ABSTRAK
PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN PADA PEMBANTU RUMAH TANGGA (PRT) DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
Oleh
Novia Anggraini LT
Kekerasan tidak hanya terjadi pada istri atau anggota inti dari sebuah keluarga. Bahkan seseorang yang bekerja di rumah atau pembantu rumah tangga (PRT) diperlakukan sangat tidak pantas dan seringkali mengarah pada perbuatan yang dapat di kategorikan kekerasan. Skripsi ini membahas masalah mengenai kekerasan yang dilakukan terhadap pembantu rumah tangga. Penulisan skripsi ini berusaha untuk mengetahui mengenai penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya kekerasan yang berasal dari pelaku. Tindakan semena-mena terhadap para pembantu rumah tangga (PRT), yang khususnya terjadi di rumah-rumah yang merupakan wilayah atau area privat dan personal yang tidak dapat di jamah oleh orang lain bahkan wilayah atau area yang sangat tersembunyi dari penglihatan umum dan penyelesaiannya tidak semudah kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban kekerasan yaitu pembantu rumah tangga (PRT) cenderung membisu.
Novia Anggraini LT
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dengan ini dapat penulissimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga (PRT) di wilayah Indonesia, khususnya
Bandar Lampung dilaksanakan secara preventif yaitu pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan dengan cara mensosialisasikan peratutan pemerintah (PP) dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), misalnya dengan melakukan seminar-seminar nasional untuk mensosialisasikan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), membuat iklan di media cetak dan elektronik dan secara represif yaitu pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yaitu dengan menyelidiki dan memproses laporan yang masuk namun masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan kasus yang masuk ke Kepolisian tidak dapat ditindaklanjuti karena masih banyaknya faktor-faktor penghambat ada di masyarakat yaitu kurang peduli terhadap nasib kaum rendahan yaitu pembantu rumah tangga (PRT).
Penulis menyarankan agar aparat penegak hukum dan seluruh lapisan masyarakat agar bekerjasama melakukan sosialisasi terhadap peraturan dan undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga agar terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Serta pelaku tindak kekerasan dalam rumah tangga ini harus mendapatkan sanksi yang sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pelaku, agar kekerasan yang dilakukan oleh majikan terhadap pembantu rumah tangga ini dapat dimimalisir mengingat bahwa akibat yang ditimbulkan dengan adanya tindak pidana ini cukup berat, karena menimbulkan trauma fisik maupun psikis, sebagai upaya untuk melindungi kepentingan pembantu rumah tangga.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena kekerasan yang terjadi di lingkungan keluarga atau rumah tangga
belakangan ini telah menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi hampir seluruh
keluarga di Indonesia, hal ini yang mendasari berlakunya Undang-Undang No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang
dikenal dengan nama Undang-Undang Penghapusan KDRT yang disahkan pada
22 September 2004 lalu.1
Undang-Undang ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah
tangga, yang dimaksud disini ialah orang-orang dalam lingkup rumah tangga yaitu
suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam
rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah
tangga tersebut.2
Pada dasarnya kekerasan tidak serta merta hanya terjadi pada istri atau anggota
inti dari sebuah keluarga. Bahkan kita lupa bahwa seseorang yang bekerja di
1 http://www.hukumonline.com
2
rumah (PRT) juga merupakan anggota keluarga yang juga di lindungi oleh hukum
dan harus diperlakukan layaknya manusia. Terkadang perlakuan yang di terima
mereka sangatlah tidak pantas dan seringkali mengarah pada perbuatan yang dapat
di kategorikan kekerasan.
Jutaan perempuan dewasa dan anak-anak di Indonesia bahkan di dunia terpaksa
bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT) sebagai satu dari sedikit pilihan
yang tersedia bagi mereka agar dapat bertahan hidup dan menghidupi diri bahkan
keluarga mereka.3
Tindakan semena-mena terhadap para pembantu rumah tangga (PRT), yang
khususnya terjadi di rumah-rumah yang merupakan wilayah atau area privat dan
personal yang tidak dapat di jamah oleh orang lain bahkan wilayah atau area yang
sangat tersembunyi dari penglihatan umum dan penyelesaiannya tidak semudah
kasus-kasus kriminal dalam konteks publik. Suara perempuan atau korban
kekerasan yaitu pembantu rumah tangga (PRT) cenderung membisu.4
Pembantu memiliki peran sosial penting dalam konteks kehidupan di masyarakat
Indonesia, namun strata kelas yang rendah menjadikan profesi seorang pembantu
sebagai pekerjaan yang tidak memiliki daya realitasnya di Indonesia. Pembantu
tidak bisa disamakan dengan buruh yang merupakan kelas paling bawah dalam
3http://www.kasuspembantu.blogspot.com. Diakses pada tanggal 13 November 2012 4
sistem ekonomi dan sosial di Indonesia, karena dianggap kaum bawahan yang
memiliki srata rendah dan bisa dijadikan sebagai budak.
