• Tidak ada hasil yang ditemukan

IAIN Metro - Lampung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IAIN Metro - Lampung"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Islam dan Hukum

Metro International Conference on Islamic

Studies (MICIS)

(3)

Program Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro Lampung

Jl. Ki Hajar Dewantara 15 A Kampus Kota Metro Lampung

Telp. 0725-41507, fax 0725-47296

Email : stainjusi@stainmetro.ac.id

Website : http://www.stainmetro.ac.id

Proceding

Islam dan Hukum

Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)

Penanggungjawab

Dr. Ida Umami, M.Pd.Kons

Editor

Dharma Setyawan, MA

ISBN :

(4)

dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum. Menurut aliran ini hukum yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni hukum positif. Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya dipaksakan.

Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satu-satunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu, legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum

Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and change).

Sedangkan Muhammad „Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa al-ijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4)

pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah al -ilâhiyyah).

Sebegitu pentingnya Islam memandang Hukum, maka beberapa tulisan dalam Proceeding ini mengulas mengenai Islam dan Hukum lewat sudut pandang dari berbagai penulis. Semoga bermanfaat, selamat membaca.[N]

Metro, Desember 2016

(5)
(6)

Jaih Mubarok 1-16

POSITIVISASI HUKUM EKONOMI ISLAM

Isa Ansori 17-28

PEMBERIAN ASI; UPAYA PEMENUHAN HAK ANAK ANTARA REGULASI DAN IMPLEMENTASI

Enizar 29-43

KONTROVERSI PEMBARUAN HUKUM ISLAM: MELACAK RESPON MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA TERHADAP COUNTER LEGAL DRAFT (CLD) ATAS KHI

Tobibatussaadah 44-63

MEMAHAMI IJTIHÂD HUKUM ISLAM ‘UMAR BIN AL- KHATTÂB

Solihin Panji 64-85

BAHASA ARAB DALAM KONSTRUKSI HUKUM ISLAM (TELAAH

ATAS FUNGSI DAN PENGARUH HURUF MA’ANI TERHADAP

KHILAFIAH DALAM ISTINBATH HUKUM)

Husnul Fatarib 86-97

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DAN

KETERKAITANNYA DENGAN PERMASALAHAN GENDER DALAM PRESPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

(7)
(8)

Abstrak

Asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„ -jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara. Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam pembagian harta warisan.

Kata Kunci: Asas, Kewarisan

A. Pengantar

Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul (mirif dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatif-prediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam.

B. Teori-Teori Pilihan Hukum

Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and change).

(9)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)

pilihan antara musyawarah dan syari„ah (al-syûrâ al-basyariyyah wa al-syarî„ah al -ilâhiyyah).1

Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah); sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of jurists).2 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni).

Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat terminology dalam hokum Islam yang menjadi pasangan untuk melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminology lain yang lebih popular adalah ijmâ„; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk memperlihatkan pendapat yang ragam.

Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme; pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl, menjelaskan tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh„, al-isti„mâl, dan al-haml. 3 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ„ (Muttabi„), dan al-taqlîd (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini.

Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2) kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai kebenaran ideal adalah rasio (al-„aql) dan metode untuk mencapai kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan qadha merupakan domain realisme.

Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic), penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi (personal morality) dan kelompok (social morality) yang penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia; sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah membandingkan

1Muhammad „Imarah, Ma„alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).

2Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.

3Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh Fushûl fî Ikhtishâr

(10)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan dalam etika.4 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara hokum dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai benar secara hokum, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan.

Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang

sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua”5 di di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan dinamis.6

Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai uiniversal yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah

agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila „Imarah menegaskan

bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari„ah.

Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtuilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundang-undangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum: apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan

perundang-undangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan hokum dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara (wa lâ yashihhu qadhâ‟[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa„u al-khilâf) belum sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara.

4

Ibid., hlm. 141-142.

5Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96.

(11)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) C. Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat

Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum Barat” guna

menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori aplikasi hukum yang saling mendukung atau saling bertentangan. Di antara nya adalah: Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya;7 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam berarti telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang dikandungnya.

Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan. 8

Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat. 9

Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini, teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak diberlakukannya UUD 45;10 karena UUD 45 dan Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis.

Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.11teori resepsi a contrario yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c) hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.12

Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal: 1)materi hukum, 2) penegak hukum, dan

7H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.

8

Ibid., h. 120. 9

E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46.

10

Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128. 11

Ibid., h. 132.

(12)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) 3) kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul dan tenggelam.

Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok (sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara.

D. Survei Literatur

Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.13

Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Denak)”

yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di antara asas hokum waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.14

H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul “beberapa Asas Hukum kewarisan

Menurut KUHPerdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.” H. Hatpiadi

menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan adalah: pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 KUH Perdata, hukum adat, dan hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan.

13Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun 2011.

(13)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris.

Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudara-saudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan

kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah

lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu

garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum

Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/isteri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibih derajat ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara. Di dalam Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab) ahli waris tertentu.

Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi

ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga

yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi

(14)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa‟ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individu-individu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat.

Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara

individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahil waris

(15)

laki-Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) laki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami isteri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menje;askan bahwa BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu : 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu

hutang-hutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara

hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari akhlak yang baik.15

H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “Azas

-Azas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asas -asas hukum waris Islam adalah: pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa pelaksanakan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya.

Kedua, asas ta' abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2) menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang,

(16)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4) membagi harta warisan di antara anti ahli waris yang berhak.

Keempat, asas hukukun thabi‟iyah/hak-hak dasar; yaitu hak-hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1) hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama. Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan

harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2) jumlah harta

sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3) orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan.

Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

(17)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) persoalan apakah isterinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak.

Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul bila “Muwaris‟ meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam.

Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1) menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.16

A.Ananlisis dan Tawaran Alternatif

1. Asas Kewarisan Islam tentang Sebab-sebab Mewarisi dan Pengahalangnya Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah dan hubungan perkawinan, serta asas penderajatan dan asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan menjelaskan mengenai sebab mewarisi; yaitu sebab-sebab mewarsi adalah karena wafatnya muwarits, dan ahli waris yang menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan perkawinan (suami-isteri). Tiga asas ini--kematian, hubungan darah, dan hubungan perkawinan--tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan pengaruh dari hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam.

Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di antara artinya

(18)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Quran-sunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris, bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Quran-sunah bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang). Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban secara agama untuk membayarnya sesuai dengan kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta

yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta

sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan.

Asas huququn thabi‟iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi.

Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesame ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta warisan (mawani„ al -irtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh, dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang relative krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right (UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai diskriminatif.

2. Asas Kewarisan Islam tentang Obyek yang Bisa Diwariskan dan Bagi Habis

(19)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) dapat diwariskan. Di samping itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum pembagian mauruts, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada.

Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.

3. Asas Ta„abudi Versus Asas Ta„aquli

Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-„aqlu, revelation and reason) dari Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan pemabaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.

Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya, asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks Quran, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang terdapat dalam Quran-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan apa adanya; penafsiran terhadap Quran-sunah ditolelir dalam keadaan khusus atau tertentu.

Asas ilahiyah (ta„abudi) memberikan ruang yang terbatas pada ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang lebih dekat dengan makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama

berdasarkan nalar (ta‟wil) yang jauh dari makna tekstualnya.

(20)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-„Aql al-„Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan karena ketentuan waris dalam Quran-sunah dianggap bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar‟ah.

H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta‟abudi

diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas integrity/ketulusan.

4. Tawaran: Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas Fungsi Pada kesempatan ini ddiajukan tiga asas yang berkaitan dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian berikut.

Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000an

dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu‟amalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min „urudh ila nuqud).17

Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan Avanza, dan tanah seluas 1o hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbeda-beda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan

17Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif

(21)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga mobil yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk.

Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktekkan di masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh ahlinya (missal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut.

Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta warisan merupakan perbuatan hokum Islam yang seharusnya memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat).

Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan, maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan. Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara baik-baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari.

Ketiga, asas fungsi; dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini--dalam pandangan Oyo Sunaryo Mukhlas--disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan.18

Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan kehalian khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah; yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai kesepakatan.

