• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS BEREDARNYA MAKANAN KADALUWARSA

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh :

LIRA APRIANA SARI NASUTION NIM : 070200114

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN

ATAS BEREDARNYA MAKANAN KADALUWARSA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

LIRA APRIANA SARI NASUTION

070200114

DEPARTEMEN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Perdata

Dr. Hasim Purba, SH, M.Hum NIP : 196603031985011001

Pembimbing I Pembimbing II

M.Siddik S.H., M.Hum. Dr.Dedi Harianto, S.H., M.Hum.

NIP. 195412101986011001 NIP. 196902201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrohim :

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring upacan shalawat dan salam penulis sampaikan kepada Rasullah SAW sebagai teladan bagi seluruh umat untuk mencari ridha Allah dalam melaksanakan berbagai aktifitas, termasuk dalam penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapat banyak kekurangan, namun dengan demikian penulis dengan berlapang dada untuk menerima kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruh perhatian terhadap skripsi ini.

(4)

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu,SH.M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum USU Medan

2. Bapak Prof. Dr.Budiman Ginting,SH.M.Hum sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukun USU Medan

3. Bapak Syafruddin, SH M.H DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU Medan

4. Bapak M. Husni, SH. M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU Medan

5. Bapak Dr. Hasim Purba,SH.M.Hum sebagai Ketua Departemen Hukum Keperdataan

6. Bapak M.Siddik SH, M.Hum sebagai Pembimbing I yang telah memberikan banyak masukkan dan bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi

7. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH. M.Hum sebagai Pembimbing II yang telah memberikan banyak masukkan dan bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

(5)

9. Bapak Asmin, SH. M.hum sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu selama penulis kuliah 10.Ibu. Zakiah, SH sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah banyak membantu selama penulis kuliah

11.Ibu Syamsiar,SH. M.Hum sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu selama penulis kuliah 12.Ibu Chairul Bariah, SH. M.Hum sebagai dosen Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu selama penulis kuliah

13.Bapak Zulkifli Sembiring SH, M.hum sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis selama kuliah

14.Ibu Nurmalawaty, SH.M.Hum sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis selama kuliah

15.Bapak Abu Bakar Siddik SH, sebagai ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Medan yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk memperoleh bahan-bahan yang dibutuhkan dalam rangka penulisan skripsi ini

(6)

penulis untuk memperoleh bahan-bahan yang dibutuhkan dalam rangka penulisan skripsi ini

17.Terima kasih kepada teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Sheila Aristyani, Mutia Sekar Rini, Yuke Dwi Hidayati, Nindia Sari Usman dan Diannovi Nugraha Sahid Matondang atas bantuan, dan selalu ada disetiap saat untuk memberikan dorongan disaat dibutuhkan oleh penulis dan juga untuk masa-masa yang indah selama melewati masa-masa perkuliahan.

18.Terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis : Arie Kartika, Cut Anggun Venina, Novira Andika Febrini, Ririn Saputri, Nabila Yasmin dan Indah Widya atas bantuan, dan selalu ada disetiap saat untuk memberikan dorongan kepada penulis

19.Terima kasih kepada teman-teman satu angkatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara: Miranda Chairunisa SH, Shaufi Rahmi SH, Elsamaria Tambunan SH, Elizabeth Kartini SH dan Ivo Fara Zara SH atas bantuannya untuk memberikan masukan dan dorongannya kepada penulis selama penulis menyelesaikan skripsi ataupun dalam masa-masa perkuliahan.

(7)

Semoga pencapaian yang telah penulis peroleh ini dapat memberikan kebahagiaan di hati kedua orang tua penulis sebagai ungkapan rasa terima kasih yang tidak terhingga dari penulis , dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar H. Ahmad Noekman Nst dan Sutan Singengu Paruhuman Lubis yang tiada henti-hentinya memberikan dukungan kepada penulis.

Akhirnya, tiada mampu penulis merangkaikan kata-kata untuk membalas semua kebaikan yang telah diberikan berbagai pihak, termasuk yang tidak sempat disebutkan satu persatu. Semoga ilmu pengetahuan yang selama ini diperoleh dapat bermakna dan menjadi berkah bagi penulis dalam hal mencapai cita-cita penulis.

Medan, Juni 2011 Penulis

(8)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS

BEREDARNYA MAKANAN KADALUWARSA

Lira Apriana Sari Nst1

M.Siddik2

Dedi Harianto3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas seperti saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan/atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia, apabila tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa yang diinginkan konsumen, maka konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, karena tanpa disadari konsumen hanya menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Sedangkan makanan merupakan komoditi yang memeliki resiko yang tinggi karena makanan tersebut dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi dalam prakteknya kegiatan perdagangan produk makanan menunjukkan, masih banyaknya pelaku usaha yang dengan sengaja menjual produk-produk makanan yang telah kadaluwarsa, hal ini sangatlah dapat merugikan dari hak-hak konsumen karena dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan dari konsumen. Berdasarkan dengan kondisi peredaran makanan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut yaitu bagaimana pengaturan mengenai perlindungan konsumen atas beredarnya makanan kadaluwarsa serta permasalahan yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi makanan kadaluwarsa, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen makanan kadaluwarsa serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instansi yang terkait terhadap beredarnya makanan kadaluwarsa, serta bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha atas beredarnya makanan kadaluwarsa dan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran.

(9)

sekunder serta bahan hukum tertier, serta melaksanakan wawancara terstruktur dengan mempergunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya pengaturan mengenai makanan kadaluwarsa dalam undang-undang khusus mengenai makanan kadaluwarsa hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen yang ternyata belum dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dari akibat mengkonsumsi makanan yang telah kadaluwarsa. Hal ini semakin diperparah dengan perilaku pelaku usaha yang masih saja memperdagangkan makanan yang telah rusak khususnya makanan yang telah kadaluwarsa yang merupakan akibat dari ketiadaan undang-undang khususnya mengenai makanan kadaluwarsa, hal ini dikarenakan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar sesama pelaku usaha, budaya hukum konsumen yang tidak mampu untuk bersikap kritis, ketiadaan sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran, kurangnya koordinasi antar instansi-instansi terkait, serta tidak berjalannya fungsi pengawasan. dalam hal ini pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara perdata, pidana, maupun administrasi negara. Apabila terjadi persengketaan maka dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan formal. Seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada kualitas dari makanan dengan melakukan penyempurnaan yang lebih lanjut terhadap peraturan mengenai standar ukuran dari makan sehat dan tidak sehat khususnya makanan kadaluwarsa dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan baru dalam kegiatan penjualan dan menanamkan sifat dan budaya yang kritis kepada masyarakat dalam mencermati bentuk-bentuk makanan yang sehat dan tidak sehat yang telah diproduksi dan didistribusikan oleh pelaku usaha/produsen serta meningkatkan fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha makanan guna untuk mengurangi berbagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan mengenai makanan, dan fungsi koordinasi antar instansi yang kurang berjalan dengan baik harus segera diperbaiki dengan dibarengi dengan peningkatan sumber daya dari aparatur pemerintah, LPKSM. Di samping itu juga diharapkan dapat menciptakan penyelesaian sengketa makanan yang bersifat cepat, sederhana dan murah sehingga masyarakat tidak enggan untuk melaporkan permasalahannya apabila hak-hak mereka sebagai konsumen telah dirugikan. Kata kunci

1. Perlindungan Konsumen 2. Makanan Kadaluwarsa

(10)

DAFTAR ISI

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

D. Keaslian Penulisan ... 12

E. Tinjauan Kepustakaan ... 12

F. Metode Penelitian ... 19

G. Sistematika Penulisan ... 22

BAB II : PENGATURAN MENGENAI MAKANAN KADALUWARSA DAN AKIBAT MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA… 25 A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha ... 25

