiga) golongan yaitu :

a. Narkotika alam, adalah narkotika yang berasal dari olahan tanaman, yang dikelompokkan dari 3 (tiga) jenis tanaman yaitu :

29

Soedjono Dirdjo Siswono, 1990, Hukum Narkotika Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 3, seperti dikutip oleh Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 122

30

Kusno Adi, Kebijakan Kriminal Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Oleh Anak, Malang, UMM Press, 2009, hlm. 18

31

(34)

1) Opium yaitu berasal dari olahan getah dari buah tanaman Paparef Somni Ferum. Termasuk dalam kelompok ini adalah opium mentah, opium masak, morfin, jenis tanaman yang menghasilkan opium tidak terdapat di Indonesia.

2) Kokaina, yaitu berasal dari olahan daun tanaman koka. Tanaman ini banyak terdapat dan diolah secara gelapdi Amerika Selatan seperti Peru, Bolivia, dan Columbia.

3) Conabis Sutira atau Mariyuana atau ganja termasuk hashish ataupun hashish oil (minyak ganja). Tanaman ganja ini banyak ditanam secara ilegal khususnya di daerah Aceh sekitarnya.

b. Narkotika Semi Sintetis yaitu narkotika yang dibuat dari Alkohol Opium dengan ini penanthem dan berkhasiat sebagai narkotika, contoh yang terkenal sering disalahgunakan adalah heroin.

c. Narkotika Sintetis, narkotika ini diperoleh melalui proses kimia dengan menggunakan bahan kimia, sehingga diperoleh suatu hasil baru yang mempunyai efek narkotika seperti Pethidine, Metadon, dan lain-lain.32

Mengenai tindak pidana narkotika, berarti merujuk pada suatu perbuatan atau peristiwa pidana dalam lingkup penyalahgunaan narkotika. Dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, dapat dijelaskan hal-hal tentang bentuk penyalahgunaan narkotika sebagai berikut :33

1) Narkotika apabila dipergunakan secara proporsional, artinya sesuai menurut asas pemanfaatan, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan

32

Jeane Mandagi, 1996, Penanggulangan Bahaya Narkotika, Pramuka Saka Bayangkara, Jakarta, hlm. 9 seperti dikutip oleh Maidin Gultom, Op.Cit, hlm. 122

33

(35)

penelitian ilmu pengetahuan, maka hal tersebut tidak dapat dikwalisir sebagai tindak pidana narkotika.

2) Penyalahgunaan narkotika meliputi pengertian yang lebih luas, antara lain : a. Membuktikan keberanian dalam melakukan tindakan-tindakan

berbahaya dan mempunyai resiko. Misalnya ngebut di jalanan, berkelahi, bergaul dengan wanita, dan lain-lain;

b. Menentang suatu otoritas baik terhadap guru, orang tua, hukum, maupun instansi tertentu;

c. Mempermudah penyaluran perbuatan seks;

d. Melepaskan diri dari kesepian dan memperoleh pengalaman-pengalaman emosional;

e. Berusaha agar menemukan arti dari pada hidup;

f. Mengisi kekosongan-kekosongan dan perasaan bosan karena tidak ada kegiatan;

g. Menghilangkan rasa frustasi dan gelisah;

h. Mengikuti kemauan teman dan tata pergaulan lingkungan; i. Hanya sekedar ingin tahu atau iseng.

3) Menurut ketentuan hukum pidana para pelaku tindak pidana itu pada dasarnya dapat dibedakan.

a. Pelaku utama b. Pelaku peserta c. Pelaku pembantu

4) Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini : a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;

(36)

b. Pengedaran narkotika;

Karena ketertarikan dengan sesuatu mata rantai peredaran narkotika, baik nasional maupun internasional

c. Jual beli narkotika;

Ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh motivasi untuk mencari keuntungan materil, namun ada juga karena motivasi untuk kepuasan.

7. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS)

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan memuat pengertian pemasyarakatan sebagai berikut :

“Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”.