(22)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang-lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan anak perempuan serta isterinya sebagai ahli waris, maka dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bias diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara penjualan rumah makan tersebut. Dengan demikian, asas fungsi pada prinsipnya merupakan bagian dari asas mashlahah; yaitu harta muwarits yang dibagikan kepada ahli waris tidak boleh hilang fungsi dan manfaatnya.

F. Penutup

Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatru hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan,

penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma„-jama„i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak eksekutif dan legislative sebuah Negara.

Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas fungsi, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihak-pihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam

pembagian harta warisan. Wa Allah A„lam bi al-shawwab.

Daftar Pustaka

Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu„ah Fatawa al-Mu„amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu‟assasat al-Maliyah al-Islamiyah. Kairo: Dar al-Salam. E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang

-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam

www.badilag.net/.

H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/.

Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum

Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro.

(23)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Muhammad Abd al-Mun„im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham

al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma„had al-„Alami li al-Fikrr al-Islami.

Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press.

Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu. Syihab al-Din Abu al-„Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî

Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. Tjun Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan

(24)

Jurai Siwo Metro Lampung

Abstract

The views on the important of legislation on economics come from legal positivism. According to legal positivism, the main law is law made by state or legal institutions in a state which is forced, exclusive, hirarkhis, systematic and uniform for all the people. The positive economics law which is written on constitution or law is made to manage how economic in a country is managed and aimed to make prosperity among the people. The syariah economics law which its existence is received in Indonesia constitution also needs to be made as positive law using methods that can easily received by all Indonesia people, so that it would forced the people to implement it happily and could make prosperity for all Indonesian people.

Key Word: Positivsm, Syariah Economics Law

A. Pandangan tentang Pentingnya Positivisasi Hukum Ekonomi

Pandangan tentang pentingnya legislasi hukum dalam suatu negara pada dasarnya berangkat dari aliran positivisme hukum.Menurut aliran ini hukum yang utama adalah hukum yang berasal atau diciptakan oleh manusia, yakni hukum positif.Setelah manusia membentuk organisasi negara, hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh badan-badan negara dan pemerintah.Hukum diartikan sebagai perintah atau larangan yang dibuat oleh lembaga-lembaga atau

badan-badan negara dan pemerintah yang pemberlakuannya

dipaksakan.Hukum tidak lain adalah kaidah normatif yang memaksa, eksklusif, hirarkis, sistematis dan dapat berlaku seragam, yang dapat dianggap sebagai hukum adalah produk legislasi (peraturan perundang-undangan). Aturan-aturan di luar legislasi hanya merupakan norma moral. Legislasi dianggap sebagai satu-satunya hukum karena merupakan pengungkapan atau pembadanan hukum yang dianggap positif atau dapat ditangkap dengan panca indera.Selain itu, legislasi dibuat oleh negara dan pemerintah yang telah dianggap sebagai organisasi yang mengatasnamakan kehendak umum.19

Secara umum, pengaturan negara pada bidang ekonomi yang dimuat dalam konstitusi dan undang-undang sebagai bentuk positivisasi, dibedakan dalam dua katagori, ialah negara kapitalis-liberal yang sangat membatasi peran negara dalam mengatur perekonomiannya dan negara sosialis yang mengatur kegiatan perekonomiannya.

Tradisi kapitalis-liberal beranggapan bahwa perekonomian didasarkan atas mekanisme pasar bebas, sehingga tidak perlu diatur oleh negara, apalagi diatur dalam bentuk hukum setingkat undang-undang dasar. Dinamika kegiatan ekonomi kapitalis menggantungkan diri kepada pasar bebas (free market). Oleh

19Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah

(25)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) karena itu, kebijakan-kebijakan ekonomi tidak dipandang penting untuk dituangkan dalam bentuk peraturan tertulis, baik dalam regulasi, undang-undang, ataupun undang-undang dasar.Perekonomian adalah urusan pasar, urusan praktik yang memiki logika dan normanya sendiri dalam kehidupan masyarakat.20 Tradisi model ini banyak dikembangkan oleh negara-negara common law seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang mengembangkan tradisi hukum tidak dalam bentuk peraturan tertulis, melainkan lebih mengandalkan peranan (putusan) hakim dalam menyelesaikan setiap masalah hukum yang timbul dalam praktik, dalam tradisi ini muncul istilahjudge made law atau hukum buatan hakim.