Berikut ini beberapa contoh kasus kekerasan pada pembantu rumah tangga (PRT)
yang terjadi di Indonesia :
1. Seorang anak berumur 9 tahun berasal dari Gunung Sitoli, Nias, Sumatra
Utara menjadi korban kekerasan yang terjadi di bekasi tanggal 18
November lalu. Korban yang hanya bisa berbahasa Nias dan sedikit
berbahasa Indonesia itu, kerap mengalami kekerasan fisik, psikis dari
majikannya dan diperlakukan tidak manusiawi. Misalnya, tidak mendapat
upah, makan satu kali sehari dan tidur di lantai. Selalu menerima
bentakan, cacian, cakaran kuku, serta pukulan dengan menggunakan
kayu. “Karena semakin tak tahan dengan kesakitan fisik dan psikis yang
dialami, tanggal 18 November 2011 meninggalkan rumah majikannya
dengan cara melompat dari pagar rumah majikan yang saat itu kebetulan
rumah dalam keadaan kosong. Korban saat ini berada dalam situasi
trauma, dan memasuki masa pemulihan psikologis dan konseling dan
tinggal di rumah aman (shelter) milik salah satu organisasi perempuan.
“Kondisi korban yang labil dengan fisik penuh luka menjadi
pertimbangan untuk mengutamakan pemulihan psikologis korban.”5
2. Korban lain, berumur 16 tahun berasal dari Kebumen, Jawa Tengah. Pada
bulan September 2011 korban melaporkan tindak penganiayaan kepada
dirinya yang dilakukan majikan. Lengan kanan korban ditempel seterika
5
panas yang sedang digunakan untuk menyetrika, sehingga lengan kanan
RR mengalami luka bakar (seperti sayatan-sayatan yang melepuh).
Korban juga mengalami tekanan psikis karena acapkali sang majikan
memaki menggunakan kata-kata kasar, serta gaji yang tidak dibayarkan.
Namun hingga saat ini pelaku masih bebas dan kasus baru pada tahap
keterangan saksi di Polres Jakarta Barat.6
3. Dua kakak beradik berusia belia Yyn (14) dan Nrml (13) yang bekerja
menjadi pembantu rumah tangga (PRT) mengaku mengalami penyiksaan
dan penganiayaan oleh majikannya sendiri MS (40). Keluarga kakak
beradik asal Serang, Banten ini lalu mengadukan kekerasan yang
dilakukan sang majikan ke Polrestro Jakarta Timur, Karena kerap
mengalami kekerasan dan penyiksaan.7
4. Kematian Mariyati seorang pembantu rumah tangga, yang hanya lantaran
ia dituduh mencuri roti oleh majikannya Ny Yeny Vera Simorangkir di
kompleks perumahan mewah Taman Giri Loka, Tangerang. Bukan hanya
dibunuh sang majikan dan anaknya, Mariyati juga dikubur di halaman
rumah mereka. Beruntung, sopir majikannya melaporkan peristiwa itu ke
polisi.8
5. Devi Puspita Sari bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah
Iswadi dan Ramayana yang beralamat di Perum Villa Poste A No 19 RT
001 Kelurahan Sukabumi Kodya Bandar Lampung, ia mendapat
6
http://www.kasuspembantu.blogspot.com/2010/20/11/contoh-contoh kasus PRT. Diakses pada tanggal 18 November 2012
7 http://www.altarhijau.blogspot.com/kasus PRT. Diakses pada tanggal 19 November 2012 8
perlakuan kasar bahkan di pukuli serta dianiaya sang majikan lantaran
melakukan suatu perbuatan yang tidak disukai sang majikan.
Daftar panjang perlakuan kejam dan sangat tidak manusiawi baik secara fisik,
psikologis, seksual, siksaan, makian, hujatan, upah yang tidak dibayarkan, dan
jam kerja yang sangat panjang tanpa hari libur, sering mendapat perlakuaan kasar
dari sang majikan di mana mereka bekerja, terkadang pemicu kekerasan yang
mereka dapat hanya lah bersumber dari kesalahan kecil atau ketidaksengajaan
yang mereka perbuat.
