PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT
DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010
SKRIPSI
Oleh :
NIM. 051000042 RISTY IVANTI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT
DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh :
NIM. 051000042 RISTY IVANTI
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul :
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT
DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010
Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh :
NIM. 051000042 RISTY IVANTI
Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 26 Juni 2010 dan
Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji
Ketua Penguji Penguji I
Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si
NIP. 19680320 199308 2 001 NIP. 140052649 dr. Fauzi. SKM
Penguji II Penguji III
dr. Heldy BZ, MPH
NIP. 19520601 198203 1 003 NIP. 19730803 199903 2 001 Siti Khadijah Nasution SKM, M.Kes
Medan, Juli 2010
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan merupakan bagian dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Berdasarkan arsip laporan TB Tahun 2008, angka kesembuhan penderita TB Paru masih rendah, di mana dari 131 penderita TB Paru BTA (+) hanya 54 orang dinyatakan sembuh (41,2%).
Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif baru yang telah selesai melaksanakan tahap pengobatan intensif pada bulan September sampai Desember Tahun 2009 sebanyak 147 orang dan penetapan jumlah sampel menggunakan metode “simple
random sampling” sebanyak 60 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah dukungan keluarga (p=0,006) dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pengawasan PMO dan dorongan petugas kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada petugas BP4 Medan untuk melakukan penyuluhan kepada Pengawas Minum Obat (PMO) untuk penderita TB Paru dan memastikan PMO mengetahui jadwal-jadwal yang berkaitan dengan pengobatan penderita sehingga peran pengawasan menjadi lebih optimal dan keberhasilan pengobatan dapat dicapai.
ABSTRACT
Health Center for Lung Disease (BP4) Medan is part of Health Service Unit which implemented the Eradication of Pulmonary TB. Based on the TB report archives 2008 , the number of cure rate still low, from 131 patients with Pulmonary TB Positive BTA just 54 patients declared cured.
The type of research was explanatory approach that aimed to explain the influence of individual characteristics (age, sex, marital status, occupation, and knowledge) and motivation of patients with Pulmonary TB (family support, PMO control, staff support, and sense of responsibility) on the compliance level of Pulmonary TB patients in treatments. The population were all patients with new positive BTA Pulmonary TB (not recurrent) who had completed intensive treatment phase in implemented TB control programs at the BP4 Medan on September until December 2009 total 147 persons and the sample was determined by simple random sampling as many as 60 people. Data were collected by using questionnaire and were analyzed by using multiple linear regression.
The results of research showed that variables which had significant influence on the compliance level of Pulmonary TB patients were the family support (p= 0.006) and sense of responsibility (p = 0.000). The variables which had no relationship with the compliance level of Pulmonary TB patients were age, sex, occupation, marital status, PMO controlling and staff support.
It is expected, BP4 Medan health officer take a extension to PMO and make sure PMO know the schedules relating to the treatment of patients so that controlling role to be more optimal and successful treatment can be achieved.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : RISTY IVANTI
Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 16 Februari 1988
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Status Perkawinan : Belum Menikah
Jumlah Anggota Keluarga : 3 (anak ke-2 dari 3 bersaudara)
Alamat Rumah : Jl. Bunga Baldu I No.10 Medan 20133
Riwayat Pendidikan :
1. 1992 - 1993 : TK Muhamadiyah Medan
2. 1993 - 1998 : SD Taman Siswa Medan
3. 1998 - 1999 : SD Negeri No.068083 Medan
4. 1999 - 2002 : SLTP Negeri I Medan
5. 2002 - 2005 : SMA Negeri 15 Medan
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan
karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh
Karakteristik Dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2009”
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat.
Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih
terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan
saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan,
bantuan, saran dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan
Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
sekaligus Dosen Pembimbing skripsi I atas keluangan waktu, bantuan, bimbingan
dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.
3. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Pembimbing skripsi II atas keluangan
4. Ibu Siti Khadijah Nst, S.K.M, M.Kes, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah
banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.
5. Bapak dr. Heldy BZ, M.P.H, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak
memberikan saran dan masukan kepada penulis.
6. Bapak Prof. dr. Aman Nasution, M.P.H selaku dosen di Departemen Administrasi
dan Kebijakan Kesehatan.
7. Ibu Asfriyati, S.K.M, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik di Fakultas
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak dr. H. Adlan Lufti, Sp.P selaku Kepala BP4 Medan yang telah memberikan
izin untuk melakukan penelitian.
9. Ibu Rita selaku Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan yang telah banyak
memberikan masukan, bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
10.Ibu Saniah selaku petugas kesehatan di BP4 Medan yang telah banyak
memberikan bantuan, bimbingan, pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
11.Para Dosen dan Staf di FKM USU, khususnya Departemen AKK yang telah
membimbing selama perkuliahan.
