• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Kadar Gamma Glutamyltransferase Dan Kecepatan Hantaran Saraf Pada Penderita Neuropati Diabetik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hubungan Kadar Gamma Glutamyltransferase Dan Kecepatan Hantaran Saraf Pada Penderita Neuropati Diabetik"

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KADAR GAMMA GLUTAMYLTRANSFERASE DAN

KECEPATAN HANTARAN SARAF PADA

PENDERITA NEUROPATI DIABETIK

TESIS

OLEH

MINAR MUSHARI

Nomor Register CHS : 18795

PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUBUNGAN KADAR GAMMA GLUTAMYLTRANSFERASE DAN

KECEPATAN HANTARAN SARAF PADA

PENDERITA NEUROPATI DIABETIK

TESIS

Untuk memperoleh Spesialisasi

dalam Program Studi Ilmu Penyakit Saraf

pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

OLEH

MINAR MUSHARI

Nomor Register CHS : 18795

PROGAM STUDI ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN USU

RSUP.H.ADAM MALIK

MEDAN

(3)

DAFTAR ISI

HAL

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

ABSTRAK ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1. Latar Belakang ... 1

2. Perumusan Masalah ... 7

3. Tujuan Penelitian ... 7

4. Hipotesis ... 8

5. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

1. Definisi …………. ... 9

2. Epidemiologi ...... 9

3. Klasifikasi … ..… ... 10

(4)

5. Gejala Klinis ………. 19

6. Diagnosis ………. 19

7. Gamma Glutamyltransferase ………….. 20

8. Elektromiografi ………. 21

9. Kecepatan Hantaran Saraf ……… 22

10. Kerangka Teori ……… 25

11. Kerangka Konsep ………... 26

BAB III METODE PENELITIAN ... 27

1. Tempat dan Waktu ... 27

2. Subjek Penelitian ... 27

3. Kriteria Inklusi ... 28

4. Kriteria Eksklusi ... 28

5. Batasan Operasional ... 29

6. Instrumen Penelitian ... 30

7. Rancangan Penelitian ... 31

8. Pelaksanaan Penelitian ... 31

9. Kerangka Operasional ... 32

10. Analisa Statistik ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

1. Hasil Penelitian ... 34

1.1. Karakteristik Subjek Penelitian ... 34

(5)

Kelamin ... 37

4.Hubungan antara usia dengan KHS ... 38

5. Hubungan antara lama menderita DM dengan KHS ... 38

6. Hubungan antara KGD N dengan KHS ... 38

7. Hubungan antara KGD 2PP dengan KHS ... 38

8. Hubungan antara HbA1c dengan KHS ... 38

9. Hubungan SGOT dengan KHS ... 39

10. Hubungan SGPT dengan KHS ... 39

11. Hubungan rerata nilai IMT dengan KHS ... 39

12. Hubungan rerata nilai GGT dengan rerata KGD N 39 13. Hubungan rerata nilai GGT dengan KGD 2PP 39 14. Hubungan rerata nilai GGT dengan HbA1c ... 40

15. Hubungan rerata nilai GGT dengan KHS ... 40

2. Pembahasan ... 42

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

(6)

Daftar Singkatan

ADM : abductor digiti minimi

AFH : above Fibular Head

AG : above ulnar groove;

AGEs : Advance Glycosilation end products

AH : abductor hallucis

ALT : alanine aminotransferase

APB : abductor policis brevis

AST : aspartate aminotransferase

BFH : below fibular head

BG : Below ulnar Groove

BMI : Body Mass Index

CGRP : Calcitonin-Gen-Regulated-peptide

cAFT : Cardiovascular Autonomic Funcion Test

CVD : Cardiovascular Disease

D M : Diabetes mellitus

DPN : Distal Peripheral Neuropathy

(7)

EIP : extensor indicis proprius

E M G : Elektromiografi

ESRD : End-Stage Renal Disease

FPG : Fasting plasma glucosa

GFR : Glomerular Filtration Rate

GGT : Gamma glutamyltransferase

HDL : High Density Lipoprotein

KGD : kadar Gula Darah

KHS : Kecepatan Hantaran Saraf

LDL : Low density Lipoprotein

N C V : Nerve Conduction Velocity

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phospat Hydrolase

NGF : nerve Growth Factor

NOS : Nitric Oxyde synthase

NO : Nitric Oxyde

NMDA : N-methyl—aspartate

PARP : Poly adenosine diposphate (ADP)-Ribose Polymerase

PERKENI : Pekumpulan Endokrinologi Indonesia

(8)

PKC : Protein Kinase C

QST : Quantitative sensory Testing

ROS : Reactive Oxygen Species

SG : spiral groove

TA : tibialis anterior

(9)

Daftar Tabel

halaman

Tabel.1Klasifikasi Neuropati Diabetik ... 10

Tabel.2 Abnormalitas dalam patogenesis neuropati diabetik. 18

Tabel 3.Gejala Khas Neuropati Diabetik ... 19

Tabel 4. KHS Normal orang dewasa 16-65 tahun ... 23

Tabel 5. Karakteristik Hasil Penelitian ... 36

Tabel 6. Rerata Nilai KHS Motorik Berdasarkan Jenis

Kelamin ... 37

Tabel 7. Rerata Nilai KHS Sensorik Berdasarkan Jenis

(10)

Daftar Gambar

Gambar.1 Mekanisme Hiperglikemi di dalam sel... 17

Gambar 2. Siklus Gamma Glutamyltransferase ... 21

Gambar 3. Grafik Hubungan Kadar GGT dengan KHS Motorik 41

(11)

ABSTRAK

Latarbelakang : Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang sering dari Diabetes Mellitus (DM). Patofisiologi dari neuropati diabetik terdiri dari beberapa faktor yaitu metabolik, vaskular, stres oksidatif dan neurohormonal growth factor dan studi terbaru menduga serum gamma-glutamyltransferase (GGT) sebagai marker awal stres oksidatif.

Metode : Kami memeriksa 24 penderita neuropati diabetik yang didiagnosa berdasrkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologi serta memeriksa kecepatan hantran saraf. Kami mengevaluasi hubungan kadar GGT dengan kecepatan hantaran saraf.

Hasil : dari total 14 wanita dan 10 pria ditemukan; rerata usia 57,48 ± 9,41 tahun, rerata lama menderita diabetes 8,39 ± 3,702 tahun, rerata kadar GGT 39,17 ± 14,73 UI/L, rerata nilai KHS motorik 39,07 ± 9,45 m/s dan rerata nilai KHS sensorik 33,30 ± 8,66 m/s.

Kesimpulan : Studi ini menunjukkan kadar GGT mempunyai korelasi negative dengan KHS sensorik dan motorik.

(12)

ABSTRACT

Background : Diabetic neuropathy is one of the common complication of diabetes mellitus (DM). The pathophysiology of diabetic neuropathy includes several factors such

as metabolic, vascular, oxidative stress and neurohormonal growth factor deficiency and

recent studies have suggested the use of serum gamma-glutamyltransferase (GGT) as an

early marker of oxidative stress.

Methods : We assessed 24 patient with diabetic neuropathy were diagnosed by anamnesa, physical examination and neurological examination including nerve

conduction velocities. We evaluated the association between serum GGt and nerve

conduction velocities.

Results: A total of 14 women and 10 men were studied; mean age was 57,48 ± 9,41years, mean duration of diabetes was 8,39 ± 3,702 years, mean GGT was 39,17 ±

14,73 UI/L, mean motoric NCV was 39,07 ± 9,45 m/s and mean sensoric NCV was 33,30

± 8,66 m/s.

Conclusion : This study show that levels of serum GGT have inverse correlation with motoric and sensoric nerve conduction velocities.

(13)

ABSTRAK

Latarbelakang : Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi yang sering dari Diabetes Mellitus (DM). Patofisiologi dari neuropati diabetik terdiri dari beberapa faktor yaitu metabolik, vaskular, stres oksidatif dan neurohormonal growth factor dan studi terbaru menduga serum gamma-glutamyltransferase (GGT) sebagai marker awal stres oksidatif.

Metode : Kami memeriksa 24 penderita neuropati diabetik yang didiagnosa berdasrkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan neurologi serta memeriksa kecepatan hantran saraf. Kami mengevaluasi hubungan kadar GGT dengan kecepatan hantaran saraf.

Hasil : dari total 14 wanita dan 10 pria ditemukan; rerata usia 57,48 ± 9,41 tahun, rerata lama menderita diabetes 8,39 ± 3,702 tahun, rerata kadar GGT 39,17 ± 14,73 UI/L, rerata nilai KHS motorik 39,07 ± 9,45 m/s dan rerata nilai KHS sensorik 33,30 ± 8,66 m/s.

Kesimpulan : Studi ini menunjukkan kadar GGT mempunyai korelasi negative dengan KHS sensorik dan motorik.

(14)

ABSTRACT

Background : Diabetic neuropathy is one of the common complication of diabetes mellitus (DM). The pathophysiology of diabetic neuropathy includes several factors such

as metabolic, vascular, oxidative stress and neurohormonal growth factor deficiency and

recent studies have suggested the use of serum gamma-glutamyltransferase (GGT) as an

early marker of oxidative stress.