Masih banyak lagi contoh kasus yang belum muncul kepermukaan, jelas saja hal
ini juga bertentangan dengan apa yang ada dalam Pasal 28i ayat (1)
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana
berisi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun, di karenakan beberapa alasan, salah satunya adalah penanganan kasus
yang dinilai lamban dan membuat korban enggan memproses secara hukum.
Proses semacam ini hanya menyisakan kekerasan yang berlapis dan berulang.
Absennya perangkat hukum (undang-undang) perlindungan pembantu rumah
tangga (PRT) menjadikan kasus kekerasan terhadap pembantu rumah tangga
(PRT) menjadi terabaikan.
Dilihat dari fenomena kekerasan pada pembantu rumah tangga yang terjadi dalam
kasus-kasus kekerasan pada pembantu rumah tangga yang masih “menggantung”
dan belum menemui titik temu. Lemahnya penegakan hukum yang berakibat pada
nasib para pembantu rumah tangga yang terabaikan.9 Jika fenomena penegakan
hukum ini masih lemah, fenomena kekerasan akan terjadi berulang-ulang dalam
kehidupan masyarakat di Indonesia. Untuk itu harus ada penegakan hukum yang
jelas agar membuat jera pelaku tindak pidana khususnya kekerasan pada
pembantu rumah tangga.
Penegakan hukum di Indonesia, dikenal dengan istilah “hukum di Indonesia bisa
dibeli dengan uang”. Tetapi memang itulah ungkapan yang tepat dari gambaran
hukum di Indonesia.10 Pada kenyataannya, pelanggar hukum di negeri ini bukan
hanya masyarakat biasa, tetapi pihak-pihak berwajib yang seharusnya mentaati
dan menegakkan hukum malah ikut serta untuk tidak mematuhi penegakan hukum
itu sendiri.
Penyebab lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan karena krisis
moralitas tokoh-tokoh elit negeri ini yang masih mementingkan kepentingan
pribadi daripada memikirkan masa depan negeri ini. Jika para petinggi negeri ini
saja sudah berani melanggar hukum, begitupun dengan masyarakat biasa. Bukan
hal yang aneh jika sangat banyak pelanggar hukum di Indonesia yang bisa bebas
tanpa harus ditindaklanjuti kasusnya.11
Hal tersebut hanya sebagian kecil contoh dari fenomena lemahnya penegakkan
hukum di Indonesia, masih banyak lagi contoh yang lainnya. Kita sebagai warga
9
http://www.id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 22 November 2012
10http://kompasiana.com. Diakses pada tanggal 22 November 2012 11
Negara yang mengharapkan keadilan hukum bisa terwujud di negeri ini, sudah
seharusnya mentaati peraturan yang telah dibuat, dan menghindari ataupun
menolak semua hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum demi terciptanya
keadilan hukum di Indonesia.12
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan penjelasan dan latar belakang di atas,yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan pada pembantu rumah tangga ditinjau dari Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
(PKDRT) ?
2. Apakah faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap pelaku tindak
pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga ?
2. Ruang Lingkup
Adapun yang menjadi ruang lingkup yang digambarkan pada permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini adalah kajian bidang ilmu hukum pidana yaitu hukum
pidana formil dan hukum pidana materiil yang menitikberatkan pada penegakan
hukum terhadap tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga, dengan
12
lokasi penelitian di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang dan
Polresta Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam penegakan
hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasaan pada pembantu rumah
tangga ditinjau dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga
b. Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum
terhadap pelaku tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga.
2. Kegunaan Penelitian
a. Secara Teoritis
Keilmuan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka
pengembangan hukum pidana khususnya terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
pada pembantu rumah tangga serta dapat dijadikan acuan para penegak hukum
dalam rangka menangani tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga.
b. Secara Praktis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan wawasan pada
pihak-pihak terkait dalam rangka mencegah, memberantas dan menangani tindak pidana
mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum untuk lebih awas menyikapi
fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan tindak
pidana tersebut. Selain itu sebagai informasi dan tambahan kepustakaan bagi
praktisi maupun akademisi.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep yang merupakan abstraksi dari hasil penelitian
atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi
terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti atau penulis
Penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang
keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan. 13Proses
perwujudan itulah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum Penegakan
hukum bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun
dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga
pengertian “ Law Enforcement “ begitu populer. 14Bahkan ada kecenderungan
untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan
pengadilan. Pengertian sempit ini jelas mengandung kelemahan, sebab
pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan pengadilan, bisa terjadi malah
justru mengganggu kedamaian dalam pergaulan hidup.