12.Teman-teman dan kakanda seperjuangan di Departemen AKK: Yuni, Lidya,
Suaidah, Siska, Ria, Fany, Sri, Elina, Rina, Bertha, Etri, Aida, Vina, Ferni, Siti,
Citra, Husein, Franky, Roni, Wisana, Julham, Koto, Derry, Joshua dan yang
lainnya serta alumni mahasiswa peminatan AKK: Ade, Tini, Mita, Fitri, Imel,
Nelly dan Kiki yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis dalam
13.Terima kasih untuk Marwa, Liza, Mia, Gita, Eni, Dian, Widya dan Rani atas
kebersamaan dan persahabatan mulai dari awal perkuliahan di FKM USU hingga
saat ini.
14.Rekan-rekan stambuk 2005 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per
satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada
orangtua yang saya hormati dan sayangi, Sunyoto, SH dan Sabarina, atas segala doa,
kekuatan, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan dengan segenap
hati yang tulus selama ini. Selanjutnya kepada abangda Eko Prasetyo, ST, yang
selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis, dan adinda Vadea Oktari
atas dukungan dan doanya selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada
Bapak Sugeng, Ibu Nur dan Kakanda Ivo yang telah banyak mendukung dan
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja
serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.
Medan, Juni 2010
Penulis,
DAFTAR ISI
2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis ... 8
2.1.2. Risiko Penularan ... 9
2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis... 9
2.1.4. Diagnosis Penyakit TB Paru ... 10
2.1.5. Tipe Penderita TB Paru ... 10
2.1.6. Prinsip Pengobatan ... 12
2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS... 13
2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO) ... 14
2.1.8. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia ... 15
2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) ... 17
2.3. Konsep Perilaku ... 18
2.4. Kepatuhan Berobat ... 19
2.5. Motivasi ... 23
2.5.1. Definisi Motivasi ... 23
2.5.2. Teori Motivasi ... ... 24
2.6. Penelitian-Penelitian Sebelumnya ... 26
2.7. Kerangka Konsep... 27
2.8. Hipotesis Penelitian ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 29
3.1. Jenis Penelitian ... 29
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 29
3.3.1. Populasi ... 29
3.3.2. Sampel ... 30
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30
3.5. Definisi Operasional ... 31
3.6. Aspek Pengukuran ... 34
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 34
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 35
3.7. Teknik Analisa Data... 36
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37
4.1. Gambaran Umum BP4 Medan ... ... 37
4.1.1. Data Geografis ... 37
4.1.2. Ketenagaan (SDM) di BP4 Medan... 37
4.1.3. Kegiatan Pelayanan Medis di BP4 Medan ... 38
4.2. Gambaran Karakteristik Responden ... 42
4.2.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan dan Pekerjaan ... 42
4.2.2. Variabel Pengetahuan ... 43
4.3. Gambaran Motivasi Responden ... . 47
4.3.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga ... 47
4.3.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Pengawasan PMO ... 49
4.3.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan ... 50
4.3.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab ... 51
4.2.5. Kepatuhan Berobat ... 53
4.3. Analisis Bivariat ... 55
4.4. Analisis Multivariat ... 57
BAB V PEMBAHASAN ... 60
5.1. Pengaruh Umur Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 60
5.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 61
5.3. Pengaruh Status Perkawinan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat 61 5.4. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 62
5.5. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 63
5.6. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 68
6.1. Kesimpulan ... 68
6.2. Saran ... 68
DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN :
Lampiran 1. Kuesioner
DAFTAR TABEL
Hal
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... ... 34
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 36
Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Kesehatan di BP4 Medan ... 38
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Perkawinan dan Pekerjaan ... 43
Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan ... 46
Tabel 4.4. Distribusi Kategori Menurut Pengetahuan ... 47
Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Dukungan Keluarga... 48
Tabel 4.6. Distribusi Kategori Menurut Dukungan Keluarga ... 48
Tabel 4.7. Distribusi Responden Menurut Pengawasan PMO ... 49
Tabel 4.8. Distribusi Kategori Menurut Pengawasan PMO ... 50
Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Dorongan Petugas Kesehatan ... 51
Tabel 4.10. Distribusi Kategori Menurut Dorongan Petugas Kesehatan ... 51
Tabel 4.11. Distribusi Responden Menurut Rasa Tanggung Jawab ... 52
Tabel 4.12. Distribusi Kategori Menurut Rasa Tanggung Jawab ... 53
Tabel 4.13. Distribusi Responden Menurut Kepatatuhan Berobat ... 54
Tabel 4.14. Distribusi Kategori Menurut Kepatuhan Berobat ... 54
Tabel 4.15. Alasan Responden Tidak Patuh Berobat ... 55
Tabel 4.15. Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson ... 57
DAFTAR GAMBAR
Hal
ABSTRAK
Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan merupakan bagian dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Berdasarkan arsip laporan TB Tahun 2008, angka kesembuhan penderita TB Paru masih rendah, di mana dari 131 penderita TB Paru BTA (+) hanya 54 orang dinyatakan sembuh (41,2%).
Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif baru yang telah selesai melaksanakan tahap pengobatan intensif pada bulan September sampai Desember Tahun 2009 sebanyak 147 orang dan penetapan jumlah sampel menggunakan metode “simple
random sampling” sebanyak 60 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan
kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah dukungan keluarga (p=0,006) dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pengawasan PMO dan dorongan petugas kesehatan.
Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada petugas BP4 Medan untuk melakukan penyuluhan kepada Pengawas Minum Obat (PMO) untuk penderita TB Paru dan memastikan PMO mengetahui jadwal-jadwal yang berkaitan dengan pengobatan penderita sehingga peran pengawasan menjadi lebih optimal dan keberhasilan pengobatan dapat dicapai.
ABSTRACT
Health Center for Lung Disease (BP4) Medan is part of Health Service Unit which implemented the Eradication of Pulmonary TB. Based on the TB report archives 2008 , the number of cure rate still low, from 131 patients with Pulmonary TB Positive BTA just 54 patients declared cured.
The type of research was explanatory approach that aimed to explain the influence of individual characteristics (age, sex, marital status, occupation, and knowledge) and motivation of patients with Pulmonary TB (family support, PMO control, staff support, and sense of responsibility) on the compliance level of Pulmonary TB patients in treatments. The population were all patients with new positive BTA Pulmonary TB (not recurrent) who had completed intensive treatment phase in implemented TB control programs at the BP4 Medan on September until December 2009 total 147 persons and the sample was determined by simple random sampling as many as 60 people. Data were collected by using questionnaire and were analyzed by using multiple linear regression.
The results of research showed that variables which had significant influence on the compliance level of Pulmonary TB patients were the family support (p= 0.006) and sense of responsibility (p = 0.000). The variables which had no relationship with the compliance level of Pulmonary TB patients were age, sex, occupation, marital status, PMO controlling and staff support.
It is expected, BP4 Medan health officer take a extension to PMO and make sure PMO know the schedules relating to the treatment of patients so that controlling role to be more optimal and successful treatment can be achieved.
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang sudah cukup lama dan
tersebar di seluruh dunia. Penyakit tuberkulosis dikenal oleh masyarakat luas dan
ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah
penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa
terdapat pada paru-paru tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit TB
banyak menyerang kelompok usia kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial
ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.
Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi penting penyebab
morbidity dan mortality di seluruh dunia, namun setiap negara berbeda angka
insidensinya. Menurut WHO setiap tahun di dunia diperkirakan terdapat 8,7 juta
kasus baru TB dan 1,7 juta kematian karena TB. Bila tidak diupayakan pengendalian
yang memadai 25 tahun kemudian diperkirakan angka kematian akan mencapai 40
juta orang per tahun (Viska, 2007). Penderita TB meningkat setiap tahunnya oleh
karena setiap satu penderita TB dengan sputum mengandung Basil Tahan Asam
(BTA) positif akan menularkan pada 10-15 orang lain setiap tahunnya (Alvian, 2008).
Laporan TB Paru dunia yang terbaru oleh WHO tahun 2006 masih
menempatkan Indonesia dengan jumlah kasus baru 240.000 setiap tahunnya sebagai
penyumbang terbesar nomor tiga setelah India dan Cina, ketiganya berkontribusi
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 di
Indonesia TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total
kematian), setelah penyakit jantung dan sistem pernafasan. Hasil survei tuberkulosis
di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka insidensi tuberkulosis Basil
Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 105 per 100.000 penduduk (Depkes RI,
2008).
Hasil survei tuberkulosis di Indonesia tahun 2006 menunjukkan bahwa angka
penemuan kasus TB di Indonesia (CDR = Case Detection Rate ) adalah 75,7%,
namun pada tahun 2007 turun menjadi 69,1%. Adapun angka keberhasilan
pengobatan (Success Rate = SR) mencapai 91,0% melebihi target WHO sebesar 85%.
Sementara itu, di Sumatera Utara angka penemuan kasus TB tahun 2006 adalah
82,7%, namun pada tahun 2007 turun menjadi 65,1%. Angka keberhasilan
pengobatan SR mencapai 94,5% melebihi target WHO sebesar 85% (Depkes RI,
2008).
Tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru (TB) telah dicanangkan
pada tahun 1993 oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa penyakit TB tidak terkendali di sebagian besar
negara di dunia. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil
disembuhkan, terutama penderita menular BTA positif (Depkes RI, 2002).
Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit tuberkulosis serta
mencegah terjadinya resistensi obat telah dilaksanakan program nasional
penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment
Indonesia mulai tahun 1995 dengan 5 komponen yaitu komitmen politik kebijakan
dan dukungan dana penanggulangan TB, diagnosis TB dengan pemeriksaan secara
mikroskopik, pengobatan dengan obat anti TB yang diawasi langsung oleh pengawas
menelan obat (PMO), ketersediaan obat dan pencatatan hasil kinerja program TB
( Depkes RI, 2002).
Di samping itu pemerintah juga membentuk Gerakan Terpadu Nasional
(GERDUNAS) TB yang dicanangkan pada tanggal 24 Maret 1999 dengan fokus
utama adalah memperkuat kemitraan antara berbagai sektor dengan NTP (National
Tuberculosis Program). Gerdunas TB diharapkan dapat memperluas metoda DOTS
yang dianjurkan WHO. Selain itu telah dibentuk pula forum yaitu TB Partnership
Forum Indonesia di tahun 2001, forum ini menghimpun kerjasama yang terdiri dari
LSM lokal, internasional, organisasi keagamaan, lembaga swadaya dan pemerhati
masalah TB ( Depkes RI, 2002).
Sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan Tuberkulosis. Hasil penelitian
yang dilakukan Pemerintah Kab. Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggaara
Timur pada tahun 2000 menyimpulkan ada 8 variabel yang memengaruhi kegagalan
konversi pada penderita TB Paru yang telah berobat yakni status gizi, lantai rumah,
jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO,
penyuluhan paramedis, dan kepatuhan berobat penderita (Akbar, 2008).
Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota
Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat
pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak
antara rumah pasien ke puskesmas. Analisa hasil penelitiannya menyimpulkan
penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru
mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan
pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Selain itu
juga menurut hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota
Medan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan dan peran
PMO terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru.
Penelitian lainnya yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh
Susanti (2008) di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya, diketahui bahwa ada
hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru dengan
keteraturan berobat di wilayah kerja puskesmas. Lamanya waktu pengobatan TB paru
yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita
sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Adapun bagi penderita
yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan sembuh dari
penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur. Namun Susanti kurang
menjelaskan tentang deskripsi dari motivasi tersebut. Oleh karena itu, maka dirasa
perlu untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor motivasi yang
memengaruhi kepatuhan berobat di suatu Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang
melayani pengobatan TB Paru.
Menurut Woodworth dan Marquis yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003),
berdasarkan penyebabnya motivasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu : (a) motivasi
dalam diri seseorang sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu, (b) motivasi
ekstrinsik yakni motif yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar diri
seseorang. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang
menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai
suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati adalah kegiatan atau
mungkin alasan-alasan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Penelitian ini akan dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)
Medan Provinsi Sumatera Utara. Balai Pengobatan ini merupakan bagian dari Unit
Pelayanan Kesehatan (UPK), sama halnya seperti Puskesmas dan Rumah Sakit
Pemerintah namun dikhususkan untuk pengobatan penyakit paru-paru. BP4 Medan
sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara telah
melaksanakan program Pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS sejak tahun
2003. Berdasarkan arsip laporan TB Triwulan I s/d Triwulan IV tahun 2007,
diketahui bahwa dari 87 penderita TB Paru BTA (+) yang ada di BP4 Medan
sebanyak 56 orang penderita dinyatakan sembuh (64,4%). Pada tahun 2008 jumlah
penderita TB Paru BTA (+) meningkat menjadi 131 orang dengan angka kesembuhan
sebesar 41,2% yaitu 54 orang penderita dinyatakan sembuh.
Bila dibandingkan dengan angka kesembuhan nasional 85%, maka persentase
angka kesembuhan di BP4 Medan masih belum sesuai dengan target yang telah
ditetapkan WHO tersebut. Sebagai organisasi pelaksana penanggulangan TB
nasional, BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana penanggulangan TB.
khususnya TB Paru, peneliti dapat menggali data dan mendeskripsikan secara jelas
pengaruh karakteristik dan motivasi penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan
berobat penderita TB Paru di BP4 Medan.
1.2. Perumusan masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah
apakah ada pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi :
dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab)
terhadap tingkat kepatuhan berobat dalam menjalani pengobatan di BP4 Medan tahun
2009.
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB
Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa
tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat dalam menjalani pengobatan di
BP4 Medan tahun 2009.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai masukan kepada instansi terkait yaitu BP4 medan dalam menyusun
2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang bertugas di BP4 Medan
dalam meningkatkan kualitas pelayanannya.
3. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru
manusia. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis bukanlah
penyakit keturunan. Selain terdapat pada paru-paru, tuberkulosis juga dapat mengenai
organ tubuh lainnya, seperti tulang, otak, otot dan lain-lain (Aditama, 1994).
Tuberkulosis disebabkan oleh basil atau kuman yang diberi nama dalam
bahasa latin Mycobacterium tuberculosis. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan
oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil
tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37˚C, yang memang
kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama, 1994).
2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis
Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi kuman TB Paru bila droplet tersebut
terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari
paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe,
saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI,
Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak,
makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat
kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.
2.1.2. Risiko Penularan
Secara umum penularan penyakit tuberkulosis banyak tergantung dari
beberapa faktor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman dan daya
tahan tubuh orang yang tertulari, namun penularan mudah terjadi bila terdapat
hubungan yang erat dan lama dengan penderita tuberkulosis yang aktif, yakni
penderita TB Paru BTA positif (Amin, 1989).
Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI)
di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan
ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, sepuluh orang akan
terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB,
hanya sekitar 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Depkes RI,
2002).
2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis
Gejala utama yang dirasakan oleh penderita adalah batuk berdahak lebih dari
dua atau tiga minggu. Batuk berdahak timbul karena ada peradangan akibat
tuberkulosis pada saluran nafas, karena peradangan tersebut maka timbullah
Adapun gejala tambahan yang sering dijumpai pada penderita tuberkulosis
paru adalah : adanya dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri
dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan
(malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih
dari sebulan (Depkes RI, 2002).