Sebaliknya, tradisi negara-negara sosialis memuat kebijakan dasar bidang perekonomian dalam konstitusinya.Soviet-Rusia yang komunis, sejak tahun 1918 sudah mencamtumkan pasal-pasal perekonomian dalam rumusan undang-undang dasarnya.Jerman yang menganut paham liberal, juga sudah mengadopsikan ide pengaturan prinsip-prinsip kebijakan ekonomi itu dalam undang-undang dasar sejak Konstitusi Weimar 1919.Itu sebabnya, Jerman dianggap sebagai negara pertama yang menganut paham sosial demokarat di Eropa Barat, sedangkan Soviet-Rusia merupakan negara sosialis-komunis pertama di Eropa Timur. Tradisi untuk melakukan konstitusionalisasi kebijakan ekonomi itu dikembangkan pula secara lebih luar oleh Irlandia dalam Konstitusi Tahun 1937 dengan memperkenalkan konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang kemudian ditiru oleh banyak negara non-komunis.21

Dalam perkembangannya, kebutuhan untuk meregulasi permasalahan ekonomi oleh negara, tidak saja berkembang di kalangan negara-negara intervensionis seperti negara-negara sosialis dan komunis, tetapi juga di lingkungan negara-negara liberal barat yang menetapkan sistem ekonomi pasar. Alan Brudner, dalam bukunya Constitutional Goods, seperti dikutip oleh Jimly Asshiddieqie, menguraikan mengenai hak-hak ekonomi yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Amerika Serikat. Perlindungan hak-hak sosial dan ekonomi merupakan salah satu hal yang dipandang penting.Menurutnya, “A life is not successfully self authored if success is guaranteed by some one else. A guarantee is consistent with self authorship beyond the power of individuals to secure. Thus the right to equality is a right to be governed by laws that assure to everyone the opportunity to live a life embodying self-authored ends”. Itu menunjukkan bahwa betapapun bebasnya dinamika perekonomian pasar hendak dikembangkan, tetap saja diperlukan intervensi negara dalam bentuk regulasi dan perizinan yang sangat berpengaruh dalam proses pembangunan ekonomi dan pengendalian pasar bebas.22

20Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010), h. x-xi 21Ibid., h. xii-xiii

(26)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) B. Fungsi Positivisasi Hukum Ekonomi

Hukum adalah produk negara, dalam hal ini lembaga legislatif, yang dalam proses pembuatannya juga melibatkan eksekutif. Hukum ekonomi positif berfungsi sebagai seperangkat aturan hukum yang dimuat dalam konstitusi atau perundang-undangan untuk mengatur bagaimana perekonomian suatu negara diselengarakan.Seperangkat hukum yang telah dirumuskan itu mampu menjadi instrumen yang berwibawa untuk mendukung pembangunan ekonomi.

Hukum yang dibuat oleh negara dalam rangka mengatur kegiatan ekonomi sering disebut dengan istilah hukum ekonomi. Rochmat Soemitro memberikan definisi hukum ekonomi, menurutnya, hukum ekonomi ialah sebagian dari keseluruhan norma yang dibuat pemerintah atau penguasa sebagai satu personifikasi dari masyarakat yang mengatur kehidupan kepentingan ekonomi masyarakat yang saling berhadapan.23

Adi Sulistiyono dan Muhammad Rustamaji mengutip Douglass C. North, seorang pemenang hadiah nobel tahun 1993 dalam bidang Ilmu Ekonomi, dalam esseinya Institutions and Economic Growth: An Historical Introduction mengatakan bahwa kunci memahami peranan hukum dalam mengembangkan atau bahkan menekan pertumbuhan ekonomi terletak pada pemahaman konsep ekonomi

“transaction cost” atau biaya-biaya transaksi.24Dalam konteks ini adalah biaya-biaya nonproduktif yang harus ditanggung untuk mencapai suatu transaksi ekonomi. Secara lebih spesifik, terdapat tiga komponen dasar biaya transaksi yang mencakup:

1. ongkos untuk menggunakan pasar (market transaction cost),

2. biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan (orders) di dalam perusahaan (managerial transaction cost), dan

3. biaya yang diasosiasikan untuk menggerakkan dan menyesuaikan dengan kerangka politik kelembagaan (political transaction costs).