Dari pengertian di atas, inti pemasyarakatan adalah pembinaan kepada warga binaan pemasyarakatan supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan keadaan yang baik. Sebelumnya telah diuraikan bahwa anak didik pemasyarakatan termasuk dalam lingkup warga binaan. Dalam pembinaan ini diperlukan suatu sistem yang dinamakan Sistem Pemasyarakatan.

(37)

Pasal 60 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak menegaskan, bahwa anak didik pemasyarakatan ditempatkan di LAPAS Anak yang harus terpisah dengan orang dewasa. Hal ini untuk kepentingan anak, supaya tidak terpengaruh jika dicampur, sehingga perlembangan anak tidak menjadi gelap bagi masa depannya.

Anak yang ditempatkan di LAPAS Anak, berhak untuk memperoleh pendidikan dan latihan baik formil maupun informil sesuai dengan bakat dan kemampuannya, serta memperoleh hak-hak lainnya34 yang terdapat dalam UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014. Hak-hak anak harus tetap dijunjung tinggi sehingga tidak adanya kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

G. Metode Penelitian

Untuk mendapatkan hasil yang jelas dan memuaskan mengenai pengaturan perlindungan anak dalam hukum positif di Indonesia serta bagaimana perlindungan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan, maka metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan dengan menggunakan jenis penelitian juridis empiris atau lapangan (field research) dan juridis normatif atau penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian juridis empiris atau lapangan ini menunjukkan peneliti untuk mendapatkan data primer dan mengidentifikasi hukum sebagai perilaku yang mempola. Dimana

34

(38)

pendekatan ini ditujukan untuk memperoleh keterangan, penjelasan, dan data mengenai pengaturan perlindungan anak dan melihat secara langsung bentuk penerapannya di lembaga pemasyarakatan.

Penulis juga menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menunjukkan perpustakaan sebagai tempat dilaksanakannya suatu penelitian. Sebenarnya suatu penelitian mutlak menggunakan kepustakaan sebagai sumber data sekunder.35 Pada pendekatan bersifat juridis normative ini, hukum diidentifikasikan sebagai norma peraturan atau Undang-Undang yang mengikat dan memiliki konsekuensi hukum yang jelas. Melalui pendekatan normative ini diharapkan kita dapat memahami peraturan perundang-undangan yang berlaku. Khususnya dalam penelitian ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

2. Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penyelesaian skripsi ini meliputi : a) Data primer

Data yang diperoleh langsung melalui penelitian di Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Tanjung Gusta Medan. Data primer ini diperoleh melalui wawancara dengan Pegawai dan Anak Didik Pemasyarakatan Klas II A Medan.

b) Data Sekunder

35

(39)

Data sekunder ini adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur yang relevan dengan judul ini, dokumen-dokumen, pendapat para ahli hukum dan hasil penelitian.

3. Metode Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data-data, penulis melakukan beberapa metode yaitu :

a) Wawancara adalah teknik pengumpulan informasi dan data dengan cara mengajukan sejumlah pertanyaan langsung kepada anak didik pemasyarakatan dan pegawai LAPAS yang bertugas pada saat itu.

b) Dokumentasi

Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk memperoleh data berkaitan dengan penerapan hak-hak anak didik pemasyarakatan dan keadaan anak sehari-hari di lembaga pemasyarakatan.

c) Studi Kepustakaan

Yaitu dengan mengumpulkan data dari referensi-referensi yang mendukung terhadap penelitian ini berupa dokumen, literatur, peraturan perundang-undangan, serta artikel-artikel yang memiliki kaitan dengan permasalahan. Kemudian meenjadi bahan masukkan dalam melengkapi analisis dalam permasalahan ini.

4. Analisis Data

(40)

dikemukakan dalam skripsi ini. Adapun metode analisis data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode analisis deskriptif Kualitatif yaitu menggambarkan secara lengkap kualitas dan karakteristik dari data-data yang sudah terkumpul, dilakukan pengolahan data, kemudian disimpulkan.

H. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah ruang lingkup pembahasan dalam skripsi ini, penulis telah membuat rangkuman dalam bentuk gambaran isi dari materi yang dibahas. Gambaran ini bertujuan agar penulisan ini lebih terarah dan terkonsentrasi serta tersusun secara sistematis mengenai isi dan pembahasannya.

Penulisan skripsi ini dalam garis besar terdiri dari 4 (empat) bab, yaitu : BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan penulisan, serta sistematika penelitian.

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Dalam bab ini dijelakan mengenai pengaturan perlindungan terhadap anak menurut hukum positif di Indonesia, yaitu dalam UU Perlindungan Anak, UU Narkotika, UU Sistem Peradilan Anak, dan UU Sistem Pemasyarakatan.

(41)

Dalam bab ini diuraikan mengenai hak anak dalam lembaga pemasyarakatan, bentuk perlindungan yang diterapkan, konsep pembinaan, dan hambatan-hambatan yang terjadi selama penerapan perlindungan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan klas II A Tanjung Gusta Medan.

BAB IV PENUTUP

(42)

BAB II

PENGATURAN PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK MENURUT HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Perlindungan Terhadap Anak Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

Masalah perlindungan hukum dan hak-haknya bagi anak merupakan salah satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Agar perlindungan hak anak dapat dilakukan secara teratur, tertib dan bertanggungjawab maka diperlukan peraturan hukum yang selaras dengan perkembangan masyarakat Indonesia yang dijiwai sepenuhnya oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Berdasarkan Konvensi Hak Anak yang kemudian diadopsi dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, ada empat “Prinsip Umum Perlindungan Anak” yang harus menjadi dasar bagi setiap negara dalam menyelenggarakan perlindungan anak, yaitu :36

a. Prinsip Nondiskriminasi

Artinya semua hak yang diakui dan terkandung dalam KHA (Konvensi Hak Anak) harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa pembedaan apapun. Prinsip ini dapat kita baca dalam Pasal 2 KHA Ayat 1 : “Negara-negara pihak menghormati dan menjamin hak-hak yang ditetapkan dalam konvensi ini bagi setiap anak yang berada dalam wilayah hukum mereka tanpa diskriminasi dalam bentuk apa pun, tanpa memandang ras, warna kulit, jenis

36

(43)

kelamin, bahasa, agama, pandangan politik atau pandangan-pandangan lain , asal usul kebangsaan etnik atau sosial, status kepemilikan, cacat atau tidak, kelahiran atau status lainnya baik dari si anak sendiri atau dari orangtua walinya yang sah.”

b. Prinsip Kepentingan Terbaik bagi Anak (Best Interest of the Child)

Prinsip ini mengingatkan kepada semua penyelenggara perlindungan anak bahwa pertimbangan-pertimbangan dalam pengambilan keputusan menyangkut masa depan anak, bukan dengan ukuran orang dewasa, apalagi berpusat kepada kepentingan orang dewasa. Apa yang menurut orang dewasa baik, belum tentu baik pula menurut kepentingan anak. Boleh jadi maksud orang dewasa memberikan bantuan dan menolong, tetapi yang sesungguhnya terjadi adalah penghancuran masa depana anak.37

c. Prinsip Hak Hidup, Kelangsungan Hidup dan Perkembangan (the Right to Life, Surviva l a nd Development)

Pesan dari prinsip ini sangat jelas bahwa negara harus memastikan setiap anak akan terjamin kelangsungan hidupnya karena hak hidup adalah sesuatu yang melekat dalam dirinya, bukan pemberian dari negara atau orang per orang. Untuk menjamin hak hidup tersebut berarti negara harus menyediakan lingkungan yang kondusif, sarana dan prasarana hidup yang memadai, serta akses setiap anak untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan dasar.