Methods : We assessed 24 patient with diabetic neuropathy were diagnosed by anamnesa, physical examination and neurological examination including nerve

conduction velocities. We evaluated the association between serum GGt and nerve

conduction velocities.

Results: A total of 14 women and 10 men were studied; mean age was 57,48 ± 9,41years, mean duration of diabetes was 8,39 ± 3,702 years, mean GGT was 39,17 ±

14,73 UI/L, mean motoric NCV was 39,07 ± 9,45 m/s and mean sensoric NCV was 33,30

± 8,66 m/s.

Conclusion : This study show that levels of serum GGT have inverse correlation with motoric and sensoric nerve conduction velocities.

(15)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit gangguan metabolik

yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah melebihi normal. Terdapat

beberapa tipe diabetes yang diketahui dan umumnya disebabkan oleh suatu

interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Bila

hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun

komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati.

Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end-stage renal disease

(ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adultblindness. Dengan

peningkatan insiden di dunia, maka DM akan menjadi penyebab utama angka

morbiditas dan mortalitas dimasa yang akan datang. (Harrison, 2005)

Jumlah penderita Diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami

peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life

expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola

hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes

mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita

semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan. (Wild, 2004)

Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi

Diabetes mellitus sebesar 1,5 – 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun,

bahkan di daerah urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar

7,2%. Prevalensi tersebut meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju,

(16)

serius. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk

Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar 133 juta jiwa, maka pada tahun

2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban sejumlah 8,2 juta dan di

daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola pertambahan

penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk yang

berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita sejumlah 12 juta di

daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural. (PERKENI, 2006)

Penderita Diabetes Mellitus dibandingkan dengan penderita non Diabetes

Mellitus mempunyai kecenderungan 2 kali lebih mudah mengalami trombosis

serebral, 25 kali terjadi buta, 2 kali terjadi penyakit jantung koroner, 17 kali terjadi

gagal ginjal kronik, dan 50 kali menderita ulkus diabetika. Komplikasi menahun

Diabetes mellitus di Indonesia terdiri atas neuropati 60%, penyakit jantung koroner

20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati 10%, dan nefropati 7,1%. (Tjokroprawiro,

2006)

Neuropati merupakan komplikasi diabetes yang klasik. Komplikasi neurologis

dari diabetes seringkali melibatkan saraf perifer. Polineuropati distal merupakan

neuropati diabetik yang paling sering yang bermanifestasi progresif lambat,

simetris dengan pola glove and stocking. (Howard dkk., 2004).

Kira-kira lima belas persen pasien dengan diabetes mellitus mempunyai

tanda dan gejala neuropati, hampir 50% juga mempunyai gejala nyeri neuropatik

dan gangguan hantaran saraf. Neuropati paling sering dijumpai pada penderita

diabetes yang berumur lebih dari 50 tahun, jarang dijumpai pada usia dibawah 30

(17)

Neuropati diabetik disebabkan oleh berbagi mekanisme yang dipicu oleh

tingginya kadar glukosa darah (hiperglikemi). Akibatnya, neuropati dapat

menunjukkan berbagai macam gejala yang berbeda, bergantung mekanisme yang

terlibat. Salah satunya yaitu, hiperglikemi mengganggu metabolisme saraf yang

mengakibatkan distal neuropati. Efek lain yaitu, inflamasi dari pembuluh darah

kecil (mikrovaskulitis atau vaskulopati) yang mengganggu aliran darah ke saraf.

Mekanisme ini dapat mengenai satu saraf saja yang disebut fokal neuropati, atau

multiple yang disebut multifokal neuropati. ( Latov, 2007)

Neuropati merupakan komplikasi utama dari diabetes yang mengakibatkan

tingginya angka morbiditas. Prevalensi pasti tidak diketahui dan dilaporkan

bervariasi mulai dari 10% hingga 90% pada pasien diabetes bergantung kepada

kriteria dan metode yang digunakan. Hubungan yang kuat antara hipergikemi dan

perkembangan dari neuropati dilaporkan pada banyak studi. (Fazan dkk., 2010).

Deteksi dini neuropati diabetik sangat penting pada pasien dengan diabetes

karena pencegahan bisa menurunkan morbiditas dan mortalitas, tetapi tidak ada

gold standard untuk mendiagnosa polineuropati. San Antonio konsensus

merekomendasikan paling kurang memenuhi satu dari lima kategori yang diukur

yaitu, simptom skor, pemeriksaan fisik skor, quantitative sensory testing (QST)

cardiovascular autonomic function (cAFT) dan elektrodiagnostik. (Jan-Willem dkk,

2003)

Patofisiologi neuropati diabetik melibatkan banyak faktor seperti metabolik,

vaskuler, autoimmune, oxidative stress dan neurohormonal growth factor

(18)

metabolik sindrom dan penyakit neurodegenerative, serum gamma-glutamyl

transferase (GGT) merupakan marker awal oxidative stress. ( Andre dkk, 2007).

Oxidative stress memegang peranan penting pada etiologi dan pathogenesis

diabetes. Mereka menginvestigasi perubahan produksi reactive oxygen spesies

(ROS) pada mitokondria dan sistem pertahanan antioksidan di mitokondria.

Hiperglikemi, auto-oxidation dari glycated protein, peningkatan produksi reactive

oxygen spesies (ROS), penurunan antioxidant defense, peningkatan lipid

perooxidation dan membrane degenerasi merupakan penyebab utama dari

apoptosis atau nekrosis, yang umumnya terdapat pada diabetes. (Raza, dkk.

2004)

Lee, dkk. (2004) meneliti peranan serum gamma glutamyltransferase (GGT)

sebagai prediktor dalam pathogenesis diabetes, serta hubungan GGT dan

obesitas pada perkembangan diabetes tipe 2 pria dan wanita. Mereka

menyimpulkan bahwa kadar serum GGT sebagai prediktor kuat untuk diabetes,

baik pada pria maupun wanita, dan menduga bahwa GGT berperan dalam

patogenesis diabetes sebagi oxidative stress.

Lee, dkk (2003) melakukan penelitian kadar GGT sebagai prediktor diabetes

dan hipertensi pada 4844 pria dan wanita kulit hitam dan putih. Mereka

menyimpulkan bahwa kadar GGT sebagi prediktor kuat untuk hipertensi dan

diabetes. Mereka menduga keterlibatan kadar GGT pada patogenesis diabetes

melalui mekanisme oxidative stress.

Andre, dkk (2007) melakukan penelitian hubungan kadar GGT dan

(19)

menyimpulkan bahwa kadar GGT merupakan prediktor diabetes tipe 2 dan

berhubungan dengan insiden metabolik sindrom.

Fraser, dkk (2003) melakukan penelitian pada 4286 wanita usia 60-79 tahun

dengan median follow-up 7,3 tahun. Mereka menyimpulkan bahwa GGT lebih baik

sebagai prediktor diabetes dibandingkan ALT.

Ford, dkk (2008) melakukan suatu studi case-cohort analysis untuk menguji

hubungan kadar GGT dan ALT dengan insiden diabetes, pada subjek usia 35-65

tahun di European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition-Postdam

Study. Sampel penelitian terdiri dari 787 partisipan dengan diabetes dan 2224

partisipan tanpa diabetes. Mereka menyimpulkan bahwa konsentrasi GGT dan

ALT signifikan sebagai prediktor insiden diabetes.

Nakanishi, dkk, (2004) melakukan penelitian hubungan antara kadar GGT

dan resiko metabolik sindrom dan diabetes tipe 2 pada pria Jepang. Mereka

menyimpulkan bahwa kadar GGT menjadi prediktor penting untuk perkembangan

metabolik sindrom dan diabetes tipe 2.

Wannamethee, dkk. (2005) melakukan penelitian hubungan antara enzim

hati, metabolik sindrom dan diabetes tipe 2. Mereka menyimpulkan bahwa

peningkatan kadar ALT dan GGT sebagai prediktor untuk insiden diabetes tipe 2.

Lee, dkk. (2004) melakukan penelitian kadar GGT, obesitas dan resiko

diabetes tipe 2, pada 20.158 pria dan wanita, dengan usia antara 25 – 64 tahun

selama 10 tahun. Mereka menyimpulkan bahwa kadar GGT sebagai prediktor

kuat untuk insiden diabetes tipe 2. Dan peranan GGT dalam patogenesis diabetes

(20)

Lee, dkk. (2006) melakukan penelitian kadar GGT sebagai prediktor

morbiditas dan mortalitas penyakit jantung pada 3451 partisipan (usia rata-rata 44

tahun, 52% wanita). Mereka menyimpulkan bahwa peningkatan kadar GGT dapat

memprediksi onset dari metabolik sindrom dan insiden penyakit kardiovaskuler.

Cho, dkk (2010) melakukan penelitian terhadap 90 orang penderita Diabetes

Mellitus tipe 2, yang meneliti hubungan antara serum GGT dan Polineuropati

Diabetik. Pada tiap penderita diberikan kuesioner yang berisi informasi lengkap

berupa usia, jenis kelamin, riwayat merokok, riwayat konsumsi alkohol, durasi DM,

riwayat hipertensi dan penyakit kardiovasular, dan gejala-gejala yang

berhubungan dengan neuropati. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan yaitu:

serum GGT,AST,ALT, glycosylated hemoglobin (HbA1c), creatinin, C-reactive

protein (CRP) dan profil lipid.

