• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

INFESTASI PINJAL DAN INFEKSI

Dipylidium caninum

PADA

KUCING LIAR DI KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DRAMAGA

AULIA SYIFAK BASHOFI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar di Kampus Institut Pertanian Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari skripsi saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

AULIA SYIFAK BASHOFI. Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA dan YUSUF RIDWAN.

Penelitian ini dilakukan untuk menginvestigasi infestasi pinjal dan infeksi Dipylidium caninum pada kucing liar di Institut Pertanian Bogor Dramaga. Total 30 kucing dikumpulkan dari beberapa tempat yang sering ditemukan di IPB Dramaga. Kucing liar dikumpulkan secara purposif yang menunjukan pruritus dan alopecia. Seluruh tubuh kucing dibedaki dengan bedak gamexan, setelah itu pinjal dikoleksi secara manual dan diperiksa secara mikroskopis. D. caninum diperiksa dari 30 sampel feses kucing liar menggunakan metode McMaster, metode pengapungan, dan melihat keberadaan proglotid. Identifikasi pinjal dilakukan di laboratorium Entomologi, sementara feses diperiksa di laboratorium Helmintologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Hasil identifikasi menunjukan hanya satu spesies pinjal yaitu Ctenocephalides felis, sementara D. caninum tidak ditemukan. Dua puluh satu kucing (70%) dari 30 terinfestasi pinjal dengan rata- rata kepadatan pinjal per kucing yaitu 3.8±1.9.

Kata kunci: Ctenocephalides felis, Dipylidium caninum, Prevalensi, kucing liar.

ABSTRACT

AULIA SYIFAK BASHOFI. Flea Infestation and Dipylidium caninum infection on Stray Cat in Bogor Agricultural University Campus Dramaga. Supervised by SUSI SOVIANA and YUSUF RIDWAN.

This study was conducted to investigate flea infestation and Dipylidium caninum infection on stray cat in Bogor Agricultural University Dramaga. The totals of 30 stray cats were collected from various places which found commonly in Bogor Agricultural University Dramaga. The stray cats were collected purposifelly which showed pruritus and alopecia. The whole body of cat powdered by gamexan powder, after that the fleas were collected by manual and examined microscopically. The D. caninum were examined from 30 fecal samples of stray cats used McMaster methode, flotation methode and observed by existence of proglotids. Fleas identification were conducted in Laboratory Entomology, while fecals were examined in Laboratory Helminthology, Faculty of Veterinary Medicine Bogor Agricultural University. The identification showed that was only one spesies of flea namely Ctenocephalides felis, while D. caninum were not found. Twenty one (70%) from thirty cats were infestated by the flea with density average of fleas per cat was 3.8±1.9.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

INFESTASI PINJAL DAN INFEKSI

Dipylidium caninum

PADA

KUCING LIAR DI KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR

DRAMAGA

AULIA SYIFAK BASHOFI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar Di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Nama : Aulia Syifak Bashofi NIM : B04090106

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi Pembimbing I

Dr drh Yusuf Ridwan, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan November 2012 sampai Januari 2013 dengan judul Infestasi Pinjal dan Infeksi Dipylidium caninum pada Kucing Liar di Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Dr drh Susi Soviana, MSi dan Bapak Dr drh Yusuf Ridwan, MSi selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membimbing, mengarahkan dan memberi saran positif kepada penulis selama penelitian dan penyusunan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh Chaerul Basri, M.Epid selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Eman, dan Bapak Heri yang telah banyak membantu dalam penelitian ini. Ungkapan terima kasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Ayah (Shofi’i), Ibu (Siti Rohma), Kakak, Adik, dan seluruh keluarga tercinta serta teman-teman, atas segala do’a dan kasih sayangnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR LAMPIRAN ix

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Karakteristik Kucing 2

Pinjal 2

Dipylidium caninum 5

METODE 6

Waktu dan Tempat 6

Lokasi Penelitian 6

Rancangan Studi 6

Prosedur Penelitian 6

Analisis Data 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 9

Jenis Pinjal yang Ditemukan 9

Prevalensi dan Derajat Infestasi Pinjal 11

Prevalensi Dipylidium caninum 11

SIMPULAN DAN SARAN 12

Simpulan 12

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 12

LAMPIRAN 16

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan jumlah pinjal jantan dan betina 9

2 Hubungan derajat infestasi, gejala klinis, dan jenis kelamin inang 11

DAFTAR GAMBAR

1 Morfologi pinjal 3

2 Telur D. caninum dan Proglotid pada feses 5

3 Morfologi kepala pinjal Ctenocephalides felis, tibia bagian tungkai belakang, aedeagus pada pinjal jantan ,dan kantung spermateka pada

(11)

1

PENDAHULUAN

Kucing yang hidup liar sering dijumpai di sekitar lingkungan manusia di antaranya tempat makan, pemukiman, dan tempat pembuangan sampah termasuk di lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Kucing yang berkeliaran di kampus IPB Dramaga sering dijumpai dalam kondisi kurus dan kotor. Kondisi kucing yang hidup secara bebas sekaligus kotor memudahkan berbagai jenis penyakit di antaranya Flea Allergic Dermatitis (FAD) dan Dipylidiasis berkembang di lingkungan kampus IPB Dramaga.