2.1.4. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru
Sebagian besar kasus tuberkulosis paru didiagnosis karena pasien merasa
tidak sehat sehingga datang minta bantuan ke suatu puskesmas, klinik, rumah sakit
atau dokter praktik.
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga
patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil
pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua,
hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen
penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari
berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang
akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan
tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan
darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).
2.1.5. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat
1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian).
2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan
di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.
4. Lalai (Default /Drop Out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat.
Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
positif.
5. Lain-lain
a. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan akhir pengobatan) atau lebih.
Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif yang menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
b. Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
2.1.6. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru
Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan dalam bentuk kombinasi
dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar
semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru
diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.
1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan
dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT
terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara
tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif
sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam
jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan
penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah
terjadinya kekambuhan.
Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka
waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat
(resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment
2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS
Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed
Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan
kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita
TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS
adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung
dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita
tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 1994).
Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai
dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha
menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui
pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed)
dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah
yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus
menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti
tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang
adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan
klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994).
Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka
kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping
obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut
2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO)
Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka
pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan
diperlukan seorang PMO.
Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah :
- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.
- Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita.
- Bersedia membantu penderita dengan sukarela.
- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita.
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat,
sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang
memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan
Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau
anggota keluarga.
Tugas seorang PMO antara lain adalah :
- Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai
pengobatan.
- Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.
- Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah
- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai
gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit
Pelayanan Kesehatan.
2.1.9. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 1. Tingkat Pusat
Upaya penanggulangan TB Paru di tingkat pusat berada di bawah tanggung jawab
dan kendali Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
lingkungan (PPM & PL). Adapun untuk menggalang kemitraan dalam upaya
penanggulangan penyakit TB Paru maka dibentuk Gerakan Terpadu Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang dicanangkan oleh Menteri
Kesehatan RI pada tanggal 24 Maret 1999, bertepatan dengan peringatan hari TB
sedunia.
2. Tingkat Provinsi
Di Tingkat provinsi dibentuk Gedurnas TB Provinsi yang terdiri dari Tim
Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan
kebutuhan daerah.
3. Tingkat Kabupaten/Kota
Di Tingkat kabupaten/kota dibentuk Gedurnas TB kabupaten/kota yang terdiri
dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
4. Unit Pelayanan Kesehatan
Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/klinik dan Dokter Praktek
Swasta.
a. Puskesmas
Dalam pelaksanaan di puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana
(KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan
dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS), yang secara
keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000 –
150.000 jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas
Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan
sputum BTA.
b. Rumah Sakit dan BP4
Rumah sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana
penderita TB. Dalam hal tertentu, rumah sakit dan BP4 dapat merujuk
penderita kembali ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal penderita
untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya.
c. Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS).
Secara umum konsep pelayanan di klinik dan DPS sama dengan pelaksanaan
pada rumah sakit dan BP4. Dalam hal tertentu, klinik dan DPS dapat merujuk
2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)
Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas
Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang menyelenggarakan upaya kesehatan paru
strata dua serta bersifat mandiri (fungsional) yang melaksanakan tugas teknis
operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari Dinkes Provsu.
BP4 menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru secara menyeluruh dan
terpadu, menggunakan teknologi tepat guna, didukung peran serta aktif masyarakat,
kerjasama lintas program dan lintas sektoral. BP4 dibentuk sebagai upaya untuk lebih
mendekatkan dan memberikan pelayanan spesialistik khusus paru ke masyarakat
maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan paru di masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas tersebut maka BP4 menjalankan fungsi : penetapan
diagnosa penyakit paru, pengobatan penderita penyakit paru, perawatan penderita
penyakit paru, membantu usaha pemberantasan penyakit tuberkulosis dan
melaksanakan sistem rujukan (Profil BP4 Medan, 2008).
Dalam melaksanakan pelayanannya, BP4 menerima pasien yang berasal dari
pasien rujukan baik yang dirujuk dari puskesmas dan rumah sakit dan pasien yang
datang sendiri dengan dana pribadi. Anggaran BP4 diperoleh dari APBD yaitu berupa
Anggaran Rutin (DASK) yang digunakan untuk membiayai kegiatan dan keperluan
rutin BP4 seperti gaji pegawai, biaya operasional kegiatan pelayanan medis dan
lain-lain, serta APBN yang digunakan untuk kegiatan sosialisasi pembinaan ke kab/kota
2.3. Konsep Perilaku
Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu
sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan,
menangis, tertawa, membaca dan sebagainya. Sebagaimana dapat disimpulkan bahwa
perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung
maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skinner (Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon
atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam
memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari
yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa
orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon
terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini
dapat dibedakan menjadi dua, yakni :
1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan,
yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat
emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.
2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik,
sosial budaya, ekonomi dan sebagainya.
Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB
Paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam
bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri si penderita
(faktor internal) maupun dari luar diri si penderita (faktor eksternal). Faktor internal
motivasi dari dalam diri penderita TB Paru seperti rasa tanggung jawab. Adapun
faktor eksternalnya yaitu motivasi dari luar diri penderita TB Paru yang meliputi
dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas.
Perilaku seseorang itu sebenarnya dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau
ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Sebagaimana
menurut Fred Luthans dalam Thoha (2008) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan
(need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari
motivasi dan tujuan. Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan dari motivasi itu
sendiri. Dorongan ini yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai
tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan
seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara
kegiatan-kegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.
2.4. Kepatuhan Berobat
Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku
pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut
Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan
cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain.
Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan
risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk
kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah
Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi
empat bagian, yaitu :
1. Pemahaman tentang Instruksi
Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa
lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti
tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan
oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus
diingat oleh pasien.
Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh
DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu :
a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.
b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang
harus diingat.
c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat,
maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal
yang pertama kali ditulis.
d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal
penting perlu ditekankan.
2. Kualitas Interaksi
Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian
profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan
umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien
membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang
dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.
3. Isolasi Sosial dan Keluarga
Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan
keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program
pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan
membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.
4. Keyakinan, sikap, Kepribadian
Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara
pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian
secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal.
Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, sangat
memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang
kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et
al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu
yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program
pengobatan.
Menurut Schwartz & Griffin (Bart, 1994), riset tentang ketaatan pasien
didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat
mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas
sosio ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat
meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan
pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara
mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seseorang dapat menjadi tidak taat kalau
situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional
dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan
sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika
hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.
Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan :
1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan
Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit
kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang
jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan
yang kompleks, serta pengobatan dengan efek samping.
Menurut Sarafino (Bart,1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk
menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar
78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat
tersebut menurun sampai 54%.
2. Komunikasi antara pasien dan dokter
Berbagai aspek komunukasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat
ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter serta
ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.
3. Variabel-variabel sosial
Secara umum, orang-orang yang merasa menerima penghiburan, perhatian, dan
pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung
lebih mengikuti nasihat medis daripada pasien yang kurang mendapat dukungan
sosial.
4. Ciri-ciri individual
Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan.
Sebagai contoh : di Amerika Serikat kaum wanita, kaum kulit putih dan orang tua
cenderung mengikuti anjuran dokter.
2.5. Motivasi
2.5.1. Definisi Motivasi
Malayu (1996) menyatakan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin, yakni
“movere” yang berarti “daya penggerak” atau “dorongan” dalam diri manusia yang
menyebabkan individu tersebut berbuat sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003)
motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu.
Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku
itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi
manusia dengan lingkungannya.
kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Gray
(1984) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat
internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya
antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu
yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1)
keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak
karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti
berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan
yang dituju oleh perilaku tersebut.
2.5.2. Teori Motivasi
Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya :
1. Teori Penguatan
Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa
penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat
perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan
faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu
respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995).
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan
bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif
tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa.
hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk
tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan.
Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan,
pengaruh rekan kerja dan sejenisnya (Siagian, 1995).
Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar
dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat
menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten
dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus
berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari
keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta
sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan
memberikan solusi dengan baik.
2. Teori X dan Y McGregor
Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang
lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta
menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka
kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan
diperlakukan dengan sanksi hukuman (Winardi, 2001).
Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya
1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih
menyukai diarahkan atau diperintah.
2. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah.
3. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.
4. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan.
Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor
memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini
menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya,
tidak seperti yang diduga oleh teori X (Thoha, 2008).
2.6. Penelitian- Penelitian Sebelumnya
Berdasarkan hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan
Kota Medan Tahun 2009, ditemukan bahwa pengetahuan dan peran PMO
berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Menurut hasil
penelitiannya, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang
penyakit TB Paru dan yang menjadi PMO seluruhnya adalah keluarga sehingga lebih
memerhatikan kesehatan responden.
Penelitian Eliska (2005), menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang
bermakna antara pekerjaan dan faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat
kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima respoden
Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota
Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat
penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada
tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas
pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak
antara rumah pasien ke puskesmas.
2.7. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep
penelitian ini adalah :
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Motivasi
• Dukungan Keluarga
• Peran PMO
• Dorongan Petugas
• Rasa Tanggung jawab
Karakteristik Individu • Umur
• Jenis kelamin
• Status perkawinan
• Pekerjaan
• Pengetahuan
Definisi Konsep :
1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru
yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin,
status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan.
2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang
berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di
luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru,
meliputi : dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung
jawab.
3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam
menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2
bulan dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah :
1. Ada pengaruh karakteristik penderita TB Paru (umur, jenis kelamin, status
perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) terhadap kepatuhan berobat di BP4
Medan.
