• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan Di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

SELATAN, PROVINSI SULAWESI UTARA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dan karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

ROMZATUL ULA SAMAN. Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Dibimbing oleh ISDRADJAD SETYOBUDIANDI dan ANNA FATCHIYA.

Mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan merupakan komunitas yang tumbuh secara alami. Mangrove memiliki peranan penting sebagai daerah pengasuhan dan pembesaran dan habitat dari beberapa ikan, udang dan kerang. Mangrove juga memiliki peran sebagai Green Belt, yang melindungi pantai dari abrasi dan sebagai perangkap sedimen. Ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan telah mengalami penurunan baik secara kualitas maupun kuantitas karena pemanfaatan mangrove oleh masyarakat setempat yang tidak memperhatikan aspek lingkungan serta kurangnya pengetahuan tentang manfaat keberadaan mangrove. Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis kondisi ekosistem mangrove, mengidentifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat dan merumuskan strategi pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

Penelitian dilaksanakan pada Bulan Desember 2014- Februari 2015 di ekosistem mangrove Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dengan purposive sample. Pengumpulan data primer dilakukan melalui pengamatan langsung (observasi) di lapangan dan wawancara terstruktur dengan bantuan kuisioner. Pengumpulan data sekunder diperoleh melalui survei pada instansi terkait dan studi literatur. Analisis data yang digunakan meliputi analisis vegetasi mangrove, analisis kuantitatif dengan metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) dan analisis kuantitatif (deskriptif) untuk analisis pemanfaatan mangrove oleh masyarakat.

(5)

dan (6) Peningkatan koordinasi antar stakeholders dengan melibatkan seluruh stakeholder yaitu Pemerintah, swasta, LSM dan masyarakat dalam penyusunan rencana dan implementasi program-program pengelolaan dan pelestarian ekosistem mangrove.

(6)

SUMMARY

ROMZATUL ULA SAMAN. Sustainable Mangrove Ecosystem Management In South Bolaang Mongondow District, Province Sulawesi Utara. Under direction of ISDRADJAD SETYOBUDIANDI and ANNA FATCHIYA.

Mangrove in South Bolaang Mongondow District is a natural one. Mangrove having an important role as a nurturing and enlargement and habitat of several of fishes, prawns, and shellfish. Mangrove also has a role as a Green Belt, which protect the coast from abrasion and as a sediment trap. Mangrove ecosystem in South Bolaang Mongondow has a reduction in quality and quantity because Exploitation mangrove by the local people which is not paid attention for the good environment and lack knowledge about the benefits of mangrove. This study aimed to analyze the condition of mangrove ecosystem, to identify utilization mangrove ecosystem by local people, and to formulate a strategy for sustainable management of mangrove ecosystem in South Bolaang Mongondow District.

The study was conducted in Desember 2014 – Februari 2015 in the mangrove ecosystem areas South Bolaang Mongondow. The method used in this research is survey method with purposive sample. Primary data were collected through direct observation (observation) in the field and structured interviews with the help of a questionnaire. The collection of secondary data obtained through a survey of relevant institutions and literature study. Analysis of the data used include mangrove vegetation analysis, quantitative analysis method of Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) and quantitative analysis (descriptive) for the analysis the utilization of mangrove by local people.

(7)
(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk

kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah,

penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah;

dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2017

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE SECARA

BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW

SELATAN, PROVINSI SULAWESI UTARA

(10)
(11)
(12)

Judul Tesis : Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara Nama : Romzatul Ula Saman

NIM : C252124041

Jurusan : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc Ketua

Dr Ir Anna Fatchiya, M.Si Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya

Pesisir dan Lautan

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

(13)
(14)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul

“Pengelolaan Ekosistem Mangrove Secara Berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara”. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc dan Dr. Ir. Anna Fatchiya, M.Si selaku pembimbing, atas bimbimgan dan arahannya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr Ir Yusli Wardiatno, MSc selaku dosen penguji luar komisi yang telah banyak memberikan saran dan masukan dalam penyusunan tesis ini. 3. Dr. Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si, selaku penguji dan perwakilan program

studi yang juga memberi bimbingan terhadap penulis.

4. Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan atas izin tugas belajarnya.

5. Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Kehutanan, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kependudukan, dan SUSCLAM Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan yang telah banyak membantu dalam penyediaan dan informasi data selama penelitian.

6. Ayahanda Abdurrahman Saman dan Ibunda Dra. Ainun Spaer serta ade dan suami tercinta beserta seluruh keluarga atas kasih sayang, doa dan dukungan semangat maupun materi pada penulis selama studi.

7. Teman teman di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi yang telah membantu penulis selama dilapangan.

8. Teman-teman SPL 2012 atas segala suka duka serta bantuan dan kerjasama yang telah diberikan.

9. Segenap dosen dan staf serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas ilmu dan bantuan yang diberikan.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini belum sempurna. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Januari 2017

(15)
(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ii

DAFTAR GAMBAR iii

DAFTAR LAMPIRAN iv

DAFTAR PUSTAKA 58

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 4

Kerangka Pemikiran 4

2 METODE PENELITIAN 6

Lokasi dan Waktu Penelitian 6

Jenis dan Sumberdata 6

Alat dan Bahan 8

Teknik Pengumpulan Data 8

Ekosistem mangrove 8

Pola Pemanfaatan Eksosistem mangrove Analisis Data

Analisis Ekologis mangrove

9 11 11 Analisis Pemanfaatan Ekosistem Mangrove / Analisis Kuantitatif

Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Mangrove

12 13

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 16

Keadaan Umum Lokasi Penelitian 16

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat 18

Kondisi Existing Mangrove di Kabupaten Bolsel 23

Pemanfaatan Ekosistem Mangrove 40

Persepsi Masyarakat dan Tindakan Pemanfaatan Mangrove 44 Status Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove 47 Status keberlanjutan dimensi ekologi 47

Status keberlanjutan dimensi ekonomi 49

Status keberlanjutan dimensi sosial 50

Status keberlanjutan dimensi kelembagaan 51 Status Keberlanjutan Multidimensi Pengelolaan Ekosistem Mangrove 53 Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Berkelanjutan 54

4 KESIMPULAN DAN SARAN 56

Kesimpulan 56

(17)

DAFTAR TABEL

1 Variabel dan Indikator Penelitian 7

2 Sebaran Jumlah Responden 10

3 Dimensi dan Atribut Pengelolaan Ekosistem Mangrove 14 4 Kategori Status Keberlanjutan Ekosistem Mangrove 16

5 Luas Wilayah menurut Kecamatan 17

6 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin 18

7 Mata Pencaharian Penduduk 19

8 Jumlah Sarana Pendidikan Berdasarkan Tingkatan dan Desa

Penelitian 20

9 Jumlah Pasar dan Bank berdasarkan Kecamatan di Bolsel 21 10

Keberadaan Jenis Mangrove pada setiap stasiun pengamatan Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun I Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun II Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun III Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun IV Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun V Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada Stasiun VI Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun I

Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun II Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun III Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun IV Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun V Analisa Vegetasi Mangrove Stasiun VI

Jumlah Pemanfaat Mangrove di Lokasi Penelitian

Tingkat Persepsi Responden tentang Manfaat Keberadaan Mangrove Tindakan Masyarakat Terhadap Kegiatan Rehabilitasi Mangrove Tindakan Masyarakat Terhadap Kegiatan Sosialisasi Mangrove Atribut Sensitif Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Penurunan Luas Mangrove 3

2 Kerangka Pikir Penelitian 5

3 Lokasi Penelitian 6

4 Skema Penempatan Petak Contoh 9

5 Kerangka Pengambilan Sampel 10

6 Tingkat Pendidikan Responden 19

7 Pasang Surut di Kabupaten Bolsel 22

8 Nilai Suhu Perairan Mangrove di Stasiun Pengamatan 23 9 Nilai Salinitas Perairan di Stasiun Pengamatan Kabupaten Bolsel 24 10 Nilai pH Perairan di Stasiun Pengamatan Kabupaten Bolsel 25 11 Nilai DO Perairan di Stasiun Pengamatan Kabupaten Bolsel 25 12 Kondisi Mangrove di Stasiun Pengamatan I, II, dan V 26

13 Penyebaran Mangrove di Kabupaten Bolsel 27

14 Komposisi Mangrove di Stasiun I 28

15 Komposisi Mangrove di Stasiun II 28

16

Komposisi Mangrove di Stasiun III Komposisi Mangrove di Stasiun IV Komposisi Mangrove di Stasiun V Komposisi Mangrove di Stasiun VI

