• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Masalah

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 93-96)

103 Harian Kompas, Ibid

A. Latar Belakang Masalah

Sudah menjadi adagium umum bahwa setiap pengkajian hukum Islam sering bermuara pada bermacam persepsi hukum yang merupakan produk ijtihad yang selanjutnya disebut fikih. Varian produk hukum yang dimunculkan oleh proses istinbath itu tentu juga merupakan produk dari subyek yang lebih awal yang telah membentuk siklus analisis tersendiri. Salah satu instrument yang diyakini memiliki domino effect dalam produk hukum / fikih ialah instrument linguistic atau bahasa. Mengingat urgensi dan peran yang dimainkan oleh unsur bahasa, membuat kajian linguistic menjadi salah satu kajian utama

dan pertama dalam setiap bahasan hukum, seperti istilah “Lughatan”, Lughawiyah” dan “Secara Gramatikal” dan istilah-istilah lainya yang semakna, yang selalu muncul di awal pembahasan tentang pengertian sebuah subyek hukum. Dan memang dalam setiap kajian keislamaan tidak bisa terlepas dari kajian bahasa, sehingga sering dijumpai dalam karya-karya keislaman itu istilah

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS)

“Lughawi dan Ishthilahy” yang berarti makna secara sebuah subyek secara bahasa dan secara terminologi.

Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri.189 Dalam konteks kajian ini, lagi-lagi bahasa menunjukkan peran yang sangat signifikan yang pada gilirannya memaksa pelaku analisis hukum Islam untuk memberikan ruang khusus pada awal setiap pembahasannya terhadap bahasa dan mengkorelasikannya dengan pokok bahasan. Hal inilah yang menyebabkan kajian-kajian bahasa selalu mengawali setiap kajian apa pun subyek hukum dalam diskursus keislaman.

Selanjutnya sesuatu yang tak terbantahkan dalam hal ini ialah bahwa pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Pengetahuan tentang bahasa dan ilmu bahasa Arab tidaklah dipahami kalau kemampuan itu dimonopoli oleh bangsa Arab atau Negara Arab saja, tapi pensyaratan kompetensi ini merupakan persyaratan universal yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak melakukan

kegiatan ijtihad, baik dari bangsa Arab maupun bukan Arab („Ajam). Prinsip

umum dalam ijtihad adalah bahwa selama persyaratan ijtihad terpenuhi dan ada kebutuhan untuk itu, maka ijitihad bisa dilakukan oleh siapa pun, kapan saja

dan dimana saja. Mungkin ini agaknya manisfestasi dari istilah “Al-nushus mutanahiyah, al-masail al-fiqhiyah ghairu mutanahiyah”, walaupun (masa turun)

wahyu telah berakhir, tetapi persoalan-persoalan hukum tetap hidup dan berkembang.

Dengan mencermati subyek-subyek hukum utama dalam kajian hukum Islam, maka pengetahuan dan penguasaan terhadap kandungan substantive dari kedua sumber hukum utama; Al-Quran dan Al-Sunnah menjadi sesuatu yang tidak bisa tidak dalam setiap kajian dan diskursus hukum Islam, hal ini tidak saja dikarenakan keduanya turun dan diriwayatkan dalam bahasa Arab, tapi yang urgen adalah penggunaan kata dan bahasa dalam kedua sumber itu sangat sarat dengan makna Lughawy hingga sampai ke tingkat penggunaan huruf, karena pemakaian sebuah huruf pun juga memberikan pemaknaan yang mungkin bisa

189 Lihat As‟as Abd Ghany Alsayyid Kafrawy : Istidlal „Inda Ushuliyyin, Dar Al-Salam, Kairo, hal. 434-435. Hal serupa juga yang disinyalir oleh Yusuf al-Qaradahwi, bahwa penafsiran teks wahyu bisa dilakukan dengan menggunakan pendekatan bahasa (lughawi) selama masih mengacu kepada dalalah alfazh (makna kata), kaidah-kaidah bahasa arab serta balaghahnya. Dan lebih lanjut al-Qaradhawi mengatakan, pendekatan bahasa dipentingkan dalam penafsiran dan heurmenetika teks/wahyu karena bahwa teks wahyu juga banyak tersusun dengan bahasa majaz dan musytarak. Lih. Yusuf al-Qaradhawi, Bagaimana Beriinteraksi dengan Al-Quran, Jakarta, Al-Kautsar 2000, hal. 245, dan Al-Quran dan Al-Sunnah Sebagai Referensi Tertinggi Ummat Islam, Jakarta, Rabbani Press, 1997, hal. 54.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) memicu khilafiyah di antara sesama pelaku ijtihad (mujtahid). Hal ini tergambar dalam pemakaian dan pemakanaan huruf “Ba” ( ) dalam Q.S. Al-Maidah, ayat 6 tentang pemaknaan antara littab‟idh (ض ) atau lil kull ( ).

Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah madzahib.

Berdasarkan fenomena sosiolinguistik di atas, maka semakin jelas fungsi dan kedudukan bahasa Arab dalam sebuah rangakaian ijtihad atau istinbath hukum dari teks-teks hukum (nushus syar‟i). Setiap pemahaman yang selalu

beranjak dari teks hukum (nash) selalu terbuka untuk ruang polemik / khilafiah fikih yang menjadi salah satu sebab perbedaan pendapat dalam hukum Islam atau bahkan munculnya mazhab atau aliran fikih baru.190

Peran dan kedudukan bahasa Arab ini – yang bersumber dari pemahaman mujtahid-memang sudah diketahui khalayak sebagai salah satu sumber khilafiah dalam hukum Islam, namun seperti apa peran dan bagaimana peran itu dimainkan serta unsur apa saja dari bahasa Arab itu yang memainkan peran sebagai instrument dan media pemahaman berikut implikasi dari peran tersebut dalam meracik hukum Islam (fikih), masih menjadi perdebatan akademik dan materi yang tetap segar untuk disajikan dalam setiap diskusi sejak periode salaf umat ini.191 Mencermati struktur kajian bahasa dalam hukum Islam seperti yang baru saja dipaparkan tadi, menunjukkan bahwa ruang lingkup kajian kebahasaan dalam hukum Islam sangat luas sehingga perlu membatasi obyek penelitian ini pada aspek huruf ma‟ani yang merupakan salah satu variable bahasa Arab yang dominan dalam memunculkan khilafiah terhadap pemahaman hukum.

Untuk itu dirasa sangat perlu menyemarakkan kajian-kajian fikih perspektif bahasa atau peran bahasa Arab dalam konstruksi hukum Islam secara komprehensif dan simultan, dan walaupun penelitian ini bukan lah penelitian pertama atau awal dalam topik ini, tetapi paling tidak bisa menjawab kedahagaan ilmiyah tentang upaya membuka tabir peran dan kontribusi bahasa

190 Karena pada dasarnya perbedaan pendapat / khilafiyah di kalangan ulama / fuqaha bersumber kepada dua penyebab utama; pertama: perbedaan pandangan mereka dalam teori keabsaha sebuah teks / nash, teori ini yang lazim disebut ikhtilaf fi tsubut al-nash wa darajutu. Kedua : perbedaan mereka dalam memahami dan penafsiran nash, teori ini disebut juga ikhtilaf fi fahmi al-nash wa idrak hikmatihi. Yang terakhir inilah yang perna disebut Umar Ibn al-Khattab bahwa beliau berijtihad dalam memahami nash. Lih. Abdu Al-Wahab Abd Al-Salam Al-Thawilah : Atsaru Al-Lughah fi Ikhtilafi Al-Mujtahidin, hal.4.

191 Kajian-kajian fikih dan lughah (bahasa) secara khusus sudah lama dimulai oleh fuqaha periode salaf, seperti Muhammad Ibnu Al-hasan Al-Syaibani yang menyusun kitab khusus kajian fikih dengan nahwu dalam kitabnya “Al-Jami‟ Al-Kabir”, Imam Syafi‟i dengan kitabnya yang fenomenal “Al-Umm”, dan Imam Al-Asnawi dengan kitabnya “Al-Kaukab Al-Durry”. Lihat Abdul Wahab Abdu Al-Salam Al-Thawilah, Atsaru Al-Lughah fi ikhtilafi al-Mujtahidin, h.4-5.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Arab – dalam hal ini huruf ma‟ani - terhadap hukum Islam secara umum dan dalam bingkai kebahasaan secara khusus.

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 93-96)

Dokumen terkait