• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mange (kudis) pada kucing lokal di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mange (kudis) pada kucing lokal di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MANGE

(KUDIS) PADA KUCING LOKAL DI LINGKUNGAN

KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DRAMAGA

FENI FACHRI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTUTUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2013

Feni Fachri

(4)

ABSTRAK

FENI FACHRI. Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Dibimbing oleh SUSI SOVIANA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis tungau yang menyebabkan mange pada kucing lokal liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga. Tujuh kucing dengan gejala klinis berupa pruritus, alopecia, dan hiperkeratosis kulit diuji kerokan kulitnya secara mikroskopis. Dua dari tujuh kucing yang diperiksa lesio kulitnya menunjukkan adanya temuan tungau Otodectes sp. Tungau Otodectes sp. ditemukan di lesio area telinga dan kepala. Ditemukannya Otodectes di luar kanal telinga sebagai habitat alaminya dapat disebabkan oleh perilaku kucing yang menggaruk bagian tubuh yang gatal sehingga Otodectes dapat berpindah dan menyebar ke bagian tubuh lain. Makrokonidia dan hifa jamur, serta kutu juga ditemukan pada kerokan kulit kucing-kucing tersebut. Infestasi jamur dan kutu memiliki gejala klinis yang mirip dengan infestasi tungau sehingga menjadi diferensial diagnosa yang harus dipertimbangkan dalam menentukan kausa penyebab penyakit kulit pada kucing. Sifat Otodectes yang contagious dan dapat menular ke manusia harus dipertimbangkan sebagai satu penyakit zoonosa yang memiliki potensi merugikan masyarakat.

Keywords: Otodectes sp., tungau, mange, kucing

ABSTRACT

FENI FACHRI. Mange in Domestic Cat around Bogor Agricultural University Supervised by SUSI SOVIANA.

This study was conducted to identify the mite that cause mange to local stray cats found around Bogor Agricultural University, Dramaga. The skin scraping from seven cats with pruritus, alopecia, and hyperkeratosis were examined microscopically. Two of seven cats, two showed Otodectes sp. on their skin scraping examination. Otodectes were found on ear and head area. The mites can be found outside the ear, as the natural habitat for Otodectes, because cat use to shake and scratch on the exact area where the mites live which causes the mites being thrown away and stay on the other part of the body. Besides Otodectes, fungi and cat lice were also identified on the skin scraping examination. Fungi and lice infestation caused similar symptoms to mite infestation on cat skin. These two agents should be considered as the differential diagnoses to mange caused by mites on cat. Otodectes can be transmitted to human through direct contact so people awareness should be taken seriously about this zoonotic disease.

(5)

MANGE

(KUDIS) PADA KUCING LOKAL DI LINGKUNGAN

KAMPUS INSTITUT PERTANIAN BOGOR DARMAGA

FENI FACHRI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga

Nama : Feni Fachri NRP : B04090171

Disetujui oleh

Dr drh Susi Soviana, MSi Pembimbing

Diketahui

drh H Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan

(8)
(9)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karuniaNya, sehingga skripsi dengan judul Mange (Kudis) pada Kucing Lokal di Lingkungan Kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga dapat diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Susi Soviana, Msi selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada drh Dewi Ratih Agungpriyono, PhD selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan IPB, serta Dr drh Amrozi dan drh Nurhidayat, MS, PhD PAVet selaku dosen penguji. Ungkapan terimakasih penulis ucapkan kepada drh Supriyono, Pak Heri, Ibu Juju, dan seluruh staff Bagian Entomologi Kesehatan Fakultas Kedokteran Hewan IPB atas dorongan, masukan, dan bantuan selama pengumpulan dan pengolahan data.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada papa Fachri Riva’i, mama Erma Soeki, uda Efri, uda Efandi, uda Efdi dan keponakan-keponakan atas doa, kasih sayang, dan dukungan yang diberikan selama ini. Ucapan terima kasih disampaikan juga kepada teman-teman seangkatan Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dalam menempuh pendidikan di IPB. Selanjutnya ungkapan terima kasih penulis ucapkan kepada teman seperjuangan Anggina, Filuth, dan Fifin, serta teman-teman Wisma Jelita atas dukungan dan semangatnya. Terimakasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kesalahan. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun sebagai evaluasi bagi penulis. Terlepas dari kekurangan yang ada, penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang membutuhkan.

Bogor, Agustus 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Tungau Mange 2

Jenis Tungau Penyebab Mange 3

METODE PENELITIAN 5

Waktu dan Tempat 5

Metode 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Kucing 6

Temuan Tungau pada Kerokan Kulit Kucing 7

Morfologi Tungau Otodectes sp. 9

Patogenitas dan Infestasi Otodectes sp. 10

Penularan Otodectes sp. pada Manusia 11

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

(11)

DAFTAR TABEL

1 Lokasi Lesio dan Temuan Agen pada Kucing Lokal Penderita Mange 6

DAFTAR GAMBAR

1 Pembagian tubuh tungau 7

2 Kucing positif terinfestasi Otodectes 7 3 Eksudat lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinga 7 4 Kucing terinfestasi jamur dan kutu, dengan temuan tungau negatif 8 5 Kutu Felicolasubsostratus 8

6 Otodectes betina dewasa dan Otodectes jantan dewasa 9

7 Pretarsi tungau Sarcoptes dan Psoroptes dengan pedikel yang panjang,

Psoroptes memiliki pedikel bersegmen. Pretarsi tungau Otodectes dan

(12)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kucing lokal liar di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Dramaga sering terlihat dalam keadaan tidak terawat dan menderita berbagai jenis penyakit yang tidak diobati. Satu penyakit yang tampak pada kucing lokal liar ini adalah mange (kudis) dengan gejala klinis seperti kebotakan rambut, gatal, keropeng (pembentukan kerak) hingga perlukaan di kepala dan seluruh tubuh. Kucing yang terinfeksi menunjukkan perilaku menggaruk bagian tubuh yang terinfeksi sehingga muncul perlukaan yang bila dibiarkan dapat menyebabkan kucing mengalami stres dan penurunan berat badan (Mange 2012). Keberadaan kucing lokal tanpa pemilik di lingkungan sekitar kampus IPB Dramaga erat dengan keberadaan kantin dan lokasi pembuangan sampah sebagai habitat kucing liar. Tingginya aktivitas masyarakat dan jumlah kucing yang cukup banyak di lokasi tersebut menyebabkan kontak antara kucing dan manusia umum terjadi.

Mange disebabkan oleh tungau yang hidup dengan membuat sarang di epidermis. Berbagai tungau yang dikenal dapat menyebabkan mange pada hewan domestik berasal dari famili Sarcoptidae dan Psoroptidae (Hadi 1991) diantaranya

Sarcoptes, Notoedres, Chorioptes, Psoroptes, dan Otodectes (Wall dan Shearer 1997). Office International des Epizooties (OIE) (2008) menyatakan bahwa mange bersifat contagious yang dicirikan dengan dermatitis pruritus, hiperkeratosis, dan alopecia. Kondisi-kondisi lain seperti dermatitis karena penyebab selain tungau seperti lepuh dan nodul pada kulit sering dikelirukan dengan mange sehingga harus dipertimbangkan diferensial diagnosanya termasuk reaksi alergi, gigitan anthropoda, abrasi mekanis karena jamur, atau reaksi fisik dan kimia akibat tanaman.

Mange dikategorikan sebagai penyakit zoonosa yang bisa ditularkan dari hewan ke manusia. Manusia yang terinfestasi tungau ini akan mengalami kegatalan dan kerusakan kulit hingga luka (Hadi 1991). Angka kejadian mange

akibat Sarcoptes pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per tahun (Arlian et al. 1989). Kecelj-leskovec dan Podrumac (1998) menyebutkan bahwa telah terjadi lebih dari 1000 kasus scabies pada manusia di Slovenia dan 160 diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, kasus Sarcoptic mange tercatat pada 915 dari 1008 orang di Desa Sudimoro, Kecamatan Turen, Malang (Wardhana et al. 2006). Ditambahkan Wardhana et al. (2006), berdasarkan data yang dihimpun dari klinik Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Palang Merah Indonesia (RS PMI) Bogor, terdapat enam belas pasien scabies pada tahun 2000, delapan belas pasien di tahun 2001, tujuh pasien di tahun 2002, delapan pasien di tahun 2003, dan lima pasien pada tahun 2004.

(13)

2

sehingga meningkatkan awareness masyarakat tentang bahaya penyakit kulit yang dapat ditularkan dari kucing lokal liar.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi jenis ektoparasit khususnya tungau berdasarkan lesio yang tampak pada kucing lokal penderita

mange di lingkungan kampus IPB Dramaga.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi keragaman jenis ektoparasit khususnya tungau yang menyebabkan mange pada kucing di lingkungan kampus IPB Dramaga. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan awareness pada masyarakat lingkungan kampus IPB Dramaga tentang bahaya penyakit kulit yang dapat ditularkan dari kucing lokal liar.

TINJAUAN PUSTAKA

Tungau Mange

Tungau termasuk dalam filum Arthropoda yaitu hewan yang memiliki eksoskeleton dan tungkai yang bersendi, dan termasuk kelas Arachnida yang tidak memiliki antenna dan mandibula. Tungau termasuk ke dalam ordo Acarina yang dicirikan dengan bagian mulut terletak terpisah dari bagian tubuh lain dalam kapitulum dan segmentasi tubuh yang nyaris tidak ada atau hilang sama sekali (Wall dan Shearer 1997). Terdapat 60 famili tungau yang hidup di dalam dan di permukaan kulit serta rambut/bulu vertebrata berdarah panas terutama hewan-hewan domestik seperti hewan-hewan ternak, hewan-hewan kesayangan, dan hewan-hewan laboratorium. Sekitar 50 spesies tungau dari 16 famili dapat menyebabkan mange. Gejala klinis mange pada kulit inang muncul 3–6 minggu setelah kontak dengan

carrier, berupa papula kecil kemerahan, lapisan kering berwarna kuning keabuan, pruritus yang progresif dan terus-menerus, alopecia, dan hiperplasia epidermis yang diikuti desquamasi. Diagnosis mange pada hewan domestik didasarkan pada manifestasi klinis dan temuan tungau pada kerokan kulit inang (OIE 2008).

Tungau umumnya berukuran kecil, kurang dari 1 mm. Tubuhnya terdiri atas dua bagian, yaitu anterior gnathosoma (kapitulum) dan posterior idiosoma.

(14)

3

Gambar 1 Pembagian tubuh tungau (Sumber : Krantz 1975).

Tungau betina menghasilkan telur yang kemudian menetas menjadi larva dengan tiga pasang tungkai. Larva selanjutnya mengalami moulting (pergantian kulit) menjadi nimfa yang memiliki empat pasang tungkai. Sebelum menjadi dewasa, nimfa mengalami satu hingga tiga kali perubahan dari protonimfa, deutonimfa, dan tritonimfa. Jumlah telur yang dapat dihasilkan tungau betina sekali bertelur bervariasi dengan rataan enam belas telur per tungau betina (Wall dan Shearer 1997).

Jenis tungau penyebab mange

a. Sarcoptes

Sarcoptes scabiei berbentuk bulat atau oval. Tungau betina berukuran panjang 300–600 µm dan lebar 250–400 µm sedangkan tungau jantan berukuran lebih kecil yaitu 200–300 µm dan lebar 100–200 µm (Taylor et al. 2007). Pasangan tungkai pertama dan kedua memiliki karankula berbentuk lonceng. Tungkai ketiga dan keempat pada betina memiliki ujung berupa setae yang panjang dan tidak memiliki karankula (Wall dan Shearer 1997).

Transmisi awal tungau ini terjadi lewat kontak langsung dari hewan yang terinfeksi ke hewan yang belum terinfeksi. Transmisi juga dapat terjadi tanpa kontak langsung karena S. scabiei dapat bertahan hidup di lingkungan luar tubuh inang (Pence dan Ueckermann 2002). Siklus hidup lengkap dari telur menjadi tungau dewasa memakan waktu 10–19 hari (Gunandini 2006).

(15)

4

dilakukan melalui pengerokan kulit untuk menemukan tungau tersebut di epidermis.

b. Notoedres

Notoedres cati berukuran lebih kecil dibandingkan S. scabiei dengan panjang tubuh jantan 150 µm dan betina 225 µm. Bukaan anal terlihat dengan jelas di dorsal abdominal dan bukan di posterior (Wall dan Shearer 1997). Tungkai-tungkainya pendek dan gemuk. Tungkai pertama dan kedua berujung dengan pedikel yang panjang dan karankula sedangkan tungkai ketiga dan keempat berujung pada setae yang panjang dan berbentuk seperti cambuk. Sifat dan perilaku hidup tungau ini sama dengan S. scabiei.

N. cati biasanya menginfeksi kucing dan memiliki range inang yang lebih sempit dibanding S. scabiei. Bowman et al. (2002) menyatakan bahwa tungau ini juga dapat ditemukan pada kelinci, tikus, dan kelelawar. N. cati dapat ditemukan pada stratum corneum epidermis kulit inang, kadang di stratum germinativum, bahkan di folikel rambut dan kelenjar sebaseous pada lapisan dermis (Pence et al. 1982). Perilaku N. cati yang menggali terowongan pada kulit merusak keratosit dan memacu pelepasan sitokin (khususnya IL-1) sehingga mengakibatkan inflamasi kulit. Kerak akan terbentuk, yang pada kasus berat menyebabkan kulit menjadi keras, menebal, dan tampak terlipat–lipat. Lesio awal tampak pada bagian ujung pinna telinga dan menyebar di seluruh telinga, wajah, kaki depan, dan kaki belakang bahkan seluruh tubuh pada kucing muda (Bowman 1999).

c. Otodectes

Otodectes cynotis memiliki bentuk tubuh oval dengan ukuran tubuh lebih kurang 450 µm (Colville 1991 dalam Kustiningsih 2000). Tungau ini tidak memiliki pedikel yang bersegmen. Pada O. cynotis betina dewasa, tungkai I dan II berujung pada karankula sedangkan tungkai III dan IV berujung pada setae yang berbentuk cambuk. Pembukaan genitalnya terletak transversal. Pada O. cynotis

jantan, setiap tungkai memiliki pedikel tidak bersegmen dan karankula berbentuk genta (Wall dan Shearer 1997).

Transmisi terjadi lewat kontak langsung dan dari inang betina menginfeksi anaknya. O. cynotis hidup pada telinga eksternal inangnya, namun pada infestasi berat juga dapat ditemukan pada ekor, punggung, dan kepala. Semua kucing dan anjing kemungkinan terinfeksi tungau ini dalam populasi kecil dan jarang menyebabkan masalah (Wall dan Shearer 1997).

(16)

5

d. Psoroptes

Psoroptes sp. memiliki bentuk tubuh oval dan panjang dengan bagian depan berbentuk kerucut. Psoroptes mempunyai pedikel yang panjang terhubung dengan dengan karankula. Tungau betina berukuran besar dengan panjang badan sekitar 750 µm. Tarsi I dan tarsi II berujung pada karankula sedangkan tarsi III dengan ukuran tungkai yang sama berujung pada setae yang panjang (Wall dan Shearer 1997).

Tungau ini memiliki spesifikasi inang yang tinggi. Spesies Psoroptes yang hidup normal pada satu inang tidak akan menginfestasi inang lain dengan jenis spesies berbeda. Psoroptes merupakan agen penyebab dermatitis pada sapi, domba, kambing, dan kelinci (Lekimme et al. 2008). Psoroptes tidak menggali terowongan di bawah kulit dan hanya hidup pada permukaan, dibawah keropeng, serta di bawah akumulasi tumpukan kulit bersisik, telinga bagian luar, auditory canal, dan memperoleh makanan dengan menusuk kulit (Bowman 1999). Gatal yang hebat berujung pada terbentuknya pustula kecil yang selanjutnya pecah sehingga serum yang dihasilkannya mengeras dan bercampur dengan darah dan kotoran (Soulsby 1982).

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Waktu penelitian berlangsung pada bulan Maret sampai September 2012. Kucing yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing yang ditemukan di dalam lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor, diantaranya: kantin fakultas, lokasi pembuangan sampah, dan kantin umum. Pemeriksaan spesimen ektoparasit dilakukan di Laboratorium Entomologi Kesehatan, Bagian Parasitologi dan Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Metode

Pengambilan Sampel Kerokan Kulit

Sampel kerokan kulit diambil dari tujuh kucing liar di lingkungan kampus IPB Dramaga yang berdasarkan pengamatan memperlihatkan gejala mange

berupa pruritus, alopecia dan hiperkeratosis. Pengerokan kulit dilakukan menggunakan scalpel dengan mengerok bagian lesio hingga lapisan epidermis terkelupas. Pengerokan kulit dilakukan pada beberapa regio tubuh yaitu (I) kepala dan leher, (II) bahu dan kaki depan, (III) punggung dan perut, (IV) paha, kaki belakang, dan ekor. Kerokan kulit dari masing-masing regio kemudian dimasukkan dalam vial terpisah berisi larutan KOH 10% dan diperiksa di bawah mikroskop. Lesio kulit kucing yang telah dikerok kemudian diolesi alkohol dan Betadine® sebagai antiseptik untuk mencegah infeksi sekunder. Kucing diberikan

(17)

6

Pembuatan Slide Preparat Tungau

Semua temuan tungau dari kerokan kulit dipisahkan dan direndam dalam larutan KOH 10% pada suhu kamar selama 4–7 hari agar kotoran yang menempel pada tungau terbuang. Spesimen tungau kemudian dicuci sebanyak 3–4 kali menggunakan air sampai air tidak berkabut. Satu hingga dua tetes larutan Hoyer diteteskan pada object glass dan ditutup dengan cover glass setelah tungau di fiksasi pada object glass. Preparat kemudian dipanaskan dalam slide warmer

selama 4–5 hari dalam temperatur 40–50°C.

Identifikasi Spesimen

Identifikasi dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan kunci identifikasi Wall dan Shearer (1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jenis Ektoparasit yang Ditemukan pada Kucing dengan Gejala Klinis Mange

Pengerokan kulit dilakukan terhadap tujuh kucing (4 jantan dan 3 betina) yang diketahui memiliki gejala klinis mange yaitu pruritus, alopecia, dan hiperkeratosis (Pence dan Ueckermann 2002). Temuan agen berdasarkan lokasi lesio terlihat pada Tabel 1. Jenis temuan yang diidentifikasi secara mikroskopis dari kerokan kulit tujuh kucing tersebut diantaranya tungau, makrokonidia dan hifa jamur, serta kutu. Tungau dan jamur umumnya diperoleh dari kerokan kulit pada lesio yang terdapat di regio I (kepala dan telinga).

Tabel 1 Lokasi lesio dan temuan agen pada kucing lokal penderita mange

Keterangan: *Felicola subrostratus

Lesio +/– = terdapat/ tidak ada lesio; Agen +/– = ditemukan/ tidak ditemukan tungau Regio I=kepala dan telinga; Regio II= bahu dan kaki depan;

Regio III=abdomen dan punggung; Regio IV= paha, kaki belakang, dan ekor Identitas

Kucing

Temuan lesio dan tungau Temuan agen

(18)

7

Temuan Tungau pada Kerokan Kulit Kucing

Dari tujuh kucing yang diperiksa kerokan kulitnya, dua kucing ditemukan terinfestasi tungau. Temuan tungau positif pada kucing diperoleh pada kucing No.2 (Gambar 2a) dan kucing No.4 (Gambar 2b). Berdasarkan hasil identifikasi menggunakan kunci identifikasi Wall dan Shearer 1997, diperoleh total 19 tungau

Otodectes yang terdiri atas sepuluh betina dan tiga jantan (kucing No.2) serta lima betina dan satu jantan (kucing No.4). Temuan Otodectes diperoleh dari kerokan lesio yang terdapat pada regio telinga dan kepala. Hal ini dapat disebabkan karena habitat alami tungau Otodectes adalah saluran eksternal telinga kucing sehingga tungau dapat ditemukan di area telinga dan sekitarnya.

Kucing yang ditemukan dengan infestasi Otodectes memiliki eksudat seperti lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinganya (Gambar 3). Di area sekitar telinga juga terjadi alopecia dan pembentukan kerak. Gejala ini merupakan gejala klinis yang umum terjadi pada kasus Otodectic mange (Taylor et al. 2007).

Otodectes merupakan fauna normal yang umum ditemukan pada saluran telinga eksternal kucing dan tidak akan menyebabkan infeksi bila populasi tungau masih dapat ditoleransi oleh tubuh inang. Kucing dan anjing kemungkinan terinfeksi tungau ini dalam populasi kecil dan jarang menyebabkan masalah namun pada populasi berlebihan yang disertai dengan rendahnya kemampuan tubuh untuk menolerir maka gejala klinis akan terlihat seperti iritasi (Wall dan Shearer 1997).

Kucing dapat terinfestasi Otodectes disertai agen lain misalnya jamur pada kulitnya. Mixed infestation Otodectes dengan agen lain dijelaskan oleh Salib dan Baraka (2011) bahwa infestasi Otodectes dapat bersifat mono–specific infestation

atau mixed infestation dengan Sarcoptes, Demodex, dermatofita, kutu, dan caplak.

Gambar 2 (a,b) Kucing positif terinfestasi Otodectes.

Gambar 3 Eksudat lilin berwarna kecoklatan pada kanal telinga.

(19)

8

Kucing No.1, 3, 5, 6, dan 7 tidak ditemukan adanya tungau pada kerokan kulitnya. Sampel kucing No.5 (Gambar 4) adalah contoh kucing yang memiliki gejala klinis mange namun temuan tungaunya negatif. Kucing ini mengalami pruritus, alopecia, dan hiperkeratosis di area wajah, kepala, ekstremitas depan, dan punggung. Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan temuan makrokonidia jamur serta kutu Felicola subrostratus.

Lesio yang ditimbulkan oleh infestasi Felicola subsostratus (Gambar 5) mirip dengan lesio yang ditimbulkan oleh infestasi tungau pada kulit. Infestasi

Felicola umumnya terjadi pada kucing dengan lesio seperti pruritus, keropeng, alopecia, dan papula (Baker 2007; Paterson and Tobias 2012). Lesio yang timbul akibat infestasi jamur pada kulit kucing juga memiliki kesamaan dengan lesio akibat infestasi tungau. Gejala klinis berupa alopecia, gatal, dan keropeng kulit pada kucing sulit untuk didiagnosa kausa pastinya. Terdapat berbagai kausa yang menyebabkan timbulnya gejala klinis ini sehingga pengamatan secara fisik, pengambilan sampel kulit dan rambut, serta pemeriksaan di bawah mikroskop sangat dibutuhkan untuk diagnosis yang tepat.

Dari hasil identifikasi, tidak semua kucing yang memiliki gejala klinis

mange terinfestasi tungau. Hal ini dapat disebabkan oleh kausa agen lain seperti jamur dan kutu. Jubb et al. (1993) menyatakan bahwa 2/3 anjing yang terinfestasi

mange tidak menunjukkan hasil kerokan kulit positif bahkan setelah pengerokan dilakukan di berbagai lokasi tubuh yang mengalami lesio. Penebalan kulit, terbuangnya tungau akibat garukan kucing, dan keadaan patologis lesio yang sudah berangsur sembuh dapat menyebabkan tungau tidak ditemukan pada lesio. Tungau sulit untuk dapat ditemukan terutama pada hewan yang lesionya belum terlalu parah atau hewan yang telah terinfeksi dalam waktu lama (Hammet 1999 dalam Cholillurrahman 2012).

Gambar 4 Kucing terinfestasi jamur dan kutu, dengan temuan tungau negatif.

Gambar 5 Kutu Felicolasubsostratus.

(20)

9

Morfologi Tungau Otodectes sp.

Otodectes hanya memiliki satu spesies yaitu Otodectes cynotis yang menginfestasi kucing, anjing, dan karnivora lain seperti musang dan rubah (Soulsby 1982; Wall dan Shearer 1997; Bowman et al. 2002). Pengamatan di bawah mikroskop menunjukkan anatomi Otodectes dengan ukuran panjang 250 µm sampai dengan 450 µm sesuai dengan Bowman et al. (2002) yang menyatakan

Otodectes memiliki ukuran tubuh 274 µm sampai 451 µm. Pretarsi terlihat pendek dan pedikelnya tidak memiliki segmentasi dengan karankula yang berbentuk seperti cangkir. Tungkai pertama dan kedua pada tungau betina dewasa berukuran pendek, sedangkan tungkai ketiga dan keempat berujung pada setae yang berbentuk seperti cambuk. Tungkai keempat memiliki ukuran yang sangat kecil dan pembukaan genital terletak melintang (Gambar 6a dan 6b). Pada tungau jantan dewasa, tungkai pertama, kedua, ketiga, dan keempat berbentuk kaki pendek dengan pedikel dan karankula. Bowman (1999) menjelaskan perbedaan bentuk anatomi pedikel dan karankula untuk membedakan tungau Sarcoptes,

Psoroptes, Chorioptes, dan Otodectes dalam Gambar 7a dan 7b.

Gambar 6 Otodectes jantan dewasa (6a) Otodectes betina dewasa (6b).

Gambar 7 Pedikel tungau Sarcoptes (7a) dan Psoroptes (7b) berukuran panjang, Psoroptes

memiliki pedikel bersegmen. Pedikel tungau Otodectes (7c) dan Chorioptes (7d)

berukuran pendek (Bowman 1999).

a

b

(21)

10

Patogenitas dan Infestasi Otodectes sp.

Berdasarkan pemeriksaan kerokan kulit, tungau Otodectes tidak hanya ditemukan pada kanal telinga kucing tapi juga di permukaan kulit sekitar telinga, area wajah, dan kepala. Ditemukannya tungau di luar kanal telinga eksternal yang merupakan habitat umum Otodectes dapat terjadi. Tungau Otodectes dapat ditemukan pada bagian lain tubuh seperti kaki, wajah, leher, ekor, dan tangan (Kustiningsih 2000). Guaguere (1992) dalam Bowman et al. (2002) melaporkan kasus dermatitis akibat tungau Otodectes dengan lesio di bagian leher dan punggung. Perilaku kucing untuk mengusir parasit pada telinga dengan menggunakan kaki depan dan belakang mengakibatkan bagian tubuh ini menjadi rentan terhadap infestasi tungau. Perilaku kucing yang tidur melengkung juga menyebabkan tungau ini dapat ditemukan pada bagian ekor (Jubb et al. 1993; Akucewich et al. 2002).

Pengamatan yang dilakukan pada kucing sebelum dan setelah pengerokan kulit menunjukkan perilaku menggaruk dan menggelengkan telinga terus menerus. Perilaku ini disebabkan oleh rasa gatal yang ditimbulkan oleh Otodectes

dan bila dibiarkan akan menyebabkan terjadinya haematoma dan pendarahan.

Otodectes mange yang disertai infeksi bakteri sekunder dapat menyebabkan

purulent otitis eksterna (Taylor et al. 2007; Bayer 2012). Diperkirakan 85% kasus otitis externa pada kucing disebabkan oleh infestasi tungau Otodectes disertai infeksi sekunder (Bayer 2012). Jubb et al. (1993) menyatakan bahwa lima ekor tungau Otodectes bahkan dapat menginisiasi otitis eksterna pada anjing, dengan adanya infestasi bakeri dan jamur sekunder pada lesio yang ditimbulkan tungau.

Gejala klinis yang muncul menunjukkan seberapa parah reaksi alergi akibat hipersensitifitas pada kucing yang terinfeksi akibat senyawa antigen yang dihasilkan oleh tungau. Patogenesis lesio akibat infestasi tungau mange

disebabkan oleh efek iritasi yang dihasilkan oleh sekresi dan ekskreta, serta reaksi alergi yang muncul akibat tubuh tungau maupun produk ekstraselulernya dan self-trauma akibat pruritus yang hebat (Jubb et al. 1993; Maazi et al. 2010). Hal ini terkait dengan siklus hidup Otodectes yang tidak menggali terowongan ke dalam kulit namun hanya memakan debris kulit (Soulsby 1982). Sementara Powell et al.

(1980) dalam Bowman et al. (2002) menyatakan bahwa tubuh kucing yang diinfestasi Otodectes memproduksi antibodi IgE empat belas hari pasca infestasi yang mengindikasikan bahwa Otodectes juga menusuk kulit untuk memperoleh cairan atau darah dari inangnya. Saliva yang dihasilkan Otodectes menyebabkan hipersensifitas pada tubuh inang dan memacu pruritus (Greene 2006 dalam Maazi 2010). Mosallanejad et al. (2011) menyatakan bahwa iritasi mekanis yang disebabkan oleh infestasi tungau di dalam kanal telinga memicu peningkatan aktivitas kelenjar serumen sehingga menjadi lingkungan predisposisi untuk infeksi sekunder bakteri dan jamur.

(22)

11

karena imunitas tubuh kucing berkembang seiring dengan pertambahan usia. Kekebalan tubuh dan resistensi tubuh hewan muda yang belum pernah terpapar tungau sebelumnya menyebabkan infestasi tungau dalam jumlah kecil dapat menimbulkan iritasi (Sasikala et al. 2011). Infestasi tungau Otodectes pada kucing lokal di sekitar kampus IPB ditemukan pada kucing berjenis kelamin jantan dan betina. Infestasi Otodectes tidak dipengaruhi oleh perbedaan jenis kelamin (Mosallanejad et al. 2011).

Penularan Otodectes sp. pada Manusia

Penularan Otodectes pada manusia dapat terjadi akibat kontak antara hewan yang mengalami Otodectic mange dan manusia. Bowman et al. (2002) melaporkan dua kasus infestasi Otodectes pada manusia yaitu pada bagian torso dan ekstremitas seorang wanita di California setelah kontak dengan anjing cocker spaniel yang sebelumnya telah terinfeksi, dan pada seorang wanita Belgia dengan satu Otodectes jantan, satu Otodectes betina, dan empat larva ditemukan pada keropeng yang terdapat di dalam gendang telinganya. Otodectes juga ditemukan pada membran timpani telinga seorang wanita yang memelihara anjing dan kucing secara indoor di Jepang dengan keluhan suara berdengung pada telinganya (Suetake et al. 1991). Fakta bahwa Otodectes dapat ditularkan dari hewan ke manusia mengindikasikan bahwa Otodectic mange adalah salah satu penyakit zoonosa yang dapat menjadi masalah penting dalam kesehatan masyarakat. Infestasi Otodectes pada manusia kemungkinan terjadi dalam banyak kasus namun sangat jarang dilaporkan karena kausa yang tidak diketahui atau karena diagnosa penyakit yang mirip dengan penyakit gatal akibat kausa lain pada manusia.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Dari hasil identifikasi di bawah mikroskop yang dilakukan pada tujuh ekor kucing penderita mange di sekitar lingkungan kampus IPB Dramaga ditemukan dua dari tujuh kucing positif terinfestasi Otodectes sp. disamping temuan lain berupa jamur dan kutu Felicola subsostratus.

Saran

(23)

12

DAFTAR PUSTAKA

Acar A, Kurtdede A, Ural K, Cing CC, Karakurum MC, Yagci BB, Sari B. 2007. An ectopic case of Psoroptes cuniculi infestation in a pet rabbit. Turk J Vet Anim Sci. 31(6):423–425

Akucewich LH, Kendra P, Clark A, Gillespie J, Kunkle G, Nicklin CF, Greiner CE. 2002. Prevalence of ectoparasites in a population of feral cats from north central Florida during the summer. Vet Parasitol. 109(1&2):129–139

Arlian LG, Runyan RA, Achar S, Estes SA. 1984. Survival and infestivity of

Sarcoptes scabiei var. canis and var. hominis. J Am Ac Dermatol. 11:210–215. Baker DG. 2007. Flynn’s Parasites of Laboratory Animals. Ed ke22. Oxford

(UK): Blackwell Publishing

Bayer. 2012. Ear mites [Internet]. [diunduh 2012 Des 13]. Tersedia pada http://www.animalhealth.bayer.com/4906.0.html

Bornstein S, Morner T, Samuel WM. 2001. Sarcoptes scabiei and sarcoptic mange. Parasitic Diseases of Wild Mammals. Samuel WM, Pybus MJ, editor. Iowa (US): Iowa State University Pr.

Bowman DD, Hendrix CM, Lindsay DS, Barr SC. 2002. Feline Clinical Parasitology. Iowa (US): Iowa State University Pr.

Bowman DD. 1999. Georgis’ Parasitology for Veterinarian. Ed ke–8. Missiori (US): Saunders

Cholillurrahman. 2012. Studi kasus scabies anjing di Rumah Sakit Hewan Jakarta (Januari 2005-Desember 2010) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Gunandini DJ. 2006. Tungau dalam Hama Pemukiman Indonesia Pengenalan,

Biologi dan Pengendalian. Sigit SH, Hadi UK, editor. Bogor (ID): Unit Kajian Pengendalian Hama Pemukiman Institut Pertanian Bogor

Hadi UK, Soviana S. 2010. Ektoparasit: Pengenalan, Diagnosis, dan Pengendaliannya. Bogor (ID): IPB Pr.

Hadi UK. 1991. Kudisan bisa berasal dari hewan. Poultry Indonesia No.132/TH XII

Jubb KVF, Kennedy PC, Palmer N. 1993. Pathology of Domestic Animals. Ed ke– 4. London (GB): Academi Pr.

Kecelj–leskovec N, Podrumac B. 1998. Scabies in children. Act Dermatoven APA. 7:3184–3187.

Krantz GW. 1975. A manual of Acarology. Oregon (US): O.S.U Book Stores, Inc. Kustiningsih, H. 2000. Studi kasus otitis akibat Otodectes cynotis pada kucing di

rumah sakit hewan Jakarta sejak Januari 1999 sampai dengan Desember 2000 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Lekimme M, Focant C, Farnir F, Mignon B, Losson B. 2008. Pathogenicity and thermotolerance of entomopathogenic fungi for the control of the scab mite,

Psoroptes ovis. J Exp Appl Acarol. 46(1–4):95–104

Maazi N, Jamshidi S, Hadadzadeh HR. 2010. Ear mite infestation in four imported dogs from Thailand. Iran J Arthropod-Borne Dis. 4(2):68–71

(24)

13

Mosallanejad B, Alborzi AR, Katvandi. 2011. Prevalence and intensity of

Otodectes cynotis in client-owned cats in Ahvaz, Iran. Asian J Anim Vet Adv. (1–6)

[OIE] Office International des Epizooties. 2012. Mange. OIE Terrestrial Manual

2008 Chapter 2.9.8:1255–1265 [Internet]. [diunduh 2012 Nov 12]. Tersedia pada: http://www.oie.int/fileadmin/Home/eng/Health_standards/tahm/2.09.0 _MANGE.pdf

Paterson S, Tobias KM. 2012. Atlas of Ear Diseases of the Dog and Cat. (US): Wiley-Blackwell

Pence DB, Matthews FD, Windberg LA. 1982. Notoedric mange in the bobcat,

Felis rufus, from South Texas. J Wildl Dis. 18(1):47–50

Pence DB, Ueckermann E. 2002. Sarcopticmange in wildlife. Rev sci tech Off Int Epiz. 21:385–398

Salib FA, Baraka TA. 2011. Epidemiology, genetic divergence and acaricides of

Otodectes cynotis in cats and dogs. Vet World. 4(3):109–112

Sasikala V, Saravanan M, Ranjithkumar M, Sarma K, Vijayakaran K. 2011. Management of ear mites in cats. Indian Pet J 11:(5–9)

Soulsby EJ. 1982. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal.

Ed ke-7. London (GB): Balliere Tindall

Suetake M, Yuasa R, Saijo S, Kakehata S, Katori Y, Koizumi A, Kamiya H, Inaba T. 1991. Canine ear mite, Otodectes cynotis, found on both tympanic membranes of an adult woman. Practica Oto Rhino-Laryngologica 8(6):(739– 742)

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Oxford (GB): Blackwell

Wall R, Shearer D. 1997. Veterinary Entomology: Arthropod Ectoparasites of Veterinary Importance. London (GB): Chapman and Hall.

(25)

14

RIWAYAT HIDUP

Gambar

Tabel 1 Lokasi lesio dan temuan agen pada kucing lokal penderita mange
Gambar 7  Pedikel tungau  Sarcoptes (7a) dan Psoroptes (7b) berukuran panjang, Psoroptes

Referensi

Dokumen terkait

1 Jumlah rata-rata dan persentase spesies lalat yang tertangkap setiap penangkapan di berbagai tempat pembuangan sampah di sekitar permukiman Kampus Institut

Pengguna tapak saat ini adalah mahasiswa yang melakukan studi ilmu peternakan. Kegiatan yang dilakukan dalam tapak adalah budidaya peternakan, kegiatan pendidikan,

Penelitian dilakukan dengan metode survai melalui wawancara pekerja kantin terhadap pengetahuan, sikap, dan praktik yang berhubungan dengan 3 aspek higiene,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi sanitasi tangan food handler, hubungan antara pengetahuan, sikap, dan praktik higiene pangan food handler, serta faktor

menurut SNI 01-2900-1999 adalah titik lunak, bilangan asam, dan kadar abu yang mensyaratkan nilai pada kisaran tertentu (sama untuk semua kelas mutu),

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kondisi sanitasi tangan food handler pada warung makanan di sekitar Kampus IPB Dramaga Bogor dan memberikan

Sesuai dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah spesies kumbang elaterid yang ditemukan di kawasan hutan pada lanskap TNBD lebih tinggi dibandingkan dengan di Hutan

Jika sumber daya ikan pelagis kecil dikelola secara optimal maka produksi harus mengikuti trajektori optimal dengan input level yang sesuai dengan perhitungan