Bunga Hias menggunakan batang Ceriops tagal

Tempat Penampungan Kepiting yang masih Berfungsi di Desa Deaga

Tempat Penampungan Kepiting yang tidak Berfungsi di Desa Dudepo

Produksi Kepiting di Kabupaten Bolsel tahun 2013-2015 Analisis Rapfish Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekologi

Analisis Rapfish Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekonomi

Analisis Rapfish Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Sosial Hasil Analisis Leverage Dimensi Sosial

Analisis Rapfish Nilai Indeks Keberlanjutan Dimensi Kelembagaan

Hasil Analisis Leverage Dimensi Kelembagaan Hasil Analisis Rapfish Multidimensi

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Atribut (Indikator) dan Skor Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

(20)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam daerah tropika yang mempunyai manfaat ganda dengan pengaruh yang sangat luas ditinjau dari aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Besarnya peranan hutan atau ekosistem mangrove bagi kehidupan, dapat diketahui dari banyaknya jenis hewan (baik yang hidup di dalam perairan, diatas lahan dan ditajuk-tajuk pohon mangrove) dan tumbuhan termasuk manusia yang hidup bergantung pada hutan mangrove (Djunaedi 2011). Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia, tahun 2011 diperkirakan luas mangrove 3.112.989 ha, jumlah ini mewakili 23% dari keseluruhan ekosistem mangrove dunia. Penurunan luas hutan mangrove pertahunnya disebabkan konversi untuk pertanian, perikanan, pariwisata, pembangunan perkotaan dan eksploitasi berlebihan (Giri et al. 2011). Kegiatan pemanfaatan tersebut didasari semata mata untuk kepentingan ekonomi tidak memperhatikan keberlanjutan kepentingan ekologi dan sosial.

Fungsi ekologis mangrove yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan bagi bermacam biota, penahan abrasi, penyerap limbah, perlindungan terhadap badai, tsunami, dan kenaikan muka air laut (Santos et al. 2014). Hutan mangrove juga mempunyai fungsi ekonomis bagi masyarakat yang tinggal dekat ekosistem mangrove yaitu menyediakan makanan pokok, sumber bahan bakar (kayu bakar dan arang), bahan bangunan, perikanan, pertanian, bahan baku kertas, obat-obatan dan lain sebagainya (Hijbeek et al. 2013). Dengan fungsi mangrove yang tidak sedikit maka ekosistem ini menjadi sasaran berbagai aktivitas yang bersifat eksploitatif, mengakibatkan mangrove rawan terhadap kerusakan.

Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) merupakan bagian dari Provinsi Sulawesi Utara dengan jarak kurang lebih 250 km dari Manado yang merupakan ibu kota Provinsi Sulawesi Utara. Kabupaten yang baru berusia 5 tahun ini memiliki potensi kelautan dan perikanan yang besar. Pesisir pantai wilayah Kabupaten Bolsel membentang sepanjang sekitar 292 km di bagian sebelah utara mulut Teluk Tomini mengarah ke timur. Salah satu potensi menonjol yaitu mangrove. Mangrove di Kabupaten Bolsel tumbuh secara sporadis di sejumlah pantai terbuka yang terlindung oleh terumbu karang dan juga pantai-pantai berbentuk teluk kecil yang terlindung dari hempasan gelombang. Berdasarkan analisis citra satelit, dilaporkan bahwa luasan mangrove di Bolsel hingga awal tahun 2010 tercatat sebesar 785 Ha (Bappeda Bolsel 2011).

(21)

Riau ekosistem mangrove disana terganggu dengan tingkat kerapatan yang sangat jarang, sehingga ekosistem mangrove di Provinsi Riau masuk dalam kategori kritis, ini berkaitan dengan pemanfaatan kayu yang berdiameter 10 cm untuk pondasi rumah. Selain bermasalah terhadap regenerasi hutan, juga dapat menyebabkan terhambatnya proses suksesi hutan mangrove.

Penurunan kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove di Kabupaten Bolsel akibat berbagai aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat sehingga sangat memerlukan perhatian khusus dari semua pihak. Tanggung jawab dalam pengelolaan kawasan ini tidak hanya terletak pada pemerintah saja, melainkan juga harus didukung peran serta (partisipasi) semua lapisan masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di sekitar ekosistem mangrove yang secara aktif terlibat dalam pemanfaatan mangrove. Sampai dengan saat ini juga, penelitian-penelitian mengenai ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan pada umumnya masih kurang. Contohnya baru ada 2 penelitian tentang mangrove yang dilakukan di Kabupaten Bolsel yaitu penelitian Rignolda tahun 2010 tentang survei kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Bolsel dan penelitian Hattani tahun 2011 tentang identifikasi mangrove di Desa Dudepo. Penelitian yang terfokus pada analisa ekologi yaitu analisa kondisi ekosistem mangrove, identifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat (segi ekonomi) serta persepsi dan sikap masyarakat tentang keberadaan mangrove (segi sosial) sampai saat ini belum dilakukan di Kabupaten Bolsel. Menyadari akan pentingnya fungsi dan manfaat ekosistem mangrove, maka ekosistem mangrove di Kabupaten Bolsel perlu dikaji potensi ekologi, ekonomi, serta sosial saat ini dan selanjutnya ditentukan strategi pengelolaan untuk keberlanjutannya.

Perumusan Masalah

(22)

kualitas dan kuantitas ekosistem mangrove, lebih jelasnya lagi bisa dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Penurunan luas mangrove Sumber: Bappeda Bolsel (2011)

Gambar 1 menerangkan luasan mangrove pada tahun 1988-1993 terhitung sebesar 899 Ha dan berkurang menjadi 832 Ha selang tahun 1993-2003. Seluas 67,63 Ha lahan mangrove menjadi terbuka selang periode waktu tersebut. Berdasarkan citra satelit tahun 2009 dan 2010 diketahui bahwa terjadi penurunan luas mangrove menjadi 785 Ha. Terdapat pengurangan luasan mangrove sebesar 46,74 Ha selang periode waktu 2003-2010.

Kualitas perairan yang kurang baik di Desa Dudepo, sebagai akibat pembuangan minyak dari kapal karena lokasi ekosistem mangrove berdekatan dengan dermaga serta pembuangan sampah padat oleh masyarakat yang tinggal dekat ekosistem mangrove menyebabkan kematian mangrove dan hilangnya tempat hidup kepiting. Tata ruang kawasan pesisir belum tersusun dengan baik merupakan salah satu penyebab pencemaran, karena seharusnya lokasi dermaga harus berjauhan dengan ekosistem mangrove. Penyebab lainnya juga kurangnya kesadaran masyarakat tentang manfaat ekosistem mangrove. Pemerintah Kabupaten Bolsel selaku pengambil kebijakan harus melakukan langkah-langkah aktif untuk mengurangi resiko degradasi lingkungan mangrove dengan perencanaan sampai pelaksanaan aksi pengelolaan mangrove secara berkelanjutan. Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan?

2. Bagaimana pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan ?

(23)

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

2. Mengidentifikasi pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

3. Merumuskan strategi pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan terhadap

pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan.

2. Memberikan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan untuk membuat kebijakan dalam rangka pengelolaan ekosistem mangrove Kabupaten Bolsel yang berkelanjutan.

Kerangka Pemikiran

Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem yang unik dan khas yang berada di daerah peralihan antara darat dan laut. Fungsi dari ekosistem mangrove ini sangat banyak, antara lain penahan abrasi pantai, pengendali banjir, pelindung pantai secara alami yang mengurangi resiko dari bahaya tsunami, pencegah intrusi air laut ke daratan, sebagai perangkap zat tercemar serta tempat hidupnya kepiting, ikan, dan udang. Dengan banyaknya fungsi ekosistem mangrove bagi kehidupan maka perlu adanya pengelolaan ekosistem mangrove yang lestari dan berkelanjutan, karena ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan. Perubahan berasal dari alam, lingkungan dan manusia. Faktor alam dipengaruhi oleh iklim, kenaikan muka air laut, banjir, dan tsunami. Dari segi lingkungan, kondisi ekosistem mangrove dipengaruhi oleh pH, salinitas, suhu, curah hujan, dan pasang surut sedangkan faktor dari manusia yaitu pemanfaatan ekosistem mangrove secara tidak lestari dan eksploitasi berlebihan. Pemicu atau faktor pendorong dari kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove oleh manusia adalah kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan ekonomi. Di kabupaten Bolsel mangrove dimanfaatkan kayunya untuk bahan bakar dan bahan baku bangunan. Masyarakat juga memanfaatkan sumberdaya kepiting untuk konsumsi dalam rumah tangga dan untuk dijual.

