LARINGITIS
Oleh
dr. FERRYAN SOFYAN., M.Kes., Sp-THT-KL
NIP : 198109142009121002
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN
TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
DAFTAR ISI
Halaman
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI 2
2.1 Anatomi Laring 2
2.1.1 Struktur Penyangga 2
2.1.2 Otot-otot Laring 4
2.1.3 Persarafan, Perdarahan, dan Drainase Limfatik 5
2.1.4 Struktur Laring Dalam 6
2.1.5 Struktur Disekitarnya 7
2.2 Fisiologi Laring 8
BAB III LARINGISTIS AKUT 11
3.1 Laringistis Akut Non Spesifik 11
3.1.1 Epiglotitis Akut 12
3.1.2 Laringo-Trakeo-Bronkhitis Akut 14
3.1.3 Laringistis Subglotis 15
3.1.4 Trakeitis Bakterialis 16
3.2 Laringitis Akut Spesifik 17
3.2.1 Laringitis Difteri 17
3.2.2 Herpes Laring 18
3.3. Perikondritis laring 19
BAB IV LARINGITIS KRONIS 21
4.1. Laringitis Kronis Non Spesifik 21
4.1.1 Laringitis Sika ( Laringitis Atrofi ) 23
4.1.2 Granuloma Kontak 24
4.1.3 Amiloidosis Laring 24
4.2 Laringtis kronis spesifik/Granulomatosa 25
4.2.2 Sarkodiosis Laring 26
4.2.3 Laringtis Sifilis 27
4.2.4 Skleroma Laring 28
4.2.5. Wagener Granulomatosis 29
4.2.6. Lepra Laring 29
4.3. Mikosis Laring 30
4.3.1 Kandidiasis / Moniliasis 30
4.3.2 Koksidioidomikosis 31
4.3.3 Parakoksidioidomikosis 31
4.3.4 Histoplasmois 31
4.3.5 Aktinomikosis 32
BAB V KESIMPULAN 33
BAB I
PENDAHULUAN
Infeksi pada saluran napas atas termasuk infeksi laring akut dan kronis
dapat berlanjut menjadi suatu obstruksi jalan nafas. Infeksi laring ini dapat
diderita oleh semua tingkatan usia. berdasarkan kondisi anatominya, infeksi laring
pada anak lebih menimbulkan masalah dibandingkan orang dewasa.1
Penyebab tersering untuk obstruksi jalan napas karna infeksi pada
laringo-trakeo-bronhitchis akut. Kondisi ini timbul paling banyak pada anak anak.
Obstruksi disebabkan oleh edema mukosa laring, trakea, dan bronkus dan juga
oleh sekret yang kental. Serak, batuk kering, stridor, dispne, kelelahan dan demam
dapat timbul bila penyakit bertambah berat. Peningkatan frekuensi pernapasan dan
retraksi suprasternal selama inspirasi merupakan tanda yang harus diwaspadai
oleh dokter untuk melakukan trakeostomi.1
Tindakan trakeostomi selain itu untuk menyelamatkan nyawa pasien juga
untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Dengan tindakan trakeotosmi
diharapkan oksigeniasi ke jaringan lebih baik. Sehingga pasien menjadi lebih
tenang dan dapat melanjutkan pengobatan selanjutnya. Diharapkan para dokter
khususnya dibidang THT dapat melakukan trakeostomi dengan terampil dan aman
untuk menyelamatkan jiwa pasien dan dapat menghindari berbagai komplikasi
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI
2.1 Anatomi Laring.1
2.1.1 Struktur Penyangga
Struktur kerangka laring terdiri dari satu tulang dan beberapa kartilago
yang berpasangan ataupun tidak. Disebelah superior terdapat os hyoid, strruktur
yang berbentuk U dapat dipalpasi dileher depan dan lewat mulut pada dinding
faring lateral. Meluas dari masing-masing sisi bagian tengah os atau korpus hyoid
adalah suatu prosesus panjang dan pendek yang mengarah ke posterior dan suatu
prosesus pendek yang mengarah ke superior. Tendon dan otot-otot lidah,
mandibula dan kranium, melekat pada permukaan superior corpus dan kedua
prosesus. Saat menelan, kontraksi otot-otot ini mengangkat laring. Namun bila
laring dalam keadaan stabil, maka otot-otot tersebut akan membuka mulut dan
ikut berperan dalam gerakan lidah. Di bawah os hyoid dan menggantung pada
ligamentum tirohyoid adalah dua alae atau sayap kartilago tiroid (perisai). Kedua
alae menyatu di garis tengah pada sudut yang lebih dulu dibentuk pada pria, lalu
membentuk jakun (Adam’s apple). Pada tepi posterior masing-masing alae,
terdapat kornu superior dan inferior. Artikulasio kornu inferior dengan kartilago
krikoid, memungkinkan sedikit pergeseran atau gerakan kartilago tiroid dan
krikoid.
Kartilago krikoid yang juga mudah teraba di bawah kulit, melekat pada
kartilago tiroid lewat ligamentum krikotiroid. Tidak seperti penyokong lainnya
dari jalan pernafasan, kartilago krikoid berbentuk lingkaran penuh dan tak mampu
mengembang.
Permukaan posterior atau lamina krikoid cukup lebar, sehingga kartilago
ini tampak seperti signet ring. Intubasi endoktrakea yang lama seringkali merusak
lapisan mukosa cincin dan dapat menyebabkan stenosis subglotis didapat.
Disebelah inferior, kartilago trakealis pertama melekat pada krikoid lewat
Pada permukaan superior lamina terletak pasangan kartilago aritenoid,
masing-masing berbentuk seperti pyramid bersisi tiga. Basis piramidalis berartikulasi
dengan krikoid pada artikulasio krikoaritenoid, sehingga dapat terjadi gerakan
meluncur dari medial ke lateral dan rotasi. Tiap kartilago aritenoid mempunyai
dua prosesus, prosesus vokalis anterior dan prosesus muskularis lateralis.
Ligamentum vokalis meluas ke anterior dari masing-masing prosesus vokalis dan
berinsesi ke dalam kartilago tiroid di garis tengah. Prosesus vokalis membentuk
2/5 bagian belakang dari korda vokalis, sementara ligamentum vokalis
membentuk bagian membranosa atau bagian pita suara yang dapat bergetar. Ujung
bebas dan permukaan superior korda vokalis suara membentuk glottis. Bagian
laring diatasnya disebut supraglotis dan dibawahnya subglotis. Terdapat dua
pasang kartilago kecil dalam laring yang tidak memiliki fungsi. Kartilago
kornikulata terletak dalam jaringan diatas menutupi aritenoid. Disebelah lateral
yaitu di dalam plika ariepligotika terletak kartilago kuneiformis.
Kartilago epiglotika merupakan struktur garis tengah tunggal yang
berbentuk seperti bat pingpong. Pegangan atau petiolus melekat melalui suatu
ligamentum pendek pada kartilago tiroid tepat diatas korda vokalis, sementara
pada bagian raket meluas ke atas di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring,
memisahkan pangkal lidah dari faring. Epiglottis dewasa pada umumnya sedikit
cekung pada bagian posterior. Namun pada anak dan sebagian orang dewasa,
epiglotis jelas melengkung dan disebut epiglotis omega atau juvenillis. Fungsi
epiglotis sebagai lunas yang mendorong makanan yang ditelan ke samping jalan
nafas laring.
Selain itu laring juga disokong oleh jaringan elastik. Di sebelah superior,
pada kedua sisi laring terdapat membrane quadrangularis yang meluas ke
belakang dari tepi lateral epiglotis hingga tepi lateral kartilago aritenoid. Dengan
demikian membrana ini membagi dinding antara laring dan sinus piriformis, dan
batas superiornya disebut plika ariepiglotika. Pasangan jaringan elastik penting
lainnya adalah konus elastikus (membrane krikovokalis). Jaringan ini jauh lebih
kuat daripada membrane quadrangularis, dan meluas ke atas medial dari arkus
masing-msing sisi. Jadi konus elastikus terletak di bawah mukosa di bawah permukaan
korda vokalis sejati.
