• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode Positivisasi Hukum Islam

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 30-40)

Dalam konteks Indonesia, pasca kemerdekaan perjuangan ke arah pengakuan hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi sudah sampai pada tingkat lebih jauh yaitu legislasi.Sebagian tokoh Islam menghendaki hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata substansinya, tapi secara legal formal dan positif. Fenomena ini pertama kali muncul seiring lahirnya Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945, dimana mencamtumkan sila pertama berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syari‟at Islam Bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Meskipun

pada akhirnya umat Islam bersedia untuk menghilangkan tujuh kata terakhir dari piagam itu demi keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Dengan dasar “Ketuhanan Yang Maha Esa” pada sila pertama Pancasila,

dan Pasal 29 UUD 1945 - dimana negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaan masing-masing - negara memberi peluang dan membangun hubungan timbal balik yang saling memerlukan dan menguntungkan dengan semua agama di Indonesia, termasuk Islam sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia. Ini artinya, legislasi hukum Islam termasuk ekonomi Islam dijamin dan diperkenankan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam kenyataan dan praktiknya, terdapat tiga sistem hukum (termasuk hukum ekonomi) yang berlaku di Indonesia ialah Barat, adat dan Islam.Akan tetapi, kehadiran ketiga sistem hukum itu tidak pernah mendapat kesempatan untuk mencari titik-titik persamaan.Sebaliknya, oleh politik hukum kolonial, justru dipertajam, dan kalau perlu diadakan pertentangan-pertentangan antara ketiga sistem hukum itu.Karena ketiga sistem hukum itu berlaku dalam satu masyarakat, masyarakat Indonesia, maka sejarah hukum pada masa kolonial Belanda dipenuhi oleh sejarah perbenturan ketiga sistem hukum tersebut.37Ini

36Ibid., h. 29-30

37 Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 70.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) menuntut pada perlunya perumusan kembali peraturan perundang-undangan yang digali dari sumber asli yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Indonesia.Disinilah letak pentingnya ekonomi Islam memberikan kontribusi positif dalam perumusan hukum dan perundang-undangan ekonomi nasional yang diidam-idamkan.

Peralihan dari ideologi hukum kolonial kepada hukum nasional mengakibatkan kebutuhan dominasi hukum antar-personal dalam menyelesaikan konflik hukum di antara berbagai tradisi hukum yang berlainan.Itu semua adalah dampak dari perubahan politik di era nasional, di mana sentralisme negara lebih menekankan keseragaman hukum.Konflik hukum lahir dari keragaman tatanan normatif yang muncul dalam situasi di mana

negara dianggap sebagai satu-satunya institusi yang mampu

menyelesaikannya.Karena itu, dalam pertemuan dengan misi nasionalisasi hukum, negara terus menerus berusaha menggiring berbagai tradisi subtantif ke dalam jalur tunggal. Di sini legislasi dipandang sebagai salah satu cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut. Walaupun keseragaman itu sendiri tidak mesti tercapai, namun metode legislasi mampu membantu negara dalam meredam konflik.38Legislasi menjadi salah satu sarana paling penting untuk menyelesaikan konflik dalam kasus-kasus hukum antar personal. Walau legislasi tidak selalu melahirkan sebuah penyelesaian, namun dalam kebanyakan kasus ia memainkan peran dalam mencetuskan upaya-upaya lebih lanjut penyelesaian konflik yang muncul akibat berbagai perbedaan dalam tatanan normatif.39

Usaha meretas hukum Islam yang mempu menjawab tantangan zaman

terlihat juga dalam “Fiqh Madzhab Nasional (Madzhab Indonesia)” yang

menjelma menjadi tema pemikiran hukum Islam Hazairin selama rentang waktu 1950-an hingga 1975. Dengan dilatarbelakangi oleh adanya disharmoni antara hukum Islam dengan tradisi (adat) dalam konteks ikhtiar mengintegrasikan hukum Islam ke dalam sistem hukum Nasional, terutama upaya legislasi hukum Islam yang dapat dipakai sebagai acuan perundang-undangan di lingkungan Peradilan Agama, tema pemikiran hukum Islam ini jelas bisa dikatakan sebagai usaha merespons tantangan pembangunan.40