Cho, dkk (2010) memeriksa kecepatan hantaran saraf menggunakan

Synergy instrument (Oxford Medelec,Wiesbaden, Germany) pada 20- 250

Cho, dkk (2010) mendapatkan 46 penderita pria dan 44 wanita dengan usia

rata-rata 59 tahun. Rata-rata body mass index (BMI) 24,4 (kg/m

C suhu

kamar. Gambaran neuropati berdasarkan evaluasi latensi, amplitudo dan konduksi

pada kedua nervus motorik medianus, ulna, tibial posterior, dan peroneal. Nervus

sensorik pada kedua medianus, ulnaris, suralis, dan peroneal superfisialis.

2), lingkar

pinggang rata 87.8 cm. Rata-rata durasi diabetes 8,7 tahun, dengan nilai

rata-rata untuk HbA1c 8.0%, KGD puasa 8.2 mmol/L, KGD 2jam PP 12.9 mmol/L, GGT

(21)

Cho, dkk (2010) menyimpulkan bahwa, peningkatan kadar serum GGT

berhubungan dengan manifestasi klinis polineuropati diabetik pada pasien DM

tipe 2.

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah hubungan antara kadar gamma glutamyl transferase dengan

kecepatan hantaran saraf pada penderita polineuropati diabetika.

I.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1.3.1 Tujuan Umum :

Untuk mengetahui hubungan kadar gamma glutamyl transferase dengan

kecepatan hantaran saraf pada penderita polineuropati diabetik.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Mengetahui hubungan kadar gamma glutamyl transferase dengan

kecepatan hantaran saraf pada penderita neuropati diabetik di RS H.

Adam Malik Medan.

1.3.2.2 Mengetahui hubungan kadar gamma glutamyl transferase dengan KGD N,

KGD 2 jam PP, HbA1c, ALT dan AST pada penderita neuropati diabetik di

RS H.adam malik Medan.

1.3.2.3 Untuk mengetahui gambaran kecepatan hantaran saraf pada penderita

neuropati diabetik berdasarkan umur, jenis kelamin, dan lamanya

(22)

1.4. Hipotesis

Ada hubungan antara kadar Gamma Glutamyltransferase dan Kecepatan

Hantaran Saraf pada penderita neuropati diabetik.

1.5 Manfaat

1.5.1 Dengan adanya penelitian ini diharapkan didapatkan suatu gambaran

hubungan antara kadar gamma glutamyltransferase dengan kecepatan

hantaran saraf yang dapat dipakai dalam penegakan diagnosa serta

pencegahan neuropati diabetik.

1.5.2 Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai referensi penelitian

berikutnya dengan sampel yang lebih besar, waktu yang lebih lama

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Diabetes Mellitus adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin

atau kedua-duanya. (PERKENI, 2006)

Neuropati diabetik adalah adanya gejala dan atau tanda dari disfungsi saraf

penderita diabetes tanpa ada penyebab lain selain diabetes mellitus, (setelah

dilakukan eksklusi penyebab lainnya). (Boulton,2004; Syahrir, 2006)

II.2 Epidemiologi

Data epidemiologi menyatakan bahwa kira-kira 30% sampai 40% pasien

dewasa dengan diabetes tipe 2 mempunyai suatu distal peripheral neuropathy

(DPN). DPN telah dihubungkan dengan berbgai faktor resiko mencakup derajat

tingkat hiperglikemi, indeks lipid dan tekanan darah, lama dan beratnya menderita

diabetes. Angka durasi diabetes juga akan meningkat sesuai umur dan durasi

diabetes. Studi epidemiologik menunjukkan bahwa dengan tidak terkontrolnya

kadar gula maka akan mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya

neuropati, seperti halnya borok kaki dan amputasi. Suatu kenaikan kadar HbA1c

2% mempunyai resiko komplikasi neuropati sebesar 1,6 kali lipat dalam waktu 4

(24)

II.3 Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi neuropati diabetik

A: Clinical Classification of DNs

Polyneuropathy Mononeuropathy

Sensory Isolated peripheral

● Acute sensory

● Chronic sensorimotor Mononeuritis

multiplex Autonomic

● Cardiovascular Isolated peripheral ● Gastrointestinal

● Genitourinary Truncal ● Other

Proximal motor (amyotrophy) Truncal

B: Patterns of Neuropathy in Diabetes Length-dependent diabetic polyneuropathy ● Distal symmetrical sensory polyneuropathy ● Large fiber neuropathy

● Painful symmetrical polyneuropathy ● Autonomic neuropathies

Focal and multifocal neuropathies ● Cranial neuropathies

● Limb neuropathies

● Proximal DN of the lower limbs ● Truncal neuropathies

Nondiabetic neuropathies more common in diabetes ● Pressure palsies

● Acquired inflammatory demyelinating polyneuropathy

C: Classification of DN Rapidly reversible

● Hyperglycemic neuropathy

Generalized symmetrical polyneuropathies ● Sensorimotor (chronic)

● Acute sensory ● Autonomic

Focal and multifocal neuropathies ● Cranial

● Thoracolumbar radiculoneuropathy ● Focal limb

● Proximal motor (amyotrophy)

(25)

II.4 Patogenesis

Lesi pada saraf perifer akan menimbulkan enam tingkat kerusakan yaitu :

(Brushart, 2002)

a. Grade 1 (Neuropraksia)

Kerusakan yang paling ringan, terjadi blok fokal hantaran saraf, gangguan

umumnya secara fisiologis, struktur saraf baik. Karena tidak terputusnya

kontinuitas aksoplasmik sehingga tidak terjadi degenerasi wallerian.

Pemulihan komplit terjadi dalam waktu 1 – 2 bulan.

b. Grade II (aksonometsis)

Kerusakan pada akson tetapi membrana basalis (Schwann cell tube),

perineurium dan epineurium masih utuh. Terjadi degenerasi wallerian di

distal sampai lesi, diikutu dengan regenerasi aksonal yang berlangsung 1

inch per bulan. Regenerasi bisa tidak sempurna seperti pada orang tua.

c. Grade III

Seperti pada grade II ditambah dengan terputusnya membrana basalis

(Schwann cell tube). Regenerasi terjadi tetapi banyak akson akan terblok

oleh skar endoneurial. Pemulihan tidak sempurna.

d. Grade IV

Obliterasi endoneurium dan perineurium dengan skar menyebabkan

kontinuitas saraf berbagai derajat tetapi hambatan regenerasi komplit.

e. Grade V

(26)

f. Grade VI

Kombinasi dari grade II-IV dan hanya bisa didiagnosa dengan

pembedahan.

Ada tiga proses patologi dasar yang bisa terjadi pada saraf perifer yaitu :

(Adam, 2005)

a. Degenerasi Wallerian

Terjadi degenerasi sekunder pada mielin oleh karena penyakit pada

akson yang meluas ke proksimal dan distal dari tempat akson terputus.

Perbaikan membutuhkan waktu sampai tahunaan, oleh karena pertama

terjadi regenerasi kemudian baru terjadi koneksi kembali dengan otot,

organ sensoris, pembuluh darah.

b. Demielinisasi segmental

Terjadi destruksi mielin tanpa kerusakan akson, lesi primer melibatkan

sel Schwann. Demielinisasimulai daro nodus ranvier meluas tak teratur

ke segmen-segmen internodus lain. Perbaikan fungsi cepat karena tidak

terjadi kerusakan akson.

c. Degenerasi aksonal

Degenerasi pada bagian distal akson saraf perifer dan beberapa tempat

ujung akson sentral kolumna posterior medulla spinalis.

Basis patofisiologik pengembangan timbulnya periferal neuropati dari diabetes

tidaklah dipahami dengan sepenuhnya, dan berbagai hipotesis telah diajukan.

Faktor-faktor etiologik daripada diabetes neuropati diduga adalah vaskuler,

(27)

1. Faktor vaskular

Abnormalitas vaskuler yang terjadi pada pasien dengan diabetik

polineuropati meliputi penebalan membran basalis dinding pembuluh

darah, endotelial hiperplasia, disfungsi endotelial, peningkatan ekspresi

endotelin dan peningkatan kadar vascular endotelial growth factor (VEGF).

Diabetes secara selektif merusak sel, seperti endotelial sel dan mesangial

sel, dimana kecepatan pengangkutan glukosa tidak merosot dengan cepat

seperti halnya hasil peningkatan kadar gula, hal ini mendorong ke arah

penumpukan glukosa tinggi dalam sel. Berdasarkan teori ini, terjadi proses

iskemia endoneurial yang berkembang karena adanya peningkatan

endoneural vascular resistance terhadap daerah hiperglikemi. Berbagai

faktor berkenaan dengan metabolisme, termasuk pembentukan glycostatin

end product, juga telah mencakup, mendorong ke arah kerusakan kapiler,

inhibisi transpor aksonal, aktivitas Na+/K+ATPase, dan akhirnya ke

degenerasi aksonal.(Sjahrir, 2006)

2. Teori berkenaan dengan metabolisme

Ada 2 teori utama berhubungan dengan efek yang berkenaan dengan

metabolisme dari hiperglikemi kronis dan efek iskemia pada saraf periferal.