B. Pengertian Makanan Kadarluwarsa dan Jenis-jenis Makanan Tidak Sehat ... 32

1. Pengertian Daluwarsa ... 32

2. Produk yang disebut Daluwarsa ... 33

3. Makanan sehat dan tidak sehat serta persyaratan makanan sehat ... 38

C. Pengaturan Mengenai Makanan Kadaluwarsa Dalam Berbagai Peraturan Perundang – Undangan Yang Berlaku ... 43

D. Kerugian Yang Dialami Konsumen Akibat Mengkonsumsi Makanan Kadaluwarsa ... 48

1. Kerugian secara material yang dialami konsumen ... 48

2. Efek samping dalam mengkonsumsi makanan kadaluwarsa terhadap kesehatan konsumen ... 51

BAB III : PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DARI PEREDARAN MAKANAN KADALUWARSA SERTA PEMBINAAN DANPENGAWASAN PEREDARAN MAKANAN KADALUWARSA ... 56

(11)

B. Perlindungan Konsumen Dari Peredaran Makanan

Kadaluwarsa ... 59

1. Meningkatkan kesadaran hukum konsumen akan hak dan kewajibannya dalam mengkonsumsi makanan ... 59

2. Mendorong pelaku usaha untuk menjaga kualitas dari makanan yang diperdagangkan ... 61

3. Pengenaan sanksi bagi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran ... 63

C. Pembinaan dan Pengawasan Peredaran Makanan Kadaluwarsa ... 66

1. Pembinaan dan pengawasan oleh Kementrian Perdagangan ... 66

2. Pengawasan yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan ... 69

3. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan ... 70

4. Pengawsan yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ... 72

BAB IV : PERTANGGUNG JAWABAN PELAKU USAHA BERKENAAN DENGAN PEREDARAN MAKANAN KADALUWARSA SERTA MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN MAKANAN KADALUWARSA ... 78

A. Tanggung Jawab Pelaku Usaha Berkenaan Dengan Makanan Kadaluwarsa ... 78

1. Tanggung jawab secara keperdataan ... 78

2. Tanggung jawab menurut ketentuan hukum pidana ... 81

3. Tanggung jawab menurut ketentuan hokum administrasi Negara ... 86

B. Penyelesaian Sengketa Konsumen Makanan Kadaluwarsa ... 89

1. Pengertian Sengketa Konsumen ... 89

2. Penyelesaian secara damai ... 92

a. Penyelesaian Melalui Negosiasi ... 92

b. Penyelesaian Melalaui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat ... 96

c. Penyelesaian Sengketa Melalu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen ... 99

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan Formal ... 107

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 114

A. Kesimpulan ... 114

B. Saran ... 116

(12)

ABSTRAK

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS

BEREDARNYA MAKANAN KADALUWARSA

Lira Apriana Sari Nst1

M.Siddik2

Dedi Harianto3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara 3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Pada era globalisasi dan perdagangan bebas seperti saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang dan/atau pelayanan jasa yang dipasarkan kepada konsumen di Indonesia, apabila tidak berhati-hati dalam memilih produk barang dan/atau jasa yang diinginkan konsumen, maka konsumen hanya akan menjadi objek eksploitasi dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab, karena tanpa disadari konsumen hanya menerima begitu saja barang dan/atau jasa yang dikonsumsinya. Sedangkan makanan merupakan komoditi yang memeliki resiko yang tinggi karena makanan tersebut dikonsumsi oleh masyarakat untuk kelangsungan hidupnya. Tetapi dalam prakteknya kegiatan perdagangan produk makanan menunjukkan, masih banyaknya pelaku usaha yang dengan sengaja menjual produk-produk makanan yang telah kadaluwarsa, hal ini sangatlah dapat merugikan dari hak-hak konsumen karena dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan dari konsumen. Berdasarkan dengan kondisi peredaran makanan tersebut, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut yaitu bagaimana pengaturan mengenai perlindungan konsumen atas beredarnya makanan kadaluwarsa serta permasalahan yang dihadapi konsumen dalam mengkonsumsi makanan kadaluwarsa, dan bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen makanan kadaluwarsa serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instansi yang terkait terhadap beredarnya makanan kadaluwarsa, serta bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha atas beredarnya makanan kadaluwarsa dan mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran.

(13)

sekunder serta bahan hukum tertier, serta melaksanakan wawancara terstruktur dengan mempergunakan pedoman wawancara.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pentingnya pengaturan mengenai makanan kadaluwarsa dalam undang-undang khusus mengenai makanan kadaluwarsa hal ini dilatar belakangi oleh keberadaan peraturan perundang-undangan dibidang perlindungan konsumen yang ternyata belum dapat memberikan perlindungan terhadap konsumen dari akibat mengkonsumsi makanan yang telah kadaluwarsa. Hal ini semakin diperparah dengan perilaku pelaku usaha yang masih saja memperdagangkan makanan yang telah rusak khususnya makanan yang telah kadaluwarsa yang merupakan akibat dari ketiadaan undang-undang khususnya mengenai makanan kadaluwarsa, hal ini dikarenakan terjadinya persaingan yang tidak sehat antar sesama pelaku usaha, budaya hukum konsumen yang tidak mampu untuk bersikap kritis, ketiadaan sanksi hukum yang tegas terhadap pelanggaran, kurangnya koordinasi antar instansi-instansi terkait, serta tidak berjalannya fungsi pengawasan. dalam hal ini pelaku usaha dapat dimintakan pertanggung jawabannya secara perdata, pidana, maupun administrasi negara. Apabila terjadi persengketaan maka dapat diselesaikan dengan melalui pengadilan ataupun di luar pengadilan formal. Seharusnya memberikan perhatian yang serius kepada kualitas dari makanan dengan melakukan penyempurnaan yang lebih lanjut terhadap peraturan mengenai standar ukuran dari makan sehat dan tidak sehat khususnya makanan kadaluwarsa dengan memperhatikan perkembangan-perkembangan baru dalam kegiatan penjualan dan menanamkan sifat dan budaya yang kritis kepada masyarakat dalam mencermati bentuk-bentuk makanan yang sehat dan tidak sehat yang telah diproduksi dan didistribusikan oleh pelaku usaha/produsen serta meningkatkan fungsi pembinaan dan pengawasan yang dilaksanakan pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha makanan guna untuk mengurangi berbagai bentuk pelanggaran terhadap ketentuan mengenai makanan, dan fungsi koordinasi antar instansi yang kurang berjalan dengan baik harus segera diperbaiki dengan dibarengi dengan peningkatan sumber daya dari aparatur pemerintah, LPKSM. Di samping itu juga diharapkan dapat menciptakan penyelesaian sengketa makanan yang bersifat cepat, sederhana dan murah sehingga masyarakat tidak enggan untuk melaporkan permasalahannya apabila hak-hak mereka sebagai konsumen telah dirugikan. Kata kunci

1. Perlindungan Konsumen 2. Makanan Kadaluwarsa

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan konsumen adalah bagian dari hukum yang memuat asas-asas atau kaidah kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai pihak satu sama lain yang berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen dalam pergaulan hidup4

Terbukanya pasar internasional sebagai akibat dari proses globalisasi ekonomi maka harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan dan keselamatan

.

Hal ini juga tercantum didalam Undang-Undang No 8 Tahun 1999 mengenai perlindungan konsumen yang menyebutkan bahwa “ Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen.”Oleh karena itu, berbicara mengenai perlindungan konsumen berarti mempersoalkan mengenai jaminan ataupun kepastian mengenai terpenuhinya hak-hak konsumen. Sebagaimana yang diketahui bahwa dengan adanya Globalisasi dan perkembangan-perkembangan perekonomian yang terjadi secara pesat di dalam era perekonomian modern ini telah menghasilkan berbagai jenis dan variasi dari barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.

4

AZ.Nasution, Konsumen dan Hukum : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum Pada

(15)

masyarakat serta kepastian atas mutu, jumlah dan keamanan terhadap barang dan/atau jasa yang diperoleh oleh masyarakat di pasar. Sebagaimana diketahui bahwa akhir-akhir ini banyak beredar makanan yang kadaluwarsa di pasar swalayan ataupun di tempat-tempat penjualan makanan yang dapat membahayakan bagi kesehatan manusia, Sehingga hal tersebut dapat merugikan kepentingan dari konsumen.