Pada uraian diatas menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum
itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
13
Soerjono Soekanto, 1985: 125
14
dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai
pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum
yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi
tugas dan kewenangan oleh Undang-undang untuk menjamin berfungsinya
norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.
Hukum, bukan hanya membicarakan bagaimana hukumnya saja, melainkan apa
yang dilakukan oleh aparatur penegakan hukum dalam menghadapi
masalah-masalah dalam penegakan hukumnya, masalah-masalah-masalah-masalah tersebut adalah :15
a. Masalah Preventif (Pencegahan)
Dapat diartikan bahwa banyak badan yang terlibat di dalamnya ialah pembentuk
Undang-Undang, polisi, kejaksaan, pengadilan, pamong praja, dan aparatur
eksekusi pidana serta orang biasa yang masing-masing mempunyai peran untuk
menjaga orang-orang tidak melakukan tindak pidana. Upaya preventif ini lebih
cenderung dengan upaya pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Adanya
Undang-undang yang mengatur tentang tindak pidana kekerasan pada pembantu
rumah tangga adalah salah satu bentuk dari upaya preventif dari pemerintah untuk
mencegah terjadinya tindak pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga
sehingga para aparat yang berwenang dapat menerapkan dan mencegah tindak
pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga tersebut. Pemerintah dan aparat
terkait dalam melakukan tindakan preventif untuk mencegah tindak pidana
kekerasan pada pembantu rumah tangga yaitu dengan cara mengadakan sosialisasi
15
serta pengetahuan tentang peraturan Undang-undang Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga kepada masyarakat, karena penegakan hukum pidana secara
preventif bukan hanya dilakukan oleh aparat penegak hukum saja tetapi juga
masyarakat pada umumnya.
b. Masalah Tindak Represif
Tindakan Represif adalah segala tindakan yang dilakukan aparatur penegak
hukum sesudah terjadi kejahatan atau tindak pidana, salah satu upaya penegak
hukum atau segala tindakan yang dilakukan penegak hukum yang lebih
menitikberatkan kepada pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang
dilakukan dengan hukum pidana yaitu dengan penerapan sanksi yang merupakan
ancaman bagi pelakunya. Hal ini lebih mengarah pada pelaporan korban secara
langsung kasusnya. Dimana akan dilakukan penyidikan selanjutnya penuntutan
dan seterusnya. Ini merupakan bagian dari politik kriminal. Akhirnya
dibutuhkannya kerja sama semua pihak, baikpemerintah, para aparat penegak
hukum, serata seluruh elemen masyarakat. Sehingga terciptanya suatu kondisi
aman dan nyaman.
c. Tindakan Kuratif
Tindakan Kuratif pada hakikatnya juga usaha preventif dalam usaha
menanggulangi kejahatan ini lebih dititikberatkan kepada tindakan terhadap orang
yang melakukan kejahatan.
Pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin
dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:16
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-
undang saja, mengenai berlakunya Undang-undang tersebut
mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
Undang-undang tidak berlaku surut, Undang-undang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup;
4. Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan, penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.
16
5. Faktor kebudayaan, , yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup, kebudayaan
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
yang berlaku.
2. Konseptual
Kerangka Konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan
dengan istilah-istilah yang akan diteliti dan diketahui 17
Adapun pengertian-pengertian mendasar dan istilah-istilah yang digunakan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
a. Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-
nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang
mantap dan mengejawantahkan, dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran
nilai tahap akhir untuk menciptakan (Social Egineering), memelihara dan
mempertahankan (Social Control) kedamaian pergaulan hidup.18
b. Pelaku adalah orang yang melakukan suatu tindak pidana (strafbaat feit) adalah
perbuatan yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan
diancam pidana.19
c. Kekerasan adalah perilaku dengan sengaja maupun tidak sengaja (verbal
maupun nonverbal) yang ditujukan untuk mencederai atau merusak orang lain,
18
http://kamusbahasaindonesia.org/. Diakses pada tanggal 23 November 2012
19
baik berupa serangan fisik, mental, sosial, maupun ekonomi yang melanggar
hak asasi manusia, bertentangan dengan nilai-nilai dan norma-norma
masyarakat sehingga berdampak trauma psikologis bagi korban.20
d. Pembantu rumah tangga (PRT) adalah seseorang (perempuan) yang bekerja
sebagai pembantu atau pelayan di dalam suatu rumah tangga orang.21
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, permasalahan, ruang lingkup, tujuan dan kegunaan
penelitian, kerangka teoritis dan konseptual dan sistematika penulisan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi pengertian-pengertian umum tentang pokok bahasan antara lain
Penegakan Hukum Pidana dan Kekerasan pada pembantu rumah tangga.