2.1.2 Otot-otot Laring 1
Otot-otot lainnya dapat dibagi dalam dua kelompok. Otot ekstrinsik yang
terutama bekerja pada laring secara keseluruhan, sementara otot intrinsik
menyebabkan gerakan antara berbagai struktur-struktur laring sendiri. Otot
ekstrinsik dapat digolongkan menurut fungsinya. Otot depresor atau otot-otot
leher (omohyoid, sternotiroid, sternohyoid) berasal dari bagian inferior. Otot
elevator (milohyoid, geniohyoid, hyoglosus, digastrikus dan stylohyoid) meluas
dari os hyoid ke mandibula, lidah dan prosesus stiloid pada kranium. Otot
tirohyoid walaupun digolongkan sebagai otot-otot leher, terutama berfungsi
sebagai elevator. Melekat pada os hyoid dan ujung posterior alae kartilago tiroid
adalah otot konstriktor medius dan inferior yang melingkari faring di sebelah
posterior dan berfungsi pada saat menelan. Serat-serat paling bawah dari otot
konstriktor inferior berasal dari krikoid, membentuk krikofaringeus yang kuat,
yang berfungsi sebagai sfingter esophagus superior.
Anatomi otot-otot intrinsik laring paling baik dimengerti dengan
mengaitkan fungsinya. Serat-serat otot interaritenoid (aritenoid) transversus dan
oblikus meluas diantara kedua kartilago aritenoid. Bila berkontraksi kartilago
aritenoid akan bergeser ke arah garis tengah, mengaduksi korda vokalis. Otot
krikoaritenoid posterior meluas dari permukaan posterior lamina krikoid untuk
berinsensi ke dalam prosesus muskularis aritenoid, otot ini menyebabkan rotasi
aritenoid kearah luar dan mengabduksi korda vokalis. Antagonis utama otot ini ,
yaitu otot krikoaretinoid lateral berorigo pada arkus krikoid lateralis, insersinya
juga pada prosesus muskularis dan menyebabkan rotasi aritenoid ke medial,
menimbulkan aduksi. Yang membentuk tonjolan pada korda vokalis adalah otot
vokalis dan tiroaritenoid yang hampir tidak dapat dipisahkan, kedua otot ini ikut
berperan dalam membentuk tegangan pada otot korda vokalis. Pada individu usia
lanjut, tonus otot vokalis dan tiroaritenoid agak berkurang, korda vokalis agak
lainnya adalah pasangan otot krikotiroid, yaitu otot yang membentuk kipas berasal
dari arkus krikoid di sebelah anterior dan berinsensi pada permukaan lateral alae
tiroid yang meluas. Kontraksi otot ini menarik kartigo tiroid kedepan, meregang
dan menegangkan korda vokalis. Kontraksi ini secara pasif juga memutar
aritenoid ke medial, sehingga otot krikotiroid juga dianggap sebagai otot aduktor.
Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat 1 otot abduktor, 3 aduktor dan 3
otot tensor.
Abduktor Aduktor Tensor
Krikoaritenoid posterior Interaritenoid
Krikoaritenoid lateralis Krikotiroid
Krikotiroid (eksterna) Vokalis (Interna) Tiroaritenoid (interna)
2.1.3 Persarafan, Perdarahan, dan Drainase Limfatik 1
Dua pasangan saraf mengurus laring dengan persarafan sensorik dan
motorik. Dua saraf laringeus superior dan dua inferior atau laringeus rekuen, saraf
laringeus merupakan cabang-cabang saraf vagus. Saraf laringeus superior
meninggalkan trunkus vagalis tepat di bawah ganglion nodosum, melengkung ke
anterior dan medial di bawah arteri karotis eksterna dan interna, dan bercabang
dua menjadi suatu cabang sensorik interna dan cabang sensorik eksterna. Cabang
interna menembus membrana tirohyoid untuk mengurus persarafan sensorik
valekula, epiglotis, sinus piriformis, dan seluruh mukosa laring superior interna
tepi bebas korda vokalis sejati. Masing-masing cabang eksterna merupakan suplai
motorik untuk satu otot saja yaitu otot krikotiroid. Di sebelah interior saraf rekuen
berjalan naik dalam alur diantara trakea dan esofagus, masuk ke dalam laring tepat
dibelakang artikulasio krikotiroid dan mengurus persarafan motorik semua otot
intrinsik laring kecuali krikotiroid. Saraf rekuren juga mengurus sensasi jaringan
di bawah korda vokalis (region subglotis) dan trakea superior. Perjalanan saraf
rekuen kiri dan kanan berbeda.
Karena perjalanan inferior kiri yang lebih panjang serta hubungannya
Suplai arteri dan drainase venosus dari laring paralel dengan suplai
sarafnya. Arteri dan vena laringea superior merupakan cabang-cabang arteri dan
vena tiroidea superior., dan keduanya bergabung dengan cabang interna saraf
laringeus superior untuk membentuk pedikulus neurovascular superior. Arteri dan
vena laringea inferior berasal dari pembuluh tiroidea inferior dan masuk ke laring
bersama saraf laringeus rekuen.
Pengetahuan mengenai drainase limfatik pada laring adalah penting pada
terapi kanker. Terdapat sistem pada drainase terpisah, superior dan inferior,
dimana garis pemisah adalah korda vokalis sejati. Korda vokalis sendiri
mempunyai suplai limfatik yang buruk. Di sebelah superior aliran limfe
menyertai pedikulus neurovaskular superior untuk bergabung dengan nodi
limfatisi superior dari rangkaian servikalis profunda setinggi os hyoid. Drainase
subglotis lebih beragam, yaitu ke nodi limfatisi pretrakealis (satu kelenjar terletak
di depan krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening servikalis
profunda inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior.
2.1.4 Struktur Laring Dalam 1
Sebagian laring dilapisi oleh mukosa torak bersilia yang dikenal sebagai
epitel respiratorius. Namun bagian-bagian laring yang terpapar aliran udara
terbesar, misalnya permukaan lingua pada epiglottis, permukaan superior plika
ariepiglotika, dan permukaan superior serta tepi bebas korda vokalis sejati,
dilapisi epitel gepeng yang lebih keras. Kelenjar penghasil mukus banyak
ditemukan dalam epitel respiratorius.
Struktur pertama yang diamati pada pemeriksaan memakai kaca adalah
epiglottis. Tiga pita mukosa (satu plika glosoepiglotika mediana dan dua plika
glossoepiglotika lateratis) meluas dari epiglotika ke lidah. Diantara pita mediana
dan setiap pita lateral terdapat suatu kantung kecil yaitu valekula. Dibawah tepi
bebas epiglotis dapat terlihat aritenoid sebagai dua gundukan kecil yang
Perluasan dari masing-masing aritenoid ke anterolateralis menuju tepi
lateral bebas dari epiglottis adalah plika ariepiglotika terdapat sinus atau resesus
piriformis. Struktur ini bila terlihat dari atas merupakan suatu kantung yang
berbentuk dimana tidak memiliki dinding posterior. Dinding medialnya di bagian
atas adalah kartilago quadrangularis dan dibagian bawah kartilago aritenoid
dengan otot-otot lateral yang melekat padanya, dan dinding lateral adalah
permukaan dalam alae tiroid. Di sebelah posterior sinus piriformis berlanjut
sebagai hipofaring. Sinus piriformis dan faring bergabung kebagian inferior ke
dalam introitus esophagus yang dikelilingi oleh otot krikofaringeus yang kuat.
Dalam laring sendiri, terdapat dua pasang pita horisontal yang berasal dari
aritenoid dan berisersi ke dalam kartilago tiroid bagian anterior. Pita superior
adalah korda vokalis palsu atau pita vertrikular, dan lateral terhadap korda vokalis
sejati. Korda vokalis palsu terletak tepat di inferior tepi bebas membrane
quadrangularis. Ujung korda vokalis sejati (plika vokalis) adalah batas superior
konus elastikus. Otot vokalis dan tiroaritenoid membentuk massa dari korda
vokalis ini. Karena permukaan superior korda vokalis datas maka mukosa akan
memantulkan cahaya dan tampak berwarna putih pada laringoskopi indirek.
Korda vokalis palsu dan sejati dipisahkan oleh ventrikulus laringis. Ujung anterior
ventrikel meluas ke superior sebagai suatu divertikulum kecil yang dikenal
sebagai sakulus laringis, dimana terdapat sejumlah kelenjar mucus yang diduga
melumasi korda vokalis. Pembesaran sakulus ini secara klinis dikenal sebagai
laringokel.