Efek hiperglikemia yang berkenaan dengan metabolisme meliputi

pembuatan potensi neurotoksin (seperti jenis oksigen reaktif dan sorbitol)

dan perubahan tingkatan enzimntraseluler dan molekul pemberian isyarat

(seperti Na+/K+ATPase, protein kinase C, dan protein mitogen-activated

(28)

2.1. The polyol pathway

Di dalam status yang normoglikemik, kebanyakan glukosa

intrasellular adalah di phosphorylated ke glucose-6-phosphate oleh

hexoginase. Hanya sebagian kecil dari glukosa masuk polyol

pathway. Dibawah kondisi-kondisi hiperglikemi, hexoginase

disaturasi, maka akan terjadi peningkatan influks glukosa ke dalam

polyol pathway aldose reductase, yang mengkatalisa pengurangan

glukosa ke sorbitol, adalah rate limiting enzim didalam pathway ini.

Aldose reductase, yang secara normal mempunyai fungsi

mengurangi aldehid beracun didalam sel ke alkohol non aktif, tetapi

ketika konsentrasi glukosa di dalam sel menjadi terlalu tinggi, aldose

reductase juga mengurangi glukosa itu ke sorbitol, yang mana

kemudian dioksidasi menjadi fruktose. Sedang dalam proses

mengurangi glukosa intraselluler tinggi ke sorbitol, aldose reductase

mengkonsumsi co-factor NAPH (nicotinamide adenin dinucleotide

phospat hydrolase). NADPH adalah juga co-factor yang penting

untuk memperbaharui suatu intraselluler critical antioxidant, dan

pengurangan glutathione. Dengan mengurangi jumlah

glutathione,polyol pathway meningkatkan kepekaan ke intracelluler

oxidative stress. Oxydative stress berperan utama didalam

patogenesis diabetik periferal neuropati. (Sjahrir, 2006)

Oxidative stress terjadi didalam sistem selluler ketika produksi

radikal bebas melebihi kemampuan antioksidan didalam sel. Jika

(29)

dan merusak protein, lipid dan asam nukleat. Hasil dari oksidasi atau

nitrosilasi dari radikal bebas akan menyebabkan penurunan aktivitas

biologik, kehilangan kemampuan metabolisme energi, transport, dan

kehilangan kemampuan fungsi utama lainnya. Akumulasi dari proses

ini akan menyebabkan sel mati melalui mekanisme apoptosis atau

nekrotik. ( Vincent dkk, 2004)

Suatu teori mengatakan bahwa gula yang berlebihan dalam sirkulasi

darah di tubuh saling berinteraksi dengan suatu enzim di dalam sel

Schwann, yang disebut aldose reductase. Aldose reductase

mengubah bentuk gula ke dalam sorbitol, yang pada gilirannya

menarik air ke dalam sel Schwann, menyebabkan sel Schwann

membengkak. Ini pada gilirannya menjepit serabut saraf,

menyebabkan kerusakan dan menimbulkan rasa nyeri. Akhirnya sel

Schwann dan serabut saraf dapat nekrosis. (Sjahrir, 2006)

2.2 Aktivasi protein kinase C pathway

Berperan dalam patogenesis diabetic peripheral neuropathy.

Hiperglikemi didalam sel meningkatkan sintesa suatu molekul yang

disebut dicylglycerol (DAG), yaitu suatu critical activating factor untuk

isoforms protein kinase-C,β,α,ð. Protein kinase C juga diaktifkan oleh

oxydative stress dan advanced glycation end product. Aktivasi

protein kinase C menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler,

gangguan sintesa nitric oxyde (NOs), dan perubahan aliran

(30)

advanced glycation end product sangat toksik dan merusak semua

protein tubuh, termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan

sorbitol, maka sintesis dan fungsi NO akan menurun, sehingga

vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf menurun, dan bersama

rendahnya mionisitol dalam sel saraf, terjadilah neuropati diabetik.

(Duby,2004)

2.3 Adenosine diphosphate (ADP)

Ada bukti bahwa poly Adenosine diphosphate (ADP)-ribose

polymerase (PARP) mempunyai suatu peran penting dalam mediator

beberapa pathway dari hyperglicemia induced damage.(Sjahrir,

2006)

2.4 The hexosamine pathway

Ketika hiperglikemia intraselluler berkembang didalam sel target dari

komplikasi diabetes, menyebabkan produksi ROS (reactive oxygen

species) mitokhondria. ROS menerobos inti DNA, yang

mengaktifkan PARP. PARP kemudian memodifikasi enzim GAPDH

(glycolytic glyceryldehyde-3 fosfat dehidrogenase), dengan demikian

mengurangi aktivitasnya. Akhirnya, pengurangan aktivitas GAPDH

akan mengaktifkan polyolpathway, meningkatkan pembentukan AGE

intraseluler (lycation and product), mengaktifkan PKC dan sesudah

(31)

Gambar. 1. Jalur utama Hiperglikemi Menyebabkan Injury Sel

. Hyperglycemia activates many signaling mechanisms in cells. Four major pathways that can lead to cell injury downstream of hyperglycemia are illustrated. 1) Excess glucose shunts to the polyol pathway that depletes cytosolic NADPH and subsequently GSH. 2) Excess glucose also undergoes autooxidation to produce AGEs that impair protein function and also activate RAGEs that useROSas second messengers. 3) PKC activation both further increases hyperglycemia and also exacerbates tissue hypoxia. 4) Overload and slowing of the electron transfer chain leads to escape of reactive intermediates to produce O2_. as well as activation of NADH oxidase that also produces O2 A unifying mechanism of injury in each case is the production of ROS that impair protein and gene function. TCA, Trichloroacetic acid; PAI-1, plasminogen activator inhibitor-1.

Dikutip dari : Vincent A.M, Russel JW, Low P, Feldman EL. 2004. Oxidative Stress in the Pathogenesis of Diabetic Neuropathy. Endocrine Reviews. 26(4):S12-S28.

3. Faktor neurotropik

Nerve growth factor diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan

pertumbuhan saraf. Pada penderita diabetes kadar NGF serum cenderung

(32)

4. Faktor immunologi

Pada penderita diabetes dijumpai adanya antineural antibodies dalam serum

yang secara langsung dapat merusak struktur saraf sensorik dan motorik

yang bisa dideteksi dengan immunoflorens indeks.

Tabel 2. Abnormalitas yang paling banyak ditemukan dalam pathogenesis neuropati diabetik sesuai dua kelompok utama

Vascular Etiology Metabolic Etiology

Hyperglycemia Hyperglycemia / Hypoinsulinemia

↑Endoneural vascular resistance Dyslipidaemia

↓Nerve blood flow (endoneural hypoxia) ↑ Aldose reductase activity (↑

polyols,↓ myo-inositol)

Endothelial dysfunction (↓prostacyclin and

nitric oxide, ↑endothelin ↓Nerve sodium-potassium ATP-ase Advanced glycation of vessel wall ↓ Rate of synthesis and transport

of intra-axonal proteins

Basement membrane thickening ↑ Glycogen accumulation

Endothelial cell swelling and pericyte ↑ Monoenzymatic peripheral nerve

protein glycosylation

Closed (collapsed) capillar ies ↓ Incorporation into myelin of glycolipids and aminoacids

Occlusive platelet thrombi Abnormal inositol lipidmethabolism

Epineural vessel atherosclerosis ↓ Nerve L-carnitine level

↑ Oxygen free radicals activity ↑ Protein kinase C activity

(33)

II.5 Gejala Klinis

Gejala bergantung pada tipe neuropati dan saraf yang terlibat. Pada

beberapa orang bisa tidak dijumpai gejala. Kesemutan, tingling atau nyeri

pada kaki sering merupakan gejala yang pertama, bisa juga nyeri dan

kesemutan. Gejala bis amelibatkan sistem saraf sensoris atau motorik

ataupun sistem saraf otonom. (Dyck, 2002)

Tabel.3. Gejala khas pada neuropati diabetik

Nonpainful Painful

Thick Prickling

Stiff Tingling

Asleep Knife-like

Prickling Electric shock-like

Tingling Squeezing

Constricting

Dikutip dari : Boulton AJM. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy. 2005. Clinical Diabetes; 23:9-15.

II.6 Diagnosis

Diagnostik neuropati ditegakkan berdasarkan adanya gejala dua atau lebih dari

empat kriteria dibawah ini : (Sjahrir,2006)

1. Kehadiran satu atau lebih gejala

2. Ketidakhadiran dua atau lebih refleks ankle atau lutut

(34)

4. Fungsi otonomik abnormal (berkurangnya heart rate variability (HRV)

dengan rasio RR kurang dari 1,04 postural hypotension dengan turunnya

tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih, atau kedua-duanya).

II.7. Penatalaksanaan

Langkah manajemen terhadap pasien adalah untuk menghentikan

progresifitas rusaknya serabut saraf dengan kontrol kadar gula darah secara baik.