Implementasi prinsip ini berarti negara melalui instrumen regulasi nasional maupun institusi nasional yang dimiliki harus mendorong tumbuh kembang anak secara optimal. Pengasuhan yang tidak memberikan kenyamanan

37

(44)

kepada anak, biaya pendidikan yang mahal, proses belajar mengajar yang menekan, dan layanan kesehatan yang tidak dapat diakses merupakan kondisi yang bertentangan dengan prinsip ini.38

d. Prinsip Penghargaan terhadap Pendapat Anak (Respect for the Views of the Child)

Poin terpenting dari prinsip ini, anak adalah subjek yang memiliki otonomi kepribadian. Oleh sebab itu, dia tidak bisa hanya dipandang dalam posisi lemah, menerima, dan pasif, tetapi sesungguhnya dia pribadi otonom yang memiliki pengalaman, keinginan, imajinasi, obsesi, dan aspirasi yang belum tentu sama dengan orang dewasa.39

Empat prinsip perlindungan anak di atas menjadi dasar penerapan hak-hak anak di Indonesia. Salah satu bentuk perlindungan adalah menjunjung tinggi serta melindungi hak dan kewajiban anak. Adapun hak anak yang terdapat dalam beberapa pasal Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, antara lain :

1. Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan Orang Tua atau Wali.

Dalam pasal ini terdapat hak anak untuk beribadah menurut agamanya serta berpikir dan berekspresi. Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 dalam pasal ini dimaksudkan untuk memberi kebebasan kepada Anak dalam rangka mengembangkan kreativitas dan intelektualitasnya (daya nalarnya) sesuai dengan tingkat usia Anak. Ketentuan pasal ini juga menegaskan bahwa

38

Ibid, hlm. 58

39

(45)

pengembangan tersebut masih tetap harus berada dalam bimbingan Orang Tua atau Walinya.

2. Pasal 7 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri;

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada ayat (1) ketentuan mengenai hak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usulnya (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya.

Penjelasan ayat (2) bahwa pengasuhan atau pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan norma-norma hukum, adat istiadat yang berlaku, dan agama yang dianut anak. Anak dalam keadaan terlantar pada ayat (2) menurut seorang aktivis perampuan bernama Eglantyne Jebb dalam butir-butir gagasannya tentang hak anak yaitu anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit harus dirawat, anak cacat mental atau cacat tubuh harus dididik, anak yatim piatu dan anak terlantar harus diurus/ diberi perumahan.40

3. Pasal 8

40

(46)

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

4. Pasal 9 ayat (1), (1a) dan (2)

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat; (1a) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain; (2) Selain mendapatkan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a), Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan Anak yang memiliki keunggulan berhak mendapatkan pendidikan khusus.

5. Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Kesempatan memberikan pendapat ini biasanya diberikan secara khusus kepada anak untuk didengar dalam setiap proses peradilan dan administratif yang mempengaruhinya.

(47)

tertulis atau cetakan. Dalam bentuk seni atau melalui media lain menurut pilihan anak tersebut.41

6. Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. 7. Pasal 12

Setiap anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Hak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

8. Pasal 13 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan

f. perlakuan salah lainnya;

41

(48)

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.

Penjelasan ayat (1) huruf a, perlakuan diskriminasi, misalnya perlakuan yang membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.

Huruf b, perlakuan eksploitasi, misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga atau golongan.

Huruf c, perlakuan penelantaran, misalnya tindakan atau perbuatan mengabaikan dengan sengaja kewajiban untuk memelihara, merawat, atau mengurus anak sebagaimana mestinya.

Huruf d, perlakuan yang kejam, misalnya tindakan atau perbuatan secara lazim, keji, bengis atau tidak menaruh belas kasihan kepada anak. Perlakuan kekerasan dan penganiayaan, misalnya perbuatan melukai dan/atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial.

(49)

diinjak, dibanting, dibentur, disilet, ditusuk, dibacok, dibusur/dipanah, disundut, disetrika, disetrum, ditembak, berkelahi, dikeroyok, disuruh push-up, disuruh lari, disuruh jalan dengan lutut.42

Huruf e, perlakuan ketidakadilan, misalnya tindakan keberpihakan antara anak yang satu dan lainnya, atau kesewenang-wenangan terhadap anak.