Namun pada umumnya, metode yang dikembangkan dalam menangani isu penerapan hukum Islam biasanya masih bertumpu pada pendekatan yang ad hoc dan terpilah-pilah (fragmented) dengan mengeksploitasi prinsip-prinsip ushul fiqh lama, terutama takhayyur dan talfiq. Takhayyur adalah suatu motede yurisprudensi yang menurutnya seorang Muslim dalam suatu situasi spesifik diizinkan keluar dari penafsiran madzhab hukumnya sendiri untuk mengikuti penafsiran salah satu dari tiga madzhab Sunni lainnya. Eksploitasi metode ini

38 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem Hukum Indonesia, (Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008), h. 370-1.

39Ibid., h. 390

40 Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga Emansipatoris,

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) dalam isu penerapan syariat bahkan diperluas cakupannya untuk memilih opini di luar madzhab Sunni yang empat, atau opini para pakar hukum sebelum terkristalnya mazhab, atau opini pakar yang belakangan. Sementara talfiq adalah suatu metode yang dengannya pandangan-pandangan berbagai mazhab atau yuris Muslim dikombinasikan untuk membentuk suatu peraturan tunggal. Sebagaimana takhayyur, talfiq juga diperluas cakupannya dengan memasukkan pandangan-pandangan di luar madzhab Sunni yang empat.41

Menurut Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Pangabean, penerapan metode seleksi (takhayyur) dan eklektik (talfiq) akan menghasilkan pranata-pranata hukum yang serampangan, arbitrer dan self-contradictory. Memungut fragmen-fragmen opini masa lalu yang terisolasi – tanpa melihat akar sosio-historisnya – kemudian menyusunnya ke dalam sejénis mosaik yang arbitrer dengan menyelundupkan ke bawah permukaannya berbagai struktur ide yang diadopsi dari Barat tanpa mempertimbangkan kontradiksi atau inkonsistensinya, jelas merupakan upaya legislasi yang artifisial dan tidak realistis.42 Fazlur Rahman, pemikir neo-modernis dari Pakistan, bahkan mengkritik secara pedas kecenderungan penerapan metode seleksi dan eklektik dalam legislasi Islam Modern. Rahman mengakui bahwa pada taraf terbatas, prosedur semacam itu mungkin dapat diterapkan terhadap masalah-masalah tertentu tanpa merugikan asas-asas reformasi Islam, asalkan tuntutan konsistensi-internal tidak dikorbankan. Akan tetapi, penerapannya dalam skala besar-besaran pasti akan mengorbankan modernisme di atas altar tradisionalisme dan membuat ijtihad betul-betul pleonastic, karena metode tersebut menengok ke belakang, bukan ke depan.43

Sementara itu menurut an-Nabhani, Tatkala negara melegalisasi hukum

apapun, pengambilannya harus berdasarkan pertimbangan dalil syar‟i yang kuat

disertai pemahaman yang tepat mengenai peristiwa yang sedang terjadi.Karena itu, tindakan pertamayang dilakukan oleh negara hendaknya mengkajiperistiwa yang dihadapi.Sebab, memahami secarabenar setiap peristiwa merupakan halyang sangat penting dan diperlukan.Negara jugaharus memahami

hukumsyari‟atIslam yangberkaitan dengan peristiwayang dihadapinya, disamping mengkaji dalil hukum syari‟at itu.Baru setelah itu, negara

melegalisasi hukum berdasarkan kekuatan dalil.Perlu diperhatikan disini bahwa yudifikasihukum-hukum syari‟atIslam bisa diambil dari pendapat salah seorang mujtahid, setelah mengetahui dalilnya danmerasa puasterhadap kekuatan dalil

tersebut.Bisa juga diambil (secaralangsung) dari Kitab, Sunah, Ijma‟ atauQiyas.Namun harus melalui ijtihad yang syar‟i, sekalipun berupa ijtihad masalah (ijtihad juz‟i). Misalnya, jika Daulah Islam ingin melegalisasikan

41 Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, (Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004),h. 182.

