• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN INDEKS MASSA TUBUH DAN RASIO LINGKAR PINGGANG PINGGUL DENGAN KADAR GULA DARAH PUASA

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Nita Damayanti Sulistianingrum G 0007015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul : Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul dengan Kadar Gula Darah Puasa

Nita Damayanti Sulistianingrum, G0007015, Tahun 2010

Telah diuji dan sudah disahkan dihadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari Selasa, Tanggal 29 Juni 2010

Pembimbing Utama

Dr. Sugiarto, dr., SpPD.

NIP 19620522 198901 1 001 (______________)

Pembimbing Pendamping

Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si.

NIP 19680429 1999903 1 001 (______________)

Penguji Utama

Wachid Putranto, dr., SpPD.

NIP 19720226 200501 1 001 (______________)

Anggota Penguji

Dr. Noer Rachma, dr., SpRM.

(3)

PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, 22 Juni 2010

Nita Damayanti Sulistianingrum

(4)

ABSTRAK

Nita Damayanti Sulistianingrum, G0007015, 2010. Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul dengan Kadar Gula Darah Puasa.

Berbagai laporan terkini mengindikasikan bahwa prevalensi obesitas di seluruh dunia telah meningkat. Terdapat hubungan erat antara pola distribusi lemak tubuh dengan gangguan risiko kesehatan pada risiko obesitas. Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) merupakan alternatif pengukuran antropometri tubuh untuk memprediksikan obesitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara IMT dan RLPP dengan kadar gula darah puasa.

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada 2 Mei 2010. Subjek dalam penelitian ini adalah populasi umum di Perumahan Griya Binangun Asri, Pengasih, Kulon Progo yang berusia 18-60 tahun. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive non random sampling dan didapatkan 42 sampel. Alat ukur yang digunakan adalah pita pengukur, timbangan, microtoise, alat-alat untuk pungsi vena dan laboratorium. Data diolah dengan program SPSS 17.0 for windows dengan uji statistik uji t tidak berpasangan dan uji korelasi Pearson.

Hasil analisis uji t tidak berpasangan menunjukkan bahwa IMT tidak berhubungan dengan kadar gula darah puasa yang secara statistik ditunjukkan dengan p>0,05. Sedangkan RLPP berhubungan dengan kadar gula darah puasa yang bermakna secara statistik dengan p<0,05. Hasil analisis uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa RLPP mempunyai korelasi bermakna terhadap kadar gula darah puasa, dengan korelasi positif dan kekuatan korelasi sedang yang ditunjukkan secara statistik dengan p<0,05 dan nilai korelasi 0,791. Sedangkan IMT mempunyai korelasi tidak bermakna dengan kadar gula darah puasa yang ditunjukkan secara statistik dengan p>0,05.

(5)

ABSTRACT

Nita Damayanti Sulistianingrum, G0007015, 2010. The Relation Between Body Mass Index and Waist to Hip Ratio with Level of Fasting Plasma Glucose

Many of reported studies indicated that there was an increasing prevalence of obesity entire the world. There was a close relation between body fat distribution type and health disorder related obesity. Body Mass Index (BMI) and Waist to Hip Ratio (WHR) are body anthropometric measuring alternative for predicting obesity. This research aimed to discern and analyze the relation between BMI and WHR with level of fasting plasma glucose.

This research was an analytical observational study with cross sectional approach. Subject in this research were general population in Griya Binangun Asri housing, Pengasih, Kulon Progo at the age of 18-60. There were 42 sample collected by consecutive non random sampling method. Metline, weight measurement, microtoise, vena punction tools and laboratorium were used in this research. Data was analyzed by counting independent t test and Pearson correlation test using SPSS 17.0 for windows.

The result of independent t test indicated that there were no relation between BMI and level of fasting plasma glucose which statistically proved (p>0,05). But there were a relation between WHR and level of fasting plasma glucose which statistically proved (p<0,05). The result of Pearson correlation test indicated that there were difference significantly between WHR and level of fasting plasma glucose. The correlation was positif and the power of correlation was intermediate which statistically proved (p<0,05 and Pearson correlation 0,791). But, there were no difference significantly between BMI and level of fasting plasma glucose which statistically proved p<0,05.

(6)

PRAKATA

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan karunia, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Hubungan Indeks Massa Tubuh dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul dengan Kadar Gula Darah Puasa.

Penelitian dan penulisan skripsi ini dapat terlaksana dengan baik atas bantuan, bimbingan, saran dan dukungan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: bimbingan, saran, dan petunjuk guna penyusunan skripsi ini.

4. Diding Heri Prasetyo, dr., M.Si., selaku Pembimbing Pendamping yang telah memberi bimbingan dan saran.

5. Wachid Putranto, dr., SpPD., selaku Penguji Utama yang telah memberi saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini.

6. Dr. Noer Rachma, dr., SpRM., selaku Anggota Penguji yang telah memberi masukan demi kesempurnaan skripsi ini.

7. Seluruh staf Laboratorium Patologi Klinik RSUD Wates yang telah membantu proses penelitian.

8. Warga Perumahan Griya Binangun Asri yang telah bersedia menjadi sampel penelitian ini

9. Drs. H. Basah Suhartono dan Dra. Hj. Tuti Nur Rahayu M.OR, kedua orang tua yang memberikan dukungan pada penyelesain skripsi ini.

10.Teman-teman yang telah memberikan bantuan pada proses pembuatan skripsi ini.

11.Semua pihak yang telah membantu terselesainya skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Meskipun tulisan ini masih belum sempurna, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Saran, pendapat, koreksi, dan tanggapan dari semua pihak sangat diharapkan.

Surakarta, 22 Juni 2010

(7)

DAFTAR ISI

PRAKATA ...vi

DAFTAR ISI ...vii

DAFTAR TABEL ...x

DAFTAR GAMBAR ...xi

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Perumusan Masalah ...3

C. Tujuan Penelitian ...3

D. Manfaat Penelitian ...4

BAB II LANDASAN TEORI ...5

A. Tinjauan Pustaka ...5

1. Obesitas...5

a. Definisi Obesitas...5

b. Patogenesis dan Patofisiologi Obesitas...6

c. Perubahan Metabolik pada Obesitas abdominal...10

d. Epidemiologi...13

2. Pengukuran Antropometri Sebagai Skrining Obesitas...14

a. Indeks Massa Tubuh (IMT)...14

1) Definisi IMT...14

(8)

3) Kelebihan dan Kekurangan IMT...16

b. Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP)...17

1) Definisi RLPP...17

2) Cutt of Point...18

c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas...19

1) Definisi...19

2) Cara Pengukuran...20

B. Kerangka Berpikir ...22

C. Hipotesis ...23

BAB III METODE PENELITIAN...24

A. Jenis Penelitian ...24

B. Lokasi Penelitian ...24

C. Subjek Penelitian ...24

D. Teknik Sampling ...25

E. Identifikasi Variabel Penelitian...26

F. Deskripsi Variabel Penelitian...27

G. Rancangan Penelitian...29

H. Instrumentasi Penelitian ...29

I. Cara Kerja...30

J. Teknik Analisis Data.. ...36

BAB IV HASIL PENELITIAN ...38

A. Karakteristik Sampel...38

(9)

C. Uji T Tidak Berpasangan...42

D. Uji Korelasi Pearson...43

BAB V PEMBAHASAN...44

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...48

A. Simpulan...48

B. Saran...48

DAFTAR PUSTAKA...50

(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Beberapa Adipokin dan Fungsinya...13

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT Internasional………...15

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT pada Penduduk Asia Dewasa...16

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Sampel...…………..38

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Sampel Berdasar Kelompok………...39

Tabel 4.3 Hasil Uji Shapiro-Wilks pada IMT sampel………...41

Tabel 4.4 Hasil Transformasi Data IMT Kelompok Tidak Obesitas…………... 41

Tabel 4.5 Hasil Uji Shapiro-Wilks pada RLPP Sampel………41

Tabel 4.6 Hasil Uji Statistik dengan Uji T Tidak Berpasangan………42

(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Pengaturan Neuroendokrin Metabolisme Energi………8

Gambar 3.1 Pengambilan Darah Vena……….31

Gambar 3.2 Pengukuran Berat Badan….……….…32

Gambar 3.3 Pengukuran Tinggi Badan………33

Gambar 3.4 Pengukuran Lingkar Pinggang……….35

(12)

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Lembar Persetujuan Sampel

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Prevalensi kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas saat ini

meningkat tajam di seluruh dunia yang mencapai tingkat membahayakan.

