• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Infestasi Dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex Hemipterus (Hemiptera Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida Di Bogor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Infestasi Dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex Hemipterus (Hemiptera Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida Di Bogor"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI INFESTASI DAN RESISTENSI

KUTU BUSUK,

Cimex hemipterus

(Hemiptera: Cimicidae)

TERHADAP TIGA GOLONGAN INSEKTISIDA DI BOGOR

ELFIRA SEPTIANE

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Infestasi dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida di Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2015

(4)

RINGKASAN

ELFIRA SEPTIANE. Studi Infestasi dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida di Bogor. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan UPIK KESUMAWATI HADI.

Kutu busuk, Cimex sp. merupakan ektoparasit pengisap darah manusia dan hewan dari ordo Hemiptera dan famili Cimicidae, yang penyebarannya di negara subtropis dan tropis. Kasus infestasi kutu busuk pada tahun 1970-an dianggap telah menghilang, akan tetapi sejak tahun 2000-an kasus infestasi kutu busuk kembali dilaporkan dari seluruh dunia.

Studi mengenai infestasi kutu busuk ini dilakukan di wilayah kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga dan sekitarnya dari Oktober 2014 - Februari 2015. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran dan derajat infestasi kutu busuk, mengetahui aspek biologi kutu busuk, menentukan resistensi kutu busuk terhadap berbagai golongan insektisida serta menganalisis pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap infestasi kutu busuk. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi terbaru khususnya tentang studi infestasi kutu busuk di wilayah Bogor.

Survei dan koleksi kutu busuk dilakukan pada dua tipe kawasan hunian yaitu perumahan dan tempat tinggal sementara. Tipe perumahan dibagi menjadi dua yaitu perumahan kompleks dan padat penduduk, sedangkan tipe tempat tinggal sementara dibagi menjadi empat yaitu asrama, pondok pesantren, indekos dan wisma penginapan. Selanjutnya, pengukuran resistensi kutu busuk dilakukan dengan menggunakan tiga golongan insektisida yaitu organofosfat (malation 5%), piretroid (deltametrin 0.05%) dan karbamat (propoksur 0.1%). Selain itu, untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap infestasi kutu busuk dilakukan dengan mewawancarai responden menggunakan kuisioner.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari total 244 kamar yang diperiksa dari seluruh kawasan hunian, 64 kamar positif terinfestasi oleh satu jenis kutu busuk yakni Cimex hemipterus. Infestasi kutu busuk tertinggi ditemukan di asrama mahasiswa sebesar 25.41%, sedangkan tipe hunian lain terinfestasi rendah (0.41%) dan bahkan tidak ditemukan infestasi kutu busuk. Mortalitas kutu busuk terhadap malation menunjukkan angka tertinggi (87.50%) dan LT50 terpendek

(0.14 hari). Selanjutnya, pada deltametrin mortalitas sebesar 21.43% dengan LT50

9.12 hari, sedangkan pada propoksur memperlihatkan angka mortalitas terendah (10%) dan LT50 terpanjang (12.88 hari). Hal ini menunjukkan bahwa populasi

kutu busuk di asrama mahasiswa di wilayah kampus IPB Dramaga telah resisten terhadap tiga golongan insektisida, terutama propoksur.

Hasil wawancara mengenai persentase pengetahuan, sikap dan praktik (PSP) masyarakat menunjukkan bahwa infestasi kutu busuk masih dikenali oleh banyak kalangan baik dari mahasiswa (81.20%), ibu rumah tangga (6.41%), pelajar (5.13%), dan masyarakat secara umum (2.42%). Masyarakat Bogor memiliki sikap dan praktik yang baik dalam mengendalikan infestasi kutu busuk di lingkungan tempat mereka tinggal.

(5)

SUMMARY

ELFIRA SEPTIANE. Study of Infestation and Resistance of Bedbugs, Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) to the Three Group of Insecticides in Bogor Supervised by SUSI SOVIANA and UPIK KESUMAWATI HADI.

Bedbug, Cimex sp. is a blood sucking ectoparasite of human and animal from order Hemiptera and Family Cimicidae, which spread in subtropical and tropical countries. Case of bedbugs infestation in the 1970s was considered disappeared, but since 2000s, re-emergence of bedbugs infestation were reported from all over the world.

The study of bedbugs infestation was carried in Bogor Agricultural University Dramaga Campus area and surrounding from October 2014 to February 2015. The study was aimed to determine bedbugs distribution and the degree of infestations, the biological aspect of bedbugs and their resistance to insecticides, and to analyze knowledge, attitudes, practices of the people against the bedbugs infestation. This study was expected to provide data and information about bedbugs infestation in Bogor.

The bedbugs survey and collection were conducted in two types of residential areas i.e housing and temporary shelter. Housing divided into two types i.e complexes residential and densely populated, whereas temporary shelter were divided into four types i.e dormitories, boarding school, boarding house and guest house. Moreover, resistance of bedbugs were conducted to three groups of insecticides including organophosphate (malathion 5%), pyrethroid (deltamethrin 0.05%), and carbamate (propoxur 0.1%). In addition, to determine the knowledge, attitudes and practices of the public against bedbugs infestation were conducted by interviewing respondents using questionnaires.

The result showed that 64 rooms of the 244 rooms observed in all types of residential were infested by bedbugs. The only bedbug species found was Cimex hemipterus. The highest infestation was found in student dormitory (25.41%), while low (0.41%) and even no bedbug infestation found at other type residential. The mortality of bedbugs observed against malathion were the highest (87.50%) and the shortest LT50 (0.14 days). Furthermore, the mortality to deltamethrin at

was 21.43% with LT50 9.12 days, whereas in propoxur showed the lowest

mortality (10%) and the longest LT50 (12.88 days). It showed that the population

of bedbugs in student dormitories in the Dramaga campus area were resistant to three types of insecticides, especially to propoxur.

The result of interview on the percentage of the community knowledge, attitudes and practices (KAP) community showed that the bedbug infestation were already known by all residents from under graduate (81.20%), housewives (6.41%), school children (5.13%), and other communities (2.42%). The community in Bogor had a good attitudes and practices to bedbug infestation control in their neighborhood.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

STUDI INFESTASI DAN RESISTENSI

KUTU BUSUK,

Cimex hemipterus

(Hemiptera: Cimicidae)

TERHADAP TIGA GOLONGAN INSEKTISIDA DI BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Studi Infestasi dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida di Bogor

Nama : Elfira Septiane NIM : B252124021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Parasitologi dan Entomologi Kesehatan

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Dr Drh Susi Soviana, MSi

Ketua

Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS Anggota

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2014 ini ialah Studi Infestasi dan Resistensi Kutu Busuk, Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) Terhadap Tiga Golongan Insektisida di Bogor.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi dan Ibu Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi MS selaku komisi pembimbing. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Drh Singgih Harsojo Sigit, MSc, Bapak Dr Drh FX. Koesharto, MSc, Ibu Dr drh Dwi Jayanti Gunandini, Bapak Dr Drh Ahmad Arif Amin, MSc yang selama ini telah memberikan ilmunya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para staf di Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan (PEK) Ibu Juju, Bapak Supriyono, Bapak Heri, Bapak Taufik, Bapak Nanang, Bapak Guspriyadi, Ibu Een. Tim penelitian Cimex : Enny, Dea dan Pipit, serta teman-teman mahasiswa PEK dan pihak-pihak yang telah banyak membantu selama penelitian. Semoga bantuan, dukungan, dorongan dan perhatian dari semua pihak yang telah diberikan dengan tulus kepada penulis mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.

Kepada Ayahanda Mohamad Nursamsi dan Ibunda Susanti Rahayu terima kasih untuk kasih sayang dan pengorbanannya yang tulus dalam mendidik dan memberi tauladan untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab dalam segala hal. Kakak tersayang Indra Prakarsa, adik tercinta Aditya Mukti Setyaji, dan teman seperjuangan selama menempuh perkuliahan pascasarjana Nur Qamariah, terima kasih atas doa dan kasih sayang serta dorongan semangatnya.

Penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik yang dapat membangun di masa mendatang. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang ilmu Parasitologi dan Entomologi Kesehatan.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

2 TINJAUAN PUSTAKA 2

Perkembangan Terkini Kasus Infestasi Kutu Busuk di Seluruh Dunia 2

Morfologi dan Biologi Kutu Busuk 3

Pengendalian Kutu Busuk 4

Resistensi Kutu Busuk Terhadap Insektisida 5

3 METODE 6

Tempat dan Waktu Penelitian 6

Koleksi Kutu Busuk 6

Pemeliharaan Kutu Busuk 7

Preservasi dan Identifikasi 7

Pengukuran Resistensi Kutu Busuk Terhadap Insektisida 7 Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat 8

Analisis Data 8

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Sebaran dan Derajat Infestasi Kutu Busuk 9

Jenis dan Morfologi Kutu Busuk C. hemipterus 11

Siklus Hidup C. hemipterus di Laboratorium 12

Resistensi Kutu Busuk C. hemipterus Terhadap Insektisida 14 Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik (PSP) Masyarakat 16

Karakteristik Umum Responden 16

Pengetahuan Responden Terkait Infestasi Kutu Busuk 17

Sikap Responden Terkait Infestasi Kutu Busuk 17

Praktik Responden Terkait Infestai Kutu Busuk 19 Pengetahuan, Sikap dan Praktik Pihak Pengelola Wisma Penginapan