42Ibid.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) hukummengenai larangan asuransibarang, maka pertama-tama negara harusmempelajariapayang dimaksud denganasuransibarang, agardiketahuinya secara benar. Kemudian mempelajari sarana-sarana penguasaan pemilikan.Dan terakhir diterapkan hukum Allah mengenai hak pemilikan pada jenis

asuransiitusekaligus melegalisasikan hukumsyara‟ untuk masalah tadi.44

Panitia khusus yang dibentuk oleh pemerintahah Mesir untuk merubah undang-undang di negara itu, mengukuhkan pasal 2-nya45 dengan mengharuskan legislatif kembali pada syariat Islam guna mencari tujuan-tujuannya, dengan keharusan tidak kembali pada syariat selainnya (Islam). Jika dalam syariat Islam tidak ditemukan suatu hukum yang jelas dan terang, maka jalan yang tepat untuk menetapkan hukum-hukum sosial dan syariat Islam adalah hendaknya legislatif menetapkan hukum yang sesuai dan yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar dan prinsip-prinsip universal syariat Islam, dengan sumber-sumber syariat Islam yang fundamental adalah Al-Qur‟an, hadis, ijma‟, dan fiqh, disamping ada beberapa sumber lain yang masih diperselisihkan

oleh berbagai madzhab, seperti al-maslahah al-mursalah, „urf, istihsan, dan sebagainya.46 Juga menetapkan bahwa hukum yang ketetapan dan dalalahnya pasti (qath‟iy al-śubut wa al-dalâlah), tidak menerima pembahasan atau ijtihad, sedangkan hukum yang masih menerima ijtihad, ialah hukum yang ketetapan atau dalalhnya zhanniy (dzanniy al-śubut wa al-dalâlah). Hukum-hukum yang masih menerima ijtihad (al-ahkâm al-ijtihâdiyyah) itu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, suatu hal yang melahirkan adanya beberapa madzhab dalam Islam, bahkan beberapa pendapat dalam satu madzhab.Inilah yang memberikan fiqh Islam elastis dan dinamis, memungkinkan syariat Islam tetap berlaku di segala tempat dan waktu.47

Dalam konteks Indonesia, metode baru penerapan syariat termasuk dalam system bernegara termasuk ekonomi diperkenalkan oleh Partai Keadilan Sejahtera. Strategi Partai Keadilan berpendapat bahwa berjuang untuk penggabungan syari'at dalam konstitusi diperlukan satu set langkah persiapan, yang dikenal sebagai tadarruj(pentahapan). Langkah pertama adalah menciptakan personalitas setiap individu yang Islami (takwin al-syakhşiyyah al-Islâmiyyah), berkait dengan motto yang populer: “Jika Anda ingin mendirikan negara Islam, mulailah dengan mendirikan Islam di dalam diri Anda”. Langkah

44 Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk, (Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007), h. 136-7

45Pasal 2 berbunyi “Islam adalah agama negara dan bahasa Arab adalah bahasa resmi, dan dasar-dasar syariat Islam adalah sumber utama (al-mashdar ar-ra‟isi) legislasi hukum Islam”. Sebelumnya beberapa usulan diajukan untuk mengamandemen pasal ini, sebagian menguatkan pentingnya bersandar pada syariat Islam pada saat penetapan legislasi, dan sebagian yang lain menguatkan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip syariat ini dengan menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan tidak adanya pembedaan di antara orang-orang Mesir karena mereka berbeda agama, dan tunduknya orang-orang non Muslim pada syariat agamanya masing-masing.