Dengan demikian hukum dibuat dalam kerangka mengatur biaya transaksi perekonomian suatu negara. Dengan mengatur komponen ini, suatu negara dapat menentukan hasil yang akan dicapai dari arah kebijakan perekonomiannya.

J.D. Ny Hart mengemukakan adanya enam konsep dalam ilmu hukum yang mempunyai pengaruh bagi pengembangan ekonomi, yaitu:25

1. Prediktabilitas. Hukum harus mempunyai kemampuan untuk memberikan gambaran pasti di masa depan mengenai keadaan atau hubungan-hubungan yang dilakukan pada masa sekarang.

2. Kemampuan prosedural. Pembinaan di bidang hukum acara

memungkinkan hukum material itu dapat merealisasikan dirinya dengan

23 Dikutip oleh Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., (Jakarta: Grasindo, 2007) h. 4-5.

24 Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009),h. 19.

(27)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) baik ke dalam pengertian hukum acara ini termasuk tidak hanya ketentuan-ketentuan hukum perundang-undangan, melainkan juga semua prosedur penyelesaian yang disetujui oleh para pihak yang bersengketa, misalnya arbitrasi, konsiliasi, dsb. Kesemua lembaga itu hendaknya bekerja dengan efisien, karena kehidupan ekonomi itu ingin mencapai tingkatannya yang maksimum.

3. Kodifikasi tujuan-tujuan. Perundang-undangan dapat dilihat sebagai suatu kodifikasi tujuan serta maksud sebagaimana dikehendaki oleh negara. Dalam bidang ekonomi tujuan-tujuan itu dirumuskan dalam perundang-undangan yang baik secara langsung maupun tidak mempengaruhi perekonomian.

4. Faktor penyeimbang. Sistem hukum harus dapat menjadi kekuatan yang memberikan keseimbangan di antara nilai-nilai yang bertentangan di dalam

masyarakat. Sistem itu memberikan “kesadaran akan keseimbangan” dalam

usaha-usaha negara melakukan pembangunan ekonomi.

5. Akomodasi. Perubahan yang cepat menuntut dipulihkannya keseimbangan. Sistem hukum yang mengatur hubungan individu baik secara material maupun formal memberikan kesempatan kepada keseimbangan yang terganggu itu untuk menyesuaikan diri, dengan memberikan pegangan kepastian hukum dan membuka kesempatan bagi dipulihkannya keadilan melalui prosedur yang tertib dan sebagainya.

6. Definisi dan kejernihan tentang status, ialah memberikan ketegasan mengenai status orang-orang dan barang-barang di masyarakat.

Peran hukum dalam bidang ekonomi sangat dibutuhkan.Hukum dibuat

untuk mengatur subyek dan obyek hukum dalam lapangan

perekonomian.Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya pertumbuhan perekonomian.Hukum berfungsi untuk mengatur dan membatasi kegiatan ekonomi, dengan harapan pembangunan perekonomian tidak mengabaikan hak-hak dan kepentingan masyarakat.

Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial, sehingga hukum ekonomi tersebut mempunyai dua aspek, sebagai berikut:26

1. Aspek pengaturan usaha-usaha pembangunan ekonomi, dalam arti peningkatan kehidupan ekonomi secara keseluruhan.

2. Aspek pengaturan usaha-usaha pembagian hasil pembangunan ekonomi secara merata di antara seluruh lapisan masyarakat, sehingga setiap warga negara Indonesia dapat menikmati hasil pembangunan ekonomi sesuai dengan sumbangan dalam usaha pembangunan ekonomi tersebut.