2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga, peran PMO,
dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap kepatuhan berobat di BP4
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei dengan tipe explanatory
research, yaitu untuk mengetahui pengaruh karakteristik dan motivasi penderita TB
Paru terhadap kepatuhan berobat penderita di BP4 Medan tahun 2009 dengan
pengujian hipotesa (Singarimbun, 2006).
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 di Balai Pengobatan
Penyakit Paru-Paru Medan di Jalan Asrama No.18 Medan. Pemilihan lokasi ini
dengan pertimbangan angka kesembuhan belum mencapai target yang ditetapkan
pemerintah yaitu minimal 85% dan BP4 Medan merupakan Unit Pelaksana Teknis
yang bergerak di bidang kesehatan paru dalam lingkungan Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara.
3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif
baru (bukan kambuhan) yang telah melewati tahap pengobatan intensif (2 bulan)
dalam program penanggulangan TB Paru di BP4 Medan pada bulan September
dan 34 pasien di bulan Desember. Mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki
oleh peneliti baik berupa tenaga, waktu, maupun biaya, maka peneliti menetapkan
populasi penelitian yang berasal dari Kota Madya Medan saja.
3.3.2. Sampel
Menurut Notoatmodjo (2002) bila populasi lebih kecil dari 10.000 maka
pengambilan sampel dapat menggunakan formula sebagai berikut :
N n =
1 + N (d2)
Dimana : N = jumlah populasi (147 orang)
d = derajat kesalahan (0,1)
n = jumlah sampel
sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak :
147 n =
1 + 147 (0,1)2
= 59,5 orang = 60 orang.
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang yang terdiri dari 18 orang
pasien di bulan September, 17 orang pasien di bulan Oktober 11 pasien di bulan
Nopember dan 14 orang pasien di bulan Desember. Teknik pengambilan sampel yaitu
dengan cara Simple Random Sampling.
3.4. Metode Pengumpulan Data
1. Data primer : diperoleh dengan wawancara langsung dengan penderita TB Paru
yang berpedoman pada kuesioner yang telah ditetapkan.
2. Data sekunder : diperoleh dari laporan pelaksanaan penanggulangan TB Paru di
BP4 Medan.
3.5. Definisi Operasional
1. Umur adalah usia responden dilihat dari ulang tahunnya yang terakhir yang
dibedakan berdasarkan tingkat kedewasaan menurut Hurlock (Anonimous, 2009)
menjadi usia dewasa awal yaitu di bawah 40 tahun, usia dewasa madya yaitu
40-60 tahun dan usia dewasa akhir yaitu diatas 40-60 tahun.
2. Jenis Kelamin adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya
dari laki-laki dan perempuan.
3. Status perkawinan adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan
identitasnya dari kawin, belum kawin dan cerai mati/hidup.
4. Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilaksanakan oleh responden sebagai
sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup, yang dibedakan atas PNS,
Pegawai Swasta, Wiraswasta, Pekerja Tidak Tetap, Tidak Bekerja/Ibu Rumah
Tangga, Pensiunan, Buruh/Tukang Bangunan dan lain-lain.
5. Pengetahuan adalah hal–hal yang diketahui responden mengenai penyakit TB
Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :
a. Baik, apabila respoden sudah mengetahui tentang hal-hal mengenai penyakit
b. Sedang, apabila responden belum begitu mengetahui tentang hal-hal mengenai
penyakit TB Paru.
c. Buruk, apabila responden tidak mengetahui tentang hal-hal mengenai penyakit
TB Paru.
6. Pengawasan PMO adalah penilaian responden tentang peran yang dilakukan oleh
seorang PMO dalam mengawasi responden agar mau berobat teratur, dibedakan
menjadi 3 kategori :
a. Baik, bila peran yang dilakukan PMO sangat baik dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya mengawasi penderita TB Paru.
b. Sedang, bila peran yang dilakukan PMO kurang baik dalam menjalankan
tugas dan tanggungjawabnya kepada penderita TB Paru.
c. Buruk, bila peran yang dilakukan PMO tidak baik dalam menjalankan tugas
dan tanggungjawabnya kepada penderita TB Paru.
7. Dukungan keluarga adalah penilaian responden tentang partisipasi dan dorongan
keluarga dalam membantu pemulihan penyakit TB Paru, dibedakan menjadi 3
kategori :
a. Baik, bila partisipasi dan dorongan keluarga sangat baik terhadap penderita
TB Paru.
b. Sedang, bila partisipasi dan dorongan keluarga kurang baik terhadap penderita
TB Paru.
c. Buruk, bila partisipasi dan dorongan keluarga tidak baik terhadap penderita
8. Dorongan petugas adalah persepsi responden terhadap tindakan petugas dalam
memberikan dorongan dan pengetahuan kepada responden selama pengobatan TB
Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :
a. Baik, bila persepsi penderita TB Paru sangat positif terhadap tindakan petugas
dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.
b. Sedang, bila persepsi penderita TB Paru positif terhadap tindakan petugas
dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.
c. Buruk, bila persepsi penderita TB Paru negatif terhadap tindakan petugas
dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.