(24)

dianalisis nilai indeks keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan hutan mangrove, serta menentukan strategi pengelolaan mangrove berkelanjutan yang tepat diterapkan di Kabupaten Bolsel. Secara umum kerangka pemikiran dari penelitian ini disajikan pada Gambar 2.

(25)

2

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan selama 3 bulan yaitu Desember 2014 – Februari 2015 . Kabupaten Bolsel terdiri dari 5 kecamatan, untuk lokasi penelitian meliputi 6 Desa yang tersebar di 3 kecamatan. Desa Dudepo, Pangia dan Pinolantungan termasuk kedalam Kecamatan Bolaang uki, Desa Torosik dan Deaga termasuk ke dalam Kecamatan Pinolosian Tengah, serta Desa Matandoi termasuk ke dalam Kecamatan Pinolosian Timur. Penentuan lokasi berdasarkan survei awal berkaitan dengan desa yang ada mangrovenya dan masyarakat yang memanfaatkan mangrove. Kabupaten Bolsel, Provinsi Sulawesi Utara secara geografis terletak pada koordinat 00o22’545’’ LU dan 123o28’59,2”

BT. Kondisi iklim yaitu iklim tropis, suhu 20oC 32oC dengan curah hujan

rata-rata 1500 mm. Peta lokasi penelitian bisa dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Lokasi penelitian

Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini bersumber dari data primer maupun data sekunder. Data primer dikumpulkan secara langsung melalui pengamatan langsung terhadap objek penelitian, wawancara secara tersturuktur menggunakan kuesioner terhadap responden dalam pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat serta melakukan wawancara mendalam kepada pemerintah, tokoh masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Data sekunder dikumpulkan dari berbagai institusi terkait dan penulusuran berbagai pustaka yang ada. Adapun variabel dan indikator penelitian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

(26)

Tabel 1 Variabel dan indikator penelitian

No. Variabel Indikator Sumber Data Metode

1 Kondisi Ekosistem Mangrove

Penutupan (%) Lokasi Penelitian

Observasi lapang

Kerapatan (Pohon/Ha) Lokasi Penelitian

DO (Oksigen terlarut) Lokasi Penelitian

(27)

No. Variabel Indikator Sumber Data Metode

3 Data sosial -Jumlah Penduduk -Mata Pencaharian

Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer pada penelitian ini antara lain: GPS (Geographic Position System), kertas waterproof, rollmeter, tali transek, alat tangkap untuk kepiting (bubu), plastik sampel, kamera digital dan recorder. Selanjutnya alat yang digunakan untuk menghitung parameter fisika dan kimia perairan antara lain: termometer, refraktrometer, pH meter, stopwatch, papan berskala, alat pengukur DO. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah peta lokasi penelitian, buku identifikasi jenis mangrove, profil desa, lembar kuesioner, dan alat tulis menulis.

Teknik Pengumpulan Data Ekosistem Mangrove

Teknik pengumpulan data untuk kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan metode observasi (pengamatan) langsung. Dalam melakukan pengambilan contoh terhadap ekosistem mangrove, terlebih dahulu menentukan stasiun pengamatan. Stasiun pengamatan ditentukan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian dan dianggap representatif mewakili tegakan mangrove di Kabupaten Bolsel.

(28)

pada petak 2 x 2 m2 (A), pancang (diameter 2-10 cm) pada petak 5 x 5 m2 (B), dan

pohon (diameter ≥ 10 cm) pada petak 10 x 10 m2 (C). Sebagaimana terlihat pada

Gambar 4 .

Gambar 4 Skema penempatan petak contoh

Perhitungan dilakukan dengan cara menghitung dan mencatat jumlah masing-masing spesies yang ada dalam setiap petak atau plot contoh serta mengidentifikasi jenis mangrove dan mengukur diameter pohon. Data vegetasi yang dicatat terdiri dari jumlah pohon, pancang dan semai serta jenis pohon, data diameter pohon (untuk tingkat pancang dan pohon) dan tinggi pohon (untuk tingkat semai). Adapun arah pengamatan tegak lurus dari pinggir laut atau pantai ke arah darat.

Pengukuran parameter lingkungan (suhu, salinitas, pH, dan DO) dilakukan pada setiap jalur/lintasan pengukurannya dilakukan pada siang hari secara langsung (insitu). Pengukuran suhu dengan menggunakan termometer, pengukuran salinitas dilakukan pada saat surut dengan menggunakan refraktometer, pengukuran pH dengan menggunakan pH meter. Begitu juga dengan DO menggunakan DO meter. Pola Pemaanfaatan Ekosistem Mangrove

Data pemanfaatan ekosistem mangrove berupa data primer dan data sekunder. Data sekunder akan dikumpulkan dari sumber, seperti dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Lingkungan Hidup, dan Kehutanan. Sementara pengumpulan data primer akan dilakukan dengan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner kepada responden. Adapun metode pengambilan sampel/responden adalah purposive sampling, berdasarkan pertimbangan masyarakat yang memanfaatkan mangrove. Langkah awal dengan mengidentifikasi responden pengguna sumberdaya mangrove seperti nelayan, petambak, petani, dan pencari kayu bakar. Selain wawancara dengan masyarakat pengguna, juga wawancara dengan stakeholders. Stakeholders adalah informan dengan metode pengumpulan data dengan teknik wawancara terbuka.

Garis Pantai

10 m A

B C

A B

C

A

(29)

Tabel 2 Sebaran jumlah responden

No Jenis Responden Jumlah

(orang) Responden

1. Nelayan Tangkap 240

2. Pencari kayu bakar 125

3. Pencari Kepiting 46

4. Pencari batang mangrove 20

5. Pemanfaat air Nypa 12

Populasi adalah seluruh penduduk yang ada di 6 desa lokasi penelitian. Unit populasi sebagai dasar penentuan responden dari unsur masyarakat adalah Kepala Keluarga (KK) atau Rumah tangga yang tinggal di 6 Desa itu. Adapun kerangka pengambilan sampel bisa dilihat pada Gambar 5, Jumlah KK dari keenam desa tersebut sebanyak 1.906 KK (BPS 2013). Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus Krejcie dan Morgan (1970). Adapun rincian jumlah responden dan stakeholders ditampilkan pada Tabel 2.

(30)

Pendekatan ekologis dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan pada penelitian ini menggunakan beberapa parameter ekologis (Bengen, 2001) yaitu :

a. Kerapatan Jenis

Kerapatan jenis (Di), yaitu jumlah individu jenis i dalam suatu area yang

A = luas areal total pengambilan contoh b. Kerapatan Relatif Jenis.

Kerapatan relatif jenis (RDi), yaitu perbandingan antara jumlah individu

jenis-i (ni) dan jumlah total individu seluruh jenis (∑n) :

Frekuensi jenis (Fi), jumlah plot contoh ditemukannya suatu jenis dalam

semua plot contoh :

...(3) Keterangan :

Fi = Frekuensi jenis-i

Pi = Jumlahplot contoh dimana ditemukan jenis-i

p = Jumlah total plot contoh yang diamati

d. Frekuensi Relatif Jenis.

Frekuensi Relatif Jenis (RFi), yaitu perbandingan antara frekuensi jenis-i (Fi)

dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (

F) :

... (4) Keterangan :

RFi = Frekuensi relatif jenis

Fi = Frekuensi jenis ke-i

(31)

(C / C)x100

RCi i

e. Penutupan Jenis.

Penutupan jenis (Ci) adalah luas penutupan jenis i dalam suatu unit areal

tertentu :

Ci= ∑ BA / A ...(5)

Keterangan : BA =

DBH2/4 (dalam cm2)

= Suatu konstanta (3,1416) DBH = Diameter pohon dari jenis-i

A = Luas areal total pengambilan sampel f. Penutupan Relatif Jenis.

Penutupan Relatif Jenis (RCi) adalah perbandingan antara luas area penutupan

jenis i (Ci) dan luas total areal penutupan untuk seluruh jenis (

C) :

% ...(6) Keterangan : RCi = Penutupan Relatif Jenis (%)

Ci = Luas area penutupan jenis ke-i ∑C = Luas Total seluruh jenis

g. Nilai Penting Jenis

Indeks Nilai Penting Jenis (INPi), adalah jumlah nilai kerapatan relatif, Frekuensi relatif (RFi) dan Penutupan relatif jenis (RCi) :

INPi = RDi + RFi + RCi ...(7) Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 – 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai peranan ataupun pengaruh suatu jenis mangrove pada lokasi penelitian. Menurut Nabi dan Rao (2012), Indeks nilai penting digunakan untuk mengungkapkan dominasi dan keberhasilan ekologisnya dalam suatu ekosistem.