Mempertahankan kontrol glukosa darah ketat, HbA1c, tekanan darah, dan lipids

dengan terapi farmakologis dan perubahan pola hidup. Komponen manajemen

diabetes lain yaitu perawatan kaki, pasien harus diajar untuk memeriksa kaki

mereka secara teratur. (Sjahrir, 2006)

II.8 Gamma glutamyltransferase

Gamma glutamyltranspeptidase (Gamma-glutamyltransferase,

gamma-glutamyl transpeptidase, γ-glutamyltransferase, GGT, GGTP, gamma-GT,) adalah

sejeniγ

S nya sertγ-glutamil keakseptor γ-glutamil seperti

Enzim ini ditemukan pada berbagai

jaringan pada permuka

digunakan sebagai salah satu parameter

Aplikasi yang paling sering digunakan adalah untuk mendiagnosa penyakit pada

2. Aktivitas paling tinggi dari GGT ditemukan pada ginjal, usus kecil, pankreas,

hati dan organ lain yang mempunyai fungsi absorbsi dan sekresi. Kadar GGT

dihubungkan dengan beberapa faktor resiko kardiovaskuler, dan ditemukan juga

(35)

hubungan yang kuat antara peningkatan kadar GGT dan insiden diabetes.

Walaupun GGT digunakan secara luas sebagai marker untuk konsumsi alkohol.

(Emdin dkk, 2001; Visvikis dkk, 2001)

Gamma glutamyltransferase memicu katabolism

pasokan sistein unt

Ekspresi GGT merupakan salah satu mekanisme

pertahanan

2005)

Gambar 2. Siklus Gamma Glutamyl

Dikutip dari : Ristoff, E., Larson, A. 2003. Gamma glutamyltranspeptidase

deficiency. Available from :

(36)

II.9 Elektromiografi

Elektromiografi adalah pemeriksaan elektrodiagnosis untuk memeriksa saraf

perifer dan otot. Prinsip kerjanya adalah merekam gelombang potensial yang

ditimbulkan baik oleh otot maupun saraf. (Poernomo, 2003)

Gelombang potensial dapat ditimbulkan dalam otot dengan memberikan

stimulus pada saraf motorik yang mengelolanya. Untuk mengukur kecepatan

hantaran saraf (KHS) motorik yaitu dengan merangsang saraf motorik pada dua

tempat disebelah proksimal dan distal. Latensi adalah waktu yang dibutuhkan

dalam menghantarkan impuls dari tempat perangsangan (stimulus) sampai ke

akson terminal dan transmisi dari akson terminal ke motor end plate, sehingga

timbul potensial aksi. Dengan memberi stimulus pada dua tempat, akan timbul

dua gelombang potensial yang masing-masing latensi distalnya berbeda. Agar

lebih akurat hasilnya, sebaiknya jarak antara 2 stimulus adalah ≥ 10 cm. KHS

motorik dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

KHS (m/det) = jarak antara ke 2 titik stimulus (mm)

Latensi distal II (proksismal) – latensi I (distal) (milidetik)

Untuk mengukur saraf sensorik dilakukan dengan memberikan stimulus

pada saraf sensorik. Aksi potensial saraf sensorik dapat direkam dengan

elektrode permukaan yang dililitkan pada jari. Pengukuran KHS sensorik adalah

dengan menghitung jarak dari stimulus tunggal sampai elektroda perekam dibagi

(37)

II.10. Kecepatan Hantaran Saraf

Merupakan tekhnik utama untuk studi fungsi saraf perifer yang melibatkan

stimulasi kulit dari saraf sensorik dan motorik. Hasil studi kecepatan hantaran

saraf sensorik dan motorik nampak sebagai amplitudo, conduction velocity, dan

distal latensi. (Adam dan Victor, 2005)

Faktor-faktor yang mempengaruhi KHS adalah :

1. Faktor fisiologis seperti temperatur, umur, tinggi badan, segmen proksismal

dibanding distal dan anomali inervasi.

2. Faktor nonfisiologis : tahanan elektrode dan interferensi 60 hz, stimulus

artefak, filter, posisi katode, stimulus supramaksimal, kostimulasi saraf yang

berdekatan, penempatan elektroda, perekaman antidromik dibandingkan

ortodromik, jarak antara elektrode aktif dan saraf yang diperiksa, jarak

elektrode aktif dengan elektrode referens, posisi ekstremitas dan pengukuran

jarak, sweep speed dan sensitivitas. (Poernomo,2003)

Tabel.4 Kecepatan Hantaran saraf normal orang dewasa 16 – 65 tahun

Motor Nerve Conduction Studies Radial Forearm Elbow,

SG

(38)

Key : AG= above ulnar groove; BG= Below ulnar groove; AFP= above fibular head; BFH= belof fibular head; SG= spiral groove; TA= tibialis anterior; EDB=extensor digital brevis; EIP= extensor indicis proprius; ADM=abductor digiti minimi; APB=abductor policis brevis; AH=abductor hallucis; PF=poplitea fossa

Dikutip dari : Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of

(39)

II. 10. Kerangka Teori

Diabetes Mellitus

Vaskuler

Metabolik Neurotropik Mekanisme Imun

Oxidative stress( GGT) Polyol pathway Protein kinase C

(40)

II.11. Kerangka Konsep

Diabetes Mellitus

Metabolik

Gamma Glutamyltransferase

Diabetik neuropati KHS

Cho(2010) peningkatan kadar GGT berdampak penting terhadap neuropati diabetik Nakanishi(2004) GGT

prediktor penting

perkembangan diabetes

Duk(2004) GGT berperan dalam patogenesis

diabetes sebagai oxidative stress

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi dan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FK-USU/RSUP H. Adam Malik Medan dari tanggal 1 Juni

2011 sampai dengan tanggal 30 Oktober 2011, atau sampai jumlah sampel

tercapai.

lll.2. Subjek Penelitian

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien rumah sakit. Penentuan

subjek penelitian menurut metode sampling non random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi sasaran

Semua penderita neuropati diabetik, lama dan baru.

III.2.2. Populasi terjangkau

Semua penderita neuropati diabetik lama dan baru yang berobat ke

Poliklinik Neurologi dan Poliklinik Penyakit Dalam RSU HAM Medan.

III.2.3. Besar sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus : (Madiyono dkk,1995)

2

n ( Zα +Zβ ) x Sd

____________ + 3 0,5 ln { (1+r) / (1-r) }

(42)

Zα = nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan. Untuk α = 0,05 maka Zα = 1,96 Z

Zβ = Nilai baku normal yang besarya tergantung pada nilai β yang ditentukan. Untuk β = 0,15 maka Zβ= 1,036

r = koefisien korelasi

n = 1,96 + 1,036

___________________ + 3

2

0,5 ln (1+0,35 / (1-0,35)

n = 26

Dibutuhkan sampel minimal sebesar 26 kasus

III.3.1 Kriteria Inklusi

1. Semua penderita nuropati diabeti yang berusia diatas 15 tahun berobat di

Departemen Neurologi dan Departemen Ilmu penyakit Dalam

RSUP.H.Adam Malik Medan.

2. Memberikan persetujuan ikut serta dalam penelitian ini.

III.3.2 Kriteria Eksklusi

1. Penderita neuropati diabetik dengan penyakit lain yang bisa menyebabkan

neuropati berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik.

2. Penderita diabetes dengan riwayat konsumsi minuman beralkohol

3. Penderita diabetes dengan riwayat atau sedang menderita penyakit hepar

4. Penderita diabetes yang sedang menderita penyakit akut.

(43)

III.4. Batasan Operasional Penelitian

1. Diabetes Mellitus adalah penyakit metabolik khas dengan hiperglikemi

akibat dari defek sekresi insulin, defek kerja insulin atau keduanya

(PERKENI,2006)

2. Hiperglikemi adalah kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl atau kadar

glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar glukosa plasma ≥ 200 mg/dl

pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 mg pada tes toleransi glukosa oral.

(PERKENI, 2006).

3. Diabetik neuropati adalah adanya gejala dan atau tanda disfungsi saraf

perifer pada orang dengan diabetes setelah dieksklusikan penyebab lain.

(Sjahrir, 2006)

4. Gamma-glutamyltransferase adalah sejeni

γγ

-glutamil keakseptor γ-glutamil sepert

pendek da

5. Nilai normal kadar gammaglutamyl transferase adalah < 50 UI/dl pada pria,

dan < 30 UI/dl pada wanita.

6. Nilai HbA1c : Baik <6,5, sedang 6,5 – 8, buruk > 8. (PERKENI, 2006)

7. Indeks Masa Tubuh adalah rasio berat badan dalam kilogram dibagi

dengan tinggi badan (centimeter) kuadrat. IMT diklasifikasikan sebagai:

kurang <18,5, normal 18,5 – 22,9, lebih > 23. (PERKENI,2006).

8. Nilai normal kadar alanin aminotransferase : < 40 U/l untuk pria, dan < 35

(44)

9. Kecepatan hantaran saraf sensoris adalah fungsi integritas ganglion

dorsalis (neuron sensoris) beserta seluruh akson sensoris. (Poernomo,

2003)

10. Nilai Normal kecepatan hantaran saraf sensoris adalah : Nervus Medianus

> 52 m/s, Nervus Ulnaris > 52 m/s, Nervus Radialis > 48 m/s, Nervus

Suralis > 42 m/s. (Adam dan Victor, 2005)

11. Kecepatan hantaran saraf motorik adalah hasil sumasi potensial

serabut-serabut otot akibat stimulasi dengan intensitas supramaksimal. (Poernomo,

2003)

12. Nilai normal kecepatan hantaran saraf motorik adalah : Nervus medianus >

49 m/s, Nervus ulnaris > 49 m/s, Nervus Radialis > 50 m/s, Nervus

Peronealis > 42 m/s dan nervus Tibialis > 41 m/s. (Adam dan Victor, 2005)

13. Distal latensi adalah waktu konduksi dari tempat stimulus yang paling distal

(diukur dalam milidetik dari mulainya artefak stimulus) ke defleksi inisial dari

compound muscle action potensial (CMAP) atau sampai ke awal defleksi

negatif suatu aksi potensial saraf (nerve action potential).