46 Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi, (Yogyakarta: LKIS, 2004),h. 218.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) berikutnya adalah dakwah individu (dakwah farḍiyyah), khususnya mengislamkan keluarga (takwin al-bait al-muslim), diikuti oleh gerakan sosial dakwah terhadap masyarakat (irsyad al-mujtama‟ wa iṣlâhuhu). Gerakan ini dibagi ke dalam gerakan legislasi, mengacu kepada perjuangan di parlemen dan legislasi hukum Islam satu per satu, setelah itu, perjuangan konstitusional, mengacu kepada penulisan peristilahan syariah ke dalam konstitusi.Dua langkah terakhir adalah usaha untuk memulihkan khilafah islamiah (I‟adatu kayan al -khilâfah al-islâmiyah), dan paling akhir, menciptakan Islam sebagai dasar peradaban manusia (utadziyyat al „âlam).48

E. Kesimpulan

Dalam era globalisasi saat ini, positivisasi hukum ekonomi adalah suatu keniscayaan. Positivisasi hukum ekonomi tidak lagi menjadi domain Negara komunis tetapi juga telah dipraktikkan oleh Negara-negara kapitalis liberal, ini tidak lain bertujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi setiap Negara dari persaingan bisnis global yang semakin ketat.

Hukum ekonomi Islam (Syariah), sebagai sumber hukum yang keberadaannya dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945, sudah saatnya didorong untuk menjadi hukum positif yang mengatur bisnis ekonomi syariah di Indonesia, tidak parsial tetapi dalam sekala yang lebih komprehensif sebagai bagian mewujudkan tujuan masyarakat adil makmur dan sejahtara. Negara berperan penting untuk mendorong positivisasi ini meggunakan beberapa pendekatan dan metode yang lebih diterima oleh masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka

Abu al-A‟la al-Mawdudi, Islamic Law and Constitution, Lahore: 1967

Abu al-Hasan al-Mawardiy, al-ahkâm al-Sulthaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Adi Sulistiyono, Muhammad Rustamaji, Hukum Ekonomi Sebagai Panglima, Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka, 2009

Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, Pasir Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS Publishing, 2009

Bustanul Arifin, Pelembagaan hukum Islam di Indonesia: akar sejarah, hambatan dan prospeknya, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Elsi Kartika Sari, Advendi Simangungsong, Hukum dalam Ekonomi, Ed.2., Jakarta: Grasindo, 2007

Imam Khomeini, Islam and Revolution: writings and declarations of Imam Khomeini, Terjemahan dan anotasi Hamid Algar, Berkeley: 1981

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2010 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif modernis dan fundamentalis,

Magelang: Yayasan Indonesiatera, 2001

48 Bernard Platzdasch, Islamism in Indonesia: Politics in the emerging democracy, (Pasir Panjang Singapore: Institute of Southeast Asian Studies ISEAS Publishing, 2009), h. 203.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Mahsun Fuad, Hukum Islam Indonesia: Dari Nalar Partisipatoris Hingga

Emansipatoris, Yogyakarta: LKiS, 2005

Marzuki Wahid, Rumadi, Fiqh madzhab negara: kritik atas politik hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: LKiS, 2001

Muhammad Sa‟id „Ashmawi, Nalar Kritis Syariah, Penerjemah, Luthfi Tomafi, Yogyakarta: LKIS, 2004

Panduan bantuan hukum di Indonesia: pedoman anda memahami dan menyelesaikan masalah hukum, Jakarta: YLBHI, 2007

Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi Sistem Hukum Indonesia, Ciputat: Pustaka Alvabet., 2008

Taqyuddin an-Nabhani, Peraturan Hidup Dalam Islam, Penerjemah, Abu Amin dkk, Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia, 2007

Taufik Adnan Amal, Samsu Rizal Pangabean, Politik Syariat Islam: dari Indonesia hingga Nigeria, Ciputat: Pustaka Alvabet, 2004