2.1.5 Struktur Disekitarnya 1
Di sebelah anterior terdapat isthmus kelenjar tiroid yang menutup
beberapa cincin trakea pertama, sementara lobus tiroid terletak diatas dinding
lateral trakea dan dapat meluas hingga ke alae tiroid. Isthmus perlu diangkat dan
terkadang diinsisi saat melakukan trakeostomi menembus cincin kartilagineus
digaris tengah dimana raphe median menyebabkan struktur-struktur laring terletak
dalam posisi subkutan. Membrana krikotiroid mudah dipalpasi dan dalam keadaan
darurat, dapat dengan cepat diinsisi untuk membuat jalan nafas, arteri inominata
tidak jarang melewati di depan trakea servikalis, sehingga perlu dilakukan palpasi
yang cermat dalam pelaksaan trakeostomi. Di lateral dalam posterior terhadap
laring adalah selubung karotis yang masing-masing berisi arteri karotis, vena
jugularis dan saraf vagus.
2.2 Fisiologi Laring 1
Walaupun laring biasanya dianggap sebagai organ penghasil suara, namun
ternyata mempunyai tiga fungsi utama yaitu proteksi jalan nafas, respirasi dan
fonasi. Kenyataannya secara filogenetik, laring mula-mula berkembang suatu
sfingter yang melindungi saluran pernafasan, sementara perkembangan suara
merupakan peristiwa yang terjadi belakangan.
Perlindungan jalan nafas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai
mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot
tiroariteroid dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, disamping aduksi
korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring
lainnya.
Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut
dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus.
Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk
ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esophagus. Relaksasi otot
krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam
esophagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga
dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai oleh
reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inhalasi makanan atau
saliva.
Pada binatang seperti rusa, epiglotis menjulur ke superior dan menyentuh
pernafasan bersamaan pada saat menelan, sehingga binatang ini masih dapat
menghidu dan melindungi dirinya selama makan. Demikian pula pada bayi, posisi
laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara epiglotis dan permukaan
posterior palatum molle. Maka bayi-bayi dapat bernafas selama laktasi tanpa
masuknya makanan kejalan nafas.
Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat
penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung
seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru.
Selain itu, bentuk korda vokalis sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai
katup tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal
yang diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan misalnya mengangkat berat
atau defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang
berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan
membersihkan sekret atau pertikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis,
selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas.
Namun pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang paling
kompleks dan paling baik diteliti. Penemuan sistem pengamatan serat optic dan
stroboskop yang dapat dikoordinasikan dengan frekuensi suara sangat membantu
dalam memahami fenomena ini. Korda vokalis sejati yang teraduksi, kini diduga
sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara
korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang di
hasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intriksi laring (dan
krikotiroid) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah
bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu
sendiri. Otot ekstra laring dapat juga ikut berperan. Demikian pula karena posisi
laring manusia yang lebih rendah, maka sebagian faring, di samping rongga
hidung dan sinus paranasalis dapat dimanfaatkan untuk perubahan nada yang di
hasilkan laring. Semua ini di pantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang
terdiri dari telinga manusia dan suatu system dalam laring itu sendiri yang kurang
dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada hakikatnya proporsional dengan
lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura
posterior diantara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati.
Tiap penyakit yang mempengaruhi kerja otot intrinsik dan ekstrinsik laring
(paralysis saraf, trauma, pembedahaan), atau massa pada korda vokalis sejati akan
mempengaruhi fungsi laring, akibatnya akan terjadi gangguan menelan ataupun
BAB III
LARINGISTIS AKUT
3.1 Laringistis Akut Non Spesifik 1,2
Laringistis akut biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri. Biasanya
timbul bersamaan dengan atau infeksi sekunder dari infeksi di hidung, tenggorok
dan sinus paranasalis. Serangan infeksi mungkin akibat pemaparan terhadap
perubahan suhu mendadak, defisiensi makanan, malnutrisi dan daya tahan tubuh
yang rendah. Penyakit ini paling sering pada musim dingin dan mudah ditularkan.
Etiologi : virus (adenovirus atau virus influenza) bila disebabkan oleh bakteri
yang paling sering M.catarrhalis, S. pneumonia, H. influenzae.
Patologi : Mukosa laring akan memperlihatkan tanda-tanda infeksi akut, terdapat
dilatasi kapiler dan hiperemis yang disertai dengan edema umum ekstraseluler.
Pada permulaan terjadi infiltrasi lekosit submukosa, terutama oleh sel-sel
mononukleus kemudian sel-sel PMN muncul jika terjadi infeksi sekunder.
Otot-otot di bawah mukosa laring, bahkan perikondrium dan persendian dapat terkena
proses peradangan ini. Lapisan epitel mungkin akan hancur, tapi biasanya pulih
kembali, kadang timbul fibrosis yang akan menyebabkan kerusakan permanen
pada mukosa laring, hal tersebut merupakan awal dari laringistis kronis.
Manisfestasi Klinik : yang utama adalah suara serak dan sampai afoni, rasa tidak
enak dan nyeri di laring disertai batuk yang iritan dan paroksismal. Suara biasanya
berubah menjadi bernada tinggi.
Batuk menetap meskipun suara telah pulih. Suhu badan penderita biasanya
sekitar 38,5oC. Pada tahap awal sekret laring sedikit, kemudian menjadi banyak dan kental, dan mungkin bercampur darah. Peradangan hanya terbatas pada laring.
Pemeriksaan : Mukosa akan tampak edem dan hiperemi pada tepinya, gerakan
plika vokalis normal.
Diagnosis : ditegakan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan laring.
Pemeriksaan laringoskopi indirek harus dilakukan, meski kadang sulit karena
thoraks dan sinus paranasal. Biakan tenggorokan diperlukan bila penyakit
menetap dan resisten.
Terapi : Tergantung etiologi dan tingkat kerusakan mukosa laring.
Simptomatik dan mengistirahatkan suara
Menghindari rokok, alkohol, dan udara dingin
Pemberian mukolotik
Jika terdapat infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik
3.1.1 Epiglotitis Akut 2
Merupakan bentuk khusus dari laringistis akut progresif dimana kelainan
utamanya pada epiglotis. Terutama menyerang anak usia 2-7 tahun meskipun bayi
dan anak yang lebih tua serta orang dewasa dapat terkena.
Etiologi : H. influenzae tipe B (paling sering), tapi dapat juga disebabkan oleh
streptokokus, stafilokokus dan pneumokokus.
Gejala Klinik : Antara lain :
1. Dispneu progresif yang cepat terutama pada anak, mungkin bersifat fatal
dalam beberapa jam jika tidak terdiagnosa secara dini dan diterapi dengan
baik. Keadaan ini bersifat emergensi medis.
2. Disfagi, dimulai dengan nyeri tenggorokan dan kesulitan menelan
kemudian os menolak makan per oral.
3. Dehidrasi, demam, takikardi, kurang istirahat, kelelahan pernafasan dan
kolaps pembuluh darah.
4. Suara biasanya tidak serak tetapi dapat sebagai “hot potato voice”.
5. Penderita lebih menyukai posisi duduk tegak dan sedikit condong ke
depan. Penderita jangan dibaringkan pada posisi terlentang.
6. Gambaran klinis yang paling penting adalah epiglottis yang bengkak,
berwarna merah cerah yang menyebabkan pada posisi terlentang.
7. Pasien yang sudah dalam keadaan distress pernafasan yang hebat dapat
terjadi obstruksi jalan nafas total bila dilakukan usaha untuk melihat
8. Kultural darah menunjukan H. influenzae tipe B.
Patologi : pada anak lebih menimbulkan masalah karena struktur anatomisnya.
Pada anak mukosa epiglotis lebih banyak mengandung jaringan longgar, rima
glotis lebih sempit dan sudut antara rima glotis dan epiglotis relatif lebih kecil.
Epiglotis berbentuk omega yang cenderung melipat dan melintang sehingga plika
vokalis tertarik ke atas. Mukosa laring lebih sensitif dan lebih mudah
membengkak. Terdapat selulitis berat pada epiglotis dan plika ariepiglotika, yang
dapat berlanjut sampai kartilago aritenoid dan plika vokalis. Mukosa epiglotis
hiperemis dan udem, jaringan epitel menebal dan mengelupas. Ekskresi pada
laring atau di dalam laring cenderung menjadi kental dan berkurang. Jika edema
berlangsung progresif, ditambah sekret yang mengental, maka akan terjadi
obstruksi saluran nafas mendadak yang akan menimbulkan gagal nafas sampai
kematian.