Indeks Keanekaragaman

Untuk menentukan keanekaragaman jenis yang ada di ekosistem mangrove (Odum 1993) adalah :

H’ = - ∑ pi log2pi = ∑ ni/N log2 ni/N ...(8) H’ = Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener

N = Jumlah total individu dalam komunitas ni = Jumlah individu spesies atau jenis ke i pi = Proporsi individu spesies ke i (ni/N)

(32)

untuk menggambarkan jenis pemanfaatan mangrove oleh masyarakat, berapa jumlah pemanfaat yang ditabulasikan dalam bentuk angka ke dalam tabel, menggambarkan tingkat persepsi dan sikap masyarakat tentang manfaat keberadaan mangrove kemudian ditabulasikan dalam bentuk angka ke dalam grafik.

Analisis Keberlanjutan Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Analisis keberlanjutan pengelolaan mangrove di Kabupaten Bolsel dilakukan dengan metode Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH). Rapid Appraisal for Fisheries (RAPFISH) merupakan metode penilaian keberlanjutan yang berbasiskan pendekatan multidimensional scalling (MDS). Konsep dasar MDS adalah proses menentukan koordinat posisi tiap obyek dalam suatu peta multi dimensi sehingga jarak antar obyek pemetaan akan sesuai dengan nilai kedekatan dalam input datanya. Ukuran kedekatan antar pasangan obyek berupa nilai kemiripan (similarity) atau nilai ketidakmiripan (dissmilarity) (Bae et al. 2012). Analisis keberlanjutan pengelolaan ekosistem mangrove dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu tahapan penentuan atribut sistem pengembangan kawasan berkelanjutan yang mencakup empat dimensi (dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan kelembagaan). Tahapan penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria berkelanjutan setiap dimensi, analisis ordinasi yang berbasis

metode “multidimensional scaling” (MDS), penyusunan indeks dan status keberlanjutan pengembangan kawasan existing condition yang dikaji baik secara umum maupun pada setiap dimensi (Fauzi dan Anna 2005).

Berdasarkan hasil pengamatan lapangan, hasil perhitungan ataupun data sekunder yang tersedia maka setiap atribut diberikan skor atau peringkat yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi pengelolaan (Alder et al. 2000). Penilaian dan penentuan skor untuk masing-masing atribut didasarkan pada hasil penelitian di ekosistem mangrove Kabupaten Bolsel dan data sekunder lainnya seperti jurnal, text book, dan dokumen perencanaan pemerintah daerah. Rentang nilai skor berkisar antara 0-2 tergantung pada keadaan masing-masing atribut yang

didefinisikan sebagai nilai “buruk” dan nilai “baik”. Nilai yang “buruk” diartikan

sebagai kondisi yang paling tidak menguntungkan untuk pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan. Sebaliknya nilai yang “baik” diartikan sebagai kondisi yang paling menguntungkan bagi pengelolaan ekosistem mangrove secara berkelanjutan.

Dalam penilaian skoring, urutan nilai terkecil tidak selalu merupakan nilai

“buruk”, begitupun sebaliknya skoring nilai terbesar tidak selalu merupakan nilai

(33)

Tabel 3 Dimensi dan Atribut Pengelolaan Ekosistem Mangrove

Dimensi Atribut Baik Buruk Kriteria Nilai

Ekologi Tekanan lahan mangrove

0 2 0 Tidak terjadi perubahan luas lahan mangrove

1 Perubahan luas lahan mangrove secara alami

2 Terjadi alih fungsi lahan mangrove tanpa memperhatikan fungsi lingkungan

Rehabilitasi mangrove

2 0 0 Tidak ada

1 Ada namun tidak dikelola dengan baik

2 Ada dan dikelola dengan baik Kerapatan dengan sarana transportasi yang ada dan prasarana/ sarana pengelolaan kurang sekali)

1 Sedang (lokasi dapat diakses dan prasarana/ sarana pengelolaan belum memadai)

2 Tinggi (lokasi mudah diakses dan prasarana/sarana pengelolaan sudah

1 Tersedia, tapi belum dipatuhi 2 Tersedia dan dipatuhi

1 Ada tetapi belum dilaksanakan dengan baik

2 Ada dan sudah dilaksanakan dengan baik 1 Sedang (jumlah anggaran untuk

pengelolaan mangrove mencukupi namun masih kurang)

(34)

Dimensi Atribut Baik Buruk Kriteria Nilai

Tersedia tetapi tidak dipahami oleh masyarakat dan pengusaha serta tidak terasoliasasi dengan baik Ada peraturan dan tersosialisasi dengan baik dan dipahami oleh masyarakat dan pengusaha

Keterlibatan lembaga masyarakat

2 0 0 Masyarakat dan lembaga masyarakat tidak terlibat dalam pengawasan dan evaluasi

1 Masyarakat dan lembaga masyarakat terlibat tetapi hanya secara

prosedural

2 Masyarakat dan lembaga masyarakat terlibat aktif dalam memberikan informasi, proses dan penentuan mekanisme pengawasan

1 Ada tetapi belum dilaksnakan dengan baik

2 Ada dan sudah dilaksanakan dengan baik

(35)

Didalam analisis Rapfish setiap data yang diperoleh diberi skor yang menunjukkan status sumberdaya tersebut. Hasil statusnya menggambarkan keberlanjutan di setiap aspek yang dikaji dalam bentuk skala 0 sampai 100% (Pitcher and Preikshot 2001). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks lebih dari 75% maka pengembangan tersebut berkelanjutan (sustainable) dan sebaliknya jika kurang dari 75% maka sistem tersebut belum berkelanjutan (unsustainable). Kategori status keberlanjutan ekosistem mangrove ditunjukkan pada Tabel 4.

Pada tahap selanjutnya, dilakukan analisis sensitivitas untuk melihat atribut apa yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan di

lokasi penelitian. Pengaruh dari setiap atribut dilihat dalam bentuk perubahan “root mean Square” (RMS) ordinasi, khususnya pada sumbu X atau skala sustainabilitas (Alder et al. 2000). Semakin besar nilai perubahan RMS akibat hilangnya suatu atribut tertentu maka semakin besar pula peranan atribut tersebut dalam pembentukan nilai indeks keberlanjutan pada skala sustainabilitas, atau dengan kata lain semakin sensitif atribut tersebut dalam menentukan keberlanjutan pengelolaan.

Tabel 4 Kategori status keberlanjutan ekosistem mangrove

Nilai Indeks Kategori

0 – 25 Tidak berkelanjutan

26 – 50 Kurang berkelanjutan

51 – 75 Cukup berkelanjutan

76 – 100 Berkelanjutan

Sumber: Santoso (2012)

3

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan mempunyai luas daratan 1.932,30 Km2 yang disahkan dengan undang-undang Nomor 30 Tahun 2008 Tanggal 21 juli 2008 tentang pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan di Provinsi Sulawesi Utara merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow, peresmiannya dilaksanakan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 10 September 2008 di Manado. Jumlah penduduk Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan hasil sensus penduduk tahun 2014 adalah 71.283 jiwa yang tersebar di 59 desa dari 5 kecamatan dengan kepadatan penduduk dikabupaten ini sebesar 29 orang per kilometer persegi (Bappeda 2011).

(36)

bahkan untuk kawasan Asia Pasifik serta sangat strategis untuk mengembangkan produksi perikanan di Kawasan Timur Indonesia.

Secara geografis, Kabupaten Bolsel terletak diantara 00ᴼ22’545 LU dan 123ᴼ28’59,2’’ BT. Kondisi iklim yang relatif iklim tropis, suhu 20ᴼC – 32ᴼC dengan curah hujan rata-rata 1500 Mm. Secara administratif, Kabupaten Bolsel memiliki batas-batas sebagai berikut :

Utara : Berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow dan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara

Timur : Berbatasan dengan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur Selatan :Berbatasan dengan Teluk Tomini

Barat : Berbatasan dengan Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo Topografi Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan mempunyai wilayah berupa bukit-bukit, pegunungan, berpantai dan sebagian kecil adalah dataran rendah bergelombang serta memiliki sungai-sungai besar dengan posisi dari daerah pantai sampai ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut. Sementara luas wilayah Kabupaten Bolsel adalah 171.136, 65 Km2 yaitu wilayah daratan

1.932,30 Km2 dan panjang garis pantai 294 Km. Cakupan wilayah Kabupaten Bolsel pada Tabel 5.

