• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salat Tarâwîh Berjama’ah

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 88-93)

103 Harian Kompas, Ibid

E. Analisis Wacana Polemik

8. Salat Tarâwîh Berjama’ah

Terakhir, penulis akan memaparkan contoh ijtihâd „Umar bin al -Khattâb yang tidak kalah populernya dengan contoh sebelumnya, yakni mengenai perintah salat tarâwîh berjama‟ah. Sebagaimana diketahui, bahwa sebelum masa „Umar bin al-Khattâb menjadi khalîfah, salat tarâwîh dilaksanakan masing-masing oleh para sahabat, baik di rumah maupun di masjid, kemudian terjadilah seperti apa yang diberitakan oleh Imam Mâlik, Bukhârî, Ibnu Huzaimah dan yang lain, dari

„Abdurrahmân bin „Abdul Qâri‟, ia berkata sebagai berikut: 183

“…Pada suatu malam di bulan Ramadân, aku pernah keluar

bersama „Umar bin al-Khattâb ke masjid. Ternyata orang-orang berpencar di sana-sini, ada yang salat sendiri-sendiri, ada pula

yang swlat bersama kelompoknya. „Umar bin al-Khattâb lalu

berkata, “Aku yakin kalau semua orang ini aku kumpulkan dalam

satu jama‟ah dengan satu imam tentu lebih ideal dan representatif.” Kemudian „Umar bin al-Khattâb bermaksud

mewujudkan niatnya dengan menunjuk Ubay bin Ka‟ab sebagai imam jama‟ah. Di malam yang berbeda, aku keluar lagi bersama

„Umar bin al-Khattâb ke masjid, ternyata aku dapati semua orang

melaksanakan salat berjama‟ah dengan satu imam, lalu „Umar bin

al-Khat}t}âb berkata, ”Inilah sebaik-baik bid‟ah, padahal waktu

yang mereka gunakan untuk tidur di akhir malam itu lebih baik daripada waktu yang mereka gunakan untuk salat tarâwîh di awal

malam”. „Umar bin al-Khattâb berkata demikian karena orang-orang melakukan salat tarâwîh di awal malam.

Inilah sebagian kecil dari Fatwâ dan Ijtihâd„Umar bin al-Khattâb yang mampu penulis hadirkan dalam makalah ini. Masih banyak Fatwâ dan Ijtihâd„Umar bin al-Khattâb dalam berbagai persoalan yang belum tergali

dan masih “berserakan” di berbagai kitab fiqh dan sejarah. Oleh karena itu,

segala literatur, referensi, dan kitab rujukan yang penulis suguhkan dalam tulisan ini, tidak semata-mata menjadi “kitab mati”, akan tetapi penulis

harapkan menjadi bahan telaah lanjutan untuk kita semua tentang permasalahan-permasalahan yang dibahas secara ringkas.

C.Kesimpulan

Melalui praktik hukum Islam yang rasional dan dinamis, Khalîfah „Umar

bin al-Khattâb secara tidak langsung mengukuhkan dirinya sebagai ahli hukum

182 Ruwai'î, op.cit., hlm. 315 183 al-Halawî, op.cit., hlm. 80.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Islam yang sangat memperhatikan perkembangan masyarakat dan perubahan sosial. Berbagai gagasan tentang hukum Islam dan perubahan sosial digagas oleh beliau dalam berbagai kesempatan sepanjang hidupnya. Kesan umum dari berbagai pemikiran beliau adalah, bahwa hukum Islam bersifat dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat.184 Untuk mengukuhkan dan memperkuat gagasan tersebut, Khalîfah „Umar bin al-Khattâb sering melakukan ijtihâd tatbîqî.185 Berkat gagasan dan pemikirannya tentang hukum Islam yang bersifat dinamis, adaptif, dan relevan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat di atas, mengantarkan kepada pemikiran bahwa beliaulah pencetus awal ide-ide cemerlang dalam dunia Islam.186

Akan tetapi, karena semangat inovatifnya itu, „Umar bin al-Khattâb tidak terhindar dari penilaian negatif dan tuduhan sebagai telah menyimpang dari agama yang benar. Sekurang-kurangnya Ibnu Taimiyah, seorang pembaharu pemikiran Islam dari Syiria pada abad VIII H / XIV M yang bersemangat dan

sangat kritis, telah mencatat berbagai kesalahan „Umar bin al-Khattâb. sedangkan kaum Syi‟ah, yang diketahui mempunyai kecenderungan anti Umar secara berlebihan, menuduh khalîfah kedua itu tidak saja melakukan berbagai bid‟ah, tetapi bahkan ia telah berbangga dengan penyelewengan-penyelewengan yang diperbuatnya itu.187