Pengelolaan :3
1. Pasien yang dicurigai epiglotitis akut dievaluasi di IRD oleh team yang
terdiri dari dr. Anak, dr. Anestesi, dr. THT.
2. STL lateral. Pemeriksaan dengan tonguespatel tidak dianjurkan.
3. Os langsung dibawa ke OK bila ada kecurigaan epiglotitis progresif.
4. Intubasi endotrakeal dilakukan oleh dokter anestesi dan didampingi oleh
dokter THT dan pasien dipersiapkan untuk bronkoskopi atau trakeostomi
segera.
5. Dokter THT memeriksa epiglotis dengan laringoskopi direk dan dilakukan
kultur darah dan epiglotis. ETT kemudian diganti dengan nasotrakeal tube.
6. Pasien dipindah ke ICU untuk observasi ketat.
7. Terapi meliputi antibiotika terhadap H. influenzae yang menghasilkan beta
Steroid penting untuk mengatasi progresifitas inflamasi dan edema.
8. Ekstubasi dilakukan 24 - 48 jam setelah intubasi.
9. Pasien perlu diobservasi selama 24 – 48 jam lagi.
10.Perlu ditekankan bahwa perawat yang terampil yang terbiasa dengan
penanganan masalah kardiovaskuler dan respirasi setelah pemasangan
nasotrakeal tube dan dr. Anestesi dan dr. THT harus terampil pada
keadaan ekstubasi. Pada institusi di mana PICU 24 jam tak mampu maka
lebih aman dilakukan trakeostomi
11.Karena dapat terjadi obstruksi total dengan tanda-tanda yang mendadak
maka NGT dan trakeostomi harus dilakukan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Bila mungkin trakeostomi dapat dilakukan setelah intubasi
orotrakeal.
12.Pasien-pasien dengan epiglottis pada orang dewasa dengan gejala yang
timbul setelah 6 jam onset biasanya perlu intervensi baik intubasi
orotrakeal maupun trakeostomi. Sebagian besar pasien dimana gejala
timbul setelah lebih dari 8 jam maka tidak terjadi obstruksi akut.
3.1.2 Laringo-Trakeo-Bronkhitis Akut 3
Merupakan infeksi akut yang berat di daerah laring, trakea dan bronkus
yang mengenai anak di bawah usia 5 tahun. Sering terjadi di musim dingin.
Kondisi kelembaban yang rendah dan dingin mungkin berperan pada penyakit ini.
Etiologi : Biasanya virus parainfluenza tipe 1-4. setelah infeksi virus berlangsung,
infeksi bakteri sekunder oleh organisme yang berasal dari hidung dan tenggorokan
dapat terjadi. Yang tersering : S. hemoliticus, S. viridans, S. aureus dan
pneumokokus.
Gejala Klinik :
1. Pada saat onset, penyakit menyerupai flu umum kecuali croupy cough.
3. Seiring dengan terjadinya pembengkakan akan terjadi stridor inspiratoar.
4. Retraksi.
5. Pucat dan sianosis sirkumoral biasanya mendahului penurunan suara nafas
yang pada gilirannya sebagai tanda ancaman kematian.
6. Anoreksia dan demam pada stadium awal dan gelisah, dehidrasi dan
kelelahan.
7. Agitasi dan peningkatan nadi (sampai dengan 140 kali/menit) dan respirasi
(sampai dengan 80 kali/menit), merupakan tanda peningkatan kadar CO2.
8. STL-AP ditemukan tanda Steeple (penyempitan subglotis akibat edema).
Patologi : Terjadi pembengkakan edematous di daerah konus elastikus, dengan
akibat bertambah sempitnya daerah infraglotik yang semula sudah sempit. Edema
juga mengenai cabang trakeobronkhial di bawahnya. Terbentuk sekret yang
mukoid yang susah dikeluarkan, kental, dan melekat. Kadang terbentuk
pseudomembran.
Terapi : 3
1. Rawat inap dan observasi ketat
2. Humidifikasi
3. Antbiotika yang dapat mengatasi kuman seperti pada epiglotitis akut.
4. Racemic epinefrin melalui intermittent positive pressure breathing (IPPB).
5. Kortikosteroid (100 mg hidrokortison i.m) mungkin membantu.
6. Sedasi merupakan kontraindikasi karena dapat terjadi gangguan jalan
nafas.
7. Cairan parenteral
8. Oksigenasi
9. ETT-Trakeostomi
3.1.3 Laringistis Subglotis 4
Merupakan penyakit inflamasi ringan pada anak namun perlu diperhatikan,
Penyakit ini khusus mengenai anak terutama laki-laki yang berusia 1-4 tahun.
Dapat juga terjadi pada anak sampai usia 6 tahun.
Etiologi : Tidak diketahui, tetapi biasanya bersamaan dengan infeksi ringan
saluran nafas bagian atas.
Patologi : Hanya terjadi sedikit perubahan jaringan pada laring. Terdapat
pembengkakan dan hiperemi pada kedua sisi daerah infraglotik. Perubahan ini
terjadi sesudah serangan dan bersifat sementara.
Manifestasi Klinik : Ciri khas penyakit ini adalah anak tidur dengan perasaan
sehat dan cepat tertidur. Beberapa jam kemudian bangun dengan batuk yang
menggonggong, stridor dan dispnea. Anak berusaha bernafas yang akan
memperberat stridor dan dispneanya, akhirnya terjadi spasme laring. Kemudian
timbul retraksi supraklavikula dan subkostal, dan akhirnya terlihat tanda-tanda
sianosis pada kulit. Pada saat anak ini mungkin muntah atau tidak sadar dan
serangan berakhir. Anak kemudian tertidur dan bangun pada pagi hari dengan
sedikit batuk dan suara serak ringan. Ada kalanya gejala tidak menghilang
spontan dan obstruksi menetap, sehingga diperlukan terapi yang lebih aktif.
Terapi : Langsung ditujukan untuk menghentikan serangan.
Humidifikasi, sangat penting dan biasanya stridor menghilang bila anak ditempatkan di kamar mandi dengan pancuran air panas dijalankan.
Pemberian obat sedasi ringan yang diberikan sebelum tidur dapat mencegah serangan berulang.
Trakeostomi jarang diperlukan
Pemberian antibiotik bila tanda-tanda infeksi sekunder
3.1.4 Trakeitis Bakterialis 4
Merupakan penyakit infeksi pada paru yang serius pada anak. Pada
stadium awal sulit dibedakan dengan croup. Gejala akhir yang paling umum
adalah stridor. Kadang dapat dibedakan dengan croup dengan adanya demam
Trakeitis sering sebagai sekuele dari croup. Diagnosis trakeitis dibuat berdasarkan
sekresi trakea yang purulen dan kental (Jones dkk, 1979).
Liston dkk (1983) menyarankan bahwa anak dengan gejala yang mirip croup yang
tak sembuh setelah beberapa hari terapi medikamentosa atau berkembang menjadi
lebih panas atau ada leukesitosis harus menjalankan broskoskopi untuk
menyingkirkan adanya secret kental tersebut. Bila positif terdapat trakeitis maka
menandakan keadaan klinis yang memburuk dan karenanya sering diperlukan
intubasi atau trakeostomi. Beberapa sumber lebih menyarankan trakeostomi
dibandingkan intubasi karena diperlukan penghisapan yang sering tetapi ada juga
yang berhasil mengelola pasien hanya dengan intubasi (Jones dkk, 1979).
Etiologi : S. aureus dan S. hemolitycus α. Harus dilakukan kultur saat laringoskopi dan terapi antibiotik sesuai hasil kultur. Meskipun diperlukan
perawatan di rumah sakit yang lebih lama karena perlu penghisapan yang sering,
sebagian besar kasus dapat sembuh dengan terapi antibiotik yang tepat.
Pneumonia sekunder didapat merupakan komplikasi yang paling umum.