III. METODE PENELITIAN
Bab ini berisi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi,
dan sampel, pengumpulan data dan pengolahan data, dan analisis data.
20
http://www.id.shvoong.com. Diakses pada tanggal 24 November 2012
21
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi pokok bahasan mengenai hasil dari penelitian, pengamatan dari
berbagai kasus-kasus kekerasan pada pembantu rumah tangga yang terjadi
belakangan ini, serta memuat gambaran umum dan penegakan hukum dalam
menanggulangi kekerasan pada pembantu rumah tangga tersebut.
V. PENUTUP
Bab ini merupakan penutup dari penulisan skripsi ini, yang berisikan kesimpulan
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Penegakan Hukum Pidana
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai
yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan
mengejawantahkan, dan sikap tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir untuk menciptakan (Social Egineering), memelihara dan mempertahankan
(Social Control) kedamaian pergaulan hidup.
Pengertian Pidana adalah penderitaan atau nestapa yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
itu. 1Berdasarkan pengertian hukum pidana yang diuraikan di atas, maka menurut
penulis Pengertian hukum pidana dapat dirumuskan sebagai keseluruhan
ketentuan peraturan yang mengatur tentang:
1. Perbuatan yang dilarang;
2. Orang yang melanggar larangan tersebut;
3. Pidana.
1
Pelaksanaan penegakan hukum memiliki tujuan untuk kepastian hukum, kegunaan
dan kemampuan hukum itu sendiri serta keadilan bagi masyarakat. Kepastian
hukum merupakan perlindungan yuristiabel terhadap tindakan yang
sewenang-wenang. Yang berarti seseorang akan memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu, yang dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
tertib.
Hakikat penegakan hukum yang sesungguhnya menurut Soerjono Soekanto
bahwa penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan
sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa menjadi kewajiban
kolektif semua komponen bangsa, dan hukum hanya boleh ditegakkan oleh
golongan-golongan tertentu saja antara lain :2
a. Aparatur Negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti
polisi, hakim dan jaksa yang dalam dunia hukum disebut secara ideal
sebagai “The Three Musketeers” atau tiga pendekar hukum, yang
mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda akan tetapi
bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib dan bermanfaat bagi
semua manusia.
2
b. Polisi menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum di dalam masyarakat,
hakim sebagai pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi
penuntutan Negara bagi para pelanggar hukum yang diajukan polisi.
c. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat baik
bekerja secara individual ataupun bergabung secara kolektif melalui
lembaga-lembaga bantuan hukum, yang menjadi penuntutan masyarakat yang awam
hukum, agar dalam proses peradilan tetap diperlukan sebagai manusia yang
memiliki kehormatan manusia atas manusia.
d. Para Eksekutif yang bertebaran diberbagai lahan pengabdian sejak dari
pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas kewajiban
sampai kepada penyelenggara yang memiliki kekuasaan politik.
e. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi menjadi
masyarakat pencari keadilan.
Menurut M. Friedmann dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu,
terdapat 3 (tiga) elemen penting yang mempengaruhi, yaitu :
a. Institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
b. Budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya;
c. Perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
materinya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara
sistematik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga
proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat
diwujudkan secara nyata.
Menurut Joseph Golstein Penegakan hukum dapat dibagi ke dalam 3 (tiga)
kerangka konsep, yaitu :
1. Konsep penegakan hukum yang bersifat total (Total Enforcement Concept)
yang menuntut agar semua nilai yang ada di belakang norma hukum tersebut
ditegakkan tanpa kecuali. Penegakan secara total ini tidak mungkin
dilakukan, sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara
pidana maupun peraturan yang lainnya ;
2. Konsep penegakan hukum yang bersifat penuh (Full Enforcement Concept)
yang menyadari bahwa konsep total perlu dibatasi dengan hukum acara dan
sebagainya demi kepentingan perlindungan individu;3
3. Konsep penegakan hukum yang bersifat aktual (Actual Enforcement Concept)
muncul setelah diyakini adanya deskripsi dalam penegakan huku, karena
kepastian baik yang terkait dengan sarana-prasarana, kualitas SDM, kualitas
perundang-undangannya dan kurangnya partisipasi masyarakat.
3
Menurut Muladi tahap-tahap dalam penegakan hukum secara umum harus melalui
beberapa tahap :
a. Tahap Formulasi, yaitu tahap perumusan atau penetapan pidana oleh pembuat
undang-undang (Kebijakan Legislatif) ;
b. Tahap Aplikasi, yaitu tahap pemberian pidana oleh penegak hukum (Kebijakan
Yudikatif) ;
c. Tahap Eksekusi, yaitu tahap pelaksanaan pidana oleh instansi yang berwenang
(Kebijakan Eksekutif).