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung

Abstrak

Salah satu hak bayi untuk menjamin keberlangsungan kehidupannya dan tumbuh kembangnya secara optimal adalah dengan mendapatkan ASI. ASI merupakan makanan yang paling tepat untuk bayi, karena Allah telah mempersiapkan jauh sebelum si bayi lahir ke dunia ini. Selain komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi yang bisa berubah sesuai dengan kebutuhan pada setiap saat, ASI juga mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai penyakit infeksi. Orang tua dalam hal ini ibu mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI kepada anaknya. Baik hukum yang bersumber dari al-Qur‟an dan hadis atau pun hukum yang disandarkan pada regulasi yang ada di negara Indonesia menjelaskan hak bayi tersebut. Namun, dalam realitasnya banyak bayi yang tidak mendapatkan haknya, bayi tidak mendapatkan ASI tetapi diberi makanan pengganti ASI atau susu formula yang sebagian besar berasal dari ASPI (air susu sapi). Fenomena ini menunjukan adanya pelanggaran hak anak untuk mendapatkan makanan yang cocok. Dari pengkajian terhadap ayat dan hadis, serta aturan yang mengatur tentang pemberian ASI bahwa Ibu mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI-nya sebagai makanan pokok bayinya, selama 2 (dua) tahun dan minimal sampai bayi berusia 6 bulan. Ketika Ibu kandung tidak dapat melaksanakan kewajibannya dengan alasan akan membahayakan bagi diri atau anaknya, Islam memberikan tuntunan untuk membayar Ibu lain yang dapat memberikan ASI. Islam mengarahkan agar anak tetap mengkonsumsi ASI. Berbeda dengan hukum yang ada di Indonesia, ketika ibu tidak dapat memberi ASI kepada bayinya, maka orang tua menggunakan makanan penggganti ASI yaitu susu formula atau donor ASI. Tidak memberikan ASI kepada bayi sama halnya dengan melanggar hak anak. Oleh sebab itu, orang tua harus mengikuti ketentuan yang oleh Islam 15 abad yang lalu telah memberikan solusi untuk pemberian ASI dari ibu kandung atau pun ibu susu. Dalam aturan di Indonesia ASI dari ibu kandung atau Donor ASI.

Kata kunci : Hak Anak, ASI, Susu Formula, Ibu susu

B. Pendahuluan

Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini dimulai dari masa bayi. Bayi sangat tergantung kepada ibunya atau orang di sekitarnya. Salah satu kebutuhan pokok bayi adalah mendapatkan kebutuhan dasar hidupnya yaitu mendapatkan air susu ibu (ASI). Air susu ibu (ASI) merupakan makanan pokok bayi karena Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang telah mempersiapkan ASI sebelum bayi lahir. Sebagai makanan pokok yang disiapkan oleh Khaliq, tentu saja ASI mengandung semua zat yang dibutuhkan oleh bayi dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Sebagai warga negara Indonesia, negara memberikan jaminan yang diberikan negara agar bayi mendapatkan haknya. Dalam berbagai regulasi yang ada mulai dari UUD 1945, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Perempuan Dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui.

Dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. UUD 1945 secara tegas menjelaskan ada hak setiap anak dalam hal ini termasuk bayi, untuk mendapatkan asupan makanan yang sesuai dengan perkembangan pisiknya. Bayi dengan demikian berhak mendapatkan ASI agar bayi dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.

Selain itu menurut Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada pasal 128 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap bayi berhak mendapatkan Air Susu Ibu Eksklusif 49 sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan. Bayi setelah 30 menit dari kelahirannya50 sampai 6 (enam) bulan bayi hanya diberikan air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain. Setelah usia 6 bulan, anak tetap menerima pemberian ASI dengan makanan tambahan sampai anak berusia 2 tahun.

Dalam ayat (2) pasal 128 Undang Undang No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan juga menyebutkan bahwa selama pemberian Air Susu Ibu, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Konsistensi terhadap ketentuan di atas diiringi dengan ditetapkannya Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Pada pasal 29 huruf i Rumah Sakit diwajibkan untuk menyediakan sarana prasarana umum yang antara lain sarana untuk wanita menyusui dan anak-anak. Secara nyata sekarang di berbagai fasilitas umum seperti mall, bandara, dan fasilitas umum lainnya disediakan ruangan khusus untuk ibu menyusui. Sehingga dengan fasilitas tersebut ibu yang menyusui dapat memberikan ASInya di tempat khusus secara leluasa dan aman.

Undang undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pun memberikan pesan yang sama, pada pasal 44 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak, agar setiap anak memperoleh derajat kesehatan yang optimal sejak dalam kandungan.

Meskipun regulasi yang mengatur hak bayi untuk mendapatkan ASI sampai usianya 2 (dua) tahun telah sangat jelas dengan segala fasilitas pendukungnya, namun dalam realitasnya masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI kepada anak bayinya dan menggantinya dengan susu formula

49Air susu Ibu Eksklusif adalah pemberian hanya air susu ibu saja tanpa makanan atau minuman lain kepada bayi sejak lahir sampai berusia enam bulan Pasal 1 ayat 3 Permen PP dan PA, h. 2

50 Lampiran Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak No. 02 tahun 2010 tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, h.22

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) (sufor).51 Berdasarkan hasil survey yang menjadi latar belakang disusunnya Peraturan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 03 Tahun 2010 Tentang Penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui terlihat bahwa data Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tercatat bahwa cakupan ASI Eksklusif sebesar 38% (SDKI,2007), menurun dari kondisi tahun 2002-2003 yaitu 39,5% dari keseluruhan bayi, sementara jumlah bayi di bawah 6 bulan yang diberi susu formula meningkat dari 16,7% (SDKI 2002-2003) menjadi 27,9% (SDKI,2007). Hal ini disebabkan antara lain masih adanya stigma dan stereotipe bahwa menyusui merupakan urusan perempuan/ibu saja yang selama ini masih melekat dengan erat di sebagian besar masyarakat Indonesia. 52

Pandangan yang sangat bias gender, karena meskipun pada hakikatnya perempuan yang memiliki kodrat untuk menyusui, namun laki-laki sangat berperan penting dalam memberikan dukungan bagi ibu untuk terus menyusui sehingga tercapai keberhasilan menyusui eksklusif hingga usia anak 6 bulan dan dilanjutkan dengan ASI dan Makanan Pendamping ASI hingga anak berusia dua tahun.

Disamping itu, masih rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang pentingnya pemberian ASI Eksklusif di satu sisi dan di sisi lain, gencarnya promosi atau iklan susu formula yang sangat menarik dan menggoda, sehingga si ibu terdorong untuk menggunakan susu formula. Hal ini menjadi kendala dalam Upaya Peningkatan Pemberian ASI Eksklusif. Dengan demikian keberhasilan dan kelancaran ibu dalam menyusui memerlukan kondisi kesetaraaan antara laki-laki dan perempuan.

Faktor lain yang juga ikut memberikan sumbangan pada belum optimalnya pemberian ASI, karena pada kenyataannya masih ada beberapa fasilitas pelayanan kesehatan yang belum menerapkan upaya-upaya penerapan sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui. Tenaga kesehatan pada beberapa fasilitas pelayanan kesehatan belum mendapatkan keterampilan untuk memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada ibu hamil dan menyusui tentang teknik pemberian ASI yang baik dan benar selama berada di sarana pelayanan kesehatan. Selain itu belum semua suami, keluarga, masyarakat, tempat kerja berperan dalam mendukung penerapan sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui.

Berdasarkan kenyataan tersebut, dalam menghadapi situasi dan kondisi sekarang, perlu untuk memahami substansi pemberian ASI yang sesungguhnya. Sehingga pemberian ASI bukan hanya dari ibu kandung sendiri. Dalam Islam,

51 Susu Formula Bayi adalah susu yang secara khusus diformulasikan sebagai pengganti ASI untuk Bayi sampai berusia 6 (enam) bulan. (Peraturan Pemerintah No. 33 2012, tentang Pemberian ASI Eksklusif Pasal 1 ayat 5)

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) ada isyarat dari Q.S. Baqarah [2]: 233 yang membenarkan ASI lain.53 Ayat ini

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 30-40)

Dokumen terkait