Manfaat dari adanya perkembangan era globalisasi pada pasar nasional yang seperti inilah pada pihak-pihak tertentu dapat memberikan manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta hal ini akan semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan dari konsumen. Karena konsumen tidak hanya sekedar pembeli. Akan tetapi, semua orang (perorangan atau badan usaha) yang mengkonsumsi barang dan/atau jasa. Konsumen juga disebut sebagai pemakai kata pemakai ini menekankan bahwa konsumen adalah sebagai konsumen akhir (Ultimate Consumer).

(16)

hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak harus kontraktual (The Privity Of Contract).5

Seperti yang diketahui bahwa peredaran makanan kadaluarsa ini tidak hanya terjadi di pasar tradisional akan tetapi juga banyak terjadi di pasar-pasar swalayan besar. Seperti yang terjadi di awal bulan Oktober ini, petugas kepolisian menggerebek sebuah pabrik yang terletak di Jalan Walu Delapan, Kaputri, Cengkareng, Jawa Barat. Pabrik ini berkedok sebagai distributor

Akan tetapi, kedudukan konsumen yang sangat awam terhadap barang-barang yang dikonsumsinya dan adanya kesulitan untuk meneliti sebelumnya mengenai keamanan dan keselamatan di dalam mengkonsumsi barang tersebut. Kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen selalu berada pada posisi yang lemah. Untuk meningkatkan harkat dan martabat konsumen maka perlu ditingkatkan kesadaran, pengetahuan, kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta menumbuhkembangkan sikap pelaku usaha yang bertanggung jawab. Maka kewajiban untuk menjamin keamanan suatu produk agar tidak menimbulkan kerugian bagi konsumen dibebankan kepada produsen dan pelaku usaha, karena pihak produsen dan pelaku usahalah yang mengetahui komposisi dan masalah-masalah yang menyangkut keamanan suatu produk tertentu dan keselamatan di dalam mengkonsumsi produk tersebut. Kerugian-kerugian yang diderita oleh konsumen merupakan akibat kurangnya tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen.

5

(17)

makanan ringan. Padahal sebenarnya, pabrik ini mengolah makanan ringan dari bahan-bahan yang kadaluwarsa. Modusnya adalah dengan mengumpulkan berbagai makanan ringan yang sudah kadaluwarsa yang kemudian dimasak kembali menjadi makanan yang seolah-olah makanan tersebut adalah makanan baru dan makanan tersebut diberi merek. Pabrik makanan ini sudah beroperasi selama 4 (empat) tahun dan mampu memproduksi sebanyak 160 (seratus enam puluh) kardus perhari dan didistribusikan ke sejumlah daerah termasuk cilegon dan Cirebon. Makanan ini juga didistribusikan di warung-warung kecil, makanan kadaluwarsa ini mengandung radikal bebas yang dapat mengancam kesehatan manusia.6

Sementara itu, di Cirebon, Jawa Barat ditemukan pasar yang khusus menjual kue-kue yang kadaluwarsa. Pasar tersebut merupakan pusat penjualan kue-kue kering yang sudah kadaluwarsa. Pasar tradisional ini adalah pasar Wateg Cirebon. Pasar ini, selain menjual kue-kue kering juga menjual sosis, mie instan, dan susu kaleng yang sudah kadaluwarsa. Makanan-makan ini adalah makanan yang biasa dikonsumsi oleh anak-anak dan hal ini jelas dapat berakibat kepada kesehatan dan keselamatan konsumen terutama anak-anak.7

Peredaran makanan kadaluwarsa ini juga dapat ditemui peredaran di pasar-pasar modern seperti supermarket, seperti yang ditemukan kasus peredaran makanan kadaluwarsa ini beredar di hypermarket Kelapa Gading, Jakarta Utara.

6

“Makanan Kadaluwarsa”,

2010 7

(18)

Hypermarket terbukti menjual beberapa merek susu dan coklat yang kadaluarsa, manajemen hypermarket juga mengakui bahwa pihaknya menjual makanan kadaluwarsa “ kami disini menggunakan sistem manual cek. Saya rasa ini semua human error” kata store general manager Hypermarket Kelapa Gading, Sony Nazar. Ia berkata bahwa pihaknya akan membenahi sistem pengawasan makanan dan berjanji akan mengganti makanan yang kadaluarsa. Sebelumnya makanan yang kadaluwarsa yang ditemukan oleh Desperindag di Hypermarket tersebut yaitu susu yang bermerek antara lain Greenfield dan Whippingcream, Coklat dari Swiss yang bermerek Lindt dan 2 (dua) kantong plastik bakso olahan yang bermerek Vida8

Salah satu kasus mengenai akibat penggunaan bahan olahan makanan kadaluwarsa juga terjadi di Bandung, Jawa Barat yaitu dialami oleh Nyonya Amin seorang pengusaha catering, tiba-tiba saja harus kehilangan kontrak memasok nasi dus untuk makan siang karyawan suatu perusahaan. Penyebabnya adalah keracunan makanan yang disajikan oleh perusahaan cateringnya untuk karyawan perusahaan tersebut. Ada 5 (lima) orang karyawan yang mengalami pingsan dan sekitar tiga puluh karyawan menginap selama satu sampe dua hari di rumah sakit, serta puluhan karyawan yang berobat jalan ke dokter perusahaan dengan kasus yang sama, keracunan makanan. Sumber keracunan tersebut terdapat pada makanan kaleng yang menjadi campuran salah satu menu utama siang itu. Tiga dari 10 (sepuluh) makanan kaleng yang kemudian diolah dan dicampur dengan

8

“Hypermart akui jual makanan kadaluwarsa”

(19)

bahan lain itu ternyata sudah kadaluwarsa. Nyonya Amin mengaku khilaf, tidak sempat membaca tanggal kadaluwarsa yang tertulis pada kaleng tersebut. Dari luar, tampilan fisik dari kaleng-kaleng tersebut tidaklah mencurigakan. Yang ia sesali, kenapa ia tidak curiga dengan selimut tipis jamur yang timbul pada permukaan 3 (tiga) kaleng tersebut. Setelah membuang permukaannya, ia kemudian mencampur isi 3 (tiga) kaleng tersebut dengan isi kaleng lain untuk kemudian diolahnya. Ketidaktahuan ini jelas dapat membahayakan jiwa manusia yang mengkonsumsi makanan yang telah tercemar tersebut.9

Ada berbagai macam cara yang dilakukan oleh para pelaku usaha untuk mendapatkan laba usaha yang sebesar-besarnya dengan mengeluarkan modal usaha yang sedikitnya dengan tidak memperhatikan hak-hak konsumen, seperti yang ditemui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BOPM) yang melakukan penyelidikan di Semarang,Jawa Timur, operasi penyelidikan tersebut dilakukan menjelang Hari Raya, Idul Fitri pada bulan Oktober 2006. Operasi ini digelar di beberapa pasar swalayan, empat kaleng makanan dimusnahkan karena kemasannya rusak. Empat makanan rusak itu ditemukan di Swalan Hero, jalan Sultan Agung, Semarang. BPOM menganggap keempat kaleng makanan olahan itu rusak. “Makanan tersebut berupa corned beef merek Great Wall, Eggrolls merek Maling, Kecap ikan dalam kaleng, serta Poorke Luncheon merek Maling10

9

”kadaluwarsa”, http//www.pikiranrakyat.com/cetak/0104/24/hikmah/psikologi.htm, yang diakses pada tanggal 20 Desember 2010.

10

Indo Pos,”Makanan Kadaluarsa Dimusnahkan” yang diakses pada tanggal 30 Desember 2010.

(20)

sejumlah swalayan di Semarang. Selain kadaluawarsa, ada yang tidak mencantumkan izin klinis dari Departemen Kesehatan (Depkes) sehingga apabila dikonsumsi dapat membahayakan kesehatan. Puluhan kemasan makanan dan minuman dari berbagai jenis dirazia tim gabungan Polisi Kota Besar (Poltabes) dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang dari beberapa toko dan swalayan. Produk-produk makanan itu disita dan pada saatnya nanti akan dimusnahkan. Razia kali pertamanya digelar di Toko Tong Hien Jalan Sultan Agung.