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Secara konseptual, inti bab arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan, dan sikap
tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan ,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filosofi tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga
B. Tindak Kekerasan dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Satu-satunya peraturan yang bisa mengakomodir tindak kekerasan pada pembantu
rumah tangga yaitu Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga. Namun Undang-undangU tersebut hanya dapat
diterapkan sebatas pada kasus-kasus kekerasan yang dialami oleh PRT saja, tidak
mencakup aspek-aspek ketenagakerjaan PRT, yang sangat sering dialami oleh
PRT dan dalam beberapa kasus merupakan cikal bakal terjadinya kekerasan
terhadap PRT.4
1. Berikut ini jenis-jenis tindak kekerasan dalam rumah tangga secara mendasar,
meliputi :
a. Kekerasan fisik, yaitu setiap perbuatan yang menyebabkan kematian,
b. Kekerasan psikologis, yaitu setiap perbuatan dan ucapan yang mengakibatkan ketakutan, kehilanagan rasa percaya diri,hilangnya kemampuan untuk
bertindak dan rasa tidak berdaya pada perempuan,
c. Kekerasan seksual, yaitu setiap perbuatan yang mencakup pelecehan seksual sampai kepada memaksa seseorang untuk melakukan hubungan seksual tanpa
persetujuan korban atau disaat korban tidak menghendaki, dan atau
melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak
disukai korban; dan atau menjauhkannya (mengisolasi) dari kebutuhan
seksualnya,
d. Kekerasan ekonomi, yaitu setiap perbuatan yang membatasi orang (perempuan) untuk bekerja di dalam atau di luar rumah yang menghasilkan
uang dan atau barang; atau membiarkan korban bekerja untuk di eksploitasi;
atau menelantarkan anggota keluarga.
4
Menurut Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga, pada
pasal 1, Bab 1 menyatakan :5
1. Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
2. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak
pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga.
3. Korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan
dalam lingkup rumah tangga.
4. Perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa
aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga
sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara
maupun berdasarkan penetapan pengadilan.
5. Perlindungan Sementara adalah perlindungan yang langsung diberikan oleh
kepolisian dan/atau lembaga sosial atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
6. Perintah Perlindungan adalah penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan
untuk memberikan perlindungan kepada korban.
5
7. Menteri adalah menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
pemberdayaan perempuan.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
mentukan :
1. Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. Suami, isteri, dan anak;
b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang
sebagaimana dimaksud pada huruf a karena hubungan darah, perkawinan,
persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah
tangga; dan/atau
c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
2. Orang yang bekerja sebagaimana dimaksud huruf c dipandang sebagai anggota
keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang
bersangkutan.6
Menurut Pasal 3 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
menentukan :
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan asas:
a. penghormatan hak asasi manusia;
b. keadilan dan kesetaraan gender;
c. nondiskriminasi; dan
6
d. perlindungan korban7.
C. Subjek dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 menerangkan bahwa, yang termasuk
dalam lingkup keluarga adalah sebagai berikut :
1. Suami adalah pria yg menjadi pasangan hidup resmi seorang wanita (istri);
2. Istri adalah wanita (perempuan) yg telah menikah atau yg bersuami atauwanita
yang dinikahi;
3. Anak adalah seorang keturunan kedua yang dilahirkan dan berada didalam
suatu rumah atau disebut juga seseorang yang masih kecil;8
4. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena;
a. hubungan darah adalah seseorang yang masih mempunyai
hubungan keluarga dalam suatu rumah;
b. perkawinan adalah suatu ikatan yang mengikat dua insan laki-laki
dan perempuan dalam suatu janji suci dihadapan Tuhan.
c. persusuan adalah suatu ikatan persaudaraan yang timbul akibat dari
hubungan persusuan atau satu susu.
d. pengasuhan adalah suatu ikatan persaudaraan yang timbul akibat
suatu peristiwa mengangkat, mengasuh, mengadopsi seorang anak.