FAD merupakan penyakit yang disebabkan oleh gigitan pinjal (ordo Siphonaptera) dengan gejala klinis pruritus dan papula di kulit (Lane et al. 2008). Menurut Hadi dan Soviana (2010) beberapa pinjal utama yang menimbulkan masalah di Indonesia adalah Pulex irritans, Ctenocephalides felis, Ctenocephalides canis, dan Xenopsylla cheopis. Pinjal selain menyebabkan gangguan pada kucing juga mengganggu manusia. Chin et al. (2010) melaporkan enam mahasiswa laki-laki di Kuala Lumpur terinfestasi C. felis dengan gejala klinis berupa pruritus dan maculopapular. Selain dapat menyebabkan gangguan secara langsung, pinjal juga berperan sebagai inang antara cacing pita Dipyllidium caninum (Gupta et al. 2008).

Infeksi D. caninum pada inang definitif dikenal sebagai penyakit Dipylidiasis. Hal tersebut dapat terjadi karena inang definitif menelan inang antara yang mengandung larva D. caninum (Bowman et al.2002). Dipylidiasis termasuk dalam metazoonosis yaitu penyakit zoonosa yang ditransmisikan dari invertebrata ke vertebrata (Lane et al. 2008). Adam et al. (2012) melaporkan kejadian Dipylidisis pada laki-laki karena tidak sengaja menelan pinjal mengandung larva D. caninum yang berada pada anjing dan kucing disekitarnya. Dipylidiasis pada kucing biasanya tidak menunjukkan gejala klinis, namun proglotid dapat ditemukan pada fesesnya (BARK 2010).

Penelitian tentang infestasi pinjal dan infeksi D. caninum pada kucing liar jarang dilakukan di Indonesia. Laporan mengenai prevalensi dan penyebaran parasit dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan tindakan penanggulangan dan pengendalian penyakit parasitik. Mengingat potensi pinjal dan cacing D. caninum sebagai agen zoonotik, maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keberadaanya.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis-jenis pinjal dan mengetahui keberadaan cacing D. caninum pada kucing liar di lingkungan kampus IPB Dramaga.

Manfaat Penelitian

(12)

2

dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengendalian yang tepat. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat di lingkungan kampus IPB Dramaga tentang bahaya penyakit zoonosa yang dapat ditularkan kucing.

TINJAUAN PUSTAKA

Karakteristik Kucing

Kucing merupakan satwa karnivora yang telah didomestikasi dan menjadi salah satu hewan kesayangan manusia. Klasifikasi kucing menurut Linnaeus (1758) dalam Ereshefsky (2000) sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Hubungan kucing dan manusia bersifat saling menguntungkan (simbiosis) yaitu kucing mendapatkan ketersediaan makanan, sedangkan manusia memperoleh pengendali rodensial dan teman (Meadows dan Flint 2006). Kucing juga berperan sebagai inang penyebar penyakit. Menurut Blaszkowska et al. (2013) kucing liar merupakan salah satu sumber utama pencemaran telur parasit zoonotik di lingkungan.

Pinjal

Klasifikasi

(13)

3 Morfologi

Bentuk morfologi pinjal dewasa berbeda dibandingkan dengan bentuk serangga lainnya yaitu pipih bilateral. Bentuk tubuh dewasa memiliki panjang satu sampai enam milimeter dan biasanya ukuran betina lebih besar dibandingkan jantan (Wall dan Shearer 2001). Seperti serangga pada umumnya, tubuh pinjal terdiri atas kepala, toraks, dan abdomen yang dapat dilihat pada Gambar 1.

Kepala pinjal memiliki lekuk yang berfungsi menyimpan antena bersegmen (Levine 1990). Menurut Hadi dan Soviana (2010) terdapat tiga segmen antena pada lekuk. Pinjal memiliki mata sederhana di depan antena. Bagian ventral anterior kepala memiliki bagian yang dikenal sebagai gena. Gena memiliki duri berjajajar seperti sisir yang dinamakan sisir gena (genal ctenidium). Bagian ventral kepala juga memiliki sepasang lobus maxillary yang luas dikenal sebagai stipes, dilengkapi dengan bantalan palps maxillary yang panjang. Mulut pinjal memiliki struktur berlapis, yang terdiri atas sepasang laciniae beralur halus, berfungsi untuk menusuk kulit inang. Mulut pinjal juga dilengkapi dengan epiharynx labrum yang berfungsi menusuk ke kapiler darah inang, sehingga darah mengalir ke saluran pencernaan pinjal (Wall dan Shearer 2001).

Toraks memiliki tiga segmen yaitu protoraks, mesotoraks, dan metatoraks. Beberapa genus pinjal memiliki sebaris duri yang kuat di bagian belakang protoraks yang dinamakan sisir pronotal (pronotal ctenidium) (Wall danShearer 2001). Keberadaan Ctenidium berguna dalam mengidentifikasi jenis pinjal. Pada segmen terakhir, metatoraks berkembang sangat baik untuk menunjang tungkai belakang sebagai pendorong saat melompat (Levine 1990).