(21)

bungkus kurma impor yang tidak menyertakan batas kadaluwarsa, belasan bungkus puding dan jamu yang sudah kadaluwarsa.11

Dengan demikian, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen bertujuan untuk menjamin kepastian dan perlindungan terhadap konsumen dan pelaku usaha, khususnya terhadap pelaku usaha agar menjalankan usahanya dengan jujur agar konsumen tidak mengalami kerugian atas barang dan/atau jasa yang dikonsumsi oleh konsumen. Karena pada dasarnya peraturan yang mengatur tentang produk pangan untuk saat ini, sebenarnya sudah cukup memadai. Tetapi masalahnya adalah sampai sejauh mana produsen pangan Konsumen menjadi objek dari aktifitas bisnis untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui cara-cara promosi, cara-cara penjualan serta penerapan perjanjian standar yang dapat merugikan konsumen.

Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran dari konsumen akan hak-haknya sebagai konsumen dan hal inilah yang sering dijadikan oleh para produsen ataupun pelaku usaha untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Oleh karena itu, Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, dimaksudkan agar menjadi landasan hukum yang kuat bagi masyarakat agar dapat melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.

11

“Makanan Kadaluwarsa Dirazia”,

(22)

mampu menerapkan atau menindaklanjuti setiap ketentuan itu, serta bagaimana sebenarnya pemerintah secara efektif dan berkelanjutan melakukan pengawasan terhadap setiap produk pangan tanpa ada laporan dari anggota masyarakat lembaga atau yayasan perlindungan konsumen.

Secara yuridis normatif, semua peraturan tentang produk pangan sudah memenuhi standard. Tetapi dalam proses penegakan peraturan itu, dapat dikatakan, bahwa dalam banyak kasus, peraturan-peraturan tersebut bersifat nominal dan semantik. Aturan-aturan tertulis sebagai hukum positif sering sekali dilanggar atau tidak dilaksanakan secara konsekuen, banyak bukti yang terjadi di masyarakat yang menunjukkan terjadinya peredaran-peredaran produk pangan yang membahayakan kehidupan manusia, maka dari itu penulis terinspirasi untuk membahas mengenai perlindungan konsumen atas beredarnya makanan kadaluarsa sehingga ditulislah skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas didalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

(23)

2. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen makanan kadaluwarsa serta pembinaan dan pengawasan pemerintah dan instansi yang terkait terhadap beredarnya makanan kadaluwarsa.

3. Bagaimanakah pertanggung jawaban pelaku usaha atas beredarnya makanan kadaluwarsa serta mekanisme penyelesaian sengketa konsumen yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan berbagai pelanggaran.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan utama dalam pembahasan skripsi penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa“ adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu, penulisan pembahasan skripsi ini juga bertujuan, antara lain: 1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai perlindungan konsumen atas

beredarnya makanan kadaluwarsa serta untuk mengetahui permasalahan akibat mengkonsumsi makanan kadaluwarsa?

2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk perlindungan konsumen, pembinaan, dan pengawasan pemerintah dari instansi terkait terhadap beredarnya makanan kadaluwarsa?

(24)

Adapun manfaat yang ingin dicapai dan diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Secara Teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah yang telah dirumuskan diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan di bidang perlindungan konsumen, khususnya berkaitan dengan peredaran makanan kadaluwarsa. Selain itu, hasil pemikiran ini juga akan dapat menambah khasanah kepustakaan di bidang konsumen pada umumnya, dan peredaran makanan kadaluwarsa pada khususnya, serta dapat dijadikan sebagai bahan yang memuat data empiris sebagai dasar penelitian selanjutnya.

(25)

perlindungan konsumen pada umumnya, hak konsumen atas peredaran makanan kadaluwarsa pada khususnya.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini didasarkan kepada ide, gagasan, maupun pemikiran penulis secara pribadi dari awal hingga akhir penyelesaian. Ide maupun gagasan yang timbul karena melihat keadaan yang berkembang mengenai bagaimana perlindungan terhadap konsumen atas beredarnya makanan kadaluwarsa yang terjadi dalam perdagangan bebas dan terjadi dengan semakin maraknya. Artinya tulisan ini bukanlah merupakan hasil ciptaan ataupun penggambaran dari karya orang lain. Oleh karena itu, keaslian dari penulisan ini terjamin adanya. Kalaupun ada terdapat judul skripsi yang terdahulu yang menyerupai yaitu yang berjudul “Tanggungjawab Swalayan Macan Yohan Akibat Perbuatan Menjual Produk Daluarsa Kepada Konsumen Ditinjau dari UU No 8 Tahun 1999”. Akan tetapi yang menjadi pembahasan dan penelitian dari judul skripsi ini sangatlah berbeda dan tidak ada kesamaan mengenai apa yang menjadi pembahasan utama dari skripsi ini. Kalaupun ada pendapat dan kutipan dari penulisan ini, hal tersebut merupakan semata-mata adalah sebagai faktor pendorong dan pelengkap dalam usaha menyusun dan menyelesaikan penulisan ini, karena hal ini memang sangat dibutuhkan untuk menyempurnakan tulisan ini

E. Tinjauan Kepustakaan

(26)

barang dan/atau jasa yang berkualitas, banyak terjadi persaingan yang lebih ketat baik terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri sebagai akibat dari globalisasi dan perdagangan bebas. Sementara dibalik itu, kedudukan konsumen masih lemah. Pembangunan yang dilakukan membawa akibat sampingan yang kompleks yang memerlukan penanganan yang serius, khususnya masalah di dalam perlindungan konsumen. Kebutuhan hukum dan perkembangan kesadaran hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara senantiasa berkembang (dinamis) sejalan dengan perkembangan pembangunan di dalam segala bidang. Oleh karena itu, pembinaan hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum yang sesuai dengan tingkat kemajuan pembangunan di dalam segala bidang, sehingga tercapai ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum yang mengarahkan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Kenyataan menunjukkan, beragam faktor penting yang menunjukkan lemahnya kedudukan konsumen. Menurut hasil penelitian Badan dan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), faktor-faktor yang melemahkan konsumen adalah12

1. Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan haknya

:

2. Belum terkondisinya masyarakat konsumen karena sebagai masyarakat belum tahu akan hak-hak dan kemana haknya disalurkan jika mendapatkan kesulitan atau kekurangan dari standar barang dan/atau jasa yang sewajarnya.

3. Belum terkondisinya masyarakat konsumen menjadi masyarakat yang mempunyai kemauan menuntut hak-haknya

4. Proses peradilan yang ruwet dan waktu yang berkepanjangan 5. Posisi konsumen yang lemah.

Pada dasarnya jenis produk seperti pangan ataupun obat-obatan tidak termasuk produk yang dapat membahayakan, akan tetapi produk-produk seperti

12

Badan Hukum Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) : Laporan Akhir Penelitian

(27)

ini merupakan produk-produk yang dapat dengan mudah tercemar sehingga mengandung racun, yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya, atau bahkan dengan sengaja lalai untuk mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluwarsa. Karena dalam sistem mekanisme yang demikian, produk yang sebenarnya bukan produk yang berbahaya, dapat saja membahayakan kesehatan dan keselamatan dari konsumen, sehingga diperlukan seperangkat peraturan yang membuat standar perlindungan hukum yang tinggi dalam proses dan distribusi produk.13

Makanan yang kadaluarsa merupakan salah satu penyebab utama terjandinya keracunan. Selain membuat konsumen merasa pusing, diare, mual, sesak napas, dan kematian akibat keracunan, mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluwarsa ini dalam waktu yang cukup lama juga dapat menyebabkan kanker. Maraknya kejadian keracunan makanan, sangat berkaitan erat penggunaan bahan baku yang tidak layak konsumsi. Pemilihan bahan baku yang baik merupakan salah satu kunci untuk menghindari kasus keracunan.14

Betapa pun canggihnya proses produksi, tidak akan mampu menutupi buruknya kualitas bahan baku. Konsumen sebaiknya selalu mengingat pepatah yang berbunyi garbage in-garbage out, yang berarti bahan baku yang jelek akan menghasilkan bahan baku yang jelek juga.15

13

Inosentius Samsul, Perlindungan Konsumen Kemungkinan Penerapan Tanggung

Jawab Mutlak, (Jakarta-FH UI Pascasarjana, 2004), hal 68 14

Zumrotin K. Susilo, Penyambung Lidah Konsumen, Diterbitkan atas kerja sama YLKI dengan Puspa Swara, (Jakarta: April 1996), hal 22.