Karenanya, hukum ekonomi Indonesia dapat dibedakan menjadi dua, yakni hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial.27

(28)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) 1. Hukum ekonomi pembangunan

Hukum ekonomi pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan pemilikan hukum mengenai cara-cara peningkatan, dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.

2. Hukum ekonomi sosial

Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut pengaturan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam martabat kemanusiaan (hak asasi manusia) manusia Indonesia.

C. Positivisasi Hukum Ekonomi Islam dalam Tiori Relasi Hubungan Negara dan Agama

Dalam kerangka legislasi yang memasukkan hukum Islam (termasuk di dalamnya ekonomi Islam) sebagai hukum positif, terdapat tiga teori yang menjelaskan relasi hubungan negara dan agama.

Pertama, Paradigma Integralistik (unified paradigm) yang menyatakan bahwa agama dan negara menyatu (integrated). Wilayah agama meliputi politik atau negara.Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus.Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik.Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar

“kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), kedaulatan berasal dan berada di “tangan Tuhan” Karenanya dalam perspektif paradigma ini, pemberlakuan dan

penerapan hukum Islam sebagai hukum positif negara adalah hal yang niscaya.

Imam Khomeini salah seorang penganut paradigma ini menyatakan: “Dalam

negara Islam wewenang menetapkan hukum berada pada Tuhan. Tiada seorang pun berhak menetapkan hukum.Dan hukum yang boleh berlaku hanyalah

hukum dari Tuhan.”28 Dan diperkuat oleh Abu al-A‟la Al-Mawdudi: “Syariah adalah skema kehidupan yang sempurna dan meliputi tatanan kemasyarakatan;

tidak ada yang lebih dan tidak ada yang kurang.”29

Kamaruzzaman meringkas pendapat Maududi dengan mengatakan bahwa:30

1. Tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk negara secara keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan. Hanya Tuhan yang berdaulat, manusia hanyalah subyek;

2. Tuhan merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Kaum mukmin tidak dapat berlindung pada legislasi yang

28 Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia, h. 24, mengutip Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini,

Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, (Berkeley: 1981), h. 55.

29Ibid.,h 25, mengutip Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, (Lahore: 1967), h. 243.

(29)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) sepenuhnya mandiri, tidak juga dapat mengubah hukum yang telah diletakkan Tuhan, sekalipun tuntutan untuk mewujudkan legislasi atau perubahan hukum Ilahi ini diambil secara mufakat bulat;

3. Suatu negara Islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah kepada manusia melalui Rasulullah SAW.

Kedua, Paradigma simbiotik (symbiotic Paradigm), memandang bahwa agama dan negara berhubungan secara simbiotik, yakni hubungan timbal balik dan saling memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang.Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual.31 Al-Mawardi dalam bukunya al-ahkâm al-Shulthaniyyah

menyatakan bahwa: “Kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia.”32 Ibnu Taimiyah dalam bukunya al-Siyâsah al-Syar‟iyyah, menyatakan:

“Sesungguhnya adanya kekuasaan yang mengatur urusan manusia merupakan kewajiban agama yang terbesar, sebab tanpa kekuasaan negara agama tidak bisa

berdiri tegak.”33Menurut paradigma ini, Syariah (hukum Islam) menduduki posisi sentral sebagai sumber legitimasi terhadap realitas politik.Negara mempunyai peran besar untuk menegakkan hukum Islam dalam porsinya yang benar.34

Ketiga, Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm). Paradigma ini mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas agama.Konsep al-dunyâ al-akhîrah, al-dîn al-daulah atau umur dunyâ umur al-dîn didikhotomikan secara diametral.Dalam konteks Islam, paradigma ini menolak pendasaran negara kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Ali Abd ar-Raziq (1887-1966 M) tokoh paradigma ini mengatakan bahwa “Islam tidak menetapkan suatu rezim pemerintah tertentu, tidak pula mendasarkan kepada kaum Muslim suatu sistem pemerintahan tertentu lewat mana mereka harus diperintah; tapi Islam telah memberikan kita kebebasan mutlak untuk mengorganisasikan negara sesuai dengan kondisi-kondisi intelektual, sosial, dan ekonomi yang kita miliki

dan dengan mempertimbangkan perkembangan sosial dan tututan zaman.”35 Menurutnya, Nabi Muhammad SAW. adalah semata-mata utusan Allah untuk mendakwahkan agama murni tanpa bermaksud untuk mendirikan negara. Nabi tidak mempunyai kekuasaan duniawi, negara, ataupun pemerintahan.Nabi tidak mendirikan kerajaan dalam arti politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajaan.Dia adalah nabi semata sebagaimana halnya nabi-nabi sebelumnya.Dia