Terdapat 1 milliar orang dewasa dengan berat badan berlebih, dan paling

sedikit 300 juta diantaranya mengalami obesitas (WHO, 2010). Di Indonesia,

tingkat kegemukan cenderung meningkat grafiknya. Menurut data Riset

Kesehatan Dasar tahun 2007, prevalensi nasional obesitas pada penduduk

berusia 15 tahun ke atas mencapai 10,3%, dengan prevalensi pada laki-laki

13,9%, dan pada perempuan 23,8%. Hal tersebut dapat mengakibatkan

masalah kesehatan yang serius karena obesitas berkaitan erat dengan kelainan

metabolik, kardiovaskuler, hepar, ginjal, dan respon inflamasi

(Depkes RI, 2009; Ogden et al., 2007).

Penumpukan lemak berlebih pada penderita obesitas berpengaruh

langsung terhadap metabolisme dan risiko kardiometabolik melalui

perubahan sekresi adipokin. Adipokin yang berpengaruh terhadap perubahan

metabolisme tubuh antara lain asam lemak bebas, TNF-α (Tumor Necrotizing

Factor-α), IL-6 (Interleukin-6), PAI-1 (Plasminogen Activator Inhibitor-1)

dan CRP (C-Reaktif Protein) (Cani et al., 2007; Sniijner et al., 2006).

Glukotoksisitas dan lipotoksisitas pada sel, terutama pada sel β pankreas

(14)

menyebabkan resistensi insulin dan kerusakan pada sel β pankreas yang

berpengaruh pada metabolisme kadar gula darah tubuh. Manifestasi dari

resistensi insulin ini adalah peningkatan kadar gula darah atau hiperglikemia

(Labib, 2003; Merentek, 2006).

Antropometri merupakan salah satu metode untuk mengukur status gizi

masyarakat. Selain sebagai pengukuran status gizi, antropometri juga dapat

digunakan sebagai skrining obesitas. Beberapa indeks antropometri antara lain

Indeks Massa Tubuh (IMT), berat badan terhadap umur, tinggi badan terhadap

umur, berat badan terhadap tinggi badan, lingkar lengan atas, tebal lemak

bawah kulit menurut umur dan Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP)

(Susilowati, 2008).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan pengukuran yang paling

direkomendasikan sebagai evaluasi obesitas dan overweight pada anak serta

orang dewasa. Hal ini disebabkan selain mudah dan murah, level IMT

berhubungan dengan lemak tubuh dan faktor risiko DM tipe II (Daniels,

2009). Selain IMT, pengukuran antropometri yang dapat digunakan untuk

skrining obesitas adalah RLPP (Ketel et al., 2007).

Jean Vague pada tahun 1956 adalah ilmuwan pertama yang menyatakan

bahwa terdapat hubungan erat antara morfologi tubuh atau tipe distribusi

lemak dengan faktor risiko kesehatan yang berhubungan dengan obesitas.

Dalam sebuah studi dikatakan bahwa orang dengan obesitas tipe abdominal

dengan lemak berkumpul di sekitar pinggang dan perut mempunyai faktor

(15)

bawah pinggang, sekitar panggul, dan paha (Liubov et al., 2003; Schneider et

al., 2007). Dalam studi meta-analisis Vazques et al.(2007) disebutkan bahwa

obesitas abdominal berhubungan dengan penurunan toleransi glukosa,

perubahan pada homeostasis glukosa-insulin, dan penurunan pengeluaran

insulin yang distimulasi glukosa. Namun, penelitian mengenai hubungan

antara IMT dan RLPP terhadap kadar gula darah puasa masih sedikit.

Hal ini mendorong penulis untuk meneliti hubungan antara IMT dan RLPP

dengan kadar gula darah puasa, serta mengetahui pengukuran antropometri

mana diantara IMT dan RLPP yang lebih kuat berkorelasi dengan kadar gula

darah puasa.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, perumusan masalah

dalam penelitian kali ini antara lain sebagai berikut:

1. Apakah terdapat hubungan antara IMT dengan kadar gula darah puasa?

2. Apakah terdapat hubungan antara RLPP dengan kadar gula darah puasa?

3. Pengukuran antropometri manakah antara IMT dan RLPP yang lebih kuat

berkorelasi dengan kadar gula darah puasa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum

penelitian ini adalah mempelajari hubungan antropometri tubuh dengan faktor

risiko obesitas.

Sedangkan tujuan khususnya adalah :

(16)

2. Mengetahui hubungan RLPP dengan kadar gula darah puasa.

3. Mengetahui pengukuran antropometri mana diantara IMT dan RLPP

yang lebih kuat berkorelasi dengan kadar gula darah puasa.

D. Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Teoritis

Memberikan informasi mengenai hubungan IMT dan RLPP dengan

kadar gula darah puasa. Selain itu, juga memberikan informasi

mengenai pengukuran antropometri mana yang lebih kuat berkorelasi

dengan kadar gula darah puasa.

2. Praktis

Menjadi salah satu dasar pertimbangan dan terbukanya peluang bagi

para akademisi untuk meneliti metode pengukuran antropometri terbaik

yang berhubungan dengan dampak peningkatan IMT dan RLPP pada

(17)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Obesitas

a.Definisi Obesitas

Overweight adalah suatu kondisi dimana perbandingan

berat badan dan tinggi badan melebihi standar yang ditentukan.

Sedangkan obesitas adalah peningkatan total lemak tubuh, yaitu

apabila ditemukan total lemak tubuh >25% pada pria dan > 33%

pada wanita (Grundy, 2004; Mahan et al., 2002). Menurut

Terauchi et al. (2004) obesitas merupakan suatu kondisi kronik

berupa kelainan kompleks dalam pengaturan nafsu makan dan

metabolisme energi yang dikontrol oleh suatu faktor biologis

spesifik.

Terdapat beberapa penggolongan dari obesitas. Tipe

obesitas berdasarkan sel lemak tubuh dibagi menjadi obesitas

tipe hiperplastik, tipe hipertrofik, dan tipe hiperplastik dan

hipertropik. Tipe hiperplastik terjadi karena jumlah sel lemak

lebih banyak dibanding keadaan normal, tetapi ukuran

sel-selnya tidak bertambah besar. Obesitas ini biasa terjadi pada

masa anak-anak. Obesitas tipe hipertrofik terjadi karena ukuran

(18)

sel tidak bertambah banyak dari normal. Obesitas tipe ini terjadi

pada usia dewasa. Obesitas tipe hiperplastik dan hipertropik

terjadi karena jumlah dan ukuran sel lemak melebihi normal.

Obesitas ini dimulai pada anak-anak dan berlangsung sampai

dewasa serta risiko tinggi untuk terjadi komplikasi penyakit

(Lang, et al., 2008; Liubov et al., 2003; Marquez et al., 1998).

Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat

dibedakan menjadi obesitas tipe abdominal dan obesitas general

(seluruh tubuh). Obesitas abdominal dilihat dari segi

antropometri merupakan tingginya RLPP yang diakibatkan

karena penumpukan lemak intra-abdominal. Menurut WHO,

RLPP >0,9 untuk laki-laki dan >0,85 untuk perempuan

menunjukkan obesitas abdominal (Eyben, 2003).

Obesitas abdominal berhubungan lebih kuat pada terjadinya

beberapa penyakit dibanding obesitas tipe general. Penumpukan

lemak abdominal akan mendorong perkembangan faktor risiko

kardiometabolik. Hal ini terjadi melalui sekresi adipokin dari

jaringan lemak, termasuk asam lemak bebas, adiponektin,

TNF-α, IL-6, PAI-1 dan CRP (Despres, 2006; Janghorbani et al.,

2008).

b. Patogenesis dan Patofisiologi Obesitas

Obesitas terjadi karena adanya kelebihan energi yang

(19)

keseimbangan energi disebabkan oleh 90% faktor eksogen

(obesitas primer) dan 10% faktor endogen (obesitas sekunder).

Faktor eksogen meliputi nutrisi dan lingkungan sedangkan

faktor endogen terdiri dari kelainan hormonal, sindrom atau

defek genetik (Eckel & Bonow, 2003; Despres, 2006).

Faktor genetik mempengaruhi 25% hingga 75% variasi

berat badan pada tiap individu. Faktor genetik menentukan

mekanisme pengaturan berat badan secara fisiologis melalui

pengaruh hormon dan neural. Selain itu, faktor genetik juga

menentukan jumlah dan ukuran sel adiposa serta distribusinya.