3.2 Laringitis Akut Spesifik 4
3.2.1 Laringitis Difteri
Merupakan penyakit infeksi akut yang dapat mengenai sebagian atau
seluruh saluran nafas atas. Penyakit ini timbul pada anak diatas 6 tahun tetapi
orang dewasa juga dapat terkena. Saat ini penyakit tersebut jarang ditemukan
karena pemberian imunisasi aktif pada bayi.
Etiologi : C. diphteriae ditularkan lewat udara dan benda yang terkontaminasi.
Kuman ini dapat berubah dari bentuk tidak virulen menjadi virulen yang
mengeluarkan toksin.
Patologi : Infeksi terjadi dipermukaan, mengenai mukosa hidung, faring, dan
laring dan menimbulkan nekrosis pada epitel. Terjadi pengeluaran banyak serum,
kemudian menggumpal membentuk selaput yang terdiri dari eptitel nekrotik,
bakteri, fibrin dan fagosit. Selaput dapat ditemukan dimana-mana seperti hidung,
menyerang otot jantung dan saraf parifer. Kematian dapat terjadi akibat sumbatan
jalan nafas atau kegagalan jantung.
Gejala Klinik : Masa inkubasi berlangsung selama 1-7 hari. Timbulnya tidak
jelas, hanya berupa nyeri tenggorokan ringan, malaise dan demam ringan. Jika
laring terkena akan ditandai dengan suara serak, batuk, stridor dan tanda-tanda
sumbatan jalan nafas. Limfadenetis servikal memberikan tanda khas bentuk leher
sapi atau “bull neck”.
Pemeriksaan : Pada faring atau laring tampak selaput putih keabuan pada tonsil,
dinding faring atau laring. Membran melekat erat dan mudah berdarah bila
dilepaskan.
Diagnosis : Harus dicurigai bila dijumpai membran pada faring atau laring.
Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan mikroskopis pada membran dan dapat
ditemukan kuman. Hal ini dapat dipastikan dengan melakukan biakan kuman pada
media Loeffler dan Telurit.
Terapi : Pencegahan sangat penting dan merupakan terapi yang terbaik. Setiap
anak harus mendapatkan imunisasi aktif sejak bayi dan imunisasi ulang hingga
umur 10 tahun.
Antitoksin, tanpa harus menunggu biakan positif, karena merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Diberikan dosis tunggal antara
20.000-100.000 unit setengahnya secara i.v dan sisanya i.m.
Penisilin diberikan dengan dosis 125 mg, 4 kali sehari selama 10 hari untuk mencegah karier.
Trakeostomi dilakukan bila terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas dan takikardia, sebelum dilakukan bronhoskopi untuk mengangkat membrane
pada trankea dan bronkus.
3.2.2 Herpes Laring 4
Etiologi : Virus herpes. Bersifat aneh karena dapat berkembang baik dan menjadi
Manifestasi infeksi paling banyak ditemukan pada anak usia 6 bulan – 3 tahun.
Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas atau trauma pada mulut.
Patologi : Virus mungkin menetap pada sel-sel mukosa. Lesi dimulai sebagai
bercak vesikel dikelilingi oleh areola yang berwarna merah. Vesikel kemudian
pecah dan kemudian meninggalkan ulkus kecil yang ditutupi eksudat berwarna
keputih-putihan. Infeksi biasanya mengenai mulut, faring dan laring.
Manifestasi Klinik : Herpes laring akut biasanya timbul bersamaan dengan herpes
ginggivastomatitis. Penyakit ini menyebebkan demam tinggi pada bayi dan anak
kecil. Lesi pada mulut biasanya jelas. Gejala laring berupa suara serak, batuk
menggonggong dan stridor. Terdapat pembesaran kelenjar limfe servikal.
Diagnosis : Dipastikan dengan menemukan virus pada biakan. Biopsi dari lesi
memperlihatkan “inclusion body” intranuklear yang khas. Antibody terdapat
dalam darah selang 4-5 hari setelah infeksi timbul.
Terapi : Hanya bersifat penunjang karena penyakit biasanya dapat sembuh sendiri
dalam waktu 1-3 minggu.
Antibiotika, diperlukan pada kasus yang berat untuk mengatasi infeksi sekunder pada ulkus di mukosa.
Trakeostomi jarang diperlukan
Pemberian vaksinasi ulang terhadap cacar pada pasien yang terkena infeksi berulang mungkin berguna
3.3. Perikondritis laring
Merupakan reaksi inflamasi yang mengenai jaringan perikondium
kantilago laring.
Etologi : Jarang merupakan infeksi primer. Yang paling sering adalah akibat trauma atau penyinaran. Setiap infeksi akut pada mulut mungkin dapat
menyebabkan perikondritis pada tulang rawan laring.
Patologi : Infeksi piogenik perinkodonium pada tulang rawan hialin dapat mengakibatkan terkumpulnya bahan-bahan purulen di subperikodium.
perikondrium dari tulang rawan dan mengurangi aliran darah ke tulang rawan,
sehingga terjadi nekrosis. Perikondritis akibat penyinaran biasanya steril tetapi
infeksi bisa timbul setelah biopsi laring yang menyebabkan perikondritis purulen.
Ankilosis sendi krikoriatenoid dapat terjadi akibat infeksi pada kartilago krikoid
dan aritenoid. Fiklasi oleh jaringan fibrosis pada sendi dapat timbul, yang
mungkin mangakibatkan satu atau kedua plika vokalis tidak dapat bergerak.
Manifestasi klinik : Rasa nyeri pada laring yang menetap dan bertambah hebat bila pasien menelan dan berbicara. Suara serak sampai afonia, stridor dan dispneu.
Batuk iriatif yang sering tidak berdahak tetapi ada terus menerus. Pada perabaan
kartilago tiroid dan krikoid terasa menebal dan lembek.
Pemeriksaan : Mukosa laring biasanya merah, granuler dan edem, sehingga lumen laring tampak menyempit. Mungkin tidak terdapat pus di laring dan
mengandung potongan tulang rawan yang nekrotik. Seringkali plika vokalis dan
kartilago aritenoid tidak bergerak secara normal, akibat pembengkakan pada
jaringan lunak. Bila penyakit berlanjut,obstruksi total dengan tiba-tiba. Gejala lain
demam, takikardi, anoreksia, mual dan dehidrasi.
Terapi : Ditunjukan untuk mencegah terjadinya asfiksia dan komplikasinya
Trakeostomi untuk membersihkan trakea, menghilangkan obstruksi dan mengistirahankan laring
Terapi parenteral sampai fase inflamasi akut teratasi
Gastrostomi untuk masuknya makanan, karema pemasangan pipa nasogastrik dapat memberat penyakitnya.
Antibiotika dosis tinggi sesuai resistensi test.
Debridement, bila tanda-tanda infleksi telah mereda, kecuali drainase abses.
Pemasangan bidai, setelah dilakukan debridemen, dibiarkan selama 5-6 untuk mencegah stenosis
Perikondritis akibat radiasi diterapi sama dengan diatas, dengan memastikan bahwa sisa karsinoma sudah tak ada. Jika sisa karsinoma
BAB IV
LARINGITIS KRONIS
4.1. Laringitis Kronis Non Spesifik 5
Merupakan peradangan kronis non spesifik pada mukosa laring.
Umumnya diderita oleh pria, usia pertengahan dan perokok.
Etiologi : Dapat disebabkan oleh:
Laringitis akut yang tidak sembuh sempurna
Iritasi asap rokok atau pengaruh nikotin rokok
Sering bernapas lewat mulut karena adanya gangguan bernapas lewat hidung
Perluasan mukosa yang mengalami proses radang kronik pada rhinitis, sinusitis, adenoiditis dan bronchitis
Penggunaan suara yang berlebihan atau gangguan fungsi suara yang lama
Patologi : Efek dasar dari bahan yang mengiritasi laring adalah vasodilatasi dan hiperemi. Keadaan ini dapat mengakibatkan pendarahan submukosa, edema
interstisiel dan menghasilkan eksudat inflamasi. Daerah yang terkena mangalami
fibrosis dan hialinisasi yang menimbulkan penebalan dan deformitas struktur.
Perubahan patologik ini dapat bersifat difus atau terlokalisir. Yang paling sering
letaknya pada plika vokalis sejati dan palsu serta ruang interaritenoid.epitel
saluran napas yang bersilia di daerah supraglotis mengalami metaplasia skuamosa.