15

(28)

Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas dari suatu produk pangan adalah dengan mengamati waktu kadaluwarsa yang tercantum pada label kemasannya. Konsumen seharusnya dapat memilih produk pangan yang masih jauh dari batas kadaluwarsa, terutama untuk produk yang kemungkinan akan mengalami penyimpanan sebelum digunakan. Selain itu konsumen juga harus dengan cermat mengamati ciri-ciri fisik produk atau kemasannya. Penentuan batas kadaluwarsa dapat dilakukan dengan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluwarsa dilakukan untuk menentukan umur simpan (Shelf life) produk. Penentuan umur simpan didasarkan atas faktor-faktor tersebut misalnya adalah keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsung perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lainnya adalah ukuran kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.

(29)

barang dan /atau jasa itu tidak boleh membahayakan jika dikonsumsi sehingga konsumen tidak dirugikan secara jasmani ataupun rohani.16

Di pihak lain, bagi organisasi bisnis terutama industri makanan, jumlah konsumen yang banyak merupakan potensi pasar bagi berbagai produk makanan yang diproduksinya. Sektor swasta atau industri makanan perlu memahami kebiasaan dan perilaku makan konsumen, sehingga mereka mengetahui makanan apa yang seharusnya diproduksi dan dipasarkan kepada konsumen. Konsumen harus dilindungi dari berbagai makanan yang tidak aman dan merugikan konsumen

17

Akan tetapi, konsumen memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengumpulkan dan mengolah informasi tentang makanan yang dikonsumsinya, sehingga mereka memiliki keterbatasan dalam menilai makanan dan sulit untuk menghindari resiko dari produk-produk yang tidak bermutu dan tidak aman bagi kesehatan. Akhirnya konsumen dengan senang dan tanpa sadar mengkonsumsi produk-produk makanan tersebut karena penampilan yang menarik dengan harga yang lebih murah. Padahal makanan tersebut dapat membahayakan bagi kesehatan. Mengacu pada sistem hukum yang dikembangkan Friedman tentang tanggung jawab produk terdapat tiga substansi hukum tanggung jawab produk yang menjadi dasar tuntutan ganti kerugian konsumen. Ketiga dasar tuntutan tersebut adalah tuntutan karena kelalaian (negligence), tuntutan karena wanprestasi atau ingkar janji (breach of warranty). Hal ini dilakukan karena

.

16

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, Op.cit hal.22.

17

Ujang Sumarwan,”Makalah Masalah Keamanan Pangan Dalam Pola Konsumsi

Masyarakat Indonesia”, dalam percakapan tentang Pendidikan Konsumen dan Kurikulum Fakultas

(30)

secara alamiah kedudukan atau posisi konsumen tidak sama dengan produsen selaku pelaku usaha. Akan tetapi, di dalam Pasal 27 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dirumuskan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :18

1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau dimaksudkan tidak diedarkan

2. Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang

3. Kelalaian yang diakibatkan konsumen

4. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4(empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan

5. Cacat timbul dikemudian hari.

Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu sistem tetapi harus terintegrasi juga kedalam suatu sistem perekonomian, yang di dalamnya terlibat juga pelaku usaha. Sistem perekonomian yang semakin kompleks berdampak pada perubahan konstruksi hukum dalam hubungan antara produsen dan konsumen. Perubahan konstruksi hukum diawali dengan perubahan paradigma hubungan antara konsumen dan produsen. Hubungan yang semula dibangun diatas prinsip caveat emptor (yang menekankan konsumen haruslah berhati-hati dalam melakukan transaksi dengan produsen), berubah menjadi prinsip caveat venditor (yang menekankan kesadaran produsen untuk melindungi konsumen).19

Ketidak seimbangan posisi ini sangat perlu dikompensasi dengan berbagai upaya, baik melalui gerakan perlindungan konsumen, perangkat kelembagaan, dan

18

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindugan Konsumen, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) hal.172.

19

(31)

hukum maupun berbagai upaya lain agar konsumen bisa mengkonsumsi barang dan/atau jasa, khususnya pangan yang diinginkan secara aman. Perlindungan untuk sejumlah besar konsumen di dalam usaha produksi pangan seperti ini merupakan keharusan, karena perkembangan ekonomi dan industri yang maju membawa implikasi lain yang bersifat negatif.20

Pemerintah wajib memikirkan berbagai kewajiban yang arahnya adalah untuk melindungi masyarakat sebagai konsumen dalam upaya untuk melindungi konsumen dari situasi tersebut. Penjabaran mengenai hak-hak konsumen melalui undang-undang Khususnya di Indonesia, merupakan bagian dari implementasi sebagai suatu negara kesejahteraan, karena Undang-Undang Dasar 1945 beserta amandemennya di samping sebagai konstitusi politik juga disebut sebagai konstitusi ekonomi, yaitu konstitusi yang mengandung ide negara kesejahteraan yang tumbuh berkembang karena pengaruh sosialisme sejak abad ke-19. Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan 9 (Sembilan) hak konsumen, sebagai penjabaran dari pasal-pasal yang bercirikan negara kesejahteraan, yaitu Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 33 Undang Undang Republik Indonesia.21

Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap konsumen yang diberikan negara haruslah segera dapat diimplementasikan dalam kerangka kehidupan ekonomi. Hal ini penting, mengingat bahwa perlindungan konsumen haruslah menjadi salah satu perhatian yang utama karena berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat sebagai konsumen.

20

Didik J.Rachbini dalam Zamrotin, Ibid, hal, ix.

21

(32)

F. Metode Penelitian

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini dengan tujuan agar dapat lebih terarah dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka metode penulisan yang digunakan antara lain ;

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menjawab permasalahan dalam pembahasan skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif yaitu mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat.22 Metode ini juga digunakan agar dapat melakukan penelurusan terhadap norma-norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan perlindungan konsumen yang berlaku, serta memperoleh data maupun keterangan yang terdapat dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, koran, majalah, situs internet dan sebagainya 23

Penelitian hukum normatif, sering kali hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.

.

24

22

Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum , (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.105

23

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Alumni, 1994), hal,139.

24

(33)

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan adalah pendekatan deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya.25

3. Sumber Data

Dan penelitian ini juga menguraikan ataupun mendeskripsikan data yang diperoleh secara normatif lalu diuraikan untuk melakukan suatu telaah terhadap data tersebut secara sistematik.

Data yang digunakan dalam skripsi ini adalah data sekunder yaitu data yang diperoleh melalui studi kepustakaan, meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku, situs internet, media massa, dan kamus serta data yang terdiri atas :26

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : norma-norma atau kaedah-kaedah dasar seperti Pembukaan UUD 1945, Peraturan Dasar seperti Peraturan Perundang-Undangan yang meliputi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Menteri.

b. Bahan Hukum sekunder, yaitu : Buku-buku yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku yang menguraikan materi yang tertulis yang dikarang oleh para sarjana, bahan-bahan mengajar dan lain-lain.

25

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal, 38.

26

(34)

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu : Kamus, Ensklopedia, bahan dari Internet dan lain-lain yang merupakan bahan hukum yang memberikan yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

5 . Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku milik pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk Peraturan Perundang-Undangan, dan untuk memperoleh data pendukung akan dilakukan wawancara secara mendalam ( in depth interviewing)27

Analisis data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, metode kualitatif ini digunakan agar penulis dapat mengerti dan memahami gejala yang ditelitinya

.

6. Analisis Data

28

27

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta ; Rieneka Cipta, 1996),hal 59

28

Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia(UI-Press, 2007), hal, 21.

(35)

kamus dan lain-lain yang berhubungan dengan judul skripsi yang dapat digunakan untuk menjawab soal yang dihadapi.

G. Sistematika Penulisan

Dalam menghasilkan karya ilmiah maka pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Untuk mempermudah penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab yang saling berangkaian satu sama lain29

29

Fried N.Keslinser, Asas-Asas Penelitian Behavioral (Yogyakarta:Gajah Mada University, Cetakan kedua, 1996), Hal, 770.