Abdomen pinjal terbagi menjadi sepuluh segmen. Pinjal betina mempunyai organ yang disebut spermateka, berfungsi menyimpan sperma, dan berbentuk seperti kantung terletak di antara segmen enam sampai delapan (Hadi dan Soviana 2010). Di lokasi yang sama pada pinjal jantan terdapat organ yang disebut aedeagus atau penis berkhitin berbentuk seperti per melingkar. Bagian dorsal pada segmen terakhir abdomen dijumpai lempeng Sensilium atau Pygidium dengan ditumbuhi rambut sensoris yang fungsinya belum diketahui (Wall dan Shearer2001).

(14)

4

Siklus Hidup

Pinjal mengalami metamorfosis sempurna (holometabolous) yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Pada kondisi ideal seluruh tahapan siklus tersebut bisa dicapai dalam waktu dua sampai tiga minggu (Hadi dan Soviana 2010). Menurut Wall dan Shearer (2001) siklus dapat berkisar enam sampai 12 bulan. Panjang waktu siklus hidup tergantung pada kondisi lingkungan, khususnya suhu dan kelembaban saat tahap larva dan pupa (Urquhart et al. 1996)

Levine (1990) menyatakan pinjal betina bertelur tiga sampai 18 butir telur setiap harinya. Pinjal betina biasanya bertelur di tubuh inang kemudian telur tersebut akan jatuh. Pada kondisi ideal larva akan muncul setelah dua sampai 6 hari (Wall dan Shearer 2001).

Larva pinjal akan memakan sisa protein organik seperti rambut, bulu, dan kotoran pinjal dewasa. Larva hidup sesuai dengan tempat peristirahatan sehari-hari inang definitifnya seperti sarang, tempat persembuyian di lantai, reruntuhan gudang, padang-padang rumput dan tempat sampah (Levine 1990). Larva akan mengalami dua sampai tiga kali pergantian kulit instar menjadi pupa yang terbungkus kokon setelah 10 sampai 21 hari (Hadi dan Soviana 2010). Tahap pupa sangat bergantung pada suhu lingkungan, meskipun sedikit bergantung pada kelembaban yang tinggi dibandingkan tahap sebelumnya. Setelah muncul kutikula pada kokon, pinjal dewasa biasanya tetap di dalam kokon sampai mendapat rangsangan suhu atau rangsangan lain yang disebabkan oleh inang. Pinjal yang sudah mendapatkan inang akan mengisap darah inang sebelum melakukan perkawinan (Wall dan Shearer 2001).

Berbagai Jenis Pinjal pada Kucing

Kucing umumnya terinfeksi C. canis dan C. felis (Levine 1990). Pada kucing juga dapat ditemukan Spilopsyllus cuniculi, Echidnophaga gallinacea, Pulex irritans dan Ceratophyllus spp. (Wall dan Shearer 2001). C. felis (pinjal kucing) merupakan parasit umum karnivora. C. felis memiliki bagian depan kepala miring dan memanjang yang merupakan ciri khas dari pinjal kucing. C. canis (pinjal anjing) secara morfologi mirip seperti dengan C. felis, walaupun demikian tidak dapat mengadakan perkawinan karena keduanya merupakan spesies yang berbeda. C. canis mempunyai bentuk dahi yang lebih tinggi dibandingkan C. felis. Spilopsyllus cuniculi merupakan pinjal yang biasanya dijumpai pada kelinci. S. cuniculi memiliki tempat predileksi di dalam telinga (Taylor et al. 2007). Echidnophaga gallinacea merupakan pinjal yang biasanya dijumpai pada unggas. E. gallinacea bersifat menggali ke dalam kulit terutama bagian kepala inang sehingga sulit untuk dihilangkan (Smit 1957). Pulex irritans merupakan pinjal yang biasanya dijumpai pada manusia. Ceratophyllus spp. merupakan famili Ceratophyllidae yang sebagian besar tersebar di daerah holacrtic. Beberapa spesies Ceratophyllus spp. yang memiliki peran penting dalam dunia kedokteran hewan yaitu Ceratophyllus niger dan Ceratophyllus gallinae.

Permasalahan Akibat Infestasi Pinjal

(15)

5 mengisap darah, pinjal juga menyuntikkan saliva sehingga mengiritasi inangnya. Reaksi hipersensitif tersebut dikenal sebagai FAD (Noli 2009). Dermatitis dapat diperparah dengan infeksi sekunder yang berlanjut menjadi alopecia (kebotakan) (Sucipto 2011). Selain gangguan langsung, pinjal juga berperan secara tidak langsung dalam penularan beberapa penyakit berbahaya bagi manusia dan hewan. Beberapa pinjal berperan sebagai inang antara D. caninum, selain itu juga sebagai vektor virus dan bakteri (Wall dan Shearer 2001).

Dipylidium caninum

Dipylidium caninum merupakan anggota kelas Cestoda, ordo Cyclophylidea, famili Dipylididae, genus Dipylidium (Ballweber 2001). Cacing D. caninum diketahui membutuhkan pinjal sebagai inang antara dalam siklus hidupnya (Wall dan Shearer 2001). Telur cacing D. caninum keluar bersama feses inang vertebrata, selanjutnya termakan oleh larva pinjal bersama sisa-sisa organik. Telur akan berkembang mencapai stadium larva sebagai cysticercoid di rongga tubuh pinjal. Ketika inang vertebrata (kucing) melakukan kegiatan grooming biasanya akan menelan pinjal yang berada ditubuhnya. Akhirnya, cysticercoid berkembang dalam tubuh inang vertebrata menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa berpredileksi di usus halus dan dalam jumlah besar akan menyebabkan gangguan. Infeksi berat pada hewan muda umumnya muncul gejala klinis yang tidak spesifik seperti konstipasi dan diare (Bowman et al. 2002). Manusia juga bisa terinfeksi D. caninum dan menimbulkan gejala klinis berupa sakit perut, mual, dan muntah (Adam et al. 2012).

Tubuh cacing D.caninum terdiri atas kepala, leher dan strobila (Ballweber 2001). Kepala cacing pita dilengkapi bothridia, bothria, atau scolex yang berfungsi untuk menempel pada dinding usus. Scolex dilengkapi dengan empat sucker (otot pengisap). Bagian anterior scolex terdapat organ disebut rostellum yang dilengkapi kait. Cacing D. caninum memiliki ciri khas berbentuk segmen yang dikenal sebagai proglotid, terdiri atas organ reproduksi baik jantan maupun betina dan berisi telur (Bowman et al. 2002). Kumpulan beberapa proglotid yang memanjang dikenal sebagai strobila. Kapsul telur cacing D. caninum mengandung beberapa embrio yang akan dikeluarkan dari inang definitif ketika proglotid masih saling melekat (Gambar 2a), namun kumpulan beberapa kapsul telur juga dapat dikeluarkan dalam bentuk proglotid (Gambar 2b).

Gambar 2 Telur D. caninum (2a) dan Proglotid pada feses (2b) (ESCCAP 2010)

(16)

6

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan November 2012 sampai Januari 2013. Sampel kucing diambil di kampus IPB Dramaga. Pemeriksaan pinjal dilakukan di Laboratorium Entomologi dan pemeriksaan sampel feses di laboratorium Helmintologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Lokasi Penelitian

Lokasi dilakukannya penelitian ini berada di kampus IPB Dramaga. Kawasan kampus IPB Dramaga memiliki luas 297 Ha. Letak geografis antara 6°

30’-6° 45’ LS,dan 106° 45’ BT. Ketinggian tempat antara 145-400 m dpl (tergolong dataran rendah). Suhu rata-rata/ tahun 25-33 °C, kelembaban nisbi rata- rata 80-86% dan lama penyinaran matahari 58.9%. Berdasarkan kasifikasi Schmidt dan Ferguson lingkungan IPB termasuk ke dalam kawasan beriklim tropis basah dengan curah hujan yang tinggi (Yusmur 2003).

Rancangan Studi

Lokasi pengambilan kucing dipilih secara purposif berdasarkan pertimbangan bahwa lokasi tersebut sering ditemukan kucing di lingkungan kampus IPB Dramaga. Lokasi yang dipilih diantaranya: asrama, perumahan dosen, kantin yellow corner, kantin blue corner, kantin red corner, tempat pembuangan sampah Graha Widya Wisuda (GWW), tempat pembuangan sampah Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) dan tempat pembuangan sampah asrama. Penelitian ini menggunakan sampel kucing yang diambil dari 30 kucing dengan gejala klinis (Alopecia dan pruritus). Kucing yang ditangkap kemudian dilakukan observasi untuk melihat adanya infestasi pinjal. Koleksi pinjal dilakukan secara manual. Keberadaan telur D. caninum dalam feses dideteksi dengan melihat langsung proglotid dan menggunakan metode McMaster (modifikasi metode pengapungan).

Prosedur Penelitian

Menentukan ukuran sampel kucing

(17)

7

= prevalensi kejadian yang pernah dilaporkan Z 1/2γ= koefisien kepercayaan

b = tingkat kesalahan perhitungan :

n > 0.116 0.884 1.28 0.1 2 n > 16.8

sampel paling sedikit terdiri atas 17 kucing. Penangkapan kucing

Kucing ditangkap secara manual dan dibawa menggunakan keranjang. Kucing dikandangkan dan diberi pakan sampai kucing melakukan defekasi. Selama menunggu kucing defekasi dilakukan pengambilan pinjal. Sebelum dilepaskan kembali, kucing diberi tanda menggunakan pewarna rambut dengan kandungan henna (lawsonia inermis) pada bagian kepalanya untuk menghindari pengambilan sampel berulang.

Koleksi feses dan pinjal kucing

Feses kucing dikumpulkan dalam kantong plastik dan dipisahkan berdasarkan individu kucing. Kantong plastik diberi keterangan berupa nomer kucing dan tempat penangkapan. Feses disimpan dalam kotak berisi es. Koleksi pinjal dilakukan dengan terlebih dahulu menaburi seluruh tubuh kucing dengan gamexan untuk membunuh pinjal. Pengambilan pinjal dilakukan secara manual menggunakan sisir pada seluruh tubuh kucing. Pinjal yang berjatuhan dikumpulkan ke dalam vial berisi akohol 70%, dipisahkan berdasarkan individu kucing dan diberi keterangan.

Pemeriksaan feses

(18)

8

TTGT= Jumlah telur cacing dalam kamar hitung

Berat feses (gram) x

Volume total sampel (mL) Volume Kamar hitung (mL)

Apabila pada pemeriksaan menggunakan metode McMaster dinyatakan nol, maka dilanjutkan dengan metode pengapungan untuk memastikan tidak ada telur. Sampel feses yang telah ditambahkan larutan gula-garam jenuh pada metode McMaster dituang ke dalam tabung reaksi sampai penuh dan terbentuk miniskus pada puncaknya. Cover glass diletakkan pada ujung tabung reaksi dan dibiarkan selama 10 menit. Cover glass diambil dan diletakkan pada object glass kemudian diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 100 kali.

Identifikasi pinjal

Preservasi pinjal sebagai sediaan preparat kaca menggunakan metode Ashadi dan Partosoejono (1992) dalam Hadi dan Soviana (2010). Pinjal yang telah diperoleh dimasukan ke dalam KOH 10% pada suhu kamar selama empat sampai lima hari untuk menipiskan lapisan khitin. Penipisan khitin juga dapat dipercepat dengan pemanasan. Khitin pinjal yang telah tipis dicuci menggunakan air tiga sampai empat kali. Bagian abdomen pinjal yang menggembung dapat ditusuk dengan jarum halus supaya cairan dalam abdomennya keluar. Pengeringan pinjal dilakukan dengan dehidratasi ke dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat yaitu 70%, 85% dan 95% masing-masing 10 menit. Pinjal terdehidratasi direndam dalam minyak cengkeh selama 15 sampai 30 menit untuk clearing. Pinjal yang telah jernih direndam dalam xylol dua sampai tiga kali supaya tidak kaku.

Pinjal yang telah diproses diletakkan di atas object glass yang sebelumnya telah diberi satu sampai dua tetes Canada balsam sebagai mounting. Object glass ditutup dengan cover glass selanjutnya dikeringkan dalam slide warmer dengan suhu 37 sampai 40 °C selama empat sampai lima hari. Identifikasi pinjal dilakukan di bawah mikroskop dengan kunci identifikasi Wall dan Shearer (2001).

Analisis Data

(19)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Pinjal yang Ditemukan

Pengamatan di bawah mikroskop dengan kunci identifikasi Wall dan Shearer (2001) menunjukan bentuk anatomi C. felis yaitu memiliki sisir pronotal dan sisir gena. Sisir gena terdiri atas delapan atau sembilan duri yang tersusun secara horisontal (Gambar 3a). Bagian depan kepala memiliki bentuk miring dan memanjang (Gambar 3a). Tibia bagian tungkai belakang memiliki enam bantalan seta (Gambar 3b). Smit (1957) melaporkan pada duri pertama pada sisir gena ukurannya lebih pendek dibandingkan duri kedua. Organ yang membedakan pinjal betina yaitu terdapat spermateka untuk menyimpan sperma sementara, berbentuk seperti kantung terletak di antara segmen enam sampai delapan bagian abdomen (Gambar 3d). Pinjal jantan pada segmen yang sama memiliki organ dinamakan aedeagus atau penis berkhitin berbentuk seperti per melingkar, ditunjukan pada Gambar 3c (Hadi dan Soviana 2010).

Kucing umumnya terinfestasi C. canis dan C. felis (Levine 1990), namun menurut Wall dan Shearer (2001) pada kucing juga dapat ditemukan pinjal spesies lain di antaranya Spilopsyllus cuniculi, Echidnophaga gallinacea, Pulex irritans dan Ceratophyllus spp. Hasil identifikasi semua jenis pinjal yang menginfestasi kucing liar kampus IPB Dramaga adalah C. felis. Hal ini sama dengan Susanti (2001) bahwa pinjal yang menginfestasi kucing di Bogor merupakan C. felis. Wall dan Shearer (2001) menyatakan jenis pinjal C. felis merupakan jenis pinjal yang paling umum ditemukan pada karnivora di seluruh dunia. Salpeta (2011) melaporkan bahwa di Australia 98.8% pinjal yang ditemukan pada anjing dan kucing adalah C. felis.

Pinjal yang ditemukan terdiri atas C. felis betina 46.3% dan C. felis jantan 53.8% dapat dilihat pada Tabel 1. Jumlah pinjal jantan dan betina tidak terlalu berbeda jauh. Hal yang sama dinyatakan oleh Krasnov et al. (2008) bahwa secara umum jumlah pinjal jantan dewasa dan betina dewasa tidak berbeda secara signifikan dari seluruh populasi pinjal yang ada pada inang. Hal tersebut disebabkan secara umum pinjal dewasa tidak aktif mencari inang namun lebih untuk menunggu inang yang mendekat. Pinjal memiliki kesempatan yang sama ketika menginfestasi inang. Pinjal akan tetap diam sampai ada getaran, sinyal suhu, atau kelembaban yang berubah sehingga memicu pinjal untuk melompat menuju inang (Wall dan Shearer 2001).

Tabel 1 Perbandingan jumlah pinjal jantan dan betina

Jenis kelamin pinjal Jumlah Persentase (%) Rata-rata pinjal per ekor kucing terinfestasi

Betina 37 46.3 2.1±1.9

Jantan 43 53.8 1.8±1.1

(20)

10

Gambar 3 Morfologi kepala pinjal C.felis (3a), tibia bagian tungkai belakang (3b), aedeagus pada pinjal jantan dan kantung spermateka pada pinjal betina (3d)

Prevalensi dan Derajat Infestasi Pinjal

Jumlah infestasi pinjal pada 21 dari 30 ekor kucing liar kampus IPB Dramaga diperoleh 80 ekor pinjal. Prevalensi pinjal sebesar 70% dengan jumlah rata-rata pinjal per kucing adalah 3.8±1.9 ekor pinjal. Prevalensi C. felis sangat tinggi dan tidak ditemukan pinjal spesies lainnya. Tingginya prevalensi C. felis pada kucing liar juga dilaporkan oleh Zain dan Sahimin (2010) di Kuala Lumpur sebesar 55% dan Germinal et al. (2013) di Meksiko sebesar 53%. Tingginya prevalensi ini bisa disebabkan oleh kondisi lingkungan yang mendukung bagi perkembangan pinjal. Menurut Taylor et al. (2007), pinjal mampu bertahan dan

b

a 100 µm

c

(21)

11 berkembang pada suhu 13 sampai 35 °C dengan kelembaban nisbi 50 sampai 92%. Derajat infestasi pinjal dapat dilihat pada Tabel 2, bahwa sebagian besar derajat infestasi adalah ringan (53.3%), kemudian diikuti kucing tidak terinfestasi (30.0%) dan sisanya infestasi sedang (16.6%). Prevalensi pinjal sangat tinggi, akan tetapi derajat infestasinya sebagian besar ringan. Hal tersebut diduga akibat faktor generasi pinjal sebelumnya terutama jumlah pinjal betinanya yang lebih sedikit dibandingkan dengan pinjal jantan. Selain peran pinjal betina dalam menghasilkan telur, pinjal betina juga berperan dalam memberi makan larva pinjal dengan fesesnya. Hsu et al. (2002) melaporkan tingkat keberhasilan larva pinjal mencapai dewasa, lima kali lebih besar apabila larva memakan feses pinjal betina dan telur yang tidak menetas dibandingkan dengan feses jantan saja.

Pada Tabel 2 terlihat 30.0% kucing tidak ditemukan pinjal menunjukan adanya gejala klinis. Hal tersebut diduga gejala klinis bukan disebabkan pinjal namun penyebab lain. Noli (2009) menyatakan bahwa dermatitis akibat alergi juga bisa disebabkan oleh alergi makanan dan dermatitis atopik. Infeksi sekunder yang terlihat umumnya kerontokan rambut (alopecia) sehingga secara makroskopis gejala klinis yang terlihat sulit untuk dibedakan dengan gejala klinis akibat penyebab lain. Genchi (2000) melaporkan kucing dengan infestasi pinjal sedang dan ringan memiliki gejala klinis alopecia dengan pruritus, sedangkan kucing tanpa terinfestasi tidak menunjukan gejala klinis.

Perbedaan jenis kelamin inang juga dapat mempengaruhi derajat infestasi pinjal yaitu hewan jantan akan lebih rentan terinfestasi dibandingkan betina (Krasnov et al. 2008; Morand et al. 2004). Hal tersebut diakibatkan perbedaan pergerakan dan kemampuan bertahan yang berbeda dari masing-masing inang. Perbandingan kucing jantan dan kucing betina dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan derajat infestasi ringan, kucing jantan (62.5%) lebih tinggi dibandingkan kucing betina (37.5%). Infestasi sedang juga didapatkan kucing jantan lebih tinggi (60.0%) dibandingkan kucing betina (40.0%). Setelah dilakukan perhitungan statistik menggunakan uji chi-square antara jumlah kucing jantan dan betina pada derajat infestasi tidak berbeda nyata (p>0.05). Artinya, tidak ada hubungan antara derajat infestasi pinjal dengan jenis kelamin kucing. Hal tersebut diduga akibat pergerakan kucing jantan dan betina yang sama pada saat mencari makanan. Kucing memiliki tingkah laku hidup secara soliter dan menyebar ketika makanan sedikit (RED 2003).

Tabel 2 Hubungan derajat infestasi, gejala klinis, dan jenis kelamin inang

Derajat

(22)

12

Prevalensi D. caninum

C. felis diketahui berperan sebagai inang antara dari D. caninum (Wall dan Shearer 2001). Infeksi D. caninum tersebar di seluruh dunia dan umum terjadi pada kucing (Taylor et al. 2007). Prevalensi cacing D. caninum pada kucing di setiap wilayah berbeda-beda. Prevalensi cacing D. caninum pada penelitian ini menunjukan hasil nol. Hasil ini berbeda dengan penelitian kucing liar di Meksiko bahwa terjadi prevalensi D. caninum 36% yang berkorelasi dengan prevalensi C. felis 53% (Germinal et al. 2013). Hal yang berbeda juga dilaporkan Zain dan Sahimin (2010) di Kuala Lumpur terjadi prevalensi D. caninum 11.6% yang berkorelasi dengan prevalensi C. felis 55%.

Tingkat prevalensi cacing D. caninum seperti penyakit pada umumnya, dipengaruhi oleh lingkungan, agen, dan inang. Pada penelitian ini kondisi lingkungan IPB memiliki suhu rata-rata/ tahun 25-33 °C (Yusmur 2003). Suhu tersebut mendukung keberadaan cacing D. caninum seperti halnya negara Meksiko dan Malaysia yang beriklim tropis. Telur cacing pita secara umum mampu bertahan di lingkungan panas antara suhu 50 sampai 70 °C dan akan hancur ketika suhu lebih dari 70 °C atau 100 °C (Gajadhar 2006). Eckert dan Deplazes (2004) melaporkan bahwa telur cacing pita pada suhu 5 sampai 35 °C mampu bertahan 161 sampai 28 hari. Pugh (1987) melaporkan bahwa telur cacing D. caninum akan berkembang menjadi cysticercoid di tubuh pinjal pada suhu 30 sampai 32 °C. Kucing akan terinfeksi ketika menelan pinjal yang mengandung larva D. caninum.

Kucing dengan infestasi pinjal yang tinggi umumnya merasa terganggu dan mencoba untuk menghilangkan pinjal dengan cara menggaruk atau menjilat sumber gangguan. Hinkle et al. (1998) melaporkan kucing mampu menghilangkan 17.6% pinjal pada infestasi pinjal yang tinggi setiap harinya ketika grooming. Derajat infestasi pinjal pada penelitian ini tergolong ringan sehingga diduga tidak menimbulkan gangguan pada kucing. Oleh karena itu, peluang kucing untuk menelan pinjal dan terinfeksi cacing D. caninum sangat kecil. Selain grooming, prevalensi pinjal yang mengandung cysticercoid juga diduga sangat kecil sehingga infeksi D. caninum tidak terjadi. Hinaidy (1991) melaporkan dari 9134 pinjal C. felis pada kucing hanya 2.3% positif terinfeksi cysticercoid D. caninum.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

(23)

13 Saran

Perlunya pendalaman penelitian dengan melakukan bedah pinjal untuk mengetahui prevalensi cysticercoid dalam tubuh pinjal.

DAFTAR PUSTAKA

Adam AA, Saeed OM, Ibrahim HM, Malik HYE, Ahmed ME. 2012. D. caninum infection in a 41 year old sudanese man in Nyala, Suda: the first reported case in Sudan in 2006. Neel Med J. 6(2):37-42.

[BARK] Banfield Applied Research & Knowledge Team. 2010. Flea Literature Review. Tillamok (US): Banfield Pet Hospital.

Ballweber LR. 2001. Veterinary Parasitologi. United States of America (US): Butterworth–Heinemann.

Blaszkowska J, Wojcik A, Kurnatowski P, Szwabe K. 2013. Geohelminth egg

contamination of children’s play areas in the city of Lodz (Poland). VetPar. 192:228-223. doi:10.1016/j.vetpar.2012.09.033.

Bowman DD, Hendrix HM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical Parasitology. Ed k-1. Iowa (US): Iowa State Univ Pr.

Chin HC, Ahmad NW, Lim LH, Jeffery J, Hadi AA, Othman H, Omar B. 2010. Infestation with the cat flea, Ctenocephalides felis felis (Siphonaptera: Pulicidae) among students in Kuala Lumpur, Malaysia. Southeast Asian J Trop Med. 41(6):1331-1334.

Eckert J, Deplazes P. 2004. Biological, epidemiological, and clinical aspects of Echinococcosis, a zoonosis of increasing concern. Clin Microbiol Rev. 17(1):107. doi: 10.1128/CMR.17.1.107-135.2004.

[ESCCAP] European Scientific Counsel Companion Animal Parasites. 2010. Worm Control in Dog and Cats. Ed k-1. Worcestershire (UK): ESCCAP. Ereshefsky M. 2000. The Poverty of the Linnaean Hierarchy: A Phylosopycal

Study of Biological Taxonomy. Cambridge (GB): Cambridge Univ Pr. Gajadhar AA, Scandrett WB, Forbes LB. 2006. Overview of food and water borne

zoonotic parasites at the farm level. Rev Sci Tech Off Int Epiz. 25(2):595-606.

Genchi C, Traldi G, Bianciardi P. 2000. Efficacy of imidacloprid on dogs and cats with natural infestations of fleas, with special emphasis on flea hypersensitivity. Vet Ther. 1(2):71-80.

Germinal JC, Roberto IG, Andrea M.O, Feliciano M, Juan M, Gabriela AT. 2013. Prevalence of fleas and gastrointestinal parasites in free roaming cats in Central Mexico. PLoS ONE. 8(4): e60744.doi:10.1371/journal.pone.-0060744.

Gupta N, Gupta DK, Shalaby S. 2008. Parasitic zoonotic infections in Egypt and India: an overview. JOPD. 32(1): 1-9.

Hadi UK, Soviana S. 2006. Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan, Biologi dan Pengendalian. Sigit SH, Hadi UK, editor. Bogor (ID): IPB Pr.

(24)

14

Hinaidy HK. 1991. A contribution on the biology of Dipylidium caninum. J Vedmed. 38(1):329-336. doi:10.1111/j.1439-0450.1991.tb00879.x

Hinkle NC, Koehler PG, Patterson RS. 1998. Host grooming efficiency for regulation of cat flea (Siphanaptera: Pulicidae) populations. J Med Entomol. 35(3): 266-269.

Hsu MH, Hsu YC, Wu WJ. 2002. Compsumption of flea faeces and eggs by larvae of the cat flea, Ctenocephalides felis. Medvet Entomol. 16:445-447. Krasnov BR, Shenbrot GI, Khokhlova IS, Hawlena H. Degen A. 2008. Sex ratio

in flea infrapopulations: number of fleas, host gender and host age do not have an effect. Cambridge J. 135:1133–1141. doi:10.1017/S003118-2008004551.

Lane DR, Guthrie S, Griffith S. 2008. Dictionary of Veterinary Nursing. Ed k-3. London (GB): Butterworth–Heinemann.

Levine ND. 1990. Parasitologi Veteriner. AsHadi G, penerjemah; Wardiarto, editor. Yogyakarta (ID): UGM Pr. Terjemahan dari Parasitologi Veteriner. Meadows G, Flint E. 2006. Buku Pegangan Bagi Pemilik Kucing. Sindoro A,

penerjemah; Saputra L, editor. Tanggerang (ID): Karisma Pr. Terjemahan dari The Cat Owner’s Handbook. Parasitology Research. 73(2): 171-177. doi: 10.1007/BF00536475

[RED] Redaksi Ensiklopedi Indonesia. 2003. Ensiklopedia Indonesia Buku Petunjuk Anatomi. Jakarta (ID): Ikrar Mandiri Abadi Pr.

Salpeta J, King J, McDonell D, Malik R, Homer D, Hannan P, Emery D. 2011. The cat flea (Ctenocephalides felis) is the dominant flea on domestic dogs and cats in Australian veterinary practices. EBSCO. 180:3-4.

Smit FGAM. 1957, c2012. Handbooks for the Identification of British Insects. London (GB): Royal Entomology Soc London.

Soulsby EJL. 1982. Helmint, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. Ed k-7. London (GB): Balliare tindal.

Sucipto CD. 2011. Vektor Penyakit Tropis. Yogyakarta (ID): Penerbit Gosyen. Sudjana. 2006. Metoda Statistika. Ed k-6. Bandung (ID): Tarsito Bandung Pr. Susanti DM. 2001. Infestasi Pinjal C. felis (Siphonaptera:Pulicidae) pada Kucing

di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): IPB.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Ed k-3. Australia (AU): Blackwell scientific.

Urquhart GM, Armour J, Duncan JL, Dunn AM, Jennings FW. 1996. Veterinary Parasitology. Ed k-2. Australia (AU): Blackwell scientific.

Wall R, Shearer D. 2001. Veterinary Ectoparasites: Biology, Pathology and Control. Ed k-2. Lowa (US): Iowa State Univ Pr.

(25)
(26)

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil analisis hubungan derajat infestasi pinjal dan jenis kelamin kucing

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

Derajat infestasi * jenis kelamin 30 100.0% 0 .0% 30 100.0%

Derajat Infestasi * jenis kelamin Crosstabulation

jenis kelamin

Total kucing jantan kucing betina

Derajat Infestasi

tidak terinfestasi Count 4 5 9

% within Derajat Infestasi 44.4% 55.6% 100.0%

Ringan Count 10 6 16

% within Derajat infestasi 62.5% 37.5% 100.0%

Sedang Count 3 2 5

% within Derajat Infestasi 60.0% 40.0% 100.0%

Total Count 17 13 30

% within Derajat Infestasi 56.7% 43.3% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig.

(2-sided)

Pearson Chi-Square .792a 2 .673

Likelihood Ratio .788 2 .674

Linear-by-Linear Association .469 1 .493

N of Valid Cases 30

a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum

(27)

17

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Malang pada tanggal 27 Agustus 1991 sebagai anak kedua

dari tiga bersaudara pasangan Shofi’i dan Siti Rohma. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 01 Blayu Wajak Malang dan lulus Tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01 Wajak Malang dan lulus Tahun 2006. Tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 01 Gondanglegi Malang dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Gambar

Gambar 1  Morfologi pinjal (Wall dan Shearer 2001)
Gambar 3  Morfologi kepala pinjal C.felis (3a), tibia bagian tungkai belakang
Tabel 2  Hubungan derajat infestasi, gejala klinis, dan jenis kelamin inang

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Perencanaan Sistem Penyaluran Air Limbah Laboratorium Pada Kampus IPB Dramaga, Bogor adalah benar karya saya dengan arahan

(2002) melaporkan dua kasus infestasi Otodectes pada manusia yaitu pada bagian torso dan ekstremitas seorang wanita di California setelah kontak dengan anjing cocker spaniel

1 Jumlah rata-rata dan persentase spesies lalat yang tertangkap setiap penangkapan di berbagai tempat pembuangan sampah di sekitar permukiman Kampus Institut

Selanjutnya, perlu diketahui bagaimana respon kewirausahaan dari wanita wirausaha di Lingkar kampus Institut Pertanian Bogor terhadap inisiatif Mitra Agribisnis tersebut

Dengan ini penulis menyatakan bahwa skripsi berjudul Persentase dan Identifikasi Cacing Nematoda pada Keong Mas ( Pomacea canaliculata ) di Sekitar Kampus Institut

Penyusunan Basis data Pohon Koleksi Arboretum Arsitektur Lanskap Kampus Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor.. (dibawah bimbingan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis telur cacing yang ditemukan pada kucing liar dan kucing peliharaan di kawasan kampus Universitas Negeri Semarang adalah

Keywords : Cat; Dipylidium caninum; Dipylidiosis case; Identification; Rvet Bogor clinic PENDAHULUAN Dypilidiasis pada kucing merupakan penyakit infeksi cacing Cestoda yang