Daerah yang biasanya mempunyai epitel berlapis skuamosa akan tampak
menebal akibat proses akantosis, keratosis dan parakeratosis. Struktur kelenjar
mengalami atropi sempurna sehingga terjadi sindroma sika/kering
Histologi : Epitel skuamosa laring pada beberapa lapisan bersifat non-keratinisasi. Daerah yang berbatasan pada jaringan subkutan dan lapisan basal mengandung sel
silindris dengan inti yang berbentuk oval mitosis terjadi di lapisan ini, dan dari
lapisan tersebut sel-sel akan berpindah ke permukaan. Secara bertahap inti akan
berubah bentuk, dari bulat menjadi gepeng dan menutupi permukaan. Meskipun
kebanyakan sel permukaan mengandung granul keratohialin intraselular, tak ada
perkembangan yang mengarah ke proses keratinisasi. Dalam keadaan normal,
didapat pada laringtis kronis. Berdasarkan tingkatannya, perubahan ini dapat
dibagi atas:
Tingkat I : Hiperplasia sel skuamosa yang sederhana dan keratosis, terjadi penebalan epitel.sel-sel di lapisan basal mengalami hyperplasia, kadang terjadi
infiltrasi ke stroma. Terjadi perubahan sel-sel ke formasi keratinisasi
intraseluler. Nukleus masuk ke lapisan keratin dan keratin akan melapisi lesi
dalam berbagai tingkat, tapi pola pematangan yang regular terus berlangsung.
Tingkat II : hyperplasia sel skuamosa atau keratosis dengan atipia, terjadi perubahan pola pematangan sel yang tidak terbatas dan tidak mengenai semua
lapisan pada waktu yang bersamaan. Terdapat atipia pada tingkat sel,
termasuk perubahan rasio nucleus/sitoplasmik, kandungan DNA yang
abnormal, mitosis yang abnormal dan kelainan – kelainan yang lain. Terjadi
juga akantosis, parakeratosis dan hyperkeratosis.
Tingkat III : Kasirnoma in situ, terjadi diplasia hebat, mitosis yang berlebihan dan kelainan bentuk sel lebih banyak ditemui. Seluruh epitel mengalami
perubahan yang mengarah ke bentuk karsinoma sel skuamosa, tanpa infiltrasi
ke lapisan basal.
Manifestasi Klinik :
Suara serak merupakan keluhan utama dengan berbagai perubahan nada terutama
rendah dan terputus-putus. Terdapat sedikit mukus yang lengket dan kering di
tenggorok.
Pemeriksaan :
Mukosa laring berwarna merah merata, plika vokalis menjadi merah muda sampai
merah redup. Tepi plika vokalis tampak membulat , jika pasien bersuara, pola
getaran suara tidak sinkron dan plika vokalis tampak kendur. Mukus kental
bertambah banyak pada mukosa. Pada kasus lanjut permukaan tampak bergranuler
dan polipoid.
Terapi :
Ditunjukan untuk menghilangkan faktor iritasi, termasuk melarang merokok dan
minum akohol yang berlebihan, mengobati infeksi yang ada, serta menghilangkan
Pada fase akut, istirahatkan suara
Perhatikan kelembaban udara
Pemberian obat-obatan ekspektoran serta memperbanyak minum untuk mengencerkan sekret.
4.1.1 Laringitis Sika ( Laringitis Atrofi ) 5
Ditandai dengan perubahan mukosa saluran napas menjadi atropi dengan
hilangnya kelenjar yang memproduksi mukus. Jarang dijumpai, biasanya ditemui
pada wanita. Sering disertai rhinitis atropi yang disebabkan oleh K. ozaena,
bagian dari Sindroma Sjorgren dan berhubungan dengan kehamilan.
Etiologi: Tidak di ketahui secara pasti
Patologi: Vaskularitasi mukosa menurun akibat proliferasi intima dan fibrosis dinding pembuluh darah kecil. Struktur kelenjar menghilang, lapisan epitel
pernapasan memperlihatkan metaplasia skuamosa dan hilangnya silia. Sekret
menutupi lapisan epitel laring dan membentuk krusta tebal. Biasanya terdapat
pada plika vokalis palsu bagian posterior dan subglotis.
Manifestasi klinik : Terdapat batuk yang iriatif dan suara serak, kadang sekret bercampur darah. Tenggorokan terasa kering dan gatal. Pasien mengeluh napas
berbau busuk. Bila penyakit berlanjut dapat terjadi total atrofi dan dapat
menyebabkan peradangan pada kartilago dengan fibrosis yang progresif dan dapat
berlanjut menjadi stenosis laring.
Pemeriksaan : mukosa laring tampak kering, mengkilat dan kasar. Krusta terbentuk di ruang interaritenoid, berwarna kuning kehijauan sampai kehitaman.
Jika krusta diangkat akan terlihat mukosa yang berwarna merah dan mudah
berdarah, tapi ulkus jarang terjadi.
Terapi : Bersifat simptomatis
Pemberian pelumas laring dan menjaga kelembaban udara di rumah.
Pemberian obat semprot untuk menghilangkan bau tak sedap dan mencegah pembentukan krusta.
4.1.2 Granuloma Kontak 5
Timbul bila perikondrium rusak oleh karma trauma pada plika vokalis atau
oleh karena trauma dari pipa endotrakeal. Granuloma dapat timbul lama setelah
intubasi. Bersifat unilateral, terutama pada bagian medial/superior prosesus
vokalis kartilago aritenoid
Patologi : terbentuk jaringan granulasi yang berlebihan, dapat timbul polip granulomatosa yang tidak bertangkai, terdiri dari jaringan ikat sel-sel radang di
tutupi oleh jaringan netrotik dan selaput putih tidak mengkilat.
Manifestasi klinis : Terdapat suara serak ringan, perasaan gatal di tenggorokan, batuk kering yang iriatif, rasa mengganjal di tenggorok dan kadang hemoptisis.
Pemeriksaan : laringoskopi indirek, lesi kecil kadang besar menutupi sebagian lumen laring pada satu dinding dan biasanya terdapat pada ujung superior.
Terapi : tidak gampang, biasanya hanya konservatif.
Bila granuloma besar, dilakukan pengangkatan
Menginstirahatkan suara.
4.1.3 Amiloidosis Laring 5
Merupakan penyakit yang telah lama dikenal selama lebih dari 140 Tahun, dan
dapat mengenai berbagai organ tubuh, seperi jantung, ginjal, saluran cerna,
pembuluh darah dan hepar. Amiloid adalah material eosinofilik hialin dengan
kemampuan yang tinggi untuk menyebabkan kematian. Amiloidosis laring sangat
jarang di temui. Terdapat 2 tipe:
Tipe A (tipe sekunder) didapat pada pasien dengan penyakit peradangan kronis.
Tipe B (tipe primer) secara sporadik ditemui di laring, juga pada pasien dengan multiple mieloma atau makroglobulinemia. Secara morfologi kedua
tipe ini tidak ada bedanya. Dengan metode imunohistokimia modern dapat
dibedakan kedua tipe tersebut. Amiloidosis laring mempunyai ciri khas berupa
Pemeriksaan : Terdapat polip soliter pada plika vokalis atau edema yang difus pada berbagai tempat di laring bahkan sampai ke trakea.Ulkus biasanya tidak ada.
Pada kasus yang lanjut, infiltrasi dari laring ke trakea dapat menyebabkan
obstuksi saluran napas yang progresif.
Terapi : Ditunjukan pada penyakit yang mendasarinya. Lesi lokal dapat diangkat lewat bedah mikrolaring.
4.2 Laringtis kronis spesifik/Granulomatosa 5
4.2.1 Tubekulosis laring 5
Sering dihubungkan dengan tuberculosis paru. Hampir selalu ditemukan
pada pasien dengan tuberculosis paru sebagai proses komplikasi dan penyakit ini
merupakan penyakit granulomatosis laring yang paling sering dijumpai. Dulu dikatakan penyakit ini sering terjadi pada usia muda yaitu 20-40 tahun, tetapi
belakangan ini dijumpai pada usia sekitar 60 tahun. Perbandingan antara laki-laki
dan perempuan 4:1, terutama peminum alkohol.
Etiologi : M. tuberculosis. Invasi ke laring terjadi akibat kontak langsung dengan sputum yang terinfeksi. Banyak didapat didaerah komisura posterior yang lebih
lebar, karena udara pernapasan dan sputum biasanya melewati daerah tersebut.