9. Rasa tanggung jawab adalah rasa keterpanggilan dan tuntutan dalam diri
responden untuk sembuh dari penyakitnya demi menjaga kesehatan keluarganya
agar tidak tertular penyakit TB Paru.
a. Baik, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya
dengan menjalani pengobatan sudah tinggi.
b. Sedang, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya
dengan menjalani pengobatan masih rendah.
c. Buruk, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya
dengan menjalani pengobatan sangat rendah.
10.Kepatuhan berobat adalah ketaatan responden dalam menelan obat setiap hari
selama tahap intensif, melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah
ditentukan dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan. Dibedakan menjadi
a. Baik, bila responden patuh dalam menelan obat setiap hari selama tahap
intensif, melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan
dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.
b. Tidak baik, bila responden tidak patuh dalam menelan obat, tidak
memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak menaati
segala nasehat dari petugas kesehatan.
3.6. Aspek Pengukuran
3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
Variabel bebas terdiri dari karakteristik individu (meliputi : umur, jenis
kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB
Paru (meliputi : pengawasan PMO, dukungan keluarga,dorongan petugas dan rasa
tanggung jawab). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut :
Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas
No Variabel
Tabel 3.1 (Lanjutan)
3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat
Variabel terikat adalah kepatuhan berobat penderita TB paru. Secara rinci
Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat
3.7. Teknik Analisa Data
Teknik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi
linier berganda yaitu untuk membuktikan pengaruh antara karakteristik penderita TB
paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan
motivasi penderita TB Paru (meliput i : pengawasan PMO, dukungan keluarga,
dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan 4.1.1. Data Geografis
Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan terletak di Jalan Asrama
No.18 Kecamatan Medan Helvetia. BP4 Medan didirikan di tanah seluas sekitar
2.016 m2 dengan luas bangunan sebesar lebih kurang 1600,5 m2. BP4 Medan ini
didirikan pada tahun 1973 yang diresmikan oleh Yayasan SCTV (Stiching Centrale
Verceniging tot bestryding deer Tuberculosis bestanding) sebagai sebuah Consultatie
bureau dan klinik paru (Koningin Emma Kliniek). Pada masa itu BP4 berlokasi di Jl.
Perintis Kemerdekaan No.41 Medan dengan ruang perawatan berkapasitas 150
tempat tidur dan berdiri di atas tanah seluas 26.857 m2 sebelum dipindahkan karena
adanya pengembangan kota ke lokasi sekarang.
4.1.2. Ketenagaan (SDM) di BP4 Medan
Sumber daya manusia yang bekerja di BP4 Medan secara garis besarnya
dibedakan antara tenaga teknis dan tenaga administrasi. Tenaga teknis adalah tenaga
yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan, sedangkan tenaga
administrasi merupakan tenaga yang melaksanakan kegiatan non medis untuk
Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Kesehatan Di BP4 Medan Tahun 2007
No Jenis Tenaga Jumlah
1 Medis
• Dokter Spesialis Paru
• Dokter Umum
2 6 2 Keperawatan
• SPK 3 Keteknisan Medis
• Penata Rontgen (APRO)
• Analisis Lab/Pranata Lab
• Teknik Elektro Medik (ATEM)
• Tenaga Kefarmasian : - Apoteker
- Asisten Apoteker
• Tenaga Gizi/Nutritionist
5
4 Tenaga Kesehatan Masyarakat
• Sanitarian Kesehatan (AKL) 1
5 Tenaga Non Medis
Sumber : Profil BP4 Medan Tahun 2008
4.1.3. Kegiatan Pelayanan Medis Di BP4 Medan
Kegiatan pelayanan medis di BP4 Medan meliputi kegiatan rawat jalan,
upaya pelayanan gawat darurat paru (UGD)/one day care gawat darurat paru, asuhan
keperawatan, rehabilitasi dan fisioterapi, upaya pelayanan penunjang medik
diagnostik dan pelayanan penunjang lain. Berikut akan dijelaskan di antaranya yaitu :
1. Rawat jalan
a. Melakukan pemeriksaan dan pengobatan spesialistik pada paru-paru (infeksi
dan non infeksi) dalam berbagai bentuknya. Fasilitas pelayanan terdiri dari
beberapa poliklinik yaitu :
• Poli konsultan
• Poli infeksi TB (DOTS)
• Poli infeksi Non TB
• Poli asma
• Poli PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
• Poli konsultan kesehatan paru dan gizi
• Poli anak
• Poli pleura
• Klinik berhenti merokok (dalam persiapan)
• Klinik VCT HIV/AIDS (dalam persiapan)
b. Upaya tindakan medik terapi spesialistik pada penyakit paru dan saluran
nafas, terdiri dari : nebulizer, punctie pleura, water sealed drainage dan
pleurodesis.
c. Pelayanan rehabilitasi medis dan fisioterapi
Pelayanan ini masih belum dapat berjalan saat ini karena terkendala SDM dan
sarana pelayanan yang belum tersedia.
d. Melakukan penanganan lanjut terhadap rujukan dari sarana kesehatan
pemerintah dan timbal balik dari sarana pelayanan kesehatan lainnya baik