Namun patutlah diingatkan bahwa penilaian-penilaian negatif kepada gagasan dan tindakan „Umar bin al-Khattâb serupa itu terjadi hanyalah sesudah

„Umar bin al-Khattâb sendiri lama tiada. Hal ini terutama sekali berkenaan dengan tuduhan kaum Syî‟ah. Ada dugaan kuat ––semisal sinyalemen yang dilontarkan Nurcholis Madjid–– bahwa perasaan anti „Umar yang berlebihan

184 Nurkholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 6. 185 Dalam pandangan Satria Effendi kasus-kasus hukum ijtihad „Umar bin al-Khattâb termasuk kategori ijtihâd tatbîqî, dengan demikian ijtihâd „Umar bin al-Khattâb dalam berbagai kasus hukum tersebut tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskannya. Ijtihad dalam pandangan Satria Effendi M. Zein terbagi menjadi 2 macam, yaitu ijtihâd istinbâtî dan ijtihâd tatbîqî, ijtihâd istinbâtî adalah upaya menyimpulkan hukum dari sumber-sumbernya, sedangkan

ijtihâd tatbîqî adalah upaya menerapkan hukum itu secara tepat terhadap suatu kasus. Dalam ijtihâd istinbâtî, yang menjadi pusat perhatian adalah sumber-sumber hukum Islam, yang dilakukan baik dengan pendekatan kebahasaan maupun pendekatan maqâsid syarî‟ah. Dalam ijtihâd tatbîqi yang menjadi perhatian utama adalah untuk mengantarkan seorang penerap hukum kepada penerapan hukum secara tepat dalam suatu kasus, yang menjadi objek kajiannya adalah hal-hal yang meliputi perbuatan manusia dengan segala bentuk objek perbuatan itu, juga manusia itu sendiri sebagai pelaku hukum dengan segala kondisi dan perbuatannya. Ijtihâd tat}bîqi dapat berlaku pada setiap hukum, baik yang dinilai qat‟î, rinci maupun yang zannî. Lihat Satria Effendi M. Zein. “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 117-128.

186 Alî Muhammad al-Sya‟labi, The Great Leader of „Umar bin al-Khattâb; Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 45; Bandingkan dengan Jalâl a-Dîn al-Suyût}î, Târikh Khulafâ‟. Terj. Samson Rahman (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2003), h. 158.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) dari golongan Syî‟ah,188 telah tercampur dengan unsur luar Islam semacam Persianisme atau Iranisme yang muncul ke permukaan oleh dorongan gerakan

Syu‟ûbiyyah ––semacam chauvinisme/paham kesukuan––. Mengingat bahwa di bawah kekhalifahan „Umar itulah Persia dibebaskan oleh tentara Islam Arab, dan

mengingat mayoritas golongan Syî‟ah adalah orang-orang Persia atau Iran. Sedangkan lepas dari penilaian kurang baik dari kelompok tertentu

terhadap „Umar bin al-Khattâb itu, khalîfah kedua ini oleh umat Islam Ahlu al-Sunnah (sunni) disepakati sebagai pemimpin kaum beriman yang paling berhasil.

Boleh dikata bahwa, dari sudut peninjauan yang menyeluruh, masa „Umar bin

al-Khattâb adalah masa keemasan sejarah Islam. maka tak mengherankan kiranya bahwa pada zaman mutakhir ini, bilamana aspirasi reformasi keagamaan, sosial dan politik Islam harus mencari model klasik bagi wawasannya, ia akan dengan bersemangat dan penuh simpati menyebut masa

„Umar bin al-Khattâb. golongan pemikir Islam modernis misalnya, sangat

mengagumi „Umar bin al-Khattâb tidak saja karena ia menauladani bagaimana menangkap semangat Islam secara menyeluruh, tetapi juga karena ia berhasil menciptakan masyarakat yang menurut jargon-jargon modern tentunya akan dinamakan demokratis dan sosialistis. Wallahu A‟lam bi al-Sawâb

Daftar Pustaka

Bagdâdî, al-. al-Farq baina al-Firâq, Kairo: t.tp, 1924

Baltajî, Muhammad. Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattâb, terj. Masturi Ilham, Jakarta: Khalifah, 2005

Bik, Muh}ammad Khudrî. Tarikh Tasyrî‟ al-Islâmî, Kairo: Matba‟ah al- Istiqomah, Cet. V, Tt.