Tabel 5 Luas wilayah menurut kecamatan

Kecamatan Desa Luas Wilayah

(Km2) %

Bolaang Uki 20 393.43 20.36

Posigadan 15 729.00 37.73

Pinolosian 9 285.93 14.80

Pinolosian Tengah 6 302.07 15.63

Pinolosian Timur 9 221.87 11.48

Jumlah 59 1932.30 100.00

Sumber : Bappeda Bolsel 2011

(37)

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kependudukan

Penduduk merupakan faktor penting pada perkembangan suatu wilayah dan merupakan pelaku-pelaku kegiatan di daerah tersebut. Jumlah penduduk tahun 2013 yaitu 3.668 jiwa di 6 stasiun yang tersebar di 5 kecamatan di Kabupaten Bolsel. Sebaran penduduk di keenam desa penelitian jika dilihat menurut desa yang ada, maka desa yang paling banyak penduduknya yaitu Desa Torosik 788 jiwa dan yang paling sedikit Desa Deaga 495 jiwa. Untuk lebih jelas jumlah penduduk di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Jumlah penduduk menurut jenis kelamin Desa Jumlah KK Jumlah Penduduk (jiwa)

Laki-laki Perempuan Total

Pangia 406 374 329 703

Pinolantungan 172 277 233 510

Dudepo 334 275 260 535

Deaga 165 238 257 495

Torosik 464 432 356 788

Motandoi 365 339 298 637

Jumlah 1.906 1.935 1.733 3.668

Kab.Bolsel 19.915 37.086 34.197 71.283

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2013

Penduduk asli yang mendiami Kabupaten Bolsel berasal dari penduduk asli Bolsel yaitu suku Bolaang, suku Mongondow dan para pendatang dari suku Bugis (Sulawesi Selatan), Kendari (Sulawesi Tenggara), suku Sangihe (Sulawesi Utara), suku Jaton (Sulawesi Utara) dan suku Hulondalo (Gorontalo).

Mata Pencaharian Penduduk

Mata Pencaharian merupakan kegiatan atau pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi dan keluarganya. Penduduk yang ada di Kabupaten Bolsel memiliki berbagai mata pencaharian yaitu sebagai nelayan, petani, buruh, pegawai, pedagang dan lain-lain. Bila dilihat dari jumlahnya, sebagian besar dari mereka memiliki mata pencaharian sebagai Nelayan dan Petani.

(38)

0

Mata pencaharian sangat menentukan perbedaan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem mangrove. Masyarakat nelayan tradisional yang menangkap ikan di sekitar kawasan ekosistem mangrove akan mau terlibat dalam melestarikan ekosistem mangrove karena mereka merasakan manfaat dari adanya ekosistem tersebut, sedangkan nelayan yang memiliki armada lebih modern dan masyarakat lain yang mata pencahariannya tidak berhubungan langsung dengan ekosistem mangrove akan sulit diajak melestarikan ekosistem mangrove karena mereka tidak memiliki kepentingan atau tidak merasakan manfaat dari keberadaan ekosistem mangrove tersebut.

Tabel 7 Mata pencaharian penduduk (%) No. Mata

Pencaharian

Desa Pangia Pinolan

tungan

Dudepo Deaga Motandoi Torosik

1. Petani 64.3 21.5 37 39.5 34 60.6

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2013

Pendidikan

Sebagian besar penduduk di 6 Desa yang merupakan wilayah penelitian adalah tamatan Sekolah Dasar. Data pada Gambar 6 menunjukkan secara keseluruhan tamatan SD sebesar 62,11%, tamatan SMP sebesar 33,40% dan tamatan SMA sebesar 4,49%. Desa yang paling banyak tamatan SD yaitu Desa Pinolantungan, Deaga, Torosik dan Motandoi.

(39)

Tingkat pendidikan merupakan cerminan tingkat penguasaan seseorang terhadap suatu ilmu pengetahuan yang penerapannya terlihat pada perilakunya dalam hidup bermasyarakat. Hasil penelitian Rusdianti dan Sunito (2012) memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, maka semakin cepat kemampuan penyesuainnya terhadap suatu perubahan. Rendahnya tingkat pendidikan secara sosiologis akan berpengaruh pada tingkat partisipasi masyarakat dalam program pembangunan. Seseorang yang memiliki pendidikan yang baik dan lebih tinggi diharapkan lebih mampu menganalisis manfaat yang akan diperoleh dari kegiatan yang dilakukan.

Pengelolaan ekosistem magrove akan efektif bila didukung oleh sumberdaya manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan yang baik. Tingkat pendidikan masyarakat setempat yang tergolong rendah dapat menyebabkan pola berpikir dan bertindak masyarakat dalam mempertimbangkan pemanfaatan ekosistem mangrove menjadi sangat terbatas. Ini berdampak pada rendahnya partisipasi dan perilaku yang tidak berwawasan lingkungan dalam berinteraksi dengan lingkungannya. untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di setiap desa juga diperlukan berbagai sarana pendidikan yang memadai (Maskendari 2006).

Berbicara tentang sarana pendidikan, di 6 desa ini masih kurang juga sarana pendidikannya, untuk bangunan sekolah dasar masing-masing desa hanya mempunyai 1 gedung sekolah dasar, hanya Desa Torosik yang memiliki 2 gedung sekolah dasar dan untuk sekolah-sekolah lanjutan, belum semua desa memilikinya. Lebih jelasnya pada Tabel 8.

Tabel 8 Jumlah sarana pendidikan berdasarkan tingkatan dan Desa penelitian

No Nama Desa TK SD SMP SMA/SMK

1. Pangia - 1 (swasta) - -

2 Pinolantungan - 1 (negeri) - -

3. Dudepo 1 1 (negeri) - -

4. Torosik 1 2 (negeri) - -

5. Deaga 1 1 (swasta) - -

6. Tobayagan - 1 (negeri) 1 1

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 Kesehatan

Kualitas sumberdaya manusia disamping dapat ditingkatkan melalui pendidikan, juga dapat dilakukan melalui peningkatan derajat kesehatan masyarakat, yaitu melalui sarana dan prasarana kesehatan. Kondisi kesehatan masyarakat setempat umumnya relatif baik, meskipun ketersediaan sarana kesehatan dan tenaga medis atau paramedis jauh dari memadai. Sarana dan Prasarana kesehatan yang ada di Kabupaten Bolsel terdiri dari puskesmas dan puskesdes/pustu. Puskesmas ada 5 masing-masing tersebar di 5 Kecamatan, sedangkan pustu ada 15 masing-masing tersebar di 5 Kecamatan juga. Puskesmas, Pustu maupun tenaga medis yang tetap belum tersebar merata di masing-masing Desa itu merupakan keluhan masyarakat disana.

(40)

dan 5 orang. Pinolosian tengah untuk bidan dan perawat masing-masing sebanyak 10 dan 3 orang.

Ekonomi

Potensi perekonomian mengambarkan sumber-sumber penghasilan utama penduduk Kabupaten Bolsel. Usaha ekonomi andalan seperti kelautan dan perikanan, pertanian, perkebunan. Selain itu, sektor sekunder seperti pertambangan dan industri pengelolaan juga masih mendominasi sumber perekonomian masyarakat Bolsel.

Hasil laut dari kegiatan perikanan tradisional meliputi ikan-ikan pelagis kecil maupun besar dan ikan dasar (ikan domersal). Ikan pelagis antara lain ikan tuna, cakalang, kembung (deho), dan ikan lajang. Secara umum teknik penangkapan menggunakan purse seine (soma pajeko), mini purse sein (soma giok), pukat pantai, pancing tuna, Bagan, jaring insang (Gillnet), sero, ketinting dan lain sebagainya.

Sektor pertanian secara umum meliputi padi sawah, jagung, kedelai, kacang dan ubi. Namun demikian, masih sedikit masyarakat yang memiliki lahan pertaniannya sendiri. Sebagian besar anggota masyarakat berstatus sebagai petani penggarap atau buruh tani. Untuk sektor perkebunan meliputi kelapa, cengkeh, pala, kopi dan cokelat.

Sebagian masyarakat Desa Pangia, Pinolantungan, Dudepo, Torosik, Deaga dan Motandoi memanfaatkan hasil hutan mangrove, penebangan kayu mangrove jenis Rhizophora spp dan Bruguiera spp. Di desa Deaga pada tahun 2014 telah berkembang industri rumah tangga pembuatan gula merah dari hasil pohon mangrove yaitu jenis Nypa. Walaupun industri kecil ini baru berjalan setahun tapi hasilnya telah meluas sampai ke desa-desa lain.