31 Marzuki Wahid, Rumadi, Loc.Cit., h. 26.

32Ibid., mengutip Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt.), h. 5

33Ibid., h. 27, mengutip Ibnu Taimiyah, As-Siyasah asy-Syar‟iyyah, h. 162 34Ibid.

(30)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) bukan raja, bukan pendiri negara, dan tidak pula mengajak umat untuk mendirikan kerajaan duniawi.Atas dasar ini, kalau ada kehidupan kemasyarakatan yang dibebankan kepada Nabi Muhammad, maka hal itu bukan termasuk tugas risalahnya.Karena itu, setelah beliau wafat, tidak seorang pun yang dapat menggantikan tugas risalah itu. Abu Bakar muncul hanya sebagai pemimpin yang bersifat duniawi (profane) atau pemimpin politik yang bercorak kekuasaan dan pemerintahan. Dengan demikian, menurut paradigma ini, hukum Islam tidak dapat begitu saja diterapkan dan diberlakukan dalam suatu wilayah politik tertentu.Disamping itu, hukum Islam tidak dapat dijadikan huum positif, kecuali telah diterima sebagai hukum nasionalnya.36

D. Metode Positivisasi Hukum Islam

Dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan perjuangan ke arah pengakuan hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh yaitu legislasi.Sebagian tokoh Islam menghendaki hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul seiring lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana mencamtumkan sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan

Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Meskipun pada akhirnya umat Islam bersedia untuk menghilangkan tujuh kata terakhir dari piagam itu demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila,

dan Pasal 29 UUD 1945 - dimana negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing - negara memberi peluang dan membangun hubungan timbal balik yang saling memerlukan dan menguntungkan dengan semua agama di Indonesia, termasuk Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Ini artinya, legislasi hukum Islam termasuk ekonomi Islam dijamin dan diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kenyataan dan praktiknya, terdapat tiga sistem hukum (termasuk hukum ekonomi) yang berlaku di Indonesia ialah Barat, adat dan Islam.Akan tetapi, kehadiran ketiga sistem hukum itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencari titik-titik persamaan.Sebaliknya, oleh politik hukum kolonial, justru dipertajam, dan kalau perlu diadakan pertentangan-pertentangan antara ketiga sistem hukum itu.Karena ketiga sistem hukum itu berlaku dalam satu masyarakat, masyarakat Indonesia, maka sejarah hukum pada masa kolonial Belanda dipenuhi oleh sejarah perbenturan ketiga sistem hukum tersebut.37Ini

36Ibid., h. 29-30

37 Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan

(31)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) menuntut pada perlunya perumusan kembali peraturan perundang-undangan yang digali dari sumber asli yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.Disinilah letak pentingnya ekonomi Islam memberikan kontribusi positif dalam perumusan hukum dan perundang-undangan ekonomi nasional yang diidam-idamkan.

Peralihan dari ideologi hukum kolonial kepada hukum nasional mengakibatkan kebutuhan dominasi hukum antar-personal dalam menyelesaikan konflik hukum di antara berbagai tradisi hukum yang berlainan.Itu semua adalah dampak dari perubahan politik di era nasional, di mana sentralisme negara lebih menekankan keseragaman hukum.Konflik hukum lahir dari keragaman tatanan normatif yang muncul dalam situasi di mana

negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang mampu

menyelesaikannya.Karena itu, dalam pertemuan dengan misi nasionalisasi hukum, negara terus menerus berusaha menggiring berbagai tradisi subtantif ke dalam jalur tunggal. Di sini legislasi dipandang sebagai salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun keseragaman itu sendiri tidak mesti tercapai, namun metode legislasi mampu membantu negara dalam meredam konflik.38Legislasi menjadi salah satu sarana paling penting untuk menyelesaikan konflik dalam kasus-kasus hukum antar personal. Walau legislasi tidak selalu melahirkan sebuah penyelesaian, namun dalam kebanyakan kasus ia memainkan peran dalam mencetuskan upaya-upaya lebih lanjut penyelesaian konflik yang muncul akibat berbagai perbedaan dalam tatanan normatif.39