CD-ROM. Software Mausû‟ah al-Hadîs\ al-Syarîf, Global Islamic Software Company, versi. 2, 1997

Djauli, A. (et.al.), Hukum Islam di Indonesia Pemikiran dan Praktek, Cet. I., Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991

Godgson, Marshall G. S.. The Venture of Islam, Terj. Mulyadi Kartanegara, Jakarta: Yayasan paramadina, 1999

Hâkim, Abdul Hamîd. Mabadi' Awwaliyah, Jakarta: Sâdiyah Putra, t.t.

188 Paling tidak ada 5 pandangan terhadap ijtihâd„Umar bin al-Khat}t}âb, yaitu: (1) ijtihâd

„Umar bin al-Khattâb tidak meninggalkan nass, apalagi mengganti atau menghapuskan ketentuannya, (2) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang meninggalkan zâhir-nya nass. Karena ia berpegang pada ruh nass atau maqâsid al-syarî‟ah, (3) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb berkenaan dengan masalah yang qat‟iyah yang bukan bidang ijtihâd, tetapi ini diperbolehkan khusus „Umar bin

al-Khattâb, (4) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb telah menginggalkan nass yang sarih, tetapi sebagaimana berlaku pada setiap mujtahid, ijtihâd-nya tetap memperoleh satu ganjaran, dan (5) ijtihâd „Umar bin al-Khattâb memang banyak melanggar nass yang qat‟i, tetapi itu dilakukan „Umar bin al-Khattâb karena kekurangan informasi yang diterimanya untuk persoalan-persoalan yang bersangkutan. Baca Jalaluddin Rakhmat, “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), h. 43-59.

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattâb; Sebuah Telaah Mendalam tentang

Pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, terj. Ali Audah, cet. Kesepuluh, Jakarta: Litera Antarnusa, 2010

Halâwî, Muhammad „Abdul „Azîz al-. Fatwa dan Ijtihad „Umar bin al-Khattâb; Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, terj. Zubeir Suryadi Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 1999

Hanafi, A. Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1963

Harwî, Abû „Ubaid al-Qâsim bin Sallâm al-. Kitâb al-Amwâl. Beirut:Dâr al-Fikr li al-Tibâ„ah wa al- Nas}r wa al-Taujî„, 1988

Hazm, Ibnu. al-Muh}allâ, t.t.: t.tp., 1979

Hitti, Philip K. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010

Hosen, Ibrahim (et.al.), Ijtihad Dalam Sorotan, Cet. IV, Bandung: Mizan, 1996 Khalaf, Abdul Wahab. „Ilm Ushûl al-Fiqh, Kairo: Daar Al-Kuwaitiyah, 1968

---. Khulâsah Târîkh al-Tasyrî‟ al-Islâmî, terj. Wajidi Sayadi, Cet. I, Jakarta: Grafindo Persada, 2001

Madjid, Nurkholis (ed.). Khazanah Intelektual Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1994 Mahmassani, Subhi. Falsafah al-Tasyrî‟ fî al-Islâm, terj. Ahmad Sudjono, Cet. I,

Bandung: al-Ma‟arif, 1981

Marwân, Jamâl al-Dîn Muh}ammad Ibn. Lisân al-Arab, Juz III, Mesir: Dâr al-Misriyyah al-Ta‟lîf wa Tarjamah, t.t.

Mas‟udi, Masdar F. Agama Keadilan Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991

Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter dalam Ekonomi Islam, Jakarta: Salemba Empat, 2002

Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009

Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: UII Press, 2009 Nakosteen, Mehdi. Kontribusi Islam terhadap Dunia Intelektual Barat: Deskripsi

Analisis Abad Keemasan Islam, terj. Joko S Kahhar dan Supriyanto Abdullah, Surabaya: Risalah Gusti, 2003

Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press, 1985

Nûruddin, Amiur. Ijtihad Umar bin al-Khattab; Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 1987.