Terkait Infestasi Kutu Busuk 20

5 SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 21

DAFTAR PUSTAKA 21

LAMPIRAN 25

(12)

DAFTAR TABEL

1 Sebaran dan derajat infestasi kutu busuk di berbagai kawasan 11 2 Rata-rata waktu tahapan perkembangan C. hemipterus di

laboratorium (suhu 26˚C ± 3˚C dan kelembaban 60 ± 30%) 13 3 Mortalitas,status resistensi, nilai LT5,0 dan LT90 C. hemipterus

terhadap tiga golongan insektisida 15

4 Karakteristik umum responden 16

5 Persentase tingkat pengetahuan responden terkait infestasi kutu busuk 17 6 Persentase tingkat sikap responden terhadap pernyataan terkait

infestasi kutu busuk 18

7 Persentase jawaban responden terkait sikap terhadap infestasi

kutu busuk 18

8 Persentase tingkat praktik responden terkait infestasi kutu busuk 19 9 Persentase jawaban responden terkait praktik terhadap infestasi

kutu busuk 19

DAFTAR GAMBAR

1 Bagian tubuh C. hemipterus 4

2 Peta sebaran infestasi kutu busuk di kampus IPB Dramaga 10 3 Peta sebaran infestasi kutu busuk di daerah sekitar kampus IPB Dramaga 10

4 Ciri khas morfologi C. hemipterus 12

5 Tahapan perkembangan C. hemipterus 13

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kertas berinsektisida (impregnated paper) 25

2 WHO bed bugs test kit 25

3 Kandang pemeliharaan C. hemipterus 26

4 Alat pengujian kerentanan kutu busuk terhadap insektisida 26

5 Inspeksi kutu busuk di kompleks perumahan 27

6 Inspeksi kutu busuk di padat penduduk 27

7 Inspeksi kutu busuk di asrama 28

8 Inspeksi kutu busuk di indekos 29

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kutu busuk termasuk ektoparasit dari ordo Hemiptera. Kutu busuk dikenal sebagai kepinding, tinggi (bahasa Jawa) atau tumbila (bahasa Sunda). Ordo Hemiptera memiliki dua famili penting yang berperan dalam kesehatan manusia yaitu Cimicidae dan Reduviidae. Famili Cimicidae diwakili oleh genus Cimex. Jenis yang terutama menyerang manusia adalah Cimex lectularius yang penyebarannya di negara subtropis, sedangkan Cimex hemipterus di negara tropis (Usinger 1966).

Kemunculan kembali (re-emergence) infestasi kutu busuk telah mendapat perhatian dari seluruh dunia, terutama di kalangan professional pengendalian hama (Potter 2005). Kejadian re-emerging infestasi kutu busuk dilaporkan terjadi di Amerika Serikat (Krueger 2000), Brazil (Criado et al. 2011), Eropa (Fuentes et al. 2010), Toronto (Myles et al. 2003), Italia (Maseti dan Bruschi 2007, Giorda et al. 2013), Australia (Doggett et al. 2004), Korea Selatan (Lee et al. 2008), Israel (Mumcuoglu 2008), China (Wang dan Wen 2011) dan Nigeria (Emmanuel et al. 2014). Di Asia Tenggara permasalahan infestasi kutu busuk terjadi di Malaysia dan Singapura (How dan Lee 2010), serta Thailand (Suwannayod et al. 2010).

Kasus infestasi kutu busuk di Indonesia sampai akhir tahun 1970-an banyak ditemukan di rumah, gedung pertunjukan dan hotel. Satu di antara kejadian infestasi kutu busuk di Indonesia pernah terjadi pada tahun 2008 di Bali, dua hotel di Denpasar diketahui terinfestasi kutu busuk yang kemungkinan terbawa bersama barang bawaan wisatawan asing yang menginap di hotel tersebut (Anonim 2008). Terjadinya peningkatan infestasi kutu busuk tersebut tidak diketahui, namun beberapa faktor seperti meningkatnya perjalanan domestik maupun internasional, pengurangan penggunaan insektisida residual di dalam ruangan dan resistensi serangga berkontribusi terhadap kemunculan infestasi kutu busuk (Potter 2005).

Infestasi kutu busuk dapat menimbulkan dampak negatif di bidang kesehatan dan ekonomi. Gigitan kutu busuk dapat menyebabkan rasa gatal dan benjolan kemerahan. Darah manusia yang diisap oleh kutu busuk ini diperlukan untuk keberlangsungan hidupnya mulai dari menetas dari telur, menjadi nimfa, berganti kulit (moulting) hingga menjadi dewasa. Gangguan kutu busuk terutama akibat gigitannya untuk memperoleh darah, gigitan kutu busuk menimbulkan reaksi gatal yang diikuti peradangan lokal, sehingga biasanya akan digaruk berulang-ulang dan berakibat timbulnya infeksi sekunder (Tawatsin et al. 2011). Selain menimbulkan rasa gatal dan kemerahan, kutu busuk juga dapat mengakibatkan anemia pada anak-anak jika kutu busuk dalam jumlah yang besar menggigit setiap malam.

(14)

2

Kasus kemunculan kembali infestasi kutu busuk kemungkinan masih terjadi di wilayah permukiman di Indonesia, namun belum banyak diteliti dan dilaporkan secara ilmiah. Wilayah kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga berpotensi terinfestasi kutu busuk karena merupakan wilayah yang banyak dihuni ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang datang dan pergi dari berbagai daerah setiap tahunnya. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sebaran dan derajat infestasi kutu busuk di wilayah kampus IPB Dramaga dan sekitarnya, mengetahui aspek biologi kutu busuk, menentukan resistensinya terhadap insektisida serta menganalisis pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat terhadap infestasi kutu busuk. Penelitian ini diharapkan memberikan data dan informasi terbaru khususnya tentang infestasi kutu busuk di kota Bogor.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Terkini Kasus Infestasi Kutu Busuk di Seluruh Dunia

Peningkatan kasus infestasi kutu busuk di Amerika Serikat terjadi pada akhir tahun 1990-an, kutu busuk ditemukan di perumahan, apartemen, kamar hotel, rumah sakit dan asrama. Penyebab kemunculan kembali kutu busuk tidak dapat diketahui secara pasti. Menurut jasa pengendali hama Terminix (2011) hampir seluruh kota besar di Amerika Serikat pada tahun 2011 telah dinyatakan terinfestasi kutu busuk di antaranya New York, Cincinnati, Detroit, Chicago dan Philadelphia. Jenis yang sering ditemukan adalah C. lectularius. Peningkatan infestasi kutu busuk juga dilaporkan terjadi di San Fransisco pada kurun waktu 2004 – 2006 (May 2007). Infestasi kutu busuk juga terjadi di seluruh wilayah di California (CISR 2011). Masalah infestasi kutu busuk di Toronto mengalami peningkatan sejak 2001 yang dilaporkan oleh perusahaan jasa pengendali hama pada beberapa tempat penginapan dan penampungan tuna wisma (Myles et al. 2003).

Sejak tahun 2005 sampai 2007 dilaporkan tiga kasus infestasi kutu busuk C. lectularius di Valensia, Spanyol yang berasal dari wilayah permukiman komunal (asrama, hotel dan wisma) di London, Swedia dan Spanyol (Fuentes et al. 2010). Kasus infestasi kutu busuk C. lectularius terjadi di Italia Utara pada tahun 2008, 13 kasus terjadi di wilayah Liguria dan empat kasus di wilayah Piedmont. Sebagian besar kasus infestasi kutu busuk ditemukan di kamar tidur, satu kasus ditemukan di sofa, dan dua kasus kutu busuk bersumber dari beberapa furnitur kamar yang dibeli dari pusat barang antik (Giorda et al. 2013).

Kasus infestasi kutu busuk terjadi juga di Israel. Hal ini dilaporkan oleh seorang pria yang kembali ke apartemennya di Tel Aviv mengeluhkan adanya bekas gigitan C. lectularius di bagian tangan, kaki, dan leher setelah melakukan perjalanan ke Amerika Selatan (Argentina, Brazil dan Peru) dan Amerika Serikat (Los Angeles dan New York) (Mumcuoglu 2008).

(15)

3 terinfestasi kutu busuk di daerah Gboko, Benue State Nigeria. Kutu busuk ditemukan paling banyak di tempat tidur, kasur dan berbagai furnitur yang terbuat dari kayu ataupun bambu (Emmanuel et al. 2014).

Kutu busuk merupakan serangga hama yang ditemukan di China pada tahun 1980-an, bahkan tahun 1979 infestasi pertama kali dilaporkan di kota Shanghai. Dua jenis kutu busuk C. lectularius dan C. hemipterus sering ditemukan di China. Kasus infestasi kutu busuk pada kurun waktu 1999-2006 banyak terjadi di asrama pekerja, mahasiswa, militer, hotel dan penjara, sedangkan pada tahun 2008 dan 2009 infestasi kutu busuk ditemukan pada alat transportasi yaitu kereta api. Wilayah Shenzhen termasuk daerah yang paling tinggi terinfestasi kutu busuk, karena daerah ini banyak didatangi buruh pabrik dari berbagai daerah di wilayah China (Wang dan Wen 2011).

Re-emerging infestasi kutu busuk terjadi di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun 2007, seorang wanita melaporkan dan membawa serangga yang ia ditemukan di ruang tamunya ke rumah sakit di Seoul. Serangga ini diketahui merupakan nimfa kutu busuk C. lectularius. Berdasarkan pernyataan dari wanita tersebut diketahui bahwa dirinya sudah tinggal di apartemennya selama sembilan bulan setelah pindah dari New Jersey, Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan kutu busuk tersebut terbawa dari luar, karena sejak dua dekade tidak ada laporan mengenai infestasi kutu busuk di Seoul (Lee et al. 2008).