. Adapun sistematika penulisan ini adalah :

Bab I berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar yang didalamnya terurai mengenai Latar Belakang penulisan skripsi, Perumusan Masalah, kemudian dilanjutkan dengan Tujuan Penelitian, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penulisan, yang kemudian diakhiri oleh Sistematika Penulisan.

(36)

Bab III Merupakan bab yang membahas tentang Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Makanan Kadaluwarsa serta Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah dan Instansi terkait terhadap makanan kadaluwarsa dimana didalamnya diuraikan tentang Pengertian tentang Perlindungan Konsumen, Upaya Perlindungan Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa dimana didalamnya diuraikan tentang Pengertian tentang Perlindungan Konsumen, Upaya Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Atas Beredarnya Makanan Kadaluwarsa yaitu Meningkatkan Kesadaran Hukum Konsumen Akan Hak dan Kewajibannya Dalam Mengkonsumsi Makanan Yang Kadaluwarsa, Mendorong Pelaku Usaha Makanan Agar Menjaga Kualitas Makanan Yang Diperdagangkan, Pengenaan Sanksi Bagi Pelaku Usaha Yang Melakukan Pelanggaran, Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah dan Instansi yang terkait Terhadap Makanan Kadaluwarsa.

(37)
(38)

BAB II

PENGATURAN MENGENAI MAKANAN KADARLUWARSA DAN

AKIBAT MENGKONSUMSI MAKANAN KADARLUWARSA

A. Pengertian Konsumen dan Pelaku Usaha

Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai bidang dan cabang hukum lainnya, karena pada tiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat sebagai konsumen.30

Didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah konsumen sebagai defenisi yuridis formal ditemukan pada Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen (UUPK) yang menyatakan bahwa konsumen adalah “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia didalam masyarakat, baik bagi kepentingan sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”31

Seperti yang terdapat didalam Pasal 1 butir 2 UUPK, dialam pasal tersebut tidak ada menyebutkan kata pembeli, yang dipergunakan adalah pemakai,

. Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dari posisi mana ia berada. Istilah lain yang agak dekat dengan konsumen adalah “pembeli”. Istilah ini dapat dijumpai dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, akan tetapi pengertian konsumen secara hukum tidak hanya terbatas kepada pembeli.

30

Edward Cahn, “ Law in The Consumer Perspektif “, University of Pennylvania Law Review , no 112 (1963), hal, 1-27.

31

(39)

pengertian pemakai didalam defenisi tersebut menunjukkan bahwa barang dan/atau jasa dalam rumusan pengertian konsumen tidak harus sebagai hasil dari transaksi.

Dengan demikian, hubungan konsumen dengan pelaku usaha tidak terbatas hanya berdasarkan hubungan transaksi jual beli saja, melainkan lebih dari pada hal tersebut dapat disebut sebagai konsumen. Karena seseorang tersebut tidak hanya sekedar sebagai pembeli, walaupun tidak sebagai pembeli atau tidak ada hubungan kontraktual dengan pihak pelaku usaha dari kontrak tersebut, seseorang tersebut sebagai konsumen dapat melakukan klaim atas kerugian yang diderita dari pemakaian produk tersebut, maka jelaslah bahwa konsumen tidak sebatas pada transaksi jual beli saja, akan tetapi setiap orang (perorangan, badan atau kegiatan usaha) yang mengkonsumsi ataupun memakai suatu produk.

Pakar masalah konsumen di Belanda, Hondius dan para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai, pemakai produk terakhir dari benda dan jasa.32 Dengan rumusan itu, Hondius ingin membedakan antara konsumen bukan pemakai terakhir ( konsumen antara) dan konsumen pemakai terakhir. Konsumen dalam arti luas mencakup kedua kriteria itu, sedangkan konsumen dalam arti sempit hanya mengacu pada konsumen pemakai terakhir.33

32

E.H. Hondius, “ Konsumentenrecht “, dalam Shidarta, Op.cit, halaman 2.

33

(40)

Untuk menghindari kerancuan pemakaian istilah konsumen yang mengaburkan dari maksud yang sesungguhnya, pengertian konsumen dapat terdiri dari 3 pengertian, yaitu :34

1. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu.

2. Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa untuk dipergunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa lain atau untuk diperdagangkan(tujuan komersil).

3. Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan menggunakan barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan/atau rumah tangga dan tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).

Bagi konsumen antara barang dan/atau jasa itu adalah barang atau jasa kapital, berupa bahan baku, bahan penolong atau komponen dari produk lain yang akan diproduksinya (produsen). Sedangkan distributor atau pedagang merupakan penjual menjual produk yang setengah jadi atau produk jadi yang dijadikan sebagai mata dagangannya. Konsumen antara ini mendapatkan barang atau jasa tersebut di pasar industri ataupun pasar produsen.35

Sedangkan bagi konsumen akhir, barang dan/atau jasa itu jasa itu adalah barang atau jasa konsumen, yaitu barang atau jasa yang biasanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga atau rumah tangganya (produk konsumen). Barang atau jasa konsumen ini umumnya diperoleh di pasar-pasar konsumen, dan terdiri dari barang atau jasa yang umumnya digunakan di dalam rumah tangga masyarakat.36

34

Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya, (Jakarta : Kencana Premedia Group, 2008), Hal 62. 35

Az.Nasution,Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar (Jakarta : Diadit Media, 2002), hal 14

36

(41)

Unsur untuk membuat barang dan jasa lain ataupun untuk diperdagangkan kembali merupakan pembeda pokok, antara konsumen-antara (produk kapital) dan konsumen-akhir (produk konsumen),yaitu terdapat pada penggunaannya bagi konsumen akhir adalah untuk dirinya sendiri, keluarga atau rumah tangganya. Unsur inilah, yang pada dasarnya merupakan beda kepentingan dari masing- masing konsumen. Penggunaan sesuatu produk untuk keperluan atau tujuan tertentu merupakan tolak ukur dalam menentukan perlindungan yang diperlukan.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bagi konsumen antara yang sebenarnya adalah pengusaha atau pelaku usaha, kepentingan mereka dalam menjalankan usaha atau profesi mereka tidak terganggu oleh perbuatan- perbuatan persaingan yang tidak wajar, penguasaan pasar secara monopoli, oligopoli, dan yang sejenisnya dengan itu. Mereka memerlukan kaidah- kaidah hukum yang dapat mencegah perbuatan- perbuatan tidak jujur dalam bisnis, disebabkan adanya dominasi pasar dengan berbagai praktik bisnis yang dapat merugikan mereka sebagai pengusaha. Agar dunia usaha dapat tumbuh serta berkembang secara sehat dan benar sehingga tercipta iklim persaingan usaha serta terhindar dari pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu, antara lain dalam praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat yang bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.37

Pelaku usaha yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan pelaku usaha yang kuat, kerap sekali berpikiran pendek dengan melahirkan

37

(42)

kebijakan-kebijakan yang tidak benar walaupun dengan mengorbankan konsumen.38

Bagi konsumen akhir yang selanjutnya disebut sebagai konsumen, mereka memerlukan produk konsumen yang merupakan barang dan jasa yang aman bagi kesehatan tubuh atau keamanan jiwa, serta pada umumnya untuk kesejahteraan keluarga ataupun rumah tangganya. Karena itu yang diperlukan adalah kaidah-kaidah hukum yang menjamin syarat-syarat aman setiap produk konsumen bagi konsumsi manusia, dilengkapi dengan informasi yang benar, jujur, dan bertanggung jawab.39

Persoalan mengenai hubungan produsen atau pelaku usahah dengan konsumen biasanya dikaitkan dengan produk (barang dan/atau jasa) yang dihasilkan oleh teknologi. Maka persoalan perlindungan konsumen sangatlah erat kaitannya dengan persoalan teknologi, khususnya teknologi informasi. Karena dengan makin berkembangnya industri dan teknologi, yang berarti juga

Karena pada umumnya konsumen tidak mengetahui dari bahan apa suatu produk tersebut dibuat, bagaimana proses pembuatannya serta strategi pasar apa yang dijalankan untuk mendistribusikannya, maka kaidah hukumlah yang dibutuhkan untuk melindungi posisi dari konsumen tersebut. Perlindungan tersebut sesungguhnya berfungsi untuk menyeimbangkan kedudukan dari konsumen dan pelaku usaha, karena antara pelaku usaha dan konsumen itu saling berhubungan dan saling membutuhkan, maka dari itu seharusnya tidaklah saling merugikan satu sama lain.