Huruf f, perlakuan salah lainnya, misalnya tindakan pelecehan atau perbuatan tidak senonoh kepada anak. Hal ini dapat dikategorikan dalam Sexual a buse dan Emotional abuse.

Sexua l abuse (kekerasan seksual), menunjuk kepada setiap aktivitas seksual, bentuknya dapat berupa penyerangan atau tanpa penyerangan. Kategori penyerangan, menimbulkan penderitaan berupa cedera fisik, kategori kekerasan seksual tanpa penyerangan menderita trauma emosional. Bentuk-bentuk kekerasan seksual : dirayu, dicolek, dipeluk dengan paksa, diremas, dipaksa onani, oral seks, anal seks, diperkosa.43

Emotiona l a buse ( kekerasan emotional), menunjuk pada keadaan yang orang tua atau wali gagal menyediakan lingkungan yang penuh cinta kasih kepada anak untuk bisa bertumbuh dan berkembang. Perbuatan yang dapat menimbulkan kekerasan emosional ini seperti : tidak mempedulikan, mendiskriminasikan, meneror, mengancam, atau secara terang-terangan menolak anak tersebut. Bentuk-bentuk kekerasan mental : dipelototi, digoda, diomeli, dicaci, diludahi, digunduli, diancam, diusir, disetrap, dijemur, disekap, dipaksa tulis dan hafal, dipaksa bersihkan wc/kerja, dipaksa cabut rumput/kerja.44

(50)

menentukan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pernyataan dari pasal tersebut, menunjukkan tidak ada perbedaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan bagi semua warga negara, baik wanita, pria, dewasa dan anak-anak dalammendapatkan perlindungan hukum. Masalah perlindungan hukum terhadap anak, bukan saja masalah hak asasi manusia, tetapi lebih luas lagi adalah masalah penegakan hukum, khususnya penegakan hukum terhadap anak sebagai korban tindak kekerasan.45

Agar kekerasan terhadap anak dapat dikurangi atau dicegah, penegakan hukum harus dilakukan dengan benar. Hukum harus ditegakkan dan diberlakukan kepada siapa saja. Dalam praktiknya, dalam melakukan penegakan hukum dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah : faktor hukumnya sendiri (undang-undang); faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum itu; faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum itu; faktor masyarakat, yaitu lingkungan hukum berlaku diterapkan; faktor kebudayaan, yang lahir dalam pergaulan hidup manusia.46 Dan dari beberapa faktor di atas, yang paling penting adalah faktor penegak hukum.

9. Pasal 14 ayat (1) dan (2)

(1) Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

45

Ibid, hlm. 13

46

(51)

(2) Dalam hal terjadi pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anak tetap berhak :

a. bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya;

b. mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat dan minatnya;

c. memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan d. memperoleh hak anak lainnya.

Penjelasan pada ayat (1), yang dimaksud dengan “pemisahan” antara lain

pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.

Kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak). Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 UU Perlindungan Anak, yaitu : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai kemampuan, bakat dan minatnya; c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.47

10. Pasal 15

47

Referensi

Dokumen terkait

maka apa yang dinyatakan tersebut dianggap tidak berlaku, akan tetapi teori tersebut tidak dapat digunakan untuk menentukan kapan terjadi suatu kesepakatan dalam peijanjian

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1979.Farmakope Indonesia.Ed 3.Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.Jakarta.. Dewati,R.2008.Limbah Kulit Pisang Kepok sebagai

As this type of production typifies much of rural smallholder farming in the developing world (Barbier, 1997; Reardon et al., 1999), then it is possible that any improved

[r]

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.30/POJK.04/2015 tentang Laporan Realisasi Penggunaan Dana Hasil Penawaran

Ketentuan mengenai Dana Pensiun khususnya Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 1992 Tentang Dana Pensiun Pemberi

As such, no assurance can be given as to the Statistical Information s accuracy, appropriateness or completeness in any particular context, nor as to whether the

Riset ilmiah fokus pada penyelesaian masalah dan dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yg logis, terorganisasi, menggunakan metode. yang rigor utk