Usaha meretas hukum Islam yang mempu menjawab tantangan zaman

terlihat juga dalam “Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia)” yang

menjelma menjadi tema pemikiran hukum Islam Hazairin selama rentang waktu 1950-an hingga 1975. Dengan dilatarbelakangi oleh adanya disharmoni antara hukum Islam dengan tradisi (adat) dalam konteks ikhtiar mengintegrasikan hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional, terutama upaya legislasi hukum Islam yang dapat dipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama, tema pemikiran hukum Islam ini jelas bisa dikatakan sebagai usaha merespons tantangan pembangunan.40

Namun pada umumnya, metode yang dikembangkan dalam menangani isu penerapan hukum Islam biasanya masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip-prinsip ushul fiqh lama, terutama takhayyur dan talfiq. Takhayyur adalah suatu motede yurisprudensi yang menurutnya seorang Muslim dalam suatu situasi spesifik diizinkan keluar dari penafsiran madzhab hukumnya sendiri untuk mengikuti penafsiran salah satu dari tiga madzhab Sunni lainnya. Eksploitasi metode ini

38 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem

Hukum Indonesia, (Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008), h. 370-1. 39Ibid., h. 390

(32)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) dalam isu penerapan syariat bahkan diperluas cakupannya untuk memilih opini di luar madzhab Sunni yang empat, atau opini para pakar hukum sebelum terkristalnya mazhab, atau opini pakar yang belakangan. Sementara talfiq adalah suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan berbagai mazhab atau yuris Muslim dikombinasikan untuk membentuk suatu peraturan tunggal. Sebagaimana takhayyur, talfiq juga diperluas cakupannya dengan memasukkan pandangan-pandangan di luar madzhab Sunni yang empat.41

Menurut Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, penerapan metode seleksi (takhayyur) dan eklektik (talfiq) akan menghasilkan pranata-pranata huk

Gambar

Tabel No.1
Table No. 2
Tabel No. 3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji BNJ (Tabel 2) menunjukkan bahwa pada taraf uji 5% dan 1% pada perlakuan interaksi pemberian pakan dan frekuensi yang berbeda terhadap pertumbuhan panjang

Berdasarkan pembahasan hasil sikap ba- hasa siswa kelas X GAC baik dari hasil kuesio- ner maupun hasil tulisan, diketahui pemertahan- an bahasa siswa kelas X GAC. Pemertahanan

Sebagai bagian dari anak bangsa, Lembaga kajian Pelopor Maritim (PORMAR) Indonesia, adalah sebuah lembaga kajian di bidang maritim yang beranggotakan para pakar, praktisi,

(2006:128) yang menyebutkan bahwa dalam pertimbangan pemilihan dan penggunaan media terdapat beberapa faktor dan kriteria yang perlu diperhatikan, salah satunya yaitu mengenai

Dampak-dampak dari Gaya komunikasi pemimpin dan motivasi kerja dalam meningkatkan kinerja pelayanan publik di Kelurahan Tunggulwulung antara lain koordinasi antara

Rotasi ini tidak benar- benar terjadi dalam metoda powder , namun keberadaan sejumlah besar partikel kristal memiliki semua kemungkinan orientasi setara dengan rotasi

informasi yang ada sampai pada saat estimasi, mengestimasi berbagai kemungkinan yang dapat terjadi pada masa yang akan datang dengan probabilitas dari setiap peristiwa yang mungkin

Strategi merupakan cara untuk mencapai tujuan, oleh karena itu pada penelitian kali ini dengan judul “Perancangan Branding Trowulan Melalui Situs Purbakala Sebagai