38

Dedi Harianto, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Iklan Yang

Menyesatkan, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010), hal 10

39

(43)

memungkinkan semua masyarakat terlibat dengan masalah perlindungan konsumen. Selanjutnya, istilah konsumen yang digunakan dalam bab ini dan bab-bab selanjutnya adalah konsumen dalam pengertian konsumen akhir.40

Istilah pelaku usaha umumnya lebih dikenal dengan sebutan pengusaha. Pengusaha adalah “setiap orang atau badan usaha yang menjalankan usaha memproduksi, menawarkan, menyampaikan atau mendistribusikan suatu produk kepada masyarakat luas selaku konsumen”. Pengusaha memiliki arti yang luas, tidak semata-mata membicarakan pelaku usaha, tetapi juga pedagang perantara atau pengusaha.41

Sedangan berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, memberikan pengertian Pelaku Usaha, sebagai berikut :

42

Penjelasan mengenai Pelaku Usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang dan distributor.

“Pelaku Usaha adalah setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi” .

43

40

Pasal 1 angka 2, Undang – Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

41

Mariam Darus, Perlindungan Konsumen dilihat dari Perjanjian Baku (Standar, Kertas

Kerja pada Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, (Jakarta :

Gramedia Pustaka, 1988), hal. 57.

42

Pasal 1 Angka 3 Undang- Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

43

Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar ,Op.cit. 2002, hal 17.

(44)

tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam Masyarakat Eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah pembuat produk jadi (finished product), penghasilan bahan baku, pembuat suku cadang adalah setiap orang yang menunjukkan dirinya sebagai produsen dengan cara mencantumkan namanya ataupun tanda pengenal tertentu yang dapat membedakan produk miliknya dengan produk lainnya, importir suatu produk dengan maksud untuk diperjualbelikan, disewakan, disewagunakan (leasing), ataupun bentuk ditribusi lain dalam transaksi perdagangan44

44

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan konsumen (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), hal, 9.

.

(45)

B. Pengertian Makanan Kadarluwarsa dan Jenis-jenis Makanan Tidak

Sehat

1. Pengertian Daluwarsa

Kadaluwarsa mempunyai arti sebagai sudah lewat ataupun habisnya jangka waktu sebagaimana yang telah ditetapkan dan apabila dikonsumsi, maka makanan tersebut dapat membahayakan bagi kesehatan yang mengkonsumsinya.45

Dengan demikian, kadaluwarsa adalah penjualan barang ataupun peredaran produk kemasan dan makanan yang sudah tidak layak dijual kepada konsumen. Hal ini disebabkan karena produk tersebut telah kadaluwarsa sehingga dapat mengganggu kesehatan dan apabila dikonsumsi dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan kanker.46

Dengan adanya peredaran produk kadaluwarsa di tengah-tengah masyarakat selaku konsumen dari produk- produk yang sudah kadaluwarsa tersebut, maka pemerintah haruslah memberikan perlindungan kepada masyarakat. Bentuk perlindungan konsumen yang diberikan adalah dengan mengeluarkan undang-undang, peraturan pemerintah, atau penerbitan standar mutu barang. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan pengawasan terhadap penerapan peraturan ataupun standar-standar yang ada. Fungsi pengawasan terhadap produk pangan juga harus dilakukan oleh pemerintah. Sikap adil dan tidak memihak sebelah dalam melihat kepentingan konsumen dan produsen ataupun pelaku usaha diharapkan mampu melindungi

45

Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga Departemen Pendidikan, (Jakarta : Balai Pustaka, 2007)

46

“Maut dalam Makanan Kadaluwarsa”

(46)

konsumen, akan tetapi, perlindungan konsumen tidak harus berpihak kepada kepentingan dari konsumen itu sendiri yang juga dapat merugikan kepentingan dari produsen ataupun pelaku usaha, jadi haruslah terciptanya keseimbangan antara kepentingan dari konsumen dan produsen ataupun pelaku usaha.

Bagi produsen ataupun pelaku usaha, haruslah menyadari pentingnya kesadaran bahwa kelangsungan hidup usahanya bersandar kepada konsumen selaku pembeli ataupun pemakai dari barang atau produk yang diperdagangkan. Maka dari itu, mereka mempunyai kewajiban untuk menghasilkan barang dan/atau jasa sebaik- baiknya dan seaman mungkin sehingga dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Pemberian informasi yang benar atas barang ataupun produk mengenai masa konsumsi dari mutu suatu produk pangan sangatlah penting, artinya hal ini akan sangat berhubungan dengan masalah kesehatan, keamanan, maupun keselamatan konsumen. Dengan adanya perlindungan yang demikian, maka konsumen tidak akan diberikan barang dengan kualitas yang lebih rendah daripada harga yang dibayarnya, atau tidak sesuai dengan informasi yang diperolehnya.47

2. Produk yang disebut Daluwarsa

Tanggal daluwarsa merupakan batas jaminan produsen ataupun pelaku usaha terhadap produk yang diproduksinya. Sebelum mencapai tanggal yang telah ditetapkan tersebut kualitas atas produk tersebut dapat dijamin oleh produsen atau

47

(47)

pelaku usaha sepanjang kemasannya belum terbuka dan penyimpanannya sesuai dengan seharusnya.48

Dalam menetapkan tanggal daluwarsa suatu produk sebenarnya sudah memberikan masa tenggang untuk mengantisipasi timbulnya kerusakkan ataupun penurunan mutu yang terjadi lebih cepat dari kondisi normal, sebagai contoh suatu produk dalam kondisi normal dapat disimpan selama satu tahun mengalami kerusakan mutu yang nyata. Oleh produsen produk ini ditetapkan mempunyai masa simpan hanya 10 (sepuluh ) bulan. Dengan kata lain, produk ini mempunyai tanggal kadaluwarsa 10 (sepuluh) bulan setelah diproduksi.

Karena apabila kemasannya terbuka ataupun penyimpanannya tidak sesuai makan hal ini akan memungkinkan berkembangnya bakteri ataupun kuman- kuman yang dapat mencemari makanan tersebut sehingga dapat merusak dan memberikan akibat yang tidak baik terhadap mutu dari makanan tersebut. Dan apabila makanan tersebut telah memasuki batas tanggal penggunaannya maka makanan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi karena didalam makanan tersebut sudah tercemar oleh bakteri ataupun kuman sehingga kualitas mutu dari produk tersebut tidak lagi dijamin oleh produsen ataupun pelaku usaha.

49

Dengan demikian, produk yang belum mencapai tanggal kadaluwarsa dapat saja belum mengalami kerusakan sehingga aman untuk dikonsumsi. Akan tetapi, harus diingat bahwa setelah mencapai tanggal kadaluwarsa, tidak ada jaminan terhadap produk tersebut mengenai kualitasnya apakah produk tersebut masih baik dan aman dikonsumsi apakah sudah tidak aman untuk dikonsumsi oleh

48

“Masa Tenggang Kadaluwarsa”,

49

(48)

konsumen. Selain itu menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku produk yang sudah kadaluwarsa dilarang untuk diperjual belikan . Masa tenggang kadaluwarsa setiap produk sangat berbeda- beda lamanya hal ini tergantung pada jenis dari produk tersebut. Dan produsenlah yang menentukan masa tenggang kadaluwarsanya dikarenakan pihak produsenlah yang mengetahui lebih lanjut mengenai produk yang diproduksi.