Aktifitas perekonomian akan dapat berjalan secara lebih dinamis apabila terdapat tempat yang layak untuk melakukan transaksi baik penjualan maupun pembelian barang dan jasa seperti adanya sarana seperti bank, sarana perdagangan (pasar, toko, kios), kantor pos, hotel, restoran dan sarana lain yang menunjang peningkatan ekonomi di daerah khusus Kabupaten Bolsel. (Tabel 9).

Tabel 9 Jumlah Pasar dan Bank berdasarkan Kecamatan di Bolsel Tahun 2013 No Kecamatan Jumlah Sarana Perekonomian

Pasar Bank

1. Bolaang Uki 7 2

2. Posigadan 7 -

3. Pinolosian 1 -

4. Pinolosian Tengah 3 -

5. Pinolosian Timur 3 -

Jumlah 21 2

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), Tahun 2013

Kondisi Fisik Lingkungan (Iklim, suhu, dan pasang surut)

(41)

Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan termasuk kedalam tipe hujan C2. Tipe hujan C2 adalah wilayah dengan jumlah bulan basah (BB) 5 bulan dan bulan kering (BK) 2 bulan. Bulan basah (BB) adalah bulan dengan curah hujan rataan >200 mm/bulan, bulan lembab (BL) adalah bulan dengan curah hujan rataan antara 200-100 mm/bulan. Suhu udara bulanan berkisar antara 26,6 – 28,0ᴼC dengan suhu rata-rata 25,9ᴼC. Suhu terendah terjadi pada bulan Januari dan tertinggi pada bulan November dan Desember. Pada dasarnya pola sebaran suhu udara mengikuti pola lamanya penyinaran matahari. Lamanya penyinaran matahari dapat menyebabkan suhu udara meningkat.

Kelembapan relatif merupakan ukuran kandungan uap air di udara dibandingkan dengan kandungan uap air maksimum pada suhu tertentu. Keadaan ini sangat berhubungan dengan keadaan curah hujan, keawanan,suhu udara dan jumlah kandungan air. Kelembaban udara tertinggi di wilayah penelitian terjadi pada bulan juli, yaitu sebesar 93% dan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Oktober yaitu sebesar 85%.

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut yang disebabkan oleh gaya tarik benda-benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut bumi. Meskipun massa bulan jauh lebih kecil dari massa matahari, tetapi karena jaraknya terhadap bumi jauh lebih dekat, maka pengaruh gaya tarik bulan terhadap bumi lebih besar daripada pengaruh gaya tarik matahari. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah 2,2 kali lebih besar daripada gaya tarik matahari (Triatmodjo,1999). Berdasarkan data dari Angakatan Laut Manado, pasang surut di Kabupaten Bolsel digolongkan sebagai pasang surut campuran dengan dominasi Pasang Surut Ganda (predominantly semi diurnal tide). Ciri utama tipe pasut ini adalah terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dimana pasang pertama selalu lebih besar dari pasang kedua. Tunggang air (tidal range) perairan Bolsel umumnya berkisar antara 0.3-1.5 meter. Pasang tertinggi pertama terjadi pada pukul 17.00 yaitu sekitar 1,5 m dan pasang tertinggi kedua pada pukul 06.00 yaitu sekitar 1,1 m. Sedangkan surut terendah pertama pada pukul 12.00 yaitu sekitar 0,3 m, surut terendah kedua yaitu pada pukul 24.00 yaitu sekitar 0,5 m. Untuk lebih jelasnya kita bisa lihat pada Gambar 7 yang menunjukkan pasang surut di Kabupaten Bolsel.

(42)

27.67 27.8

Kondisi Eksisting Mangrove di Kabupaten Bolsel

Kondisi Perairan

Parameter kualitas air yang diteliti meliputi fisika dan kimia perairan, diantaranya suhu air, salinitas, nilai pH dan oksigen terlarut (DO). Nilai parameter kualitas air tersebut semua diperoleh secara in situ . Perry et al. (2009) menyatakan bahwa faktor-faktor fisika kimia lingkungan merupakan penentu pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dibahas hasil pengukuran parameter kualitas air tersebut.

Suhu

Suhu merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan mangrove. Suhu yang menjadi pembatas kehidupan mangrove adalah suhu yang rendah dan kisaran suhu musiman. Menurut Kordi (2012), suhu yang baik untuk kehidupan mangrove adalah tidak kurang dari 20oC. Sedangkan kisaran musiman suhu tidak melebihi 5oC. Menurut Nybakken (1988), suhu pada

ekosistem mangrove sangat bervariasi dibandingkan suhu perairan didekatnya. Hal tersebut terjadi karena pada ekosistem mangrove memiliki volume air lebih kecil sedangkan luas permukaannya lebih besar, sehingga pada kondisi atmosfer tertentu air pada ekosistem mangrove lebih cepat panas dan lebih cepat dingin. Alasan lain yang mendukung pernyataan tersebut adalah, karena adanya masukan air tawar pada ekosistem tersebut.

Hasil pengukuran suhu dari 6 stasiun menunjukkan suhu rata-rata berkisar antara 27,67oC 30,67oC. Suhu tertinggi didapatkan pada stasiun III yaitu sebesar

30,67oC dan suhu terendah didapatkan pada stasiun 1 yaitu sebesar 27,67oC. Terdapatnya variasi perbedaan suhu selama pengamatan disebabkan kondisi cuaca dan waktu pengamatan yang berbeda-beda pada masing-masing stasiun. Suhu perairan di setiap stasiun pengamatan masih tergolong normal untuk pertumbuhan dan perkembangan mangrove.

Gambar 8 Nilai suhu perairan di stasiun pengamatan Kabupaten Bolsel Salinitas

(43)

29.67

namun bila suplai air tawar tidak tersedia, hal ini menyebabkan kadar garam tanah dan air mencapai kondisi ekstrem sehingga mengancam kelangsungan hidupnya (Aksornkoae, 1993). Tumbuhan mangrove tumbuh subur di daerah estuaria dengan salinitas 10-30o/

oo . salinitas yang sangat tinggi (hypersalinity) misalnya ketika

salinitas air permukaan melebihi salinitas yang umum dilaut (±35o/oo) dapat

berpengaruh buruk pada vegetasi mangrove, karena dampak dari tekanan osmotik yang negatif. Akibatnya, tajuk mangrove semakin jauh dari tepian perairan secara umum menjadi kerdil dan berkurang komposisi spesiesnya (Khaula et al. 2008).

Gambar 9 Nilai salinitas perairan di stasiun pengamatan Kabupaten Bolsel Kisaran salinitas perairan selama pengamatan yaitu antara 9,10 – 29,67ᴼ/ᴼᴼ. Nilai salinitas terendah didapatkan dari stasiun 1V yaitu sebesar 9,10ᴼ/ᴼᴼ dan nilai salinitas tertinggi didapatkan dari stasiun I yaitu sebesar 29,67ᴼ/ᴼᴼ. Salinitas rendah

pada stasiun IV dikarenakan karena letak ekosistem mangrove yang berdekatan dengan muara sungai sehingga banyak mendapat pasokan air tawar. Kondisi perairan yang tawar tidak dapat mendukung pertumbuhan sehingga di stasiun IV itu banyak di tumbuhi mangrove jenis Nypa. Jenis vegetasi Nypa juga merupakan salah satu indikator perairan dengan kadar salinitas rendah. Salinitas tertinggi terdapat di stasiun I , dikarenakan letak ekosistem mangrove berdekatan dengan laut sehingga mendapat banyak pasokan air laut yang cukup, tinggi di sini dalam arti masih normal atau bisa ditoleransi untuk pertumbuhan mangrove sehingga di stasiun ini banyak di tumbuhi oleh Avicennia marina, Rhizophora apiculata dan mucronata, Sonneratia alba. Mangrove mengalami kerentanan jika salinitasnya terlalu tinggi yaitu >35ᴼ/ᴼᴼ. Selain itu terdapatnya perbedaan salinitas selama pengamatan disebabkan juga kondisi cuaca dan waktu pengamatan yang berbeda-beda. Berdasarkan dari hasil yang diperoleh dan mengacu pada KLH, maka kisaran salinitas di keenam stasiun masih tergolong baik.

pH (Derajat Keasaman)

(44)

Gambar 10 Nilai pH perairan di Stasiun Pengamatan Kabupaten Bolsel Kisaran pH selama pengamatan yaitu berkisar antara 7,27 – 8,07. Nilai ph tertinggi yaitu 8,07 di stasiun VI dan nilai pH terendah yaitu 7,27 di stasiun pengamatan IV. Berdasarkan dari hasil yang diperoleh dan mengacu pada KLH 2004, kisaran pH dari keenam stasiun di perairan ekosistem mangrove tergolong baik.

Kandungan Oksigen Terlarut (DO)

Oksigen terlarut sangat penting bagi eksistensi flora dan fauna mangrove (terutama dalam proses fotosintesis dan respirasi) dan percepatan dekomposisi serasah sehingga konsentrasi oksigen terlarut berperan mengontrol distribusi dan pertumbuhan mangrove. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan turut menentukan kualitas perairan, karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernafasan (respirasi) makhluk hidup dan proses oksidasi (Kusmana 1995).

(45)

stasiun pengamatan II sebesar 3,37 ppm dan kandungan oksigen terlarut tertinggi didapatkan dari stasiun pengamatan VI. Sesuai dengan baku mutu KLH (2004), pada stasiun I, II , dan V memiliki nilai oksigen terlarut yang rendah yang berarti tidak sesuai dengan baku mutu. Oksigen terlarut yang tidak sesuai dengan baku mutu sebagai indikator bahan pencemar yang masuk ke perairan. Di stasiun II berdekatan dengan pelabuhan (dermaga) kapal-kapal ikan maupun kapal barang pada tahun 2012, kawasan mangrove disitu tercemar dengan adanya pembuangan minyak dari kapal, serta aktivitas manusia yang membuang sampah baik sisa-sisa makanan, maupun sampah plastik itu sehingga menyebabkan kandungan Oksigen terlarut tidak sesuai dengan baku mutu. Sedangkan untuk stasiun I dan V, oksigen terlarut juga rendah karena aktivitas manusia juga melakukan penebangan pohon mangrove sehingga perairan ekosistem mangrove terganggu (Gambar 12).

Hasil pengukuran dan pengamatan dari keenam stasiun secara umum kondisi perairan ekosistem mangrove dalam keadaan baik, hanya saja parameter oksigen terlarut (DO) yang tidak sesuai dengan baku mutu diakibatkan pencemaran dari aktivitas masyarakat tersebut

Stasiun II

Stasiun I Stasiun V

Gambar 12 Kondisi Mangrove di stasiun pengamatan I, II dan V Kondisi Vegetasi Mangrove di Kabupaten Bolsel

(46)

Gambar 13 Penyebaran mangrove di Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan Berdasarkan peta penyebaran pada Gambar 13, terlihat bahwa mangrove tersebar di 4 Kecamatan, tetapi lokasi penelitian hanya terdapat di 3 Kecamatan. Kecamatan Pinolosian tidak dijadikan lokasi penelitian dikarenakan lokasi tersebut mangrove tidak mengalami gangguan karena tidak adanya interaksi dengan masyarakat sekitar, mangrove di Kecamatan Pinolosian bisa dikatakan terjaga sampai dengan saat ini.

Komposisi jenis mangrove yang terdapat di Kabupaten Bolsel pada umumnya di dominasi oleh famili Rhizophoraceae, Avicenniaceae, Sonneratiaceae, tetapi dari ketiga famili yang ditemukan tersebut, famili Rhizophoraceae yang paling banyak ditemukan. Hal ini disebabkan karena sebagian substrat yang ada pada lokasi penelitian didominasi oleh substrat berlumpur dan lumpur berpasir.

Tabel 10 Keberadaan jenis mangrove pada setiap stasiun pengamatan

Famili Jenis Mangrove Distribusi

I II III IV V VI Avicenniaceae Avicennia alba √ √ - - - √

Avicennia marina √ - - √ √ - Rhizophoraceae Bruguiera gymnorrhiza - √ √ √ √ √

Bruguiera cylindrica - - √ - - -

ceriops tagal - - √ √ √ -

Rhizophora stylosa - - √ - √ √

Rhizophora apiculata √ √ √ √ √ -

Rhizopora mucronata √ √ - √ √ √ Sonneratiaceae Sonneratia alba √ √ - √ √ √ Meliaceae Xylocarpus granatum - - - √ - -

Arecaceae Nypa fruticans - - √ √ - -

(47)

terlindung, memiliki kemampuan menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang surut, bahkan ditempat asin sekalipun karena jenis ini toleran terhadap salinitas yang tinggi (Rusila et al. 2006)

Gambar 14 Komposisi Mangrove di Stasiun I

Komposisi mangrove di Stasiun II paling banyak di dominasi dari famili Rhizophoraceae yaitu Rhizophora apiculata (29 %), Rhizopora muncronata (27%), dan Bruguiera gymnorrhiza (22%), paling sedikit komposisinya dari spesies Avicennia alba (6%), karena tipe substrat dari stasiun II yaitu berlumpur dan lumpur berpasir cocok bagi pertumbuhan mangrove dari famili Rhizophoraceae.

Gambar 15 Komposisi Mangrove di Stasiun II

Stasiun III, komposisi mangrove paling banyak yaitu spesies mangrove Ceriops tagal yaitu sebesar 40%. Tipe substrat pada stasiun ini berupa Liat, sehingga jenis spesies lain perkembangannya tidak terlalu banyak. Komposisi terendah yaitu Rhizophora stylosa yaitu 8%. Rhizophora stylosa lebih cocok dalam substrat lumpur dan pasir.

Rhizophora apiculata 18%

Rhizophora mucronata

27% Avicennia

alba9% Avicennia

marina 37%

(48)

Gambar 16 Komposisi Mangrove di Stasiun III

Di stasiun IV, komposisi mangrove paling banyak yaitu Rhizophora mucronata (26 %) dan paling sedikit penyusun mangrove di stasiun IV yaitu Avicennia marina (4 %). Lokasi stasiun IV ini berdekatan dengan muara sungai jadi Avicennia marina tidak cocok dengan lingkungan itu karena spesies Avicennia marina terdapat di pinggiran atau tumbuhan yang berdekatan dengan laut, dalam arti Avicennia marina menyukai habitat pasang surut dengan substrat pasir dengan patahan karang.

Gambar 17 Komposisi Mangrove di Stasiun IV

Komposisi mangrove di Stasiun V dan VI paling banyak ditumbuhi oleh famili Rhizophoraceae. Tipe substrat di kedua stasiun ini yaitu lumpur dan pasir. Di stasiun V yang paling banyak Bruguiera gymnorrhiza (31 %) dan paling sedikit yaitu Avicennia marina (7 %). Sedangkan di stasiun VI yang paling banyak yaitu Rhizophora mucronata (29%) dan paling sedikit Avicennia alba (12 %). Untuk lebih jelasnya bisa dilihat pada gambar 15 dan 16.

(49)

Gambar 18 Komposisi Mangrove di Stasiun V

Dari hasil pengamatan pada 6 stasiun pengamatan pada lokasi penelitian, total individu yang masuk dalam garis berpetak sebanyak 1,099 individu dengan perincian pada stasiun I 118 individu, stasiun II 205 individu, stasiun III 156 individu, stasiun IV 228 individu, stasiun V 201 individu, dan stasiun VI 190 individu, sebagaimana terlihat pada tabel 14, 15, 16, 17, 18, dan 19.

Gambar 19 Komposisi Mangrove di Stasiun VI

(50)

Tabel 11 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun I

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan 1. Rhizophora

Pada Tabel 14, bisa kita lihat bahwa stasiun IV memiliki jumlah individu yang paling banyak dari stasiun-stasiun yang lainnya yaitu 228 individu, jumlah individu yang banyak di stasiun IV dikarenakan distasiun ini tingkat kesadaran untuk tidak mengeksploitasi mangrove sudah tinggi, di stasiun ini masyarakatnya menggunakan mangrove tapi tidak dengan cara merusak, mereka menggunakan air dari jenis mangrove Nypa untuk pembuatan gula merah, prosesnya tidak merusak melainkan meningkatkan perekonomian mereka, karena sudah sebagai industri rumah tangga walaupun masih dalam skala kecil, dan distasiun ini sudah di berlakukan Peraturan Desa (Perdes) mengenai larangan penebangan mangrove.

Tabel 12 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun II

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan

1. Rhizophora apiculata 14 18 21 53

(51)

penyampaian larangan baru sebatas di acara-acara resmi yang ada di desa. Sedangkan untuk kategori anakan yang terkecil yaitu pada stasiun I yaitu sebanyak 53 individu, disebabkan karena tingkat eksploitasi oleh manusia yang cukup tinggi berupa eksploitasi untuk keperluan rumah tangga khususnya kayu bakar dan untuk pembuatan perahu dindikasikan dengan spesies S.alba yang komposisinya kecil dalam stasiun itu, karena yang dieksploitasi kebanyakan dari spesies S.alba.