Beberapa penelitian mendapatkan hasil yang konsisten bahwa

terdapat hubungan kuat pada IMT keluarga tingkat pertama.

Sebuah penelitian lanjutan memperlihatkan adanya hubungan

antara genotip dan fenotip dari obesitas. Walaupun penelitian ini

menyatakan bahwa latar belakang genetik mempengaruhi

beberapa komponen dari pengaturan metabolisme energi tubuh,

tetapi mekanisme dan gen mana yang berpengaruh masih kurang

dimengerti (Labib, 2003; Steinberger et al., 2003).

Terdapat dua perubahan besar di lingkungan yang

berpengaruh secara langsung terhadap peningkatan prevalensi

dari obesitas. Perubahan pertama adalah penurunan dari

aktivitas tubuh yang berdampak pada penurunan pemakaian

(20)

beberapa dekade terakhir akibat dari kemajuan teknologi dan

transportasi. Perubahan kedua adalah peningkatan konsumsi

makanan yang tinggi lemak dan karbohidrat (Bray et al., 2002;

WHO, 2002).

Gambar 2.1 Pengaturan Neuroendokrin Metabolisme Energi (Merentek, 2006).

Seperti terlihat pada gambar 2.1, pengaturan keseimbangan

energi diperankan oleh hipotalamus melalui tiga proses

fisiologis, yaitu : pengendalian rasa lapar dan kenyang,

pengaturan laju pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon.

Hipotalamus merasakan rangsang-rangsang eksternal melalui

sejumlah hormon, seperti leptin, ghrelin, PYY 3-36, orexin dan

(21)

hipotalamus. Beberapa hormon/protein diproduksi di saluran

cerna dan lainnya oleh jaringan adiposa (leptin).

Proses dalam pengaturan penyimpanan energi terjadi

melalui sinyal-sinyal eferen yang berpusat di hipotalamus

setelah mendapatkan sinyal aferen dari perifer. Sinyal-sinyal

tersebut dapat bersifat anabolik atau katabolik dan dibagi

menjadi dua kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang.

Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu makan,

serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida

gastrointestinal, yang diperankan oleh CCK sebagai stimulator

dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal panjang diperankan oleh

hormon leptin dan insulin yang mengatur penyimpanan dan

keseimbangan energi (Froguel, 2004; Mclaughlin et al., 2002;

Steinberger et al., 2003).

Apabila asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka

jaringan adiposa meningkat disertai dengan peningkatan kadar

leptin dalam peredaran darah. Leptin kemudian merangsang

anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi

NPY (Neuro Peptide Y) sehingga terjadi penurunan nafsu

makan. Demikian pula sebaliknya bila kebutuhan energi lebih

besar dari asupan energi, maka jaringan adiposa berkurang dan

terjadi rangsangan pada orexigenic center di hipotalamus yang

(22)

penderita obesitas terjadi resistensi leptin, sehingga tingginya

kadar leptin tidak menyebabkan penurunan nafsu makan (Lteif

dan Mather, 2005; Sniijner et al., 2006).

c. Perubahan Metabolik pada Obesitas Abdominal

Jaringan adiposa tidak hanya organ penyimpan energi pasif,

tetapi juga merupakan jaringan endokrin aktif yang

memproduksi berbagai sitokin, hormon dan protein lain yang

berdampak pada proses fisiologi dan patofisiologi tubuh. Produk

yang dihasilkan tersebut dikenal dengan adipokin. Penumpukan

lemak berlebihan pada abdomen berpotensi mempengaruhi

secara langsung metabolisme dan risiko kardiometabolik

melalui perubahan dalam sekresi adipokin. Obesitas abdominal

memacu peningkatan sekresi berbagai adipokin termasuk

gliserol, asam lemak bebas, TNF-α, IL-6, PAI-1 dan protein

C-reaktif (Despres, 2006; Trujillo et al.,2005).

Terdapat bukti yang kuat bahwa pemaparan secara singkat

pada jaringan perifer oleh peningkatan asam lemak bebas akan

menginduksi resistensi insulin. Resistensi insulin adalah suatu

keadaan terjadinya gangguan respons metabolik terhadap

sensitivitas insulin. Sensitivitas insulin merupakan kemampuan

dari hormon insulin menurunkan kadar glukosa darah dengan

(23)

pemanfaatan glukosa di dalam otot skelet dan jaringan adiposa

(Grundy et al., 2005; Reaven, 2006).

Salah satu mekanisme terjadinya resistensi insulin melalui

peningkatan asam lemak bebas adalah dengan kenaikan transfer

asam lemak bebas ke otot yang menyebabkan peningkatan

metabolit asam lemak intraseluler seperti diasilgliserol,

seramide dan asetil koA. Metabolit-metabolit tersebut

mengaktifkan jalur serin/treonin kinase yang akan mengurangi

kemampuan untuk mengaktifkan reseptor insulin. Pemaparan

asam lemak bebas jangka panjang pada pankreas akan merusak

fungsi dari sel β. Kondisi tersebut disebut dengan lipotoksisitas

(Tataranni, 2002; Pershegin et al., 2003).

Obesitas juga berkaitan dengan kondisi inflamasi kronis

derajat rendah. Terjadi peningkatan jumlah konsentrasi adipokin

proinflamasi seperti TNF-α, IL-6, angiotensinogen dan PAI-1

sehingga proses inflamasi akan berlangsung. TNF-α berperan

sebagai mediator respon fase akut dan memiliki berbagai efek

pada metabolisme lipid dan fungsi adiposit. IL-6 juga dapat

menstimulasi peningkatan produksi IL-1 dan TNF-α di mana

semuanya berperan dalam proses aterogenesis pembuluh darah

(McLaughlin et al., 2002).

Secara fisiologis, kadar gula darah diatur dalam konsentrasi

(24)

pengaturan tersebut, kadar gula darah puasa secara homeostasis

selalu terkontrol. Kadar gula darah puasa adalah kadar glukosa

dalam plasma yang dihitung setelah berpuasa kurang lebih

sepuluh jam. Kadar gula darah puasa mempunyai nilai rentang

normal 72-92 mg/ dl (Basu et al., 2007).

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa konsentrasi

asam lemak bebas yang tinggi pada obesitas, akan menyebabkan

lipotoksisitas yang berakibat terjadinya resistensi insulin.

Manifestasi dari resistensi insulin ini ditandai dengan

peningkatan pada kadar gula darah puasa dan kadar gula darah

sewaktu. Hal ini memacu pankreas untuk bekerja lebih keras

untuk menghasilkan insulin dengan jumlah lebih banyak. Kerja

dari pankreas yang terus menerus akibat hiperglikemi ini lama

kelamaan akan menyebabkan kegagalan dari sel β pancreas yang

disebut dengan glukotoksisitas (Labib, 2003; Merentek, 2006).

Selain peningkatan beberapa jenis adipokin, pada obesitas

juga terdapat penurunan salah satu jenis adipokin yaitu

adinopektin. Adinopektin merupakan protein dengan 247 asam

amino yang diproduksi eksklusif oleh adiposit dan berperan

sebagai antidiabetik, anti-aterosklerotik dan anti-inflamasi

potensial. Konsentrasi adinopektin yang rendah merupakan

(25)

adinopektin diduga berperan dalam patogenesis penyakit

kardiovaskular yang terkait dengan obesitas (Chandran, 2003).

Tabel 2. 1 Beberapa Adipokin dan Fungsinya

No Adipokin Fungsi Sekresi pada

obesitas

1 Adinopektin Anti-aterogenesis,menurunkan risiko

diabetes

2 IL-6 Memacu inflamasi, pro-aterogenesis,

memacu diabetes a. ↑ Inflamasi vaskuler b. ↑Produksi CRP hati c. ↓Sinyal insulin

3 TNF- α Pro-aterogenesis, pro-diabetes

a. ↓ Sinyal insulin

b. ↑Sekresi dari mediator inflamasi yang lain

4 Protein

C-reaktif

Memacu inflamasi, pro-aterogenesis, penanda inflamasi derajat rendah, memprediksi kejadian kardiovaskuler

5 PAI-1 Pro-aterogenesis, pro koagulan

↑ risiko aterotrombosis

(Lteif dan Mather, 2005).

d. Epidemiologi

Terdapat lebih dari 1,1 milyar orang dewasa di seluruh

dunia mempunyai berat badan berlebih dan 312 juta diantaranya

termasuk dalam kriteria obesitas (WHO, 2010). Berdasarkan

data dari International Obesity Task Force dan WHO

(26)

ditemukannya 1,7 milyar orang yang termasuk dalam klasifikasi

obesitas dari tiap etnik berbeda (Hossain et al., 2007).