Permasalahan infestasi kutu busuk terjadi di wilayah Asia Tenggara, pada tahun 2005-2008 telah dilakukan survei kutu busuk di Malaysia dan Singapura. Hasil survei melaporkan bahwa ditemukannya jenis kutu busuk C. hemipterus pada 40 hotel dan 14 perumahan (How dan Lee 2009). Di Thailand kasus infestasi kutu busuk ditemukan di hotel, asrama dan tempat penginapan di daerah Chon Buri dan Chiang Mai (Suwannayod et al. 2010).

Morfologi dan Biologi Kutu Busuk

Kutu busuk memiliki bentuk kepala pendek, lebar dan bagian ujung meruncing, serta mata majemuk yang menonjol. Antena terdiri atas empat segmen, segmen pertama lebih pendek dari segmen lain, segmen ketiga dan keempat lebih ramping dan transparan dibanding dua segmen lainnya. Keempat segmen antena ditutupi rambut-rambut halus. Bagian mulut terletak di bagian sisi ventral kepala digunakan untuk menusuk dan mengisap. Bentuknya seperti paruh dan terdiri atas dua pasang stilet, yaitu mandibula stilet yang digunakan untuk merobek kulit inang dan maksila stilet kemudian masuk menembus luka bekas tusukan untuk mengisap darah. Bagian toraks terdiri atas tiga segmen protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Sayap mengalami rudimenter (Khan dan Rahman 2012).

(16)

4

Gambar 1 Bagian tubuh C. hemipterus (Khan dan Rahman 2012)

Kutu busuk biasanya ditemukan dalam jumlah besar dan hidup berkelompok. Kutu busuk hidup di tempat-tempat yang memungkinkan mudah memperoleh inang misalnya lingkungan dalam rumah sebagai tempat tinggal manusia. Kutu busuk menyukai tempat-tempat yang gelap dan tersembunyi, misalnya di dalam celah atau retakan dinding, furnitur (kursi, ranjang tempat tidur), di belakang kertas dinding, kasur, panel kayu atau di bawah karpet. Kutu busuk aktif pada malam hari (nocturnal), namun saat lapar di siang hari kutu busuk juga bisa muncul dan mendekati inangnya (Usinger 1966).

Kutu busuk memiliki tiga tahapan dalam siklus hidupnya yaitu telur, lima instar nimfa dan dewasa. Setelah mengisap darah biasanya kutu busuk akan bersembunyi di celah-celah kursi, kasur atau dinding selama beberapa hari, kemudian bertelur. Seekor betina dewasa mampu memproduksi satu sampai lima butir telur setiap hari dan kurang lebih menghasilkan 150-200 butir telur selama hidupnya. Telur berwarna putih krem akan menetas menjadi nimfa dalam waktu enam sampai sepuluh hari pada suhu 23-25˚C (WHO 1982).

Nimfa pertama akan berganti kulit menjadi nimfa kedua, tiga dan demikian seterusnya sampai nimfa instar terakhir. Setiap nimfa biasanya akan kenyang darah terlebih dahulu sebelum melakukan pergantian kulit. Instar nimfa pertama sampai instar keempat membutuhkan waktu selama tiga sampai empat hari setiap pergantian instar, sedangkan nimfa instar kelima butuh waktu empat sampai lima hari untuk menjadi dewasa (How dan Lee 2010).

Laju perkembangan dari tahapan siklus dan lama hidup (longevity) kutu busuk sangat bergantung kepada suhu dan ketersediaan makanan. Pada suhu kamar 18-20˚C kutu busuk dapat hidup sekitar sembilan bulan sampai dengan 1.5 tahun dan dapat bertahan hidup tanpa makan selama empat sampai lima bulan. Kutu busuk sangat rentan terhadap kelembaban yang tinggi dan suhu di atas 44-45˚C. Oleh karena itu, banyak orang memberantas kutu busuk ini dengan menyiram air panas atau dengan menggunakan uap panas (WHO 1982).

Pengendalian Kutu Busuk

(17)

5 dilakukan dengan menghilangkan tempat persembunyian kutu busuk seperti mengeringkan atau menjemur dan membersihkan kasur, bantal, guling atau sofa yang terinfestasi kutu busuk (Pinto et al. 2007).

Pengendalian kimiawi adalah dengan penggunaan insektisida. Insektisida adalah senyawa kimia yang digunakan pada pengendalian serangga hama. Insektisida kimia terdiri dari empat golongan yaitu organoklorin, organofosfat, karbamat dan piretroid sintetik. Penggunaan insektisida piretroid semakin meningkat setelah insektisida golongan organofosfat dan organoklorin resisten dalam beberapa tahun terakhir (WHO 2006).

Organosfosfat dan karbamat adalah racun sinaptik. Sinaps adalah suatu persimpangan antara dua saraf atau suatu titik penghubung saraf. Secara spesifik organofosfat dan karbamat terikat pada suatu enzim pada sinaps yang dikenal dengan asetilkholinesterase. Enzim ini dibentuk untuk menghambat suatu impuls saraf setelah melewati sinaps. Organofosfat dan karbamat terikat pada enzim ini dan menghambatnya untuk tidak bekerja. Sehingga sinaps yang keracunan tidak mampu menghentikan impuls saraf yang berakibat terjadi rangsangan saraf. Pada akhirnya serangga yang keracunan berakibat sama yaitu tremor dan gerakan inkoordinasi (Wirawan 2006).

Malation merupakan insektisida dari golongan organofosfat sintetis yang berasal dari asam folat yang bekerja melalui kontak kulit serangga, oral dan inhalasi. Insektisida ini berspektrum luas yang sering digunakan pada pengendalian hama dan serangga di luar ruangan (WHO 2013). Propoksur merupakan insektisida non-sistemik golongan dari karbamat dengan racun kontak dan perut. Merupakan senyawa yang relatif tidak stabil di lingkungan dan akan tahan beberapa minggu bahkan bulan, digunakan pada pengendalian hama rumah tangga. Insektisida ini menyebabkan knockdown lebih cepat dan memiliki aktivitas residu yang lama (WHO 2005).

Piretroid adalah racun axonik, yaitu beracun terhadap serabut saraf (akson). Mereka terikat pada suatu protein dalam saraf yang dikenal sebagai voltage-gated sodium channel. Piretroid terikat pada gerbang Na+ dan mencegah penutupan secara normal yang menghasilkan rangsangan saraf berkelanjutan. Hal ini mengakibatkan tremor dan gerakan inkoordinasi pada serangga yang keracunan (Wirawan 2006). Deltametrin merupakan insektisida dari golongan piretroid sintetis yang digunakan untuk mengendalikan berbagai serangga hama. Kerentanan serangga terhadap deltametrin bergantung kepada berbagai faktor dan bervariasi sesuai dengan kondisi lingkungan. Formulasi deltametrin dapat berupa bubuk, aerosol maupun bentuk granul (OEHHA 2013). Namun pada saat ini cara yang dianggap paling efektif dalam pengendalian kutu busuk adalah dengan fumigasi menggunakan sulfur fumigan, karena gas fumigan ini dapat mengendalikan kutu busuk yang bersembunyi di dalam celah-celah yang sulit dijangkau (Potter 2008).

Resistensi Kutu Busuk Terhadap Insektisida

(18)

6

Insektisida telah menjadi sarana utama untuk mengendalikan infestasi kutu busuk. Pada tahun 1800-an dan awal 1900-an penyemprotan insektisida terhadap kutu busuk terutama menggunakan arsenik, merkuri dan pyrethrum. Namun dua jenis insektisida pertama sangat beracun bagi manusia, sehingga tidak boleh dipergunakan untuk jangka panjang. Penyemprotan insektisida ini efektif terhadap infestasi tahap awal dikarenakan kontak langsung dari larutan insektisida dengan kutu busuk itu diperlukan untuk menimbulkan kematian. Kurangnya efek residual dari penyemprotan insektisida terhadap infestasi kutu busuk berat menyebabkan diperlukannya penyemprotan insektisida berulang untuk menghilangkan kutu busuk dewasa atau nimfa yang terlewati dalam penyemprotan sebelumnya (Potter 2008).

Penemuan dan penggunaan luas dari dicloro diphenyl trichloroethane (DDT) di tahun 1940 mengubah sejarah dalam pengendalian kutu busuk. Efek residu DDT membuat jenis insektisida ini merupakan metode yang lebih efektif terhadap kutu busuk, karena dengan penyemprotan tunggal DDT umumnya cukup untuk menghilangkan infestasi dan mencegah re-infestasi selama berbulan-bulan. Namun beberapa studi melaporkan telah terjadi resistensi pada populasi kutu busuk terhadap penggunaan DDT selama periode Perang Dunia II sehingga memunculkan kembali (re-emerging) kasus infestasi kutu busuk di berbagai negara saat ini (Potter 2008).

Kasus infestasi kutu busuk meningkat di seluruh dunia pada tingkat yang mengkhawatirkan dan telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Evolusi resistensi insektisida bisa menjadi faktor utama dalam menjelaskan kemunculan kembali kasus infestasi kutu busuk. Resistensi tinggi C. lectularius terhadap jenis insektisida piretroid yaitu deltametrin dan λ-cyhalotrin telah dilaporkan terjadi di Amerika Serikat. Hasil pengujian terhadap Deltametrin (0.6%) menunjukkan bahwa 14 dari 16 populasi kutu busuk yang dikumpulkan dari Kentucky, Ohio, Michigan, New York, Massachusetts, Virginia, Florida dan California dinyatakan telah resisten (Romero et al. 2007), sedangkan menurut Boase et al. (2006) kutu busuk telah mengalami resistensi terhadap sipermetrin di United Kingdom.

3

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada wilayah hunian masyarakat yang dibagi menjadi dua tipe kawasan yaitu perumahan dan tempat tinggal sementara di wilayah kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga Bogor dan sekitarnya. Penelitian dilaksanakan sejak Oktober 2014 - Februari 2015.

Koleksi Kutu Busuk Perumahan

(19)

7 dilakukan di perumahan wilayah kampus IPB Dramaga. Koleksi kutu busuk diambil secara acak masing-masing tipe perumahan sebanyak 20 rumah.

Tempat Tinggal Sementara (TTS)

Tempat tinggal sementara dibagi menjadi empat yaitu asrama, pondok pesantren, indekos dan wisma penginapan. Koleksi dilakukan di enam asrama mahasiswa, satu pondok pesantren, dua tempat indekos dan dua wisma penginapan yang terdekat dengan wilayah kampus IPB Dramaga. Pengambilan sampel masing-masing 30% dari kamar yang ada.

Pemeliharaan Kutu Busuk

Kutu busuk diperoleh dari hasil koleksi lapang di lokasi penelitian, kemudian dipelihara di Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan (rearing) dilakukan menurut Tawatsin et al. (2011) dengan beberapa modifikasi. Tujuan pemeliharaan ini adalah untuk mengetahui morfologi dan siklus hidup kutu busuk serta untuk mendapatkan koloni kutu busuk untuk pengukuran status kerentanan. Suhu dan kelembaban relatif di laboratorium 26-29˚C dan 60-80%. Kutu busuk dipelihara dalam wadah plastik berukuran 15x100 mm. Bagian atas ditutupi dengan kain saring agar oksigen tetap bisa masuk ke dalam wadah plastik. Kertas karton berukuran 4x8 cm sebanyak 10 buah dilipat kemudian dimasukkan ke dalam wadah plastik sebagai tempat bersembunyi kutu busuk. Kutu busuk diberi pakan darah mencit (Mus musculus) selama dua hari sekali. Mencit dimasukkan ke kandang jepit kemudian ditaruh ke dalam wadah dan dibiarkan kontak dengan kutu busuk selama 15 menit.

Preservasi dan Identifikasi

Beberapa kutu busuk dewasa yang diperoleh dari hasil pemeliharaan, dimatikan dengan kloroform kemudian dimasukkan ke dalam KOH 10% selama dua atau tiga hari. Setelah itu dilakukan preservasi, yang diawali dengan proses pencucian dengan air tiga sampai empat kali pembilasan. Selanjutnya, proses dehidratasi dengan alkohol bertingkat mulai 70, 80 dan 95% tiap fase berlangsung selama 10 menit. Setelah itu dilakukan proses penjernihan dengan cara merendam kutu busuk ke dalam minyak cengkeh selama 15-30 menit dan dicuci dengan xylol. Selanjutnya kutu busuk diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi balsam kanada serta ditutup dengan kaca penutup (Hadi dan Soviana 2010). Preparat kutu busuk dewasa tersebut diidentifikasi dengan menggunakan mikroskop stereo dan kunci identifikasi Pratt dan Stojanovich (1967).

Pengukuran Resistensi Terhadap Insektisida Insektisida

(20)

8

Uji Kerentanan Kutu Busuk

Sebelum pengujian kutu busuk dewasa yang akan diuji kerentanannya diberi pakan darah mencit selama lima hari berturut-turut sebelum dilakukan pengujian. Untuk menghindari kematian akibat kelaparan.

Pengujian kerentanan dilakukan menurut World Health Organization (WHO 1981) menggunakan impregnated paper berukuran 3x5 cm ke dalam tabung gelas berukuran 17x1.6 cm. Sebagai kontrol negatif, kutu busuk dimasukkan ke dalam tabung gelas lain yang dilapisi kertas yang tidak berinsektisida. Setiap tabung diisi 10 kutu busuk dewasa baik jantan dan betina. Tabung gelas diletakkan tegak pada rak penyangga berukuran 15x10x9 cm yang ditempatkan ke dalam suatu wadah plastik berukuran 20x20x15 cm yang dilapisi kain lembab untuk menjaga kelembaban. Pada tabung berinsektisida pengamatan mortalitas kutu busuk untuk golongan karbamat dilakukan setelah pemaparan selama 24 jam (Karunaratne et al. 2007), sedangkan untuk golongan organofosfat dan piretroid selama 16 jam (WHO 1981 dan Karunaratne et al. 2007). Kutu busuk yang telah berkontak dengan insektisida dipindahkan ke dalam tabung gelas bersih yang sudah diisi kertas putih tanpa insektisida. Kemudian setelah 24 jam jumlah kutu busuk yang mati dihitung dan dicatat. Pengujian ini diulang sebanyak lima kali.

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat

Pengukuran ini dilakukan dengan menggunakan kajian lapang lintas seksional (cross sectional study) dan wawancara terhadap responden yang tinggal di tempat hunian dengan menggunakan kuisioner tertutup (closed quisioner) untuk mengetahui pengetahuan, sikap dan praktik masyarakat. Hasil dari pengukuran ini dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif persentase. Satu tempat hunian diwakili oleh satu orang responden.

Analisis Data

Pengukuran Sebaran dan Derajat Infestasi Kutu Busuk

Sebaran infestasi dinyatakan dalam persentase, sedangkan penentuan derajat infestasi kutu busuk diukur berdasarkan Hadi dan Rusli (2006) yakni kategori aman (-) untuk yang tidak ada kutu busuk, kategori rendah (jika ditemukan 1-5 kutu busuk nimfa maupun dewasa, dengan atau tanpa telur), kategori sedang (jika ditemukan 6-10 kutu busuk nimfa maupun dewasa, dengan atau tanpa telur), kategori tinggi (jika ditemukan lebih dari 10 kutu busuk nimfa maupun dewasa, dengan atau tanpa telur). Apabila hanya ditemukan infestasi telur kutu busuk saja, maka dikategorikan sebagai infestasi tinggi.

Resistensi Kutu Busuk Terhadap Insektisida

Resistensi kutu busuk terhadap malation, propoksur, dan deltametrin diukur dengan perhitungan analisis regresi probit yang dinyatakan dalam LT50 dan LT90

(21)

9 Abbot =

Hasil uji kerentanan ditentukan berdasarkan persentase mortalitas kutu busuk. Apabila mortalitas antara 98-100% maka dinyatakan rentan, jika dibawah 98% dinyatakan resisten (WHO 2013).

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat

Perhitungan persentase pengetahuan responden terhadap kutu busuk :

Perhitungan persentase sikap dan praktik terhadap kutu busuk diperoleh berdasarkan jawaban yang diberikan oleh responden. Terdapat empat penilaian untuk masing-masing jawaban sebagai berikut : jawaban (a) baik sekali, (b) baik, (c) cukup dan (d) kurang.

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran dan Derajat Infestasi Kutu Busuk

Kawasan yang terinfestasi kutu busuk di dalam wilayah kampus IPB Dramaga lebih banyak ditemukan pada kawasan komunal yaitu asrama mahasiswa, khususnya pada asrama putra seperti yang disajikan pada Gambar 2. Berdasarkan informasi dari mahasiswa penghuni asrama, kutu busuk sudah ada di beberapa kamar sejak para mahasiswa masuk ke dalam asrama tersebut. Hal ini disebabkan kasur kapuk dan tempat tidur yang digunakan oleh mahasiswa sudah terinfestasi kutu busuk sebelumnya. Infestasi kutu busuk di suatu tempat dapat dilihat secara visual dengan adanya stadium nimfa, dewasa, telur maupun bercak-bercak kehitaman di permukaan kain pelapis kasur ataupun di dinding kayu tempat tidur.

Infestasi kutu busuk ini sangat menganggu mahasiswa penghuni asrama, bahkan banyak orang tua mahasiswa mengeluhkan masalah kutu busuk ini terhadap pihak pengelola asrama. Pengendalian secara fisik dan kimiawi pun sudah pernah dilakukan oleh pengelola asrama untuk mengatasi masalah kutu busuk ini. Infestasi kutu busuk dapat dikatakan seratus persen ditemukan di kasur. Menurut pihak pengelola Asrama IPB bentuk pengendalian sudah dilakukan pada pertengahan tahun 2014 yaitu dengan melakukan pengantian seluruh kasur kapuk, bantal dan guling baik yang terinfestasi maupun yang tidak terinfestasi pada seluruh kamar asrama. Namun pengantian kasur kapuk ini juga belum bisa sepenuhnya menghilangkan infestasi kutu busuk di asrama, akan tetapi dapat mengurangi jumlah kamar yang terinfestasi.

Infestasi kutu busuk maupun bercak-bercak kehitaman sebagai tanda keberadaan kutu busuk tidak ditemukan pada kasur, kursi dan alat rumah tangga di kawasan hunian kompleks perumahan. Berdasarkan hasil wawancara, penghuni rumah menjelaskan bahwa keberadaan kutu busuk sekarang ini sudah tidak seperti tahun 1970-an yang mudah sekali ditemukan di rumah-rumah pada saat itu.

% mortalitas - % mortalitas kontrol

(22)

10

Keterangan : = Tidak ada kutu busuk = Ada kutu busuk Pa = Asrama putra S = Kompleks perumahan Pi = Asrama putri W = Wisma penginapan

Gambar 2 Peta sebaran infestasi kutu busuk di Kampus IPB Dramaga Infestasi kutu busuk juga tidak ditemukan di wisma penginapan. Ketidakberadaan infestasi kutu busuk di kedua hunian ini bukan berarti bahwa kawasan hunian ini aman.Namun hal ini juga perlu diwaspadai, mengingat bahwa beberapa rumah di kompleks perumahan dosen dijadikan tempat indekos, seperti juga wisma yang berisi tamu yang berganti-ganti sehingga berisiko terinfestasi kutu busuk, karena tidak menutup kemungkinan jika para penghuni rumah dan pengelola wisma tidak waspada terhadap barang-barang yang dapat menjadi sumber kutu busuk, bisa saja nanti lingkungan sekitar rumah atau wisma tersebut terinfestasi.

Keterangan : = Tidak ada kutu busuk = Ada kutu busuk R = Padat penduduk K = Indekos Pp = Pondok Pesantren

Gambar 3 Peta sebaran infestasi kutu busuk di daerah sekitar kampus IPB Dramaga

Pi

Pi

W W

Pa

Pa S

S

Pp

R

R

(23)

11

Pengamatan infestasi kutu busuk yang dilakukan di wilayah sekitar kampus IPB Dramaga meliputi perumahan padat penduduk, indekos dan pondok pesantren seperti yang disajikan pada Gambar 3. Infestasi kutu busuk di indekos putra ditemukan di tumpukan kasur busa (spring bed) yang sudah lama tidak terpakai, sedangkan pada kawasan perumahan padat penduduk kutu busuk ditemukan pada bantal yang ada di dalam kamar. Tidak ditemukan infestasi kutu busuk pada kawasan pondok pesantren.

Jumlah total kamar yang telah diperiksa dari semua tipe kawasan hunian berjumlah 244 kamar, sedangkan jumlah kamar yang positif terinfestasi kutu busuk berjumlah 64 kamar terdiri atas 62 kamar di asrama mahasiswa, satu kamar di indekos dan satu kamar di perumahan padat penduduk. Rata-rata kamar terinfestasi kutu busuk sebesar 26.23%. Jenis kutu busuk yang ditemukan hanya satu spesies yaitu Cimex hemipterus.

Sebaran infestasi kutu busuk tertinggi ditemukan pada asrama mahasiswa sebesar 25.41%, selanjutnya indekos dan perumahan padat penduduk sebesar 0.41%. Nilai rata-rata derajat infestasi infestasi kutu busuk di asrama cukup bervariasi yaitu 26 kamar terinfestasi rendah (10.65%), delapan kamar terinfestasi sedang (3.28%), sedangkan kategori infestasi kutu busuk tertinggi terjadi pada 28 kamar di asrama, satu perumahan padat penduduk dan satu indekos (12.30%) (Tabel 1).

Jenis danMorfologi Kutu Busuk C. hemipterus

Total keseluruhan kutu busuk yang diperoleh dari inspeksi yang telah dilakukan di asrama, indekos dan perumahan padat penduduk sebanyak 906 terdiri atas 549 kutu busuk dewasa, 232 nimfa dan 100 telur. Selanjutnya spesies kutu busuk yang diperoleh telah diidentifikasi menggunakan kunci identifikasi menurut Pratt dan Stojanovich (1967) yaitu Cimex hemipterus.

C. hemipterus adalah jenis spesies kutu busuk yang ada di wilayah tropis terutama di Indonesia, ciri khas dalam mengidentifikasi jenis kutu busuk ini adalah dengan melihat bagian pronotum, rambut-rambut halus di sekitar pronotum (fringe hairs), proboscis dan bagian antena.

Panjang proboscis C.hemipterus hanya sampai bagian tengah koksa pertama, tidak mencapai koksa kedua. Segmen antena keempat lebih pendek Tabel 1 Sebaran dan derajat infestasi kutu busuk di berbagai tipe kawasan

Kawasan Σ Lokasi

diperiksa Σ Kamar diperiksa Σ Kamar (+) Rata-Rata (%) Derajat Infestasi Rendah (1-5) ekor Sedang (6-10) ekor Tinggi (>10) ekor

Perumahan 1.Kompleks 20 20 0 0 0 0 0

2.Padat

penduduk 20 20 1 0.41 0 0 1

TTS* 1.Asrama 6 175 62 25.41 26 8 28

2.Indekos 2 5 1 0.41 0 0 1

3.Ponpes** 1 12 0 0 0 0 0

4.Wisma 2 12 0 0 0 0 0

Total 51 244 64 26.23 26 8 30

Rata-Rata (%) 10.65 3.28 12.30

(24)

12

daripada segmen antena ketiga. Rambut halus di bagian pronotum lebih pendek dibandingkan dengan lebar mata. Bagian pronotum C. hemipterus agak sedikit melengkung seperti disajikan pada Gambar 4, namun tidak cengkung ke dalam dibandingkan dengan C. lectularius. Ciri khas dari bagian pronotum inilah yang membedakan antara C. hemipterus dengan C. lectularius (Pratt dan Stojanovich 1967).

Pronotum C. lectularius lebih lebar dibanding dengan C. hemipterus. Lebar dan panjang pronotum rata-rata C. hemipterus adalah 0.57 mm dan 1.10 mm, sedangkan C. lectularius 0.66 mm dan 1.22 mm (Suwannayod et al. 2010).

Siklus Hidup C. hemipterus di Laboratorium

Siklus hidup C. hemipterus merupakan metamorfosis tidak sempurna (telur-lima instar nimfa-dewasa). Hasil pengamatan dari laboratorium pada kondisi suhu 26–29˚C disertai kelembaban relatif 60-90% diketahui rata-rata waktu inkubasi telur adalah 5.67±1.16 hari. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk perkembangan sejak nimfa instar satu sampai dengan instar lima adalah 49.67±16.64 hari. Siklus hidup keseluruhan dari telur sampai dewasa rata-rata membutuhkan waktu 55.33±19.09 hari (Tabel 2). Menurut Khan dan Rahman (2012) dibutuhkan waktu rata-rata selama 59.00±5.57 hari bagi C. hemipterus Gambar 4 Ciri khas morfologi C. hemipterus : (A) Jantan dewasa dorsal (B) Jantan

(25)

13

menyelesaikan satu siklus hidupnya, sedangkan menurut Suwannayod et al. (2010) siklus hidup kutu busuk membutuhkan waktu rata-rata selama 39.9±7 hari. Kutu busuk dewasa betina meletakkan telur pada kertas karton hitam yang ada pada wadah pemeliharaan. Telur berwarna putih, berbentuk silidris, ukuran ±1.00 mm. Telur memiliki dua ujung, bagian ujung berbentuk oval. Telur memiliki penutup (operkulum) pada bagian ujung yang lain. Telur akan berubah warna kekuningan sebelum menetas. Di laboratorium telur menetas menjadi nimfa instar satu setelah 5-7 hari. Bentuk tubuh nimfa dan kutu busuk dewasa sama, yang membedakan adalah panjang dan warna tubuh setiap tahapan perkembangannya (Gambar 5).

Nimfa instar pertama berwarna kuning pucat sebelum mengisap darah. Namun setelah mengisap darah nimfa akan berubah menjadi kemerahan menyerupai kapsul berwarna merah dan berukuran ±1.00–1.50 mm. Rata-rata waktu nimfa instar pertama akan menetas menjadi instar kedua selama 7.33±1.15 hari. Nimfa instar kedua berwarna kuning sebelum mengisap darah dan kemudian berubah kemerahan setelah mengisap darah serta berukuran ±2.00 mm. Waktu yang diperlukan bagi nimfa instar kedua menjadi instar ketiga rata-rata selama Tabel 2 Rata-rata waktu tahapan perkembangan Cimex hemipterus pada kondisi

laboratorium (suhu 26˚C ± 3˚C dan kelembaban 60 ± 30%)

No

Periode Inkubasi Telur (hari)

Tahapan Nimfa (hari) Total

Tahapan Nimfa (hari)

Siklus Hidup dari telur s/d dewasa (hari)

Ke-1 Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5

1 7 6 14 13 8 10 52 59

2 5 8 19 16 9 10 62 67

3 5 8 8 5 8 6 35 40

Mean 5.67±1.15 7.33±1.15 13.67±3.46 11.33±7.02 8.33±3.21 8.67±4.16 49.67±16.64 55.33±19.09

(26)

14

13.67±3.46 hari. Nimfa instar ketiga bewarna lebih gelap yaitu kuning kecoklatan dibandingkan instar kedua dan berukuran ±2.50 mm. Rata-rata periode menetas nimfa instar ketiga menjadi instar keempat adalah 11.33±7.02 hari.

Nimfa instar keempat berwarna coklat sebelum mengisap darah dan setelah mengisap darah akan berubah menjadi merah serta berukuran ±3.00 mm. Menurut Khan dan Rahman (2012) pada tahap nimfa instar keempat bagian mesotoraks dan metatoraks semakin terlihat jelas. Nimfa instar keempat membutuhkan rata-rata 8.33±3.21 hari untuk menetas menjadi instar kelima. Nimfa instar kelima berwarna coklat gelap sebelum mengisap darah dan akan berubah menjadi merah kecoklatan setelah mengisap darah, berukuran ±4.00 mm. Instar kelima adalah tahapan terakhir perkembangan nimfa, selanjutnya tahap nimfa ini akan menetas menjadi kutu busuk dewasa. Waktu yang diperlukan dari instarkelima menjadi dewasa rata-rata selama 8.67 ± 4.16 hari.

Kelangsungan hidup tertinggi C. hemipterus pada kondisi optimum suhu 20-25˚C dan kelembaban 50-100% (How dan Lee 2010). Sedangkan menurut Omori (1941) kelembaban yang tinggi dapat menurunkan tingkat kelangsungan hidup C. hemipterus dewasa. Namun menurut Benoit et al. (2009) kutu busuk dapat beradaptasi dengan baik pada kelembaban 50-75%.

Data cuaca di wilayah Dramaga pada November 2014 - Februari 2015 suhu dan kelembaban rata-rata adalah 25.93˚C dan 83.67%, sedangkan rata-rata suhu dan kelembaban di laboratorium 27˚C dan 79%. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi suhu dan kelembaban di wilayah Dramaga mendukung kutu busuk untuk berkembang dan beradaptasi dengan baik sehingga masih ditemukannya infestasi kutu busuk (BMKG 2014-2015).

Resistensi Kutu Busuk C. hemipterus Terhadap Insektisida

Hasil uji kerentanan kutu busuk C. hemipterus terhadap tiga golongan insektisida disajikan pada Tabel 3. Rata-rata persentase mortalitas kutu busuk C. hemipterus setelah 24 jam masa kontak dengan tiga golongan insektisida menunjukkan hasil rendah yaitu kurang dari 98%. Mortalitas kutu busuk terhadap malation menunjukkan angka tertinggi (87.50%). Selanjutnya pada deltametrin mortalitas sebesar 21.43%, sedangkan pada propoksur memperlihatkan angka mortalitas terendah (10%). Hal ini menunjukkan bahwa populasi kutu busuk di asrama mahasiswa di wilayah kampus IPB Dramaga telah mengalami resisten terhadap tiga golongan insektisida tersebut.

Nilai LT50 dan LT90 tertinggi yaitu terhadap propoksur sebesar 12.88 dan

21.78 hari dan terendah terhadap malation sebesar 0.14 dan 3.76 hari (Tabel 3).

Sedangkan Tawatsin et al. (2011) melaporkan bahwa LT50 kutu busuk

C. hemipterus di Chonburi dan Phuket terhadap propoksur 11 dan 12.8 hari, LT50

di Chonburi dan Bangkok terhadap deltametrin 10.7 dan 18 hari dan LT50 di

Phuket dan Bangkok terhadap malation 4.8 dan 11.7 hari.

Nilai LT50 terhadap malation dan deltametrin dari populasi kutu busuk

asrama di wilayah kampus IPB Dramaga masih lebih rendah dibandingkan dengan nilai LT50 koloni kutu busuk dari beberapa daerah di Thailand, namun terhadap

propoksur cenderung nilai LT50 sama yakni berkisar 12 hari. Hal ini juga dapat

(27)

15

Infestasi kutu busuk di Indonesia pada kurun waktu 1970-2000 dapat dikendalikan secara penuh karena penggunaan insektisida berbasis organoklorin seperti dicloro diphenyl trichloroethane (DDT). Namun sejak terjadinya kasus resistensi populasi berbagai jenis serangga termasuk kutu busuk terhadap DDT maka penggunaan jenis insektisida ini pun diberhentikan. Organofosfat dan karbamat sejak tahun 1970-an merupakan golongan insektisida yang banyak dipasarkan untuk pengendalian serangga termasuk dalam program pengendalian serangga hama rumah tangga (Ahmad 2014).

Resistensi populasi kutu busuk yang terjadi di asrama mahasiswa ini kemungkinan berkaitan erat dengan penggunaan insektisida khususnya jenis propoksur dan deltametrin yang umum dipakai sehari-hari oleh mahasiswa di asrama untuk mengendalikan serangga hama terutama nyamuk, lalat, semut dan lipas (kecoa).

Kasus resistensi kutu busuk di negara-negara berkembang banyak dilaporkan antara lain di Thailand pada tahun 1970, C. hemipterus resisten terhadap insektisida DDT (WHO 1976). Di Tanzania C. hemipterus telah resisten terhadap permetrin dan α-sipermetrin (Myamba et al. 2002). Di wilayah Kandy, Sri lanka C. hemipterus telah resisten terhadap malation 5%, sedangkan di wilayah Nuwara Eliya, Sri lanka populasi kutu busuk resisten terhadap propoksur 0.8% (Karunaratne et al. 2007). Kutu busuk C. lectularius di Thailand juga diketahui telah resisten terhadap bifentrin dan α-sipermetrin (Suwannayod et al. 2010), sedangkan di Denmark C. lectularius resisten terhadap permetrin dan deltametrin (Kilpinen et al. 2008).

Banyaknya kasus resistensi populasi kutu busuk di Thailand dan bahkan di seluruh dunia, maka diperlukan jenis insektisida baru untuk menggantikan insektisida golongan organofosfat (diazinon dan malation), karbamat (fenobucarb dan propoksur) dan piretroid (bifentrin, sipermetrin, deltametrin, esfenvalerate dan etofenprox) yang sudah tidak efektif lagi terhadap kutu busuk. Beberapa jenis insektisida baru yang dilaporkan masih efektif dalam mengendalikan kutu busuk seperti imidacloprid (neonicotinoid group), chlorfenaphyr (pyrrole group) dan fipronil (phenylpyrazole group). Berdasarkan hasil uji efikasi dan toksisitas, jenis insektisida imidacloprid yang paling direkomendasikan untuk pengendalian kutu busuk saat ini, karena bahan aktif ini dinilai efektif bisa mengendalikan kutu busuk yang telah resisten terhadap beberapa jenis insektisida (Tawatsin et al. 2011).

Tabel 3 Mortalitas, status resistensi, nilai LT50, dan LT90 kutu busuk

C. hemipterus terhadap tiga golongan insektisida

Insektisida Mortalitas

(%)

Status

Resistensi LT50 (hari) LT90 (hari)

Malation 5% 87.50 resisten 0.14 (0.05 – 0.25) 3.76 (3.02 – 9.00)

Deltametrin 0.05% 21.43 resisten 9.14 (7.66 - 11.22) 18.42 (15.30 – 24.12)

(28)

16

Pengukuran Pengetahuan, Sikap dan Praktik (PSP) Masyarakat Karakteristik Umum Responden

Karakteristik responden dibagi berdasarkan jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir dan pekerjaan (Tabel 4). Responden yang diwawancarai berjumlah 232 responden yang terdiri atas mahasiswa, pelajar dan masyarakat, serta dua responden merupakan pihak pengelola wisma penginapan. Total responden adalah 234 responden.

Jumlah responden terbanyak adalah laki-laki dengan jumlah 146 responden (62.40%), sedangkan jumlah responden perempuan 88 responden (37.60%). Karakteristik berdasarkan usia yaitu usia <20 tahun sebanyak 189 responden (80.77%), 21-49 tahun sebanyak 23 responden (9.83%), 50-70 tahun sebanyak 17 responden (7.26%) dan ≥71 tahun sebanyak 5 responden (2.14%). Jumlah responden terbanyak pada usia <20 tahun, hal ini disebabkan karena responden terbanyak adalah kalangan mahasiswa yang tinggal di asrama Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB Dramaga, rata-rata usia mahasiswa tersebut berkisar 18-19 tahun.

Jumlah responden terbanyak berdasarkan pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Akhir (SMA) sebanyak 209 responden (89.32%), perguruan tinggi sebanyak 14 responden (5.98%), Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebanyak 9 responden (3.85%) dan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 2 responden (0.85%), sedangkan jumlah responden terbanyak berdasarkan jenis pekerjaan adalah mahasiswa sebanyak 190 responden (81.20%), ibu rumah tangga sebanyak 15 responden (6.41%), pelajar sebanyak 12 responden (5.13%), pensiunan dosen dan swasta/wiraswasta sebanyak 6 responden (2.56%), serta pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 5 responden (2.14%).

Tabel 4 Karakteristik umum responden

Karakteristik Jumlah %

Jenis Kelamin Laki-laki 146 62.40 Perempuan 88 37.60

Usia

< 20 thn 189 80.77 21 – 49 thn 23 9.83 50 – 70 thn 17 7.26

≥ 71 thn 5 2.14

Pendidikan terakhir

SD 2 0.85

SMP 9 3.85

SMA 209 89.32

Perguruan Tinggi 14 5.98

Jenis pekerjaan

Pegawai Negeri Sipil 5 2.14 Pensiunan Dosen 6 2.56 Ibu Rumah Tangga 15 6.41 Swasta/Wiraswasta 6 2.56

Mahasiswa 190 81.20

(29)

17 Berdasarkan keseluruhan karakteristik umum responden dapat disimpulkan bahwa responden terbanyak dalam penelitian ini adalah mahasiswa, baik yang tinggal di dalam asrama mahasiswa maupun yang di sekitar wilayah kampus IPB Dramaga.

Pengetahuan Responden Terkait Infestasi Kutu Busuk

Pengetahuan merupakan faktor internal yang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang terhadap suatu objek tertentu. Oleh karena itu, keberadaan kutu busuk dapat lebih mudah diketahui jika masyarakat mengetahui tentang kutu busuk, baik secara fisik morfologi dan kebiasaan hidup kutu busuk, serta pengalaman melihat atau menemukan kutu busuk.

Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase sebanyak 78.44% responden mengetahui tentang kutu busuk, 63.80% responden pernah melihat kutu busuk, 46.55% responden pernah merasakan gigitan kutu busuk, 45.26% responden tidak dapat membedakan antara gigitan kutu busuk dengan serangga lain dan 95.30% responden menganggap masalah kutu busuk perlu diatasi. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan kutu busuk masih diketahui oleh banyak kalangan dimulai dari mahasiswa, pelajar dan masyarakat.

Tabel 5 Persentase tingkat pengetahuan responden terkait infestasi kutu busuk

No

Pernyataan terkait pengetahuan tentang

infestasi KB*

Jawaban Responden

(%) Total (n)

1 Responden pernah mengetahui tentang KB

Ya 182 (78.44%)

232 Tidak 50 (21.55%)

2 Responden pernah

menemukan KB di tempat tinggal

Ya 148 (63.80%)

232 Tidak 84 (36.20%)

3 Responden pernah merasakan

gigitan/gangguan KB

Ya 108 (46.55%)

232 Tidak 124 (53.44%)

4 Responden bisa

membedakan gigitan KB dengan serangga lainnya

Ya 105 (45.26%)

232 Tidak 127 (54.74%)

5 Responden merasa masalah KB perlu segera diatasi

Ya 221 (95.30%)

232 Tidak 11 (4.70%)

Keterangan : *KB : kutu busuk

Sikap Responden Terkait Infestasi Kutu Busuk

(30)

18

Tabel 6 Persentase tingkat sikap responden terhadap pernyataan terkait infestasi kutu busuk

Sikap Responden (%)

Baik Sekali 52.41

Baik 37.33

Cukup 8.71

Kurang 1.55

[image:30.595.64.488.96.799.2]

Hasil analisis deskriptif pada Tabel 6 menunjukkan persentase sikap responden terhadap pernyataan sikap terkait infestasi kutu busuk berada pada tingkat baik sekali dengan rata-rata persentase 52.41%. Hal ini terlihat dari jawaban responden atas pernyataan yang terdapat di dalam kuisioner seperti yang tertera pada Tabel 7. Secara umum hal pertama yang akan dilakukan oleh responden jika menemukan kutu busuk adalah dengan mematikan kutu busuk (54.31%). Sebanyak 71.55% responden akan mengobati bekas luka dari gigitan kutu busuk dan masalah infestasi kutu busuk dianggap oleh responden merupakan masalah kesehatan yang serius (52.57%). Oleh karena itu penyuluhan mengenai infestasi kutu busuk diperlukan oleh masyarakat luas, agar masyarakat luas dapat lebih mengetahui cara pencegahan dan pengendalian terhadap infestasi kutu busuk.

Tabel 7 Persentase jawaban responden terkait sikap terhadap infestasi kutu busuk

Pernyataan Jawaban Responden

n %

Apa yang dilakukan ketika ada infestasi KB*

Mematikan kutu busuk 126 54.31 Menjemur kasur secara rutin 41 17.67 Pengendalian kimiawi 55 23.71 Membiarkan saja 10 4.31 Apa perlu pengendalian

dengan insektisida

Perlu sekali 77 33.19

Perlu 133 57.33

Tidak perlu 20 8.62 Tidak perlu sama sekali 2 0.86 Apa yang dilakukan ketika

digigit KB*

Mengobati bekas gigitan 166 71.55 Pergi ke dokter 45 19.40 Mengaruk 18 7.76 Membiarkan saja 3 1.29 Apa diperlukan penyuluhan

tentang KB*

Perlu sekali 117 50.43

Perlu 107 46.12

Tidak perlu 6 2.59 Tidak perlu sama sekali 2 0.86 Apa keberadaan KB*

merupakan masalah

Masalah serius 122 52.57 Cukup menganggu 107 46.12 Biasa saja 2 0.86 Bukan masalah 1 0.45

[image:30.595.88.487.393.734.2]
(31)

19

Praktik Responden Terkait Infestasi Kutu Busuk

Praktik atau tindakan seseorang merupakan perwujudan suatu sikap, yang telah mendapat fasilitas atau dukungan. Praktik seseorang yang didasari oleh penglihatan, kesadaran dan sikap positif maka praktik tersebut akan bersifat langgeng (Notoatmodjo 2007). Praktik responden berada pada tingkat yang baik karena didasari oleh kesadaran akan pentingnya kebersihan.

Hasil analisis deskriptif pada Tabel 8 menunjukkan bahwa rata-rata persentase 46.29% responden berpraktik baik terhadap pencegahan dan pengendalian terhadap infestasi kutu busuk. Sebanyak 71.98% responden akan mematikan kutu busuk baik secara manual atau menggunakan insektisida jika Tabel 8 Persentase praktik responden terhadap pernyataan terkait infestasi kutu

busuk

Praktik Responden (%)

Baik Sekali 31.47

Baik 46.29

Cukup 10.86

Kurang 11.38

Tabel 9 Persentase jawaban responden terkait praktik terhadap infestasi kutu busuk

Pernyataan Jawaban Responden

n %

Apa yang dilakukan untuk mengatasi infestasi tinggi KB*

Mengganti kasur 106 45.69 Pengendalian kimiawi 94 40.52 Memberikan penyuluhan 29 12.50 Membiarkan saja 3 1.29 Berapa kali menjemur kasur Setiap hari 5 2.16 1x seminggu 50 21.55 >2x sebulan 69 29.74 Tidak pernah 108 46.55 Apa perlu menjemur kasur Perlu sekali 66 28.45 Perlu 155 66.81 Tidak perlu 9 3.88 Tidak perlu sama sekali 2 0.86 Berapa kali mengganti

seprai, sarung bantal dan guling

1x seminggu 21 9.05 2 minggu sekali 192 82.76 1x sebulan 14 6.03 Tidak pernah 5 2.16 Apa yang dilakukan

menemukan KB*

Mematikan kutu busuk 167 71.98 Mengganti seprai 46 19.83 Membuang kasur 5 2.16 Tidak melakukan apa-apa 14 6.03

[image:31.595.106.515.160.788.2]
(32)

20

menemukan kutu busuk dan 45.69% responden akan mengganti kasur jika menemukan infestasi kutu busuk yang tinggi.

Sebanyak 66.81% responden menganggap praktik menjemur kasur diperlukan untuk mencegah infestasi kutu busuk, namun terdapat 46.55% responden tidak pernah menjemur kasur secara rutin (Tabel 9).Kemungkinan bagi responden menjemur kasur merupakan hal yang cukup sulit dilakukan. Hal ini terjadi dikarenakan ukuran kasur yang cukup besar dan berat serta ketiadaan tempat untuk menjemur kasur.

Pengetahuan, Sikap dan Praktik Pihak Pengelola Wisma Penginapan Terkait Infestasi Kutu Busuk

Wisma sebagai sarana penginapan sangat diharapkan bebas hama baik serangga atau hama lainnya (zero pest) di dalam kamar. Hal ini dapat menurunkan segi ekonomi dan citra dari sebuah tempat penginapan. Oleh karena itu untuk selalu menjaga kenyamanan tamu selama menginap setiap kamar, pihak pengelola wisma perlu sangat memperhatikan kebersihan di setiap kamar untuk menghindari infestasi dari jenis serangga yang menganggu terutama kutu busuk. Jika diperlukan bekerja sama dengan jasa pengendali hama (pest control) untuk mencegah terjadinya infestasi kutu busuk.

Hasil pengukuran pengetahuan, sikap dan praktik kepada dua pihak pengelola wisma penginapan di wilayah Kampus IPB Dramaga menunjukkan bahwa kedua pihak pengelola wisma penginapan mengetahui tentang kutu busuk, satu di antara wisma pernah terinfestasi kutu busuk sekitar satu tahun yang lalu. Pihak wisma sepakat bahwa kutu busuk ada di dalam wisma tersebut karena faktor bawaan dari tamu yang menginap. Pihak pengelola wisma bersikap dan berpraktik baik terkait infestasi kutu busuk, yakni saat ditemukan kutu busuk, pihak wisma langsung membersihkan sumber kutu busuk.

5

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebaran infestasi kutu busuk tertinggi ditemukan pada asrama mahasiswa sebesar 25.41%, selanjutnya indekos dan rumah padat penduduk sebesar 0.41%. Nilai rata-rata derajat infestasi infestasi kutu busuk di asrama cukup bervariasi yaitu 26 kamar terinfestasi rendah (10.65%), delapan kamar terinfestasi sedang (3.28%), sedangkan kategori infestasi kutu busuk tertinggi terjadi pada 28 kamar di asrama, satu rumah padat penduduk dan satu indekos (12.30%).

Hasil pengamatan dari laboratorium pada kondisi suhu 26–29˚C disertai kelembaban relatif 60-90% diketahui rata-rata total hari yang dibutuhkan pada tahapan nimfa instar satu sampai dengan instar lima adalah 49.67±16.64 hari. Siklus hidup kutu busuk secara keseluruhan dari telur sampai dewasa rata-rata membutuhkan waktu 55.33±19.09 hari.

(33)

21 Hasil wawancara mengenai persentase pengetahuan, sikap dan praktik (PSP) masyarakat menunjukkan bahwa keberadaan kutu busuk masih dikenali baik dari mahasiswa, pelajar maupun ibu rumah tangga. Masyarakat memiliki sikap dan praktik yang baik dalam mengendalikan infestasi kutu busuk di lingkungan tempat mereka tinggal.

Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sebaran infestasi kutu busuk secara luas khususnya di kawasan yang bersifat komunal di daerah lain. Selain itu perlu mencari alternatif penggunaan jenis insektisida lain untuk mengendalikan infestasi kutu busuk.

DAFTAR PUSTAKA

Abbot WS. 1925. A method of computing the effectiveness of an insecticide. J Econ Entomol 18:265-267.

Ahmad I. 2014. Fakta tentang kutu busuk (bedbugs) Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) dan cara pengendaliannya. Institut Teknologi Bandung (ID): Bandung.

Anonim. 2008. Pariwisata Bali perlu waspada disinyalir dua hotel besar dimasuki kutu busuk. Bali Post. Kolom Ekonomi 129:61 (16-029).

[BMKG]. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor. Data Iklim Bulanan (November 2014 – Februari 2015). Benoit JB Lopez-Martinez G, Teets NM, Phillips SA, Denlinger DL. 2009.

Responses of the bed bug Cimex lectularius to temperature extremes and dehydration: levels of tolerance, rapid cold hardening and expression of heat shock proteins. Med Vet Entomol 23:418-425.

Boase CJ. 2006. Insecticide susceptibility status of UK bed bugs (Cimex lectularius) interim results. Pest Ventures Seminar 11-12 April, Kegworth, Nottingham.

[CISR]. Center of Invasive Spesies Research. 2011. Bed bugs, Cimex lectularius, Cimex hemipterus, and Leptocimex boueti (Heteroptera: Cimicidae). University of California, Riverside.

Criado PR, Junior WB, Criado RFJ, Silva RV, Vasconcellos C. 2011. Bedbugs (Cimicidae infestation): the worldwide renaissance of an old partner of human kind. Braz J Infect Dis 15(1):74-80.

Doggett SL, Geary MJ, Russell RC. 2004. The resurgence of bed bugs in Australia with notes on their ecology and control. Environ Health 4(2):30-38. Emmanuel OI, Cyprian A, Agbo OE. 2014. A survey of bedbug (Cimex

lectularius) infestation in some home and hostel in Gboko Benue State Nigeria. Psyche Vol 2014.doi:10.1155/2014/762704.

(34)

22

Gbakima AA, Terry BC, Kanja F, Kortequee S, Dukuley I, Sahr F. 2002. High prevalence of bedbugs Cimex hemipterus and Cimex lectularius in camps for internally displaced persons in Freetown, Sierra Leone: a pilot humanitarian investigation. West Afr J Med 21(4):268-271.

Giorda F, Guardone L, Mancini M, Accorsi A, Macchioni F, Mignone W. 2013. Cases of bed bug (Cimex lectularius) infestations in Northwest Italy. Vet Italiana 49(4):335-340.doi :10.12834/Vetlt.1306.03.

Hadi UK, Rusli VT. 2006. Infestasi caplak anjing Riphicephalus sanguineus (Parasitiformes: Ixodidae) di daerah kota Bogor. J Med Vet Indonesia 10(2): 55-60.

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit Pengenalan, Identifikasi dan Pengendalian. Institut Pertanian Bogor (ID) : IPB Pr.

Harlan HJ, Faulde MK, Baumann GJ. 2008. Bedbugs. Di dalam : Xavier Bonnefoy, Helge Kampen dan Kevin Swwney editor. Public Health Significance of Urban Pest. Denmark DK-2100 Copenhagen: World Health Organization Regional Office for Europe. p 132.

How YF, Lee CY. 2010. Fecundity, nymphal development and longevity of field collected tropical bedbugs Cimex hemipterus. Med Vet Entomol 24:108-116.doi:10.1111/j.1365. 2010.00852.x.

How YF, Lee CY. 2010. Effects of temperature and humidity on the survival and water loss of Cimex hemipterus (Hemiptera:Cimicidae). J Med Entomol 47(6):987-995.doi:10.1603/ME10018.

Karunaratne SHPP, Damayanthi BT, Fareena MHJ, Imbuldeniya V, Hemingway J. 2006. Insecticide resistance in the tropical bedbug Cimex hemipterus. Pestic Biochem Physiol 88:102-107.doi:10.1016/j.pestbp.2006.09.006.

Khan HR, Rahman MDM. 2012. Morphology and biology of the bedbug Cimex hemipterus (Hemiptera: Cimicidae) in the laboratory. Dhaka Univ J Biol Sci. 21(2):125-130.

Kilpinen O, Jensen KV, Kristensen M. 2008. Bed bug problems in Denmark with a European perspective. p 395-399. Proceedings 6th International Conference on Urban Pest 13-16 July Budapest. Hungary: OOK-Press.

Krueger L. 2000. Don’t get bitten by the resurgence of bed bugs. Pest Control 68:58-64.

Lee IY, Ree H, An SJ, Linton JA, Yong TS. 2008. Reemergence of the bedbug Cimex lectularius in Seoul Korea. Kor J Parasitol 46(4):269-271.doi:10.3347/kjp.2008.46.4.269.

Maseti M, Bruschi F. 2007. Bed bug infestations recorded in Central Italy. Parasitol Int 56:81-83.

May M. 2007. Bedbugs bounce back in all 50 states. San Fransisco Chronicle A1-A8.

Mumcuoglu KY. 2008. A case of imported bedbug (Cimex lectularius) infestation in Israel. IMAJ 10:388-389.

Myamba J, Maxwell CA, Asidi A, Curtis CF. 2002. Pyrethroid resistance in tropical bed bugs Cimex hemipterus associated with use of treated bednets. Med Vet Entomol 16:448-451.

Myles T, Brown B, Bedard B, Bhooi R, Bruyere K, Chua AL, Macsai M, Menezes R, Salwan A, Takahashi M. 2003. Bed bugs in Toronto. Centre for Urban and Community Studies. Res Bull 19: 1-4. ISSN 0-7727-1429-0.

(35)

23 [OEHHA]. The Office of Enviromental Health Hazard Assesment’s Reproductive Cancer Hazard Assesment Section. 2013. Evidence on the Developmental and Reproductive Toxicity of Deltamethrin. p 9.

Omori N. 1941. Comparative studies on the ecology and physiology of common and tropical bed bugs, with special reference to the reactions to temperature and moisture. J Med Assoc Taiwan 60:555-729.

Pinto LJ, Cooper R, Kraft SK. 2007. Bed Bug Handbook : The complete guide to bed bugs and their control. Mechanicsville Maryland (MD) : Pinto and Associates Inc.

Pratt HD, Stojanovich CJ. 1967. Bugs: pictorial key to some species that may bite man. In Pictorial Keys to Arthropods, Reptiles, Birds and Mammals of Public Health Significance. US Department of Health Education And Welfare Atlanta GA. p 94.

Potter MF. 2005. A bed bug state of mind: emerging issues in bed bug management. Pest Control Technol 33:82-97.

Potter MF. 2008. The history of bed bug management. Bed bug supplement : Lessons from the past. Pest Control Technol 36:12.

Romero A, Potter MF, Potter DA, Haynes KF. 2007. Insecticide resistance in the bed bug: A factor in the pest’s sudden resurgence?. J Med Entomol 44(2):175-178.

Suwannayod S, Chanbang Y, Buranapanichpan. 2010. The life cycle and effectiveness of insecticides against the bed bugs of Thailand. Southeast Asian J Trop Med Public Health 41(3):548-554.

Tawatsin A, Thavara U, Chompoosri J, Phusup Y, Jonjang N, Khumsawads C, Bhakdeenuan P, Sawanpanyalert P, Asavadachanukorn P, Mullas MIRS, Siriyasatien P, Debboun M. 2011. Insecticide resistance in bedbugs in Thailand and laboratory evaluation of insecticides for the control of Cimex hemipterus and Cimex lectularius (Hemiptera:Cimicidae). J Med Entomol 48(5):1023-1030.doi:10.1603/MEI1003.

Terminix. 2011. How New York become Americas most bedbug infested city: problem has played hotels, subways, retail and even NYPD police cars.

Usinger RL. 1966. Monograph of Cimicidae (Hemiptera-Heteroptera). Thomas Say Foundation Volume VII. Entomological Society of America. College Park Maryland. USA.

Wang C, Wen X. 2011. Bed bug infestations and control practices in China: implications for fighting the global bed bug resurgence. J Insect 2:83-9.doi:10.3390/ insects2020083. ISSN 2075-4450.

Wirawan IA. 2006. Insektisida Permukiman. Di dalam : Singgih Harsoyo Sigit dan Upik Kesumawati Hadi editor. Hama Permukiman Indonesia: Pengenalan, Biologi, dan Pengendalian. Bogor: Unit Kajian Pengendalian Hama Permukiman, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. hlm 319.

[WHO]. World Health Organization. 1976. Report WHO Expert

Gambar

Gambar 1 Bagian tubuh C. hemipterus (Khan dan Rahman 2012)
Gambar 2 Peta sebaran infestasi kutu busuk di Kampus IPB Dramaga
Tabel 1 Sebaran dan derajat infestasi kutu busuk di berbagai tipe kawasan
Gambar 4 Ciri khas morfologi C. hemipterus : (A) Jantan dewasa dorsal (B) Jantan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini memungkinkan sekali untuk dilakukan penelitian terkait resistensi vektor Aedes aegapty terhadap beberapa bahan aktif insektisida yaitu Malathion dan Temephos