14. Instrument :

a. Untuk mendapatkan nilai KHS sensorik dan motorik diperiksa dengan

alat elektromiografi merk Medelec Vickars Medical Working Surrey, Seri

Sapphire II dengan nomor seri 971472, buatan Inggris tahun 1997.

b. Pemeriksaan kadar KGD N-2 jam PP, Gamma glutamyltransferase,

alanin aminotransferase, dan aspartate aminotransferase menggunakan

(45)

c. Pemeriksaan kadar HbA1C menggunakan alat merk Hitachi, seri

Cobas Integra 400 plus, buatan Roche tahun 2007.

d. Pemerisaan Hemoglobin menggunakan alat Sysmex XT 2000i, buatan

Roche tahun 2010.

III.5 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain potong lintang (cross sectional) dengan

sumber data primer yang diperoleh dari semua penderita neuropati diabetika yang

berobat di Departemen Neurologi dan Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUP.

H. Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi.

Pemeriksaan kadar gamma glutamyltransferase dilakukan di laboratorium Patologi

Klinik RS H.Adam Malik Medan, dan pemeriksaan kecepatan hantaran saraf

dilakukan oleh seorang neurologis di Instalasi Diagnostik Terpadu (IDT) sub

bagian Neurofisiologi RS H.Adam Malik Medan.

III.6 Pelaksanaan Penelitian

III.6.1 Pengambilan sampel

Semua penderita diabetik neuropati yang ditegakkan dengan anamnesa dan

pemeriksaan fisik yang berobat ke poliklinik neurologi dan atau poliklinik endokrin

bagian penyakit dalam yang diambil secara konsekutif yang memenuhi kriteria

inklusi dan kriteria eksklusi.

III.6.2 Variabel yang diamati

Variabel dependen : kadar gamma glutamyltransferase

(46)

III.6.2 Kerangka Operasional

Penderita Diabetes

Anamnesa

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Neurologis

Kriteria Inklusi

Diabetik Neuropati

Kriteria Eksklusi

Lab:drh rtn,HbA1c,KGD N/PP,GGT, SGOT/SGPT

Pemeriksaan KHS

Data

Analisa Data

(47)

III.6.4 Analisa Statistik

Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program

komputer windows SPSS (Statistical Product and Science Service) versi 17.

Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :

1. Analisa deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik penderita

yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, lamanya

menderita diabetes.

2. Untuk melihat perbedaan nilai KHS berdasarkan jenis kelamin digunakan

uji t-independent, sedangkan hubungan antara KHS dengan GGT, usia,

lama menderita DM, KGD N, KGD 2 jam PP, HbA1c, SGOT, SGPT dan

IMT digunakan uji korelasi Pearson.

3. Untuk melihat hubungan kadar GGT dan kadar HbA1C, KGD N-2 jam PP,

AST,ALT, menggunakan menggunakan uji korelasi Pearson.

4. Untuk melihat hubungan kadar AST dan ALT dengan KHS dianalisa

dengan menggunakan uji korelasi Pearson. data kedua kelompok tidak

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

IV.1. HASIL PENELITIAN

Pengambilan sampel dilakukan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan November

2011 di Poliklinik Neurologi dan Poliklinik Endokrin RS.H. adam Malik Medan.

Selama Periode tersebut telah terkmpul 24 sampel yang memenuhi kriteria inklusi

dan kriteria eksklusi sehingga diikutkan dalam penelitian.

IV.1.1. Karakteristik Subjek Penelitian

IV.1.1.1. Distribusi sampel menurut umur dan jenis kelamin

Dari keseluruhan responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi

dalam penelitian ini, ditemukan rentang usia antara 46 tahun sampai dengan 78

tahun. Umur rerata adalah 57,48 tahun dengan simpangan baku 9,409.

Sejumlah 24 pasien neuropati diabetik yang dianalisa dalam penelitian ini terdiri

dari 14 orang responden wanita (58,3%), dan 10 orang (41,7%) responden pria.

IV.1.1.2. Distribusi sampel menurut pendidikan, pekerjaan dan suku bangsa

Berdasarkan tingkat pendidikan, penelitian ini mendapatkan responden yang

berpendidikan SMA merupakan sebaran terbanyak yaitu 10 orang (41,7 %), diikuti

tamatan SLTP sebanyak 6 orang (25%), tamatan Akademi/Sarjana dan SD

(49)

Untuk pekerjaan responden, didapatkan pensiunan merupakan sebaran

tertinggi yaitu pensiunan PNS sebanyak 11 orang (45,8%) , wiraswasta sebanyak

6 orang (25%), dan tidak bekerja sebanyak 7 orang (29,2%).

Lamanya responden menderita diabetes yang dijumpai dalam penelitian ini

dengan sebaran terbanyak adalah 6-10 tahun sebanyak 12 orang responden

(50%), diikuti 11-15 sebanyak 6 orang (25%) dan 1-5 tahun sebanyak 5 orang

(20,8%) responden, dan > 15 tahun sebanyak 1 orang responden (4,2%). Rerata

lama menderita diabetes adalah 8,39 tahun dengan simpangan baku 3,7 tahun.

Tipe diabetes yang dijumpai dalam penelitian ini 100% merupakan diabetes tipe-2.

Berdasarkan pengelompokan obat diabetes yang diminum responden pada

penelitian ini dijumpai sebanyak 15 orang (62,5%) menggunakan obat oral, dan 9

orang (37,5%) menggunakan suntikan insulin.

Berdasarkan kadar HbA1c sebaran terbanyak yaitu 6,5 - 8 % sebanyak 10

orang responden (41,7%), < 6,5% sebanyak 9 orang (37,5%) dan > 8% sebanyak

5 orang (20,8%).

Dari Indeks Massa Tubuh (IMT) dijumpai bahwa responden dengan IMT

lebih (>23) merupakan sebaran terbanyak yaitu 19 orang, dan responden dengan

(50)

Tabel 5. Karakteristik Hasil Penelitian

(51)

IV.1.2. Nilai Kecepatan Hantaran Saraf Berdasarkan Karakteristik Penelitian

IV.1.2.1 Rerata Nilai KHS Motorik Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, rerata nilai KHS motorik pada lelaki adalah

34,49 ± 16,69 m/s sedangkan pada wanita 39,54 ± 7,70 m/s. Hasil analisa dengan

menggunakan uji T Independent menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

signifikan rerata nilai KHS Motorik berdasarkan jenis kelamin (p=0,328).

Tabel 6.Rerata Nilai KHS Motorik Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Rerata nilai KHS Motorik p

Laki-laki 34,49 ± 16,69 m/s 0,328

Perempuan 39,54 ± 7,70 m/s

Keterangan : Independent t-test, p < 0,05

IV.1.2.2 Rerata Nilai KHS Sensorik Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, rerata nilai KHS sensorik pada lelaki adalah

26,51 ± 12,22 sedangkan pada wanita 35,77 ± 8,18. Hasil analisa dengan

menggunakan uji T Independent menunjukkan terdapat perbedaan yang

signifikan rerata nilai KHS sensorik berdasarkan jenis kelamin (p=0,036).

Tabel 7. Rerata Nilai KHS Motorik Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Rerata nilai KHS Sensorik p

Laki-laki 26,51 ± 12,22 m/s 0,036

Perempuan 35,77 ± 8,18 m/s

(52)

IV.1.2.3. Hubungan antara usia dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara usia dengan kecepatan hantaran saraf

motorik (p= 0,773) dan sensorik (p=0,75) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson.

IV.1.2.4. Hubungan antara lama menderita diabetes dengan KHS

Tidak dijumpai hubungan antara lama menderita diabetes dengan kecepatan

hantaran saraf motorik (p=0,565) dan sensorik (p=0,826) dengan menggunakan

uji korelasi Pearson.

IV.1.2.5. Hubungan antara KGD N dengan kecepatan Hantaran Saraf

Tidak dijumpai hubungan bermakna antara rerata nilai KGD N dengan

kecepatan hantaran saraf motorik (r = 0,464, p=0.126), dan tidak dijumpai

hubungan yang bermakna antara rerata KGD N dengan KHS sensorik (p = 0,741)

dengan menggunakan uji korelasi Pearson.

IV.1.2.6. Hubungan antara KGD 2 jam PP dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara rerata nilai KGD 2 jam PP dengan nilai KHS

motorik (r = 0,213, p = 0,330) dan nilai KHS sensorik (r = 0,194, p = 0,879)

dengan menggunakan uji korelasi Pearson.

IV. 1.2.7. Hubungan antara nilai HbA1c dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara rerata nilai HbA1c dengan nilai KHS

motorik (p = 0,330) dan nilai KHS sensorik (p = 0,879) dengan menggunakan uji

(53)

IV.1.2.8. Hubungan antara SGOT dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara rerata nilai SGOT dengan nilai KHS motorik

(p = 0,620) dan nilai KHS sensorik (p = 0,460) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson.