Untuk Indonesia, menurut data Riset Kesehatan Dasar pada

tahun 2007, prevalensi nasional obesitas pada penduduk berusia

15 tahun keatas mencapai 10,3%, dengan prevalensi pada

laki-laki 13,9%, dan pada perempuan 23,8% (Depkes RI, 2009).

2. Pengukuran Antropometri Sebagai Skrining Obesitas a. Indeks Massa Tubuh (IMT)

1) Definisi IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah metode pengukuran

sederhana yang menggambarkan hubungan antara berat

badan dan tinggi badan, serta digunakan sebagai skrining

obesitas dan untuk memantau status gizi. IMT dihitung

menggunakan rumus BB/TB2 dimana BB adalah berat

badan dalam kilogram dan TB adalah tinggi badan dalam

meter (Nygaard, 2008; Scheneider et al., 2007).

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan pengukuran

antropometri yang disarankan oleh WHO (Sampei et al.,

2003).

2) Klasifikasi IMT

Pada tahun 1993 WHO mempublikasikan klasifikasi BB

berdasarkan IMT dalam beberapa derajat klasifikasi.

(27)

peningkatan morbiditas dan mortalitas. Klasifikasi IMT dari

WHO telah mengalami beberapa penambahan subdivisi

sejak pertama kali dipublikasikan (WHO, 2004). Klasifikasi

IMT dari WHO dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Klasifikasi IMT Internasional

Klasifikasi IMT (kg/m2)

Underweight < 18,5

Batas Normal 18,5-24,9

Overweight > 25

Pre-obese 25,0-29,9

Obese I 30,0-34,9

Obese II 35,0-40,0

Obese III > 40,0

(WHO, 2004).

Klasifikasi IMT dari WHO diharapkan dapat digunakan

secara internasional. Klasifikasi Overweight dan obesitas

mencerminkan faktor risiko tinggi untuk sindrom

metabolik, diabetes mellitus tipe dua dan penyakit

kardiovaskuler yang menjadi penyebab kematian terbesar

orang dewasa pada seluruh populasi di dunia. Akan tetapi,

pada populasi Asia didapatkan data bahwa terdapat

prevalensi yang tinggi diabetes mellitus tipe dua dan

(28)

rentang batas normal IMT. Sebuah penelitian meta analisis

yang dilakukan di beberapa negara Asia juga menghasilkan

data 66% laki-laki dan 88% wanita dengan klasifikasi BB

normal berdasar IMT memiliki > 1 risiko penyakit

kardiovaskuler. Hal ini memicu adanya pengecualian

klasifikasi IMT bagi populasi Asia (Misra, 2003).

Klasifikasi IMT bagi populasi Asia dapat dilihat pada tabel

di bawah ini.

Tabel 2.3 Klasifikasi IMT pada Penduduk Asia Dewasa Klasifikasi IMT (kg/m2)

Underweight < 18,5

Batas Normal 18,5-22,9

Overweight > 23

Obese I 23,0-24,9

Obese II > 30,0

(WHO, 2004).

3) Kelebihan dan Kekurangan IMT

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan hasil turunan

dari pengukuran tinggi badan dan berat badan. Peralatan yang

digunakan untuk pengukuran IMT, ekonomis dan mudah

didapat, sehingga biaya yang dikeluarkan relatif sedikit.

(29)

khusus, hanya memerlukan ketelitian dalam pengukuran.

Selain itu, pengukuran IMT aman dan tidak invasif.

Sensitifitas dan spesifisitas yang dihasilkan dari pengukuran

IMT pada skrining obesitas anak sangat baik. Untuk

pemakaian IMT sebagai skrining obesitas pada orang dewasa

kurang memuaskan tetapi masih dapat diterima (Daniels,

2009; Poston et al., 2002).

Walaupun IMT mempunyai banyak kelebihan pada

pemakaian klinis, IMT juga memiliki beberapa kekurangan.

IMT memiliki keterbatasan dalam subjek pengukuran yaitu

tidak dapat digunakan untuk mengukur bayi usia kurang dari

dua tahun, wanita hamil dan olahragawan. Hal ini

disebabkan, IMT tidak bisa membedakan antara massa lemak

dengan massa otot ataupun cairan. Selain itu, IMT juga hanya

bisa digunakan untuk menentukan obesitas general, bukan

obesitas sentral/ abdominal. IMT juga memiliki keterbatasan

dalam nilai cutt of point, karena tiap ras atau etnik

mempunyai karakteristik antropometri yang berbeda

(Ezquada et al., 2004; Susilowati, 2008).

b. Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) 1) Definisi RLPP

Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) merupakan

(30)

untuk mengetahui distribusi lemak tubuh. RLPP didapat

dari lingkar pinggang (cm) dibagi dengan lingkar pinggul

(cm) (Chan et al., 2002).

Berbeda dengan IMT yang digunakan untuk menentukan

obesitas secara general, RLPP digunakan pada pengukuran

obesitas sentral/abdominal dimana tempat jaringan lemak

viseral disimpan. Bukti klinis mengatakan bahwa terdapat

hubungan yang lebih kuat antara obesitas sentral terhadap

penurunan toleransi glukosa, perubahan pada homeostasis

glukosa-insulin dan penurunan produksi insulin yang

distimulasi oleh glukosa dibandingkan dengan obesitas

general (Vazquez et al., 2007).

2) Cutt of Point

Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) mempunyai

cutt of point yang berbeda untuk tiap etnisnya. Untuk ras

Kaukasia nilai >0,95 untuk laki-laki dan >0,80 untuk

perempuan menunjukkan obesitas abdominal. Pada populasi

Asia, walaupun beberapa studi menyatakan bahwa terdapat

persentase lemak tubuh yang tinggi dan peningkatan faktor

risiko pada klasifikasi BMI lebih rendah dibandingkan ras

Kaukasia, tetapi nilai cutt of point untuk rasio ini sama

dengan ras Kaukasia (Huxley et al., 2010; James et al.,

(31)

Untuk populasi China, terdapat sedikit perbedaan batas

dibandingkan populasi Asia lainya , yaitu 0,85-0,90 untuk

lelaki, dan 0,76-0,80 untuk perempuan (Lear et al., 2007).

c. Pengukuran Lingkar Lengan Atas 1) Definisi

Merupakan salah satu pilihan untuk penentuan status

gizi, karena mudah, murah dan cepat. Pengukuran lingkar

lengan atas tidak memerlukan data umur yang terkadang

susah diperoleh pada pasien usia lanjut dan dapat

memberikan gambaran tentang keadaan jaringan otot dan

lapisan lemak bawah kulit. Selain itu, lingkar lengan atas

dapat mencerminkan cadangan energi, sehingga dapat

mengetahui :

a) Status KEP (Kurang Energi Protein) pada balita.

b) Kurang Energi Kronis pada wanita usia subur dan ibu

hamil, sehingga dapat mengurangi risiko bayi dengan

berat badan lahir rendah

(Susilowati, 2008).

Cutt of point untuk lingkar lengan atas pada orang

dewasa adalah 26,3 cm untuk laki-laki dan 20,9 untuk

wanita. Sedangkan untuk bayi umur 0-30 hari adalah > 9,5

(32)

Kekurangan dari pengukuran lingkar lengan atas ini

adalah cutt of point yang sekarang digunakan belum

mendapat pengujian yang memadai untuk digunakan di

Indonesia. Kesalahan pengukuran yang terjadi juga relatif

lebih besar dibandingkan dengan pengukuran tinggi badan.

Selain itu, pengukuran lingkar lengan atas hanya sensitif

untuk suatu golongan tertentu (prasekolah), tetapi kurang

sensitif untuk golongan dewasa (Susilowati, 2008).

2) Cara Pengukuran

a) Persiapan

i. Pastikan pita pengukur tidak kusut, tidak

terlipat-lipat atau tidak sobek.

ii. Jika lengan responden > 33cm, maka dapat

menggunakan meteran kain.

iii. Responden diminta berdiri dengan tegak tetapi

rileks, tidak memegang apapun serta otot lengan

tidak tegang.

iv. Baju pada lengan kiri disingsingkan keatas sampai

pangkal bahu terlihat atau lengan bagian atas tidak

tertutup.

b) Pengukuran

Pengukuran dilakukan dengan mengukur jarak

(33)

lengan ditekuk 90° dan kemudian diberi tanda pada titik

tengah acromion-radiale. Pita pengukur dililitkan

melewati titik tengah lengan pada posisi lengan

diluruskan dalam posisi relax, kemudian hasil

pengukuran dapat dibaca.

(34)
(35)

C. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

a. Ada hubungan IMT dengan kadar gula darah puasa.

b. Ada hubungan RLPP dengan kadar gula darah puasa

c. Korelasi RLPP terhadap kadar gula darah puasa lebih kuat

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis penelitian

Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan pendekatan

cross sectional.

B. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kompleks Perumahan Griya Binangun

Asri, Pengasih, Kulon Progo.

C. Subjek penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah warga yang tinggal di

Kompleks Perumahan Griya Binangun Asri.

2. Subjek

Subjek dalam penelitian ini adalah, warga yang tinggal di

Kompleks Perumahan Griya Binangun Asri yang memenuhi kriteria

inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

3. Kriteria inklusi

a. Usia 18-60 tahun.

b. Bersedia mengikuti penelitian ini.

4. Kriteria eksklusi

(37)

b. Subjek yang sedang hamil.

c. Subjek dengan massa otot yang besar olahragawan.

d. Olahragawan atau atlit.

e. Subjek dengan pengobatan kortikosteroid.

f. Subjek dengan cushing syndrome

g. Subjek dengan oedem anasarka.

h. Subjek dengan gagal jantung.

i. Subjek dengan sirosis hepatis.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan menggunakan teknik consecutive

non random sampling. Besar sampel pada penelitian ini ditentukan

dengan rumus sampel pada uji hipotesis terhadap rerata dua

kelompok independen (Sastroasmoro, 2008).

n = jumlah sampel

α = batas kepercayaan dalam penelitian ini adalah 0,05

pustaka tidak didapatkan referensi maka dianggap s= x1-x2

(38)

n1 = n2 = 2 (1,96 + 1,282)2

n1 = n2 = 2 (10,51)2

n1 = n2 = 21,02

Minimal subjek yang diperlukan adalah 21 tiap kelompok. Jadi

dalam penelitian ini minimal harus terdapat 21 x 2 = 42 sampel.

E. Identifikasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas :

a. Indeks Massa Tubuh (kg/m2).

b. Rasio Lingkar Pinggang Pinggul.

2. Variabel terikat : kadar gula darah puasa (mg/dl).

3. Variabel luar :

a. Variabel yang dapat dikendalikan dalam penelitian ini adalah

umur dan jenis kelamin.

b. Variabel yang tidak dapat dikendalikan pada penelitian ini

adalah diet, olahraga, kontrol glukosa dan makanan sehari-hari.

4. Skala variabel :

a. IMT : skala numerik.

b. RLPP : skala numerik.

(39)

F. Deskripsi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas

a. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah alat atau cara sederhana

untuk memantau status gizi orang dewasa, terutama yang

berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan. Untuk

mengetahui nilai IMT, dihitung dengan rumus berikut

Berat Badan (Kg)

IMT = ---

Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Penghitungan berat badan dalam kg menggunakan alat

timbang yang sudah dikalibrasi. Penghitungan tinggi badan

dalam meter menggunakan microtoise yang sudah dikalibrasi.

Pasien berdiri tegak dan kepala tegak menghadap ke depan.

Pengukuran dilakukan dari bagian vertex sampai telapak kaki

(Mirmiran et al., 2004). Setiap pengukuran dilakukan

sebanyak dua kali kemudian dirata-rata. Klasifikasi pasien

berdasar cutt of point IMT dari WHO untuk penduduk Asia,

yaitu obesitas general untuk IMT >23 dan tidak obesitas

(40)

b. Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP)

Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) adalah rasio yang

didapat dari

Lingkar Pinggang (cm)

= ---

Lingkar pinggul (cm)

Pengukuran dilakukan dengan pita pengukur dalam cm.

Pengukuran lingkar pinggang dilakukan dengan posisi berdiri

tegak dengan pakaian ditanggalkan, diukur di antara crista

illiaca dan costa XII. Pengukuran lingkar pinggul dilakukan

dengan posisi berdiri tegak dengan pakaian ditanggalkan,

diukur pada bagian atas symphisis ossis pubis dan bagian

maksimum pantat (Bigaard et al., 2004; Chan et al., 2002).

Baca hasil pada ketelitian 0,1 cm. Pengukuran diulang

sebanyak dua kali kemudian dirata-rata. Klasifikasi pasien

berdasar cutt of point RLPP dari WHO untuk penduduk Asia

yaitu nilai RLPP >0,95 untuk laki-laki dan >0,80 untuk

perempuan menunjukkan obesitas abdominal.

2. Variabel terikat

Kadar gula darah puasa

Kadar gula darah puasa diukur dengan cara enzimatik

(41)

Rentang normal kadar gula darah puasa adalah 72-92 mg/dl.

Pungsi vena dilakukan di vena mediana cubitti lengan kanan.

G. Rancangan penelitian

* = Pengukuran dilakukan dua kali, kemudian diambil rata-ratanya.

H. Instrumentasi

1. Pita pengukur

Pita pengukur yang digunakan adalah jenis plastic tape

measuring merk butterfly, dengan ketelitian 1 mm.

2. Timbangan

Timbangan berat badan merek “AND” dengan kapasitas 150 kg

dan ketelitian 1000 gram.

3. Microtoise

Microtoise untuk mengukur tinggi badan dengan kapasitas 200

(42)

4. Alat-alat untuk pungsi vena

Alat yang dibutuhkan antara lain jarum dan spuit 5-10 cc,

kapas beralkohol, dan tourniquet.

5. Laboratorium

Untuk menganalisa kadar gula darah puasa.

I. Cara Kerja

Tentukan sampel penelitian melalui kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian diukur :

1. Kadar gula darah puasa

Kadar gula darah puasa dianalisa dari bahan darah plasma

vena. Pengambilan darah dilakukan di waktu pagi hari antara

jam 07.00-08.00. Pasien diminta untuk puasa selama minimal

delapan jam sebelum pengambilan darah (umumnya puasa

dimulai antara jam 21.00 – 22.00). Selama puasa diperbolehkan

minum air tawar/air putih (Materiau, 2010; Sacher dan

McPherson, 2004).

Pungsi vena dilakukan di vena mediana cubiti. Pungsi

dilakukan pada lengan kanan, posisi lengan lurus (tidak fleksi).

Lengan baju yang menutupi fossa cubitti disingkirkan. Tourniquet

bagian proksimal vena dan minta pasien untuk mengepal dan

membuka tangannya berkali-kali agar bendungan jelas terlihat.

Sterilisasi area pungsi dengan alkohol 70% dan biarkan mengering

(43)

tusuk kulit dengan jarum dan spuit di tangan kanan sampai ujung

jarum masuk ke dalam lumen vena, sedot darah 5-10cc. Lepaskan

tourniquet dan taruh kapas diatas jarum kemudian cabut spuit.

Minta pasien untuk menekan selama beberapa menit pada luka

bekas suntikan (Gandasoebrata, 2006). Bawa darah vena ke

laboratorium untuk dianalisa.

Gambar 3.1 Pengambilan Darah Vena (Priyanto, 2004).

2. IMT (Indeks Massa tubuh)

Indeks Massa Tubuh ( IMT) didapat dari rumus :

Berat Badan (Kg)

IMT = ---

Tinggi Badan (m) X Tinggi Badan (m)

Dari rumus tersebut, maka data yang harus diperoleh adalah

(44)

menggunakan timbangan badan manual dan idealnya dilakukan

sebelum makan dengan menggunakan pakaian seminimal

mungkin. Baca hasil pengukuran sampai ketelitian 0,1 kg pada

posisi tegak lurus.

Gambar 3.2 Pengukuran Berat Badan (European Health Risk Monitoring, 2002)

Pengukuran tinggi badan dilakukan menggunakan

microtoise. Siapkan microtoise pada ketinggian 2 m. Minta subyek

melepaskan topi ataupun alas kaki yang dipakai. Posisi subyek

berdiri tegak lurus dan menghadap ke depan. Tentukan letak vertex

dengan benar kemudian mintalah subyek untuk menarik nafas

dalam sebelum dilakukan pengukuran. Tarik pengukur microtoise

sampai menyentuh vertex. Pengukuran dilakukan dari vertex

sampai telapak kaki. Baca hasil pengukuran sampai ketelitian 0,1

(45)

Gambar 3.3 Pengukuran Tinggi Badan (European Health Risk Monitoring, 2002) Sebelum melakukan pengukuran selalu dilakukan kalibrasi

pada alat yang akan digunakan, kemudian mengulang setiap

pengukuran sebanyak dua kali. Setelah didapat nilai rata-rata,

kemudian masukkan data pada rumus IMT yang sudah tersedia.

Nyatakan IMT dalam kg/m2 dan tentukan berdasar kriteria WHO

untuk populasi Asia yaitu obesitas general untuk IMT >23 dan

(46)

3. Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP)

Rasio Lingkar Pinggang Pinggul (RLPP) didapat dari rumus

Lingkar Pinggang (cm)

= ---

Lingkar pinggul (cm)

Dari rumus tersebut, maka data yang harus diambil adalah

lingkar pinggang dan lingkar pinggul.

Pengukuran lingkar pinggang dilakukan menggunakan pita

pengukur. Diukur dalam posisi berdiri tegak dan tenang. Baju atau

penghalang pengukuran disingkirkan, Letakkan pita pengukur di

tepi atas crista illiaca dextra. Pita pengukur dilingkarkan ke

sekeliling dinding perut di antara crista illiaca dan costa XII.

Yakinkan bahwa pita pengukur tidak menekan kulit terlalu ketat

dan sejajar dengan lantai. Pengukuran dilakukan saat akhir

ekspirasi normal. Membaca hasil pada ketelitian 0,1 cm (Khan et

(47)

Gambar 3.4 Pengukuran Lingkar Pinggang (European Health Risk Monitoring, 2002)

Pengukuran lingkar pinggul mempunyai prosedur yang

sama dengan pengukuran lingkar pinggang, hanya berbeda pada

titik antropometri yang diukur. Pada pengukuran lingkar pinggul

pita pengukur dililitkan pada bagian atas simphisis ossis pubis dan

bagian maksimum gluteus. Yakinkan bahwa pita pengukur tidak

menekan kulit terlalu ketat dan sejajar dengan lantai. Membaca

(48)

Gambar 3.5 Pengukuran Lingkar Panggul (European Health Risk Monitoring, 2002)

Melakukan kalibrasi pada setiap alat sebelum digunakan,

kemudian mengulang setiap pengukuran sebanyak dua kali.

Setelah didapat nilai rata-rata, kemudian masukkan data pada

rumus RLPP. Tentukan Klasifikasi pasien berdasar cutt of point

RLPP dari WHO untuk penduduk Asia yaitu nilai RLPP >0,95

untuk laki-laki dan >0,80 untuk perempuan menunjukkan obesitas

abdominal.

J. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik

dengan uji t tidak berpasangan menggunakan SPSS 17.0 for windows.

Syarat uji parametrik adalah data mempunyai sebaran normal dan

berskala numerik (Sastroasmoro, 2008). Oleh karena itu perlu

dilakukan uji normalitas data menggunakan uji Shapiro-Wilks karena

(49)

pengukuran mana antara IMT dan RLPP yang lebih kuat berkorelasi

(50)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Karakteristik Sampel

Penelitian telah dilaksanakan terhadap 42 sampel di Perumahan Griya

Binangun Asri, Pengasih, Kulon Progo pada tanggal 2 Mei 2010. Karakteristik

sampel yang didapat, disajikan dalam tabel 4.1

Tabel 4.1 Statistik Deskriptif Variabel Sampel

Jenis Variabel

Deskripsi sampel

N Mean SD Range

Usia (tahun) 42 43,90 8,66 34,00

IMT (kg/m2) 42 23,60 3,39 19

RLPP 42 0,88 0.65 0,21

Gula darah puasa (mg/dl) 42 106,86 20,47 80

Sumber : Data primer, Mei 2010

Berdasarkan tabel 4.1 , rata-rata sampel yang didapat berusia 43,90

tahun dengan rata-rata IMT adalah 23, 60 kg/m2, RLPP adalah 0,88 dan

(51)

Tabel 4.2 Statistik Deskriptif Sampel Berdasar Kelompok

Tidak obesitas abdominal 12 82,33 ± 4,25

Obesitas abdominal 30 115,13 ± 13,53 Sumber: Data primer, Mei 2010

Dari tabel 4.2, terdapat 16 sampel yang masuk pada kelompok tidak

obesitas berdasar IMT dan mempunyai rata-rata kadar gula darah puasa

sebesar 103,62 ± 21,40. Sedangkan pada kelompok obesitas berdasar IMT,

terdapat 26 sampel dan mempunyai rata-rata kadar GDP adalah sebesar

109,25 ± 14,06,

Terdapat 12 sampel yang masuk pada kelompok tidak obesitas

abdominal berdasar RLPP serta mempunyai rata-rata kadar GDP sebesar

82,33 ± 4,25 . Sedangkan, Pada kelompok dengan obesitas abdominal

berdasar RLPP terdapat 30 sampel yang masuk kelompok ini dan

mempunyai rata-rata kadar GDP adalah 115,13 ± 13,53.

Dari data diatas, dapat dilihat bahwa kelompok dengan obesitas

abdominal berdasar RLPP memiliki rata-rata kadar gula darah puasa lebih

(52)

kelompok dengan nilai tidak obesitas abdominal berdasar RLPP memiliki

rata-rata kadar gula darah puasa lebih rendah daripada kelompok tidak

obesitas berdasar IMT.

B. Normalitas Sebaran Sampel

Normalitas data diperlukan untuk menjamin validitas penelitian dan

keakuratan dalam penarikan kesimpulan. Uji statistik yang digunakan pada

penelitian ini adalah Shapiro-Wilks karena jumlah sampel yang digunakan

kecil (n< 50) dengan ketentuan bahwa suatu data dikatakan mempunyai

sebaran normal jika nilai p>0,05 (Sastroasmoro, 2008).

Berikut ini adalah tabel hasil uji normalitas tersebut :

Tabel 4.3 Hasil Uji Shapiro-Wilks pada IMT Sampel

Indeks Massa Tubuh p

Tidak obesitas 0,042

Obesitas 0,544

Sumber : Data primer, Mei 2010

Dari tabel 4.3 didapatkan nilai kemaknaan untuk kelompok IMT tidak

obesitas sebesar 0,042 dan untuk kelompok obesitas sebesar 0,544. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa secara statistika sebaran sampel pada kelompok

obesitas adalah normal karena p>0,05, sedangkan pada kelompok tidak

obesitas tidak nomal karena p<0,05. Untuk menormalkan sebaran data maka

(53)

Berikut ini adalah hasil transformasi data

Tabel 4.4 Hasil Transformasi Data IMT Kelompok Tidak Obesitas

Indeks Massa Tubuh P

Tidak obesitas 0,054

Sumber : Data primer, Mei 2010

Setelah dilakukan transformasi data, kelompok tidak obesitas berdasar

IMT mempunyai nilai kemaknaan 0,054. Dengan demikian dapat diambil

kesimpulan bahwa data tersebut secara statistika mempunyai distribusi

normal karena p>0,05.

Tabel 4.5 Hasil Uji Shapiro-Wilks pada RLPP Sampel

Indeks Massa Tubuh p

Tidak obesitas abdominal 0,861

Obesitas abdominal 0,149

Sumber : Data primer, Mei 2010

Dari tabel 4.5 didapatkan nilai kemaknaan 0,861 untuk kelompok tidak

obesitas abdominal dan 0,149 untuk kelompok obesitas abdominal. Dapat

disimpulkan bahwa secara statistika kedua kelompok RLPP tersebut

mempunyai sebaran normal karena kedua kelompok mempunyai nilai p

>0,05.

Syarat uji parametrik adalah data mempunyai sebaran normal dan

(54)

mempunyai sebaran normal dan berskala numerik, maka uji parametrik dapat

dilakukan untuk analisis data. Dalam penelitian ini digunakan uji parametrik

uji t tidak berpasangan dan uji korelasi Pearson.

C. Uji T Tidak Berpasangan

Untuk mengetahui adanya hubungan antara IMT dan RLPP dengan kadar

gula darah puasa, digunakan Uji t tidak berpasangan dengan nilai bermakna

apabila nilai p <0,05.

Hasil perhitungan SPSS 17.0 for windows untuk Uji T tidak berpasangan

ini disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 4.6 Hasil Uji Statistik dengan Uji T Tidak Berpasangan

Variabel p

IMT 0,217

RLPP 0,000

Sumber: Data primer, Mei 2010

Pada tabel 4.6, IMT memiliki nilai kemaknaan 0, 217 terhadap kadar

GDP. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara IMT dengan kadar gula

darah puasa secara statistik tidak bermakna karena nilai p>0,05. RLPP

memiliki nilai kemaknaan 0, 000 terhadap kadar GDP. Hal ini menunjukkan

bahwa hubungan antara RLPP dengan kadar gula darah puasa secara statistik

(55)

D. Uji Korelasi Pearson

Untuk menilai kemaknaan korelasi antara dua variabel, digunakan nilai

p(sig.). Terdapat korelasi yang bermakna antar dua variabel jika nilai p <0,05

(Dahlan, 2005). Hasil penghitungan dinyatakan dalam koefisien korelasi

Pearson(r). Nilai r ditafsirkan baik (r>0,8), sedang (0,6-0,79), lemah(0,4-0,59),

dan sangat lemah(<0,4) (Sastroasmoro, 2008).

Hasil perhitungan SPSS 17.0 for windows untuk uji korelasi Pearson

dalam penelitian ini disajikan dalam tabel berikut

Tabel 4.7 Hasil Uji Korelasi Pearson pada IMT dan RLPP Terhadap Kadar GDP

Variabel p Nilai korelasi

IMT 0,356 0,146

RLPP 0,000 0,791

Sumber: Data primer, Mei 2010

Pada tabel di atas IMT mempunyai nilai kemaknaan 0,356. Hal ini

menunjukkan bahwa korelasi antara IMT dan kadar GDP secara statistika

tidak bermakna karena nilai p>0,05. Sedangkan RLPP mempunyai nilai

kemaknaan 0,00. Hal ini menunjukkan bahwa korelasi antara RLPP dan kadar

GDP secara statistika bermakna karena nilai p<0,05. Nilai korelasi Pearson

(r) untuk IMT adalah 0,791. Hal ini menunjukkan dua hal, yaitu arah korelasi

positif dan kekuatan korelasi. Nilai korelasi yang positif menunjukkan

(56)

BAB V PEMBAHASAN

Parameter antropometri yang digunakan pada penelitian penulis adalah

IMT sebagai penentu obesitas general dan RLPP sebagai penentu obesitas

abdominal. Dari 42 sampel yang diteliti, apabila menggunakan kriteria IMT maka

akan didapatkan 16 sampel yang masuk dalam klasifikasi obesitas general. Akan

tetapi, apabila diklasifikasi berdasar kriteria RLPP maka didapatkan 30 sampel

dengan obesitas abdominal. Hal ini menunjukkan bahwa, seseorang dengan

obesitas general belum tentu mengalami obesitas abdominal dan begitu juga

sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Eyben (2003) bahwa terdapat dua

tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh yang dapat dibedakan menjadi

obesitas abdominal dan obesitas general. Individu dapat mengalami dua tipe

obesitas ini secara bersamaan atau hanya salah satu dengan faktor risiko menderita

resistensi insulin dan penyakit kardiovaskuler lebih tinggi pada individu dengan

obesitas abdominal (Steinberger dan Daniels, 2003).

Analisis data penelitian dengan uji t tidak berpasangan didapatkan hasil

bahwa terdapat hubungan bermakna antara variabel RLPP dengan kadar gula

darah puasa (p = 0,000). Selain itu, hasil uji korelasi untuk variabel RLPP juga

menunjukkan bahwa ada korelasi bermakna antara RLPP dan kadar GDP (p =

0,000). Nilai korelasi positif dari RLPP terhadap kadar GDP sebesar 0,791

menunjukkan bahwa semakin tinggi RLPP maka semakin tingi pula kadar GDP.

(57)

Secara fisiologis, kadar gula darah diatur dalam konsentrasi normal

dengan fluktuasi sangat terbatas oleh insulin. Pada orang dengan obesitas, terdapat

peningkatan total lemak tubuh. Jaringan lemak memproduksi berbagai adipokin,

salah satunya adalah asam lemak bebas. Terdapat bukti yang kuat bahwa

pemaparan singkat oleh peningkatan asam lemak bebas pada jaringan perifer akan

menginduksi resistensi insulin. Mekanismenya melalui aktivasi jalur serin/treonin

kinase oleh metabolit asam lemak bebas yang akan mengurangi kemampuan

untuk mengaktifkan reseptor insulin. Pada pemaparan asam lemak bebas jangka

panjang di pankreas akan merusak fungsi dari sel β. Kondisi tersebut disebut

dengan lipotoksisitas. Manifestasi dari resistensi insulin ini ditandai dengan

peningkatan pada kadar gula darah puasa dan kadar gula darah sewaktu. Oleh

karena itu, berdasar teori maka nilai RLPP sebagai pengukur obesitas sentral

berhubungan dengan kadar gula darah puasa dan peningkatan dari nilai RLPP

akan diikuti oleh peningkatan kadar gula darah puasa.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Despres (2006) yang

dilakukan pada populasi Amerika dan Eropa. Penelitian tersebut membuktikan

adanya hubungan antara IMT, RLPP, dan lingkar pinggang terhadap kadar

glukosa tubuh, dengan RLPP mempunyai korelasi paling kuat dibandingkan

pengukuran antropometri lain terhadap kadar glukosa darah.

Penelitian Bigaard et al.(2004) juga menyebutkan bahwa terdapat

hubungan antara RLPP dengan kondisi metabolik tubuh, salah satunya adalah

(58)

dikatakan bahwa angka kematian yang terjadi akibat risiko perubahan metabolik

berbanding lurus dengan peningkatan nilai RLPP.

Penelitian penulis juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan

Scheneider et al.(2007). Scheneider mengungkapkan bahwa pengukuran RLPP

merupakan pengukuran antropometri indikator obesitas terbaik untuk

memprediksikan risiko kardiometabolik dibandingkan IMT, lingkar pinggang dan

lingkar pinggul.

Manfaat dari hasil hubungan yang bermakna dan korelasi yang kuat antara

RLPP dan kadar gula darah puasa adalah dapat diterapkannya pengukuran RLPP

sebagai skrining awal yang mudah, murah dan tidak invasif pada individu dengan

faktor risiko tingi menderita DM atau sindrom metabolik.

Untuk variabel IMT, hasil analisis data menggunakan uji t tidak

berpasangan menunjukkan bahwa hubungan IMT dengan kadar gula darah puasa

secara statistika tidak bermakna (p = 0,217). Hasil uji korelasi yang dilakukan

juga menunjukkan bahwa tidak ada korelasi bermakna antara IMT dan kadar gula

darah puasa (p = 0,356).

Hasil dari penelitian penulis ini untuk variabel IMT tidak sesuai dengan

sebagian besar penelitian-penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa

terdapat hubungan antara IMT dengan kadar gula darah puasa (Despres, 2006;

Eyben et al., 2003; Scheneider et al., 2007; Vazquez et al., 2007).

(59)

Perbedaan hasil penelitian ini dengan penelitian yang lain kemungkinan

dikarenakan beberapa hal sebagai berikut :

a. Teknik pemilihan sampel menggunakan teknik non random sampling. Teknik

ini lebih dipilih dalam penelitian dibandingkan random sampling karena lebih

praktis dan mudah. Kesahihan sampel non random sampling terletak pada

berapa besar karakteristik sampel yang dipilih menyerupai karakteristik

sampel bila pemilihan dilakukan dengan cara probability sampling.

b. Jumlah sampel yang minimal. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi

cross sectional, sehingga seharusnya dibutuhkan jumlah sampel yang cukup

banyak. Akan tetapi, karena keterbatasan waktu dan pemenuhan kriteria

inklusi serta eksklusi maka sampel yang digunakan hanya sebatas jumlah

(60)

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat diambil

simpulan sebagai berikut :

1. Tidak terdapat hubungan antara IMT dengan kadar gula darah puasa.

2. Terdapat hubungan antara RLPP dengan kadar gula darah puasa.

3. RLPP mempunyai korelasi lebih kuat terhadap kadar gula darah puasa

dibandingkan IMT terhadap kadar gula darah puasa.

B. Saran

Dengan mempertimbangkan hasil penelitian, Penulis memberikan saran

sebagai berikut :

1. Perlu dilakukan sosialisasi yang lebih mendalam kepada masyarakat

mengenai efek negatif perubahan toleransi glukosa yang mengarah ke

insiden DM tipe II pada orang dengan obesitas sentral.

2. Tingginya prevalensi obesitas pada hasil penelitian ini, kepada warga

Perumahan Griya Binangun Asri yang telah dijadikan sampel, perlu

dilakukan penyuluhan mengenai perubahan gaya hidup dengan diit

dan olahraga yang teratur.

3. Perlunya diterapkan pengukuran antropometri RLPP pada pasien yang

berkunjung ke pusat-pusat pelayanan kesehatan sebagai skrining awal

adanya obesitas sentral dan faktor risiko kardiometabolik yang

(61)

4. Perlu dilakukan penelitian dan kajian mendalam untuk menentukan

metode pengukuran antropometri tubuh yang paling baik dalam

memprediksikan kemungkinan kejadian faktor risiko kardiometabolik

pada obesitas.

5. Dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan acuan pada

penelitian lanjut yang berkaitan dengan pendalaman masalah resistensi

(62)

DAFTAR PUSTAKA

Basu R, Pajvani UB, Rizza RA, Scherer PE. 2007. Selective downregulation of the high–molecular weight form of adiponectin in hyperinsulinemia and type 2 diabetes. Differential regulation from nondiabetic subjects. Diabetes 56:2174–2177.

Bigaard J, Frederiksen K, Tjønnelan A, Thomsen BL, Overvad K, Heitmann BL, Sørensen TI. 2004. Waist and hip circumferences and all-cause mortality: usefulness of the waist-to hip ratio. International Journal of Obesity 28:741–747.

Bray GA, Lovejoy JC, Smith SR, DeLany JP, Lefevre M, Hwang D, Ryan DH, York DA. 2002. Recent advances in nutritional sciences. The influence of different fats and fatty acid on obesity, insulin resistance, and inflammation. J Nutr 132:2488–2491.

Cani PD, Amar J, Iglesias MA. 2007. Metabolic endotoxemia initiates obesity and insulin resistance. Diabetes care 56:1761–1772.

Chan DC, Watts GF, Barrett PH, Burke V. 2002. Waist circumference, waist-to-hip ratio, and body mass index as predictors of adipose tissue compartments in men. Q J Med 441–447.

Chandran M, Phillips SA, Ciaraldi T, Henry RR. 2003. Adiponectin : More Than Just Another Fat Cell Hormone ?. Diabetes Care 26:2442-2450.

Dahlan MS. 2005. Statistika untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta: PT. Arkans

(63)

Daniels SR. 2009. The use of BMI in the clinical setting. Pediatrics 124:S35–S41.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Tahun 2030 prevalensi diabetes melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. http://www.depkes.go.id/index.php. (15 Maret 2010)

Després J. 2006. Abdominal obesity: the most prevalent cause of the metabolic syndrome and related cardiometabolic risk. European Heart Journal Supplements 8:B4–B12.

Eckel RH and Bonow RO. 2003. Diet, obesity, and cardiovascular risk. N Engl J Med 348:2057–2058.

Esqueda A, Aguilar-Salinas CA, Velazquez-Monroy O, Gómez FJ, Rosas PM., Mehta R et al. 2004. The body mass index is a less-sensitive tool for detecting cases with obesity-associated co-morbidities in short stature subjects. International Journal of Obesity 28:1443–1450.

European Health Risk Monitoring. 2002. Recommendation for indicators, international collaboration, protocol and manual of operations for chronic disease risk factor surveys. EHRM.

Eyben VF, Mouritsen E, Holm J, Montvilas P, Dimcevski G, Sucius G et al. 2003. Intra-abdominal obesity and metabolic risk factors: a study of young adults. International Journal of Obesity 27 : 941–949.

Froguel P. 2004. Obesity: mechanisms and clinical management. N Engl J Med 350:1691–1692.

Gandasoebrata R. 2006. Penuntun laboratorium klinik. Jakarta : Dian Rakyat, pp: 7-8.

(64)

Grundy SM, Chair, Cleeman JI, Daniels SR, Donato KA, Eckel RH et al. 2005. Diagnosis and management of the metabolic syndrome. Circulation 112: e285-e290.

Hossain P, Kawar B, and El Nahas M. 2007. Obesity and diabetes in the developing world–a growing challenge. N Engl J Med 356:213–215.

Huxley R, Mendis S, Zheleznyakov E, Reddy S, and Chan J. 2010. Body mass index, waist circumference and waist:hip ratio as predictors of cardiovascular risk—a review of the literature. European Journal of Clinical Nutrition 64 :16–22.

James PT, Lear SA, KO GT, and Kumanyika S. 2010. Appropriateness of waist circumference and waist-to-hip ratio cutoffs for different ethnic groups. European Journal of Clinical Nutrition 64:42-61.

Janghorbani M, Amini M, Rezvanian H, Gouya MM, Delavari A, Alikhani S et al. 2008. Association of body mass index and abdominal obesity with marital status in aduts. ArchIranian Med 11:274–281.

Kahn R, Buse J, Ferannini E, and Stern M. 2005. The metabolic syndrome: time for a critical appraisal. Diabetes Care 28:2289-2304.

Ketel IJ, Volman MN, Seidell JC, Stehouwer CD, Twisk JN, and Lambalk CB. 2007. Superiority of skinfold measurements and waist over waist to hip ratio for determination of body fat distribution in a population-based cohort of Caucasian Dutch adults. European Journal of Endocrinology 156:655–661.

Labib M. 2003. The investigation and management of obesity. J Clin Pathol 56:17-25.

(65)

Lear SA, Humphries KH, Frohlich JJ, and Birmingham CL. 2007. Appropriateness of current thresholds for obesity-related masures among Aboriginal people. CMAJ 177:1499–1505.

Liubov ,Noun B , and Laor A. 2003 Relationship of Neck Circumference to Cardiovascular Risk Factors. Obesity Research 11:226 –231.

Lteif AA and Mather KJ. 2005. Obesity, insulin resistance, and the methabolic syndrome. Determinants of endothelial dysfunction in whites and blacks. Circulation 112:32–38.

Mahan, Adair, and Popkin BM. 2002. Ethnic differences in the association betwen body mass index and hypertension. Am J Epidemiology 155:346-353.

Marques BG, Hausman DB, and Martin RJ. 1998 Association of fat cell size and paracrine growth factors in development of hyperplastic obesity. Am J Physiol 275:R1898–R1908.

Matereau. 2010. Pemeriksaan darah hemoglobin dan glukosa darah.

http://materiuas.wordpress.com/2010/01/26/pemeriksaan-darah-hemoglobin-dan-glukosa-darah-2/. (5 April 2010).

McLaughlin T, Abbasi F, Lamendola C, Liang L, Reaven G, Schaaf P et al. 2002. Differentiation between obesity and insulin resistance in the association with C-Reactive protein. Circulation 106:2908–2912.

Merentek E. 2006. Resistensi insulin pada diabetes mellitus tipe 2. Cermin Dunia Kedokteran 150:38-41.

Mirmiran P, Ezmaillzadeh, and Azizi F. 2004. Detection of cardiovascular risk factors by anthropometric measures in Tehranian adults: receiver operating characteristic (ROC) curve analysis. European Journal of Clinical Nutrition 58:1110–1118.

Gambar

Gambar 2.1 Pengaturan Neuroendokrin Metabolisme Energi (Merentek, 2006).
Tabel 2. 1  Beberapa Adipokin dan Fungsinya
Tabel 2.3 Klasifikasi IMT pada Penduduk Asia Dewasa
Gambar 3.1  Pengambilan Darah Vena (Priyanto, 2004).
+7

Referensi

Dokumen terkait

This thesis analyzes the relationship between the Native Aborigines and the White colonizers in the novel of Women of the Sun by Hyllus Maris and Sonia Borg.. This thesis

independensi auditor eksternal terhadap tingkat materialitas dalam audit. laporan keuangan menunjukkan keahlian audit berpengaruh

MBAS = Methylene Blue Active Substance ABAM = Air Baku untuk Air Minum Logam berat merupakan logam terlarut. Nilai di atas merupakan batas maksimum, kecuali untuk pH

Peserta didik yang selesai lebih dulu, baik individu maupun kelompok dalam membuat produk kerajinan bahan berbasis media campuran dapat mempresentasikan di muka kelas, agar

43 Total regulatory adjustments to Additional Tier 1 capital Jumlah faktor pengurang (regulatory adjustment) terhadap AT1. 44 Additional Tier 1 capital (AT1) Jumlah AT 1 setelah

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini yaitu implementasi kebijakan UMKM di Kabupaten Sragen ternyata belum efektif, dilihat dari 13 variabel kebijakan yang

Namun, di dalam masyarakat Islam sendiri, masih ada yang memberikan respon Teologi perempuan. mempunyai dua tujuan dasar yaitu mengajak perempuan

1) Memenuhi standar jalan Indonesia yang merujuk kepada Peraturan Pekerjaan Umum nomor 19 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan