• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bahasa Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bahasa Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

BAHASA HUKUM DALAM PENYUSUNAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

DISUSUN OLEH

NOVI ARNI

NIM: 02011281419238

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SRIWIJAYA

INDRALAYA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ilmu perundang-undangan ini sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan. Tak lupa pula, penulis kirimkan salam dan salawat kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, dan seluruh sahabatnya.

Makalah ilmu perundang-undangan yang saya susun ini berjudul Bahasa Hukum dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Makalah ini hadir untuk memenuhi tugas ilmu perundang-undangan yang diberikan oleh dosen pembimbing. Pemilihan topik ini berawal dari ketertarikan penulis terhadap teknis yuridis dalam peraturan perundang-undangan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu selama proses pembuatan makalah ini dan penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki penulis.

Namun penulis mengharapkan dengan segala keterbatasan dan ketidaksempurnaan tersebut, skripsi ini masih mempunyai nilai akademis dan dapat bermanfaat bagi pembaca oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang konstruktif untuk menutupi keterbatasan dan kemampuan penulis.

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………... 2

DAFTAR ISI ………3

BAB I PENDAHULUAN

Latar Belakang………...…4

Rumusan Masalah………...5

BAB II PEMBAHASAN

Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan………6

Penerapan Bahasa Perundang-Undangan Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia…………9

Permasalahan dalam Penerapan bahasa Hukum dalam Peraturan Perundang-Undangan…...12

BAB III PENUTUP

Kesimpulan………...14

(4)

BAB I PENDAHULUAN

I. LATAR BELAKANG

Bahasa memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dalam berkomunikasi dengan sesamanya manusia memerlukan bahasa hanya dengan bahasa dan melalui bahasa proses pengenalan dan proses komunikasi dapat berlangsung. Dan dari komunikasi itulah maka manusia dapat berinteraksi dengan sesamanya. Hal lain yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia ialah hukum, dalam negara hukum seperti Indonesia tentunya terdapat peraturan perundang-undangan. Suatu aturan baik dalam bentuk tertulis, maupun lisan tentunya akan digunakan bahasa.

Sesuai dengan Pasal 36 UUD 1945 yang menyatakan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia, maka bahasa yang digunakan dalam penyusunan peraturan perundang-undangan juga digunakan bahasa Indonesia1.

Pada prinsipnya menurut ketentuan undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa peraturan perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.

Dan oleh karena itulah, dalam merumuskan ketentuan peraturan perundang-undangan sebaiknya para perumus menggunakan kalimat yang singkat, jelas dan mudah

(5)

dimengerti agar tidak menimbulkan penafsiran ganda maupun kekeliruan yang kerap terjadi di masyarakat.

Karena sepengetahuan penulis masalah mengenai teknis yuridis dalam pembentukan undang-undang jarang dibahas maka dalam makalah ini penulis akan memaparkan mengenai ragam bahasa perundang-undangan, penerapannya, dan juga permasalahan yang secara teknis kerap terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Yang nantinya diharapkan agar pembaca dapat lebih kritis dan mudah dalam menafsirkan bahasa perundang-undangan itu kedepannya.

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan?

2. Bagaimanakah Penerapan Bahasa Perundang-Undangan yang Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia?

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

I. Ragam Bahasa dalam Peraturan Perundang-Undangan

Bahasa Hukum adalah bahasa aturan dan peraturan yang bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan, untuk mempertahankan kepentingan umum dan kepentingan pribadi di dalam masyarakat2

Pada pokoknya, bahasa peraturan perundang-undangan tunduk kepada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik yang menyangkut pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan maupun pengejaannya. Namun, bahasa peraturan dapat dikatakan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan penegertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun penulisan3.

Oleh karena itu, dalam merumuskan ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan para perancang biasanya diharuskan menggunakan kalimat-kalimat yang singkat, tegas, jelas dan mudah dimengerti oleh khalayak.

Ragam bahasa peraturan perundang-undangan ialah gaya bahasa yang digunakan dalam membentuk suatu isi dalam peraturan perundang-undangan, seperti yang telah diketahui bahwa bahasa dalam peraturan perundang-undangan tunduk pada kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar akan tetapi terkandung ciri-ciri khusus yang hanya ada di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu antara lain ialah sifat keresmian, sifat kejelasan makna, dan sifat kelugasan.

1. Sifat keresmian: sifat ini menunjukkan adanya situasi kedinasan, yang menuntut ketaatan dalam penerapan kaidah bahasa, dan ketaatan kepada kaidah bahasa.

2. Sifat kejelasan makna: sifat ini menuntut agar informasi yang disampaikan dinyatakan dengan kalimat-kalimat yang memperlihatkan bagian-bagian

2 Syarif Maroni, Pengertian dan Kegunaan bahasa Hukum, diakses dari

http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html pada tanggal 10 April 2016 pukul 20:13 WIB

(7)

kalimat secara tegas, sehingga kejelasan bagian-bagian kalimat itu akan memudahkan pihak penerima informasi dalam memahami isi atau pesan yang disampaikan. Sifat kejelasan makna ini menuntut agar kalimat-kalimat yang dirumuskan harus menunjukkan dengan jelas mana subyek, predikat, obyek, pelengkap, atau keterangan yang lainnya.

3. Sifat kelugasan: sifat kelugasan ini menuntut agar setiap perumusannya disusun secara wajar, sehingga tidak berkesan berlebihan atau berandai-andai.4

Sebagai suatu ragam bahasa, bahasa Indonesia perundang-undangan mempunyai susunan kalimat yang menurut Jeremy Bentham sebagaimana dikutip oleh E.A Driedger tidak mengandung ketidaksempurnaan tingkat pertama dan tidak pula ketidaksempurnaan tingkat kedua (Ketidaksempurnaan tingkat pertama meliputi kandungan makna ganda, kabur, dan terlalu luas). Ketidaksempurnaan tingkat kedua meliputi ketidaktetapan kata dan ungkapan (untuk hal yang sama digunakan kata dan ungkapan berbeda), berlebihan, bertele-tele, kacau, ketiadaan bantuan tanda baca untuk kalimat-kalimat panjang, dan ketidakteraturan susunan.5

 Syarat-Syarat Bahasa Perundang-Undangan

Untuk menyusun atau merumuskan suatu peraturan perundang-undangan Montesquieu mengemukakan beberapa batasan sebagaimana dikutip oleh C.K Allen dijelaskan secara singkat sebagai berikut:

1. Gaya bahasa hendaknya selain ringkas juga sederhana

4 Ahmad Saifudin. Ragam Bahasa Perundang-Undangan, diakses dari

https://www.academia.edu/9703230/RAGAM_BAHASA_PERATURAN_PERUNDANG-UNDANGAN_1._Pengertian_dan_Sifat_Bahasa_Perundang-Undangan pada tanggal 10 April 2016 pukul 21:14 WIB

(8)

2. Istilah yang dipilih sedapat-dapat bersifat mutlak dan tidak relative, dengan maksud agar meninggalkan sedikit mungkin timbulnya perbedaan pendapat secara individual

3. Hendaknya membatasi diri pada yang riil dan actual, serta menghindarkan diri dari kiasan dan dugaan

4. Hendaknya tidak halus sehingga memerlukan ketajaman pikiran pembacanya, karena rakyat banyak mempunyai tingkat pemahaman yang sedang-sedang saja hendaknya tidak untuk latihan logika, melainkan untuk pikiran sederhana yang ada rata-rata manusia

5. Hendaknya tidak merancukan yang pokok dengan yang pengecualian, pembatasan, atau pengubahan, kecuali apabila dianggap mutlak perlu 6. Hendaknya tidak ‘memancing perdebatan/perbantahan’: adalah berbahaya

memberikan alas an-alasan yang terlalu rinci karena hal ini dapat membuka pintu pertentangan

7. Di atas segalanya, hendaknya betul-betul dipertimbangkan apakah mengandung manfaat praktis; hendaknya tidak menggoyahkan dasar-dasar nalar dan keadilan serta kewajaran yang alami; karena peraturan yang lemah, tidak diperlukan, dan yang tidak adil akan menyebabkan seluruh sistem peraturan dalam reputasi yang jelek dan karena itu mengguncangkan kewibawaan negara6

Selain pendapat dari Montesquieu pengalaman modern dalam penyusunan peraturan perundang-undangan menambahkan saran-saran lagi. Mengingat bahwa penggunaan bahasa yang teknis-yuridis pada umumnya tidak dapat dielakkan maka perlu diusahakan hal-hal berikut:

1. Perlu ada penjelasan dan penyuluhan lebih banyak mengenai latar belakang lahirnya peraturan perundang-undangan serta keadaan yang mempengaruhinya sehingga penggunaan kata-kata, kalimat, dan ungkapan di dalamnya dapat dipahami lebih baik

(9)

2. Penggunaan ragam bahasa teknis memang tidak dapat dihindarkan dimana-mana tetapi penggunaan ragam bahasa teknis perundang-undangan dapat diatur lebih baik daripada ragam bahasa teknis lainnya jargon atau bahasa yang tipikal dank has di bidang hukum dapat diganti misalnya, meskipun ‘ciptaan-ciptaan’ baru hendaknya tidak makin menyulitkan

3. Definisi yang dapat menjelaskan di sana-sini boleh digunakan untuk memberikan ketepatan penegertian. Tetapi arti kata-kata yang sudah diketahui masyarakat tidak perlu didefinisikan apabila definisi sulit dirumuskan maka uraian pengertian dapat digunakan7

Selain pedoman yang telah disebutkan di atas, hal lain yang harus diperhatikan bagi penyusun peraturan perundang-undangan ialah kemampuan dalam mengantisipasi dan menafsirkan apa yang mungkin akan terjadi dengan perumusan dalam peraturan perundang-undangan tersebut agar tidak terjadi kekeliruan penafsiran oleh masyarakat.

II. Penerapan Bahasa Perundang-Undangan Sesuai dengan Kaidah Bahasa Indonesia

 Pilihan Kata atau Istilah dalam Peraturan Perundang-Undangan

Dalam menyusun kalimat perumusan peraturan perundang-undangan para perancang dituntut untuk mampu memilih atau menggunakan kata-kata yang tepat. Pemilihan kata oleh perancang bukan dimaksudkan untuk mengaburkan pengertian atau bahkan menimbulkan kebingungan akan tetapi dimaksudkan agar bahasa dalam peraturan perundang-undangan tersebut terkesan tidak kaku dan tidak mempunyai rasa atau karakteristik seperti yang seharusnya.

(10)

perumusan ketentuan undang-undang dan peraturan perundang-undangan sering kali kita harus menggunakan kata-kata yang menggunakan istilah asing, dalam hal demikian para perancang yang baik harus berusaha menghindari istilah asing tersebut. Dan apabila hal itu tepaksa dilakukan, maka penggunaan kata atau istilah-istilah asing itu hanya ditempatkan di dalam penjelasan bukan dalam perumusan pasal-pasal (batang tubuh) peraturan.8

Agar lebih jelas mengenai pembahasan pilihan kata atau istilah yang tepat dalam peraturan perundang-undangan berikut dibahas beberapa penggunaan / pilihan kata atau istilah yang digunakan dalam peraturan perundang-undangan:

1. Untuk menyatakan pengertian maksimum dan minimum dalam menentukan ancaman pidana atau batasan waktu digunakan kata ‘paling’. Contoh: ….dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda ‘paling’ sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) dan ‘paling’ banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)

2. Untuk menyatakan maksimum dan minimum bagi satuan: a. Waktu, gunakan frase paling singkat atau paling lama

b. Jumlah uang, gunakan frase paling sedikit atau paling banyak c. Jumlah non-uang, gunakan frase paling rendah dan paling tinggi

3. Untuk menyatakan makna tidak termasuk, gunakan kata kecuali. Kata kecuali ditempatkan di awal kalimat, jika yang dikecualikan adalah seluruh kalimat

4. Untuk menyatakan makna termasuk, gunakan kata ‘selain’. Contoh: Selain wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam pasal 7 pemohon wajib membayar biaya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 5. Untuk menyatakan makna pengandaian atau kemungkinan, digunakan kata

jika, apabila, atau frase dalam hal

a. Kata jika digunakan untuk menyatakan suatu hubungan kausal (pola karena-maka)

(11)

b. Kata apabila digunakan untuk menyatakan hubungan kausal yang mengandung waktu

c. frase dalam hal digunakan untuk menyatakan suatu kemungkinan, keadaan atau kondisi yang mungkin terjadi atau mungkin tidak terjadi (pola kemungkinan-maka)

6. Frase pada saat digunakan untuk menyatakan suatu keadaan yang pasti akan terjadi pada masa depan. Contoh: Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, pasal 45, pasal 46, dan pasal 47 kitab UU Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku

7. Untuk menyatakan sifat kumulatif, digunakan kata dan. Contoh: A dan B dapat menjadi…

8. Untuk menyatakan sifat alternative, digunakan kata atau. Contoh: A atau B wajib memberikan

9. Untuk menyatakan kalimat alternative sekaligus kumulatif gunakan frase dan / atau. Contoh: A dan / atau B dapat memperoleh…

10. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga gunakan kata berwenang. Contoh: Presiden berwenang menolak atau mengabulkan permohonan grasi

11. Untuk menyatakan pemberian kewenangan kepada seseorang atau lembaga guanakan kata berwenang

12. Untuk menyatakan sifat diskresioner dari suatu kewenangan yang dapat diberikan kepada seorang atau lembaga, gunakan kata dapat. Contoh: Menteri dapat menolak atau mengabulkan permohonan pendaftaran paten 13. Untuk menyatakan adanya suatu kewajiban yang telah ditetapkan, gunakan

kata wajib. Jika kewajiban tersebut tidak dipenuhi, yang bersangkutan akan dijatuhi sanksi hukum menurut hukum yang berlaku. Contoh: Untuk membangun rumah, seseorang wajib memiliki izin mendirikan bangunan 14. Untuk menyatakan pemenuhan suatu kondisi atau persyaratan tertentu,

(12)

15. Untuk menyatakan adanya larangan, gunakan kata dilarang9

III. Permasalahan dalam Penerapan Bahasa Peraturan Perundang-Undangan

Permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini lebih kepada permasalahan teknis yang ada dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bukan kepada permasalahan-permasalahan yang ada di dalam masyarakat. Contoh permasalahan yang akan di bahas ialah “Clerical Error”

 Kekeliruan Redaksional (Clerical Erorr)

Setiap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya, secara materiil sudah dapat dikatakan bersifat final, meskipun belum disahkan secara formal oleh presiden sesuai ketentuan pasal 20 ayat (4) atau ayat (5) UUD 1945. Apabila UU sesudah disahkan oleh DPR sebagai tanda bahwa rancangan undang-undang mendapatkan persetujuan bersama-sama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang dimaksud tidak boleh diubah lagi rumusan isinya.

Namun demikian, dalam praktik sering terjadi bahwa dalam pengetikan rancangan undang-undang itu sebelum disahkan oleh presiden, ditemukan berbagai kekurangan dan kekeliruan yang bersifat “clearical”. Kekurangan yang dimaksud misalnya terjadi karena kesalahan dalam pengetikan ejaan atau “spelling” atau penulisan-penulisan istilah tertentu yang berasal dari bahasa asing. Kadang-kadang jenis “clerical error” dimaksud memang tidak prinsipil sifatnya, hanya karena salah penulisan atau pengetikan ejaan. Akan tetapi, dalam praktik, sering juga terjadi bahwa kesalahan yang sebenarnya bersifat “clearical error” itu ternyata berpengaruh serius terhadap isi norma yang terdapat di dalam rumusan kata atau kalimat yang berisi “clerical error”10

Pada pasal 24 ayat (4) UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh Hakim Agung”. Sedangkan pasal 24C ayat (4)

9 Pipin Syarifin s.H., M.H & Dra. Dedah Jubaedah, M.Si, Ilmu Perundang-Undangan, 2012, halaman 216

(13)

UUD 1945 menyatakan “Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi”. Kata “Wakil Ketua: Mahkamah Agung pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945 jelas menunjuk kepada pengertian kata benda biasa, tetapi istilah “wakil ketua” pada pasal 24C ayat (4) UUD 1945 itu menunjuk kepada pengertian jabatan wakil ketua Mahkamah Konstitusi, sedangkan wakil ketua pada pasal 24A ayat (4) UUD 1945 bersifat umum11.

Artinya dalam hukum, penggunaan huruf besar dan kecil dapat berakibat sangat prinsipil terhadap kandungan pengertian yang terdapat di dalam suatu norma hukum. Karena itu, sekiranya dalam perumusan suatu rancangan UU ternyata ditemukan adanya kesalahan, sekalipun sangat sepele berupa “clearical error” atau hanya menyangkut minor staff duties”, dalam rangka kesempurnaan maksimum naskah UU, tetap perlu dipikirkan mengenai mekanisme pengoreksian sebelum disahkan secara resmi12.

Koreksi dan penyempurnaan yang berkaitan dengan “clerical error” atau minor staff duties” perlu diatur secara tepat sehingga di satu pihak tidak akan disalahgunakan. Untuk itu, hal ini perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan yang pasti bahwa menteri yang bertanggung jawab dapat mengangkat seorang pejabat ahli bahasa yang bertindak sebagai “final reader”

BAB III

PENUTUP

(14)

Kesimpulan

B

ahasa perundang-undangan mempunyai corak tersendiri walaupun tetap menggunakan kaidah tata Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Karena itu dalam penyusunannya para perancang peraturan perundang-undangan diwajibkan menguasai bahasa hukum, dan juga mengerti akan ragam-ragam bahasa peraturan perundang-undangan serta pemilihan kata atau istilah yang sesuai dengan kaidah Bahasa Indonesia agar kelak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan adalah peraturan yang benar-benar bermanfaat bagi pembangunan hukum di Indonesia, responsive

Akan tetapi meskipun telah disusun dengan sedemikian rupa nyatanya kelalaian tidak lepas dari diri manusia, ada saja permasalahan yang timbul dalam penyusunan perundang-undangan itu sendiri, salah satu contohnya ialah “Clerical Erorr”. Dalam hal seperti ini dituntut adanya pihak yang bertanggung jawab dengan misalnya mengangkat seorang pejabat ahli bahasa. Dan masyarakat pun harus lebih bijak dan kritis dalam menafsirkan peraturan perundang-undangan.

(15)

 Buku :

Asshidiqie, Jimly. 2011. Perihal undang-undang. Jakarta: Rajawali pers

Maria Farida Indriati S., Ilmu Perundang-undangan 2 (proses dan Teknik Pembuatannya), Yogyakarta: Kansius (2007)

Syarifin, Pipin dan Dedah Jubaedah, 2012. Ilmu Perundang-Undangan. Bandung: Pustaka Setia.

 Undang-Undang:

Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia Tahun 1945

Republik Indonesia. 2011. Undang-undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lembaran Negara RI Tahun 2011, No. 82. Jakarta

 Internet:

Syarif Maroni, Pengertian dan Kegunaan bahasa Hukum, diakses dari

http://zriefmaronie.blogspot.co.id/2013/03/pengertian-kegunaan-bahasa-hukum.html pada tanggal 10 April 2016 pukul 20:13 WIB

Ahmad Saifudin. Ragam Bahasa Perundang-Undangan, diakses dari

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan perundang-undangan dalam arti materil adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan penjabat yang berwenang yang isinya mengikat umum. Peraturan perundang-undangan

peluang baru dalam hal melihat apakah suatu peraturan perundang-undangan memiliki fungsi sebagai peraturan perundang-undangan atau apakah suatu peraturan perundang- undangan

Dalam makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada pengaturan yang mengatur mengenai pelaksanaan penyusunan database peraturan perundang-undangan seperti Peraturan

Apa indikator kesetaraan gender dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Untuk menentukan bahwa suatu peraturan perundang- undangan adalah responsif gender, dapat diindikasikan

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan

Eksisitensi hukum Islam di Indonesia dalam pembentukan peraturan perundang-undangan melalui integrasi norma agama ke dalam sistem hukum Nasional Indonesia saat ini

Skripsi ini berjudul “Kedudukan Peraturan Desa Dalam Sistem Hukum Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia” yang disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

Peraturan Daerh Kabupaten/Kota Perda Kab/Kota Selain peraturan perundang - undangan yang telah diatur dalam Pasal 7 ayat 1 tersebut, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga