• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Evaluation Of Sheep Rumen Liquor Enzymes On Crude Fiber Reduction End Digestibility Enhancement Of Coconut Cake Meal For Carp Cyprinus carpio

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Evaluation Of Sheep Rumen Liquor Enzymes On Crude Fiber Reduction End Digestibility Enhancement Of Coconut Cake Meal For Carp Cyprinus carpio"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

 

 

 

 

 

IKA

MARIANA

SEKO INSTIT

AN MAS Cy

A YERMIN

OLAH PAS TUT PERT

BOG 201

yprinus carp

NA BERUA

SCASARJA ANIAN BO GOR

12

rpio

ATJAAN

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Penurunan Serat Kasar dan Peningkatan Nilai Kecernaan Bungkil Kelapa Dengan Penambahan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Mas Cyprinus carpio adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian terakhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

(3)

MARIANA YERMINA. The Evaluation Of Sheep Rumen Liquor Enzymes On Crude Fiber Reduction End Digestibility Enhancement Of Coconut Cake Meal For Carp Cyprinus carpio. Under direction of DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO

The objectives of this work were to evaluate the roles of sheep rumen liquor enzymes on its capability to reduce the crude fiber contant and enhance the apperent digestibility of coconut cake meal (BK) for common carp Cyprinus carpio. The work comprised by two stages experiments. In experiment I, BK was hydrolized with 0, 25, 50, 75, 100, or 125 ml enzymes/kg BK for 0, 12, and 24 hours, respectively. Thereafter, proximate compositions of BK were analyzed. In experiment II, hydrolyzed BK (BKe) contained the least crude fiber content from the result of experiment I was tested for its digestibility. It was found that BK hydrolyzed with 125 ml enzymes/kg BK for 24 hours had the lowest value of crude fiber content, and highest value of glucose content. In this treatment, crude fiber content was decreased from 14,34% to 6,98%, while the glucose content was increased from 0,014% to 0,464%. The apparent digestibility of BKe was found to be higher than BK. The total digestibility, protein carp was 63,92% and 54,58%, 79,53% and 65,17%, 72,2% and 49,17% for BKe and BK, respectively. It was concluded that sheep rumen liquor enzymes could reduce the crude fiber content of BK, and enhance its apparent digestibility for carp Cyprinus carpio.

 

(4)

Kecernaan Bungkil Kelapa Dengan Penambahan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Mas Cyprinus carpio. Dibimbing oleh DEDI JUSADI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO.

Penelitian ini bertujuan mengevaluasi pengaruh penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa sebagai bahan baku pakan ikan mas, serta mengevaluasi nilai kecernaan bahan baku pakan berbasis bungkil kelapa yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba pada ikan mas. Penambahan enzim cairan rumen domba dalam bungkil kelapa diharapkan menurunkan kandungan serat kasar sehingga mampu meningkatkan nilai kecernaan dalam bahan pakan dan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ikan. Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu, tahap I menguji efektivitas enzim cairan rumen domba volume 0, 25, 50, 75, 100 atau 125 ml/kg selama 0, 12 atau 24 jam dalam menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial. Tahap II adalah menguji kecernaan bahan pakan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba (BKe) yang merupakan hasil terbaik dari uji tahap pertama. Uji tahap II menggunakan rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan pakan dan 3 ulangan yang ditambahkan indikator Cr2O3. Pakan perlakuan dalam penelitian ini adalah pakan acuan (100% komersil), pakan uji A : 30% Bungkil kelapa dengan penambahan enzim cairan rumen domba (BKe) dan pakan B : 30% bungkil kelapa tanpa penambahan enzim (BK). Ikan yang digunakan adalah 25 ekor ikan mas bobot 1,0 – 1,3 g yang dipelihara dalam akuarium dengan volume 50 liter air. Pemberian pakan secara et satiation dengan frekuensi pemberian 3 kali per hari. Feses dikumpulkan selama 20 hari pemeliharaan untuk dianalisis kandungan nutrisinya. Analisis proksimat dilakukan pada pakan dan feses untuk diukur nilai kecernaannya.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penambahan enzim cairan rumen domba volume 125 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil kelapa terbaik yaitu dari 14,34% menjadi 6,98%. Penurunan kandungan serat kasar dapat meningkatkan nilai kecernaan total bahan pakan bungkil kelapa dari 54,58% menjadi 63,92%, kecernaan protein dari 65,17% menjadi 79,53% dan kecernaan energi dari 49,17% menjadi 72,2%.

(5)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang Undang

1. Dilarang mengutip sebahagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkn sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(6)

IKAN MAS Cyprinus carpio

 

 

 

 

MARIANA YERMINA BERUATJAAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister sains pada

Program Studi Ilmu Akuakultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Cairan Rumen Domba Sebagai Bahan Baku Pakan Ikan Mas Cyprinus carpio

Nama : Mariana Yermina Beruatjaan

NRP : C151090101

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Dedi Jusadi Dr. Nur Bambang Priyo Utomo

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Ilmu Akuakultur

Prof. Dr. Enang Harris Dr. Dahrul Syah

(8)

berkat dan anugerahNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penyelesaian Tesis ini dengan penuh perjuangan dan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang tak tehingga kepada :

1. Komisi pembimbing, Bapak Dr. Dedi Jusadi dan Bapak Dr. Nur Bambang Priyo Utomo, yang telah banyak menuangkan pikiran, meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan, dan memberikan saran hingga terselesaikannya tesis ini.

2. Dekan Pascasarjana IPB dan jajarannya yang memberikan kesempatan bagi penulis untk belajar pada Sekolah Pascasarjana IPB serta memberikan pelayanan akademis kepada penulis.

3. Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) yang telah memberikan biaya pendidikan melalui Sekolah Pascasarjana IPB kepada penulis.

4. Direktur Politeknik Perikanan Negeri Tual yang telah memberikan Izin bagi penulis untuk melanjutkan studi pada jenjang pendidikan magister (S2). 5. Ketua Mayor Ilmu Akuakultur, Staf Dosen, Kesekretariatan, Teknisi dan

Laboran FPIK atas pelayanan, pengabdian dan perhatiannya.

6. Suami tercinta Dr. Jeffry Prabowo yang setia menunggu dan menopang baik Doa, moril maupun materiil.

7. Orang Tua tercinta Bpk. Perez Beruat, Mama Mia dan Mami Ida W, atas Doa, dan motivasi setiap saat.

8. Adik-adik tersayang Yomi, Jhein, dan Asri, Alin, Ona, Tati

9. Keluarga besar Beruatjaan/Warin, Oma Yomi, Opa Andi, Kel. Besar Wiyatno, Om Nunug, Kel.Om Fredy Metengun, Kel. Om Jems Miru, Mama Yos, dan Kel. Balubun, Milka Ngurmetan, trima kasih menyumbangkan tenaga dan waktu sejak pagi sampai malam selama penelitan berlangsung.

(9)

Semua pihak yang tidak sempat disebutkan, terima kasih atas Doa dan semangat yang diberikan semoga Tuhan Yesus memberkati. Harapan penulis kiranya karya ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2012

(10)
(11)

xi   

DAFTAR TABEL………... xii

DAFTAR GAMBAR………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN……….... xiv

PENDAHULUAN………... 1

Latar Belakang ……….. ... 1

Perumusan Masalah………... 3

Tujuan Penelitian ……….... 4

Manfaat Penelitian……….. 4

Hipotesis ………. 4

TINJAUAN PUSTAKA………... 5

Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas………... 5

Bungkil Kelapa ………... 9

Cairan Rumen Sebagai Sumber Enzim ……….. 10

Serat Kasar dalam Bahan Pakan ………. 14

Kecernaan Pakan………. 15

BAHAN DAN METODE PENELITIAN………... 17

Penelitian Tahap 1. Uji Evektivitas Enzim Cairan Rumen Domba.... 17

Penelitian Tahap 2. Uji Kecernaan Bungkil Kelapa... 18

HASIL DAN PEMBAHASAN………... 22

Hasil………. 22

Uji Efektivitas Cairan Rumen Domba..………... 22

Analisis Kandungan Nutrisi Bungkil Kelapa……...……... 23

Glukosa Terlarut Bungkil Kelapa……...…………... 24

Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang Telah dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba... 25

Pembahasan………... 26

KESIMPULAN………... 31

DAFTAR PUSTAKA………... 32

(12)

xii   

Halaman

1. Kebutuhan Makro Nutrisi Ikan Mas (Cyprinus carpio)... 6

2. Kandungan Nilai Nutrien Bungkil Kelapa (%)... 9

3. Komposisi Enzim Cairan Rumen Domba ………... 12

4. Komposisi Pakan Acuan, Pakan Uji A (30% BKe) dan B (30% BK)….. 19

5. Kisaran Nilai Parameter Kualitas Air Media Pemeliharaan Ikan Mas

Selama Penelitian... 19

6. Kandungan Lemak, Protein, Serat Kasar Bungkil Kelapa pada

Perlakuan Penambahan Enzim Caiaran Rumen Domba dan Lama Waktu Inkubasi ... 23

7. Kandungan Glukosa Terlarut pada Bungkil Kelapa yang Dihidrolisis

Dengan Enzim Cairan Rumen Domba... 24

8. Kecernaan Total, Kecernaan Protein, dan Kecernaan Energi... 25

(13)

xiii   

Halaman

1. Bagian-Bagian Perut Hewan Ruminansia... 10

2. Aktifitas Enzim Selulase, Amilase, Protease dan Lipase pada

(14)

xiv   

Halaman

1. Perosedur Analisis Kadar Protein..………... 37

2. Perosedur Analisis Kadar Lemak...………. 38

3. Perosedur Analisis Kadar Air... 39

4. Perosedur Analisis Kadar Abu... 40

5. Perosedur Analisis Kadar Serat Kasar... 41

6. Metode Uji Aktifitas Enzim... 43

7. Perosedur Analisis Kecernaan... 46

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagian besar bahan baku pakan, seperti tepung ikan, tepung kedelai,

jagung, meat bone meal, dan bahan lainnya merupakan bahan impor. Tepung ikan

yang diimpor Indonesia pada tahun 2008 sebesar 44.073,22 ton, tahun 2009

sebesar 47.518,97 ton dan pada tahun 2010 menjadi 39.261,69 ton. Sedangkan

tepung kedelai yang diimpor tahun 2008 sebesar 35.849,98 ton, tahun 2009

menjadi 53.474,80 ton, tahun 2010 meningkat menjadi 55.805,86 (Anonim 2011).

Sebagai upaya pengurangan ketergantungan terhadap bahan baku pakan yang

diimpor tersebut adalah pemanfaatan bahan baku lokal berbasis limbah yang

berpotensi dijadikan sebagai bahan baku pakan ikan, diantaranya adalah bungkil

kelapa.

Bungkil kelapa merupakan limbah agroindustri yang ketersediaannya

didukung dengan potensi kelapa di Indonesia yang mencapai luasan areal 3,9 juta

ha tahun 2009 dengan produksi 3,3 juta ton/tahun (Anonim 2010). Produksi

kelapa di Indonesia terus meningkat. Pada Tahun 2010, beberapa daerah di

Indonesia yang memiliki potensi kelapa yang cukup tinggi seperti Kepulauan

Riau memproduksi kelapa sebesar 49,4018 ton/tahun, Kalimantan Selatan (30,869

ton/tahun), Sulawesi Tenggara (41,675 ton/tahun), Maluku (75,217 ton/tahun)

(Anonim 2011). Di Bireun, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam (NAD) memasok

buah kelapa setiap hari mencapai 35 ton, sedangkan bungkil kelapa yang

merupakan limbah dari hasil olahan tersebut mencapai ±7 ton (Anonim 2010).

Limbah bungkil kelapa yang dihasilkan dijual dengan harga Rp. 1.500/kg. Limbah

ini dijadikan sebagai pakan ternak. Harga tersebut jika dibandingkan dengan

bahan baku pakan lainnya seperti bungkil kedelai Rp. 4.400/kg, tepung jagung

Rp. 3.050/kg, pollard Rp. 2.400/kg, maka harga bungkil kelapa relatif murah.

Namun, bungkil kelapa yang digunakan sebagai alternatif bahan baku pakan

diduga sulit dicerna karena mengandung serat kasar yang tinggi. Bungkil kelapa

hasil akhir olahan minyak kelapa tersebut mengandung protein kasar 23,13%,

lemak 10,86%, serat kasar 11,64%, abu 7,21%, kadar air 2,51%, dan BETN

(16)

(NSP) terkandung dalam bungkil kelapa sehingga sulit dicerna. Salah satu upaya

yang dapat dilakukan untuk menurunkan kandungan serat kasar dalam bungkil

kelapa tersebut adalah penambahan enzim pendegradasi yang terdapat dalam

cairan rumen domba.

Rumen merupakan sumber enzim pendegradasi polisakarida. Polisakarida

dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari kompleks

mikroorganisme, terutama penghasil selulase dan xillanase (Trinci et al., 1994).

Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke dalam cairan

rumen untuk membantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim tersebut

antara lain adalah enzim selulase, hemiselulase/xylanase, amilase, pektinase,

lipase, protease dan lain-lain (Kamra, 2005). Selanjutnya dinyatakan bahwa

mikroba rumen yang mensekresikan enzim selulase diantaranya Fibrobacter

succinogenes, Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C.

longisporum dan Eubacterium cellulosovens. Sedangkan jenis mikroba yang

banyak menghasilkan enzim amlase adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus

amylophylus, Prevotella rumonocola, Streptococcus ruminantium dan

Lachnosphora multipharius. Hasil penelitian Pamungkas (2011) melaporkan

bahwa penambahan enzim cairan rumen domba dosis 100 ml/kg bahan dengan

lama waktu inkubasi 24 jam dapat menurunkan kandungan serat kasar bungkil

kelapa sawit dari 17,54% menjadi 6,69% dan menaikan nilai kecernaan dari

15,31% menjadi 42,26% pakan benih ikan patin siam. Penelitian Fitriliyani

(2010) menghasilkan penurunan kadar serat kasar tepung daun lamtoro tertinggi

sebesar 16,77% menjadi 7,77% dan menurunkan asam fitat 68,09% serta

meningkatkan komposisi asam amino dan nilai kecernaan pada ikan nila. Pantaya

(2003), penelitian penambahan enzim cairan rumen domba dengan dosis 1,24

IU/kg menurunkan kandungan polisakarida dari 26,32% ke 22,38%,

meningkatkan oligosakarida dari 73,68% ke 77,62% dan meningkatkan energi

wheat pollard dari 1,55 kkal/kg menjadi 1,88 kkal/kg. Penelitian Sandi (2010),

penambahan enzim cairan rumen domba dosis 1% (b/v) dengan lama waktu

inkubasi 24 jam mampu menurunkan kandungan serat kasar sebesar 17,83% dan

meningkatkan gula total terlarut sebesar 29,91% pada singkong. Terjadi

(17)

selama masa pemeliharaan dikondisikan banyak mengkonsumsi rumput. Lubis

(1992) melaporkan bahwa rumput mengandung serat kasar yang tinggi (30,86%).

Menurut Budiansyah (2010), sapi lokal yang banyak mendapatkan pakan serat

akan menghasilkan enzim selulase yang mampu mendegradasi serat. Sedangkan

pada sapi impor yang mendapatkan konsentrat banyak menghasilkan enzim

xilanase, mananase, amilase.

Bungkil kelapa sebagai alternatif bahan baku pakan ikan belum

dimanfaatkan secara optimal. Untuk itu, perlu dilakukan penelitian untuk

mengevaluasi penurunan serat kasar dan peningkatan nilai kecernaan bungkil

kelapa dengan penambahan enzim cairan rumen domba sebagai pakan benih ikan

mas Cyprinus carpio.

Perumusan Masalah

Ketersediaan bungkil kelapa sebagai alternatif bahan baku pakan impor

cukup banyak dan harganya relatif murah. Namun, tingginya kandungan serat

kasar (11,64%) menjadi faktor pembatas dalam penggunaannya sebagai pakan

ikan. Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan ketersediaan

enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan pada level

tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan. Ikan tidak mampu mencerna serat

kasar, dibatasi oleh kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan

sellulase (Bureau, 2000).

Upaya untuk meminimalkan kandungan serat kasar bungkil kelapa perlu

dilakukan, yakni dengan menghidrolisis kandungan serat kasarnya. Untuk

menghidrolisis serat kasar bisa dilakukan dengan kapang maupun menggunakan

enzim yang dihasilkan mikroba. Penelitian Indariyanti (2011), penggunaan

kapang Trichoderma harzianum Rifai untuk menurunkan serat kasar bungkil inti

sawit dari 16,78% ke 9,35% membutuhkan waktu 8 hari. Sedangkan dengan

cairan enzim rumen domba hanya membutuhkan 24 jam untuk menurunkan

kandungan serat kasar daun lamtoro, bungkil kelapa sawit dan kulit kakao,

masing-masing dari 16,77% ke 7,74%; 17,54% ke 6,69% dan 27,97% ke 21,67%

(Fitriliyani 2010, Pamungkas 2011, Kurniansyah, 2012). Selain efisiensi waktu,

(18)

menurunkan kandungan serat dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kapang.

Penggunaan rumen domba sebagai enzim pendegradasi serat kasar pada bungkil

kelapa dibanding ternak lainnya karena keberadaan ternak domba ditemukan

hampir diseluruh daerah di Indonesia sehingga diperoleh dengan mudah.

Berdasarkan hal-hal tersebut, penelitian ini dirancang untuk menurunkan

serat kasar bungkil kelapa dengan enzim cairan rumen domba. Penambahan enzim

cairan rumen domba dalam bungkil kelapa tersebut diharapkan dapat

mengevaluasi efektivitas enzim cairan rumen domba yang ditambahkan dalam

bahan pakan serta mampu meningkatkan nilai kecernaan dalam pakan sehingga

dapat dimanfanfaatkan secara optimal oleh ikan mas.

Tujuan Penelitian

1. Mengevaluasi pengaruh penambahan enzim cairan rumen domba terhadap

penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa.

2. Mengevaluasi nilai kecernaan bungkil kelapa sebagai bahan baku pakan ikan

mas.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang

ketersediaan pakan bungkil kelapa sebagai bahan baku alternatif dari bahan baku

lokal yang berkulitas dalam pakan ikan mas.

Hipotesis

1. Penambahan enzim cairan rumen domba pada bungkil kelapa dapat

mengurangi kandungan serat kasar bahan pakan. Semakin banyak enzim yang

digunakan dalam waktu tertentu, akan semakin banyak serat kasar yang

dihidrolisis

2. Bungkil kelapa yang telah dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kebutuhan Nutrisi Ikan Mas

Fungsi utama makanan adalah sebagai penyedia energi bagi aktivitas

sel-sel tubuh. Karbohidrat, lemak dan protein merupakan zat gizi dalam makanan yang

berfungsi sebagai energi tubuh. Protein bersama dengan mineral dan air merupakan

bahan baku utama dalam pembentukan sel-sel dan jaringan tubuh, sedangkan protein

bersama-sama dengan mineral dan vitamin berfungsi dalam pengaturan

keseimbangan asam basa, pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh, serta pengaturan

proses metabolisme dalam tubuh. Adapun lemak dalam bentuk fosfolipid dan

kolesterol juga sedikit berperan dalam pembentukan dinding sel (NRC, 1993).

Ikan, seperti juga hewan lainnya tidak mempunyai kebutuhan nutrisi yang

pasti, namun ikan membutuhkan nutrisi yang seimbang untuk keberlangsungan

hidupnya. Afrianto dan Liviawati (2005) mengemukakan bahwa kebutuhan nutrisi

untuk tiap species ikan berbeda-beda dan sering berubah-ubah dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti jenis ikan, ukuran, lingkungan dan musim. Protein merupakan

komponen utama jaringan dan juga senyawa nitrogen lainnya seperti asam nukleat,

enzim, hormon, dan vitamin, sehingga keberadaannya harus secara terus-menerus

disuplai dari makanan untuk pertumbuhan dan perbaikan jaringan tubuh (Furuichi,

1988). Protein mempunyai peran penting untuk fungsi jaringan yang normal,

pertahanan dan petumbuhan (Watanabe and Cho,1988). Protein dalam fungsinya

tidak hanya sebagai penyusun utama tubuh ikan tetapi juga berperan penting sebagai

enzim dan hormon-hormon yang menunjang metabolisme.

Kebutuhan protein ikan menurut (Hepher, 1990) pada umumnya berkisar

35-50%, kebutuhan protein ikan karnivora 40-50% dan omnivora 25-35% (Craig and

Helfrich, 2002). Pemanfaatan protein sangat beragam diantara spesies ikan,

bergantung pada sumber energi non-protein pakan karena kemampuan ikan dalam

memanfaatkan lemak atau karbohidrat pakan juga berbeda untuk setiap speses ikan.

Protein pakan yang tidak mencukupi akan menghambat pertumbuhan, sedangkan

(20)

energi sehingga protein yang digunakan untuk membangun jaringan tubuh hanya

sedikit (NRC, 1983). Dalam Standar Nasional Indonesia dinyatakan bahwa

kebutuhan protein minimal untuk benih ikan mas adalah 30% (SNI 2000).

Takeuchi et al. 2002, mengemukakan bahwa ikan mas mampu mencerna lemak dengan baik. Oleh karena itu, jumlah energi yang dapat tercerna (digestible energy) lebih penting dari pada jumlah lemak dalam pakan. Lemak merupakan sumber energi yang tinggi dalam pakan. Watanabe (1988) mengemukakan satu gram

energi memiliki energi dalam pakan (gross energy) sebesar 9,4 Kkal, sedangkan dalam protein dan karbohidrat sebesar 5,6 dan 4,1 Kkal. Takeuchi (1988), kebutuhan

karbohidrat ikan mas tergolong tinggi dibandingkan dengan ikan yang lain karena

ikan tersebut tergolong omnivora. Jobling (1993) dalam Midlen & Redding (1998), mengemukakakn bahwa ikan mas dapat mencerna sebagian besar karbohidrat dalam

pakan, sementara golongan karnivora seperti salmon dan yellowtail hanya mampu mencerna sekitar 25% saja. Secara umum kebutuhan makro nutrisi ikan mas disajikan

pada Tabel 1. (Takeuchi 1988).

Tabel 1. Kebutuhan makro nutrisi ikan mas (Cyprinus carpio) Makro Nutrisi Kebutuhan

Protein 30 - 35 g.100 g-1

Lemak 5 - 15 g 100 g-1

Energi 13 - 15 MJ kg-1 (310-360 Kcal)

Karbohidrat 30 - 40 g. 100 g-1

Energi pakan diperoleh dari karbohidrat, lemak dan protein. Proporsi

energi yang dikonsumsi meningkat, dengan meningkatnya ukuran ikan, namun

efisiensi pencernaan dan absorpsi menurun yang akhirnya memperlambat

pertumbuhan akibat energi yang hilang melalui feses meningkat (De Silva dan

Anderson, 1995). Imbangan protein dan energi sangat penting dalam menunjang

pertumbuhan ikan. Pakan yang mempunyai kadar protein tinggi belum tentu dapat

(21)

terlebih dahulu dipakai untuk kegiatan metabolisme standar, seperti respirasi,

transport ion, dan pengeluaran cairan tubuh serta aktifitas lainnya. Energi untuk

seluruh aktifitas tersebut diharapkan sebagian besar berasal dari bahan nutrien

non-protein, dalam hal ini karbohidrat dan lemak. Apabila sumbangan energi dari bahan

non-protein ini rendah maka protein akan digunakan sebagai sumber energi untuk

berbagai aktifitas tersebut sehingga pertumbuhan akan berkurang. Dengan kata lain,

penambahan energi non-protein dapat meningkatkan fungsi protein dalam menunjang

pertumbuhan ikan (Furuichi, 1938). Rasio energi protein optimum telah ditemukan

pada berbagai spesies ikan, dan rasio tersebut berkisar antara 8 sampai 10 kkal DE

per gram protein pakan (Halver, 2002). Sedangkan pada catfish rasio ini berkisar antara 7,4-l2 kkal/g. Peningkatan rasio DE/P pakan catfish diatas kisaran ini akan meningkatkan deposit lemak dan jika energi terlalu rendah, pertumbuhan ikan akan

melambat (Robinson et a1, 2007).

Peran utama karbohidrat dalam nutrisi hewan adalah sebagai sumber energi

(Takeuchi, l988). Menurut Furuichi (1988) karbohidrat adalah sumber energi yang

paling murah dan mudah didapatkan untuk komposisi pakan ikan dan juga bertindak

sebagai protein sparing efect. Sumber karbohidrat yang berkualitas baik menjadi sangat penting karena akan berfungsi sebagai energi nonprotein, sehingga akan

sedikit protein yang digunakan sebagai sumber energi tetapi lebih banyak digunakan

untuk pertumbuhan. Kemampuan menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi

berbeda diantara spesies ikan. Yamamoto et al., (200l), menyatakan bahwa ikan umumnya lebih efisien dalam mencerna dan memanfaatkan protein dan lemak, tetapi

dalam memanfaatkan karbohidrat sangat bervariasi bergantung pada kompleksitas

karbohidrat. Menurut Mokoginta et al. (1999), hal tersebut disebabkan oleh aktivitas enzim amylase yang berbeda untuk spesies ikan, dan biasanya ikan karnivor lebih

terbatas dalam memanfaatkan karbohidrat dibandingkan ikan omnivor dan herbivor.

Kebanyakan ikan perairan tropis, termasuk catfish dapat memanfaatkan lebih banyak karbohidrat dibandingkan ikan perairan dingin dan ikan laut. Ikan omnivora

umumnya mampu memanfaatkan karbohidrat lebih tinggi (kadar optimum 30-40%)

(22)

(Furuichi, 1999). Ikan yang diberi pakan tanpa karbohidrat memiliki laju

pertumbuhan yang relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan pakan yang diberi

karbohidrat (Wilson, 1994). Namun pemberian karbohidrat yang terlalu tinggi akan

mengakibatkan pertumbuhan ikan menurun dan tidak efektifnya pakan yang

diberikan (Zonneveld et al., 199l). Pertumbuhan fingerling catfish lebih tinggi ketika pakannya mengandung karbohidrat dibandingkan hanya mengandung lemak sebagai

sumber energi nonprotein (NRC, 1993).

Lemak pada pakan mempunyai peranan penting bagi ikan, karena berfungsi

sebagai sumber energi dan asam lemak esensial, memelihara bentuk dan fungsi

membran atau jaringan sel yang penting bagi organ tubuh tertentu, membantu dalam

penyerapan vitamin yang larut dalam lemak dan untuk mempertahankan daya apung

tubuh. Menurut Craig dan Helfrich (2002), lemak adalah salah satu makronutrien

dengan kandungan energi yang tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai protein sparing effect dalam pakan budidaya. Satu unit lemak yang sama mengandung energi dua kali lipat dibandingkan dengan protein dan karbohidrat. Jika lemak dapat

menyediakan energi untuk pemeliharaan metabolisme maka sebagian besar protein

yang dikonsumsi dapat digunakan tubuh untuk pertumbuhan dan bukan digunakan

sebagai sumber energi (NRC, 1993).

Ikan menggunakan lemak untuk energi, komponen struktur sel dan

pemeliharaan integritas biomembran (Takeuchi, l988). Furuichi (1998) juga

menyatakan bahwa lemak juga dapat dimanfaatkan untuk membangun struktur sel

dan mempertahankan integritas membran melalui penggunaan fosfolipid. Lemak

adalah sumber energi dan mengandung 2,25 kali energi karbohidrat, dan memegang

peranan penting dalam metabolisme hewan seperti mensuplai asam lemak esensial,

(23)

Bungkil Kelapa

Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang diperoleh dari ekstraksi daging

buah kelapa segar/kering. Didaerah tropik, bungkil kelapa adalah salah satu bahan

makanan ternak sumber protein nabati yang sering digunakan sebagai bahan

penyusun pakan (Wahju, 1988). Parakkasi (1990) mengemukakan bahwa bahan

pakan bungkil mengandung bahan protein nabati dan sangat potensial untuk

meningkatkan karkas. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan nilai nutrien bungkil kelapa (%)

Kandungan Zat Jumlah (%)

Kadar Air

Sumber : a. Hoffman, A (1981) c. Mepba dan Achinewhu (2003) b. Creswell dan Brooks (1971) d. Moorthy,M dan Viswanathan (2009)

e. Hasil analisis proksimat bungkil kelapa dari Aceh

Hasil penelitian Ng dan Chen (2004) menunjukkan bahwa bungkil kelapa

sawit (BKS) yang difermentasi oleh Trichoderma koningii menghasilkan peningkatan kandungan protein kasar, yaitu dari 17% menjadi 32%. Penggunaan BKS sebagai

pakan ikan lele telah dilakukan oleh Ng dan Chen (2002) membuktikan bahwa

pernberian bungkil sawit sebanyak 20% dalam pakan tidak berpengaruh negatif

terhadap pertumbuhan ikan lele. Penelitian yang dilakukan oleh Lim et al., (2001) pada ikan nila tilapia menunjukkan bahwa penggunaan BKS 30% dalam pakan

memberikan pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ikan yang diberi pakan

(24)

sebagai sumber protein walaupun tingkat kecernaan proteinnya lebih rendah dari

pakan kontrol. Ng dan Chong (2002), dalam hasil penelitiannya melaporkan bahwa

penggunaan BKS 20% bobot kering dalam pakan ikan nila Tilapia (Oreochromis sp) tidak menunjukkan pengaruh negatif terhadap laju pertumbuhan dan efisiensi pakan

bila dibandingkan dengan pakan kontrol yang menggunakan tepung ikan 2l,19% dan

tepung bungkil kedele 30,73% sebagai sumber protein. Selain itu juga dilaporkan

bahwa penambahan enzim pada BKS mampu meningkatkan nilai nutrisi BKS dan

dapat meningkatkan penggunaan BKS dalam pakan ikan nilia sebesar 4,0% dapat

memberikan pertumbuhan yang lebih baik dari penggunaan BKS tanpa enzim.

Cairan Rumen sebagai Sumber Enzim

Ternak ruminansia mempunyai organ pencernaan yang berbeda dengan

organ pencernaan monogastrik. Ternak ruminansia terdapat empat lambung yang

terdiri atas retikulum, rumen, omasum dan abomasum (Gambar 1). Proses pencernaan

bahan makanan yang terjadi dalam rumen adalah proses fermentasi oleh mikroba

rumen. Proses fermentasi ini yang menjadikan perbedaan antara ruminansia dan

monogastrik.

Gambar 1. Bagian-bagian perut hewan ruminansia.

Organ pencernaan ternak monogastrik yang berfungsi untuk mencerna

(25)

tidak dapat mencerna serat yang terlalu banyak karena tidak terdapat mikroba dalam

organ pencernaannya yang menghasilkan enzim pendegradasi selulosa. Pada dasarnya

hewan ruminansia juga tidak mampu memecah ikatan β1-4 glikosida, akan tetapi karena adanya mikroba di dalam rumen, maka ruminansia dapat memecah ikatan β 1-4 glikosidik (Arora, 1989).  

Wizna et al., (2008) menyatakan bahwa xanthophyll yang terdapat dalam isi rumen, sebagian besar terdiri dari hijauan, diduga dibutuhkan oleh pigmen kuning

telur dan kulit unggas. Manfaat lain dari penggunaan isi rumen sebagai bahan pakan

adalah adanya vitamin Bl2 sebagai faktor protein hewan yang menyebabkan isi

rumen mempunyai nilai secara biologi yang sama dengan tepung ikan dan ekstrak

hati. Kandungan nutrisi dari isi rumen sapi adalah 9,29% air, 8,45% protein kasar,

1,23% lemak kasar, 33,53% serat kasar. 0,20% Ca, 0,45% P, l6,l9% abu, dan,

31,60% NFE. Menurut Hardiyanto, (2001) isi rumen berpotensi sebagai feed additive. Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan silase

jerami padi. Lebih lanjut dinyatakan bahwa cairan rumen pada onggok sebagai bahan

baku penyusun ransum komplit dapat meningkatkan kandungan VFA (Volatile Fatty Acid).

Rumen diakui sebagai sumber enzim pendegradasi polisakarida.

Polisakarida dihidrolisis di rumen disebabkan pengaruh sinergis dan interaksi dari

kompleks mikroorganisme, terutama selulase dan xillanase (Trinci et al., 1994). Ada dua grup jenis mikroorganisme yang diyakini pada cairan rumen (Iiquid phase) dan yang menempel pada digesta rumen. Enzim yang aktif mendegradasi struktural

polisakarida hijauan kebanyakan aktif pada mikroorganisme yang menempel pada

partikel pakan.

Mikroba-mikroba rumen mensekresikan enzim-enzim pencernaan ke dalam

cairan rumen untuk mernbantu mendegradasi partikel makanan. Enzim-enzim

tersebut antara lain adalah enzim yang mendegradasi substrat selulosa yaitu selulosa,

hemiselulosa/xylosa adalah hemiselulase/xylanase, pati adalah amilase, pektin adalah

pektinase, lipid/lemak adalah lipase, protein adalah protease dan lain-lain (Kamra,

(26)

mensekresikan enzim selulase diantaranya Fibrobacter succinogenes, Ruminococcus albus, R. flavefaciens, Clostrodium lochheadii, C. longisporum dan Eubacterium cellulosovens. Sedangkan jenis mikroba yang banyak menghasilkan enzim amilase adalah Streptococcus bovis, Ruminococcus amylophylus, Prevotella rumonocola, Streptococcus ruminantium dan Lachnosphora multipharius.

Aktivitas enzim dalam cairan rumen juga tergantung dari komposisi atau

perlakuan makanan (Moharrery dan Das, 2002). Agarwal et al., (2002) melaporkan bahwa anak domba dengan berat badan 23,5 kg yang diberi makan minum susu

sampai 8 minggu dan diteruskan dengan 50% konsentrat dan 50% rumput sampai

umur 24 minggu mendapatkan bahwa enzim-enzim yang ada dalam cairan rumen

antara lain carboxymethyl cellulase dengan aktivitas enzim 3,60 mol glukosa per jam

per ml, alpha amylase 0,33 umol glukosa per menit per ml, xylanase 0,29 umol

xylosa per menit per ml, beta-glukosidase 0,20 umol p-nitrophenol per menit per ml,

alpha-glukosidase 0,008 U/mol p-nitrophenol per menit per ml, urease 0,05 U/mol

NHs-N per menit per ml dan protease 452,7 U/ g hidrolisis protein per jam per ml.

Moharrery dan Das (2001) mengukur aktivitas enzim protease, selulase, amylase,

lipase dan urease pada cairan rumen domba dan mendapatkan bahwa cairan rumen

yang berisi enzim-enzim dari sel-sel bakteri, aktivitas enzimnya lebih tinggi dari

cairan rumen tanpa protozoa dan tanpa sel-sel bakteri. Komposisi enzim cairan rumen

domba ditunjukan pada Tabel 3.

Tabel 3. Komposisi enzim cairan rumen domba

Enzim1) Cairan rumen

738,5±3,45 162,2±33,70 405,30±44,19

Protease (unit/ml) 0,201±0,078 0,090±0,027 0,220±0,046 Amilase (ug glukosa/menit/ml 172,2±45,9 60,05±10,96 208,7±97,0 Lipase (unit/ml) 1,076±0,309 0,339±0,080 1,225±0,803

1)

(27)

Cairan rumen telah digunakan sebagai sumber inokulan dalam pengolahan

silase jerami padi dan menghasilkan penurunan bahan kering 10,6%, kadar serat

15,98% serta meningkatkan kandungan protein 4,5% (Purnomohadi, 2006). Hasil

penelitian Hardiyanto (2001), menyatakan bahwa cairan rumen yang ditambahkan

pada onggok sebagai bahan pakan penyusun ransum komplit dapat meningkatkan

kandungan VFA (volatile fatty acid). Penambahan cairan rumen sebesar 62 dan 1,240 U/g pada wheat pollard menghasilkan penurunan kandungan polisakarida

berturut-turut sebesar 4,0% dan 3,9% dan kandungan polisakarida wheat pollard tanpa enzim lebih tinggi dibandingkan dengan yang ditarnbahkan enzim (Pantaya, 2003).

Selulosa menurut Hardjo et al. (1989) adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4 β glikosida. Enzim yang mendegradasi selulosa yaitu endoglukonase atau karboksil metal selulase (endo-1,4- β-glukonase). Kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja

bersama-sama atau bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu :

1. Endo-selulase yang memotong bagian dalam struktur kristal dari selulosa dan

mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida.

2. Ekso-selulase yang memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil produksi

endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida seperti selubiosa.

3. Selubiosa atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase menjadi monosakarida.

Tiga reaksi tersebut yang dikatalis oleh selulase memotong interaksi

nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa

oleh enzim endo-selulase, menghidrolisis serat selulosa menjadi sakarida yang lebih

sederhana oleh ekso-selulase, serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida

menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase. Penelitian Malathi dan Devegowda (2002), menambahkan multienzim ke dalam pakan broiler memperoleh hasil terjadi

peningkatan nilai total gula sunflower meal, soybean meal, deoiled rice bran yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan enzim tunggal. Dinyatakan bahwa

kandungan multienzim ini juga menjadi kelebihan yang dimiliki oleh ekstrak enzim

(28)

Serat Kasar Dalam Bahan Pakan

Sundu dan Dingle (2003) mengemukakan bahwa penggunaan bungkil

kelapa sawit dalam ransum unggas dibatasi oleh tiga faktor; pertama secara fisik

bungkil kelapa bersifat “gritty (berbatu / mengandung grit) dan tidak palatable; kedua

secara nutrisional mengandung bahan atau zat seperti manan atau galaktomanan dan

xilan atau arabinoxilan yang dapat menurunkan penyerapan nutrient. Lebih lanjut

dikatakan bahwa dari total karbohidrat bungkil kelapa, 26 persen adalah manan, 61

persen galaktomanan, dan 13 persen selulosa.

Kadar serat kasar yang berbeda pada bahan penyusun pakan dapat

mempengaruhi nilai energi yang tersedia dalam pakan karena terdapat korelasi

negatif antara kadar serat kasar dalam pakan dengan energi yang tersedia dalam

pakan. Semakin tinggi serat kasar pakan maka semakin rendah jumlah energi yang

tersedia. Hal tersebut disebabkan serat kasar tidak mampu menyediakan energi yang

dapat dimanfaatkan oleh ikan. Anggorodi (1990) mengemukakan bahwa, serat kasar

yang berisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin relatif sulit dicerna dan merupakan

sumber energi yang rendah.

Tillman (1999) menyatakan bahwa serat kasar adalah penyusun utama

dinding sel tumbuhan dan merupakan fraksi karbohidrat yang telah dipisahkan

dengan bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) yang tidak larut dalam basa dan asam

encer setelah pendidihan selama 30 menit. Serat kasar terdiri dari sellulosa,

hemisellulosa dan lignin yang sulit dicerna (Anggorodi l994; Tillman l999). Serat

kasar dibutuhkan dalam pakan untuk membantu proses pencernaan makanan.

Menurut Piliang (2006), serat kasar mernbantu mempercepat ekskresi sisa-sisa

makanan rnelalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dan

kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat

rnenyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga eksresi

feses menjadi lebih lamban. Sebaliknya, (Slae and Hinz 1969 dalam Fitriliyani, 2010) bahwa pakan dengan kandungan serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan absorbs

(29)

Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan

ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan

pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan (Bureau, 1999). Labih lanjut

dinyatakan bahwa, kemampuan ikan dalam mencerna serat kasar dibatasi oleh

kemampuan mikroflora dalam ususnya untuk mensekresikan sellulase.

Kecernaan Pakan

Nilai kecernaan suatu makanan atau disebut juga dengan koefisien

penecernaan (digestibility) disamping menggambarkan kemampuan ikan dalam memanfaatkan makanan juga dapat menggambarkan kualitas pakan yang dikonsumsi

oleh ikan. Lovell (1989) mendefenisikan kecernaan sebagai bagian dari pakan yang

diserap oleh hewan. Pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan dicerna

menjadi senyawa sederhana berukuran mikro, dimana protein dihidrolisis menjadi

asam-asam amino atau peptida sederhana, lemak menjadi gliserol dan asam lemak

menjadi gula sederhana (Halver 2002).

Proses kecernaan pakan baik fisik maupun kimia memegang peranan

penting. Hidrolisis nutrient makro dimungkinkan dengan adanya beberapa enzim

pencernaan seperti protease, karboksilase, dan lipase (Zonneveld et al. 1991). Robinson, (2001) mengemukakan bahwa rendahnya serat kasar dalam pakan

menyebabkan tingginya daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan didalam alat

pencernaan ikan. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient dicerna oleh

berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk

dalam sistim peredaran darah. Sebaliknya pakan yang mengandung serat kasar tinggi

akan menghasilkan feses yang lebih banyak sehingga serat kasar yang tidak tercerna

tersebut dapat membawa zat-zat makanan yang seharusnya dicerna.

Metode pengukuran kecernaan menurut Takeuchi (1988) ada dua cara yaitu

metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung yang diukur yaitu jumlah

pakan yang dikonsumsi dan jumlah feses yang dikeluarkan. Sedangkan metode tidak

langsung yaitu dengan menambahkan indikator dalam pakan dimana indikator

(30)

dapat dianalisa dalam jumlah yang sedikit dan indikator yang mempunyai sifat

tersebut adalah Cromium oxide. Jumlah Cromium oxide yang digunakan dalam penentuan kecernaan adalah 0,5-1,0%. Selanjutnya dikatakan bahwa keuntungan

menggunakan metode tidak langsung ini adalah feses yang telah dikumpulkan dapat

dianalisa kandungan nutriennya sehingga dapat diketahui koefisien daya cerna suatu

nutrien dalam pakan tersebut.

Amonia yang diekskresikan ikan merupakan indikator yang baik dalam

menentukan kadar optimum protein dalam pakan terutama jika dihubungkan dengan

pertumbuhan (Wermerskirchen et al. 1996). Menurut NRC (1993), nitrogen yang diekskresikan berkorelasi dengan nitrogen yang dikonsumsi. Eksresi amonia

menunjukan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau

(31)

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan dalam dua tahapan. Tahap 1 adalah uji efektivitas enzim

cairan rumen domba terhadap penurunan kandungan serat kasar bungkil kelapa. Uji

Tahap 2 adalah mengevaluasi kecernaan bungkil kelapa sebagai pakan benih ikan

mas (Cypinus carpio).

Penelitian Tahap 1: Uji Efektivitas Enzim Cairan Rumen Domba Terhadap Penurunan Kandungan Serat Kasar Bungkil Kelapa

Penelitian Tahap 1 dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui efektivitas

penambahan enzim cairan rumen domba dalam bungkil kelapa terhadap penurunan

kandungan serat kasar pada bungkil kelapa. Pada tahap pertama dilakukan

pengambilan cairan rumen domba. Cairan rumen domba yang diambil adalah cairan

rumen dari domba yang selama pemeliharaan diberikan pakan rumput. Cairan rumen

domba yang dihasilkan diusahakan selalu dalam kondisi dingin. Cairan rumen yang

diambil kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit pada

suhu 40C. Supernatan yang terbentuk direaksikan dengan amonium sulfat 60% menggunakanmagnetic stirer selama 1 jam dan didiamkan selama 24 jam pada suhu

40C. Selanjutnya cairan rumen yang telah diinkubasi selama 24 jam disentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 20 menit kondisi 40C. Endapan yang terbentuk digunakan sebagai sumber enzim. Enzim kemudian dilarutkan dalam buffer fosfat

dengan perbandingan 1:1, yakni endapan dari 100 ml supernatan cairan rumen

dilarutkan dalam 100 ml buffer fosfat pH 7,0 dan disimpan pada suhu 40C (Budiansyah, 2010; Fitriliyani 2010). Enzim yang telah diperoleh dari hasil isolasi,

selanjutnya diuji aktivitas enzimnya yang meliputi aktivitas enzim selulase (FP-ase

Ghosse 1987), amilase dan protease, serta lipase (Tiests and Friedreck dalam

Barlongan 1990). Enzim yang diperoleh dari hasil isolasi kemudian ditambahkan ke

dalam bungkil kelapa dengan volume yang berbeda, yaitu: 0, 25, 50, 75, 100 atau

125 ml/kg bungkil kelapa. Lama waktu inkubasi di masing-masing dosis tersebut

(32)

Parameter yang diamati adalah kandungan serat kasar BK sebelum dan

sesudah inkubasi. Untuk mengetahui pengaruh penambahan enzim cairan rumen

terhadap parameter yang diukur dilakukan analisis statistik menggunakan analisis

ragam (uji F). Jika terdapat perbedaan antar perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan

(Steel dan Torrie, 1993). Rancangan percobaan pada penelitian Tahap 1

menggunakan Rancanagan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor peubah dan 3

ulangan. Faktor peubah tersebut adalah dosis enzim cairan rumen domba dan lama

waktu inkubasi. Analisis kimia yang dilakukan pada tahapan ini meliputi analisis

serat kasar, kadar protein, lemak, abu, dan air bahan pakan hidrolisis (Takeuchi,

1988).

Penelitian Tahap 2: Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang telah Dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Pakan Benih Ikan Mas

Pakan Uji

Tahapan uji kecernaan bahan pakan dilakukan berdasarkan metode kecernaan

bahan yang dikemukakan oleh Watanabe (1988), yaitu pakan acuan (reference diet)

yang terdiri dari 100% pakan komersil, dan 2 jenis pakan uji (test diet) yang terdiri

dari pakan A (65% pakan komersil dan 30% bungkil kelapa + enzim (BKe), pakan B

(65% pakan komersil dan 30% bungkil kelapa (BK). Uji kecernaan dilakukan di

Laboratorium Nutrisi Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni Juli 2011. Pakan yang

dibuat, kemudian dianalisis proksimat untuk perhitungan nilai kecernaan di akhir

penelitian. Penelitian tahap dua dilakukan bertujuan untuk mengetahui nilai

kecernaan bahan pakan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen

domba sebagai pakan benih ikan mas. Komposisi pakan acuan dan pakan uji dengan

(33)

Tabel 4. Komposisi pakan acuan (100% komersil), pakan uji (30% BKe) dan (30% BK) dalam persen

Komposisi (100% komersil) A (30% BKe) B (30% BK)

Pakan komersil 95 65 65

Bke 0 30 0

BK 0 0 30

Tepung tapioka 3 3 3

Kadar air 1,5 1,5 1,5

Cr2O3 0,5 0,5 0.5

Total 100 100 100

Kualitas Air

Pengukuran kualitas air dilakukan selama penelitian berlangsung meliputi

parameter suhu, oksigen terlarut (DO), pH dan amoniak. Pengukuran dilakukan pada

awal, pertengahan dan pada akhir penelitian. Kisaran nilai parameter kualitas air

disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kisaran nilai parameter kualitas air media pemeliharaan ikan mas selama penelitian

Uji Kecernaan Ikan Mas dan Pengumpulan Data

Ikan uji yang digunakan telah diadaptasikan dalam wadah pemeliharaan selama

7 hari. Ikan uji pada awal penelitian berjumlah 225 ekor benih ikan mas dengan bobot

rata-rata 1,0 - 1,5 g/ekor yang terdistribusi pada 9 akuarium berukuran 60x40x50 cm

volume air 50 liter, masing-masing akuarium berisi 25 ekor ikan. Setelah dipuasakan

selama 24 jam, ikan ditimbang dalam bobot basah tubuhnya. Pemeliharaan ikan

dilakukan selama 20 hari dan diberikan pakan uji yang mengandung indikator Cr2O3

dengan frekuensi pemberian pakan sebanyak tiga kali sehari, yaitu pukul 07.00, 12.00

Parameter Kualitas Air Kualitas air selama penelitian

Suhu (0C) 29 30

pH 6,5 7,5

DO (mg/l) 4,6 6,7

(34)

dan 17.00 WIB. Pemberian pakan dilakukan secara at satiation (sampai kenyang).

Pergantian air dilakukan satu kali per tiga hari dengan volume 50% dari total air

dalam wadah. Feses yang telah terkumpul dikeringkan di dalam oven dengan suhu

110°C selama 4-6 jam. Jumlah ikan uji setelah penelitian 222 ekor dengan bobot

akhir 2,0 3,0 g. Selanjutnya dilakukan analisis kandungan protein dan kadar air

Cr2O3 terhadap feses yang sudah dikeringkan dengan bantuan alat spektrofotometer

yang memiliki panjang gelombang 350 nm (Watanabe, 1988). Parameter yang

diamati pada penelitian tahap 2 berdasarkan prosedur Takeuchi (1988) meliputi:.

Parameter yang Diukur

a. Kecernaan Total (Takeuchi 1988)

Kecernaan Total (%) = 1 − 100

Keterangan :

ADC = Koefisien daya cerna pakan

IF =Cr2O3 dalam feses (%)

IP = Cr2O3 dalam pakan (%)

b. Daya Cerna Nutrien (Takeuchi 1988)

ADC(%) = 1 − 100

Keterangan :

ADC = Koefisien daya cerna pakan

IF =Cr2O3 dalam feses (%)

IP = Cr2O3 dalam pakan (%)

c. Kecernaan Energi (Takeuchi 1988)

(35)

Keterangan :

DE = Digestible Energi (energi tercerna) (kcal/100gr)

EP = Energi dalam pakan (kcal/100gr)

d. Kecernaan Bahan Watanabe (1988) :

Kecernaan bahan = (ADT - 0,7 AD) / 0,3

Keterangan :

ADT = nilai kecernaan pakan uji (kcal/100gr)

AD = nilai kecernaan pakan acuan (kcal/100gr)

e. Analisis Kimia

Analisis meliputi analisis proksimat pakan uji, analisis kandungan Cr2O3

pakan uji dan feses ikan. Analisis proksimat pakan uji meliputi pengukuran kadar

protein, lemak, serat kasar, abu dan air. Seluruh analisis proksimat dilakukan

berdasarkan Takeuchi (1988).

f. Analisis Statistik

Untuk mengetahui pengaruh pakan uji terhadap kecernaan yang dukur

tersebut maka digunakan analisis ragam (Uji F). Jika terdapat perbedaan antar

perlakuan dilanjutkan dengan uji Duncan dengan selang kepercayaan 95% (Steel and

(36)
(37)

Analisis Kandungan Nutrisi Bungkil Kelapa

Hasil uji efekvitas enzim diketahui maka selanjutnya dilakukan proses

hidrolisis bungkil kelapa. Analisis proksimat bungkil kelapa dengan perlakuan

penambahan volume enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi yang

berbeda disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan lemak, protein, serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba dan lama waktu inkubasi

Volume

(38)

Tabel 6 menunjukan bahwa perlakuan dosis enzim cairan rumen domba dan

lama waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap penurunan kandungan serat kasar

bungkil kelapa. Nilai serat kasar pada bungkil kelapa tanpa penambahan enzim cairan

rumen domba lebih tinggi dibandingkan dengan nilai serat kasar bungkil kelapa pada

perlakuan penambahan enzim cairan rumen domba dengan lama waktu inkubasi 24

jam. Nilai serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan penambahan enzim cairan

rumen domba 125 ml/kg dengan lama waktu inkubasi 24 jam lebih rendah (6,98%)

dibandingkan dengan nilai serat kasar dengan lama waktu inkubasi 12 jam dan 0 jam

pada dosis 25, 50, 75 dan 100 ml/kg.

Glukosa Terlarut Bungkil Kelapa

Hasil analisis pada Tabel 8 menunjukan bahwa kandungan glukosa terlarut

pada bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba mengalami

peningkatan seiring dengan penambahan volume enzim dan lama waktu inkubasi.

Kandungan glukosa terlarut tertinggi sebesar 0,464% diperoleh dari perlakuan

penambahan enzim cairan rumen domba 125 ml/kg selama 24 jam.

Tabel 7. Kandugan glukosa terlarut pada bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba

Volume enzim cairan rumen domba (ml/kg)

(39)

Uji Kecernaan Bungkil Kelapa yang telah Dihidrolisis dengan Enzim Cairan Rumen Domba Sebagai Pakan Benih Ikan Mas

Tahapan uji kecernaan bertujuan untuk mengetahui tingkat kecernaan ikan

terhadap bungkil kelapa yang digunakan sebagai bahan baku pakan. Hasil uji

kecernaan bungkil kelapa yang dihidrolisis dengan enzim cairan rumen domba

volume 125 ml/kg dengan lama waktu inkubasi 24 jam dan bungkil kelapa tanpa

hidrolisis meliputi nilai kecernaan total, kecernaan protein dan kecernaan energi

disajikan pada Tabel 8. Hasil analisis data menunjukan bahwa pakan komersil dan

pakan 30% BKe memiliki kecernaan yang lebih tinggi dari pakan 30% BK.

Tabel 8. Kecernaan total, kecernaan protein dan kecernaan energi

Parameter Uji Pakan

(100% Pakan komersil) A (30% BKe) B(30% BK)

Kecernaan (%)

Total

Protein

Energi

67,35±2,01a

76,93±1,42ab

71,50±0,81b

66,32±2,17a 63,52±0,39b

77,71±1,80a 75,51±0,65a

69,60±0,81b 64,80±0,77a

Notasi yang sama pada baris yang sama menunjukan pengaruh perlakuan yang tidak berbeda nyata (P<0,05).

Hasil perhitungan uji kecernaan bahan baku menunjukan bahwa baik

kecernaan total, protein dan energi mengalami peningkatan nilainya. Nilai kecernaan

BKe lebih tinggi dari BK (Tabel 9).

Analisa sidik ragam nilai kecernaan bahan uji menunjukan bahwa nilai

kecernaan (total, protein dan energi) pada pakan BKe ternyata memiliki nilai

kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan pada pakan BK. Nilai

kecernaan total BKe sebesar (63,92%), kecernaan protein (79,53%), dan kecernaan

energi (72,2% ), sedangkan nilai kecernaan total BK (54,58%), kecernaan protein

(40)

Tabel 9. Kecernaan bahan uji

Bahan Uji Kecernaan Bahan (%)

Total Protein Energi

Bugkil kelapa + enzim

Bungkil kelapa

63,92±0,35

54,58±0,70

79,53±0,65

65,17±0,43

72,2±0,28

49,17±0,53

Pembahasan

Tingginya aktivitas enzim selulase dan amilase pada cairan rumen domba

diduga akibat jenis pakan yang dikonsumsi selama masa pemeliharaan. Domba yang

diambil cairan rumennya ini mengkonsumsi rumput, dimana rumput mengandung

serat yang cukup tinggi sehingga dikonversi pada saluran pencernaan menjadi enzim

pendegradasi serat yang dibutuhkan di dalam rumen domba untuk mencerna rumput.

Menurut Moharery dan Das, (2002), aktifitas enzim dalam cairan rumen tergantung

dari komposisi atau perlakuan makanan. Cairan rumen domba yang digunakan untuk

penelitian tersebut mengkonsumsi rumput selama pemeliharaan, sehingga aktifitas

enzim selulase lebih tinggi. Lubis (1992) mengemukakan bahwa kandungan serat

kasar rumput sangat tinggi yaitu 30,86%, sehingga enzim selulase yang dihasilkan di

rumen juga lebih banyak. Pada penelitian ini diperoleh hasil aktifitas enzim tertinggi

pada perlakuan volume 125 ml/kg bahan dengan lama waktu inkubasi 24 jam yaitu

pada enzim selulase sebesar 0,511 IU/ml/menit diikuti enzim amilase sebesar 0,510

μg glukosa/ml/menit; enzim protease 0,057 μg protein/ml/menit dan lipase 0,036 μg lemak/ml/menit. Penelitian Pamungkas (2011) mendapatkan efektivitas enzim

tertinggi adalah enzim selulase 0,31 IU/ml/menit sedangkan Fitriliyani (2010)

menghasilkan aktivitas enzim tertinggi adalah enzim selulase 1,66 IU/ml/menit.

Perbedaan respon aktivitas enzim tersebut diduga akibat perbedaan domba

yang digunakan enzim cairan rumennya. Budiansyah (2010) menemukan aktifitas

enzim tertinggi dihasilkan oleh rumen sapi asal lokal dibandingkan rumen sapi impor.

Hal ini disebabkan karena sapi lokal lebih banyak mengkonsumsi hijauan sehingga

(41)

banyak mengkonsumsi konsentrat, sehingga lebih sedikit menghasilkan mikroba

pencerna serat. Akibatnya, aktivitas enzim selulase pada cairan rumen sapi lokal lebih

tinggi dibandingkan dengan aktivitas enzim selulase pada sapi impor. Perbedaan nilai

tersebut juga diduga akibat dari umur domba yang diambil cairan rumennya berbeda.

Agarwal et al., (2002) melaporkan bahwa anak domba dengan berat badan 23,5 kg yang diberi makan minum susu sampai 8 minggu dan diteruskan dengan 50%

konsentrat dan 50% rumput sampai umur 24 minggu mendapatkan bahwa

enzim-enzim yang ada dalam cairan rumen antara lain carboxymethyl cellulase dengan

aktivitas enzim 3,60 mol glukosa per jam per ml, alpha amylase 0,33 umol glukosa

per menit per ml, xylanase 0,29 umol xylosa per menit per ml. Perbedaan respon

aktivitas enzim amilase juga terjadi.

Penelitian ini menghasilkan aktifitas enzim amylase 0,510 IU/ml/menit.

Pamungkas (2011) mendapatkan aktivitas enzim amilase 0,14 IU/ml/menit,

sedangkan Fitriliyani memperoleh aktivitas enzim amilase 1,32 IU/ml/menit.

Perbedaan nilai tersebut diduga adanya perbedaan domba dan umur domba serta

makanan yang dimakan selama masa pemeliharaan. Aktivitas enzim amylase yang

dilaporkan Fitriliyani (2010) lebih tinggi dibanding yang dilaporkan penelitian

lainnya disebabkan domba yang digunakan mengkonmsi rumput dan ditambahkan

daun lamtoro yang mengandung serat kasar yang tinggi sehinggi enzim amylase yang

dihasilkan di rumen juga cukup tinggi. Moharery dan Das (2002) melaporkan bahwa

cairan rumen domba yang berisi sel-sel bakteri mempunyai aktivitas enzim selulase,

amylase, protease dan lipase yang lebih tinggi dari cairan rumen tanpa sel-sel

mikroba.

Di dalam penelitian ini, hasil hidrolisis terbaik mampu menurunkan serat

kasar bungkil kelapa dari 14,34% menjadi 6,98%, sehingga kadar serat kasar yang

tertinggal dari semula menurun lebih dari setengahnya. Penelitian Kurniansyah

(2012) juga menggunakan enzim cairan rumen domba volume 150 ml/kg untuk

mendegradasi kandungan serat kasar kakao dengan lama waktu inkubasi 24 jam.

Hasil yang diperoleh terjadi penurunan kandungan serat kasar kakao dari 27,97%

(42)

serat pada tepung daun lamtoro dengan menggunakan enzim cairan rumen domba

volume 100 ml/kg, lama waktu inkubasi 24 jam dapat mendegradasi serat kasar dari

16,77% menjadi 7,774%, atau turun sebanyak 53,7% (Fitriliyani, 2010). Penelitian

dengan menggunakan enzim cairan rumen domba volume 100 ml/kg untuk

menghidrolisis bungkil kelapa sawit selama 24 jam juga dilakukan Pamungkas

(2011). Hasil penelitian tersebut berhasil menurunkan kandungan serat kasar BKS

dari 17,54% menjadi 10,63% (turun 40%). Prosen penurunan serat kasar bervariasi

diduga karena bahan yang dirumen berbeda dan substrat yang digunakan juga

berbeda. Aktifitas enzim dalam rumen yang semakin tinggi akan efektif menurunkan

serat kasar dibandingkan penambahan rumen yang memiliki aktivitas enzim yang

lebih rendah.

Meningkatnya kandungan glukosa terlarut dalam bungkil kelapa seiring

penambahan volume enzim cairan rumen domba. Kandungan glukosa terlarut pada

BKe meningkat dari 0,013% menjadi 0,464%. Pamungkas (2011) menggunakan

enzim cairan rumen domba dosis 100 ml/kg bahan bungkil kelapa sawit dengan lama

waktu inkubasi 24 jam meningkatkan kandungan glukosa terlarut sebesar 0,469%.

Perbedaan nilai tersebut diduga erat hubungannya dengan kerja enzim selulase.

Enzim selulase terbukti efektif mendegradasi serat kesar menjadi gula-gula sederhana

yang dapat diserap oleh ikan. Hardjo et al.(1989) mengemukakan bahwa selulosa adalah polimer tak bercabang dari glukosa yang dihubungkan melalui ikatan 1,4 β glukosida. Enzim yang mendegradasi selulosa yaitu endoglukanase atau karboksil

metal selulase (endo-1,4- β-glukanase). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kompleks enzim selulase mempunyai tiga komponen utama yang bekerja bersama-sama atau

bertahap dalam menguraikan selulosa menjadi unit glukosa, yaitu :

1. Endo-selulase yang memotong bagian dalam struktur Kristal dari selulosa

dan mengeluarkan unit selulosa dari rantai polisakarida.

2. Ekso-selulase yang memotong 2-4 unit selulosa dari rantai akhir hasil

produksi endo-selulase dan menghasilkan tetrasakarida atau disakarida

(43)

3. Selubiosa atau β-glukosidase yang menghidrolisis produk dari ekso-selulase menjadi monosakarida.

Tiga reaksi tersebut yang dikatalis oleh selulase memotong interaksi

nonkovalen dalam bentuk ikatan hidrogen yang ada dalam struktur kristal selulosa

oleh enzim endo-selulase, menghidrolisis serat selolusa menjadi sakarida yang lebih

sederhana oleh ekso-selulase, serta menghidrolisis disakarida dan tetrasakarida

menjadi glukosa oleh enzim β-glukosidase.

Kandungan serat kasar bungkil kelapa yang rendah mampu meningkatkan

kecernaan benih ikan mas. Hasil penelitian menunjukan bahwa kecernaan total

(63,92%), protein (79,53%), maupun energi (72,2%) pada pakan BKe memiliki nilai

kecernaan yang lebih tinggi dibandingkan nilai kecernaan total (54,58%), protein

(65,17%) dan energy (49,17%) pada pakan BK. Rendahnya serat kasar dalam pakan

BKe menyebabkan peningkatan penyerapan zat-zat makanan dalam saluran

pencernaan sehingga mempercepat pertumbuhan dan proses fisiologis lainnya.

Proses tersebut terjadi akibat mekanisme kerja enzim yaitu memperbaiki kecernaan,

menurunkan kekentalan (viskositas) digesta, memodifikasi morfologi dan histologi

saluran pencernaan dan memodifikasi komunitas mikroba saluran pencernaan (Khan

et al. 2006). Hidrolisis nutrient makro dimungkinkan dengan adanya beberapa enzim pencernaan seperti protease, karboksilase, dan lipase (Zonneveld et al. 1991). Robinson (2001) mengemukakan bahwa rendahnya serat kasar dalam pakan

menyebabkan tingginya daya cerna dan penyerapan zat-zat makanan didalam alat

pencernaan ikan. Selama pakan berada dalam usus ikan, nutrient dicerna oleh

berbagai enzim menjadi bentuk yang dapat diserap oleh dinding usus dan masuk

dalam sistim peredaran darah. Sebaliknya pakan yang mengandung serat kasar tinggi

akan menghasilkan feses yang lebih banyak sehingga serat kasar yang tidak tercerna

tersebut dapat membawa zat-zat makanan yang seharusnya dicerna. Kebutuhan serat

didalam pakan dalam jumlah maksimal berkisar 7%. Serat yang melebihi batas

maksimal akan menurunkan kandungan gizi dalam pakan.

Keberadaan serat kasar yang tinggi dalam pakan tidak diharapkan karena

(44)

ikan terhambat. Keterbatasan ikan dalam memanfaatkan serat berkaitan dengan

ketersediaan enzim sellulotik yang terbatas dalam saluran pencernaan ikan, bahkan

pada level tertentu dapat menghambat pertumbuhan ikan. Pakan dengan kandungan

serat kasar yang tinggi dapat menyebabkan absorbs zat makanan berkurang dan

koefisien cerna semua zat makanan menurun. Namun, tak dapat dihindari bahwa serat

kasar juga dibutuhkan dalam pakan walaupun dalam jumlah yang sangat sedikit.

Serat kasar dibutuhkan dalam pakan untuk membantu proses pencernaan makanan.

Menurut Piliang (2006), serat kasar mernbantu mempercepat ekskresi sisa-sisa

makanan rnelalui saluran pencernaan. Dalam keadaan tanpa serat, feses dan

kandungan air rendah akan lebih lama tinggal dalam saluran usus yang dapat

rnenyebabkan gangguan pada gerakan peristaltik pada usus besar sehingga eksresi

(45)
(46)

Afrianto E, dan Liviawati E. 2005. Pakan ikan: pembuatan, penyimpanan, pengujian, pengembangan. Penerbit Kanisius.

Agarwal N, Kamra DN, Chaunhary LC, Agarwal I, Sahoo A and Pathak NN. 2002. Microbial status and rumen enzyme profile of crossbred calves fed on different microbial feed additives. Letter in Applied Microbiology, 34:329-336.

Anggorodi R. 1990. Kemajuan mutakhir dalam ilmu makanan ternak unggas.Cetakan Pertama. Universitas Press. Jakarta.

Anonim. 2010. PT. Bireuen Coconut Oil. Bireuen. Nangroe Aceh Darusallam.

. 2011. Kebutuhan bahan baku lokal untuk pengembangan industri pakan nasional. Forum Inovasi Teknologi Akuakultur Kementrian Kelautan dan Perikanan. Bali.

. 2011. Statistik komoditi hasil perkebunan di Indonesia. Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.

Arora SP. 1989. Pencernaan mikroba pada ruminansia. Penerbit Gajah Mada Press, Yogyakarta.

Barlongan TG. 1990. Studies on Lipases of milkfish (Chanos chanos). Aquakulture,89:315-325.

Budiansyah A. 2010. Aplikasi cairan rumen sapi sebagai sumber enzim, asam amino, mineral dan vitamin pada ransum broiler berbasis pakan lokal. Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Bureau DP. 2000. Feather meals and meat bone meal from different origin as protein sources in rainbow trout (Onchorynchus mykis) diets. Aquaculture: 181.281-291.

Choet M. 2001. Feed Non-starch polyssacharides: chemical structure and nutritional significance. Feed milling International, June Issuem pp. 13-26.

(47)

Fitriliyani I. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi tepung daun lamtoro dengan penambahan ekstrak enzim cairan rumen domba untuk pakan ikan nila (Oreochromis sp). Disertasi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Furuichi M. 1988. Fish nutrition, p.1-78. In : Watanabe T (ed). Fish nutrition and

mariculture. Tokyo. Departemen of Aquatic Biosciences Tokyo University Of Fisheries.

Hardiyanto S. 2001. Kecernaan (in vitro) dan kelarutan ransum komplit domba berbahan baku jerami teramoniasi dan onggok yang mendapat perlakuan cairan rumen. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Hardjo S.S, Indrasti N.S, Tajuddin B. 1989. Biokonversi: pemanfaatan limbah industri pertanian. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB.

Harver, JE dan Hardy, RW, editor. 2002. Fish Nutrition. Third Edition. California USA:Academic Press.822 pp.

Hepher B. 1990. Nutrition and pond fishes. Cambridge University Press. Cambridge, New York.

Indariyanti N. 2011. Evaluasi kecernaan campuran bungkil inti sawit dan onggok yang difermentasi oleh Trichoderma harzianum Rifai untuk pakan ikan nila Oreochromis sp [Tesis]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Kamra DN. 2005. Special Section microbial diversity: Rumen microbial ecosystem.

Current Science, 89(10):124-135.

Khan SH, Sardar R, Siddique B. 2006. Influence of enzymes on performance of broilers fed sunflower-corn based diets. Pakistan Vet J26(3): 109-114.

Kung LJR, Treacher RJ, Nauman GA, Smagala AM, Endres KM and Cohen MA. 2000. The effect of treating forages with fibrolytic enzyms on its nutritive value lactation performance of dairy cows. J. Dairy Sci.83:115-122.

Kurniansyah A. 2012. Uji efektivitas penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan serat kasar dan nilai kecernaan kulit kakao sebagai pakan ikan nila.

(48)

Lovell T. ,1988. Nutrition and feeding of fish. Auburn Univercity. Published by : Van Nostrand Academy of Sciences Washington DC. 260 pp.

Lubis D. A. 1992. Ilmu makanan ternak. PT. Pembangunan, Jakarta.

Malathi V and Devegowda G. 2002. In Vitro evaluation of nonstarch polysaccharide digestibility of feed ingredients by enzymes. Department of Poultry Science, University of Agricultural Sciences, Hebbal, Bangalore-India.

Midlen A and Redding T. 1998. Environmental Management for Aquaculture. Chapman Hall, London.

Moharrery A and Das Tirta K, 2002. Corealtion between microbial enzyme activities in the rumen fluid of sheep under different treatments. Reprod.Nutr.Dev, 41:513-529.

Mokoginta I, Takeuchi T, I Suprayudi AM , Wiramihardja Y, dan Setiawati M. 1999. Pengaruh sumber karbohidrat yang berbeda terhadap kecernaan pakan, Efesiensi pakan dan pertumbuhan benih gurame (Osphronemus gouramy Lac. Jurnal Ilmu Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. IV (2): 13-19.

Ng.W.K and Chen, M.I. 2002. Replacement of soybean meal with palm kernel meal in practical diets for hybrids Asian-African Catfish. Aquaculture 12:67-76. Ng.W.K and Chen, M.I. 2004. Researching the use of Palm Kernel Cake in

Aquaculture feeds. Fish Nutrition Laboratory, Universitas Sains Malaysia,Penang.

Ng.W.K and Chong K. 2002. The Nutritive value of palm meal end the Effact of enzyme suplementation in practical diets for Red Hybrid Tilapia (Oreocromis sp.). Asian Fisheries Science 15 (2002):167-176. Asian Fisheries Society, Manila, Philipines.

National Research Council (NRC). 1993. Nutrient requirement of fish. National Academy of Science. Washington DC. 86pp.

(49)

Pamungkas WS. 2011. Uji Efektivitas penambahan enzim cairan rumen domba terhadap penurunan serat kasar dan nilai kecernaan bungkil kelapa sawit sebagai pakan benih ikan Patin Siam Pangasius pangasius. Thesis. Pascasarjana IPB. Bogor.

Parakkasi A. 1990. Ilmu Nutrisi dan makanan ternak monogastrik. UI Press. Jakarta Piliang WG. Sastradipraja D. 2006. Studi Analisa metabolisme kalsium dan

kolesterol serta kebutuhan kalsium pada ayam petelur yang mendapat ransum dengan serat kasar tinggi asal dedak padi (Laporan Penelitian DP3M Ditjen Dikti). IPB. Bogor.

Purnomohadi M. 2006. Peranan bakteri selulotik cairan rumen pada fermentasi jerami padi terhadap mutu pakan. Jurnal Protein, Vol 13, No 2.

Robinson EH. Menghe HLi, Bruce BM. 2001, A Practical guide to nutrition feeds and feeding of catfish. Bull. 1113. Missisippi Agricultural & Forestry Experiment Station. Missisipi State University.

Sandi S. 2010. Peningkatan kualitas nutrisi silase berbahan baku singkong varietas pahit dengan enzim cairan rumen dan bakteri Leuconostoc mesenteroides sebagai pakan ternak unggas. Tesis. Institut Pertanian Bogor.

Steel RGD and JH. Torrie, 1993. Principles and procedure of statistic. McGraw Hill. London.

Sundu BA. Kumar and JG. Dingle. 2003. Perbandingan dua produk enzim komersial pencerna beta manan pada ayam pedaging yang mengkonsumsi bungkil kelapa sawit dengan level yang berbeda. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Berkelanjutan.pp : 19-25

Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrition. p. 179 – 229. In Watanabe T. Fish Nutrition and Mariculture JICA Textbook the General Aquaculture Course. Tokyo: Kanagawa International Fisheries Training Center.

(50)

Wahju J. 1988. Ilmu nutrisi unggas. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.

Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Department of aquatic bioscience. Tokyo university of fisheries.JICA. 223 pp.

Watanabe T and Cho CY. 1988. Nutritional energetic. P. 79-94. In : Fish nutrition and mariculture. Kanagawa Fisheries Training Center. Japan International Cooperation Agency.

Wilson R.P. 1994. Utilization of dietary carobohidrate by fish. Aquaculture, 124: 67-80.

Wizna H. Abbas, Y, Rizal, I.P. Kompiang and A. Dharma. 2008. Potensi bakteri Bacillus amylseraquefaciens serasah hutan sebagai inokulum fermentasi pakan berserat tinggi. Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Peternakan. Vol VIII. No 3.p. 212-220.

Yamamoto T. Konishi K. Shima T. Furuita H. Suzuki N. and Tabata M. 2001. influence of dietery fat and carbohydrate levels on growth and body composition of ranbow trout Onchorhyncus mykiss under self feeding conditions. Fisheries Science. 67:221-227.

Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-prinsip budidaya ikan. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 318 p.

Gambar

Tabel 1.  Kebutuhan makro nutrisi ikan mas (Cyprinus carpio)
Gambar 22. Aktifitas
Tabel 6. Kandungan lemak, protein, serat kasar bungkil kelapa pada perlakuan
Tabel 6 menunjukan bahwa perlakuan dosis enzim cairan rumen domba dan

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan peneliti dapat dibuat kesimpulan bahwa ada perbedaan keterampilan membaca pemahaman antara penggunaan

&lt; α maka Ho ditolak dan menerima Ha, dengan Ha adanya pengaruh yang signifikan dari penerapan model pembelajaran VCT tipe analisis nilai dalam meningkatkan nilai

Media pembelajaran berbasis katalog merupakan media visual yang dapat dirancang sendiri oleh pendidik sesuai dengan kebutuhan materi dan karakteristik peserta didik, memiliki

Tujuan dari penulisan tugas akhir ini adalah membuat program aplikasi pembelajaran Bahasa dan Aksara Jawa yang interaktif untuk computer dengan menggunakan Adobe

dalam jabatan terakhir bagi administrator dan pengawas;.. c) 1 (satu) tahun sebelum batas usia pensiun bagi administrator yang akan menduduki jabatan fungsional madya;

Asosiasi terhadap sebuah merek adalah segala sesuatu yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan ingatan konsumen terhadap suatu merek (Aaker:

Orang-orang Ahlul kalam berasumsi: kalau Allah ّلجوّزع itu beristiwa‟ di atas „Arasy, tentu Allah itu memiliki tubuh, karena istiwa‟ adalah sifat bagi

a). Pemenuhan kebutuhan dasarKebutuhan penduduk perkotaan dan perdesaan terhadap akses pelayanan air limbah dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar bagi kesehatan