• Tidak ada hasil yang ditemukan

KHI dalam Konteks Sosio-Historis

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 52-55)

76 Antara News, Selasa 6/11/2012

B. KHI dalam Konteks Sosio-Historis

Sebenarnya munculnya CLD tidak bisa dilepaskan secara konteks historis dengan keberadaan KHI, karena CLD merupakan reaksi terhadap kemapanan hukum yang ada dalam pasal-pasal yang ada dalam KHI.. Secara kronologis historis terbentuknya Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 merupakan salah momentum awal keberhasilan politik hukum Islam pada era Orde Baru. Sekaligus dianggap sebagai usaha yang sangat positif dalam rangka pembinaan hukum Islam sebagai salah satu sumber pembentukan Hukum Nasional. Dalam pembentukan Kompilasi Hukum Islam

85 Siti Musda Mulia , dalam “ Kata Pengantar”, Pembaruan Hukum Islam Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam , (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender Depag, 2004), h. V-iv.

86 Huzaimah Tahido Yanggo, dalam bagian lampiran, Kontroversi Revisi Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta :Adelina, 2005), h.51-52.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) telah ditangani bersama antara Departemen Agama dan Mahkamah Agung dan dengan melibatkan para ulama dari seluruh Indonesia. Dengan Kompilasi Hukum Islam Hakim Agama mempunyai pegangan tentang hukum yang harus diterapkan dalam masyarakat.

Sebelum KHI diberlakukan secara realitas dalam perspektif sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia---terutama pada era Orde baru---telah diberlakukan juga UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan Agama (PA). Dalam konteks ini pula menurut M. Atho Mudzhar, sesungguhnya umat Islam di Indonesia telah memiliki peraturan perundangan yang cukup memadai untuk mengatur masalah keluarga, perkawinan, perceraian dan warisan. Sementara sebagian ulama tradisional Indonesia masih ada yang belum sepenuhnya memahami atau menyetujui berbagai aturan dalam kedua undang-undang tersebut karena dianggap tidak selamanya sesuai dengan apa yang termuat dalam kitab-kitab fiqh. Namun demikian, sebagian yang lain cukup bangga dengan dengan lahirnya kedua undang-undang tersebut karena dianggap sebagai kemajuan besar dalam perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia.87

Dalam perkembangan selanjutnya sebelum disahkannya UU No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, pada tahun 1988 sebenarnya telah disepakati hasil Kompilasi hukum Islam di Indonesia oleh para ulama, yang kemudian hasil kesepakatan tersebut diperkuat dengan Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991 untuk menyebarluaskan dan sedapat mungkin menerapkan Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka hal itu secara realitas telah menandai lembaran baru dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum Islam di Indonesia khususnya dalam bidang hukum keluarga.88 Dengan mencermati proses kelahiran KHI tersebut sebenarnya pada periode itu, secara ideal peraturan itu muncul dalam suasana yang sangat matang karena sebelumnya telah dibentuk institusi peradilan agama dan dalam waktu yang tidak lama kemudian diukuti oleh aturan berupa KHI yang menjadi pedoman para hakim agama dalam memecahkan berbagai problematika hukum keluarga Islam dalam konteks keindonesiaan.

Namun dibalik data historis tersebut ternyata secara obyektif munculnya KHI sesungguhnya sudah ada sejak tahun 1985. Hal ini bisa dilacak dengan mencermati konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi atau lebih dikenal sebagai proyek Kompilasi Hukum

87 H. M. Atho Mudzhar , Membaca Gelombang Ijtihad Antara Tradisi dan Liberasi, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), hlm. 173.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Islam.89 Melalui Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tersebut, maka dimulailah kegiatan proyek dimaksud dengan jangka waktu pelaksanaan 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 desember 1985. 90

Disamping secara kronologis historis tersebut, proses kelahiran KHI dalam sistem hukum nasional di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari realitas hukum yang selama ini menjadi hambatan dalam putusan pengadilan agama oleh para hakim agama. Problem krusial tersebut adalah secara faktual kitab-kitab rujukan yang dipakai oleh Pengadilan Agama sebelum lahirnya KHI adalah sangat beragam.