Peraturan perundang-undangan mengenai pangan sangatlah banyak, akan tetapi pengaturan mengenai produk pangan yang kadaluwarsa yaitu yang ada di dalam Peraturan Menteri Republik Indonesia Nomor : 180/Men.Kes/Per/IV/1985 Tentang Makanan Kadaluwarsa, tanggal 10 April 1985. Selanjutnya dalam undang-undang No 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), pengaturan tentang kadaluwarsa ini telah diatur dalam Bab IV Pasal 8 tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :50

a. Pada label dari makanan tertentu yang diproduksi, diimpor dan diedarkan harus dicantumkan tanggal daluwarsa secara jelas.

b. Makanan tertentu adalah : a. Susu pasteurisasi

b. Susu steril c. Susu fermentasi d. Susu bubuk

e. Makanan atau minuman yang mengandung susu f. Makanan bayi

g. Makanan kaleng yang steril komersial

c. Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan dapat mengadakan perubahan jenis makanan tertentu tersebut nomor 2.

Penentuan batas kadaluwarsa dapat dilakukan dengan menggunakan metode-metode tertentu. Penentuan batas kadaluwarsa dilakukan untuk

50

(49)

menentukan umur simpan (shelf life) produk. Penentuan umur simpan didasarkan pada faktor-aktor mempengaruhi umur simpan produk pangan. Faktor- faktor tersebut misalnya adalah keadaan alamiah (sifat makanan), mekanisme berlangsunganya perubahan (misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen ), serta kemungkinan terjadinya perubahan kimia (internal dan eksternal). Faktor lain adalah ukuran kemasan (volume), kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban), serta daya tahan kemasan selama transit dan sebelum digunakan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau.51

Umumnya produsen akan menyantumkan batas kadaluwarsa sekitar dua hingga tiga bulan lebih cepat dari umur simpan produk yang sesungguhnya . Hal ini dilakukan dengan tujuan :52

1) Menghindarkan dampak – dampak yang merugikan konsumen, apabila batas kadaluwarsa itu benar – benar terlampaui.

2) Memberikan tenggang waktu bagi produsen untuk menarik produk- produknya yang telah melampaui batas kadaluwarsa dari para pengecer atau tempat penjualan, agar konsumen tidak lagi membeli produk tersebut. Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada konsumen seperti keracunan makanan.

Dalam perdagangan, jangka waktu kadaluwarsa memiliki beberapa istilah. Istilah- istilah lain yang sering digunakan adalah : 53

a) “ baik digunakan sebelum “ (best before). “Baik digunakan sebelum” memiliki makna bahwa suatu produk pangan sebaiknya dikonsumsi sebelum tanggal yang tercantum, karena tanggal tersebut merupakan

51

John Pieris dan Wiwik Sri Widiarty, Negara Hukum dan Perlindungan Konsumen

Terhadap Produk Pangan Kedaluwarsa, (Jakarta: Pelangi Cendikia, 2007), hal, 129. 52

Ibid

53

Midian Sirait, “Pengaturan tentang Makanan Kedaluwarsa”, Makalah disampaikan oleh

(50)

batas optimal produsen dapat menjamin kelayakan produk untuk dikonsumsi. Kalimat “baik digunakan sebelum” umumnya dicantumkan pada produk yang memiliki umur simpan tinggi, seperti produk-produk konfreksioneri ( permen, coklat, chocolate bar dan minuman beralkohol).

b) “Gunakan Sebelum” ( use by atu expiry date), “gunakan sebelum” memiliki makna bahwa produk pangan harus dikonsumsi maksimal pada tanggal yang tercantum. Tanggal yang tercantum merupakan batas maksimum produsen dapat menjamin, bahwa produk tersebut belum rusak dan masih layak untuk dikonsumsi. Setelah tanggal tersebut, diduga kualitas produk sudah tidak dapat diterima oleh konsumen. Kalimat “Gunakan sebelum” umumnya dicantumkan pada produk- produk yang mudah rusak dan umur simpannya pendek, seperti : produk- produk susu (susu segar dan susu cair), daging, serta sayur- sayuran.

c) “Batas sebelum penarikan” (pull date). “Batas sebelum penarikan” merupakan cara lain untuk memberikan informasi mengenai “gunakan sebelum”. Kalimat “Batas waktu sebelum penarikan” menandakan tanggal terakhir yang dianjurkan bagi konsumen untuk membeli produk tersebut sehingga masih mempunyai jangka waktu untuk mengkonsumsinya tanpa produk tersebut mulai mengalami kerusakan. Setelah tanggal tersebut, suatu produk akan ditarik dari pengecer dan toko – toko karena dianggap mutunya akan segera menurun dan jika tidak ditarik akan menimbulkan kerugian bagi konsumen.

d) “Tanggal dikemas” (pack date), ”Tanggal dikemas” merupakan informasi yang berupa tanggal pada saat produk dikemas, baik pengemasan oleh produsen maupun oleh pengecer. Contoh produk yang diberikan penyantuman “pack date” adalah minyak sayur curah atau buah potong dalam kemasan yang dijual di supermarket.

e) “Tanggal masuk toko” (sell by date), “Tanggal masuk toko” merupakan informasi yang berupa tanggal pada saat produk memasuki gudang penyimpanan di toko atau tempat penjualan.

f) “Tanggal pemajangan” (display date), “Tanggal pemajangan” merupakan informasi yang berupa tanggal pada saat produk mulai dipajang di rak – rak atau display di toko atau tempat penjualan.

(51)

tersebut umum dilakukan di negara-negara maju karena tingkat pemahaman dan kepedulian mereka sangat tinggi terhadap keamanan pangan . Akan tetapi, teknik-teknik penyantuman batas kadaluwarsa tersebut masih kurang popular diterapkan di Indonesia.

Dengan berbagai informasi pada label kemasan produk pangan, diharapkan konsumen tidak menjadi keliru dalam menentukan dan mendapat jaminan kualitas dan kuantitas produk karena sebagai konsumen haruslah teliti sebelum membeli, menggunakan ataupun mengkonsumsi produk sehingga terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan merugikan bagi keselamatan dari konsumen.

3. Makanan Sehat dan tidak sehat serta persyaratan makanan sehat

Makanan yang rusak adalah makanan yang tidak sehat yaitu makanan yang apabila dikonsumsi oleh manusia yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan tubuh yang disebabkan oleh zat-zat kimia, biologi dan enzim yang bekerja secara tidak wajar sehingga memicu perkembangan jasad renik yang dapat menimbulkan penyakit dan serangan yang dilakukan serangga, pencemaran oleh cacing, dan salah pencampuran ramuan dan pencemaran benda-benda asing pada makanan.54

Kerusakan makanan tersebut dapat terjadi disebabkan oleh pemilihan bahan yang keliru, pembungkusan makanan yang kurang layak, penyimpanan makanan yang tidak benar, penggunaan suhu dan kelembapan yang dikurang pengawasan secara cermat dan pengangkutan makanan yang tidak berdasarkan

54

(52)

petunjuk. Makanan yang rusak atau makanan yang tidak sehat ini dapat diketahui dari wujudnya ataupun penampilannya, baunya, dan terdapat benda – benda asing yang tidak layak pada makanan, namum ada juga yang tidak dapat diketahui secara langsung melalui wujudnya ataupun baunya.

Peranan pembungkus makanan sangatlah besar sekali untuk makanan yang berbungkus, baik dengan pembungkus plastik, kertas atau kaleng, dimanana pembungkus sudah tercemar oleh jasad renik yang dapat menyebabkan pencemaran pada makanan yang dibungkus. Karena itu, penanganan yang benar terhadap makanan, dan pemilihan serta penanganan yang baik dapat menekan sekecil mungkin terjadinya kerusakan pada makanan sehingga penyakit karena makanan.

Gambar

TABEL 1

Referensi

Dokumen terkait

Pertanggungjawaban pelaku usaha dalam Pasal 19 ayat (2) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen adalah berupa ganti kerugian

Melalui penulisan ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi Badan Pengawasan Obat (BPOM), Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLKI) dan khususnya

Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh : (a) seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; (b) sekelompok konsumen yang

(4) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha , badan penyelesaianan sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada

Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang- Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum.. PT.Citra Aditya

usaha dilarang mengelabui konsumen saat menawarkan produknya. Berdasarkan Pasal 10 UUPK, pelaku usaha dalam penawaran barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

Dengan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen maka terjaminnya konsumen yang merasa dirugikan serta Badan Pengawas Obat dan Makanan

selanjutnya dalam pasal 46 dinyatakan, gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh: seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang