• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove terpadu berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove terpadu berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

MANGROVE TERPADU BERKELANJUTAN DI

KABUPATEN BARRU SULAWESI SELATAN

AMRAN SARU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar – benarnya bahwa disertasi saya dengan judul : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan adalah benar – benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun.

Bogor, Maret 2007

(3)

ABSTRAK

AMRAN SARU. Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, dan SETYO BUDI SUSILO.

Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh stakeholders di Kabupaten Barru berbasis pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, seperti : areal perburuan beberapa jenis burung, penebangan hutan mangrove untuk bahan bangunan, konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi mangrove untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan tersebut diduga menimbulkan konflik kepentingan dan kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir, maka sangat diperlukan suatu penelitian tentang kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru.

Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove sudah sering dilakukan jauh sebelum Instruksi Menteri Pertanian nomor 13 tahun 1975, tentang pembinaan kelestarian hutan mangrove. Namun kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masih bersifat parsial. Sedangkan kajian ini dirancang dengan mengadopsi dan meramu metode analisis yang bersifat komprehensif korelasional, seperti : analisis ekologi hutan mangrove, valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove, kesesuaian pemanfaatan lahan, analisis SWOT untuk strategi pemanfaatan, dan analisis prioritas dengan bantuan software MAHP untuk mendukung analisis tersebut di atas, dilakukan pengumpulan data primer seperti : aspek ekologi mangrove, parameter biofisik ekosistem mangrove, dan data sosial ekonomi, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara ekologi daya dukung dan stabilitas ekosistem mangrove masih cukup baik, ekosistem mangrove di sepanjang pantai dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kegiatan budidaya tambak, penangkapan ikan, eksploitasi kayu, konsevasi dan rehabilitasi, secara ekonomi manfaat langsung ekosistem mangrove sebesar Rp. 30.512.882. Selanjutnya dilakukan analisis kesesuaian lahan pada setiap titik sampling dengan mangacu pada matriks kesesuian lahan yang baku, maka terdapat delapan bentuk kesesuaian pemanfaatan ekosistem mangrove, Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 jenis kegiatan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Barru, dengan skala prioritas dan persentase setiap alternatif, yaitu konservasi 23.79%, budidaya ikin/tambak 20.26%, wisata pantai 18.65%, pelabuhan 13.83%, industri 11.80% dan pemukiman 11.58%.

Hasil analisis prioritas merekomendasikan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupate Barru sebagai berikut : (a) ekosistem mangrove pada setiap kecamatan di Kabupaten Barru ditetapkan sebagai kawasan konservasi temasuk rehabilitasi dan ekowisata, (b) pemanfaatan untuk pengembangan wisata pantai dapat dilakukan di Kecamatan Mallusetasi, Balusu dan Kecamatan Barru, (c) pemanfaatan ekosistem mangrove untuk budidaya ikan/tambak dapat dilakukan di semua kecamatan di Kabupaten Barru dengan model pengembangan tambak tumpang sari (silvofishery), (d) pengembangan dan pembangunan pelabuhan dapat dilakukan disekitar areal mangrove khususnya di Kecamatan Soppengriaja dan Kecamatan Barru, (e) pengembangan kawasan industri hatchery dapat dilakukan di belakang mangrove di Kecamatan Mallusetasi dan Kecamatan Balusu, dan (f) sedangkan untuk pengembangan pemukiman dapat dilakukan di Kecamatan Balusu dan Barru.

(4)

ABSTRACT

AMRAN SARU. The Policy of Integrated Sustainable Utilization of Mangrove Ecosystem in Barru Regency, South Sulawesi. Under the supervision of FREDINAN YULIANDA, CECEP KUSMANA, and SETYO BUDI SUSILO.

The utilization of mangrove ecosystem by stakeholders in Barru Regency is based on individual or group interests, such as hunting birds, cutting mangrove trees for house construction, converting mangrove forest for aquaculture ponds and settlements, and exploiting mangrove for firewood. These activities have created conflict of interests and uncontrolled ecosystem destruction. Considering the ecological function of mangrove ecosystem and the stability of coastal ecosystem, it is highly crucial to conduct a research on policy analysis of integrated sustainable utilization of mangrove ecosystem, particularly in Barru Regency.

Scientific assessment towards management and utilization policy of mangrove ecosystem has long been carried out prior to the enactment of the Agricultural Minister’s Instruction No. 13/1975 on managing sustainable mangrove forest. However, nowadays the management and utilization policies of mangrove ecosystem have only been done partially. This study is designed to adopt an analytical method that is correlative comprehensive, such as mangrove ecology analysis, economic valuation of mangrove utilization, land utilization suitability, SWOT analysis for developing a strategy for mangrove utilization, and priority analysis using MAHP software. In order to support the analysis, the study carried out a primary data collection on mangrove ecology, biophysical characteristics of mangrove ecosystem, and social economy, as well as a secondary data collection that taken from respective institutions.

The study shows that the ecolo gical carrying capacity and stability of mangrove ecosystem are moderately good. Mangrove ecosystem along the coast has been utilized by the community for aquaculture, fishing, firewood, conservation, and rehabilitation. The economic valuation of direct utilization of mangrove ecosystem is Rp 30,512,882. The analysis of land suitability was carried out at each sampling site according to a standardized land suitability matrix, and resulted in eight types of suitability utilization of mangrove ecosystem. The study shows that there are six types of mangrove utilization in Barru Regency, in which each alternative has different priority scale and percentage, namely conservation 23.79%, fishery aquaculture 20.26%, coastal tourism 18.65%, seaport 13.83%, industry 11.80%, and settlements 11.58%.

The results of the priority analysis recommend that the utilization of mangrove ecosystem in Barru Regency is as follows: (a) mangrove ecosystem in each sub-district of Barru Regency is designated for conservation area including rehabilitation and ecotourism; (b) coastal tourism can be developed in Mallusetasi, Balusu and Barru Sub-districts; (c) fishery aquaculture can be built in all sub-districts of Barru Regency using a silvofishery model; (d) development of seaport can be done in Soppengriaja and Barru Sub-districts; (e) development of a hatchery industrial area can be situated in Mallusetasi and Balusu Sub-districts; and (f) settlements can be developed in Balusu and Barru Sub-districts.

(5)

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun,

(6)

KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM MANGROVE

TERPADU BERKELANJUTAN DI KABUPATEN BARRU

SULAWESI SELATAN

Amran Saru

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.

Nama : Amran Saru

NIM : C261040041

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. Ketua

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Sulistiono , M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.

(8)

PRAKATA

Puji dan Syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, oleh karena atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini sebagai tugas akhir program doktor.

Berbagai kendala dan hambatan yang penulis hadapi dalam upaya menyelesaikan karya ilmiah ini, mulai dari pencetusan ide yang dituangkan dalam bentuk sinopsis penelitian, prakolokium, penetapan judul oleh Komisi Akademik, sidang komisi, kolokium, prelim tertulis dan prelim lisan, pengambilan data lapangan, analisis data ekologi hutan mangrove, analisis data sosial, valuasi ekonomi ekosistem mangrove, analisis kesesuaian pemanfaatan lahan khususnya ekosistem mangrove, analisis penentuan kebijakan melalui analisis SWOT dan Analytical Hierarchy Process (software MAHP), hingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Kendala dan hambatan tersebut bisa teratasi berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh kanera itu penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang setulus – tulusnya dari lubuk hati yang paling dalam kepada : (1) Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc. sebagai pembimbing ketua; Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. dan Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc. masing – masing sebagai pembimbing anggota, yang banyak memberikan motivasi, saran, bimbingan dan arahan sehingga penulis dapat terinspirasi untuk menyelisaikan karya ilmiah ini sebagaimana mestinya, (2) Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA beserta staf Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Dr. Ir. Unggul Aktani, M.Sc (wali akademik), dan Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, MS. atas segala bantuan, upayah, arahan dan saran – sarannya untuk melengkapi tulisan ini, (3) Gubernur Sulawesi Selatan, bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Barru dan bupati kepala daerah tingkat dua Kabupaten Pinrang Provinsi Sulawesi Selatan beserta jajarannya, atas segala bantuan dan kemudahan yang diberikan selama penelitian. Ucapan terima kasih terkhusus kepada isteri tercinta Ny. Ariani Amran, S.St, anakda tersayang Imam Amriadi AS dan Amaliah Amriani, kedua orang tua H. Saharuddin dan Hj. Maniara, serta saudara – saudaraku atas doa, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanannya.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT, memberikan balasan yang setimpal atas segala kebaikan yang mereka berikan dalam proses penyelesaian disertasi ini, semoga karya ilmiah ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri, maupun para pencinta dan pemerhati lingkungan, walaupun penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, itu karena keterbatasan penulis.

Bogor, Maret 2007

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pinrang Sulawesi Selatan pada tanggal 24 September 1967 sebagai anak kedua dari pasangan H. Saharuddin dan Hj. Maniara. Tamat Sekolah Dasar (1981), Tamat Sekolah Menengah Pertama (1984), Tamat Sekolah Menengah Atas (1987) masing – masing di Kabupaten Pinrang. Sarjana Kelautan diraih dari Universitas Hasanuddin (1993), dan pendidikan Magister Ilmu Lingkungan Bidang Laut Dangkal dan Pantai diperoleh dari Pascasarjana Universitas Hasanuddin (2001). Diterima untuk melanjutkan Pendidikan Doktor Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan pada Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan biaya BPPS – DIKTI tahun 2004, penulis berhasil menyelesaikan pendidikan doktor tahun 2007.

Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1995 sampai sekarang, tugas tambahan yang pernah dipercayakan kepada penulis antara lain : kepala unit kapal penelitian Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (1999 – 2003), pembina kemahasiswaan Jurusan Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (2001 – 2004), dan anggota komisi disiplin Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (2002 – 2004).

Penulis aktif sebagai peserta maupun pemateri dalam berbagai seminar lokal, nasional, dan internasional. Aktif menulis beberapa karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal terakreditasi nasional, khususnya dalam bidang Ekologi dan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Selama mengikuti program doktor, penulis telah menyelesaikan karya ilmiah berjudul ”Analisis Ekosistem Mangrove dengan Pendekatan Model Ekologi di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan” yang telah disampaikan pada seminar nasional hasil – hasil penelitian di bidang perikanan dan kelautan di Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 20 – 21 Pebruari 2006. Sebuah artikel dengan judul ”Stabilitas Ekosistem pada Berbagai Bentuk Pemanfaatan Mangrove dengan Indikator Makrozoobentos di Kabupaten Barru” akan diterbitkan pada Jurnal Torani edisi Desember 2006. Karya ilmiah tersebut di atas merupakan bagian dari data dalam disertasi ini yang ditulis secara terpisah. Penghargaan Indeks Prestasi Akademik 4.0 pada semester awal 2004/2005 dari Direktur Pascasarjana Institut Pertanian Bogor mencerminkan keseriusan penulis dalam mengikuti jenjang pendidikan doktor.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERNYATAAN ... i

ABSTRACT... ii

HAK CIPTA ... iii

HALAMAN JUDUL ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PRAKATA... vi

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan dan Manfaat ... 7

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 8

1.5 Hipotesis ... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove ... 11

2.2 Komposisi Jenis Mangrove ... 11

2.3 Zonasi Mangrove ... 12

2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove ... 13

2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ... 15

2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove ... 15

2.7 Faktor – Faktor Lingkungan ... 16

2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi ... 16

2.9 Konsep pengukuran Nilai Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 17

2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu... 19

2.11 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berkelanjutan ... 20

(11)

2.13 Analisis SWOT ... 26

2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA) ... 26

2.15 Kerangka Pemikiran... 30

III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

3.1 Waktu dan Tempat ... 33

3.2 Penentuan Stasiun ... 34

3.3 Pengambilan Data ... 34

3.3.1 Pengambilan Data Mangrove ... 34

3.3.2 Pengambilan Data Biofisik ... 35

3.3.3 Pengambilan Data Sosial Ekonomi Masyarakat ... 35

3.4 Analisis Sampel ... 37

3.5 Analisis Data ... 37

3.5.1 Analisis Vegetasi Mangrove ... 39

3.5.2 Analisis Organisme ... 40

3.5.3 Analisis Ekonomi ... 40

3.5.4 Kuantifikasi Seluruh Manfaat dan Fungsi ke dalam Rupiah ... 41

3.5.5 Kriteria Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangove ... 42

3.5.6 Analisis Spasial ... 46

3.5.7 Analisis Penentuan Kebijakan Pemanfaatan Mangrove ... 49

3.5.7.1 Analisis SWOT ... 49

3.5.7.2 Proses Hirarki Analisis (PHA/AHP )... 50

3.5.7.3 Analisis A’WOT ... 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian... 56

4.1.1 Batasan Wilayah Penelitian ... 57

4.1.2 Geologi dan Geomorfologi Pantai ... 58

4.1.3 Dinamika Pantai ... 59

4.1.4 Parameter Lingkungan ... 61

4.2 Ekosistem Mangrove ... 63

4.2.1 Komposisi Jenis dan Kerapaten Mangrove ... 63

4.2.2 Organisme yang Berasosiasi ... 76

4.2.2.1 Makrozoobentos... 76

(12)

4.2.2.3 Burung dan Mamalia... 79

4.3 Kondisi Sosial Budaya ... 80

4.3.1 Penduduk ... 80

4.4 Kondisi Ekonomi ... 82

4.4.1 Valuasi Ekonomi Ekosistem Mangrove ... 85

4.4.1.1 Manfaat Langsung... 86

4.5 Kesesuaian Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ... 94

4.5.1 Kecamatan Mallusetasi ... 97

4.5.2 Kecamatan Soppengriaja... 99

4.5.3 Kecamatan Balusu... 101

4.5.4 Kecamatan Barru... 103

4.6 Konsep keterpaduan pemanfaatan ekosistem mangrove ... 105

4.7 Strategi Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ... 109

4.7 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove ... 116

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 133

5.1 Kesimpulan ... 133

5.2 Saran... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 135

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan... 24

2. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk ... 43

3. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ... 43

4. Matriks kesesuaian lahan unt uk kawasan pariwisata pantai ... 44

5. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan industri ... 44

6. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya ikan/ tambak ... 45

7. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum... 45

8. Standar matriks kombinasi SWOT ... 50

9. Skala banding berpasangan oleh Saaty ... 52

10. Standarisasi nilai (Random Indeks)... 54

11. Kondisi topografi dan kemiringan lereng Kabupaten Barru ... 56

12. Stasiun pengamatan dan luas wilayah penelitian dirinci berdasarkan kecamatan dan desa/kelurahan ... 57

13. Penyebaran geologi Kabupaten Barru ... 59

14. Kondisi parameter oseanogafi di sekitar ekosistem mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru ... 60

15. Data hasil pengamatan kualitas air di sekitar ekosistem mangrove pada lokasi penelitian ... 62

16. Kondisi parameter sedimen/substrat ekosistem mangrove di beberapa kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru ... 62

17. Rekapitulasi areal ekosistem mangrove di setiap kecamatan dan desa/kelurahan di Kabupaten Barru ... 64

18. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi ... 65

19. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi... 66

20. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja ... 68

21. Indeks nilai penting jenis mangrove di kecamatan Soppengriaja ... 70

22. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Balusu ... 72

23. Indeks nilai penting jenis mangrove di Kecamatan Balusu ... 72

24. Kerapatan jenis mangrove di Kecamatan Barru ... 74

(14)

27. Jumlah rumah tangga nelayan dan petani tambak disetiap kecamatan ... 83

28. Estimasi responden berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan... 84

29. Rekapitulasi analisis valuasi ekonomi pemanfaatan ekosistem mangrove 87 30. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Mallusetasi ... 97

31. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Soppengriaja... 99

32. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Balusu... 101

33. Parameter lingkungan ekosistem mangrove di Kec. Barru... 103

34. Analisis konsep keterpaduan kegiatan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru ... 107

35. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen internal SWOT ... 110

36. Hasil analisis dari akumulasi pendapat responden untuk komponen eksternal SWOT ... 111

37. Matriks SWOT untuk menentukan strategi pemanfaatan ekosistem mangrove ... 113

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove ... 7

2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove 9 3. Salah satu tipe zonasi hutan ma ngrove yang umum ditemukan di Indonesia ... 13

4. Nilai total ekonomi mangrove ... 18

5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan ... 25

6. Skema kerangka pemikiran penelitian ... 32

7. Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan... 33

8. Bagan transek cuplikan vegetasi mangrove di lapangan ... 35

9. Skema rincian pengambilan sampel dari jumlah populasi... 36

10. Alur analisis data untuk menentukan kebijakan pemanfaatan mangrove di Kabupaten Barru ... 38

11. Diagram alur penyusunan basis data ... 47

12. Diagram alur metode analisis spasial ... 48

13. Rangkaian kerja analisis SWOT ... 49

14. Proses Hirarki A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan ... 55

15. Peta sebaran mangrove Kecamatan Mallusetasi Kab. Barru ... 67

16. Peta sebaran mangrove Kecamatan Soppengriaja Kab. Barru... 69

17. Peta sebaran mangrove Kecamatan Balusu Kab. Barru... 71

18. Peta sebaran mangrove Kecamatan Barru Kab. Barru... 75

19. Grafik analisis kelimpahan makrozoobentos di empat kecamatan di Kab. Barru ... 77

20. Grafik analisis keanekaragaman makrozoobentos di empat kecamatan di Kabupaten Barru ... 78

21. Rekapitulasi penduduk pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ... 81

22. Rekapitulasi penduduk berdasarkan jenis kelamin pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ... 81

(16)

24. Jumlah rumah tangga penduduk yang berpropesi sebagai nelayan pada

setiap kecamatan di lokasi penelitian... 84

25. Jumlah alat tangkap yang digunakan oleh nelayan pada setiap kecamatan di lokasi penelitian ... 85

26. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Mallusetasi ... 98

27. Peta kesesuaian la han untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Soppengriaja ... 100

28. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Balusu ... 102

29. Peta kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ekosistem hutan mangrove di Kecamatan Barru ... 104

30. Keterpaduan konsep dan alternatif pemanfaatan ekosistem mangrove .. 108

31. Hasil analisis matriks SWOT dengan kombinasi faktor internal dengan faktor eksternal... 112

32. Kebijakan pemanfaatan ekosistem hutan mangrove dengan komponen prioritas SWOT ... 116

33. Prioritas dan persentasi komponen strength ... 118

34. Prioritas dan persentasi komponen weakneses ... 119

35. Prioritas dan persentasi komponen opportunity... 120

36. Prioritas dan persentasi komponen treaths ... 121

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Posisi stasiun pengamatan pada masing- masing kecamatan dan desa/

kelurahan ... 142

2. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Mallusetasi ... 143

3. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Soppengriaja ... 150

4. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Balusu ... 158

5. Data komposisi jenis mangrove di Kecamatan Barru ... 163

6. Analisis komposisi jenis, kelimpahan dan keanekaragaman jenis Makro- zoobentos yang ditemukan pada ekosistem mangrove Kabupaten Barru selama penelitian... 170

7. Jenis ikan yang ditemukan di setiap stasiun pengamatan di Kab. Barru .. 175

8. Jenis burung yang ditemukan pada setiap stasiun di lokasi penelitian ... 177

9. Analisis manfaat langsung produk kayu dari ekosistem mangrove ... 179

10. Analisis manfaat langsung produk arang dari ekosistem mangrove ... 180

11. Analisis manfaat langsung bibit mangrove dari ekosistem mangrove ... 180

12. Analisis manfaat langsung penangkapan burung dari ekosistem mangrove 181 13. Analisis manfaat langsung penangkapan kelelawar ... 181

14. Analisis manfaat langsung penangkapan ikan dari ekosistem mangrove 182

15. Analisis manfaat langsung penangkapan udang dari ekosistem mangrove 183 16. Analisis manfaat langsung penangkapan kepiting dari mangrove ... 184

17. Analisis manfaat langsung pengambilan kerang dari mangrove ... 185

18. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak polikultur ikan dan bandeng 186 19. Analisis valuasi ekonomi manfaat tambak monokultur ... 187

20. Hasil survei dan Analisis dengan menggunakan SWOT dan AHP (A’WOT) terhadap responden selama penelitian ... 189

(18)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar 27 % atau sekitar 4.293 juta ha berada di Indonesia (Kusmana 1995). Namun demikian luas hutan mangrove di Indonesia terus menyusut, hal ini sesuai dengan hasil penapsiran potret udara dan survei lapangan, yang menyatakan bahwa luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 sekitar 4.251.011 ha (Direktorat Bina Program 1982). Hasil penapsiran 1991 dari Citra Landsat MSS liputan tahun 1986 – 1991 (luas areal liputan hutan 150 juta ha) dan data referensi lainnya seperti peta RePProt, data SPOT dan potret udara yang dilakukan (Intag 1993), luas hutan mangrove di seluruh wilayah Indonesia diperkirakan seluas 3.735.250 ha, artinya bahwa luas mangrove di Indonesia telah mengalami degradasi sekitar 13 % atau sekitar 515.761 ha dalam waktu kurang lebih 11 tahun.

Luas ekosistem mangrove yang terdapat di Sulawesi Selatan pada tahun 1982 sekitar 66.000 ha, kemudian pada tahun 1993 mengalami penambahan sekitar 57.6 % (sekitar 104.030 ha). Sedangkan hasil pemantauan terakhir (Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan 1994), bahwa eksploitasi hutan mangrove di Sulawesi Selatan sekitar 75 % atau sekitar 78.022 ha, umumnya tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan kondisi ekologis hutan mangrove. Dari 78.022 ha luas hutan mangrove yang telah dieksploitasi, sekitar 40.000 ha atau sekitar 38 % dikonversi jadi tambak, sedangkan sekitar 38.022 ha atau sekitar 37 % dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti : kayu bakar, bahan industri, dan kebutuhan lainya. Hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi lahan tambak berdasarkan estimasi hanya 30 % yang berfungsi produktif sedangkan sisanya terlantar dan selalu mengalami pengikisan oleh ombak karena tidak adanya reboisasi atau penanaman kembali pada areal tambak hasil konversi yang tidak produktif. Oleh karena itu, kondisi hutan mangrove di Sulawesi Selatan sangat memprihatinkan termasuk di Kabupaten Barru.

(19)

daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground). Secara ekonomis ekosistem mangrove dapat dijadikan sebagai areal budidaya, penangkapan, obyek wisata, dan sumber kayu bagi masyarakat. Selain hal tersebut di atas, mangrove merupakan salah satu hutan alamiah yang unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang cukup tinggi, dapat menghasilkan bahan dasar untuk keperluan rumah tangga dan industri seperti : kayu bakar, arang, kertas, dan rayon yang dalam konteks ekonomi mengandung nilai komersial tinggi. Mengacu pada realitas tersebut di atas, maka akan dicari suatu solusi atau strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, yang diharapkan menghasilkan suatu konsep baru untuk menjadi acuan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru.

(20)

kewenangan pemerintah daerah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom, maka selain undang – undang dan peraturan pemerintah tersebut di atas, pemerintah daerah juga telah melakukan langkah – langkah antisipasi guna mempertahankan hutan mangrove tersebut melalui : Perda Nomor 23 tahun 2001, tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai dan Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove dan Kawasan Lindung. Laporan Akhir Zonasi dan Manajemen Pengelolaan Wilayah Laut Kabupaten Barru 2003, menyarankan hutan bakau (hutan mangrove) sebagai zona lindung dan kawasan konservasi. Namun demikian hingga saat ini masyarakat masih tetap melakukan aktifitasnya yang cenderung merusak dan berdampak negatif terhadap ekosistem mangrove tersebut, hal ini diduga terjadi karena peraturan yang ditetapkan pemerintah daerah belum mengakomodir berbagai kepentingan stakeholders dalam optimalisasi pemanfaatan ekosistem mangrove dan menentukan secara jelas zonasi pemanfatan yang spesifik berdasarkan zonasi potensi dan sumberdaya ekosistem mangrove.

Pola pemanfaatan ekosistem mangrove yang selama ini dilakukan masyarakat di Kabupaten Barru berbasis pada kepentingan individu atau kelompok tertentu, baik dari pihak swasta maupun pemerintah dalam pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru, seperti : areal perburuan beberapa jenis burung, penebangan hutan mangrove untuk baha n bangunan, konversi hutan mangrove menjadi areal budidaya tambak dan pemukiman, dan mengeksploitasi hutan mangrove untuk dijadikan sebagai kayu bakar. Akibat dari kegiatan tersebut dapat menimbulkan konflik kepentingan di wilayah pesisir dan lautan khususnya di Kabupaten Barru. Dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan masyarakat tersebut yang cenderung melakukan pengrusakan, yaitu timbulnya kerusakan ekosistem yang tidak terkendali. Mengingat fungsi ekologi ekosistem mangrove dan stabilitas ekosistem pesisir Kabupaten Barru, maka sangat diperlukan suatu penelitian tentang pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan untuk menentukan pendekatan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove khususnya di Kabupaten Barru.

(21)

mangrove. Kajian ilmiah tentang kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang telah dilakukan selama ini, meliputi : (1) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara nasional dengan pendekatan komprehe nsif kuantitatif, (2) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan ekologi- ekonomi secara kualitatif/statistik ekologi, (3) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan zonasi dan potensi dengan alat bantu GIS (geography information system) dan Inderaja (peninderaan jarak jauh), (4) analisis kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process, (5) kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dengan pendekatan SWOT dan AHP. Sedangkan pada kajian ini, akan dilakukan dengan mengadopsi dan meramu beberapa metode tersebut di atas menjadi suatu bentuk metode analisis yang bersifat komprehensif korelasional, untuk menentukan suatu bentuk kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove secara spesifik di Kabupaten Barru dan diharapkan dapat diadopsi di daerah lain yang mempunyai kondisi dan kemiripan ekosistem mangrove yang relatif sama.

1.2 Perumusan Masalah

Kabupaten Barru masih memiliki ekosistem mangrove yang cukup stabil, walaupun telah banyak mengalami degradasi yang cukup berat akibat pemanfaatan lahan yang tidak terencana dan terkendali. Pada bagian daratan dijumpai perkampungan penduduk, perkebunan dan pertambakan, sedangkan pada bagian pantai dan laut dijumpai adanya ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun, dan ekosistem terumbu karang. Kondisi inilah yang sangat membutuhkan perhatian dari seluruh stakeholders agar kelestarian dan kestabilan ketiga ekosistem dapat dipertahankan, karena kerusakan salah satu ekosistem di daerah pantai akan mempengaruhi ekosistem lainnya, misalnya terjadi pengrusakan pada ekosistem mangrove maka jelas akan ikut mempengaruh kestabilan ekosistem padang lamun dan terumbu karang, sehingga ekosistem mangrove memegang peranan yang sangat penting khususnya di wilayah pesisir dan laut.

(22)

masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya tanpa menghiraukan kelestarian ekosistem. Oleh karena itu sebelum ekosistem mangrove mengalami kerusakan yang cukup parah, maka sejak dini perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat, pemerintah, maupun kelompok lainnya yang terlibat dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove tersebut, agar ekosistem tetap terjaga dan terpelihara pada suatu tatanan ekologis (Gambar 1). Apabila tidak ada upaya antisifasi dan alternatif kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru atau sebaliknya, maka ancaman yang akan terjadi yaitu : (1) ancaman yang ditemukan terhadap ekosistem mangrove di lokasi penelitian yaitu : peningkatan konversi hutan mangrove menjadi tambak, peningkatan konversi mangrove menjadi pemukiman, penebangan liar untuk bahan bangunan, kayu bakar, sarana budidaya dan penangkapan meningkat, kerusakan ekosistem mangrove dan ancaman terhadap hilangnya habitat berbagai jenis organisme, (2) ancaman terhadap garis pantai yaitu : terjadinya peningkatan abrasi di pesisir barat Kabupaten Barru, semakin luas daratan utama akan mengalami degradasi dan berkurang, sehingga menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai, mengakibatkan kerusakan pada ekosistem padang lamun dan terumbu karang, terjadinya intrusi (perembesan) air laut ke daratan utama dan berkurangnya persedian air tanah, (3) ancaman terhadap organisme (fauna) yang berasosiasi, hilangnya spesies organisme seperti : ikan glodok (Periopthalmus spp), ikan baronang (Siganus sp), hilangnya spesies burung ya ng seperti : burung bangau (Ciconiidae), hilangnya spesies mamalia seperti : kelelawar (Pteropus spp), kelimpahan, keanekaragaman, distribusi organisme menurun.

(23)

ditekan dan dihindari, dan pemanfaatan ekosistem mangrove tetap dalam pengawasan dan kontrol pemerintah, sehingga tidak terjadi over eksploitasi.

Berdasakan data yang tersedia baik survei di lapangan maupun hasil dari beberapa penelitian, menunjukkan bahwa Kabupaten Barru masih memiliki kondisi perairan yang baik dan ekosistem mangrove yang cukup stabil. Untuk dapat mempertahankan hal tersebut di atas, perlu dilakukan suatu analisis secara integral yang berbasis pada kondisi ekosistem mangrove dan sosial ekonomi masyarakat, sehingga dapat menentukan kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove. Kondisi ini dapat dicapai dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah agar menggunakan suatu strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove berbasis pada parameter ekologi mangrove, biofisik lingkungan dan sosial ekonomi. Oleh karena itu ada beberapa permasalahan yang harus diselesaikan dalam rangka pencapaian dan aktualisasi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove sebaga i berikut :

a. Apakah sumberdaya ekosistem mangrove yang telah dieksploitasi oleh stakeholders masih dalam kondisi yang stabil, bila ditinjau dari aspek ekologi dan sosial ekonomi ?

b. Bagaimana tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove yang dilakukan oleh stakeholders terutama masyarakat ditinjau dari aspek ekologi dan biofisik lingkungan ?

c. Sejauhmana pendekatan kelayakan kawasan seraca spesifik dilakukan dalam rangka pemanfaatan ekosistem mangrove ?

(24)

Lama Baru/Solusi

Gambar 1. Diagram permasalahan pemanfaatan ekosistem mangrove.

1.3 Tujuan dan Manfaat

1.3.1 Tujuan

a. Mengetahui kondisi ekosistem, perilaku dan interaksi masyarakat terhadap ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.

b. Untuk mengetahui tingkat degradasi dan eksploitasi ekosistem mangrove berdasarkan kondisi ekologis dan sosial ekonomi.

c. Untuk membuat zonasi pemanfaatan secara spesifik ekosistem mangrove berdasarkan klasifikasi potensi dan sumberdaya mangrove.

d. Merekomendasikan konsep kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan (sustainable) di Kabupaten Barru.

Potensi Sumberdaya • Proses pengumpula dan

analisis data secara parsial

• Proses pengumpulan data secara partisivatif dengan analisis data secara terpadu dan komprehensif

• Metodologi digunakan secara komprehensif korelasional (akumulasi beberapa metode)

• Zonasi pemanfaatan secara terpadu antara sektor

(25)

1.3.2 Manfaat

a. Memberikan informasi dan pengetahuan bagi stakeholders dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelajutan.

b. Untuk mengembangkan strategi kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove ditinjau dari aspek ilmu pengetahuan dan teknologi.

c. Dapat memformulasikan suatu bentuk kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian difokuskan pada strategi pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan, sehingga parameter ekosistem mangrove yang akan di ukur dibatasi pada :

a. Parameter sumberdaya mangrove yaitu : Kerapatan jenis dan kerapatan relatif jenis mangrove, penutupan jenis dan penutupan relatif jenis, frekuensi jenis dan frekuensi relatif jenis, dan indeks nilai penting.

b. Parameter biofisik yaitu : Biodivesrsity organisme yang berasosiasi, geomorpologi pantai, iklim, curah hujan, angin, pasang surut, gelombang dan arus, suhu, salinitas, oksigen terlarut, nutrien (N dan P), pH, Eh, dan substrat.

(26)

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan analisis yaitu : (1) analisis ekosistem mangrove dan analisis sosial ekonomi, (2) analisis kesesuaian lahan, dan (3) analisis SWOT dan AHP seperti yang disajikan pada Gambar 2.

I

Analisis SDA Ekosistem Mangrove Analisis Sosial Masyarakat Analisis Valuasi Ekonomi

III Analisis Prioritas Pemanfaatan Mangrove

(A’WOT) II

Analisis Kesesuian Lahan utk Pemanfaatan Mangrove

(Software Arcview ver 3.2)

IV

KEBIJAKAN PEMANFAATAN EKOSISTEM HUTAN MANGROVE

TERPADU BERKELANJUTAN

Gambar 2. Tahapan analisis penelitian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove

1.5 Hipotesis

(27)

a. Sumberdaya ekosistem mangrove secara ekologi dan sosial ekonomi telah mengalami gangguan dan penurunan stabilitas ekosistem akibat perilaku dan interaksi stakeholders dalam pemanfaatan ekosistem mangrove yang tidak terkendali.

b. Degradasi dan eksploitasi hutan mangrove di lokasi penelitian cenderung mengalami peningkatan berdasarkan indikator ekologis dan biofisik lingkungan, sehingga areal hutan mangrove akan mengalami tekanan yang memungkinkan hilangnya kawasan jalur hijau.

c. Potensi ekosistem mangrove ditinjau dari aspek kelayakan ekologis dan sosial ekonomi masyarakat, maka ekosistem mangrove di lokasi penelitian dapat dimanfaatkan untuk kawasan : konservasi, budidaya, pariwisata pantai, pelabuhan, industri dan areal penangkapan.

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Ekosistem Mangrove

Beberapa ahli mendefinisikan istilah ”mangrove” secara berbeda-beda, namun pada dasarnya merujuk pada pengertian yang sama. Tomlinson (1986) dan Wightman (1989) mendefinisikan mangrove sebagai vegetasi yang terdapat di daerah pasang surut sebagai suatu komunitas. Hutan pasang surut atau hutan payau lebih dikenal dengan nama hutan mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh sangat dipengaruhi oleh kadar garam serta adanya aliran sungai yang berair tawar, sehingga pada umumnya hutan mangrove berada di muara - muara sungai di tepi pantai yang cukup terlindung oleh hempasan gelombang dan angin laut yang deras (Darsidi 1984). Definisi lain diberikan oleh Soerianegara (1987), bahwa hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada tanah berlumpur aluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut dengan beberapa genera atau spesies yaitu Avicennia sp, Sonneratia sp, Rhizophora sp, Bruguiera sp, Ceriops sp, Lumnitzera sp, Excoecaria sp, Xylocarpus sp, Aegicveras sp, Scyphyphora dan Nypa sp.

Menurut Nybakken (1988) hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Hutan mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dengan genangan air secara berkala dan menerima pasokan air tawar yang cukup. Hutan mangrove sering juga disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Akan tetapi, mangrove sudah ditetapkan sebagai nama baku untuk hutan pantai. Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas tumbuh di sepanjang pantai dan muara sungai dipengaruhi oleh pasang surut (Bengen 2002).

2.2 Komposisi Jenis Mangrove

(29)

moluccensis, Rhizophora apiculata, R. mucronata, R. stylosa, Bruguiera

cylindrical, B. gymnorrhiza, B. farvaiflora, B. sezangula, Ceriops tagal,

Sonneratia alba, S. caseolaris, dan S. ovata (Whitten 1988). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan (2003) di Kabupaten Barru telah ditemukan 4 jenis mangrove yaitu : Rhizophora apiculata, R. mucronata, Avicennia officinalis, dan Bruguiera sp. dengan pola zonasi campuran.

2.3 Zonasi Mangrove

Zonasi adalah kondisi dimana kumpulan vegetasi yang saling berdekatan mempunyai sifat atau tidak ada sama sekali jenis yang sama walaupun tumbuh dalam lingkungan yang sama dimana dapat terjadi perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan nyata di antara kumpulan vegetasi. Selanjutnya perubahan vegetasi tersebut dapat terjadi pada batas yang jelas atau tidak jelas atau bisa terjadi bersama – sama (Anwar et al. 1984).

(30)

tanah, salinitas, frekuensi genangan oleh pasang surut, dan ketahanan suatu jenis terhadap terpaan gelombang dan arus (Anwar et al. 1984).

Gambar 3. Salah satu tipe zonasi hutan mangrove yang umum ditemukan di Indonesia (Bengen 2002).

2.4 Fungsi dan Manfaat Mangrove

Berdasarkan Kusmana (2003) bahwa fungsi hutan mangrove dibagi atas tiga yaitu : (a) fungsi fisik, dapat melindungi lingkungan pengaruh oseanografi (pasang surut, arus, angin topan, dan gelombang), mengendalikan abrasi, dan mencegah intrusi air laut ke darat; (b) fungsi biologi, sangat berkaitan dengan perikanan yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) dari beberapa jenis ikan, udang dan merupakan pensuplay unsur – unsur hara utama di pantai khususnya daerah lamun dan terumbu karang; (c) fungsi ekonomi, sebagai sumber kayu kelas satu, bubur kayu, bahan kertas, chips, dan arang. Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem peralihan antara daratan dan lautan yang menjadi matarantai yang sangat penting dalam pemeliharaan keseimbangan siklus biologi di sua tu perairan, tempat berlindung dan memijah berbagai jenis udang, ikan, berbagai biota laut lainnya, dan juga merupakan habitat satwa seperti burung, primata, reptilia, insekta, sehingga secara ekologis dan ekonomis dapat dimanfaatkan untuk peningktan kesejahtraan manusia (Sugandhy 1993).

(31)

dan mengolah bahan limbah, (2) secara biologis, merupakan tempat pemijahan dan pembesaran benih – benih ikan, udang dan kerang – kerangan, tempat bersarang dan mencari makan burung – burung, dan habitat alami bagi kebanyakan biota, (3) secara ekonomi, merupakan salah satu daerah pesisir yang cocok untuk tambak, tempat pembuatan garam, rekreasi, dan produksi kayu. Sedangkan Sumana (1985) membagi fungsi dan manfaat hutan mangrove sebagai berikut : (1) secara fisik ekologi, secara fisik hutan mangrove merupakan pelindung hutan daratan yang banyak dihuni oleh berbagai jenis biota perairan serta beberapa jenis satwa. Zona pesisir bervegetasi hutan mangrove bagi daratan, merupakan filter intrusi air laut dan polusi industri yang mengeluarkan limbah logam berat yang dapat menggagu kehidupan masyarakat manusia dan hewan. Vegetasi mangrove dengan tajuk dan perakarannya yang khas, secara fisik mampu menahan dan melindungi daratan dari pengaruh gelombang, arus air dan angin yang dapat menyebabkan topan, banjir dan erosi daratan, (2) secara biologis, dalam sistem mata rantai makanan hutan mangrove merupakan produsen primer, energi hidup melalui serasah dihasilkannya, serasah mangrove yang telah mengalami proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme akan menghasilkan detritus dan berbagai jenis fitoplankton yang akan dimangsa oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan, dan krustacea (udang, kepiting, kerang – kerangan), selanjutnya manusia sebagai konsumer utama, (3) secara sosial ekonomi, hasil hutan mangrove berupa kayu digunakan untuk keperluan industri chips, pull, kertas, penyamak kulit, bahan bangunan, dan arang. Ekspor kayu di wilayah hutan mangrove cukup memberikan andil dalam perolehan devisa negara walaupun hanya ada dua spesies saja yang memenuhi selera konsumen yaitu : Rhizophora spp dan Bruguiera spp.

(32)

(Brotonegoro dan Abdulkadir 1978). Sedangkan Lugo dan Suhendar (1974) melaporkan bahwa dalam satu hektar lahan mangrove dapat menghasilkan serasah sekitar 7.1 – 8.8 ton per tahun, produksi serasah tersebut dapat meningkatkan produktivitas perairan dan produksi perikanan mengingat fungsi mangrove sebagai tempat bertelur, pemijahan dan mencari makan bagi kebanyakan organisme perairan, juga membuka peluang adanya pengembangan pertambakan ikan, udang, kepiting bagi pengusaha dan masyarakat yang bermuara pada peningkatan devisa negara sektor non- migas.

2.5 Pengelolaan dan Pemanfaatan ekosistem Mangrove

Menurut Bengen (2001) pengembangan dan kegiatan insident il yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pemanfaatan sebagai berikut : (a) memelihara dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air, proses - proses seperti sedimentasi berlebihan, erosi, pengendapan sampai perubahan sifat kimiawi (kesuburan) harus dapat dihindari, (b) menjaga kelangsungan pola-pola alamiah, skema aktivitas sirkulasi pasut dan limpasan air tawar, (c) memelihara pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah, pengurangan air tawar akibat perubahan aliran, pengambilan atau pemompaan air tanah seharusnya tidak dilakukan apabila menggagu keseimbangan salinitas di lingkungan pesisir, (d) menetapkan batas maksimum seluruh hasil panen yang dapat diproduksi, (e) pada daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memliki rencana penanggulangannya, (f) menghindari semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan areal mangrove.

2.6 Penyebab Kerusakan Mangrove

(33)

kaitannya dengan konversi lahan mangrove menjadi tambak dan penebangan untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove (Nybakken 1988).

2.7 Faktor – Faktor Lingkungan

Walter (1971) me nyatakan bahwa ada tiga faktor lingkungan yang penting dalam menentukan mintakat hutan mangrove yang terus – menerus mempengaruhi perubahan, persaingan, dan kepadatan individu yaitu : frekuensi dan lamanya genangan air pasang, komposisi tanah atau substrat (berpasir atau berlumpur), salinitas atau tingkat percampuran air tawar dan konsentrasi air payau di muara sungai.

Pola pertumbuhan mangrove termasuk didalamnya struktur, fungsi, komposisi dan distribusi spesies yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove tersebut sangat tergantung pada faktor lingkungan diantaranya : fisiografi pantai, iklim (cahaya, musim, dan suhu), pasang surut, gelombang dan arus, salinitas, oksigen terlarut (disolved oxygen), tanah, nutrien, dan proteksi (Kusmana 2003).

2.8 Hubungan Sumberdaya Alam dan Pertumbuhan Ekonomi

(34)

2.9 Konsep Pengukuran Nilai Ekonomi Hutan Mangrove

Konsep dasar penilaian ekonomi (economic valuation) sumberdaya alam termasuk ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh sumberdaya alam itu sendiri. Menurut Bann (1998), fungsi ekologi sumberdaya mangrove antara lain sebagai stabilitas garis pantai, menahan sedimen, perlindungan habitat dan keanekaragaman, produktifitas biomassa, sumber plasma nutfah, rekreasi dan wisata, memancing, serta produk – produk hutan lainnya. Nilai ekonomi atau total nilai ekonomi (TNE) hutan mangrove secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : (1) nilai penggunaan (use value) dan (2) nilai intristik (non-use- value), selanjutnya nilai penggunaan (use value) tersebut di atas dapat diuraikan lagi menjadi nilai penggunaan langsung (direct value), nilai penggunaan tidak langsung (in-dircet value). Sedangkan nilai intristik (non-use- value) diuraikan menjadi nilai pilihan (option value) dan nilai keberadaan (existence values) (Gambar 4).

Nilai penggunaan secara ekonomi berhub ungan dengan nilai, dimana masyarakat memanfaatkannya atau berharap akan memanfaatkan dimasa yang akan datang. Nilai penggunaan langsung berkaitan dengan output yang langsung dapat dikonsumsi oleh masyarakat misalnya : makanan, biomas, kesehatan, rekreasi. Sedangkan nilai penggunaan tidak langsung diperoleh dari manfaat jasa – jasa lingkungan sebagai pendukung aliran produksi dan konsumsi, misalnya hutan mangrove sebagai pelindung pantai dari badai, gelombang, dan abrasi. Nilai pilihan berkaitan dengan pemanfaatan lingkungan dimasa yang akan datang, kesediaan membayar untuk konservasi sistem lingkungan atau komponen sistem yang berhadapan dengan beberapa kemungkinan pemanfaatan oleh masyarakat dimasa yang akan datang. Nilai intristik ada dua yaitu : nilai warisan (bequest value) dan nilai keberadaan (existence value). Nilai warisan berhubungan dengan kesediaan membayar untuk melindungi manfaat lingkungan bagi generasi yang akan datang, jadi merupakan potensi penggunaan. Sedangkan nilai keberadaan, muncul karena adanya kepuasan atas keberadaan sumberdaya meskipun tidak ada keinginan untuk memanfaatkannya.

(35)

Manfaat dari suatu barang dan jasa mempunyai nilai yang sama dengan kesediaan penduduk untuk membayarnya WTP (willingness to pay), dalam menilai lingkungan harus dilihat dari fungsi kerusakan marginal yang menunjukkan perubahan penderita kerusakan oleh orang lain dari ekosistem ketika terjadi perubahan dalam lingkungan tersebut. Pemikiran harus dalam kerangka yang luas karena perubahan lingkungan hutan mangrove akan banyak berdampak kepada masyarakat sekitar, baik berupa dampak fisik, dampak degradasi lingkungan mangrove, dan kualitas estetika. Apabila ingin dilihat WTP dari masyarakat maka akan dapat digambarkannya dalam kurva permintaan (demand), dimana gabungan dari beberapa permintaan merupakan total WTP.

Pemanfaatan hutan mangrove yang berlebihan seperti : penebangan untuk kayu bakar, bahan bangunan, pengambilan kulit mangrove untuk pembuatan bahan pengawet jaring, dan untuk keperluan lainnya oleh masyarakat khususnya nelayan secara belebihan. Kondisi dari perilaku masyarakat tersebut berdampak pada kondisi hutan mangrove yang semakain kritis baik dari segi kuantitas dan kualitas, demikian pula dengan areal mangrove yang semakin berkurang, dimana pada gilirannya berdampak kepada menurunnya kualitas lingkungan dan kualitas sumberdaya pesisir.

(36)

2.10 Perencanaan dan Pemanfaatan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upayah secara terperogram untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al.1984). Sedangkan Dahuri et al. (1996) menyarangkan agar keterpaduan perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tatanan konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Sedangkan pada tataran koordinasi, disyaratkan perlunya kejasama yang harmonis antara stakeholders (pemerintah, swasta, dan masyarakat).

(37)

Pemanfaatan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan pemanfaatan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya mengandung tiga dimensi yaitu : dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri et al. 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi tugas, wewenang dan tanggungjawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) dan antara tingkat pemerintah mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan provinsi sampai tingkat pusat (vertical integration). Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis, maka pemanfaatan wilayah pesisir mensyaratkan adanya pendekatan interdisiplin ilmu yang melibatkan bidang ilmu antara lain sebagai berikut : ilmu ekologi, ekonomi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai ekosistem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan lain- lain) yang saling terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa PWPLT (pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu) harus memperhatikan keterkaitan ekologis tersebut.

2.11 KebijakanPengelolaan Sumberdaya Pesisir Terpadu Berkelanjutan

Ada empat alasan pokok mengapa pemerintah dan bangsa Indonesia membuat suatu kebijakan yang strategis dan antisipatif dengan menjadikan matra laut sebagai sektor tersendiri di dalam GBHN 1993 (Dahuri et al. 1996) yaitu :

(38)

yang semakin meningkat, maka sumberdaya kelautan akan menjadi tumpuan harapan bagi kesinambungan pembangunan ekonomi nasional dimasa mendatang;

ketiga, dengan adanya pergeseran kegiatan ekonomi global dari poros Eropa Atlantik ke poros Asia Pasifik yang diikuti dengan perdagangan bebas dunia pada tahun 2020, maka kekayaan sumberdaya kelautan Indonesia, khususnya di kawasan timur Indonesia, menjadi asset nasional dengan keunggulan komparatif yang harus dimanfaatkan secara optimal; dan keempat, dalam kerangka menuju industrialisasi, wilayah pesisir dan lautan merupakan prioritas utama bagi pusat kegiatan pengembangan industri, pariwisata, agribisnis, agroindustri, pemukiman, transportasi, dan pelabuhan.

Di balik prospek di atas, pengalaman pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan dalam PJP I umumnya mengarah ke suatu pola yang merusak daya dukung lingkungan dan tidak berkesinambungan (unsustainable). Sistem multifungsi yang tidak terencana dengan baik telah menunjukkan kemunduran mutu lingkungan wilayah pesisir dan lautan, konflik kepentingan antara kegiatan maupun sektor, pencemaran dan over eksploitasi sumberdaya. Tidak adanya integrasi dan koordinasi perencanaan masing- masing sektor mengakibatkan tidak tercapainya tujuan pembangunan secara optimal dan terganggunya fungsi utama di perairan tersebut. Menyadari adanya karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem pesisir dan lautan yang secara ekologis saling terkait satu dengan lainnya, demikian pula dengan ekosistem lahan atas, serta keanekaragaman sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan sebagai potensi pembangunan yang pada umumnya terdapat pada suatu hamparan ekosistem pesisir, mensyaratkan bahwa pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan terpadu dan holistic (menyeluruh).

(39)

meliputi dimensi ekonomi / efisien serta layak, ekologi / lestari (ramah lingkungan), dan sosial / adil (Dahuri 2003; Harris and Goodwin 2002). Selanjutnya Susilo (2003) menyatakan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan merupakan suatu konsep pembangunan yang diterima oleh semua negara di dunia untuk menyelamatkan kehidupan di bumi agar tidak mudah hancur, konsep ini berlaku untuk seluruh sektor pembangunan baik di daratan maupun di lautan, konsep ini sifatnya multidisiplin yang mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan aspek politik.

2.12 Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Kebijakan adalah sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang mengungkapkan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan pengambilan keputusan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah- masalah publik (Dunn 1994). Sebagai disiplin ilmu terapan, kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal melalui tiga bentuk pertanyaan berikut : (1) nilai yang mencapainya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah selesai, (2) fakta yang keberadaanya dapat membatasi atau meningkatkan nilai- nilai, dan (3) tindakan penerapannya yang menghasilkan pencapaian nilai- nilai.

(40)

ditempuh atau dengan kata lain kebijakan merupakan dasar bagi pelaksanaan atau pengambilan keputusan.

Analisis kebijakan mengandung dua kata yaitu analisis dan kebijakan. Analisis adalah suatu pekerjaan intelektual untuk memperoleh pengertian dan pemahaman, sedangkan kebijakan adalah suatu upayah atau tindakan untuk mempengaruhi sistem mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu dalam analisis pekerjaan intelektual tersebut merupakan suatu proses memilah dan mengelompokkan obyek kedalam bagian yang lebih rinci sehingga diperoleh pengetahuan tentang ciri dan cara kerja dari obyek tersebut. Di lain pihak dalam kebijakan upaya atau tindakan tersebut bersifat peka untuk mempengaruhi kerja sebuah sistem, oleh karena sasarannya mempengaruhi sistem maka tindakan tersebut bersifat strategis yaitu bersifat jangka panjang dan menyeluruh (Muhammadi etal. 2001).

(41)

Tabel 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan.

Fase Karakteristik Ilustrasi

Penyusunan Agenda

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sementara berhenti di komite dan tidak terpilih.

Formulasi kemampuan standar sepert i SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas.

Adopsi kebijakan Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus di antara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe V Wade tercapai keputusan manyoritas, bahwa wanita baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak. kebijakan dan pencapaian tujuan.

Kantor akuntansi memantau program-program kesejahteraan sosial, seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan / korupsi.

(42)

Gambar 5. Kedekatan prosedur analisis kebijakan dengan proses pembuatan kebijakan.

Menurut Dunn (1994) perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi - asumsi yang mendasari definisi masalah dan proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda, peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari pengambilan alternatif yang seharusnya dilakukan dalam proses formulasi kebijakan, rekomendasi merupakan tahap yang dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang manfaat atau biaya dari alternatif yang telah diestimasi untuk masa mendatang, pemantauanatau monitoring merupakan penyedian pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang akan diambil sebelumnya hal ini akan membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan, evaluasi merupakan penilaian kembali yang dapat membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang ketidak sesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan hasil yang dicapai atau evaluasi dapat membantu pengambil kebijakan pada tahap

ANALISIS KEBIJAKAN

PEMBUATAN KEBIJAKAN

Perumusan Masalah

Peramalan

Evaluasi Rekomendasi

Pemantauan

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan

(43)

penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi dapat menghasilkan kesimpulan dan penyelesaian masalah yang mendasari kebijakan.

2.13 Analisis SWOT

Analisis SWOT artinya didasarkan pada logika berpikir, yaitu kekuatan (strength), kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats), dari keempat komponen tersebut mengindikasikan bahwa sangat berpengaruh dan dipengaruhi dalam proses pembuatan kebijakan, baik secara internal maupun eksterna l, faktor internal yaitu : strength dan weaknesses, sedangkan faktor eksternal yaitu opportunities dan threats. Analisis ini mengidentifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk menyusun keputusan atau kebijakan (Hunger etal. 1996 dan Rangkuti 1999).

Rangkuti (1999) mengemukakan bahwa elemen – elemen yang terkandung dalam SWOT atau KKPA yaitu kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Faktor – faktor tersebut mempunyai nilai atau besaran konstribusi terhadap obyek pengamatan yang ditentukan secara subyektif berdasarkan hasil analisis situasi atau lingkungan. Nilai konstribusi masing – masing faktor diplotkan dalam suatu diagram kartesius, dimana faktor internal (kekuatan dan kelemahan) sebagai absis dan faktor eksternal (peluang dan ancaman) sebagai ordinatnya. Hasil yang ditunjukkan proses ploting tersebut, dapat memberikan gambaran terhadap kebijakan strategis yang akan ditempuh. Strategi kebijakan itu sendiri merupakan alat untuk mencapai tujuan baik jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi atau pemanfaatan sumberdaya.

2.14 Proses Hirarki Analisis (PHA)

(44)

menentukan kebijakan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling baik ketika aspek kualitatif dan kuantitatif dibutuhkan untuk dipertimbangkan (Budiharsono 2003). Selanjutnya Saaty (1991) menjelaskan bahwa pengamatan mendasar tentang sifat manusia, pemikiran analitik, dan pengukuran membawa pada pengembangan suatu model yang berguna untuk memecahkan persoalan secara kuantitatif. Proses hirarki analisis adalah suatu model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan- gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing- masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Proses ini juga memungkinkan orang menguji kepekaan hasil terhadap perubahan informasi.

Saaty (1991) menyatakan bahwa kelebihan dari PHA ini yaitu merupakan proses yang ampuh untuk menanggulangi berbagai persoalan politik, sosial ekonomi yang kompleks, pengalokasian dan mengevaluasi sumberdaya alam, dengan memasukkan pertimbanga n dan nilai- nilai pribadi secara logis. Proses ini bergantung pada imajinasi, pengalaman dan pengetahuan untuk menyusun hirarki suatu masalah berdasarkan pada logika, intuisi, dan pengalaman untuk memberi pertimbangan. Setelah diterima dan diikuti, PHA menunjukkan bagaimana menghubungkan elemen-elemen dari satu bagian masalah dengan elemen-elemen dari bagian yang lain untuk memperoleh hasil gabungan melalui proses : identifikasi, memahami, dan menilai interaksi- interaksi dari suatu sistem secara keseluruhan.

(45)

S permasalahan dalam level- level secara hirarkis sesuai relevansinya. Level pertama, yang tertinggi merupakan fokus atau sasaran menyeluruh, berjenjang secara hirarkis ke level- level berikutnya sesuai faktor penentu yang relevan dengan sasaran menyeluruh pada level 1, (2) pada model aslinya, Saaty memberikan nilai numerik pada tiap level dengan perbandingan pasangan antar faktor. Dengan proses matriks dan eigen value akan diperoleh bobot prioritas tiap faktor terhadap kriteria di level atasnya (modifikasi terhadap metode dengan menyederhanakan ‘pembobotan’ bertahap tak langsung), (3) untuk menguji konsistensi pembandingan, digunakan alat uji Consistency Ratio yang diharapkan kurang dari 0.1 (dengan modifikasi, rasio konsistensi tidak diperlukan).

Asumsi - asumsi yang dapat digunakan oleh AHP (Budiharsono 2003) sebagai berikut : (1) harus terdapat sedikit (jumlah yang terbatas) kemungkinan tindakan atau penilaian yakni : 1, 2, . . . wn. yang nilainya positif, n adalah yang

terbatas, (b) responden diharapkan akan memberikan nilai dalam angka terbatas untuk memberi tingkat urutan (skala) pentingnya atribut-atribut, (3) skala yang dipergunakan tergantung dari pandangan responden dan situasi yang relevan, walaupun demikian tetap mengikuti pendekatan AHP dipergunakan metode skala Saaty, mulai dari menggambarkan antara satu atribut terhadap atribut lainnya sama-sama penting dan untuk atribut yang sama selalu bernilai satu, sampai dengan sembilan yang menggambarkan satu atribut ekstrim penting terhadap atribut lainnya.

(46)

1. Kesatuan : PHA memberi suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka macam persoalan tak terstruktur.

2. Kompleksitas : PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks.

3. Konsistensi : PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.

4. Saling ketergantungan : PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.

5. Sintesis : PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif.

6. Pengukuran : PHA memberi suatu skala untuk mengukur variabel sehingga terwujud suatu metode untuk menentukan atau menetapkan prioritas.

7. Pengulangan proses : PHA memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.

8. Penyusunan hirarki : PHA mencerminkan kecenderungan alami pemikiran untuk memilah- milah elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat yang berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 9. Penilaian dan konsensus : PHA tidak memaksakan konsensus tetapi

mensintesis suatu hasil yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda.

(47)

2.15 Kerangka Pemikiran

Pemanfaatan ekosistem mangrove di Kabupaten Barru masih dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk pemanfaatan yang bersifat konvensional dan sangat dipengaruhi oleh budaya dan persepsi setempat, oleh karena stakeholders belum mempunyai komitmen atau kesepakatan bersama dalam pemanfaatan ekosistem mangrove secara terpadu dari setiap kegiatan yang direncanakan. Perilaku masyarakat yang bersifat kovensional sesuai dengan budaya masyarakat setempat memandang ekosistem mangrove sebagai suatu karunia yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin, tanpa memandang tingkat kerusakan dan degradasi ekosistem mangrove itu sendiri. Kegiatan masyarakat dalam pemanfaatan ekosistem mangrove umumnya dilakukan berdasarkan kepentingan individu yang cenderung mengeksploitasi dan merusak ekosistem mangrove untuk tujuan : penambahan areal pemukiman, areal budidaya, pengambilan kayu, pembuangan sampah. Sedangkan stakeholders mempunyai kecenderungan memanfaatkan dan mengelola ekosistem mangrove menjadi obyek wisata dan areal industri, dimana saat ini telah berlangsung perburuan beberapa jenis burung dan ikan di lingkungan hutan mangrove, kegiatan ini dilakukan tanpa adanya prosedur dan aturan dari pemerintah, sehingga terjadi benturan kepentingan yang pada akhirnya bermuara pada keinginan untuk mendapatkan keuntungan secara ekonomi tanpa memperhatikan dampak secara ekologis. Hal tersebut terjadi karena kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang diadopsi dari pemerintah pusat kurang relevan dengan kebijakan yang seharusnya diterapkan di lokasi studi. Oleh karena itu, berdasarkan undang-undang nomon 22 tahun 1999, tentang otonomi daerah, maka pemerintah daerah sebagai pengambil kebijakan (decision maker) seharusnya menggunakan hak otonomi tersebut untuk mengadakan suatu bentuk kajian kebijakan pemanfaatan ekosistem mangrove yang spesifik di lokasi studi melalui suatu bentuk penelitian ilmiah, sehingga pemerintah daerah dapat menerapkan sutau bentuk kebijakan pemanfaatan sumberdaya mangrove sebagai alternatif penyelesaian masalah pemanfaatan ekosistem mangrove yang dinilai tidak efisien dan optimal.

(48)

secara optimal dan lestari, sehingga terjadi degradasi dan penurunan kualitas lingkungan (ekosistem mangrove) tersebut. Untuk mendapatkan suatu strategi pemanfaatan dan alternatif pemanfaatan yang bersifat holistik dan kompetitif, maka dalam penelitian ini akan dilakukan pengambilan data sumberdaya ekosistem mangrove untuk mengkaji stabilitas ekosistem mangrove, data sosial ekonomi dari masyarakat dan instansi terkait untuk mengkaji dan menyusun strategi kebijakan pemanfatan dari ekosistem mangrove secara terpadu berkelanjutan.

(49)

Feedbacd

Gambar 6. Skema kerangka pemikiran penelitian. Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Ekosistem Mangrove

oleh stakeholders

Kerusakan dan Degradasi Ekosistem Mangrove.

Analisis dan Prosesing Data SWOT dan AHP (A’WOT)

Strategi Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Terpadu Berkelanjutan.

Sumberdaya Mangrove.

Dampak Sosial Ekonomi Parameter Biofisik

Mangrove.

Kebijakan Pemanfaatan Ekosistem Mangrove.

GIS (Geography Information System)

Pemilihan Kriteria Pemanfaatan Ekosistem Mangrove

Tingkat kesejahtraan Budaya, perilaku dan

Gambar

Gambar 4.  Nilai total ekonomi mangrove (Bann 1998).
Gambar 5. Kedekatan  prosedur analisis  kebijakan dengan proses   pembuatan       kebijakan
Gambar 6. Skema kerangka pemikiran penelitian.
Gambar 7.  Peta lokasi penelitian di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fakta berdasarkan hasil estimasi DSGE Model terkait guncangan struktural seperti krisis politik Timur Tengah secara tidak langsung mempengaruhi evolusi inflasi dan output riil

IX/2011 TENTANG PENGAKUAN MODEL NOKEN DALAM PEMILUKADA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA PERSPEKTIF TEORI HUKUM MURNI

Kegiatan olahraga merupakan hal yang sangat penting guna menunjang prestasi olahraga adalah seberapa besar tingkat kesegaran jasmani yang dimiliki oleh seorang

Kemampuan untuk menggunakan dan menerapkan gagasan, prosedur, metode, rumus, teori dan informasi yang telah dipelajari ke dalam kondisi kerja atau konteks lain yang

kurang dari lima detik.. Kemampuan kecepatan dan kecermatan dalam menanggapi kegiatan pembelajaran yang saya terapkan, anak-anak selalu mengalami perkembangan. Pada saat

Sejauhmana kecenderungan prestasi belajar IPA pokok bahasan peristiwa alam yang terjadi di Indonesia dan dampaknya bagi makhluk hidup dan lingkungan dengan

Aturan yang berupa larangan dan sanksi yang diberlakukan dalam Hukum Adat Sasi di Desa Ohoider Tawun sudah merupakan bagian dari kehidupan masyarakat desa tersebut

Pada perkebunan kelapa sawit yang populasi kumbangnya tinggi, fruit set paling banyak dipengaruhi oleh kumbang, sebaliknya, perkebunan yang populasi kumbangnya rendah, maka peran