Walaupun pernah dilakukan upaya unifikasi tentang aturan hukum bagi para hakim agama dalam memutuskan suatu perkara hukum. Hal ini bisa dilihat pada tahun 1958 telah dikeluarkan Surat Edaran Biro Peradilan Agama No. B/1/735, tanggal 18 Februari 1958 yang merupakan tindak lanjut dari peraturan pemerintah No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan

Agama/Mahkamah Syar‟iyah di luar Jawa dan Madura. Dalam Surat edaran

tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim Pengadilan Agama/

Mahkamah Syar‟iyah dianjurkan mempergunakan sebagai pedoman beberapa kitab yang berjumlah 13 buah.91 Kitab-kitab tersebut antara lain adalah ; al-Bajury, Fathul al-Muin, Syarqawy al Tahrir, Qulyuby/ Muhalli, Fath aal-Wahhab, Tuhfah, Targhibul Musytaq, Qawani al-Syar‟iyah karya Usman bin Yahya, Qawani al-Syar‟iyah karya Sayyid Shadaqah Dakhlan, Syamsuri li Faraidl, Bugyatul Mustarsyidin, al-Fiqh ala Madzahib al-Arba‟ah, dan Mughni Muhtaj.92

Daftar kitab-kitab tersebut adalah kitab fiqh klasik yang banyak

dipengaruhi oleh Madzhab Syafi‟i, dan banyak menjadi rujukan oleh para hakim maupun ulama dalam menetapkan hukum keluarga di Indonesia, termasuk hukum muamalah dan ibadah. Materi tersebut ternya secara realitas masih belum mencukupi dalam penyelesaian perkara dari kasus per kasus hukum. Dan dengan langkah inipun kepastian hukum masih belum terpenuhi secara maksimal.93

Bahkan menurut Bustanul Arifin, diantara ke-13 kitab fiqh yang menjadi pedoman tersebut sudah jarang menjadi rujukan dan sering pula terjadi para hakim berselisih sesama mereka tentang pemilihan rujukan. Hal ini disebabkan oleh ruwetnya keputusan Peradilan Agama akibat dasar keputusan adalah kitab-kitab fiqh yang berbeda-beda perspektifnya. Ini membuka peluang terjadinya

89 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakrta: Akademika Pressindo, 1995), hlm. 15.

90 Panji Masyarakat No. 502, Th XXVII tanggal 1 Mei 1986. 91 H. Abdurraahman, op. cit. hlm. 22.

92 H. Abdurrahman, ibid, hlm. 22-23.

93 Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-Undangan dan Peraturan Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), hlm. Hlm. Ix-xiv.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) pembangkangan atau setidaknya keluhan, ketika pihak yang kalah perkara mempertanyakan pemakaian kitab/pendapat yang menawarkan penyelesaian yang berbeda. Peluang demikian tidak terdapat dalam peradilan Umum, sebab

setiap keputusan pengadilan selalu dinyatakan sebagai “pendapat pengadilan”

meskipun mungkin hakim setuju dengan pendapat pengarang sebuah buku yang mungkin pula memang mempengaruhi putusan yang dijatuhkannya.94

Situasi hukum Islam seperti digambarkan diatas tersebut mendorong Mahkamah Agung untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam, sebagai alternatif pemecahan masalah hukum Islam yang sangat beragam dan berpotensi menimbulkan berbagai spekulasi hukum dan konflik sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu kemunculan KHI menurut Masyfuk Zuhdi perlu disyukuri dan disambut poistif. Karena secara yuridis KHI ditetapkan secara resmi oleh pemerintah berdasarkan Inpres No 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 menjadi hukum posistif yang bersifat unifikatif bagi seluruh umat Islam di Indonesia, dan terutama menjadi pedoman bagi para hakim di lembaga peradilan dalam menjalankan tugas-tugas mengadili perkara-perkara dalam bidang kewarisan, pernikahan, dan perwakafan.95

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 52-55)

Dokumen terkait