Infeksi secara hematogen dan limfogen tidak begitu penting tuberculosis laring.
Patologi : Struktur posterior laring kartilago aritenoid, ruang interaritenoid, plika vokalis bagian posterior, serta permukaan epiglottis yang menghadap ke laring,
merupakan tempat yang paling banyak terkena, karena sputum dapat tersangkut di
daerah-daerah tersebut saat batuk. Infeksi berawal dari ruang subepitel dengan
hiperemi dan eksudasi diikuti infiltrasi sel (jenis eksudatif). Kemudian akan
terbentuk tuberkel yang granulomatosa dengan sel datia langhans, perkijuan dan
nekrotik (jenis produktif). Permukaan mukosa tidak rata, pengabungan
tuberkul-tuberkul menyebabkan nekrosis lapisan epitel,menimbulkan ulserasi yang dapat
menembus sampai ke kartilago,terutama epiglottis dan aritenoid.penyembuhan
laring.radang terbentuk suatu pembengkakan seperti tumor yang
disebut”tuberkuloma”.
Manifestasi Klinik : Gejala-gejala gangguan laring terjadi belakangan pada penyakit paru terjadi mungkin merupakan hgal yang membawa pasien
berobat.gejala pertama adalah suara serak sampai afoni, rasa kering dan nyeridi
tenggorokan serta batuk yang produktif.obtruksi jalan napas dapat terjadi akibat
edema, tuberkuloma, atautuberklosa, atau fiksasi dari plika vokalis bilateral pada
garis moden .biasanya disertai tanda-tanda sistematik tuberculosis paru.
Pemeriksaan : tanda dini adalah timbulnya kemerahan disertai pembengkakan di daerah aritenoid dan plika vokalis posterior serta adanya eksudat yang berwarna
kekuningan mungkin terlihat dibawah mukosa yang utuh pada daerah
interateranoid dan epiglottis.nodul ini mungkin bersatu dan daerah yang terkena
merah muda, membengkak dan noduler,yang khas pada plika vokalis. Tahap
terakhir di tandai oleh kombinasi ulserasi, edema, granulasi dan pembentukan
tuberkuloma.
Diagnosis : Ditegakkan dengan di temukannya basil tahan asam pada dahak pasien, bilasan lambung atau bahan biopsi. Rontgen paru dan pemeriksaan
laringoskopi direk/indirek harus dilakukan bila ragu-ragu lakukan biopsi.
Terapi : Pada dasarnya ditujukan pada penyakit parunya .
Menginstirahankan suara selama fase akut penyakit laring
Trakeostomi bila adanya tanda-tanda obsuktruksi penyakit laring
Kombinasi obat-obatan:streptomisin,rifampisindan PAS
4.2.2 Sarkodiosis Laring 5
Merupakan penyakit granulosmatosa kronik yang indiopatik, biasa disebut
‘besnier boeck disease”,penyakit ini dapat mengenai beberapa organ tubuh dan
kelenjar linfe mediastrium,biasanya dapat sembuh sendiri.
Patologi:Gambaran lesing pada laring menyerupai gambaran lesi pada organ tubuh lain.Granuloma berisi sel epiteloid,limsofit,dan sel disertai neuritis nervus
stadium lanjut akan terjadi fibrosis dan hyalinisasi serta perkapsulan oleh jaringan
fibrosis.struktur supraglotis merupakan tempat yang paling banyak terkena.
Manifestasi Klining :biasanya pasien mengeluhkan suara serak dan dispeneu akibat obstruksi oleh edema laring.disfagia jarang terjadi,biasanya timbul akibat
pembengkatan epiglotis.sarkodosis sering
Pemeriksaan :Epiglotis,plika ariepiglotika ,plika vokalis palsu dan aritenoid berubah bentuk akibat edema yang difus,licin,dan pucat.epiglotis khusus
terkena,dapat terlihat nodul kecil berwarna putih atau kecoklatan pada tepi bebas
permukaan posterior dan epiglottis.
Diagnosis:Ditegakan berdasarkan hasil biopsy
Terapi:di utamakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas
Trakeostomi menetap selama beberapa bulan
Kortikosteroid dosis tinggi
4.2.3 Laringtis Sifilis 5
Saat ini jarang ditemukan,terdapat beberapa tingkatan lesi
Lesi primer:erosi mukosa
Lesi sekunder:Timbul lesi multipel berbentuk vesikel/papel yang berasal dari mukosa faring meluas sampai ke laring
Lesi tersier:timbulsetelah adanya periode laten,beberapa tahun setelah lesi sekunder.timbul granuloma yang membentuk gumma,yaitu suatu netroik
jaringan yang di kelilingi limfosit dan sel plasma,kadang terdapat sel raksasa
dan eosifonil terdapat juga intifrasi juga periarteri dan endartesis obliterasi
Prediliksi:bagian anterior laring yaitu epiglotis dan plika ariepiglotika,nekrosisdapat menembus kartilago valekula dan dinding laring dapat
terkena.
Manifestasi Klinik:pasien mengeluhkan adanya suara serak,disfagia dan nyeri terutama bial penyakit telah mendretuksi jaringan yang lebih dalam.stridor timbul
oleh karma edema mukosa pada fase penyembuhan dapat terjadi defirmotasyang
Diagnosis:Ditegakkan berdasarkan hasil biopsi,setelah di singkirkan kemungkinan karsinomia
Teapi:sesuai terapi sifilis
Penisilin dosis tinggi dalam waktu yang lama
Local dapat diberikan inhalasi
Dilakukan pembuangan jaringan nekroit lewat endoskopi
Menghindari alcohol dan asap rokok
4.2.4 Skleroma Laring 5
Lebih dikenal sebagai rhinoskleroma. Merupakan infeksi Granulomatosa
kronik awalnya penyakit ini hanya mengenai hidung, tetapi sekarang dapat
ditemui berbagai organ tubuh.
Etologi : K.rhinoscleromatis
Patologi : ditandai dengan adanya Mikulis cell yaitu sel besar seperti berbusa dan berendadengan bakteri gram negative didalamnya (bakteri intraselular). Dapat
ditemui juga adanya “’Russel bodies’ terutama pada fase awal penyakit. Daerah
infraglotik merupakan predileksi.
Manifestasi klinik : Suara serak dan batuk yang dikeluhakn oleh pasien yang
telah mengalami infeksi pada hidung. Gejala lanjut dapat berupa stridor dan
dispneu akibat proliferasi jaringan, yang menimbulkan sumbatan laring.
Pemeriksaan : Pada stadium dini, mukosa daerah interaritenoid, plika,
ariepiglotika, permukaan epiglotis yang menghadap ke laring dan infraglotik
tampak hiperemi dan kasar serta bergranular. Terdapat krusta dan eksudat kuning
purulen disertai inflitrasi noduler kemerahan, terutama daerah infraglotik.
Akhirnya nodul menjadi keras dan pucat dengan konsistensi seperti tulang rawan.
Diagnosis : Ditegakkan dengan ditemukannay K. rhinoscleromati dalam contoh
jaringan.
Terapi : Pada penyakit ini tidak ada indikasi penyinaran
Pengangtakan granuloa lewat endoskopi untuk mengatasi obstruksi laring
Kortikosteroid sebagai tambahan untuk mengurangi pembentukan parut.
4.2.5. Wagener Granulomatosis 6
Merupakan penyakit sistemik yang difus. Terdiri dari 3 gejala utama
menurut McKinnon 1970:
Lesi nekrotik granlomatosa di saluran napas atas dan bawah, biasanya berbentuk sinusitis atau rinitis
Vaskulitis (vena dan arteri) pada paru-paru
Nekrotik glomerulnephritis
25% dari pasien penderita penyakit ini mempunyai manifestasi di laring, tetapi
jarang yang merupakan manifestasi primer (Terent et al, 1980)
Etiologi : tidak diketahui
Patologi : lesi terdapat di daerah subglotis, dapat menimbulkan obstruksi laring.
Mukosa edema dengan gambaran granuler, mudah berdarah dan kadang terjadi
ulserasi.
Terapi : Saat ini yang paling banyak digunakan adalah obat-obatan
immunosupresif terutama siklofosfamid
4.2.6. Lepra Laring 6
Penyakit ini tidak begitu menular, untuk terkena dibutuhkan kontak yang
lama. Tanda klinis tidak terlihat 2,5 tahun setelah kontak. Banyak ditularkan pada
pasien usia muda dan jarang setelah umur 40 tahun.
Etiologi : M. leprae
Patologi : terdapat tiga jenis yaitu : noduler (lepromatosa), neural (anestetik),
tuberkuloid. Yang paling penting gg tipe lepromatosa. Gambaran mikroskooppis
memperlihatkan adanya massa kelompok sel lepra seperti berbusa yang
mengandung banyak kuman. Kulit dan selaput lendir dapat terinfiltrasi secara
difus atau noduler. Lesi dapat terkena infeksi sekunder dan sembuh dengan
meninggalkan jaringan parut. Bentuk tuberkoloid dan neural, secara mikroskopik
Manifestasi klinis : Lesi di daerah supraglotik menyebabkan suara tertahan. Jika
plika vokalis terkena akan timbul suara serak dan dispneu. Di laring yg pertama
kali terkena hh epiglotis, yg akan membengkak menyebabkan jalan nafas menjadi
sempit dan plika vokalis tertutup. Epigloti menjadi melengkung dan mukoda
berwarna abu-abu gelap serta berulserasi dan ditutupi eksudat. Bila sembuh, lesi
ini akan meninggalkan jaringan parut dan kontraktur. Kelenjar limfe leher sering
membesar.
Diagnosis : Ditegakkan dg biopsi serta aspirasi dan apusan dari kelenjar limfe
leher
Terapi : Membutuhkan waktu yang lama
Trakeostomi jarang dibutuhkan
Dapat digunakan Dapson, Clofazimine dan Rifampicion
4.3. Mikosis Laring 6
Biasanya jarang, tetapi sekarang banyak ditemui akibat pemakaian
antibiotik spektrum luas dan banyak faktor predisposisi, berupa : DM,
hipovitaminosis, malnutrisi dan penyakit hepar. Insiden juga meningkat dengan
banyaknya kasus AIDS
4.3.1 Kandidiasis / Moniliasis 6
Etiologi : C. Albicans, yang merupakan penghuni normal pada saluran cerna
orang sehat
Patologi : Biasanya perluasan dari infeksi di orofaring (sariawan). Mukosa laring
berwarna merah terang, terdapat bercak eksudat membran yang tebal, berwarna
putih keabuan dan ulserasi superfisial yang dikelilingi sel skuamosa yang
hiperplasia. Sumbatan laring dapat terjadi bila membran lepas dan menutupi /
masuk ke glotis, terutama pada anak kecil
Manifestasi klinis : Rasa nyeri dan disfagia
Diagnosis : Harus dibedakan dengan laringitis membranosa, pemeriksaan
membran secara mikroskopis memperlihatkan miselium dan sel-sel menyerupai
Terapi : Pada kebanyakan kasus, penyakit dapat sembuh sendiri setelah
pemakaian antibiotika dihentikan. Dapat diberikan mikonazol 500.000 3 kali
sehari. Pada anak, kadang trakeotomi diperlukan.
4.3.2 Koksidioidomikosis 6
Etiologi : C. immitis. Penyakit ini jinak dan dapat sembuh sendiri. Kira-kira
0,2% kasus dapat menjadi fatal, terutama pada ras kulit berwarna.
Patologi : Lesi granilomatosa noduler pada supraglotik yg dapat berulserasi.
Dapat terjadi limfedenopati destruktif pada kelenjar limfe leher yang
mengakibatkan pembesaran dengan nekrosis perkijuan
Diagnosis :Dengan mengisolasi jamur dari dahak, eksudat atau biopsi jaringan
Terapi : Amphotericin B
4.3.3 Parakoksidioidomikosis 6
Etiologi : Paracoccidioides brasiliensis
Patologi : Ulserasi mukosa saluran nafas atas disertai limfedenopati kelenjar limfe
leher. Ulserasi bila sembuh dapat menimbulkan striktur.
Diagnosis : Ditegakkan dg pemeriksaan sputum
Terapi : Amphotericin B
4.3.4 Histoplasmois 6
Etiologi : H. capsulatum
Patologi : Pertama kali menyerang sistem retikuloendotelial. Lesi granulomatosa
terjadi pada jaringan lunak. Terdapat tiga bentuk klinik :
Infeksi paru subklinik ringan
Infeksi diseminata progresif. Cenderung terjadi pada anak dan lelaki usia lanjut. Terkenanya saluran nafas atas dan mulut scf lokal hanya pada orang
dewsaa, dg manifestasi primer pada mulut, hidung dan laring
Terdapat dua jenis, paru dan mukokutan. Paling banyak ditemukan jenis
mukokutan. Bentuk kedua dan ketiga sangat penting bagi ahli THT. Gambaran
mikroskopis lesi laring berupa granuloma yang terdiri dari sel epiteloid, sel datia,
makrofag besar dan pucat yang berisi jamur, sel plasma an limfosit. Dapat terjadi
nekrosis perkijuan dan proliferasi fibroblas.
Manifestasi klinis : suara serak dan disfagi serta rasa nyeri
Pemeriksaan : Lesi di laring berbentuk massa noduler jaringan granulomatosa
yang keras menyerupai tumor, berwarna kecoklaan, yang dapat menjadi nekrosis
dan ulkus. Pada laring lesi biasanya terdapat di epiglotis dan plika vokalis di
permukaan bagian posterior. Pembesaran kelenjar limfe leher dapat terjadi.
Mukosa laring menjadi berwarna putih kotor
Diagnosis : Ditegakkan dengan pemeriksaankultur dahak, ulkus, eksudat, biopsi,
atau darah
Terapi : Amphotericin B secara i.v 30-50 mg, 4-6 kali/hari
4.3.5 Aktinomikosis 6
Etiologi : A. israeli yang merupakan bakteri kelas tinggi (bukan jamur asli).
Organisme ini merupakan penghuni alamiah dalam mulut
Patologi : Daerah infeksi terkena inflamasi granulomatosa kronis yang
menghasilkan eksudat purulen, berisikan jamur
Manifestasi klinis : Suara serak, batuk produksif dan nafas yang berbau
Pemeriksaan : Laring jarang terkena langsung , akan terlihat daerah inflamasi
lokal dengan granul subepitel berwarna kuning. Scf mikroskopis ditemukan gram
positif dengan filamen yang bercabang
Terapi : Penyakit ini bereaksi baik terhadap tetrasiklin, diberikan dalam waktu
BAB V KESIMPULAN
Salah satu penyebab obstruksi saluran nafas bagian atas adalah infeksi
laring, akut maupun kronis. Laringitis akut banyak diderita oleh anak-anak, proses
penyakit berjalan cepat dan tidak jarang menimbulkan tindakan trakeotomi
emergensi untuk penanganannya. Laringitis kronis banyak diderita oleh orang
dewasa muda terutama perokok. Pada perjalanan penyakitnya, laringitis kronis
dapat juga menyebabkan obstruksi jalan nafas bagian atas, meskipun
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan laringitis akut. Apabila
tindakan trakeotomi dibutuhkan untuk mengatasi obstruksi saluran nafas atas yang
disebabkan oleh laringitis kronis, biasanya dokter masih punya cukup waktu
untuk mempersiapkannya.
Dalam menangani laringitis akut atau kronis, ada tiga hal yang perlu
dilakukan: progresifitas dari gejala terutama yang berkaitan dengan dispneu,
gejala yang berkaitan dengan gejala sistemik dan faktor predisposisi. Pada
laringitis kronis, penting untuk membedakannya dengan proses keganasan karena
keduanya sering mempunyai kesamaan dalam riwayat perjalanan penyakit dan
DAFTAR PUSTAKA
1. Ballnger, J.J. : Diseases of the Nose, Throat, Ear, Head and Neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1985. page 424-434, 511-539
2. Boies : Fundamental of Otolaryngology a textbok of Ear, Nose and Throat Deseases. 6th ed. Philadelphia, W.B. Saunders Company. 1989. page
369-387, 473-484
3. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
4. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 5. Butterworth, Butterworth & Co Ltd. 1997. page5/5/1-5/5/18
5. Cumming C.W. : Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2nd ed. Vol. 3. St Louis. Mosby Year Book. 193. page 1854-1862, 2389-2391