IV.1.2.9. Hubungan antara SGPT dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara rerata nilai SGPT dengan nilai KHS motorik

(p = 0,115) dan nilai KHS sensorik (p = 0,964) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson.

IV.1.2.10. Hubungan antara rerata Nilai IMT dengan kecepatan hantaran saraf

Tidak dijumpai hubungan antara rerata nilai IMT dengan nilai KHS motorik (p

= 0,060) dan nilai KHS sensorik (p = 0,436) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson.

IV.1.3. Nilai Gamma Glutamyltransferase (GGT) berdasarkan Karakteristik

Klinis

IV.1.3.1. Hubungan antara rerata nilai GGT dengan rerata nilai KGD N

Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara rerata nilai GGT dengan

nilai KGD N (p = 0,073) dengan menggunakan uji korelasi Pearson.

IV.1.3.2. Hubungan antara rerata nilai GGT dengan rerata nilai KGD 2 jam PP

Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara rerata nilai GGT dengan

(54)

IV.1.3.3 Hubungan antara rerata nilai GGT dengan rerata nilai HbA1c

Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara rerata nilai GGT dengan

nilai HbA1c (p = 0,084) dengan menggunakan uji korelasi Pearson.

IV.1.3.4. Hubungan antara rerata nilai GGT dengan rerata nilai SGOT dan

SGPT

Tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara rerata nilai GGT dengan

nilai SGOT (p = 0,961), dan SGPT (p = 0,229) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson.

IV.1.3.5. Hubungan antara rerata nilai GGT dengan rerata nilai Kecepatan

Hantaran Saraf

Terdapat korelasi negatif bermakna antara rerata nilai GGT dengan rerata

nilai KHS Motorik (r = - 0.915, p = 0,0001) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson, berarti terdapat hubungan terbalik yang signifikan antara kadar GGT

dengan kecepatan hantaran saraf motorik.

Terdapat korelasi negatif bermakna antara rerata nilai GGT dengan rerata

nilai KHS sensorik (r = - 0.619, p = 0,002) dengan menggunakan uji korelasi

Pearson, berarti terdapat hubungan terbalik yang signifikan antara kadar GGT

(55)

Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Kadar GGT dengan KHS Motorik

Gambar 4. Grafik Hubungan Antara Kadar GGT dengan KHS Sensorik

(56)

IV.2. Pembahasan

Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan tujuan untuk

melihat hubungan antara kadar Gamma Glutamyltransferase dengan kecepatan

hantaran saraf pada penderita neuropati diabetik.

Pada penelitian ini pasien dilakukan anamnese, pemeriksaan fisik dan

neurologis, untuk penegakan diagnosa neuropati diabetik. Bagi pasien yang

memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

kecepatan hantaran saraf.

IV.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian

Pada penelitian ini subjek penelitian adalah sebanyak 24 orang, dimana

dijumpai lebih banyak wanita dibandingkan pria, yaitu 58,3% (n=14) wanita dan

41,7 % (n=10) pria, Studi dari Cho H,2010 terdapat 90 subjek, dengan pria lebih

banyak dari wanita, yaitu 51,1 % (n=46) pria dan wanita sebanyak 48,9 % (n=44).

Studi dari Charles dkk, 2010, terdapat 52% pria dan 48% wanita dengan jumlah

keseluruhan subjek penelitian 1886 orang. Studi dari Tesfaye dkk, 2007,

mendapatkan 147 responden wanita (56,1%) dan 115 orang responden pria

(43,9%).

Rerata usia subjek pada penelitian ini adalah 57,48 ± 9,41 tahun dengan

rentang usia 46 – 78 tahun. Studi dari Cho H, 2010 rerata usia subjek adalah 59 ±

12 tahun dengan rentang usia 33 - 84 tahun, sedangkan studi dari Charles dkk,

2010, rentang usia 26,2 – 58,3 tahun, dengan median 38,6 tahun, dan studi dari

(57)

Pada penelitian ini, rerata lama menderita diabetes 8,39 ± 3,702 tahun, hal

ini berbeda dengan yang dilaporkan Cho H, 2010, rerata lama menderita diabetes

8,7 ± 6,9 tahun, juga berbeda dengan yang dilaporkan oleh Elliot dkk, 2009, rerata

lama menderita diabetes 14,7 ± 9,3 tahun, dan Meijer dkk, 2003, melaporkan

rerata lama menderita diabetes 16,9 ± 12 tahun, serta Charles dkk, 2010

mendapatkan median lama menderita diabetes 20,5 tahun dengan range (9,7 –

39,1 ).

Pada penelitian ini dijumpai KGD N yaitu 164,3 ± 32,86 mg/dl, dan nilai

rerata KGD 2 jam PP yaitu 221,61 ± 55,89 sedangkan pada penelitian Cho, 2010,

didapatkan nilai rerata KGD N yaitu 8,2 ± 2,5 mmol/L dan KGD 2 jam PP yaitu

12,9 ± 4,9 mmol/L. Pada penelitian ini juga didapatkan tidak ada hubungan yang

bermakna antara KGD N dan KGD 2 jam PP dengan kadar GGT, namun hal ini

berbeda dengan hasil penelitian Cho H, 2010, dimana didapatkan bahwa KGD 2

jam PP berhubungan dengan kadar GGT, namun KGD N tidak berhubungan

dengan kadar GGT.

Rerata kadar HbA1c yang didapatkan pada penelitian ini yaitu 7,02 ±125 %,

sedangkan pada penelitian Cho h, 2010, dijumpai rerata nilai HbA1c 8,0 ± 2,1%.

Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan nilai HbA1c dengan kadar GGT dan

KHS, juga pada penelitian Cho,2010. Namun, pada penelitian Charles M dkk,

2010, dijumpai median nilai HbA1c yaitu 8,34 dengan range 6,4 sampai 11,3,

namun dijumpai hubungan yang bermakna antara kadar HbA1c dengan KHS.

Penelitian Tesfaye dkk, 2007, mendapatkan rerata nilai HbA1c adalah 7,6 ± 1,4.

Pada penelitian ini, rerata nilai SGOT yaitu 21,70 ± 3,69 IU/L dan nilai SGPT

(58)

nilai SGOT yaitu 27,7 ± 17,0 dan rerata nilai SGPT 26,2 ± 1,8 IU/L. Pada

penelitian Hanley dkk, 2004, didapatkan median kadar SGOT yaitu 22,5 dengan

range (17-28), dan median nilai SGPT yaitu 17,5 dengan range (12,5 – 27,5).

Pada penelitian ini didapatkan, rerata nilai KHS motorik yaitu 39,07 ± 9,45

m/, dan rerata nilai KHS sensorik yaitu 33,30 ± 8,66 m/det, sedangkan penelitian

Carrington AL dkk, 2010, mendapatkan nilai median KHS motorik sebesar 34,6

m/det dengan range (30,8 – 40,2)m/det, sedangkan Charles M dkk, 2010,

mendapatkan rerata nilai KHS motorik 42,6 ± 4,4 m/det, dan rerata nilai KHS

sensorik 44,10 ± 6,3 m/det.

Pada penelitian ini didapatkan, rerata nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu

24,89 ± 3,55 kg/m2, sedangkan Carrington dkk, 2002, mendapatkan median IMT

sebanyak 28,5 kg/m2 dengan range (26 – 32). Cho, 2010, mendapatkan rerata

nilai IMT yaitu 24,4 ± 4,2 kg/m2. Tesfaye dkk, 2007, mendapatkan rerata nilai IMT

yaitu 30,0 ± 6,5 kg/m2

IV.2.2 Peranan GGT .

Secara konvensional, peningkatan kadar GGT diinterpretasikan sebagai

marker dari penyalahgunaan alkohol dan atau gangguan hati. Namun, dewasa ini,

peningkatan kadar GGT telah mengalami perkembangan yang sangat pesat,

sehingga peningkatan GGT dihubungkan dengan berbagai penyakit yaitu

diabetes, hipertensi dan penyakit jantung.

GGT memegang peranan penting dalam sistem antioksidan didalam tubuh,

dengan selalu menjaga konsentrasi glutathion intraselluler. Glutathion merupakan

antioksidan yang penting untuk pertahanan sel. Peningkatan GGT dapat

(59)

Pada penelitian ini tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara kadar

GGT dengan KGD, HbA1c, dan lamanya DM, hal ini dikarenakan hampir semua

sampel yang didapat merupakan penderita DM yang teratur berobat, sehingga

fluktuasi KGD umumnya baik. Fluktuasi KGD baik juga dapat terlihat pada rerata

kadar HbA1c yang dapat dimasukkan dalam kategori terkontrol. Secara

patofisiologi, hiperglikemi melalui jalur metabolik, akan menyebabkan peningkatan

ROS, dimana ROS akan berperan sebagai oksidatif. Peningkatan ROS, akan

menyebabkan tubuh mempertahankan stabilitasnya dengan mengeluarkan

antioksidan. Peningkatan ROS akan menyebabkan over aktivasi dari NADPH

oxidase dan proses ini mengurangi bioavailibilitas dari nitric oxide (NO).

Peningkatan ROS merupakan faktor penting dalam sindroma metabolik.

IV.2.3. Hubungan Kadar GGT dan KHS

Pada penelitian ini, ditemukan hubungan terbalik yang bermakna antara

Kadar Gamma Glutamyltransferase dan Kecepatan Hantaran Saraf baik motorik

maupun sensorik pada penderita neuropati diabetik. Penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh Cho, 2010, menyimpulkan bahwa terdapat peningkatan kadar GGT

yang bermakna pada penderita diabetik neuropati, namun Cho tidak

menghubungkan secara langsung antara kadar GGT dan nilai KHS. Lee, dkk.

(2004) meneliti peranan serum gamma glutamyltransferase (GGT) sebagai

prediktor dalam pathogenesis diabetes, serta hubungan GGT dan obesitas pada

perkembangan diabetes tipe 2 pria dan wanita. Mereka menyimpulkan bahwa

kadar serum GGT sebagai prediktor kuat untuk diabetes, baik pada pria maupun

(60)

oxidative stress. Lee, dkk (2003) menyimpulkan bahwa kadar GGT sebagi

prediktor kuat untuk hipertensi dan diabetes. Mereka menduga keterlibatan kadar

GGT pada patogenesis diabetes melalui mekanisme oxidative stress.

Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, dapat disepakati bahwa

GGT sebagai marker oksidatif stres. Dalam banyak studi, hipertensi, diabetes dan

hiperkolesterol, merupakan faktor resiko penyakit kardiovaskular dan hal ini

dihubungkan dengan faktor oksidatif stres. Faktor oksidatif stres juga memegang

peranan penting dalam patofisiologi neuropati diabetik, yang pada akhirnya

mempengaruhi kecepatan hantaran saraf.

Hasil ini memberikan informasi penting bahwa kadar serum GGT bermakna

sebagai marker oksidatif stres. Selama ini, kadar GGT lebih dikenal sebagai

marker dari konsumsi alkohol atau penyakit-penyakit hati, dan kadar GGT dalam

normal range juga dihubungkan dengan faktor resiko penyakit kardiovaskular dan

komponen dari metabolik sindrom. Walaupun hubungan antara seluler GGT dan

serum GGT belum jelas, namun seluler GGT dilaporkan terlibat langsung dalam

perkembangan ROS.

Ada beberapa kelemahan penelitian ini yaitu;

1. Jumlah sampel sedikit bila dibandingkan dengan beberapa penelitian

lainnya. Hal ini disebabkan keterbatasan waktu, biaya serta pasien yang

datang ke Poliklinik.

2. Tidak dilakukannya pemeriksaan marker oksidatif stres lainnya, sehingga

tidak bisa dibandingkan antara GGT dengan marker oksidatif stres

(61)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada penelitian ini disimpulkan bahwa :

1. Terdapat korelasi negatif bermakna antar nilai GGT dengan KHS motorik,

sehingga dikatakan bahwa dengan meningkatnya nilai GGT maka nilai

KHS motorik akan menurun.

2. Terdapat korelasi negatif bermakna antar nilai GGT dengan KHS sensorik,

sehingga dikatakan bahwa dengan meningkatnya nilai GGT maka nilai

KHS sensorik akan menurun.

V.2. SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan jumlah sampel

yang lebih besar agar memberikan hasil yang lebih representatif.

2. Perlu dilakukan studi prospektif untuk menilai hubungan GGT sebagai faktor

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Adam, R.D., Victor, M. and Ropper, A.H. 2005. Principles of Neurology. 8nd. Ed. McGraw-Hill. New York.

Andre, P., Balkau, B., Vol, S., Charles, M.A., Eschwege, E. 2007. Gamma Glutamyltransferase activity and Development of the Metabolic Syndrome (International Diabetes Federation definition) in Middle-Aged Men and Women. Diabetes care. 30; 2355-2361.

Brushart, T.M. 2002. Peripheral Nerve Injury. In : Johnson R.T., John,W.G., Justin, C.M. Current Therapy in Neurologic Disease. Pp 380-384. Mosby. St.Louis.

Boulton, A.J.M., Malik, R.A., Arezzo, J.C., Sosenko, J.M. 2004. Diabetic Somatic Neuropathies. Diabetes Care. 27-1458-1486.

Boulton, A.J.M. 2005. Management of Diabetic Peripheral Neuropathy. Clinical Diabetes. 23: 9-15.

Boulton, A.J.M., Vinik, A.I., Arezo, J.C., Bril, V., Feldman, E.L., Freeman, R., Malik, R.A., Maser, R.E., Sosenko, J.M., Ziegler, D. 2005. Diabetic Neuropathies. A Statemen by the American diabetes association. Diabetes Care.28-956-962.

Carrington L, Shaw JE, Schie CHM, Abbott CA, Vileykyte L, Boulton J. 2002. Can Motor Nerve Conduction Velocity Predict Foot Problems in Diabetec Subject Over a 6-Year Outcome Period? Diabetes Care. 25: 2010-2015.

Charles, M., Soedamah-Muthu, S.S., Tesfaye, S., Fuller, J.H., Arezzo, J.C., Chaturvedi, N.2010. Low Peripheral Nerve Conduction Velocities and Amplitudes are Strongly Related to Diabetic Microvascular Complication in Type 1 Diabetes. Diabetes Care. 33: 2648-2653.

(63)

Duby, J.J., Campel, R.K., Setter, S.M., White, J.R., Rasmussen, K.A. 2004. Diabetic Neuropathy:An Intensive Review. Am J Health-Syst Pharm. 61(2): 160-176.

Elliot, J., Tesfaye, S., Chaturvedi, N., Gandhi., Stevens, L.K., Emery, C., Fuller, J.H. 2009. Large Fiber Dysfunction in Diabetic Peripheral Neuropathy Is Predicted by Cardiovascular Risk Factors. Diabetes Care. 32; 1896-1900. Emdin, M., Passino, C., Titta, F., Donato, L., Pompella, A., Paolicchi, A. 2001.

Prognostic value of serum gamma-glutamyltransferase activity after myocardial infarction. European Heart Journal. 22: 1802-1807.

Emiroglu, M.Y., Esen, O.B., Bulut, M., Karapinar, H., Kaya, Z. 2010. Gamma Glutamyltransferase levels and its association with high sensitive C-reactive protein in patients with acute coronary syndromes. North am J Med Sci. 2; 306-310.

Fazan, V.P.S., Vasconcelos, C.A.C., Valenca, M.M. 2010. Diabetic Peripheral Neuropathies: A Morphometric Overview. Int. J. Morphol. 28:51-64.

Fraser, A., Harris, R., sattar, N., Ebrahim, S., Lawlor, D.A. 2009. Alanine Aminotransferase, Gamma glutamyltransferase, dan Insiden diabetes. Diabetes Care. 32: 741-750.

Ford, E.S., Schulze, M.B., Bergmann, M.M., Thamer, C., Joost, H.G., Boeing, H. Liver Enzymes and Incident Diabetes. Diabetes care. 31: 1138-1143.

Gilroy, J.2001. Basic Neurology. 3rd ed. McGraw-Hill.New York.

Giordano, F.J. 2005. Oxygen, oxidative stress, hypoxia, and heart failure. J. Clin. Invest. 115: 500-508.

Hanley AJG, Williams K, Festa A, Wagenknecht LE, D’Agostino RB Jr, Kempf J, Zinman B, Haffner S. 2004. Elevations in Markers of Liver and Risk of Type 2 Diabetes. Diabetes. 53: 2623 – 2631.

Harrison. 2005. Principle’s of Internal Medicine.16th ed. Mc-Graw Hill. New York.

Gambar

Gambar. 1.  Jalur utama Hiperglikemi Menyebabkan Injury Sel
Gambar 2. Siklus Gamma Glutamyl
Tabel.4  Kecepatan Hantaran saraf normal orang dewasa 16 – 65 tahun
Tabel 5. Karakteristik Hasil Penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang didapatkan dari uji korelasi Pearson adalah nilai koefisien korelasi Pearson (r) 0.562 dengan nilai signifikansi = 0.000 (p &lt; 0.05), yang artinya terdapat

Hasil Penelitian: Hasil uji korelasi Pearson didapatkan hubungan yang bermakna antara kapasitas memori kerja dengan nilai anatomi mahasiswa program studi kedokteran

GGT serum dengan kandungan besi hepar pada pasien talasemia beta mayor. Simpulan penelitian ini adalah tidak didapatkan korelasi

Pada Tabel 2, dengan menggunakan uji t tidak berpasangan hasil analisis data dari kadar HDL didapatkan nilai P=0,000 yang menunjukkan kadar HDL berpengaruh

Setelah dilakukan uji statistic dengan menggunakan korelasi Pearson didapat korelasi negatif yang tidak signifikan atau tidak ada hubungan secara statistik antara

Uji hipotesis bivariat korelasi Pearson antara nilai Test Anxiety sumatif I dan nilai ujian sumatif I didapatkan korelasi yang signifikan dengan kekuatan korelasi yang lemah dengan

penelitian ini mendapatkan hubungan positif dengan koefisien korelasi 0,243 (lemah) sedangkan nilai p = 0,057 menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar HbA 1c

Hasil uji Korelasi Hubungan Kadar HbA1c dengan Derajat kekeruhan lensa mata pada penderita diabetes melitus di RSUD Ulin Banjarmasin Variabel Rerata+/-SD Median P r HbA1c