7 Lihat pada Bab III, Pasal 3 UU PKDRT 8
e. perwalian adalah segala sesuatu yg berhubungan dengan wali, serta
pemeliharaan dan pengawasan anak yatim dan hartanya,
pembimbing (negara, daerah, dsb) yang belum bisa berdiri sendiri;
f. menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu
dan menetap dalam rumah tangga tersebut (PRT) adalah seseorang
(perempuan) yang bekerja sebagai pembantu atau pelayan di dalam
suatu rumah tangga orang.9
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan
diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Secara konseptual, inti bab arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan-hubungan, nilai-nilai yang terjabarkan dalam
kaidah-kaidah atau pandangan menilai yang mantap dan mengejawantahkan, dan sikap
tidak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan ,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang
mempunyai dasar filosofi tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut sehingga
tampak konkrit.
Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat dikatakan bahwa gangguan terhadap
penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara nilai-nilai
yang berpasangan, tersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang
mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
9
Faktor-Faktor yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut adalah sebagai
berikut :10
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-
undang saja, mengenai berlakunya Undang-undang tersebut
mempunyai dampak yang positif. Asas-asas tersebut antara lain
Undang-undang tidak berlaku surut, Undang-undang dibuat oleh
penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
pula.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum, penegak hukum merupakan golongan
panutan dalam masyarakat, yang hendaknya mempunyai
kemampuan-kemampuan tertentu sesuai dengan aspirasi masyarakat.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berjalan dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut
antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan
terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan
yang cukup.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku
atau diterapkan, penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat.
10
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup, kebudayaan
hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan masalah melalui tahap-tahap
yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian. Pendekatan masalah
yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan masalah yuridis normatif dan
pendekatan masalah yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah
pendekatan masalah dengan melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal
yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi,
peraturan perundang-undangan, pandangan, doktrin hukum dan sistem hukum
yang berkaitan. Jenis pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan
berupa naskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Sedangkan
pendekatan yuridis empiris atau penelitian lapangan adalah pendekatan masalah
yang dilakukan dengan mempelajari hukum dalam kenyataan baik berupa
penilaian, perilaku, pendapat, sikap yang berkaitan dengan penegakan hukum
B. Sumber dan Jenis Data
1. Sumber Data
Sumber data adalah tempat dimana data tersebut diperoleh. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer
adalah data yang didapat langsung dari lapangan pada saat penelitian yang
dilakukan di Polresta Bandar Lampung. Sedangkan data sekunder adalah data
yang diperoleh dari studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum.
2. Jenis Data
Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder :
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengumpulkan data yang
terdapat dalam buku-buku, makalah-makalah, media cetak maupun elektronik dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada.
Kemudian data tersebut dipelajari dan dianalisis yang kemudian disebut sebagai
bahan hukum.1
Bahan hukum tersebut dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
1
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga;
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM);
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan
memahami bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan-peraturan, RUU,
dan putusan Hakim yang berhubungan dengan masalah-masalah yang akan
dibahas.
3. Bahan Hukum Tesier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yang terdiri dari
literatur-literatur dibidang ilmu hukum dan tulisan ilmiah yang berhubungan
dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana kekerasan pada
pembantu rumah tangga. Pendapat-pendapat para sarjana, berita serta
berbagai ketarangan dari media masa, internet dan Kamus Besar Bahasa
C. Penentuan Populasi dan Sampel
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau
seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.2
Sampel adalah sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Dalam
penentuan sampel dari populasi yang akan diteliti menggunakan metode
pengambilan sampel Porposive Sampling, yaitu penarikan sampel yang dilakukan
dengan cara mengambil subjek yang didasarkan pada tujuan tertentu.3
Berdasarkan metode pengambilan sampel maka sampel yang dijadikan Responden
adalah sebagai berikut :
Adapun yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Anggota Kepolisian Polresta Bandar Lampung : 1 Orang
2. Jaksa Kejaksaan Tinggi Negeri Bandar Lampung : 1 Orang
3. Pengacara Kantor Hukum Sopian Sitepu SH,MH,MKn : 1 Orang
4. Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum : 1 Orang
+
Jumlah : 4 Orang
2
(Ronny Hanitjo Soemitro, 1998: 14).
3
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, penulis
menggunakan studi lapangan dan studi kepustakaan yang bertujuan untuk
memperoleh data primer dan data sekunder.
a. Pengumpulan Data Primer
Dalam hal ini, penulis melakukan studi di lapangan pada masyarakat atau
orang-orang yang terkait untuk tujuan penelitian dan penulisan skripsi ini. Adapun cara
pengumpulan datanya sebagai berikut :
1. Observasi (Pengamatan)
Suatu Penelitian yang dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap
objek penelitian.
2. Dokumentasi
Mencatat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berhubungan serta berkaitan
dengan objek penelitian.
3. Interview
Interview dilakukan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan objek
penelitian atau pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini.