Praja, Juhaya S. Filsafat Hukum Islam, Bandung: Unisba, 1995

Pulungan, J. Sayuti. Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta: LSIK, 1994

Rahman, Fazlur. Islam. terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 2000

Rakhmat, Jalaluddin. “Kontroversi Sekitar Ijtihad Khalîfah „Umar bin al-Khattâb R.A. dalam Iqbal Abdurrauf Saimina (Penyunting), Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988

Ruwai'î, Fiqh „Umar bin al-Khattâb Muwâzinan bi Fiqh Asyhuril Mujtahidîn, Juz 1, Beirut: Dâr al Garbi al-Islâmî, 1403 H

San‟ânî, al-. Subul al-Salâm, Juz II, t.t.: t.tp, 1990

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, terj. Moh. Thalib, Juz VI, Cet. Ke-10, Bandung:

Al-Ma‟arif, 1995

Shiddieqy, M. Hasbi ash-. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Cet. Keenam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994

Proceding Metro International Conference on Islamic Studies (MICIS) Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan, Cet. I, Jakarta: Paramadina, 1997

---. Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran. Jakarta: UI Press, 1993 Smith, Adam. The Wealth of Nations,New York: The Modern Library, 1937

Sou‟yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin, Jakarta: Bulan Bintang, 1979 Suyûtî, Jalâl a-Dîn al-. Târikh Khulafâ‟. terj. Samson Rahman, Jakarta Timur:

Pustaka al-Kautsar, 2003

Sya‟labi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995

Sya‟labi, Alî Muh}ammad al-. The Great Leader of „Khalîfah „Umar bin al-Khattâb bin Khatab; Kisah Kehidupan dan Kepemimpinan Khalifah Kedua, terj. Khoirul Amru Harahap, Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2008

Syâtibî, Abû Ishâq al-. al-Muwâfaqât fî Usûl al-Syarî‟ah, juz II, Beirut: Dâr

al-Ma‟ârif, tth

Tabarî, Abû Ja‟far Muhammad bin Jarîr al-. Târîkh al-Umam wal al-Mulûk, Jilid VI, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978

Tirmizî, Abû „Isâ al-. Sunan al-Tirmizî, Indonesia: Maktabah Dahlan, tt.

Zaid, Nasr Hâmid Abû. Mafhûm al-Nâs; Dirâsah fî „Ulûm al-Qur‟ân, Hazîrân: al-Markâz al-S|aqafî al-Farabî, 1990

Zein, Satria Effendi M. “Metodologi Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad

dkk (Editor), Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional Mengenang 65 Th Prof. Dr. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press, 1996

Husnul Fatarib

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung

Abstrak

Peran bahasa dalam kajian keislaman tidak hanya terbatas pada pemaknaan terhadap sebuah subyek, melainkan juga turut memberikan pengertian terminology dan epistimologi terhadap subyek tersebut, bahkan juga tidak jarang dijumpai bahasa memberikan penafsiran dan perluasan makna terhadap rangaian teks atau kata yang terangkai menjadi siyaqul kalam tersendiri. Para pelaku analisis hukum, pemerhati hukum, mufti, bahkan mujtahid, harus memahami dan menguasai bahasa Arab sebagai bahasa awal setiap rumpun keilmuah tentang hukum Islam. Perbedaan dalam pemaknaan terhadap sebuah kata atau keragaman dalam penggunaan sebuah kata telah banyak berkontribusi terhadap konstruksi hukum Islam yang merupakan awal munculnya varian baru dalam nomenklatur hukum Islam yaitu khilafiah fikih yang pada mulanya adalah sub unit dari muqaranah madzahib. Huruf ma‟ani dari huruf „athaf, huruf ma‟ani dari huruf jar dan huruf ma‟ani dari adawat syarth, maka semua perbedaan makna dari masing-masing huruf sebagai produk dari ulama bahasa (Al-Nahwiyun) tidak bisa tidak juga mempengaruhi makna teks hukum (nas hukum) baik dari Al-Quran maupun dari Al-Sunnah. Perbedaan dalam pemaknaan ini pada tahap selanjutnya memberikan warna dalam konstruksi hukum Islam dengan muncuklnya varian produk fikih yang selanjutnya disebut khilafiyah. Khilafiyah hukum yang terjadi dari perbedaan pemaknaan terhadap huruf-huruf ma‟ani dalam konstelasi ijtihad dan istinbath hukum bisa diterima selama masing-masing pihak menggunakan sandaran atau dalil yang mandukung pemaknaan itu; apakah dalil itu bersumber dari nas atau teks itu sendiri atau dari pemahaman umum dari bahasa tersebut di kalangan bangsa arab

Kata Kunci: Bahasa Arab, Huruf ma‟ani, Hukum Islam

Dalam dokumen IAIN Metro - Lampung (Halaman 88-93)

Dokumen terkait