Tabel 13 Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada stasiun III

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan

1. Rhizophora apiculata 4 19 12 35

2. Ceriops tagal 10 21 7 38

3. Rhizophora stylosa 2 8 20 30

4. Bruguiera cylindrica 3 13 9 25

5. Bruguiera gymnorrhiza

6 16 6 28

Total 25 77 54 156

Stasiun IV pada Tabel 14 memiliki jenis mangrove yang banyak jika dibandingkan dengan stasiun yang lainnya, di stasiun yang lain jenis mangrove hanya 5 atau 6 jenis saja. Stasiun IV juga banyak ditumbuhi Nypa fruticans, adanya jenis Nypa fruticans di stasiun IV mengindikasikan bahwa di kawasan ini suplai air tawar banyak, Nypa di stasiun IV memiliki luas 20-25 Ha.

Tabel 14 Jenis dan Jumlah Individu yang tersebar pada stasiun IV

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan

1. Rhizophora apiculata 9 13 28 50

2. Ceriops tagal 6 11 6 23

3. Rhizophora stylosa 4 6 11 21

4. Avicennia marina 3 - - 3

5. Sonneratia alba 8 9 7 24 6. Xylocarpus granatum - 7 14 21 7. Rhizophora

mucronata

17 19 23 59

8. Bruguiera gymnorrhiza

12 8 7 27

Total 59 73 96 228

(52)

Tabel 15 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun V

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan

1. Avicennia marina 4 10 5 19

Jenis mangrove yang mendominasi keenam stasiun adalah Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera gymnorrhiza, ketiga jenis yang mendominasi pada lokasi penelitian ini adalah dari famili Rhizophoraceae.

Tabel 16 Jenis dan jumlah individu yang tersebar pada stasiun VI

No Jenis Kategori Jumlah

Pohon Pancang Anakan

1. Rhizophora stylosa 15 12 20 47

Setelah dilakukan penarikan sampel dan pengamatan, dari keenam stasiun pengamatan didapatkan mangrove yang mempunyai jumlah individu terbesar yaitu pada stasiun IV dengan jumlah individu 228. Jumlah yang banyak pada stasiun IV ini disebabkan karena tingkat eksploitasi oleh masyarakat sekitar masih kurang , tingkat kesadaran masyarakat pada stasiun IV sudah tinggi dilihat dari kepedulian terhadap mangrove dengan tidak membuang sampah sembarangan, serta ikut mensosialisasikan tentang larangan penebangan mangrove, karena masyarakat di stasiun IV menggunakan mangrove dengan cara ramah lingkungan, tidak merusak. Mangrove yang jumlah individu sedikit yaitu pada stasiun I sebesar 118, karena pada stasiun itu tingkat eksploitasi manusia sangat tinggi dilihat dengan adanya bekas penebangan pohon mangrove untuk dijadikan kayu bakar dan bahan baku bangunan.

Kerapatan Jenis, Penutupan Jenis, Frekuensi Jenis dan Nilai Penting

(53)

terhadap biota yang menempati tempat ini dari faktor alam dan hewan predator. Hal ini membuat ekosistem mangrove sering digunakan sebagai tempat memijah dan mengasuh bagi berbagai organisme yang berasosiasi didalamnya. Menurut Simbala (2007) bahwa jenis yang memiliki nilai kerapatan dan frekuensi tertinggi merupakan kategori jenis yang memiliki kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Dibawah ini akan dibahas Kerapatan jenis, tutupan, frekuensi dan nilai penting dari mangrove di masing-masing stasiun.

Menurut Prasetyo (2007), spesies mangrove yang memiliki indeks nilai penting tinggi menandakan bahwa mangrove di kawasan tersebut dalam kondisi baik, sebaliknya spesies mangrove yang memiliki indeks nilai penting rendah berarti kawasan tersebut dalam kondisi rusak.

Stasiun I

Stasiun I memiliki 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia marina, Avicennia alba, dan Sonneratia alba. Keanekaragaman jenis di stasiun ini termasuk dalam kategori sedang, dimana kategori sedang berkisar 3-10 jenis. Lokasi ini sangat berdekatan dengan laut, jadi komposisi mangrovenya paling banyak Avicennia marina. Tingkat eksploitasi oleh masyarakat di stasiun ini cukup tinggi, masyarakat melakukan penebangan pohon mangrove untuk keperluan rumah tangga yaitu kayu bakar jenis mangrove yang ditebang biasanya dari jenis Sonneratia alba.

Tabel 17 Analisis vegetasi mangrove stasiun I No Jenis

Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh bahwa jumlah pohon pada stasiun I untuk semua jenis mangrove dalam ukuran transek 400 m2 ditemukan 22

pohon/400 m2, kemudian dikonversi ke hektar menjadi 550 pohon/ha (lihat Tabel

(54)

Sementara frekuensi relatif yang tertinggi yaitu jenis Rhizophora mucronata dan Avicennia marina keduanya memiliki frekuensi yang sama yaitu 27 %, frekuensi relatif yang terendah yaitu jenis Avicennia alba yaitu 9%, memiliki nilai frekuensi yang tinggi artinya jenis yang sering muncul dalam transek.

Berdasarkan nilai penutupan relatif jenis (RCi) untuk semua jenis, diperoleh

nilai tutupan pada stasiun I ini dalam kategori rusak sesuai dengan baku mutu KLH karena nilai tutupan semua jenis dibawah dari 50 % semua. Nilai tutupan tertinggi yaitu pada jenis Rhizophora mucronata 38,2% dan terendah jenis Rhizophora apiculata 7,2%.

Nilai Frekuensi relatif atau dikatakan sebagai nilai yang menggambarkan banyaknya suatu jenis atau yang sering muncul di lokasi penelitian. Nilai RFi tertinggi pada jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata dan terendah pada jenis Avicennia alba .

Nilai penting suatu jenis berkisar dari 0 – 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai peranan ataupun pengaruh suatu jenis mangrove pada suatu lokasi penelitian. Dari analisis data didapatkan bahwa jenis mangrove yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu jenis Rhizophora mucronata sebesar 85,90 dan terendah nilai penting jenis Rhizophora apiculata sebesar 43,25.

Stasiun II

Stasiun II memiliki 5 jenis mangrove yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Avicennia alba, Sonneratia alba dan Bruguiera gymnorrhiza. Keanekaragaman jenis di stasiun ini termasuk dalam kategori sedang, dimana kategori sedang berkisar 3-10 jenis. Lokasi stasiun II ini sama dengan stasiun I dekat dengan laut dibatasi dengan dermaga untuk kapal ikan dan kapal barang. Komposisi atau penyusun mangrove pada lokasi ini banyak dari jenis Rhizophora apiculata dan Rhizophora mucronata, sedangkan komposisi terkecil dari jenis Avicennia alba.

Tabel 18 Analisis vegetasi mangrove Stasiun II No Jenis

Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh bahwa jumlah pohon pada stasiun II untuk semua jenis mangrove dalam ukuran transek 500 m2 ditemukan 49

Gambar

Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3  Lokasi penelitian
Tabel 1  Variabel dan indikator penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penanaman bibit mangrove di sekitar hutan mangrove yang telah tumbuh secara aktual maupun pada areal yang baru yang mempunyai kondisi lingkungan sesuai dengan kriteria

Ekosistem pesisir Kota Tarakan diantaranya adalah hutan mangrove ( mangrove forests ), karang tepi ( fringging reefs ) padang lamun ( seagrass beds ), dan pantai berpasir (

Lokasi usaha dan permukiman yang terlalu dekat dengan ekosistem mangrove bahkan langsung memanfaatkan lahan mangrove menjadi salah satu pemicu rusaknya ekosistem hutan mangrove

TARGET OUTPUT RPI 2010-2014 M ODEL KELEMBAGAAN KONSERVASI DAN REHABILITASI EKOSISTEM MANGROVE DAN PANTAI S TATUS POTENSI DAN NILAI MANFAAT MANGROVE DAN EKOSISTEM PANTAI T

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Kajian Ekologi Ekosistem Mangrove untuk Rehabilitasi di Desa Tiwoho Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara Provinsi

bahwa dalam rangka menjamin keterkaitan dan konsistensi anggaran perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan anggaran tahun 2016 serta guna pelaksanaan ketentuan Pasal 26

Metode penelitian yang digunakan adalah metode line transect kuadrat yang telah dicatat pada form mangrove, diolah lebih lanjut untuk memperoleh data spesies, kerapatan

Berdasarkan hasil identifikasi terhadap seluruh nilai manfaat ekosistem hutan mangrove di Desa Dudepo yang terdiri atas manfaat langsung, manfaat tidak langsung,