Dalam hal ini penulis melakukan serangkaian kegiatan studi yang berkenaan
untuk memperoleh data dengan membaca, mencatat, mengutip buku, serta
berbagai referensi baik dari media masa maupun media elektronik dan menelaah
peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi lainnya yang
berhubungan dengan permasalahan serta topik pembahasan yang ada dalam
skripsi ini.
2. Pengolahan Data
Pengolahan data yang diperoleh baik dari studi lapangaan maupun studi
kepustakaan menggunakan metode sebagai berikut:
a. Seleksi data yaitu data yang diperoleh harus diperiksa dan diteliti mengenai
kelengkapannya, kejelasannya, kebenarannya, sehingga terhindar dari
kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan.
b. Klasifikasi data yaitu menempatkan data menurut kelompok-kelompok yang
telah ditetapkan sesuai dengan pokok bahasan.
c. Sistematisasi data yaitu dengan menyusun dan menempatkan data pada setiap
E. Analisis Data
Data yang diperoleh baik melalui studi lapangan maupun studi kepustakaan
kemudian akan dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif, yaitu dengan
menggambarkan suatu data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan,
penglihatan, penafsiran dengan menguraikan secara sistematis untuk memperoleh
kejelasan dan kemudahan dalam pembahasan.
Selanjutnya, dari hasil analisis data tersebut dapat ditarik kesimpulan dengan
menggunakan metode penarikan kesimpulan dengan menggunakan metode
induktif, yaitu suatu metode penarikan data yang berdasarkan pada fakta-fakta
yang bersifat khusus, lalu kemudian dapat ditarik kesimpulan yang bersifat umum
guna menjawab permasalahan yang akan timbul berdasarkan pengamatan,
33
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan penulis dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana kekerasan pada
pembantu rumah tangga (PRT) dilihat dari upaya preventif yang dapat
dilakukan yaitu dengan mengadakan sosiaisasi dan penyuluhan terhadap
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga, sasaran ditujukan pada ibu-ibu rumah tangga. Agar
masyarakat luas khususnya kaum pembantu rumah tangga paham akan
hukum yang melindungi dirinya sendiri, kemudian dilihat dari upaya represif
yaitu dengan menerima laporan yang masuk lalu menyelidiki kasus tersebut
untuk dinaikkan ke pengadilan. Sehingga Kepolisian, Kejaksaan, dan
Kehakiman dapat menjalankan tugas dengan sebaik mungkin. Tetapi hal ini
belum dapat dikatakan berhasil karena para penegak hukum dalam
melaksanakan tugasnya bersifat pasif, pihak Kepolisian hanya menunggu
laporan dari masyarakat yang dirugikan secara langsung. Penerapan
undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga pun tidak mampu
34
pembantu rumah tangga melibatkan orang-orang yang mempunyai kekuasaan
dan kekayaan.
2. Faktor penghambat dalam upaya penegakan hukum pidana terhadap tindak
pidana kekerasan pada pembantu rumah tangga yang paling dominan
mempengaruhi yaitu faktor undang-undang itu sendiri yang belum dapat
mengcover penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana
kekerasan pada pembantu rumah tangga, serta faktor masyarakat kita yang
tidak mau perduli dan menganggap pembantu rumah tangga adalah kaum
rendah yang bisa diperlakukan dengan semena-mena. Serta kurangnya
kesadaran masyarakat dalam menyikapi fenomena kekerasan yang terjadi di
sekitar lingkungannya.
B. Saran
Selain kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan memberikan
beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut :
1. Perlu dilakukannya sosialisasi hukum dan perundang-undangan, dalam hal ini
Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT)
secara intensif kepada masyarakat luas sebagai konsekuensi asas hukum yang
mengatakan bahwa “ setiap masyarakat dianggap tahu hukum ”, sekalipun
produk hukum tersebut baru saja disahkan dan diundangkan serta diumumkan
dalam Berita Negara, agar peraturan perundang-undangan dapat benar-benar
dipatuhi oleh semua komponen masyarakat yang ada di Negeri ini demi
35
2. Membangun tekad (komitmen) bersama dari para penegak hukum yang
konsisten. Untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana kekerasan pada
pembantu rumah tangga. Komitmen ini diharapkan dapat lahir terutama yang
dimulai dan diprakarsai oleh “Catur Wangsa” atau 4 unsur Penegak Hukum,
yaitu: Hakim, Advokat, Jaksa dan Polisi, kemudian komitmen tersebut dapat
dicontoh dan diikuti pula oleh seluruh lapisan masyarakat, sehingga